OPINI
Tanpa Intervensi Jokowi, Gibran Sulit Menang
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (20/07). Sudah menjadi pola kekuasaan. Selalu intervensi dalam proses politik. Mulai dari Mega, SBY hingga Jokowi. Terutama pencalonannya di periode kedua. Yang seperti itu bukan lagi menjadi rahasia umum. Lalu, bagaimana jika putra mahkota yang menjadi calon? Apakah sang bapak akan intervensi? Pertanyaan ini muncul sebagai respon terhadap ramainya pendapat publik terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presdien Jokowi yang akan maju sebagai calon Walikota Solo. Semula rekomendasi DPC PDIP diberikan kepada Achmad Purnomo. Karena Purnomo adalah kader PDIP yang saat ini menjabat sebagai wakil walikota Solo. Purnomo juga Ketua DPD PDIP Kota Solo. Dukungan kepada Purnomo ini berdasarkan hasil penjaringan dan penyaringan dari semua kepengurusan Anak Ranting maupun Anak Cabang. Tetapi, belakangan nama Purnomo tergusur oleh Gibran, putra sulung Jokowi. Pertanyaan sederhananya, apa mungkin Gibran bisa menggeser nama Purnomo tanpa keterlibatan Jokowi? Kecurigaan ini semakin menguat ketika Purnomo dipanggil ke istana, dan diberi tahu bahwa DPP PDIP urung mencalonkannya. Kok dipanggil ke istana? Bukannya ini urusan pencalonan Si Sulung Gibran? Kan bukan urusan rakyat? Tepatkah menggunakan istana negara untuk kepentingan pencalonan Sang Putra Sulung? Langkah Jokowi memanggil Purnono ke istana negara mendapat banyak kritik. Dianggap menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan partai. Bahkan untuk kepentingan keluarga. Ini jelas ngawur dan ngaco. Purnomo kecewa? Sebagai manusia biasa, wajar jika ia kecewa. Kecewa "ala Solo". Menggunakan bahasa "satire" dalam pengungkapkannya. "Saya sudah menduga akan seperti ini", katanya kepada awak media. Bukan hanya Purnomo, para kader partai banteng di Solo mungkin juga merasakan hal yang sama. Kecewa! Purnomo itu senior di PDIP. Kader tulen PDIP. Tentu saja jauh lebih berpengalaman dan matang. Setidaknya Purnomo saat ini menjabat sebagai Wakil Walikota Solo. Impian seorang Wakil Walikota pasti ingin jadi Walikota. Kesempatan itu pupus, dan diserobot oleh Gibran yang notabene baru menjadi kader di PDIP dalam hitungan bulan. Adakah kompensasi yang ditawarkan Jokowi kepada Purnomo? Inilah yang jadi rumor pasca Purnomo keluar dari istana. Jika benar ada kompensasi, sangat tepat jika Purnomo menolaknya. Penolakan Purnomo bisa jadi referensi bagi pendidikan karakter para politisi. Pertama, ini soal harga diri. Selama ini, dunia politik kita sudah tak lagi kenal harga diri. Kedua, soal prinsip. Secara prinsip, Purnomo lebih layak maju daripada Gibran. Soal prinsip ini harus dipegang teguh. Tanpa memberi ruang untuk dinegosiasi. Ketiga, Purnomo mesti sadar ini urusan pribadi dan partai. Bukan urusan negara. Maka, tak tepat melibatkan kompensasi apapun dari negara. Lalu, apa deal Mega dengan Jokowi terkait rekomendasi PDIP kepada Gibran? Tak ada makan siang gratis. Dalam politik, setiap keputusan ada transaksinya. Apa ada hubungannya dengan RUU HIP yang diperlunak Jokowi jadi RUU BPIP? Boleh jadi, itu salah satunya. Jika begitu, apakah ini memperkuat bukti bahwa Jokowi terlibat dalam pencalonan Gibran? Ayah mana yang tega membiarkan sang anak bertarung sendirian. Apalagi Gibran masih muda dan belum cukup pengalaman. Karikatur majalah tempo dengan foto Gibran naik tangga yang dipengangi Jokowi seperti menggambarkan situasi hubungan ayah-anak dalam Pilkada Solo. Apa alasan Jokowi turut campur? Anda bayangkan jika Gibran kalah. Ini akan menjadi tamparan politik bagi Jokowi. Selain karena Jokowi pernah dua periode jadi walikota Solo, juga posisinya sekarang sebagai presiden. Apa kata pendukungnya jika Gibran kalah? Akan jadi bullyan banyak orang. Belum lagi jika Gibran ngambek karena tak serius Sang Presiden membantunya. Bisa berabe! Asy'ari Usman, seorang wartawan senior malah menyarankan agar Jokowi membuat timses di Istana. Twitter atas nama Don Adam68 juga mengusulkan agar Jokowi membuat Keppres untuk menetapkan kemenangan bagi Gibran. Sehingga, tak harus keluar banyak biaya untuk pemilu. Ungkapan Asy'ari Usman dan Don Adam68 itu menunjukkan apatisme pilkada di Solo. Mengingat istana selama ini dianggap terlalu ketat mengontrol pergerakan rakyat. Mulai dari kampus, pers, parlemen, ormas, hingga suara pemilih. Aparat tak segan beroperasi untuk mengkoptasi suara pemilih. Berbasis pada pengalaman pemilu sebelumnya, terutama pilpres, rasa-rasanya kemenangan Gibran sudah di depan mata. Sebab ini akan menjadi taruhan nama Sang Ayah. Kecuali jika terjadi gelombang perlawanan yang masif dan menjadikan Gibran sebagai "musuh bersama". Itu baru akan sangat seru. Jika tidak, kekuasaan dan kekuatan uang akan sangat mudah untuk memenangkan Gibran. Walau begitu, jika kelak Gibran jadi walikota Solo, tetap saja tak akan sebaik nasibnya dengan Sang Ayah, yaitu Jokowi. Gibran tak sepintar ayahnya dalam melakukan pencitraan. Belum lagi jika bicara momen. Tahun 2024 periode Jokowi berakhir. Saat itu, akan sangat berat bagi Gibran untuk melanjutkan karirnya. Kecuali jika Jokowi jadi presiden seumur hidup. Gubrak! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Ketika Presiden Yang Kehilangan Rasa Malu
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Senin (20/07). Kesan memaksakan Gibran Rakabuming Raka, putera Presiden untuk maju dalam Pemilihan Walikota (Pilwalkot) semakin kuat. Keterlibatan Presiden sebagai ayah sangat mencolok dan kasat mata. Tidak lagi sembunyi-sembunyi. Bahkan seperti seperti hendak memamerkan keterlibatan Presiden. Terang-terangan "pesaing” anak Presiden, Achmad Purnomo dipanggil ke Istana. Konon dengan tawaran kepada Achmad Purnomo dengan jabatan sebagai kempensasi tidak maju sebagai calon Walikota Solo. Tetap saja Purnomo merasa kecewa atas "perampasan hak" oleh anak Presiden atas nama otoritas sang ayah. Argumen awal bahwa ini bukan politik dinasti. Karena meskipun anak, tetapi hak politik sebagai warga negara tak dapat dihalangi siapapun. Siap untuk berkompetisi secara sehat. Namun prakteknya belum juga. Belum bertarung saja sudah memanfaatkan fasilitas kepresidenan. Ada juga barter jabatan segala. Peristiwa ini sebenarnya sangat memuakkan dan memalukan. Namun anehnya bagi Presiden hal ini dianggap biasa-biasa saja. Gawat juga jika Presiden sudah kehilangan rasa malu. Presiden tidak lagi perduli dengan cemohan dari publik. Presiden didak lagi perduli dengan norma pantas atau tidak pantas. Layak dan tidak layak. Presiden buta atau membutakan matanya untuk melihat kapasitas dan kapabilitas anaknya. Semua batasan norma, etika dan kepantasan tidak lagi dihiraukan oleh Presiden. Sabda Nabi, "sesungguhnya Allah tatkala hendak membinasakan seorang hamba, maka Allah mencabut rasa malu darinya. Ketika Allah telah mencabut rasa malu orang itu dari darinya, maka tidak mendapatkan dirinya kecuali dia dibenci dan membenci orang lain. Ketika mendapatkan dirinya dibenci dan membenci orang lain, akan dicabut amanah" (HR Ibnu Majah). Sebenarnya Presiden sudah kehilangan amanah itu melalui beberapa kebijakannya. Misalnya, ketika membuat Perppu tanpa adanya tingkat "kegentingan memaksa". Melumpuhkan KPK, dan mengabaikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 44 P/HUM/2019. Juga memasukkan TKA China di tengah kesulitan kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Selain itu, kebijakan membuka peluang penguasaan Negara komunis China melalui investasi dan hutang luar negeri. Bagaimana mungkin Presiden tidak menjaga martabat rakyat dan bangsanya? Sangat berbahaya bagi Negara yang Presidennya telah kehilangan rasa malu. Ditambah lagi dengan tidak menjaga martabat rakyat dan bangsanya. Lebih lanjut Nabi bersabda, "ketika amanah dicabut darinya, maka dia tidak mendapatkan dirinya, kecuali berkhianat dan dikhianati orang lain. Ketika mendapatkan dirinya berkhianat dan dikhianati orang lain, maka dicabut darinya rahmat. Ketika dicabut rahmat darinya, dia tidak mendapatkan dirinya selain dikutuk dan dilaknat". Yang dikhawatirkan sebagai seorang pemimpin adalah jika rakyat yang dipimpin sudah melecehkan bahkan sudah berani mengutuk dan melaknat. Jika fenomena ini terjadi maka itulah tanda tanda Allah SWT mencabut rahmat darinya. Memang kasus Gibran Rakabuming Raka ini dinilai keterlaluan. Orang pada tahu kalau kualitas, kapasitas, dan reputasi Gibran seperti apa untuk menjadi seorang Walikota? Akan tetapi dengan modal sosial sebagai anak Presiden, yang juga mantan Walikota Solo, Gibran dengan mudah maju sebagai calon Walikota Solo. Bukan itu saja. Presiden juga terang-terangan menggunakan fasilitas kepresidenan sebagaimana pemanggilan Achmad Purnomo ke Istana. Perkiraan di atas kertas, Gibran bisa saja mulus menjadi Walikota. Apalagi dana "rekanan" pun kemungkinan dengan mudah didapat atas titah ayahanda. Namun kekuasaan yang didapat bukan dari haknya atau kapasitasnya, maka agama menegaskan ancaman kehancurannya. Jika ia beragama Islam, maka statusnya sama dengan orang yang keluar dari Islam. Nabi juga mengingatkan, "ketika ia mendapatkan dirinya dikutuk dan dilaknat, maka akan dicabut darinya tali agama Islam" (HR Ibnu Majah). Nasehat Nabi berguna bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Sementara bagi yang tidak beriman, maka predikat yang pas untuk mereka adalah, "shummun bukmun umyun fahum laa yarji'uun" Mereka itu tuli, bisu dan buta. Maka mereka tak akan bisa kembali (QS Al Baqarah, ayat 18). Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Makar Ideologi Itu "Gerakan Pancasila 1 Juni 1945"
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (19/07). Ini tentu bukan peristiwa pidato Soekarno di Sidang BPUPKI. Pidato itu sudah menjadi dokumen historis bangsa Indonesia. Kehebatan Soekarno dalam menuangkan gagasan diakui sangat luar biasa. Kita tidak boleh mencelanya. Pada tanggal 1 Juni 1945 istilah Pancasila diperkenalkan. Sebagaimana ketika itu juga diperkenalkan Trisila dan Ekasila. Semua adalah proses menuju Pancasila sebagaimana yang kita kenal sekarang. Proses sejarah yang menuju ke sana itu kita akui. Kita juga tidak akan membantahnya. Persoalannya menjadi makar ideologi adalah jika Pancasila 1 Juni 1945 mau diperjuangkan untuk menggantikan Pancasila 18 Agustus 1945. Pancasila 1 Juni 1945 dengan rumusan sila-silanya adalah Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan itu diperjuangkan bentuk Rancangan Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila (RUUPIP) untuk suatu saat menggantikan Pancasila yang telah dirumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Perjuangan serupa dengan organisasi PKI dahulu, yang juga berjuang agar ideologi negara Republik Indonesia adalah Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pancasila digantikan kelak. Selama hidup dan bergerak, PKI tetap berada di bawah Pancasila. Bahkan PKI menyatakan "Membela Pantjasila". DN Aidit adalah "jagoan" dalam teriak-teriak soal "Membela Pantjasila". Kita terpaksa menyebut adanya “Gerakan 1 Juni 1945”. Karena realitanya dalam proses politik sangat terasa adanya gerakan, perjuangan, serta langkah serius. Gerakan ini berusaha untuk menanamkan keyakinan akan kebenaran Pancasila 1 Juni 1945. Bukan disimpan sebagai dokumen historis saja. Tetapi sudah menjadi misi politis yang harus diterima sebagai landasan yuridis. RUU HIP adalah landasan yuridis yang hendak diletakkan tersebut. Kulminasi dari keyakinan perjuangan yang dianggap telah sampai dan menemukan momentum. RUU BPIP menjadi strategi "mundur sedikit satu dua langkah". Apalagi dalam menghadapi benturan keras dan perlawanan dari pembela Pancasila 18 Agustus 1945, khususnya umat Islam. Gerakan 1 Juni 1945 dapat diawali dengan bukti konsepsi bagi misi , "mempengaruhi dan menjiwai jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif, bersih, dan berwibawa". Gerakan 1 Juni 1945 tentu berapologi tidak menafikan Pancasila 18 Agustus 1945. Tetapi dari gerak dan langkahnya telah terasa merongrong eksistensi dan kewibawaan Pancasila 18 Agustus 1945. Pancasila telah disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia dan tidak boleh dikhianati. Titik. Keputusan Presiden No 24 tahun 2016 tentang Hari Lahirnya Pancasila yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi dinilai menjadi penguat bagi langkah gerakan Pancasila 1 Juni 1945. Berlanjut hingga RUU HIP yang kontroversial dan menyisakan buntut lahirnya RUU BPIP. Konflik ideologi akan semakin terbuka ke depan, jika tidak ada koreksi, introspeksi, evaluasi serta antisipasi. Dari mana memulainya ? Ya jawabannya sudah jelas di samping. Cabut RUU HIP, juga bubarkan BPIP dan tolak RUU BPIP. Ini adalah langkah strategis dalam rangka menyelamatkan eksistensi dan kewibawaan Pancasila 18 Agustus 1945. Tidak ada langkah dan cara lain. Ke depan, kiranya Pemerintah Jokowi harus mencabut kembali Kepres No 24 tahun 2016 tentang Lahirnya Pancasila. Hal ini karena masih terjadinya perdebatan keras tentang hari lahir Pancasila itu. Apakah 1 Juni 1945, 22 Juni 1945 ataukah 18 Agustus 1945? Moga para pemimpin negara arif dalam mengelola negara yang telah susah payah "dipersembahkan" oleh para pejuang dan "the founding fathers". Tegakkan keadilan dan kedamaian. Penulis adalah Pemerharti Politik dan Kebangsaan.
Demi Gibran, Presiden Jokowi Tawari Purnomo Jabatan?
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Ahad (19 Juli 2020). Presiden Joko Widodo dan DPP PDIP akhirnya berhasil “mengalahkan” aspirasi DPC PDIP Kota Solo yang mengusung Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa (Puguh) sebagai pasangan bakal calon pada Pilkada Kota Solo 2020 mendatang. Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri memberikan rekomendasi kepada Gibran Rakabuming Raka – Teguh Prakosa untuk maju pada Pilwali Solo 2020. Menjelang pengumuman, ternyata Gibran sempat berkontak dengan ayahnya, Presiden Jokowi. “Bapak sudah (komunikasi), lewat telepon saja, mendoakan semuanya lancar,” kata Gibran kepada wartawan di kantor DPC PDIP Solo, Jumat (17/7/2020). Lewat sambungan telepon, Presiden Jokowi mendoakan agar proses pengumuman rekomendasi berjalan lancar. Sejumlah nama mengantungi rekomendasi PDIP untuk bertarung dalam kontestasi Pilkada pada 9 Desember 2020 mendatang di wilayah masing-masing. Dari sejumlah nama itu tak pelak nama Gibran sebagai bakal calon Walikota Solo menjadi sorotan. Mulai dari drama “pertempuran” Gibran vs DPC PDIP Solo hingga penolakan para kader PDIP di Solo membuat nama putra sulung Presiden Jokowi itu sebagai pemicu polemik di Pilkada Solo. Hingga akhirnya muncul kesimpulan: Jokowi tengah melanggengkan “politik dinasti”, dan PDIP acuh terhadap aspirasi kader PDIP Solo. FX Hadi Rudyatmo selaku Ketua DPC PDIP Kota Solo pun hanya pasrah dan menerima keputusan PDIP itu. Padahal, sebelumnya Rudyatmo menyatakan, PDIP tetap solid mendukung pasangan Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa (Puguh) sebagai pasangan bakal calon pada Pilkada Kota Solo 2020 mendatang. Walikota Solo itu menegaskan, pasangan Puguh ini merupakan bakal calon sah yang diusung oleh PDIP Solo. “Saya yakin pasangan pasangan bakal calon Puguh bisa memenangi Pilkada Solo,” ujar Rudyatmo, Minggu, 8 Maret 2020. Rudyatmo menegaskan, dirinya sudah menyampaikan agar kader PDIP Kota Solo tak takut untuk mendukung pasangan bakal calon Puguh saat Pilkada 2020 pada 9 Desember 2020. Karena Puguh merupakan pasangan yang diusung DPC PDIP Solo. DPC PDIP hanya mengajukan satu pasangan ke DPD yang dilanjutkan DPP PDIP. Sementara itu, Gibran Rakabuming Raka, maju melalui jalur DPD PDIP Jawa Tengah. Menurut Rudyatmo, semua Satgas dan pengurus partai di Solo tidak perlu khawatir. Ia yakin pasangan Puguh akan mendapat rekomendasi dari DPP PDIP. Meski demikian, dia meminta agar kader patuh dengan ketentuan partai. “Artinya, tegak lurus mengikuti apapun keputusan dari Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri tetap harus diutamakan,” kata Rudyatmo, seperti dilansir Tempo.co, Minggu (8 Maret 2020 15:32 WIB). Sebelumnya, Lembaga Survei Indo Barometer merilis hasil survei terbaru yang menunjukkan bahwa 67,5 persen masyarakat menerima Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Walikota Solo pada Pilkada 2020. Sementara 23,7 persen publik tidak mau menerima jika putra sulung Presiden Joko Widodo itu maju sebagai calon Walikota Solo. “Ada lima alasan publik tidak menerima. Paling besar karena menganggap Gibran belum berpengalaman dalam pemerintahan (37 persen),” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari di Jakarta, Minggu (16/2/2020). Empat alasan lain tidak menerima, yakni menciptakan dinasti politik (28,1 persen), masih banyak calon lain yang lebih kompeten (12,3 persen), masih terlalu muda (8,9 persen), dan dapat menimbulkan kontroversi publik (6,8 persen). Ada lima alasan publik dapat menerima, yakni semua warga negara berhak memilih dan dipilih (49,4 persen), hak ikut berdemokrasi (13,9 persen), dan tidak masalah jika memenuhi syarat pencalonan (13,9 persen). Mengutip GenPI.c, Minggu (16 Februari 2020 17:32), berikutnya, yaitu melanjutkan Jokowi yang pernah memimpin Solo (9,4 persen), Gibran mempunyai kepribadian dan kemampuan yang baik sebesar 7,7 persen. Hasil survei itu juga merilis, ternyata masih ada warga yang tidak mengetahui kalau Gibran akan mencalonkan pada Pilkada Kota Solo 2020. Warga Solo yang tergabung dalam Peduli Pemilu (PWSPP) menyatakan keberatan karena persoalan etika berpolitik. Mengutip HanTer.com, Rabu (11 Desember 2019 - 10:19 WIB), pada Pilkada Solo 2015, Gibran tidak memberikan hak suaranya alias Golput. Menurut Ketua PWSPP Johan Syafaat Mahanani, apabila orang yang tidak mau memilih (golput) diberikan kesempatan untuk memilih, maka bisa menjadi contoh generasi muda untuk bersikap egois hanya mementingkan kepentingan sendiri. “Sebaiknya Gibran maju Pilkada Kota Solo pada 2025, namun pada 2020 ini dia bersedia memilih,” kata Ketua PWSPP, Johan Syafaat Mahanani, di Solo, Selasa (10/12/2019). Menurut Johan, keberatan ini, sebagai bentuk pendidikan politik bagi masyarakat agar di kemudian hari orang yang tidak menggunakan hak memilih tidak menuntut haknya untuk dipilih. Syafaat, seperti dilansir Antara, mengakui pihaknya sudah mengajukan surat keberatan kepada partai politik atas pencalonan Gibran pada Pilkada Kota Solo 2020. Gibran diketahui sempat menampakkan sikap ngototnya yang tetap berusaha maju dengan melawan keputusan DPC PDIP Solo yang mantap mengusung pasangan Puguh. Padahal, keputusan DPC PDIP Solo tersebut berdasarkan aspirasi akar rumput. Namun, keinginan Gibran untuk maju pada Pilkada Solo 2020 terkesan bukan atas dasar kepentingan rakyat. “Itukan seperti arogansi, seolah-olah berkata yang bisa menyejahterakan rakyat itu saya dan kelompok saya,” ungkap analis politik UII Geradi Yudhistira. Dalam manuver yang dilakukan sosok yang baru mendaftar sebagai kader PDIP beberapa waktu lalu itu terkesan arogan. Bahkan dinilai jauh dari kepentingan rakyat. Alih-alih dia menghormati keputusan DPC, Gibran justru tetap berkeinginan untuk mencalonkan diri dengan menghadap ke Ketum PDIP beberapa waktu lalu. Pengamat politik Universitas Diponegoro M Yulianto menilai, rencana Gibran maju pada Pilkada Solo 2020 dalam konteks demokrasi sah-sah saja. Namun, menurutnya, asalkan telah memenuhi kualitas, kapasitas, intergritas. “Sebenarnya dalam konteks demokrasi (Gibran maju Pilkada, red) sah dan boleh. Tetapi kalau kualitas, kapasitas, intergritasnya memenuhi tidak masalah,” ungkap Yulianto di Jakarta, Selasa (10/12/2019). Namun, di sisi lain, menurutnya, pencalonan Gibran itu akan memberikan tren dinasti politik di keluarga (oligarki) penguasaan kelompok tertentu berbasis pada dinasti keluarga. “Karena itu juga bisa, itu juga ada di Sumatera,” ungkapnya. “Kemudian di Solo dan nanti itu akan diikuti tokoh-tokoh politik dari PDIP yang membangun plan-plan keluarga di situ,” lanjut Yulianto. Menurutnya, hal ini merusak sistem yang sudah dibangun PDIP yang dipertahankan dengan loyal oleh pengurus kabupaten/kota dan povinsi. “Ini bagian dari manajemen partai yang harus dikritisi, jangan mentang-mentang atau jangan seolah-olah karena punya power yang besar kemudian merusak mekanisme sistem yang telah didesain oleh partai dengan baik,” tandasnya. Pengamat Politik Ray Rangkuti mengatakan, publik akan kecewa kepada Presiden Jokowi ketika Gibran maju pada Pilkada 2020. Ia menilai, publik kecewa karena ternyata keluarga Jokowi tidak mengambil jarak dengan dunia politik praktis. “Ini akan menambah bobot makin jauhnya harapan agar Jokowi menjadi salah satu figur yang mempraktekkan politik dengan kultur baru,” ujar Ray, Selasa (10/12/2019). Terlebih, selama ini Jokowi dicitrakan sebagai pembawa pembaruan yang tidak mempraktekkan politik dinasti dan nepotisme ketika menjabat sebagai presiden. Majunya Gibran saat Jokowi masih menjabatmenjadi titik yang menghapus semua citra baik yang selama ada di mata publik. “Artinya, dalam hal ini, Pak Jokowi tak memberi tauladan yang berbeda dari kebanyakan politisi Indonesia,” tambah Ray. Apalagi, belakangan diketahui, Achmad Purnomo mengaku mendapat tawaran jabatan dari Presiden Jokowi sebagai timbal balik karena Gibran memperoleh rekomendasi PDIP untuk maju pada Pilkada Solo 2020. Namun Purnomo menyatakan menolaknya. Tawaran Jabatan “Ya ada (tawaran timbal balik), tapi bagi saya ndak perlu,” ungkap Purnomo, seperti dilansir Detikcom, Jumat (17/7/2020). Tawaran itu disampaikan ketika Purnomo dipanggil Presiden Jokowi ke Istana, Kamis (16/7/2020). Tapi Purnomo tak bersedia menjawab apa penawaran Jokowi. Ia hanya memastikan tawaran itu berupa jabatan, tapi bukan posisi menteri. “Ya rahasia no. Ada, tapi saya ndak bersedia. Iya (jabatan). Nggak (posisi menteri), nggak setinggi itu,” sebut Purnomo. Ditanya apakah legawa karena tak jadi maju sebagai calon Wali Kota Solo dari PDIP karena digantikan Gibran, Purnomo tak menjawab pasti. Ia menyatakan hal tersebut sebuah realitas yang harus diterima. “Ya kalau saya diberi tahu seperti itu saya terima apa adanya. Kenyataannya tidak bisa saya hindari. Ya nuwun sewu (mohon maaf), terus terang, kan semuanya terpengaruh dengan putra presiden, mana saya bisa menang,” jelas Purnomo. “Bukan soal legawa atau tidak, itu kenyataan, realita. Saya kan tidak mencalonkan diri tetapi dicalonkan, diberi tugas oleh PDIP Surakarta. Kemudian anak presiden masuk, he-he-he…. Itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Bukan soal legawa, realitanya begitu,” sambungnya. Purnomo saat ini masih menjabat Wakil Walikota Solo. Setelah purnatugas pada 2021 nanti, ia mengaku ingin berfokus kembali pada usaha bisnisnya saja. Ia juga menyatakan tak akan aktif di PDIP Solo. “Ndak, dari dulu saya ndak aktif di partai kok. Anggota (PDIP), tapi ndak aktif. Saya anggota kader biasa. Kembali lagi ke dunia swasta saya. Kegiatan sosial sama bisnis saya. Bisnis ada batik, macem-macem. Ada hotel, SPBU, kayak gitu,” jelas Purnomo. Pengamat Politik, Hendri Satrio mengatakan, jika Gibran terpilih menjadi walikota karena menggunakan fasilitas Jokowi, maka masuk ke dalam kategori dinasti politik. Dan, lanjut dia, hal itu tentunya merusak nama Jokowi sendiri. Menurutnya, langkah Gibran terjun ke dunia politik bisa menorehkan tinta negatif sejarah. Karena, Gibran maju saat ayahnya, Jokowi, masih memimpin Indonesia. “Sekarang terserah Gibran tetap mau menjaga tinta positif sejarah Indonesia dalam berpolitik bagi Jokowi tentunya, atau berkontribusi menorehkan tinta negatif untuk ayahnya,” katanya di Jakarta, Selasa (10/12/2019). Dia mengatakan, sejak Indonesia berdiri sampai saat ini belum ada anak presiden yang ikut dalam pesta demokrasi. Bahkan, pada era pemerintahan Presiden Soeharto tidak ada anaknya yang maju ke dalam kontestasi politik. “Karena akan dicatat sejarah sebagai presiden pertama yang anaknya maju ke perhelatan pilkada sebagai Walikota. Belum ada itu, Pak Harto saja 32 tahun nggak kayak gitu,” kata dia, seperti dilansir Harianterbit.com. Jika akhirnya hanya pasangan calon Gibran – Teguh yang maju, karena hampir semua parpol (kecuali PKS dan PAN) mendukungnya, dipastikan mereka akan melawan “kotak kosong”. Penulis adalah Wartawan Senior
Wakil Wali Kota Solo Melawan Presiden
by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN- Sabtu (18/7). Achmad Purnomo patut diacungi jempol. Patut untuk diteladani dan diberikan penghargaan. Sebab, pada saat banyak orang berlomba meminta jabatan. Sementara Wakil Wali Kota Solo, Jawa Tengah itu justru menolak tawaran jabatan dari Presiden Joko Widodo. Tawaran jabatan sebagai timbal balik putranya Gibran Rakabuming Raka yang direkomendasikan oleh DPP PDIP untuk maju pada Pemilihan WaliKota (Pilwakot) Solo 2020. Tawaran jabatan itu disampaikan sendiri oleh Joko Widodo saat kader PDIP ini dipanggil ke Istana Negara, Jakarta, Kamis (16/7/2020). Barter jabatan kepada Purnomo disampaikan Joko Widodo sehari sebelum pengumuman rekomendasi yang jatuh ke Gibran itu keluar. Rekomendasi keluar pada pada Jumat (17/7/2020) yang disampaikan secara virtual oleh Puan Maharani. Bersamaan dengan pengumuman rekomendasi untuk calon pimpinan daerah PDIP lainnya di berbagai daerah yang ikut Pilkada Desember 2020. Menurut berita yang saya baca di sejumlah media daring, Purnomo tak menjelaskan jabatan apa yang ditawarkan Joko Widodo kepadanya. Akan tetapi, bukan jabatan menteri. Namun yang selevel dengan menteri. "Ya ada (tawaran timbal balik). Tapi bagi saya ndak perlu," kata Purnomo dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (17/7/2020). Purnomo hanya memastikan tawaran tersebut berupa jabatan, tapi bukan posisi menteri. "Ya rahasia dong. Ada, tapi saya ndak bersedia. Iya tawaran jabatan. Nggak posisi menteri, nggak setinggi itu," kata Purnomo. Purnomo tidak menjawab secara tegas apakah legawa atau tidak sebagai calon Walikota Solo. Tak jadi maju sebagai calon Wali Kota Solo dari PDIP, karena digantikan oleh Gibran. Ia menyatakan hal tersebut sebuah realitas yang harus diterima. "Ya kalau saya diberi tahu seperti itu saya terima apa adanya. Kenyataannya tidak bisa saya dihindari. Ya nuwun sewu (mohon maaf), terus terang, kan semuanya terpengaruh dengan putra presiden. Mana saya bisa menang," jelas Purnomo. "Bukan soal legawa atau tidak. Itu kenyataan dan realita. Saya kan tidak mencalonkan diri. Tetapi dicalonkan sebagai bakal Wawalkot Solo. Diberi tugas oleh PDIP Surakarta. Kemudian anak presiden masuk, he-he-he.... Itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Bukan soal legawa. Realitanya begitu," ujarnya. Betul apa yang dikatakan Purnomo itu. Realita politik jelas seperti itu. Akan tetapi, ini realita politik yang sangat buruk. Karena semakin menumbuh-suburkan nepotisme. Siapa yang bisa melawan Presiden yang anaknya menjadi calon Walikota? Apalagi, pencalonan itu adalah rekomendasi partai yang tidak mungkin dibantah atau dilawan oleh kader, apalagi pengurus partai. Jika melawan titah induk partai sudah dipastikan, karier politik seseorang akan tamat. Ya, cukup banyak kasus yang terjadi. Saya ambil contoh di Banten saja. Ketika Marissa Haque menjadi calon wakil gubernur berpasangan dengan Zulkieflimansyah (kini Gubernur NTB), istri Ikang Fauzi itu ditendang dari PDIP. Maklum ketika Marisa adalah kader partai PDIP. Yang pada saat pencalonan Pilkada Gubernur Banrten masih menjadi anggota DPR RI dari PDIP. Banyak contoh lainnya. Pendepakan dari partai karena berseberangan dengan DPP maupun DPW/DPD hampir terjadi di semua partai yang ada di negeri. Kini praktek nepotisme semakin menjadi-jadi. Untungnya, Achamd Purnomo yang merasa kecewa karena "dibuang" dari pencalonan Walkot Solo 2020 adalah orang yang akhirnya legowo. Ditawari jabatan oleh Presiden Joko Widodo, namun ditolaknya. Ia lebih memilih kembali ke keluarga dan membesarkan bisnisnya. Maklum, sebelum menjadi Wakil Wali Kota Solo, Purnomo adalah pebisnis di bidang hotel, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), batik dan lainnya. Tidak Gila Jabatan Padahal, jika Purnomo menerima tawaran jabatan yang lebih cenderung dikatagorikan sebagai "sogokan" atau "suap" dari Joko Widodo itu, jelas akan semakin memudahkannya untuk memperluas dan memperkokoh cengkeraman bisnisnya. Akan tetapi, Purnomo ingin menunjukkan jati dirinya yang bukan orang yang gila jabatan. Purnomo bukan seperti Relawan dan Pendukung Jokowi yang kini bertebaran menjadi Wakil Menteri, Direksi dan Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ada juga yang menjadi Duta Besar (Dubes) RI untuk beberapa negara sahabat. Tidak sampai di situ saja. Ada relawan yang diangkat menjadi Staf Khusus Presiden yang gajinya besar, tapi pekerjaannya tidak jelas. Meskipun jabatan yang ditawarkan kepada Purnomo itu tidak selevel menteri. Tetapi saya percaya posisinya bukan di sembarang tempat. Pasti ditempatkan pada posisi cukup bergengsi. Masak seorang Presiden hanya menawarkan jabatan ecek-ecek kepada Wakil Wali Kota. Apalagi, bentuk penawaran jabatan itu juga merupakan cara Jokowi mengobati kekecewaan hati Purnomo yang terluka. Sepantasnyalah kita memberikan simpati dan apresiasi kepada Purnomo yang tidak gila jabatan. Semoga, ke depan semakin banyak Purnomo Purnomo yang lain. Yang berani "melawan" Presiden, meskipun keduanya adalah kader dari partai yang sama. Penulis adalah Wartawan Senior
Barter Jabatan Walikota Solo Sebagai Upaya Penyogokan?
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Sabtu (18/07). Undang-Undang Nomor 23/2014 Tentang Pemerintahan daerah (Pemda) menjelaskan bahwa Presiden adalah penanggung jawab akhir atas penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dan Daerah. Penegasan ini terdapat di pasal 7 (ayat 2). Sementara itu, kekuasaan Pemerintahan Pusat di daerah dijalankan dengan asas desentralisasi, sesuai pasal 5 (ayat 4). Dengan demikian, posisi Pemerintahan Daerah adalah sebagai perpanjagan tangan kekuasaan Pemerintah Pusat (Presiden). Bagaima mungkin sistem dan tata kelola suatu pemerintahan ini dapat berjalan dengan baik? Apalabila bapaknya yang menjadi Presiden, sementara anaknya menjadi kepala atau pimpinan Pemerintahan di daerah? Bentukan dan konflik kepentingan tidak bisa dihindari. Saya tidak mempermasalahkan anaknya Jokowi, dalam hal bagaimana upayanya untuk menjadi calon Walikota Solo. Juga soal survei yang dibuat untuk memenangkannya, sebelum diumumkan sebaga calon Walikota Solo. Semua indikator seperti itu adalah hal sangat yang mudah untuk diatur. Yang jadi isu penting adalah sebuah system. Dimana sistem apapun itu, diharapkan bisa berjalan dengan benar. Untuk itu dibutuhkan moral dan etik sangat tinggi. Moral dan etik tingkat dewa. Tanpa moral dan etik, sistem dan tata kelola pemerintahan akan hancur dengan sendirinya, karena besarnya konflik kepentingan. Fakta tentang bentuk dan tata kelola keuasaan yang seperti ini hanya baru terjadi di eranya Jokowi sebagai Presiden. Di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Kutai Timur, ada suami yang menjadi Bupati, sementara istrinya menjadi Ketua DPRD. Bagaimana hasilnya? Ya dua-duanya dicokok sama KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Kini yang terjadi, bapaknya sebagai Presiden, dan anaknya menjadi Walikota. Memang benar KKN masih marak terjadi di era Reformasi. tetapi ini hari ke hari semakin menggila saja. Praktek KKN oleh Dinasti yang Ajimumpung tidak perlu lagi disembunyikan. Perkmbangan terbaru, Jokowi sendiri yang mengumumkan anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi Calon Walikota Solo di Istana Negara. Ini benar-benar gila, sableng dan ndableg. Masa fasiltas negara seperti Istana Negara dipakai untuk urusan dan kepentingan pribadi keluarga Presidan Jokowi? Bukan itu saja. Yang gila memprihatinkan adalah upaya Presiden untuk menyogok Achmad Purnomo yang menjadi calon pesaing terkuat Gibran Rakabuming Raka. Pramono mau disogok dengan jabatan di pemerintahan agar tidak maju sebagai calon Walikota Solo. Semacam barter jabatan (Tribun Kupang 18/07/2020). Purnomo sekarang wakil Walikota Solo dan Ketua DPD PDIP Kota Solo. Pemimpin seharusnya menjadi tauladan. Menjadi contoh yang baik dalam berpolitik. Termasuk untuk meraih kekuasaan. Bukan sebaliknya, kekuasaan didapat dengan menghalalkan segala cara. Termasuk juga melanggar moral dan etika. Apalagi sampai menyogok (barter) untuk pesaing dengan jabatan. Sangat memprihatinkan. Beberapa waktu silam publik dan media massa mencaci maki dinasti politik di keluarga Atut di Banten. Sekarang media massa dan publik terdiam kaku menyaksikan yang terjadi di Solo. Dengan demikian, kita tak perlu lagi diskusi-diskusi. Tutup saja buku-buku, dan gulung poster-poster tentang aksi-aksi yang mengkritisi dinasti politik. Ajimpumpung, KKN dan dinasti sudah menjadi barang yang sah untuk diterapkan di negara ini. Apalagi semua sembunyi dengan sangat rapi di balik alasan bahwa "tidak ada aturan yang melarang". Sehingga moral dan etika hanya ada di dalam buk-buku, kata mereka yang mendukung Gibran Rakabuming. Negara ini dibangun dengan sistem-sistem. Sekarang ini sistem-sistem tersebut, satu persatu hancur, karena rezim penguasa selingkuh atau mendua. Sebelum berkuasa media berteriak lantang menentang politik KKN dan dinasti. Kini setelah berkuasa diam dan mendukung. Rupiah dan iming-iming jabatanlah yang dicari. Tidak perlu paham lagi soal amanat rakyat dan sejenisnya. Jika pemimpin tertinggi negara saja sudah menunjukkan syahwat kekuasaan yang berlebihan, bagaimana dengan para pejabat yang bawahannya? Jika kitab suci bertanya "nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan"? Maka saya bertanya, “sistem negara manalagi yang akan engkau rusakkan? Kini perilaku ajimumpung akan dicontoh di banyak pejabat di daerah. Akan menjadi praktek yang lumrah di berbagai level kekuasaan. Tidak peduli soal kapasitas, kapabilitas, moral, etika, integritas. Sebab dengan uang, semua itu bisa diraih dengan sangat mudah. Jabatan Gubernur bisa diwariskan kepada istri dan anak. Kan rakyat yang milih? Ya, tetapi di kepala kalian sudah ada cara bagaiman agar rakyat memilih mau memilih anak dan istri kalian. Penilis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Future Studies (INFUS)
Ruhnya RUU BPIP Tetap Pancasila 1 Juni 1945
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (18/07). Lagi lagi penyelundupan ide penafsiran Pancasila ala Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang bersemangat dan berpegang pada Pancasila 1 Juni 1945. Pada RUU BPIP pun spirit dan semangat tersebut masih membekas. Meski tak berani terang-terangan.Akan tetapi RUU yang dinilai "asal asalan" namun memliki "hidden agenda" ini, nampaknya tak bisa juga melepaskan diri dari spirit rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Sebab Jika tujuan hanya untuk membuat payung hukum bagi Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), maka sebenarnya tidak harus ditetapkan dalam bentuk "Undang-Undang". BIPI cukup dengan "Perpres" saja. Faktanya status BPIP hanya merupakan badan "pembantu" Presiden. Tidak lain dan tidak bukan. Tidak lebih dari pembantu presiden. Terlalu tinggi untuk diatur dalam sebuah Undang-Undang. Terlalu berlebihan energi bangsa ini hanya dikuras membuat undang-undang sebagai paying hukum untuk BPIP. RUU BPIP yang diajukan Pemerintah dalam Konsideran "Menimbang" menempatkan Pancasila 1 Juni 1945 tetap menjadi sandaran utama menuju ke pembinaan Pancasila. Bahkan ditempatkan "sangat luhur" yakni pada butir a. yang berbunyi : "bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia yang hari lahirnya telah ditetapkan 1 Juni 1945 harus diketahui asal usul oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara" Sangat jelas ada nilai "lestari" dan "langgeng" serta "asal usul" Pancasila, yang tak lain adalah Pancasila 1 Juni 1945 yang harus diamalkan. Inilah penyelundupan pada tahap awal. Lalu lihat format selanjutnya RUU BPIP ini. Masih dalam hal "Menimbang" butir pada b, yang memformulasi narasi perkembangan Pancasila hingga 22 Juni 1945 dan finalnya pada 18 Agustus 1945 berujung pada kalimat : "..dan merupakan satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tersebut di dalam Keputusan Presiden No. 24 tahun 2016 tentang Lahirnya Pancasila". Kita telah mengetahui bahwa fokus dari Kepres di atas tak lain adalah Pancasila 1 Juni 1945. Dengan rumusan Pancasila, yaitu Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, serta Ketuhanan yang Berkebudayaan. Sangat jelas bahwa landasan filosofis dan yuridis dari RUU BPIP tetap Pancasila 1 Juni 1945. Meskipun untuk pengertian Pancasila tidak dapat menghindarkan diri dari rumusan sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. RUU BPIP disebut "asal-asalan" karena singkat sekali hanya VII Bab dan 17 Pasal. Yang betul betul berkaitan dengan BPIP sendiri hanya Bab IV, Bab V dan Bab VI. Sementara Bab VII Penutup dan Bab I tentang Ketentuan Umum. Bab II Asas dan Tujuan. Sedangkan Bab III dapat disebut "out of position" tidak relevan dengan BPIP. Mengingat bahwa RUU BPIP adalah "buntut" dari RUU HIP dan RUU HIP tersebut telah menggoncangkan bangsa dan negara dengan penyelundupan ide komunisme, maka sudah tepat dan layak jika masyarakat tetap keberatan akan keberadaan BPIP dan RUU BPIP nya. Oleh karena itu sangat beralasan pula jika seruan rakyat masih konsisten pada "Bubarkan BPIP" dan "Tolak RUU BPIP". Jika Pemerintah dan DPR masih juga memaksakan, maka patut disimpulkan bahwa "hidden agenda" memang terbukti, dan sedang dijalankan. Rakyat berhak bersikap. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pak Jokowi, Posko Pemenangan Gibran Bikin di Istana Saja
by Asyari Usman Jakarta FNN - Sabtu (18/07). Preseden baru dari Presiden kalian. Mulai hari ini, seorang presiden boleh mengurus pilkada keluarganya di Istana Negara. Jokowi mendobrak taboo penggunaan fasilitas negara untuk membahas ambisi politik anak-menantu. Kemarin, 16 Juli 2020, Presiden Jokowi memanggil calon walikota yang didukung DPC PDIP Solo, Achmad Purnomo, ke Istana Negara. Kepada Purnomo, Jokowi mengatakan bahwa Gibran Rakabuming Raka adalah orang yang direkomendasikan oleh pimpinan PDIP untuk maju menjadi calon pilwalkot Solo. Pasanganya Teguh Prakoso. Beginilah seharus seorang presiden yang mengutamakan kepentingan rakyat. Dan begini inilah teladan yang diperlukan oleh para pemilih Jokowi. Presiden yang inspiratif. Presiden yang mengutamakan keluarga. Jokowi adalah presiden yang efisien. Penggunaan istana untuk urusan politik anak-menantu adalah tindakan yang menghemat waktu dan biaya. Sangat pantas diapresiasi. Istana Negara itu memang harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kepentingan anggota keluarga yang bakal menjadi aset besar bangsa. Gibran adalah aset bangsa. Dia harus diberi peluang untuk menunjukkan bahwa dia adalah aset. Bibit-bibit pemimpin yang hebat dari keluarga Jokowi pantas difasilitasi. Gibran bisa meneruskan kiprah Jokowi. Ini perlu diusahakan oleh pemilih Jokowi. Sebab, sebuah negara yang terus-menerus dalam keadaan kacau yang berkesinambungan adalah proses yang diperlukan untuk menguji kesabaran suatu bangsa. Beruntungkah bangsa Indonesia. Anda, para pemilih Jokowi, memiliki kelestarian sistem pengujian kesabaran itu. Jokowi telah meletakkan dasar yang kuat untuk kontinuitas sistem uji kesabaran. Jadi, para pemilih Jokowi sangat memerlukan kelanjutan kepemimpinan mantan walikota Solo itu. Sekarang, Gibran akan berkesempatan untuk mengikuti jejak Jokowi. Yang juga akan dimulai dari Solo. Jika Gibran berhasil menjadi walikota, beberapa tahun kemudian bisa dibawa oleh PDIP ke Jakarta. Untuk menjadi gubernur DKI. Setelah itu, tentunya dikawal terus untuk dijadikan Presiden Gibran. Sehingga, kehebatan Jokowi memimpin negara ini bisa dilanjutkan anaknya. Pendapat atau aturan bahwa Istana Negara tidak boleh digunakan untuk urusan pilkada keluarga Presiden adalah pendapat dan ketentuan yang sudah usang. Jokowi melakukan terobosan dahsyat. Ini akan berdampak luar biasa. Tindakan yang dilakukan Jokowi adalah salah satu cara untuk menghemat biaya pilkada. Dalam rangka membantu realisasi ambisi anak-anaknya, Jokowi tidak perlu berpergian ke Solo atau ke tempat lain. Tidak usah keluar dari Istana. Semua dilakukan di Istana. Pada saatnya nanti, posko pemenangan Gibran dibikin di Istana saja. Pak Prabowo bisa itu diangkat menjadi ketua tim pemenangan. Soalnya beliau masih ada jugalah pendukungnya di sana-sini. Organ-organ pemerintah di Istana juga bisa dikerahkan untuk membantu Gibran. Tidak masalah. Sebab, ini soal aset bangsa. Pokoknya semua satu atap. Ada baiknya juga pelantikan Girban sudah mulai disiapkan dari sekarang. KPU pasti tahulah itu caranya. Selagi Om Arief Budiman masih di sana, Girban santai saja. Aman itu, Pak[] Penulis adalah Wartawan Senior
Skandal Djoko Tjandra Dan Integritas Penegak Hukum
by Dr. Abdullah Hehamahua Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Gubernur Hong Kong, Sir Murray Mac Lehose tahun 1974, membentuk KPK. Lembaga ini bernama Independent Agency Against Corruption (ICAC). Tugas pertama adalah membersihkan kepolisian dari korupsi. Sebab, waktu itu Jenderal Polisi, Peter Fitzroy Godber memiliki rekening gendut U$ 600.000. Uangnya disimpan di bank Kanada. Dia juga punya asset senilai senilai 4,3 juta dollar Hong Kong. ICAC berhasil menangkapnya. Namun, penangkapan Wakil Kepala Polisi Kowloon itu telah memicu bawahannya menggerebek kantor ICAC. Komisioner ICAC bergeming. ICAC dalam waktu relative singkat menangkap 247 koruptor. Sebanyak 143 orang adalah polisi. ICAC lalu menjadi ‘role model’ proses pemberantasan korupsi di dunia. Pejabat dan pegawai KPK biasa mengunjungi kantor ICAC. Pimpinan ICAC biasa juga bertandang ke kantor KPK. Drama Djoko Tjandra Publik dihebohkan dengan berita Djoko Tjandra. Buronan 11 tahun ini mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Tragisnya, Djoko Tjandra bisa menghadiri sidang PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 8 Juni 2020. Dahsyatnya lagi, Djoko bisa membuat e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Barat pada tanggal 8 Juni pagi. Djoko Tjandra disambut langsung oleh Lurah Grogol Selatan di Kantor Kelurahan. KTP-nya selesai hanya dalam waktu dua jam. Tanggal 23 Juni 2020, Djoko membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Anehnya, Djoko sudah menjadi warga negara Papua Nugini, pada Juni 2009. Namun bisa mendapatkan e-KTP dan diberikan Paspor oleh Imigrasi Jakarta Utara. Bagaimana Djoko yang buron bisa masuk Indonesia tanpa ditangkap ? Apakah hal tersebut disebabkan ketidak-tertiban adminstrasi Imigrasi dan aparat penegak hukum.? Mungkin juga tidak ada kordinasi antar instansi terkait sehingga Djoko bisa leluasa memiliki e-KTP. Datang sendiri ke Pengadilan, dan membuat paspor tanpa ditangkap. Menurut Juru Bicara Ditjen Imigrasi, Arvin Gumilang, Djoko tidak pernah tercatat masuk ke Indonesia. Ada dua kemungkinan. Pertama, Djoko masuk Indonesia tanpa melalui imigrasi. Beliau bisa melalui jalan tikus di perbatasan Papua Nugini dan Papua. Kedua, Djoko masuk Indonesia dengan menggunakan nama lain sehingga tidak terditeksi di Imigrasi. Apalagi, imigrasi sudah menghapus nama Djoko dari daftar pengawasan pada 13 Mei lalu. Alasannya, interpol sudah menghapus status red notice untuk Djoko. Arvin Gumilang menyebut pihak Imigrasi baru menerbitkan status cekal untuk Djoko, 27 Juni lalu. Setelah kejaksaan memasukkan nama buron itu ke Daftar Pencarian Orang (DPO). Kesimpulan pertama, kelalaian Kejaksaan yang membiarkan nama Djoko terhapus dalam senarai DPO. Kemungkinan Ada KKN? Pejabat atau karyawan yang tidak berintegritas? Tanyakan sendiri ke rumput yang bergoyang. Bencana baru menimpa dunia penegakkan hukum Indonesia ketika terpublikasi berita, Djoko Tjandra mendapat surat tugas dari Bareskrim (18 Juni) untuk meninggalkan Jakarta menuju Pontianak. Aneh bin ajaib. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang pengadilan PK bagi seorang boron, 29 Juni 2020. Apakah pejabat Pengadilan tidak tau kalau Djoko seorang buron.? Ada KKN atau pegawai Pengadilan yang tidak berintegritas.? Tanyakan juga ke rumput yang bergoyang. Anehnya lagi, Jaksa Agung mendapat informasi kalau Djoko Tjandra sudah berada di Jakarta selama tigabulan. Lagi-lagi masalah integritas aparat penegak hukum menjadi taruhan. Terbayang kenangan, bagaimana SOP, Kode Etik, dan Peraturan Kegawaian KPK menjadi “malaikat” pengawas dalam balutan integritas setiap insan yang bekerja di KPK. Tangkap Jenderal Polisi Pertama kali mengikuti Rapim KPK (Maret 2005), saya mengusulkan agar ditangkap beberapa jenderal polisi, baik yang di Mabes maupun Polda. Sebab, KPK Hong Kong memulai debutnya dengan menangkap Jenderal Polisi Hongkong. Namun, sanggah seorang komisioner, “Jaksa Hong Kong relative baik, dan hakimnya diimpor dari Inggeris. Indonesia, ketiga lembaga tersebut bermasalah sehingga tidak bisa meniru pola KPK Hong Kong,” katanya. Saya terdiam. Kalau begitu, gaji kepolisian dinaikkan minimal 100%. Sebab, salah satu penyebab korupsi di kalangan PNS, termasuk instansi penegak hukum adalah gaji yang sangat rendah. Candaan saya ketika menjadi narasumber di Bimtek DPRD dan Kementerian tertentu: “PNS yang jujur akan mengalami ‘kematian’ tiga kali dalam sebulan. Sebab, gaji PNS hanya cukup untuk 10 hari.” (SBY setiap tahun menaikan gaji PNS secara gradual sebagai respons atas rekomendasi KPK). Kemenkeu dalam merespons sikap KPK menyatakan, keuangan negara tidak mampu untuk menaikan gaji kepolisian sebesar 100 persen. Sebab, jumlah mereka relative banyak. Hal yang sama juga berlaku terhadap Kejaksaan. Akhirnya, kebijakan Komisioner KPK (jilid 1), peningkatan gaji PNS dimulai dari para Hakim. Filosofinya, jika bola kejahatan dapat menembus pertahanan kepolisian dan kejaksaan, maka Hakim sebagai penjaga gawang keadilan terakhir, dapat menangkapnya. Apalagi, jumlah Hakim dan Panitera relative kecil sehingga bisa ditanggulangi APBN. KPK pun menetapkan tiga instansi sebagai pilot project: Kemenkeu, MA, dan BPK. Filosofinya, jika bendahara negara kelaparan, uang rakyat dapat dicuri. BPK sebagai eksternal auditor perlu diamankan ‘perut’ mereka. Sehingga bisa independen dalam mengaudit keuangan negara. KPK berdasarkan strategi itu memasuki kompleks MA (2005) melalui kasus Probosutejo. KPK lalu membantu membenahi manajemen MA. Hasilnya, kasus-kasus kasasi yang bertahun-tahun numpuk di meja Hakim Agung, dalam waktu relative singkat, dapat diselesaikan. Bahkan, putusan Pengadilan dapat dipantau di Web MA dalam waktu relative singkat. Sayang, ketika KPK jilid dua, Lembaga ini diobok-obok oleh kasus cicak-buaya, sehingga kelanjutan reformasi birokrasi di Kementerian dan Lembaga, termasuk MA, terabaikan. Wajar, muncul kembali kasus-kasus korupsi yang melibatkan apparat penegak hukum. Kasus terakhir, mantan Sekretaris MA yang ditangkap KPK. Integritas dan Keteladanan Hilang Gus Dur pernah bilang, di kepolisian hanya ada dua orang jujur. Jenderal Hoegeng dan polisi tidur. Candaan Gus Dur tersebut, berlebihan. Sebab, selama delapan tahun di KPK, saya temukan banyak anggota polisi yang hebat-hebat. Apakah mereka adalah anggota polisi terbaik yang direkomendasikan untuk berkiprah di KPK.? Bisa iya, dapat juga tidak. Saya mau berkongsi tentang beberapa anggota polisi yang “hebat” itu. Novel Baswedan dan beberapa Penyidik memasuki ruang kerja saya ketika terjadi kasus cicak-buaya (2007). “Bapak harus pertahankan KPK agar tidak sampai dibubarkan,”. Itu pernyataan Novel yang saya masih ingat. Mengapa? tanya saya. Kalau kami, ‘nothing to lose’, katanya. “Tapi, kami tidak mau jadi orang jahat lagi,” tambahnya. Mereka Tegas! Saya juga terkejut ! Setelah mereka meninggalkan ruanganku. Lalu saya merenung. Penyidik KPK berasal dari Kepolisian yang Mabesnya hanya beberapa kilometer dari Kuningan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung yang kantornya juga hampir sama jaraknya dari KPK. Kedua instansi tersebut dianggap bermasalah oleh masyarakat. Hal tersebut juga merupakan alasan, mengapa dibentuk KPK. Saya pun teringat akan tingkah-laku kedua adik ipar saya yang juga anggota polisi. Namun, Penyidik dan JPU yang di KPK, setidaknya pada edisi satu dan dua, hebat-hebat. Mengapa mereka hebat? Penyebabnya, sistem yang diterapkan di KPK berbeda dengan di instansi lain. Di KPK, SOP, Kode Etik, dan Peraturan Kepegawaian dilaksanakan tanpa toleransi. ‘Zero tolerance’. Itulah integritas mereka. Mereka para Penyidik dan JPU ini ketika kembali ke instansi asal, dimana sistem di sana, belum berubah, maka mereka akan kembali lagi ke tradisi lama. Saya lalu paham, apa yang dimaksud dengan pernyataan Novel tadi. Sejak itu, di pelbagai kesempatan, saya selalu sosialisasikan konsep Reformasi Birokrasi yang digaungkan oleh KPK sejak 2005. Saya ketika di ILC, sering dihubungi salah seorang Penyidik KPK. Beliau biasa menyampaikan informasi tentang alasan, bukti, dan dasar hukum, mengapa KPK melakukan begini dan begitu. Poinnya, beliau betul-betul memertahankan nama baik KPK ketika dihajar dari kanan dan kiri panggung pemberantasan korupsi. Seorang anggota polisi yang bertugas di Pengawasan Internal (PI), selantai dengan saya, tidak pernah absen shalat berjamaah. “Pak Abdullah,” sapanya pada suatu kesempatan di mushallah lantai enam. “Seumur hidup, baru di KPK, saya shalat berjamaah empat kali sehari.” Teringat, yang usul agar pengajian ba’da shalat dzuhur, dari dua kali menjadi tiga kali sepekan adalah pegawai dari Kepolisian dan Kejaksaan. Beberapa bulan setelah usul tersebut dilaksanakan, mereka usul agar “di setiap lantai, ba’da shalat ashar, kita baca kitab.” Saya terharu mendengar usul tersebut. Mulailah di lantai enam, setiap ba’da sahalat ashar berjamaah, saya membaca satu dua hadits dari Bhulughul Maraam. Tamat, saya teruskan dengan Nailul Authar. Kedua kitab ini diprioritaskan karena berhubungan dengan hukum. Terakhir, sebelum pensiun, saya membaca Riyadush Shalihin. Sewaktu sudah purna bakti, dan ada cara di KPK, saya diajak shalat ashar berjamaah di mushalla yang sama, lantai enam. Ternyata, tradisi yang saya tinggalkan, masih berlanjut. Mereka membaca kitab Sirah Nabi Muhammad. KPK sudah berumur enam belas tahun. Puluhan alumninya yang sudah kembali ke Kepolisian dan Kejaksaan. Mengapa masih ada kasus di Bareskrim seperti itu? Jawabannya, reformasi birokrasi belum berjalan dan keteladanan pimpinan yang hilang. Semuanya bermuara dari integritas. Apakah ada hubungan di antara Brigjen PU, pembuatan e-KTP, paspor, PK di PN Jaksel, dan pertemuan Presiden dengan adiknya Djoko Tjandra di Papua Nugini? Biarlah ssaja Kompolnas yang mengusutnya. Semoga Penulis adalah Mantan Penasehat KPK
Pemerintahan Kok Seperti Preman?
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Rakyat bereaksi terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Rakyat, khususnya umat Islam menilai RUU HIP berbau Komunis, dan membuka peluang bangkitnya neo PKI. Sikap Pemerintah maupun DPR ditunggu masyarakat. Apakah DPR yang akan mencabut RUU HIP melalui rapat Paripurna Dewan? Atau Pemerintah yang menyatakan tidak akan melakukan pembahasan? Masyarakat masih berunjuk rasa di depan Gedung DPR. Masyarakat masih menunggu. Alih-alih mengambil keputusan tentang RUU HIP. Malah seenaknya Pemerintah mengajukan RUU baru yang diberi nama RUU BPIP. Empat Menteri menyerahkan naskahnya kepada Ketua DPR Puan Maharani. Mereka adalah Menkopolhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, Mendagri Tito Karnavian, dan Menhan Prabowo Subianto. Penyampaian RUU BPIP dengan begitu saja, jelas merupakan pelecehan kepada rakyat oleh Pemerintah. Bahkan melecehkan DPR RI juga. RUU inisiatif Dewan belum tersikapi secara resmi. Namun usulan baru dari Pemerintah sudah masuk. Pembuldozeran halus. Lucunya Dewan melalui Ketua DPR Puan Maharani sangat bahagia. Anggap remeh aspirasi rakyat, khususnya umat Islam. Padahal sekurangnya ada empat hal yang menunjukkan adanya kesewenang-wenangan dan pengabaian hokum. Pertama, status RUU HIP harus terlebih dahulu jelas. Harus memiliki kepastian hokum. Mau diapakan kelanjutannya? Pemerintah menyatakan masih "menunda" dan DPR masih "menunggu". Ujungnya dibiarkan "mengambang". Penyelenggaraan negara model apa seperti ini? Kedua, RUU BPIP sebagai ajuan Pemerintah adalah RUU baru. Yang semestinya harus masuk dahulu dalam Prolegnas yang disepakati bersama untuk pembahasan yang terjadwal. Tidak boleh "menyalip" RUU yang sudah terlebih dahulu "antri". Ini adalah contoh buruk budaya "main labrak". Pemerintahan ko seperti preman? Ketiga, mengapa mesti empat Menteri mengantar RUU BPIP ini? Secara prosedural cukup diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM saja. Pola "unjuk kekuatan" atau "unjuk kekuasaan" dengan mengutus empat Menteri menggambarkan situasi "disorder" atau "tidak normal". Keempat, RUU BPIP tetap kontroversial. Sebab membalikkan prinsip hukum yang benar. Ironi sebuah Undang-Undang dibuat untuk mengatur "wadah" yang lebih dahulu ada. Semestinya Undang-Undang dahulu baru dibuat wadah untuk melaksanakan Undang Undang itu. Ada "pemaksaan" dan dipastikan berkonten "tidak aspiratif". Keberadaan BPIP masih dipertanyakan urgensinya. Desakan agar BPIP dibubarkan juga cukup keras terdengar. BPIP bukanlah kebutuhan "pokok" bagi rakyat saat ini. Lebih pada pemenuhan hasrat penguasa sendiri dan dapat menjadi "mainan ideologi" dalam menafsirkan Pancasila sesuai dengan kemauan Pemerintah. Harusnya Pemerintah dan DPR "colling down" dulu. Apalagi berkaitan dengan RUU HIP yang berbau komunisme tersebut. Sangat kuat tuntutan untuk melakukan pengusutan dugaan adanya penyusup "makar ideologis" pada RUU HIP. Lakukan segera proses politik dan hukum terhadap oknum yang "menunggangi" situasi ini. Pemerintahan Preman adalah Pemerintah yang abai pada prinsip-prinsip Pemerintahan yang baik. Pemerintah yang menganggap enteng aspirasi rakyat. Pemerintah yang mengacak -acak wibawa wakil rakyat. Pemerintah yang memerintah dengan kekuatan alat pemaksa. Memperalat ideologi, serta memanipulasi hukum. BPIP dan RUU BPIP adalah wujud pemaksaan dan keburukan dari rezim yang "false governance", "false public policy" dan "false authority". Itulah rezim Jokowi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.