OPINI
Tragedi Kelam Bawaslu 21-22 Mei Jangan Dilupakan
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (25/09). Saat kita mengingat tragedi berdarah September 1965 akibat aksi percobaan kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi "habitat" penumpahan darahnya. PKI yang ingin menggantikan ideologi negara Pancasila dengan ideologi Komunis. Maka petumpahan darah menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari oleh PKI. Namun dalam masa Pemerintahan Jokowi, kita ingat juga akan ingat pada tragedi penumpahan darah dari sebuah peristiwa unjuk rasa. Melengkapi fenomena kematian 989 orang penyelegara Pemilu 2019 yang biasa disebut Petugas Pemungutan Suara (PPS). Banyaknya juga sangat spektakuler, dan sampai sekarang tak terungkap penyebab dan jumlahnya. X Files. Peristiwa itu adalah demonstrasi penolakan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jalan M.H Thamrin pada tanggal 21 dan 22 Mei 2019. Sekurangnya 8 orang tewas dengan sebagian besar tubuhnya diterjang peluru tajam "penembak misterius". Sebagian besar diantaranya adalah anak-anak yang masih remaja. Penyiksaan dan pengeroyokan sadis oleh aparat terjadi kepolisian. Akibatnya 10 orang anggota polisi diperiksa akibat kerusuhan. Namun hanya dikenai sanksi hukum pelanggaran disiplin. Para pegiat kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengindikasi telah terjadinya pelanggaran HAM) berat pada peristiwa yang sangat tragis dan memilukan di ero demokrasi ini. Penyebabnya adalah pengunjuk rasa kecewa atas kecurangan Pilpres yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Oleh karenanya aksi dilakukan di depan Bawaslu. Atas sejulah pelanggaran HAM tersebut, masyarakat sivil society dan pegiat HAM menuntut pembentukan tim independen "fact finding". Namun tersebut tidak dipenuhi oleh Kapolri Muhammad Tito Karnavian. Kapolri Tito Karniawan hanya membentuk tim dari internal dari Polri. Tim internal Polri tersebut dipimpin Irwasum Polri yang ketika itu dijabat oleh Komjen Polisi Moegiharto. Padahal tindakan brutal Brimob Polri dipicu oleh adanya "kelompok preman" yang hingga kini tidak jelas buatan siapa. Tuduhan terarah pada pihak ketiga atau Polisi sendiri. Dipanggung orasi muncul tokoh-tokohseperti Amien Rais, Kivlan Zen, Eggi Sudjana, Neno Warisman dan lainnya. Mereka mengungkap ketidak adilan dan kecurangan nyata pada Pilpres 2019. Anehnya, Prabowo yang menjadi figur yang dibela oleh pendukung tidak muncul di Panggung. Padahal sebelumnya Prabowo dengan tegas menyatakan, “akan timbul dan tengelam bersama rakyat”. Selain itu, sepulang dari Hotel Sahid, Prabowo dikabarkan telah membuat surat wasiat. Isinya, kalau-kalau sesuatu akan terjadi dengan Prabowo, maka wasiat telah dibuat kepada ahli waris. Belakangan Prabowo justru mengambil langkah mengecewakan dengan bersedia menjadi Menterinya Jokowi, Presiden yang justru dituduh memenangkan pemilihan dengan cara curang. Keberadaan kelompok preman misterius dan tindakan brutal aparat yang mengakibatkan tewasnya pengunjuk rasa hingga kini dinilai belum tuntas. Menjadi tabungan kasus dari Pemerintahan Jokowi. Alih-alih Kapolri atau Kapolda Metro Jaya saat itu yang diperiksa atau bertanggungjawab, justru "lawan-lawan politik" yang kemudian menjadi pesakitan seperti Kivlan Zen, Eggi Sujana hingga mantan Danjen Kopassus Soenarko. Himbauan agar pada tanggal 30 September masyarakat mengibarkan bendera setengah tiang adalah pengingat atas sejarah kelam bangsa ini. Namun kitapun tidak boleh melupakan sejarah kelam Pemerintahan Jokowi 21-22 Mei yang menyebabkan melayangnya nyawa orang-orang tak berdosa. Nyawa para remaja yang menjadi harapan keluarga dan bangsa. Semua terjadi akibat ulah cara kerja aparat yang tak berbeda dengan gaya PKI di masa lalu. Untuk itu, pelanggaran HAM berat harus diusut tuntas sekarang atau nanti. Jejak kaki berdarah tak boleh menguap tanpa bekas. PKI dan gaya bertindaknya tetap hidup dalam cara pandang pejuang ideologi yang abai atas nilai moral dan agama. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Presiden Jokowi Tidak Kompeten Mengurus Hukum
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”. Inilah lafal sumpah Presidenyang diatur secara tegas dalam pasal 9 UUD 1945. ** Jakarta FNN - Kamis (24/09). Demokrasi boleh saja diagung-agungkan sebagai temuan kemanusiaan paling manakjubkan. Itu boleh-boleh saja. Tidak salah, tetapi cara pandang itu, juga terlalu jelas untuk menyembunyikan kelemahan sangat fatal yang terkandung dalam demokrasi. Demokrasi itu tak memiliki bentuk defenitif. Disebabkan demokrasi tak memiliki bentuk devenitif. Maka, pengembangannya, pengisian dan penggunaannya dapat dilakukan secara serampangan. Tetapi, dan inilah hebatnya. Sekalipun begitu, kaum aristokrat, kaum oligarkis yang menemukan demokrasi itu, cermat dan sistimatis dalam merencanakannya. Itulah mereka. Demokrasi memang mengenal etika. Kekuatannya luar biasa besar. Sama besarnya dengan kelemahannya. Hebatnya demokrasi juga mengenal dinamika. Dinamika tidak pernah lain selain fleksibel. Itu sebabnya demokrasi memiliki kemampuan mengentengkan berbagai persoalan berat. Soal berat itu datang silih berganti, tetapi selalu hanya menjadi bahan cerita yang asyik diwaktu senggang. Demokrasi Alatnya Korporasi Menariknya dengan agak naïf, para filsuf hendak menjinakan demokrasi dengan hukum. Itu yang dikenal dengan nomokrasi. Hukum diketengahkan, dalam makna diandalkan sebagai instrumen menjinakan watak membinasakan yang inheren dalam demokrasi. Para perencana demokrasi, yang tidak pernah lain adalah kaum oristokrat, termasuk korporasi, selalu memiliki cara membuat rakyat tak berdaya dalam semua aspek. Demokrasi berhasil dengan gemilang menjadikan korporasi yang selalu berwatak otokrat, sebagai subyek hukum. Sama dengan manusia. Dimanapun dinegeri-negeri yang melembagakan sistem pemerintahan presidensial, presiden ditakdirkan sebagai pelaksana hukum. Itu aksioma sistem presidernsial. Persis demokrasi, dimanapun di semua negeri demokrasi, hukum tak pernah tak punya lubang hitam. Hukum dan konstitusi sekelas UUD sekalipun memiliki kelemahan. Ini aksioma hukum. Presiden bisa bertindak berbeda untuk kasus yang sama. Demokrasi memungkinkan tindakan-tindakan Presiden tersebut. Itu jadinya normal-normal saja. Konstitusi Amerika misalnya, tidak mengatur kewenangan Presiden membentuk Bank Sentral, yang biasa mereka sebut dengan The Federal Reserve,atau The Fed. Itu kenyataan kelemahan konstitusi. Lalu bagimana cara untuk menutupnya? Alexander Hamilton, menteri pro bank ini, muncul dengan argumen presiden memiliki Implied Power. Dapat membentuknya. Tetapi pada waktu lain, Andrew Jackson, yang mengikuti pandangan Thomas Jefferson, dan menolak Bank National, juga menolak untuk melanjutkan eksistensi Bank National yang telah diperpanjang untuk kedua kalinya pada tahun 1816. Bagi kedua orang ini bank dengan kewenangan meminjamkan uang kepada pemerintah dan rakyat justru mengalihkan kedaulatan dari rakyat ke pemilik uang. Para pemilik uang akan muncul sebagai pendefenisi real demokrasi. Rakyat akan tertindas oleh sepak terjang mereka. Itulah yang diyakini oleh Thomas Jefferson. Pikiran itulah yang diamini oleh Andrew Jackson. Pikiran ini juga diikuti oleh William Howard Taft, Presiden Amerika 1908-1912. Begitu Taft kalah dalam pemilu dan digantikan oleh Wodroow Wilson, professor Princeton University, dan mantan gubernur New Jersy ini, justru menandatangani The Federal Reserve Act 1913. Nama The Federal Rserve dipakai untuk mengelabui masyarakat yang tidak menyukai nama Bank Sentral. Lain Presiden, lain tindakannya. Presiden Eishenhower pada tanggal 2 September 1957 mengirimkan National Guard ke Arkansas. Tindakan itu dimaksudkan untuk mendisiplinkan sikap Osval Faubus. Gubernur Arkansas ini membangkang terhadap putusan Mahkamah Agung yang diputus tahun 1954. Putusan ini tegas menyatakan segregasi atau pemisahan kulit putih dan hitam di sekolah-sekolah di Litle Rock Arkansas inkonstitusional. Putusan ini memaksa Osval Faubus mengintegrasikan kulit putih dan hitam ke dalam sekolah. Eishenhower bersikap tegas, kendati Vaubus telah menemuinya, untuk mencegah pengerahan pasukan National Guard. Dalam kasus lain, yang menggambarkan sikap dan respon politisi sebagai penentu lurus atau benkoknya hukum terjadi dalam soal pengisian jabatan hakim agung di Amerika Serikat. Mitch McConnel, pimpinan Senator dari Republik misalnya, habis-habisan menentang rencana Presiden Obama mengisi kursi hakim Agung kosong yang ditinggal oleh Antonio Scalia. Scalia mengingal dunia pada tanggal 13 Februari 2016 pada usia 79 tahun. Argumen McConeel dalam menolak kebijakan Presiden Obama, karena masa jabatan Obama segera berakhir. Karena waktu yang tersisa pendek, maka Presiden Obama tidak bisa menggunakan kewenangannya lagi. Menurutnya, biarkan Presiden baru nanti yang mengisinya. Tetapi ketika presiden dipegang oleh partai republic, McConnel berubah sikap. Dalam kasus Ruth Bader Ginsburg, yang meninggal dunia pada tanggal tanggal 18 September 2020, pada usia 87 tahun, McConnel akan mengelar sidang senat yang republic menjadi mayoritas, memberi persetujuan bila Presiden Trump mengajukan calon hakim agung, menggantikan Ginsburg. Risiko Terima Nasib Begitulah demokrasi yang dipandu oleh hukum bekerja secara empiris. Selalu dalam setiap kesempatan nomokrasi bekerja secara antagonistik. Keadaan yang sama ditangani dengan cara yang satu dan lainnya saling bertolak belakang. Bertekad membereskan kebobrokan hukum pada satu kesempatan. Namun pada kesempatan lain menyatakan sebaliknya. Itu tidak aneh dalam nomokrasi. Mendendangkan kesetaraan status dalam kerja konstitusi, tetapi orang kulit hitam di Amerika tetap terdiskriminasi. Itu nomokrasi namanya. Buruknya penegakan hukum di Indonesia diakui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, juga merupakan refleksi praktis nomokrasi itu. Profesor Mahfud mengatakan penegakan hukum di Indonesia terkesan jelek di mata masyarakat. Menko Mahfud ini menyebut banyak warga menganggap akan diperas hingga ditangkap oleh penegak hukum dalam suatu perkara. Dalam kata-katanya yang decisive Pak Menko menyatakan “saya, tidak bisa melakukan apa-apa, presiden tak bisa melakukan apa-apa, karena semua punya batasan kewenangan”. Karena itu perlunya pembinaan dan moralitas," kata Profesor Mahfud melalui rilis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (17/9/2020). Ya wassalam. Presiden tidak bisa apa-apa terhadap buruknya hukum. Mau apalagi. Pahami saja penegakan hukum yang buruk itu. Pahami saja kenyataan Presiden responsif terhadap kasus yang menimpa Syekh Ali Jaber, tetapi tidak memberi instruksi terukur dalam kasus Tjoko Tjandra. Harus diakui demokrasi dan hukum tidak mengurung Presiden dengan kewajiban mengekspresikan responnya secara terbuka terhadap sebuah kasus. Jelas itu. Itu sebabnya bila diam-diam Presiden memberi respon, yang bersifat instruktif kepada Jaksa Agung dalam menangani kasus Tjoko Tjandra itu, termasuk kebakaran gedung Kejaksaan Agung, jelas dapat dimengerti. Tetapi bilapun tidak, itupun dapat dimengerti. Jaksa Agung harus dianggap tahu apa yang harus dilakukan untuk kasus yang bertali-temali eksplosive itu. Jaksa Agung harus dianggap tahu penegakan hukum. Tidak boleh dipandu dengan persepsi. Jaksa Agung harus dianggap tahu juga bahwa faktalah yang menentukan hukum. Bukan hukum menentukan fakta. Pembaca FNN yang budiman. Kalaupun keadaan ini dianggap menyedihkan dan menyakitkan, ya sudah berharap saja pada Allah Subhanahu Wata’ala untuk memperbaikinya. Mau bagaimana lagi. Pemerintah telah cukup jujur mengatakan tak punya kompetensi membenahinya. Menaruh sumpahnya dimeja Presiden, memintanya memenuhi sumpah itu, sangat tidak lagi masuk akal. Menyodorkan konsep konstitusi tentang jangkaun kewajiban dan Presiden, juga tak ada gunanya. Presiden melalalui Menko Polhukam Mahfud menyatakan “tidak bisa berbuat apa-apa”. Lantas siapa yang harus pimpin penegakan hukum di negeri ini? Pungut dan jadikan saja kenyataan itu sebagai basis konsep baru. Baik dalam lapangan ilmu tata negara maupun ilmu politik tentang jangkauan kewenangan Presiden. Cara itu yang akan menghadirkan perspektif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan politik dan tata negara Indonesia. Jangan aneh-aneh. Hukum yang buruk, memungkinkan siapa saja diterkam dengan cara yang buruk pula. Industri hukum mungkin akan maju pesat. Itu risiko lain. Namun satu hal, rakyat harus membiasakan diri hidup dengan hukum yang buruk itu. Tentu saja berdampingan dengan corona. Inilah risiko yang harus diterima dari pemerintah yang tidak punya kompetensi untuk membereskan hukum yang terkesan jelek, buruk dan sejenisnya. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Gubernur Khofifah “Dijebak” Luhut Pandjaitan?
by Mochamad Toha Surabaya FNN- Kamis (24/09). Editorial Koran Tempo berjudul “Utak-atik Kematian Covid” (21 September 2020), mencibir Pemerintah yang berencana mengubah data kasus kematian Covid-19 menjadi 2 kelompok kematian dengan Covid-19 yang disertai komorbid dan kematian karena Covid-19. Koran Tempo menyebut, pandemi tampaknya melahirkan orang-orang yang “kreatif”. Setelah Kementerian Pertanian mempromosikan kalung anti Covid-19, seseorang yang bernama Hadi Pranoto mengklaim berhasil menciptakan obat antivirus corona. Kini, pemerintah berupaya menurunkan angka kematian akibat Covid-19 lewat “jalan pintas”. Caranya bukan dengan menekan tingkat penularan atau menggenjot angka kesembuhan, tapi mengubah definisi kematian. Pemerintah berencana membuat 2 kategori: kematian karena Covid-19 dan kematian dengan Covid-19 yang disertai komorbid alias penyakit bawaan. Usul membuat kategori seperti itu datang dari Provinsi Jawa Timur. Gubernur Khofifah Indar Parawansa mengirim surat kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto agar klasifikasi pelaporan kasus kematian ditinjau ulang. Dari 2.922 kasus kematian di Jatim, sebanyak 91,1 persen meninggal disertai komorbid. Bila definisi kematian berubah angka kematian karena Covid-19 di Jatim bakal turun drastis. Perubahan definisi itu otomatis akan menekan angka kematian Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia. Pasien yang meninggal setelah terjangkit virus corona, tapi memiliki penyakit asal seperti ganggunan jantung atau asma, akan dipisahkan dari kasus kematian akibat Covid-19. Bila sudah begitu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tak perlu bersusah-payah lagi menurunkan angka kematian di 9 provinsi. Belum lama ini, Presiden Jokowi memang menugasi Luhut untuk menekan angka kematian di daerah merah – termasuk Jatim – dalam dua pekan. Tanpa “mengolah” definisi kematian, target Jokowi itu jelas sangat muskil. Utak-atik angka kematian sejatinya bukan pertama kali terjadi. Hingga pertengahan Juli lalu, Kemenkes tak mau memasukkan pasien yang meninggal dengan gejala Covid-19, tapi belum terkonfirmasi oleh hasil tes laboratorium, ke dalam kurva kematian akibat corona. Padahal, 3 bulan sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukkan kasus berstatus probable itu dalam angka kematian Covid-19. Artinya, kematian dengan Covid-19 yang disertai komorbid itu tetap dimasukkan dalam angka kematian Covid-19. Koran Tempo mengingatkan, sia-sia saja mengutak-atik definisi kematian bila tujuannya untuk menutupi kegagalan mengendalikan wabah. Indonesia bukanlah sebuah koloni di dalam gua tertutup. Upaya menekan tingkat fatalitas dengan cara itu hanya akan menjadi bahan olok-olok dunia. Lebih berbahaya lagi, manipulasi data kematian iitu bisa menurunkan kewaspadaan dalam memerangi pandemi. Tanpa “diskon” angka kematian pun, kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan sangat rendah. Akurasi data kematian semestinya menjadi pegangan pemerintah dalam memotong mata rantai penularan Covid-19. Sekaligus membangun sistem kesehatan publik jangka panjang. Kalau tujuannya memang ingin menghibur diri atau meninabobokan banyak orang, kenapa pemerintah tidak sekalian membuat kategori kematian karena “sudah ajal” saja? Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan dr Achmad Yurianto, redefinisi kematian COVID-19 masih dalam pembahasan rapat internal. “Bukan saya yang mengubah, saya masih koordinasi ke staf ahli menteri dan staf khusus menteri, saat ini masih berproses, apakah perlu diubah atau tidak,” kata dia saat dihubungi IDN Times, Selasa (22/9/2020). Redefinisi kematian COVID-19 muncul saat Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Kesehatan Kementerian Kesehatan M. Subuh menghadiri rapat koordinasi bersama Gubernur Khofifah di Jatim pada Kamis, 17 September 2020. Menurut Subuh, kehadirannya untuk melaksanakan pesan dari Menkes berdasarkan Instruksi Presiden untuk membantu penurunan angka penularan, kematian, dan meningkatkan angka kesembuhan di wilayah Jatim dalam waktu dua pekan ke depan. “Kita harus berusaha dalam dua minggu ke depan terjadi penurunan angka penularan, peningkatan angka kesembuhan, penurunan angka kematian di 9 provinsi, termasuk wilayah Jatim,” ungkap Subuh dilansir laman Kemkes.go.id. Subuh menyebutkan ketiga poin tersebut (penurunan angka penularan, peningkatan angka kesembuhan, penurunan angka kematian) bisa ditekan, khususnya penurunan untuk angka kematian. “Penurunan angka kematian harus kita intervensi dengan membuat definisi operasional dengan benar, meninggal karena Covid-19 atau karena adanya penyakit penyerta sesuai dengan panduan dari WHO, dan juga dukungan BPJS Kesehatan dalam pengajuan klaim biaya kematian pasien disertai Covid-19,'” kata Subuh. Menanggapi hal tersebut, Gubernur Khofifah akan segera mengkoordinasikan dengan tim Covid-19 wilayah Jatim agar tiga poin tersebut tercapai. “Dengan adanya klasifikasi diharapkan adanya pendataan yang benar dan sinkronisasi data yang aktual antara pusat dan daerah, baik data kematian pasien yang memang disebabkan oleh Covid-19 dan kasus kematian karena Covid-19,” kata Khofifah. Tingkat kematian akibat infeksi virus SARS CoV-2 di Jatim secara persentase itu tinggi. Data terbaru Satgas Penanganan Covid-19, sebanyak 2.990 orang meninggal dunia (7,28%) dari total terkonfirmasi positif 41.076 kasus. Sebanyak 33.575 dinyatakan sembuh (81,74%). Merujuk data tersebut, Koordinator Rumpun Kuratif Penanganan COVID-19 Jatim dr. Joni Wahyuhadi mengakui pihaknya mengirimkan usulan kepada Kemenkes. Sebab, perlu adanya pelurusan mengenai pemberian status kematian akibat virus corona. Harusnya, ada pembedaan klasifikasi meninggal dunia seperti standar WHO. Yang mana meninggal murni Covid-19 dan meninggal akibat komorbid disertai virus corona. “Usulan kami kalau melihat di pengisian sistem online Kementerian Kesehatan,” ujar Joni. “Jjadi, angka kasus bukan berdasarkan rantai kasus sesuai WHO. Namun, kriteria saat Covid-19 pasien meninggal ini dicap negatif, probable, dan confirm,” ungkapnya saat di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin, 21 September 2020. Sementara, pedoman WHO yang ditunjukkan Joni, dokter sejak awal mencatat penyebab pasien terinfeksi mulai dia kontak erat atau masuk kategori suspect. Kemudian, harus dipastikan apakah ada penyakit penyerta atau tidak yang harus diisi, lalu dipantau terus apakah ada pneumonia atau tidak yang ini menjadi indikator penentuan pasien yang dinyatakan meninggal dunia. “Definisi kematian, kematian karena Covid-19 untuk tujuan pengawasan sebagai kematian yang kompatibel secara klinis dalam kasus Covid-19 yang suspect atau probable,” katanya. “Jadi, suspect itu gak boleh disebut kematian karena Covid-19. Ini bukan di-covid-kan. Sebab, suspect belum ada pemeriksaan labnya. Klinisnya, ada toraks fotonya, ada riwayat kontaknya, ada gejalanya,” lanjut Joni. “Kecuali ada penyebab kematian alternatif yang jelas, yang tidak dapat dikaitkan dengan Covid-19. Jadi, suspect maupun terkonfirmasi menyebabkan gagal napas itu Covid-19,” jelas Joni. Dirut RSUD dr Soetomo ini mencontohkan pasien yang meninggal dunia terdeteksi positif Covid-19, tapi tidak seharusnya tercatat meninggal akibat corona. Yakni, pasien yang mengalami kecelakaan. Saat akan dirawat diwajibkan tes swab. Ternyata hasilnya positif. Tak lama setelah itu, pasien meninggal dunia. “Harusnya bukan (masuk kematian akibat) Covid-19. Kematian Covid-19 (harusnya) tidak dikaitkan dengan hal lain. Misal kanker kronis mati kena Covid-19, ini bukan (meninggal karena) Covid-19. Tapi, karena kanker. Ini harus dihitung secara independen yang diduga memicu perjalanan Covid-19,” kata Joni. Kewenangan untuk menghitung itu, kata dia, menjadi kewajiban dokter di rumah sakit yang menangani pasien. Menurutnya, harus dibedakan ada pasien positif virus corona yang meninggal karena komorbidnya. Ada pula yang meninggal karena Covid-19. Berdasarkan data di Jatim, pasien meninggal dunia yang memiliki komorbid atau penyakit penyerta sebesar 91,9 persen. Mayoritas penyakit penyertanya adalah diabetes. Sedangkan yang meninggal murni karena Covid-19 hanya 8,1 persen. Contoh Kasus Usulan Gubernur Khofifah itu dikritisi Arie Karimah Muhammad, Pharma-Excelent Alumni ITB. “Buat yang mau otak-atik angka kematian, coba jawab dulu pertanyaan aye ini,” tulis Arie Karimah dei akun FB-nya. Jika seorang penderita diabetes terinfeksi Covid dan meninggal: Piye Carane menentukan kematiannya itu akibat diabetes atau Covid? Kriteria apa yang digunakan? Kadar gula darah puasanya? Atau viral load-nya? “Atau dilihat mana yang berhenti duluan: jantung atau paru-parunya? Atau: apa?” tulisnya. Kalau diputuskan kematiannya akibat diabetes (biar angka kematian Covid terlihat rendah): jenazah tetap diurus dan dimakamkan dengan protap Covid? Di pemakaman khusus Covid? Nanti kalau wartawan ngecek akan banyak selisih atuh antara angka kematian akibat Covid di RS dengan jumlah makam di pemakaman khusus? Njur piye? Beda kalau semua jenazah dikremasi: tidak bisa di-cross check. Ya tho? “Ingat lho, media asing seperti Reuters itu punya direct access ke sumber data. Mereka pasti melakukan cross checking jika datanya aneh. Testing number wae belum becussss,” ungkap Arie Karimah. Belum lagi masalah administrasi di RS apa nggak ruwet: meninggal bukan karena Covid tapi pemulasarannya dengan protap Covid. SOP-nya apa nggak ruwet itu? “Kalau ada audit ISO piye carane manipulasi data?” lanjutnya. “Kalau mau klaim biaya ke pemerintah juga gimana? Ada double SOP gitu? Khofifah, bisa jawab kagak?” sindir Arie Karimah. “Senengane kok akal-akalan. Gimana kalau kutanya: Penderita penyakit kronis itu kalau tidak terinfeksi Covid secara statistik berumur lebih panjang nggak?” ujar Arie Karimah. Apakah cause of death-nya bisa dibedakan secara significant. Lha kadang udah dikubur aja PCR-nya belum keluar. Apa yang meninggal di rumah pernah dihitung nggak yang akibat Covid? Mbok semangat itu belajar dari negara lain yang angka kematiannya rendah, atau berhasil menekan angka kematian. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Kontroversi Ahok, Pertamina Bukan Milik Penguasa!
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Kamis (24/09). Heboh soal pernyataan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) tentang aib Pertamina memang sudah reda. Namun, persoalan belum usai. Pernyataan tersebut mengindikasikan adanya hal-hal penting yang perlu diproses hukum. Permasalahan bukan hanya berhenti di Ahok. Tetapi juga harus ditindaklanjuti pemerintah dan DPR. Bahkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau penegak hukum. Sebab aib yang dibuka Ahok dalam video akun POIN (15/9/2020) antara lain tentang prilaku direksi yang minim koordinasi. Sering langsung melobi menteri, enggan mendengar suara komut, pejabat non-job bergaji besar, suka berutang, doyan akuisisi aset migas di luar negeri, dan kegagalan membangun kilang. Ahok juga bicara tentang komisaris yang rata-rata adalah titipan dari kementerian. Selain itu, mengenai rencana proyek paperless senilai Rp. 500 miliar dengan Peruri. Ahok ikut menyoroti pembentukan super holding (Indonesia Incorporation) dan pembubaran Kementrian BUMN. Heboh yang diungkap Ahok bukan sekedar masalah tata krama komunikasi. Namun gaya bicaranya yang kontroversial, masalah internal korporasi, atau strategi manajemen yang oleh sebagian orang malah diapresiasi. Tetapi ada hal-hal penting dan strategis yang perlu diadvokasi, karena menyangkut sektor hidup rakyat yang dikelola tidak sesuai konstitusi dan aturan. Pertama, dengan pengungkapan tersebut, Ahok telah melanggar prinsip Good Coporate Govemance (GCG). Melanggar etika jabatan dan gagal menjalankan tugas pengawasan. Berbagai kealpaan tersebut, melanggar sejumlah ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN, Selain itu, Ahok melanggar Permen BUMN Nomor 02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Komisaris dan Permen BUMN Nomor 01/2011 tentang Penerapan GCG. Untuk itu, pemerintah atau Menteri BUMN harus memberikan sanksi tegas kepada Ahok. Kedua, Ahok mengatakan, “saya ini eksekutor, bukan pengawas, sebenarnya. Komisaris di BUMN itu sebetulnya ibarat melewati lewat. Syurga belum masuk. Harusnya Kementerian BUMN itu dibubarkan”. Ini dinilai ketidakpatuhan mengemban tugas sebagai komisaris atau pengawas, dan jumawa dengan klaim kemampuan diri yang justru belum terbukti. Pernyataan Ahok Ini dapat pula diartikan ingin atau sedang menjalankan tugas dan fungsi sebagai direksi. Jimawa merasa diri paling pantas memimpin super holding dengan meminta Kementrian BUMN dibubarkan. Beginilah wujud komisaris yang tidak tau diri. Berprilaku seperti direksi. Ketiga, Ahok membongkar aib itu, dapat dianggap sebagai bukti ketidakmampuan personal. Bukti kalau Ahok lemah secara manajerial atau profesionalitas untuk mengendalikan, meyakinkan atau memaksa direksi menjalankan kebijakan dan perintah Ahok. Dengan membuka aib Pertamina, mungkin diharapkan Ahok akan memperolah dukungan Presiden atau publik, agar kebijakan dan perintah tersebut akhirnya dijalankan. Publik die-hards mungkin saja akan mendukung. Walaupun yang bersangkutan sarat kasus dugaan korupsi. Keempat, di sisi lain, direksi membangkang Ahok bisa disebabkan rasa percaya diri yang tinggi. Karena diback-up oleh oknum-oknum kekuatan besar atau partai lingkar kekuasaan. Mereka bukan saja berani menghadapi Ahok, tetapi juga menteri-menteri atau atasannya. Bisa pula muncul spekulasi, Ahok membuka aib Pertamina setelah konsulasi dengan Presiden. Bahkan bisa pula ada anggapan bahwa Presiden pun tak cukup confident menghadapi oknum-oknum Partai Politik berkekuatan besar tersebut. Karena itu, perlu cara dan dukungan publik untuk menghadapinya. Terkait “kesukaan” berutang dan akuisisi saham migas luar negeri, modus-modus seperti ini lumrah dijalankan oknum-oknum lingkar kekuasaan. Sebab mereka berburu rente besar dalam bisnis Pertamina yang bernilai puluhan miliar dollar Amerika itu. Ada keuntungan besar yang bisa didapat di Pertamina. Oknum penguasa atai Partai Politik ini memanfaatkan BUMN berikut “perangkatnya” untuk berburu rente. Mereka tidak peduli negara, BUMN dan rakyat dirugikan. Jika pro rakyat dan negara, maka berperanlah sebagai The Real President. Jokowi bersama Ahok mestinya berani meredam praktek perburuan rente tersebut. Rakyat butuh pembuktian. Kelima, akibat kebijakan tidak menurunkan harga BBM sejak Maret 2020, selama semester-1 2020, masyarakat konsumen BBM minimal telah dirugikan sekitar Rp 24 triliun. Kerugian ini dihitung berdasarkan Perpres Nomor 191/2014, Perpres Nomor 43/2018 dan sejumlah Kepmen ESDM yang terbit hingga Maret 2020. Sebagai Komisaris Utama, Ahok pun harus ikut bertanggungjawab atas penyelewengan pemerintah yang merugikan konsumen BBM sebesar Rp 24 triliun. Sementara pada kesempatan lain, Ahok mengatakan anggota masyarakat yang dilabel “kadrun” (kadal gurun) akan berdemo jika dia dijadikan Dirut Pertamina. Pernyataan tendensius dan bernuansa permusuhan ini akan dibahas dalam tulisan terpisah. Pemerasan terhadap Pertamina melalui kebijakan signature bonus, energi untuk pencitraan pemilu dan ICP tinggi, serta pemaksaan pada rakyat membeli BBM berharga tinggi saat harga minyak dunia turun, dapat dianggap penyelewengan moral dan hukum yang dilakukan "oknum" (“kubu”) pemerintah. Sementara itu, pembelian lapangan/saham migas luar negeri atau berutang atas nama pengembangan korporasi guna berburu rente juga penyelewengan berkategori sama. Hanya saja, oknum pelakunya berada pada “kubu lain” dalam lingkar kekuasaan. Heboh video Ahok dapat dikatakan sebagai indikator terjadinya “pertarungan” oknum dua kubu untuk memperoleh rente tinggi seputar bisnis besar di Pertamina. Keduanya menjadikan Pertamina sebagai “bancakandan sapi perah”. Seolah badan usaha Pertamina itu milik nenek moyangnya. Mereka menyisakan ironi bagi BUMN dan rakyat. Bahkan rakyat pun harus mensubsidi BUMN yang harusnya mendatangkan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tampak ada persoalan penting dan strategis di balik pengelolaan Pertamina. Bukan hanya sekedar pernyataan tidak pantas yang dilabeli kontroversial dari Ahok. Atas pembukaan aib Pertamina dan melanggar prinsip GCG, serta gagal melindungi kepentingan publik, maka Ahok harus diberi sanksi. Namun demikian, terkait pelanggaran konstitusi, aturan dan GCG, maka Ahok bersama oknum-oknum jajaran pejabat pemerintah terkait dan lingkar kekuasaan harus diaudit BPK. Mereka juga harus diproses secara hukum oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Demi tegaknya hukum dan keadilan, prilaku semena-mena terhadap Pertamina, dan merasa berada di atas hukum harus dihentikan. Seluruh lembaga yang terkait dengan penegakan hukum, antara lain DPR, BPK dan KPK, dituntut memeroses berbagai dugaan penyelewengan yang terjadi di Pertamina. Berbagai isu di Pertamina menyangkut survival BUMN dan kepentingan ratusan juga rakyat Indonesia. Persoalan ini tidak bisa dianggap selesai hanya dengan pertemuan klarifikasi (17/9/2020) Ahok dengan Ercik Thohir, dan komitmen untuk membangun soliditas tim. Pertamina itu bukan milik penguasa, walau sedang berkuasa. Penulis adalah Direktur Eksekutif IRESS dan Deklarator KAMI.
Pilkada 2020 Dalam Bayangan Kematian
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (24/09). Setiap rezim di negara manapun berada, selalu akan mendengar dan mempertimbangkan suara mayoritas rakyatnya. Ini hukum dalam berpolitik. Mayoritas adalah kekuatan yang menentukan. Kecuali jika kelompok mayoritas rapuh dan berada dalam kendali kekuasaan. Seperti rakyat India yang hindu di era kerajaan Mughol. Untuk di Indonesia, ada dua Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) peling besar, yaitu Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pengikut dua Ormas ini sekitar 150 juta sampai 170 juta orang. Dengan ciri, cara, karakter dan klaster yang berbeda, keduanya mewakili suara mayoritas penduduk Indonesia. Rezim sekuat Orde Lama dan Orde Baru sekalipun, kendor ketika dua ormas besar itu "secara resmi" memprotes kebijakannya. Begitu juga rezim-rezim setelahnya. Namun berbeda dengan para rezim pendahulunya, Jokowi cenderung lebih percaya diri dan berani. Tak saja NU dan Muhammadiyah, suara MUI juga nggak didengarkan. Terkait dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), MUI, NU dan Muhammadiyah sudah menyatakan sikap protes dan menolak. Didukung oleh ratusan ormas lainnya, meminta RUU HIP dibatalkan. Cabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR-RI. Namun tak juga digubris. Baik oleh DPR maupun pemerintah. Tidak saja soal RUU HIP. Baru-baru ini, NU dan Muhammadiyah juga meminta pemerintah menunda Pilkada serentak 9 Desember 2020 nanti. Sebab, rawan terhadap penyebaran virus covid-19 yang akhir-akhir ini semakin menghawatirkan. Tingkat penyebaran yang positif sudah di atas 4.000 orang perhari. Angka kematian juga sudah di atas 100 orang perhari. Sementara pemerintah selama ini tidak cukup bisa dipercaya untuk mampu mengendalikan dan mengatasi penyebaran viruas covid-19. Ini catatan dan fakta yang obyektif. Bukan mereka-reka, mengada-ada atau fitanah sana-sani. Binilah kinerja pemerintah dalam mengendalikan sebaran virus corona. Kerjanya payah dan mengkhatirkan. Tidak bisa diandalkan untuk melindungi rakyat. Meski diprotes banyak pihak, tak ada tanda-tanda Jokowi akan menunda pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember 2020. Berbeda dengan rakyat, pemerintah merasa yakin bahwa penyebaran covid bisa dikendalikan. Karena itu, tidak harus menunda pilkada. Ini perkiraaan yang ngawur dan edun. Belum tahu apa strategi pemerintah, sehingga begitu yakin mampu mengendalikan penyebaran covid-19 saat pilkada. Apakah pemerintah hanya akan mengijinkan kampanye digital via media dan medsos? Atau akan melakukan operasi yustisi di musim kampanye dan saat pencoblosan? Pemerintah harus memberi alasan yang"masuk akal" terhadap perasaan rakyat yang sedang panik dihajar covid-19 gelombang kedua ini. Jangan hanya asal ngebacot. Kalau pejabat pemerintah yang menjadi korban penyebaran virus covid-19, mungkin nggak apa-apa. Tetapi kalau rakyat yang harus menjadi korban, disitu masalah utamanya. Bagitu Pak Presiden. Pertama, pemerintah harus meyakinkan rakyat bahwa Pilkada memang sangat urgent. Karena itu, Pilkada tidak bisa ditunda. Kalau ditunda akan mengakibatkan dampak yang sangat serius. Pemerintah harus menjelaskan "dampak yang sangat serius" yang akan terjadi itu, jika Pilkada ditunda. Jika Pilkada ditunda, maka akan ada 270 Plt kepala daerah. Para Ptl kepala daerah tidak bisa ambil kebijakan strategis. Padahal, saat pandemi dibutuhkan kebijakan strategis, kata Mahfuz MD. Ini alasan yang ngawur, ngaco, dan mengada-ada. Sama sekali tidak meyakinkan. Kalau terpaksa, apa susahnya bikin aturan baru untuk mengatur kewenangan para Plt tersebut? Kedua, pemerintah harus menjamin bahwa penyebaran virus covid-19 tidak akan terjadi saat Pilkada diselenggarakan nanti. Strategi apa yang pemerintah akan lakukan? Perlu segera diungkapkan, agar rakyat bisa percaya dan menjadi tenang. Strategi itu mesti terukur. Bukan tebak-tebak buah semangka. Jika pemerintah nggak mampu memberi dua alasan di atas, atau gagal membeberkan analisis statistik yang meyakinkan, ini sama artinya menantang maut. Wajar jika kemudian rakyat menduga-duga bahwa kebijakan ini diambil lantaran anak dan menantu presiden ikut pilkada. Yaitu Gibran Rakabuming di Kota Solo dan Bobby Nasution di Kota Medan. Alur pikiran rakyat sangat sederhana. Bahwa ongkos (cost) politik untuk menjadi calon kepala daerah itu sangat mahal. Semakin diundur, semakin besar ongkos yang harus dikeluarkan. Padahal Pilkada 2020 sedianya digelar pada 23 September. Lalu diundur menjadi 9 desember 2020. Mau diundur lagi? Ya ampiiuuun, kata para calon. Bandar bisa tekor banyak dong? Jelang Pilkada desember 2020, para calon sudah keluarkan dana cukup besar. Setidaknya untuk bayar mahar partai politik. Biaya survei dan konsolidasi, serta biaya pemanasan kampanye. Kalau ditunda lagi, semua biaya-biaya itu dipastikan akan semakin membengkak. Tentu, semua biaya itu bukan seluruhnya dari kocek pribadi calon. Sekitar 92 persen melibatkan bohir, kata Pak Mahfuz MD. Keterlibatan bohir disini menjadi faktor penting. Sebab, para bohir, terutama kelas kakap, punya akses untuk bisa menekan dan bahkan mengendalikan kebijakan di daerah. Itu baru dana pencalonan. Belum lagi kalau bicara anggaran untuk penyelenggara KPU. Pasti akan ikut bengkak. Di tengah defisit APBN, penundaan pilkada akan membuat negara makin berat saja. Sekarang aja sudah berat. Saking beratnya, bikin aturan baru agar bisa cetak uang. Kalau Pilkada ditunda, itu sampai kapan? Adakah yang menjamin bahwa awal tahun 2021 pandemi nanti, pandemi covid-19 berakhir? Makin lama Pilkada ditunda, makin besar pula biaya yang harus dikeluarkan para calon dan para bohir itu. Dalam pilkada yang berlarut-larut, Herd Imunity berlaku. Tidak saja untuk kesehatan, tapi juga politik. Siapa yang kuat dananya akan besar peluangnya jadi pemenang. Calon yang logistiknya cekak akan megap-megap. Yang menang, bakal balik modal nggak ya? Dilematis memang! Satu sisi ada anak, menantu dan para bohir. Juga pentingnya menyelamatkan negara dari defisit anggaran. Disisi lain, nyawa rakyat terancam virus covid-19. Sebagai seorang negarawan, Jokowi mestinya tak perlu terjebak dalam dilema itu. Utamakan saja nyawa rakyat. Begitu harusnya tugas seorang negarawan. Kecuali jika ingin jadi pecundang. Kalau dari awal pandemi covid-19, Jokowi punya pilihan dan ketegasan keberpihakan pada nyawa rakyat, maka tak perlu banyak jiwa melayang. Juga tidak perlu alami resesi ekonomi berkepanjangan. Artinya, kebijakan pemerintah selama ini keliru menaruh pilihan. Sebelum pemerintah memiliki keyakinan mampu menjamin keselamatan rakyat dari ancaman virus covid-19 akibat kerumunan kampanye dan pencoblosan di Pilkada, maka menunda itu jauh lebih bijak. Ini sekaligus sebagai langkah akomodatif terhadap harapan rakyat, yang diantaranya disuarakan oleh dua Ormas besar NU dan Muhammadiyah. Jika Pilkada dipaksakan, dan terbukti nanti terbentuk cluster penyebaran, maka pemerintah, dalam hal ini Jokowi, akan semakin defisit kepercayaan. Apalagi bila pasca pilkada nanti, jumlah terinfeksi makin banyak dan angka kematian akibat covid-19 bertambah, ini bisa jadi anti klimaks di tengah krisis ekonomi yang sedang melanda. Saat itulah, nasib Jokowi akan menjadi taruhan. Sebaiknya pertimbangkan itu baik-baik. Menyesal kemudian tidak ada gunannya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Mengapa Rezim Dituduh Membuka Pintu Komunisme ?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN- Kamis (24/09). Publik kini menyorot kinerja Pemerintahan Jokowi sebagai rezim yang membuka pintu komunisme. Tentu saja agak aneh sorotan ini. Sebab bukankah Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 masih dinyatakan berlaku ? PKI itu adalah organisasi terlarang . Untuk mitu, terlarang pula menyebarkan faham Komunisme dan Marxisme/Leninisme di Indonesia. Persoalan muncul, dikarenakan sejak Pak Jokowi menjabat Presiden tidak satu patah katapun yang terucap bahwa PKI dan Komunisme itu ada dan atau mengancam. Sementara masyarakat, khususnya umat Islam merasakan aroma keberadaan pengembangan faham komunis terlarang ini. Bahkan dengan nada menantang, Pak Jokowi pernah meminta agar tolong ditunjukkan keberadaan PKI. Upaya untuk mencabut Ketetapan MPRS No XXV tahun 1966 pun ada meski dengan alasan bahwa aturan tersebut "out of date". Ada yang secara terang-terangan merasa bangga sebagai anak keturunan dari PKI. Pembelaan bahwa PKI itu korban. Simbol PKI palu arit juga marak di masyarakat. Terasa ada geliat rehabilitasi dan tuntutan rekonsiliasi. Panglima TNI waktu itu Jenderal Gatot Nurmantyo mensinyalir akan kebangkitan PKI dan Komunisme ini. Buku-buku kiri dibaca oleh para aktivis, dan partai kiri pun muncul. Kehadiran PRD (Partai Rakyat Demokratik) mengingatkan keberadaan FDR (Front Demokratik Rakyat) bentukan Muso. Kemudian "diaspora" aktivis kiri yang menyebar ke berbagai partai politik dengan indikasi terbanyak ke PDIP. Sebagai "the rulling party", pantas partai ini menjadi sorotan atas perilaku penguasa. Munculnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) membawa efek pada bongkar-bongkar. Pengusul awal RUU HIP ini adalah Rieke Dyah Pitaloka. Akhirnya diketuk oleh Puan Maharani Ketua DPR-RI sebagai RUU Hak Usul Inisiatif DPR-RI. Setelah menghadapi gempuran hebat, khususnya dari umat Islam, maka RUU berbau komunis tersebut akhirnya ditunda oleh Pemerintah. Bukan dicabut dari Program Legislasi nasional (Proglegnas) prioritas DPR-RI. Bola kemudian diambil oleh Pemerintah, dengan mengajukan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pansila (BPIP) yang platformnya masih berspirit RUU HIP. Kekusutan dan kepanikan dalam memaksakan aturan semakin nyata. Ternyata rezim adalah paduan Pemerintah dengan DPR yang terkooptasi. Mengambangkan status kedua RUU menambah kuat sorotan dan tuduhan bahwa pintu komunisme ingin tetap dibuka. Sikap Presiden adalah ajuan lagi RUU ke DPR. Manuver kader dalam membela kader PKI yang menjadi korban. Serangan masif terhadap Soeharto, dan kriminalisasi aktivis yang anti PKI. Hubungan yang erat dengan PKC, serta berbagai pernyataan keprihatinan para purnawirawan TNI menjadi sinyal akan keberadaan gerakan Neo PKI dan faham Komunisme. Sementara Pemerintah terlihat abai dalam memberi "warning" kepada rakyat. Pemuliaan agama merosot. Tuduhan terhadap intoleransi dan radikalisme dialamatkan kepada umat beragama, khususnya umat Islam dinilai berlebihan dan mencurigakan. Ada disain kekuatan komunisme berada dibelakang tuduhan tersebut. Agama yang diganggu dan dikacaukan stabilitasnya. Agar rezim tidak dituduh membuka pintu bagi bangkitnya PKI, dan pengembangan faham Komunisme dan Marxisme, maka penting empat langkah. Pertama, berpidato lah Presiden untuk memberi peringatan akan bahaya Neo PKI dan faham Komunisme. Kedua, cabut segera RUU HIP dan RUU BPIP serta bubarkan BPIP. Ketiga, pulihkan hubungan Pemerintah dengan umat Islam. Sadari bahwa Ulama dan pemuka agama adalah sokoguru bangsa ini. Keempat, kembali kepada politik luar negeri bebas aktif. Pembangunan poros Jakarta-Beijing harus dihentikan. TKA Cina segera dipulangkan. Keempat, Pancasila sebagai konsensus tidak perlu direinterpretasi atau diotak-atik lagi. Jangan tonjolkan Pancasila versi tanggal 1 Juni 1945, karena itu hanya memancing konflik dan kegaduhan. Sebab itu hanya akan berakibat pada instabilitas politik bangsa. Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 sudah final. Karenanya tinggal pelaksanaan atau pengamalan saja. Fahami itu baik-baik. Pemerintahan Jokowi harus menyadari pandangan rakyat pada rezimnya. Ubahlah pandangan buruk dengan bukti perubahan sikap, kinerja, dan budaya politik baru yang lebih memuliakan rakyat dan umat beragama, khususnya umat Islam. Bukan sebaliknya. Menjadikan umat Islam sebagai musuh adalah program PKI dan faham komunis dahulu dan sekarang ini. PKI sudah berubah bentuk dari waktu ke waktu. Kadang tidak terlihat, tetapi aroma busuknya tercium sangat menyengat. Perhatikan itu baik-baik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Tunda Itu Pilkada, "Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi"
by Dr. Ahmad Yani SH. MH. Jakarta FNN – Rabu (23/09). Meminjam istilah Cicero, filsuf berkebangsaan Italia, “salus populi suprema lex esto”. Artinya, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara. Konsep itu juga tertuang dalam konstitusi atau UUD Negara Republik Indonesia 1945. Yaitu “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Peneyenggara negara harusnya pahami itu baik-baik. Hal itu sudah menjadi kaidah filosofis yang hidup dalam kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu, tugas konstitusional negara adalah menyelamatkan rakyat Indonesia. Dalam konteks inilah pemerintah mengkaji pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020. Setelah itu menundanya. Juru bicara Istana, Fajroel Rahman memastikan pilkada akan tetap diselenggarakan. Meski desakan berbagai organisasi masyarakat agar menunda pilkada terus mengalir. Alasannya, pelaksanaan Pilkada untuk memastikan hak konstitusional warga negara. Fajroel ingin membenturkan antara keselamatan warga negara dan hak konstitusional warga negara. Padahal hak keselamatan jiwa itu juga merupakan hak konstitusional warga negara. Rapat bersama antara Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sepakat tidak ada penundaan Pilkada serentak 2020. Pilkada tetap akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Hal ini mengabaikan masukan dari masyarakat. Ciri negara kekuasaan. Sebelum keputusan diambil, penolakan telah datang dari berbagai pihak. Seperti dari Muhammadiyah dan NU yang menyatakan sikap. Juga memberikan masukan kepada pemerintah untuk serius mengatasi Pandemi corona. Menyarankan agar Pilkada serentak 2020 ditunda dulu. Sepertinya, sikap NU dan Muhammadiyah tak menjadi pertimbangan dalam memutuskan pilkada dilanjut atau tidak. Selain dua organisasi raksasa itu, ada Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Perludem dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang juga menyarankan agar pilkada 2020 ditunda. Alasanya serentak, karena pandemi covid-19 semakin meningkat dan penyebarannya sudah semakin mengkhawatirkan. Laju pergerakan covid-19 demikian dahsyat, hingga menteri agama Fachrul Razi dan Menteri Kelautan Edhy Prabowo positif terpapar. Komisioner KPU RI sendiri sudah dua orang dinyatakan positif Covid 19. Penyebaran diberbagai daerah juga menunjukan angka yang signifikan. Sebagian besar daerah menggambarkan laju penyebaran covid-19 yang meningkat. Belum lagi seperti yang dikatakan ketua KPU Arief Budiman. Sebanyak 37 Bakal Calon Kepala Daerah positif covid-19 Ini masalah serius Pak Presiden. Sebab keselamatan warga negara terancam. Sementara pilkada yang merupakan pesta demokrasi tetap digelar. Yang namanya pesta, mau tidak mau orang akan tetap berkumpul ramai dan ini mempercepat laju penyebaran covid-19. Meski pemerintah tetap pada pendirian untuk melanjutkan Proses Pilkada hingga pencoblosan 9 Desember nanti, namun masih ada harapan bagi masyarakat untuk terus memberikan masukan yang benar kepada Pemerintah untuk mengambil opsi lain. Meski sudah ada persetujuan bersama DPR, Pemerintah dan penyelenggara pemilu. Katro dan bebal. Tanggapan positif pemerintah datang jua. Adalah Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian memberikan harapan itu. Dalam pernyataan medianya memastikan, Presiden Joko Widodo mendengar serta mempertimbangkan usulan penundaan Pilkada Serentak 2020 yang disampaikan Pengurus Besar NU dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Walaupun Rapat bersama di DPR, sudah memutuskan, namun Mempertimbangkan dua masukan dari organisasi Besar itu tentu prioritas bagi presiden. Itu bukan sekedar masukan. Ini lebih substansial, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Ditengah kepungan pandemi, negara berkewajiban melindungi warga negara. Hal tersebut menjadi landasan sosiologis bagi pemerintah, DPR dan KPU untuk tidak melanjutkan pilkada. Masyarakat menghendaki pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda. Sebab alasannya, Covid-19 belum teratasi dan pemerintah diminta untuk melakukan upaya pencegahan covid ketimbang melaksanakan pilkada yang berpotensi menjadi klaster covid19. Secara Hukum Opsi penundaan pun secara hukum sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pasal 201A ayat (3) memberikan opsi bahwa apabila bencana non alam (Pandemi Covid 19) belum berakhir, Pilkada bisa ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam berakhir. Payung hukum penundaan jelas sebagai acuan pemerintah. Selain itu, pilkada dalam situasi Pendemi bisa berakibat kurangnya pengawasan tahap pelaksanaan Pilkada. Ini menyebabkan semakin tertutupnya proses pelaksanaan. Karena itu, dalam menghadapi situasi yang demikian, sudah menjadi kaidah hukum bahwa setiap keputusan harus didasarkan pada akuntabilitas dan transparansi. Tanpa itu, akan melahirkan proses demokrasi yang lebih condong pada kepentingan oligarki dan dinasti kekuasaan. Pilkada hanya untuk mengejar kekuasaan sematar. Akibatnya, banyak tanggapan yang bermunculan, termasuk dari Mahfud MD yang menyebut pilkada dibiayai 82% oleh cukong. Angka itu memperlihatkan ada kepentingan besar oligarki dan korporasi memegang kendali dalam demokrasi. Maka apabila pilkada diteruskan, kemudian proses pelaksanaannya tidak terbuka, tidak menutup kemungkinan kekuatan oligarki dan korporasi akan berada dalam posisi puncak di Pilkada. Oleh sebab itu menunda Pilkada adalah jalan yang paling bijak untuk menyelamatkan demokrasi, dan hak konstitusional warga negara. Namun ada konsekuensi hukum lain apabila pilkada ditunda, yaitu berakhirnya masa jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota dibeberapa daerah akibat penundaan itu. Polemik ini muncul setelah ada desakan penundaan Pilkada. Perlu saya jelaskan sedikit tentang masalah pelaksana tugas (Plt), pejabat sementara (Pjs), pelaksana harian (Plh) dan pejabat (Pj) kepala daerah. Keempat istilah itu memiliki makna yang berbeda. Namun secara hukum apabila kepala daerah dalam hal ini Gubernur, Bupati dan Walikota berserta wakilnya sama-sama maju, maka mereka wajib cuti. Apabila keduanya cuti, maka diganti oleh Plt, Pjs dan Plh. Namun apabila kepala daerah berakhir masa jabatannya, dan belum ada kepala daerah yang baru, maka pejabat (Pj) yang akan mengisi kekosongan itu sampai menunggu kepala daerah diisi oleh pejabat tinggi madya. Pejabat tinggi madya di berbagai daerah di indonesia cukup banyak untuk mengisi kekosongan pemerintah daerah, apabila di berbagai daerah mengalami penundaan Pilkada dan kepala daerah telah selesai masa jabatannya. Hal seperti ini lazim dilakukan, apabila terjadi kekosongan, maka yang mengisi adalah Pj. Seperti juga ketika ada daerah yang melakukan pemekaran, pasti ditunjuk Pj kepala daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Karena itu, tidak ada alasan yang substansial tidak menunda Pilkada. Kalau alasannya hanya karena banyak kepala daerah selesai masa jabatan, tentu saja itu bukan menjadi alasan yang perlu dicari-cari. Sebab UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, sudah mengatur pergantian seperti itu. Perbaiki Sistem Pilkada Saya berpendapat, bahwa penundaan Pilkada menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah. Kita punya sejarah pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk merubah sistem pemilihan kepala daerah. Dari pemilihan langsung menjadi pemilihan tidak langsung atau lewat DPRD. Meski SBY sendiri yang akhirnya membatalakn UU yang baru diundangkan dengan Perppu. Pembatalan itu hanya karena desakan dari beberapa pengamat dan lembaga survey. Yang lebih ironis lagi, DPR menyetujui Perppu yang diajukan SBY Tersebut. Padahal tidak ada perintah konstitusi untuk melaksanakan pilkada secara langsung. UUD hanya menyebutkan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Demokratis itu artinya bisa secara langsung. Namun bisa juga melalui DPRD. Bahkan kalau kita ambil contoh di Daerah Istimewa seperti Yogyakarta, Gubernur diangkat melalui garis keturunan dan itu berlaku dalam sistem negara Indonesia. Atau kita lihat contoh di DKI Jakarta, Walikota dan Bupati diangkat oleh Gubernur berdasarkan pangkat eselon. Karena itu, Ditengah Pendemi ini saya kira dengan pemilihan langsung, sangat rentan penularan penyakit. Selain itu, juga rentan terhadap permainan oligarki. Seperti yang diungkapkan di atas, sebagian besar pilkada dibiayai pemodal. Lebih khusus lagi pilkada di daerah-daerah uang memiliki banyak sumber daya alam seperti Kalimantan Selatan, Kalimatan Timur, Sultera, Lampung, dan Maluku Utara. Dengan memberikan akses pemilihan langsung, maka biaya menjadi mahal. Akibatnya, biaya politik yang mahal itu, kepala daerah yang memenangkan pilkada akan berutang kepada cukong-cukong. Tetapi dengan pemilihan kembali ke DPRD, kita rakyat dapat melakukan pengawasan langsung dengan menggunakan lembaga penegak hukum. Biaya politik pun kecil. Potensi retak ditengah masyarakat juga menjadi kecil. Potensi penyebaran virus juga menjadi kecil. Sebab tidak ada pesta. Tidak ada kampanye akbar. Tidak ada konvoi orang dan kedaraan. Singkatnya, tidak lagi ada kerumunan massa. Dengan adanya penundaan ini, pemerintah bisa mengkaji atau mungkin mengeluarkan Perppu pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Sebagai penutup, etidaknya ada bebeapa alasan kenapa pilkada ditunda. Pertama, negara menjaga dan menjamin hak konstitusional rakyat tidak dirampas oleh kepentingan dan hasrat politik elit. Sebab Pilkada Ditengah pandemi sangat rentan terhadap keselamatan. Kedua, Pilkada sebagai ajang untuk mencari pemimpin yang bersih, jujur dan amanah serta adil. Tidak bisa dilaksanakan secara tertutup. Sebab itu akan memberi jalan bagi oligarki dan korporasi untuk mengambil kesempatan dalam pandemi. Ketiga, penundaan Pilkada bertujuan agar pemerintah konsentrasi menghadapi hantaman penyakit yang berefek hingga ke masalah ekonomi dan kesehatan. Efek besar ini tidak bisa diatasi dengan cara yang sederhana. Melainkan harus dengan cara yang serius. Keempat, anggaran dan biaya pilkada bisa dioptimalkan untuk menghadapi pandemi selama beberapa bulan kedepan. Sebab di tengah ancaman ekonomi dan kesehatan, kita juga menghadapi ancaman resesi yang dapat menjelaskan indonesia ke jurang krisis ekonomi. Kalau itu terjadi, maka krisis politik dan krisis sosial bisa terjadi lebih besar. Kelima, dengan penundaan Pilkada, pemerintah masih memiliki pejabat yang dapat mengisi kekosongan jabatan (Pj) kepala daerah. Mereka yang akan melaksanakan tugasnya sampai dilakukan pelantikan kepala daerah yang baru nantinya. Kelima, pemerintah dalam hal ini DPR dan presiden, dengan menunda pilkada, memiliki kesempatan untuk untuk mengkaji ulang sistem pemilihan kepala daerah yang potensi penyebaran covidnya kecil. Seperti pemilihan kepada Daerah melalui DPRD. Selain potensi penyebaran covidnya kecil, pemilihan melalui DPRD juga menghemat biaya pilkada dan memperkecil biaya politik paslon. Itulah sekilas pandangan saya untuk meminta pemerintah menunda pilkada ini. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Koordinator Komite Eksekutif KAMI, Dosen FH dan FISIP UMJ.
Pilkada & Label Jokowi Inkompeten dari The Economist
by Jusman Dalle Jakarta FNN - Rabu (23/09). Majalah ekonomi papan atas dunia, The Economist melabeli Joko Widodo tidak kompeten menangani krisis Covid. Dalam laporannya yang terbit akhir Agustus, The Economist membagi empat kluster pemimpin dunia dalam merespons krisis Covid-19. Kluster pertama, mereka yang menyangkal ada masalah. Seperti Gurbanguly Berdymukhamedov dari Turkmenistan, yang mendenda rakyatnya karena memakai masker. Meski kemudian kebijakan itu diervisi. Wajib masker dengan alasan agar tidak menghirup debu. Aneh! Kelompok kedua, yaitu para kepala negara yang mengakui ancaman Covid-19. Melawannya dengan upaya maksimum dan keras. Relatif berhasil. Meski cenderung mengabaikan kebebasan sipil. Hal ini misalnya dilakukan Xi Jinping di Tiongkok, dan Nguyễn Phú Trọng di Vietnam. Kelompok ketiga, mencakup sebagian besar negara demokrasi. Berusaha kompromi. Antara menangani virus, dan tetap menimbang segala dampak sosial ekonominya. Kelompok keempat, para kepala negara yang mencoba bertindak keras. Namun melakukannya dengan tidak kompeten. Di kluster terakhir inilah Presiden Joko Widodo ditempatkan. Kebijakan yang tidak solid sejak awal, memperburuk Covid-19 di Indonesia. Keinginan memaksakan Pilkada, dipastikan bakal memperparah keadaan. Rencana Pilkada ini, persis langkah tergesa-gesaan pemerintah menggenjot ekonomi. Padahal para pakar lintas disiplin ilmu secara tidak tertulis bersepakta pada satu diktum. Ekonomi hanya bisa jalan jika pandemi terkendali. Sebetulnya, pemerintah menyadari salah langkah. Namun bukannya menahan diri, malah terus berlari. Semakin jauh tersesat ke labirin gelap. Sebuah dokumen rahasia, bahan presentasi mengenai kondisi perbaikan ekonomi serta penanganan Covid-19 jangka panjang terungkap. Mengutip CNBC Indonesia, dokumen itu bersumber dari Kemenko Perekonomian. Menunjukkan Covid-19 baru bisa selesai di akhir 2021 jika proses vaksinasi berjalan sesuai rencana. Mulai pertengahan 2021. Masih dari dokumen yang sama, krisis ekonomi bakal sangat dalam. Skenario pemulihan yang diajukan berjalan sangat lamban. Recovery ekonomi seperti pre-Covid19 diperkirakan baru bisa terealisasi tahun 2022/2023. Memperhitungkan dampak Pilkada mentransmisi Covid-19 di 270 daerah, maka krisis multidimensi akan berlangsung lebih panjang, dalam, dan mematikan dari semua perkiraan yang pernah diajukan. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat semakin tidak menentu. Karena itu, seruan menunda Pilkada jadi opsi paling rasional saat ini. Apalagi di level masyarakat, tekanan agar Pilkada ditunda semakin kencang. Dua ormas terbesar di Indonesia, NU & Muhammadiyah bahkan kompak menyerukan Pilkada diundur. Para tokoh, pakar dan pengamat juga menyuarakan aspirasi senada. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, secara tegas meminta pemerintah menunda Pilkada hingga vaksinasi Covid19 selesai. Opsi penundaan Pilkada amat beralasan. Agar pesta demokrasi lima tahunan itu, tidak menjelma jadi monumen kematian. Situasi penanganan Covid-19 yang amburadul memendam bom waktu. Akan terjadi ledakan Corona yang sangat mengerikan jika agenda Pilkada tetap dipaksakan. Di masa-masa kampanye, pengumpulan massa skala besar hingga ribuan orang, tak bisa dihindari. Sudah terlihat pada proses pendaftaran para kandidat kemarin. Bakal calon kepala daerah bahkan tidak mampu mendisiplinkan tim sukses dan pendukungnya. Berkerumun mengabaikan protokol kesehatan. Penyelenggara pemilu, juga melakukan pembiaran atas pelanggaran protokol kesehatan itu. KPU bahkan membolehkan konser musik ketika kampanye. Perlu di catat, KPU memegang rekor sebagai lembaga negara paling mematikan. Tahun 2019, sebanyak 894 petugas KPPS gugur karena kelelahan mengurus Pemilu. Potensi angka kematian petugas KPPS akibat Pilkada bakal lebih besar. Tingkat ancamannya bertambah. Corona punya ruang yang nyaman di kerumunan dan sikap indisipliner menegakkan protokol kesehatan. Bagi Jokowi, menunda atau melanjutkan Pilkada memang dilematis. Jika dilanjutkan, tingkat kematian dan penyebaran Covid-19 bakal semakin menyeramkan. Bila ditunda, ongkos politiknya tidak kecil. Kredibilitas pemerintah jatuh. Buah simalakama. Itulah akibatnya, sedari awal Jokowi dan jajarannya tidak tegas merespons Covid-19. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tali Foundation.
Demi Anak & Mantu, Rezim Ini Rela Korbankan Rakyat
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (23/09). Tiga kekuatan besar Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, dan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) telah meminta Pemerintah untuk menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sedianya dilaksanakan tanggal 9 Desember 2020. Dasar permintaan tersebut adalah masalah kemanusiaan, yakni pandemi Covid 19 yang belum ada tanda-tanda akan segera mereda. Sebaliknya, mempelihatkan kecenderungan yang meningkat. Buktinya, sekarang sudah 68 negara di dunia yang menutup pintu (lockdown) bagi masuknya warga negara Indonesia ke negaranya. Alih-alih mendengar seruan yang beralasan tersebut, justru pemerintah menegaskan untuk tidak akan menunda Pilkada serentak 9 Desember nanti. Inilah wujud dan bukti dari kenekadan dan tulinya rezim yang sedang berkuasa atas ancaman kesehatan bagi rakyat Indonesia. Kepentingan jangka pendek yang dominan di kepala penguasa ini. Tugas negara yang diwakili oleh pemerintah, sesuai perintah konstitusi adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah (rakyat) Indonesia. Untuk itu, sangatlah berbohong pernyataan bahwa kesehatan adalah yang utama. Faktanya, justru syhawat dan nafsu untuk berkuasa menjadi Walikota Solo dan Walikota Medan yang paling diutamakan, sehingga Pilkada harus tetap jalan dengan alasan apapun. Banyak sekali nada sinis bahwa urusan anak dan mantu yang menjadi prioritas utama Pilkada. Bahkan menjadi segala-galanya bagi pemerintah dan kekuasaan sekarang ini. Bukan lagi urusan bagaimana melindungi rakyat dari ancaman penyebaran pandemi Covid-19. Rakyat mau bertambah yang terjangkit dan positif Covid-19, tidak perduli. Begitu juuga dengan yang meninggal karena posotif Covid-19. Yang terpenting adalah Pilkada tetap dilaksanakan. Sehingga hasilnya adalah anak dan menantu menjadi Walikota Solo dan Walikota Medan. Itu yang terpenting. Kepedulian rezim pada penanggulangan Covid 19 memang rendah dan acak-acakan. Ketika masyarakat keras mendesak "lockdown", PSBB yang diberlakukan. Belum beres PSBB sudah canangkan New Normal. Anggaran kesehatan masih tertinggal dibanding infrastruktur. Tenaga medis yang banyak gugur, namun tidak dihargai. Malah menyebut masih banyak stock katanya. Sungguh menyakitkan. Pilkada adalah proses politik yang bukan darurat pelaksanaannya. Hanya sebagai alat menuju terlaksananya tujuan bernegara, sebagaimana diperintahkan pada alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Sementara melindungi segenap bangsa dan tumpahh darah Indonesia dari ancaman virus laknat Covid-19 adalah kewajiban negara kepada rakyat. Bagitu aturannya Pak Jokowi. Penundaan pelaksanaan Pilkada adalah biasa dan bijaksana. Berbagai penghelatan besar masyarakat seperti kongres atau muktamar telah ditunda. Pilkada memiliki tahapan rawan penyebaran Covid-19, baik saat kampanye maupun pemungkutan suara. Jikapun protokol ketat diterapkan, maka ini akan menghilangkan nilai demokrasi. Rekayasa dipastikan mudah sekali terjadi. Indonesia dinilai buruk dalam penanganan pandemi covid 19 oleh masyarakat dunia internasional. Sudah 68 negara menutup pintu masuk untuk warga negara Indonesia. Pada saat negara lain menurun penyebaran Covid-19, justru kita meningkat. Kini dengan pelaksanaan "pesta demokrasi" yang dipaksa kan untuk dijalankan, maka bertambah lagi bahan bagi kecaman dunia. Indonesia ini negara pemberani, nekad, atau sudah memang gila menghadapi penyebaran Covid-19? Desakan dari masyarakat melalui Muhammadiyah, NU, KAMI, dan organisasi lain, bukan untuk membatalkan Pilkada 2020. Tetapi hanya untuk menunda sampai pendemi Covid-19 mereda. Apa salahnya untuk dapat dipertimbangkan dan diterima? Covid 19 itu sangat berbahaya. Satgas telah dibentuk, dan berganti berkali-kali. Sekitar lima kali Kepres atau Perpres tentang Satgas diganti-ganti. Tujuannya untuk menunjukan bahwa situasi memang benar-benar darurat. Bongkar pasang penanggungjawab pengendali pun telah dilakukan. Luhut Panjaitan kini menjadi komandan tertinggi. Huueebaat kan? Bila pemerintah teta ngotot. Tidak mau menunda Pilkada serentak 2020, maka pertanggungjawaban dari segala risiko yang diakibatkannya harus ditanggung. Termasuk siap untuk dinyatakan bahwa perbuatannya telah melanggar Konstitusi. Siap mundur atau dimundurkan jika gagal atas kebijakan "nekad dan tuli" nya tersebut. Nah, sebagai penyelenggara negara maka Pemerintah wajib untuk mendahulukan perlindungan kepada warga negara. Bukan ngotot untuk memaksakan Pilkada. Sebab Pilkada itu sesuatu yang sangat bisa ditunda. Kecuali jika hanya demi kepentingan keluarga. Dan itu adalah fikiran gila dan tuli. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Gara-Gara "New Normal", Indonesia Tak Kunjung Normal
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (22/09). Memang, tak mudah bagi setiap negara menghadapi wabah covid-19. Terutama yang telat menyadarinya. Indonesia misalnya, tergopoh-gopoh saat virus menyerang. Bayangkan musuh datang dan anda nggak punya persiapan. Empon-empon model apapun, nggak akan tahan. Yang jengkelin, sudah salah prediksi, telat antisipasi, keliru kalkulasi, gagap, bingung dan panik, lalu kirim pasukan buzzer dan infulencer untuk membuat narasi-narasi pembenaran. Sudah begitu, narasinya kampungan dan primitif lagi. Yang penting dapat bayaran. Koplak. Tak perlu ada dilema antara pandemi dan ekonomi. Semua program bisa bersinergi. Kuncinya asal mengerti masalah dan serius menangani. Bukan dengan mengganti tim berkali-kali. Jangan masalahnya dan sakitnya berada di selatan, sementara yang diobati di utara. Ya pasti nggak nyambung. Karantina wilayah, itu ide jitu. Pandemi bisa dibatasi, ekonomi akan segera dapat diatasi. Di awal pandemi, ada kepala daerah yang mengusulkan gagasan karantina ini. Tepatnya tanggal 29 Maret. Tanggal 30 Maret diterima, langsung ditolak. Buru-buru sekali. Pada hari itu juga. Itu otoritas pusat, katanya. Tahu! Itu memang otoritas pusat. Makanya, diusulin, bukan diputusin. Akhirnya, ketemulah istilah PSBB. Mirip karantina juga sih. Meski telat, ini kebijakan sangat tepat. April-Mei, ketika PSBB diberlakukan, kasus terinveksi covid-19 bisa ditekan. Rata-rata perhari 445, dengan tingkat kematian rata-rata 26 orang setiap hari. Tanggal 14 April, Jokowi posting video. Wacanakan tatanan hidup baru. Bahasa inggrisnya "New Normal" dipidatokan Jokowi 15 Mei di Istana. Diantara isi pidato Jokowi, "Dan kita memang harus berkomprimi dengan covid, bisa hidup berdampingan dengan covid, yang kemarin saya bilang kita harus berdamai dengan covid, karena informasi dari WHO yang saya terima meskipun kurvanya agak melandai, atau nanti berkurang, tapi virus ini tak akan hilang. Artinya, sekali lagi kita harus berdampingan hidup dengan covid. Sekali lagi yang penting masyarakat produktif dan aman dari covid". Entah dapat ide dan gagasan dari mana, pemerintah membuat wacana New Normal. Nggak sabar. Terlalu terburu-buru. Panik yang nggak perlu. Berlebihan takutnya terhadap "bayangan" dampak ekonomi, tanpa dikalkulasi dari banyak sisi. Ingin segera normal tanpa rasionalitas untuk antisipasi. Apa yang terjadi? Semua ambyar! Saat itu saya bilang, "ini Herd Imunity". Siapa yang kuat akan hidup, siapa yang lemah, bakal kelar. Terbukti! Kasus covid-19 naik drastis. Juni naik jadi 1.141 perhari. Juli naik 1.714 perhari. Agustus naik 2300 perhari. Dan September di atas 3000. 16 September kemarin kasus naik hampir 4000 sehari. Tepatnya 3.963 orang. Jika April-Mei yang mati perhari 26 orang, Juni naik jadi 49 orang. Juli 73 orang. Agustus 80 orang. September ini, tingkat kematian di atas 100 orang per hari. Tanggal 16 September kemarin, ada 135 orang mati karena covid-19. Dan trend angkanya terus naik. Ngeri dah! Anehnya, ketika kasus covid-19 naik signifikan di bulan Juni, persis pasca New Normal dimunculkan, dan terus naik di bulan juli, kenapa pemerintah nggak melakukan evaluasi? Mengapa tidak segera tarik rim darurat? Lalu apa gunanya data kalau nggak dievaluasi dan jadi referensi kebijakan? Sampai disini, rakyat betul-betul nggak paham. Dan ketika di bulan September kenaikan kasus covid-19 semakin tak terkendali, ada kepala daerah melakukan evaluasi dan berinisiatif tarik rim darurat, justru diberi peringatan. Dibully dan diserang habis-habisan. Ini ada apa? Saat berlakukan New Normal, apakah pemerintah tidak mempertimbangkan watak "tidak disiplin" masyarakat? Kok salahkan masyarakat? Tidak! Mereka juga korban dari elit dan pemimpin yang terbiasa tidak disiplin. Sudah jadi tabiat dari rezim ke rezim. Turun temurun. Masyarakat tidak disiplin hampir dalam semua hal. Diantaranya hukum. Kalau penegak hukum nggak disiplin, bagaimana masyarakat bisa disiplin? Teorinya, "Hukum yang tidak ditegakkan dengan baik, akan melahirkan masyarakat yang tidak disiplin" . Makanya pemimpin harus pahami itu. Coba saja "tilang" diberlakukan dengan ketat di jalan raya, pelanggaran lalu lintas "pasti" akan berkurang drastis. Jika tak ada makelar kasus, kriminalitas akan turun. Kalau UU Pemilu ditegakkan, pelanggaran pemilu akan surut. Belum lagi praktek hukum "tebang pilih", yang makin merusak kedisplinan masyarakat. Andai saja New Normal dibarengi dengan operasi yustisi, hukum ditegakkan dengan memberi sanksi kepada masyarakat yang mengabaikan protab kesehatan covid-19, maka Indonesia saat ini nggak perlu banyak jatuh korban. Nggak perlu juga dilockdown oleh 68 negara di dunia. Setelah ratusan orang mati perhari, baru bicara UU No 4/1984 tentang kemungkinan penerapan sanksi pidana dan denda bagi yang mengabaikan protab kesehatan. Minta pergub, perbup dan perwali dijadikan perda, supaya ada sanksi. Apa anda sedang bercanda pak? Bukannya kalau kasus covid-19 naik, itu lahan bisnis yang menggiurkan? Tidakkah ini menguntungkan untuk bisnis masker dan APD (Alat Pelindung Diri), dengan semua turunannya? Terutama bagi penyedia vaksin. Sudah keluar modal dan investasi besar, lalu nggak ada yang terpapar corona, bandar bisa tekor dooong??? Au ah gelap. Jangan ada yang memancing lagi di air keruh. Ora elok! Disiplin, ini jadi masalah bagi masyarakat akibat penegakan hukum yang bermasalah. Terhadap masyarakat yang sedang belajar disiplin karena covid-19, New Normal muncul. Mendadak semuanya berubah. Anjuran 3 M: Memakai masker, Menjaga jarak dan Mencuci tangan mulai diabaikan. Saat kasus covid-19 perhari dibawah 500 orang, sekitar bulan Maret-Mei, masyarakat waspada dan takut terhadap corona. Orang-orang nggak keluar rumah kecuali kebutuhan urgent. Gang-gang RT dan RW diportal. New Normal muncul. PSBB diperlonggar. Kasus naik. Semakin hari makin tinggi jumlahnya. Bertambah hampir 4000-an orang perhari, dengan tingkat kematian di atas 100 orang setiap harinya. Meski semakin besar ancaman penyebarannya, masyarakat merasa aman-aman saja. Ramai beraktifitas di luar rumah. No masker. No cuci tangan. No jaga jarak. Cafe-Cafe dan restoran penuh. Mall-mall berjejal orang belanja. Jalanan padat. Orang-orang berkerumun lagi. Normal kembali, seperti gak ada penyebaran covid-19. Ini terjadi sejak makhluk bernama "New Normal" lahir. Dan saat itu, nyawa rakyat seperti tak penting lagi. Dihiraukan! Gagasan New Normal telah mengakibatkan pertama, angka kasus covid-19 naik terus, bahkan sangat tinggi. Kedua, ekonomi tetap terpuruk. Tangani ekonominya, tapi abaikan kesehatannya. Gagal! Semua langkah ekonomi seperti sia-sia. Ketiga, Indonesia dilockdown 68 negara. Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Nggak ada satupun pejabat yang legowo minta maaf kepada rakyat yang telah menjadi korban. Dasar….. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.