OPINI
Mencari Jati Diri Indonesia di Tengah Pandemi
by Chaerudin Affan SE, M.Kesos Jakarta FNN – Rabu (22/07). Sudah beberapa bulan terakhir ini dunia dilanda bencana yang serius. Bumi seperti berhenti berputar. Roda ekonomi macet total. Semua negara direpotkan dengan kedatangan mahluk halus yang menyerang dan melumpuhkan sendi-sendi kehidupan bernegara. Kepanikan bukan hanya milik masyarakat. Tetapi juga para pengelola negara di seluruh dunia. Sudah teramat lama sejak 1918-1920 silam, dunia mengalami serangan mahluk halus. Serangan yang melululantakkan dunia. Kini mahluk halus itu datang lagi, dengan keganasan dan tidak dapat diselesaikan menggunakan teknologi yang berkembang pesat dalam dekade terakhir ini. Negara di dunia kini sibuk mengurus diri masing-masing. Adapun pengelola kawasan yang terserikat seperti Uni Eropa juga belum bisa menyelesaikan masalah di kawasannya. Semua negara sedang mencari selamat masing-masing. Maka wajar saja, hingga hari ini belum ada keputusan paten oleh Uni Eropa untuk mengatasi sendi-sendi yang rusak akibat serangan mahluk halus tersebut. Walaupun gelombang kepanikan masyarakat dunia sudah mulai mereda, Nyatanya kerusakan yang ditimbulkan masih juga terus berlanjut. Indonesia sebagai kunci dari lalulintas dua benua besar, otomatis terdampak. Bahkan ikut terkena serangan mahluk halus itu. Ribuan orang meninggal dalam kurun waktu empat bulan. Ratusan ribu warga negara telah menjadi inang dari mahluk jahannam dan yang tidak dikenal tersebut. Situasi di Indonesia tidak jauh dari negara-negara lain di seleruh dunia. Sejak mulai pertengahan maret pemerintah menetapkan serangan pandemi covid 19. Padahal sebelumnya para pejabat negara menangkis keras adanya serangan mahluk halus yang masuk ke negara ini. Namun setelah jumlah kasus semakin bertambah tinggi, untuk menanggulangi pandemi, berbagai protokol kesehatan dibuat oleh pemerintah pusat dan diikuti oleh pemerintah daerah. Indonesia nampak begitu gagap menghadapi serangan mahluk halus yang dikenal dengan sebutan corona. Tidak hanya sendi ekonomi yang terlihat semakin rusak. Tetapi juga sendi-sendi bernegara ikut semakin rusak dan berantakan. Kita bisa lihat pada awal pandemi, bagaimana pemerintah daerah yang tidak bersinergi antara tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota dengan pusat. Bagaimana kebijakan daerah banyak sekali yang bertabrakan dengan kebijakan di tingkat atasnya atau tingkat pusat pada awal penanggulangan. Bahkan terdapat pemerintah daerah yang saling caci-maki atau saling menyudutkan di media sosial. Pemandangan yang sangat buruk dan primitif untuk disaksikan oleh generaasi muda. Namun itulah kenyataan yang harus dinikmati. Kerusakan sendi sosial bukan main dampaknya. Beberapa bulan sholat Jum’at dan ibadah gereja ditiadakan. Perayaan hari-hari besar keagamaan juga ditiadakan. Pemberlakuan social distancing secara langsung ikut merubah kultur budaya Indonesia yang ramah menjadi saling curiga. Pembatasan sosial juga mengharuskan masyarakat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari di rumah. Semua kegiatan dan aktivitas sosial kontak didigitalisasi. Jabat tangan yang sebelumnya merupakan ciri khas sosial kultur masyarakat Indonesia juga menghilang sekejap. Kalau di luar negeri jangan ditanya lagi. Kemungkinan jabat tangan hanya ada dalam acara resmi saja. Semua menjadi serba kaku. Kerusakan disendi ekonomi dirasakan semua lapisan. Semua masyarakat merasakan dampaknya. Tidak terkecuali masyarakat dengan strata ekonomi yang ada di tingkat atas. Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang ekonomi lemah? Tentu sudah mulai bernapas dengan mulut. Karena hidungnya sudah semakin terjepit. Namun di tengah kerusakan yang dibuat oleh mahluk halus terhadap sendi-sendi negara, masyarakat Indonesia mulai menemukan jati dirinya. Dalam sendi sosial budaya misalnya, jabatan tangan mulai difariasi. Sikap saling curiga kemudian berubah kembali menjadi tolong menolong atau gotong royong. Kembalinya jati diri rakyat Indonesia sebenarnya adalah penyelamat pemerintah dalam mengatasi kesulitan ekonomi rakyat yang tidak dapat diatasinya. Sampai sekarang pemerintah masih kesulitan untuk memulihkan kerusakan di bidang ekonimi. Bahkan semakin bingung. Tidak tau jalan keluarnya. Saling menyalahkan sana-sini. Jati diri Indonesia sebagai sebuah bangsa nyatanya dipegang oleh rakyatnya. Disaat para pejabat masih saling tuding dan saling lempar tanggung jawab terhadap nasib rakyat. Padahal rakyat Indonesia justru sudah sibuk saling menolong di sekitarnya. Saat para pejabat daerah saling berebut bansos, rakyat sudah bergerak untuk membuat cara membantu tetangganya yang diisolasi mandiri. Disaat para pemangku kebijakan masih ribut soal tumpang tindih kebijakan ataran Provinsi dengan Kabupaten/Kota atau dengan Pemerintah Pusat, masyarakat secara inisiatif membuat protokolnya sendiri. Kemudian diterapkan di lingkungannya sendiri. Bahkan saat bansos di beberapa daerah tidak sesuai dengan ekspetasi rakyat, para pengusaha jauh lebih dulu menggelontorkan bantuan, baik itu berupa uang ataupun bahan pokok makanan. Gotong royong tidak hilang. Masih tetap ada dan melekat di masyarakat. Gotong royong yang dikatakan Bung Hatta sebagai cikal bakal Koperasi di Indonesia, yang telah lama hilang dari permukaan, kini tampak dijiwai masyarakat. Bila semangat gotong royong yang muncul di permukaan dapat dipotret dengan baik oleh para pemangku kebijakan, khususnya kepala Pemerintahan, tentu seharusnya mereka dapat mencontoh. Para pemangku kebijakan mencontoh untuk mengurangi ego sektoral. Juga mencontoh untuk saling mendukung. Mencontoh untuk berbagi peran sesuai dengan fungsi masing-masing. Mencontoh untuk tidak saling menuding. Mencontoh untuk tidak merasa diri sebagai pejabat paling hebat dari yang lain. Mencontoh untuk tidak membuat kegaduhan dengan pernyataan-pernyataan yang merasa paling benar sendiri. Mencontoh untuk saling merangkul dan memaafkan. Mencotoh saling menerima kritik untuk perbaikan. Bukan mencontoh untuk saling melaporkan di polisi. Lebih jauh dari itu semua, potret gotong royong di masyarakat seharusnya dapat ditangkap. Lalu, kemudian dikristalkan dalam model ekonomi koperasi. Bukan menjadikan koperasi sebatas objek skrup ekonomi yang hanya menerima bantuan. Koperasi dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) seharusnya dijadikan sebagai core ekonomi nasional, karena telah tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Saat ini seharusnya pemerintah mulai berbenah. Sebelum semuanya terlanjur musnah. Jati diri Bangsa Indonesia kembali terkubur. Dibawa oleh para penganut paham Neo-Merkantilisme. Meraka inilah yang sekaligus berprofesi sebagai pemburu rente. Penghisap darah rakyat seperti cerita dracula di malam hari. Sayangnya, mereka pemburu rente ini beroperasi mulai dari pagi, siang, sore, malam dan sampai pagi. Penulis adalah Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) FISIP Universitas Indonesia.
MUI Jadi Lokomotif Perjuangan Umat
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (22/07). Skandal Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang disinyalir merongrong ideologi Pancasila, bukan saja telah membuat gaduh ruang perpolitikan nasional. Tetapi telah masuk ke aspek keagamaan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut tersengat, lalu mengeluarkan Maklumat yang jelas, tegas dan keras. Disamping menolak RUU HIP, MUI juga meminta segara dilakukan pengusutan kepada para inisiator atau konseptor RUU yang berbau menghidupkan kembali faham komunisme tersebut. Bahkan, sikap lanjutan dari MUI adalah kemungkinan adanya "masirah kubro" dari umat Islam, jika Maklumat tidak diindahkan oleh DPR atau Pemerintah. Umat Islam serentak mengadakan aksi-aksi protes. Sikap penolakan umat hampir terjadi di seluruh Indonesia. Sikap umat Islam tersebut untuk menindaklanjuti Maklumat MUI. Isu ancaman kebangkitan neo PKI dan komunisme melalui perundang-undangan yang menggerakkan aksi umat itu. Tekad umat Islam untuk menekan pengambil keputusan, agar mencabut atau membatalkan pembahasan RUU sangat kuat. Aksi berkelanjutan sudah teragendakan. Namun realitas yang dihadapi umat Islam adalah, baik DPR maupun Pemerintah tidak bergeming (unmoved). Hingga saat ini DPR tidak melakukan pencabutan atau pembatalan RUU HIP dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Sementara Pemerintah alih-alih bersikap menolak pembahasan. Justru yang terjadi malah pemerintah mengajukan RUU baru tentang BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Umat kecewa dan tidak dapat menerima penggantian RUU tersebut. Seruan MUI tidak didengar dan diabaikan. MUI adalah lokomotif aspirasi dan perjuangan umat Islam. Karenanya sikap MUI selanjutnya kini ditunggu oleh umat Islam. What next? Ada dua sasaran tekanan, yaitu DPR sebagai inisiator RUU HIP. Ultimatum yang lebih keras mesti dikeluarkan oleh MUI. Kedua, Pemerintah yang telah membelokkan perhatian dengan mengajukan RUU BPIP. Terhadap kedua hal ini, MUI bukan saja layak untuk menolak keberadaan RUU BPIP. Tetapi juga mendesak Pemerintah agar membubarkan BPIP. Sikap lebih tegas MUI dinilai penting untuk membuktikan bahwa Maklumat yang dikeluarkan itu bukan basa basi. Bukan juga main main atau gertak sambal. MUI adalah lembaga keagamaan yang mewakili umat Islam. Pengabaian atau pelecehan terhadap Maklumat MUIdinilai berhubungan dengan aspek keagamaan. Kemungkaran harus dicegah. Mengotak-atik kesepakatan tentang ideologi Pancasila itu dikategorikan sebagai kemungkaran berat. Umat Islam diperlakukan tidak proporsional oleh rezim ini. Ada kebijakan untuk peminggiran atau sekularisasi. Dari isu intokeransi, radikalisme, bahkan terorisme selalu mengarah pada umat Islam. Khilafah, jihad, dan kafir menjadi terma yang direduksi maknanya. Buku agama pun diobrak-abrik. Kurikulum pendidikan, dari Sekolah Dasar sampa dengan Menengah Atas diobrak-abrik. Tujuannya menghilangkan segala macam istilah dan nama-nama yang berkaitan dengan Islam. Saatnya bagi MUI untuk menempatkan diri sebagai lokomotif perjuangan umat. Umat Islam harus kembali berwibawa dan tidak bisa diperlakukan semena-mena. RUU HIP dan RUU BPIP menjadi batu ujian penyikapan serius MUI. Masirah kubro adalah langkah yang ditunggu-tunggu. Maklumat hanya tinggal maklumat, jika tidak menjadi washilah peningkatan kekuatan dan perlawanan umat. MUI adalah lokomotif. Bukan pelengkap. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Gibran vs Kotak Kosong
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (22/07). Purnomo tersingkir dari calon Walikota Solo. Wakil Walikota Solo ini harus mengubur mimpinya untuk bisa berlaga di Pilkada Solo Desember nanti. Karir politik Purnomo mendadak berhenti setelah dihadang Gibran, putra sulung presiden yang tanggal 23 september 2019 lalu baru mendaftarkan diri sebagai anggota resmi PDIP. Meski lebih senior dan punya pengalaman yang lebih matang, tapi Purnomo bukan anak presiden. Dari sisi akseptabilitas dan elektabilitas, Purnomo jauh lebih tinggi dari Gibran. Sebelum akhirnya anjlok ketika Purnomo sempat mengundurkan diri dari pencalonan. Kok mundur? Rupanya Purnomo menyadari betul, tak mungkin bisa melawan putra mahkota Istana. Purnomo tahu siapa yang dihadapi. Tetapi, pengunduran diri Purnomo ditolak oleh DPC PDIP Solo. Ujung-ujungnya, ia pun tetap nggak direkomendasi oleh DPP PDIP. Nyesek! Selain anak presiden, Mas Gibran lebih muda, keluh Purnomo setelah pulang dari istana. Kasihan amat ya! Lebih kasihan lagi, Purnomo sekarang harus muncul ke publik untuk memberi dukungan kepada Gibran. Publik tahu itu bukan jiwa besarnya, tapi ada faktor x kenapa Purnomo harus melakukannya. Purnomo bukanlah malaikat bro! Kecewa, manusiawilah, kata FX Hady Rudyatmo, Walikota Solo yang sekaligus Ketua DPC PDIP Solo. Hady yang sedari awal ngotot merekomendasikan Purnomo untuk maju sebagai calon Walikota Solo. Idealisme Hady layak untuk diapresiasi. Meski pada akhirnya harus menyerah di hadapan dua kekuatan besar, yaitu Presiden dan DPP PDIP. Begitulah politik bekerja. Tak ada pakem, kecuali kepentingan yang ditransaksikan di atas meja demokrasi. Siapa yang mampu membeli dengan harga paling tinggi, dialah pemenangnya. Soal moral dan kepatutan, itu nomor 12. Peduli amat dengan moral! Kenapa Gibran yang baru berusia 33 tahun dan belum genap setahun jadi kader resmi PDIP harus dipaksakan maju di pilkada Solo? Pertama, ini soal momentum boss. Dalam posisi orang tua sedang menjabat sebagai presiden, Gibran lebih mudah mendapatkan tiket PDIP. Dalam konteks pilkada Solo ini, pertarungan yang sesungguhnya adalah bagaimana merebut tiket dari PDIP. Tiket didapat, beres semua! Karena tiket inilah yang paling menentukan. Meski harus memotong Purnomo yang jauh lebih senior, berpengalaman dan matang dalam segala hal. Beda cerita jika Gibran harus berjuang sendirian untuk mendapatkan tiket dari PDIP. Tanpa keterlibatan tangan Sang Ayah, nggak kebayang bagaimana Gibran bisa dapat rekomendasi PDIP itu. Kedua, peluang menang sangat besar. Siapapun yang dicalonkan PDIP di Pilkada Solo, hampir pasti akan menang. Sebab, Solo itu basisnya PDIP. Lalu, siapa bakal calon lawan Gibran? Kotak kosong! Bukan karena tak ada yang berani. Faktornya karena tiket yang tersisa nggak cukup untuk mengusung calon lawan. Sudah habis diborong oleh istana untuk Gibran. Di Solo itu, 30 kursi milik DPRD milik PDIP. Gerindra, PAN dan Golkar masing-masing 3 kursi. PSI 1 kursi. Semua akan mengusung Gibran. Kecuali 5 kursi PKS tak cukup mengusung calon sendiri. Sebab, untuk mengusung calon minimal harus mendapatkan 9kursi. Kenapa PKS nggak ikut bergabung? Bukannya kalau nggak ikut bergabung juga nggak bisa mencalonkan? Jika PKS sedikit mau bersikap pragmatis dengan ikut mengusung Gibran, setidaknya akan kecipratan kompensasi reziki. Apakah berupa biaya operasional kampanye, ataupun pasisi di pemerintahan Solo nantinya. Yaa 5 kursi itu, pasti lumayan! Hingga hari ini, tak ada tanda-tanda PKS ikut dukung Girban. Justru sebaliknya, PKS tampak menguatkan posisinya sebagai partai oposisi terhadap Jokowi. PKS tetap Konsisten! Bagaimana kalkulasi politik di pilkada Solo desember besok? Gibran akan menang. Peluang untuk kalah kecil sekali. Sederhana menghitungnya. Pertama, Solo itu basisnya PDIP. Terbukti 67% suara PDIP yang kuasai. Punya 30 kursi DPRD diduduki kader PDIP. Dan kita tahu, kader dan pemillih PDIP cukup militan di Solo. Mesin politiknya PDIP sangat bisa diandalkan untuk bekerja. Kedua, Gibran didukung oleh semua partai, kecuali PKS. Dalam konteks ini, PKS juga nggak punya calon. Artinya, nggak akan ada lawan yang berarti. Kemungkinan lawan Gibran cuma kotak kosong saja. Memang, pilkada Kota Makasar tahun 2019 lalu, kotak kosong bisa menang. Tetapi, Makasar bukan Solo. Kondisi obyektifnya jauh berbeda dengan Solo. Jangan dibandingkan. Nggak tepat! Ketiga, Gibran itu anak presiden. Akses kekuasaan akan sangat membantu bagi kemenangan Gibran. Belum lagi peran para pendukung Jokowi. Baik dukungan politik maupun logistik. Bagi warga Solo, siap-siaplah punya Walikota baru dan sangat muda. Baru 33 tahun. Nama Walikota itu adalah Gibran Rakabuming Raka. Putra Sulung Presiden Joko Widodo. Bagi anda yang belum sreg dan meragukan kapasitas Gibran, berupayalah untuk belajar menerima keadaan seperti Purnomo. Pasrah apa adanya! Karena itulah situasi obyektifnya. Kalau nggak bisa terima, emang lu bisanya apa? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Ajaib!! Klepon Jadi Korban Buzzer
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Rabu (22/07). Kelakuan buzzer kali ini sungguh keterlaluan. Entah salah minum obat apa mereka, sampai-sampai klepon jadi sasaran. Jadi bahan adu domba. Makanan tradisional berbentuk bulat, terbuat dari ketan berisi gula merah itu disebut-sebut tidak Islami. Kehebohan dipicu oleh sebuah meme yang beredar di dunia maya. Foto klepon berwarna hijau, ditaburi kelapa parut itu sungguh membuat air liur langsung meleleh. Tapi tunggu dulu. Caption di bawahnya membuat dahi langsung berkerut. “KUE KLEPON TAK ISLAMI. Yuk tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajanan islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami.” Di bawah caption itu tertulis nama Abu Ikhwan Aziz. Sekilas meme tadi mengesankan sebuah iklan dari toko kurma yang dimiliki orang bernama Abu Ikhwan Aziz. Dilihat dari namanya saja sudah jelas siapa pemilik toko ini. Apalagi tokonya khas banget, jualan kurma. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Kadrun alias kadal gurun. Sebuah sebutan pengganti untuk pendukung 02 yang sebelumnya bernama kampret. Di medsos sejumlah akun langsung menggorengnya. Mempertentangkan Islam dan budaya lokal. Pro kontra, caci maki langsung bermunculan. Ada juga yang masih coba berpikir waras. Mencoba meredakan ketegangan. *Kerjaan BuzzeRp* Siapa sesungguhnya Abu Ikhwan Aziz ini? Dan dimana toko kurmanya berada? Sejumlah media yang mencoba menelesurinya tidak bisa menemukan “toko kurma” milik Abu Ikhwan. Nama itu juga tidak pernah eksis sebelumnya. Ketika coba digoogling, nama itu hanya muncul pada artikel media yang membahas kontroversi “klepon tidak Islami.” Dapat dipastikan nama Abu Ikhwan juga dicomot begitu saja, seperti halnya foto klepon tadi. Rupanya ada yang sedang coba bermain api. Menciptakan kegaduhan di balik klepon dan nama “Abu Ikhwan Aziz.” Adu domba. Mencoba menyudutkan umat Islam melalui narasi remeh temeh, klepon tidak Islami. Orang Islam itu memang bodoh dan konyol banget. Duduk soalnya menjadi semakin jelas ketika Drone Emprit besutan Ismail Fahmi menelusuri percakapan di medsos. Foto klepon itu dicomot begitu saja dari Pinterest. Kemudian diberi narasi yang menghasut. Si penghasut ini kemudian mengunggahnya di medsos. Dari penelusuran Drone Emprit heboh perkleponan itu dimulai di Facebook, kemudian ramai di twitter. Setelah itu muncul di media online dan Instagram. Melalui penelusuran dapat diketahui siapa yang pertamakali mengunggah dan kemudian meramaikannya. Percakapan dimulai dan diramaikan oleh kluster akun pendukung pemerintah. Mereka sering disebut sebagai buzzeRp, alias buzzer bayaran. Temuan Drone Emprit membuat banyak pegiat medsos, terutama mereka yang masuk dalam kluster netral hanya bisa geleng-geleng kepala. Tapi banyak juga yang geram. Selebgram Awkarin bahkan sampai membuat feed berupa klepon yang dilemparkan ke atas, kemudian ditangkap mulutnya. Sambil mengunyah klepon, dia mengacungkan jari tengahnya. "Buat buzzeRp yang kerjanya mecah belah bangsa. Fight me bitj #KleponLivesMatter," tulisnya pada keterangan unggahan di Instagramnya itu, Rabu, 22 Juli 2020. Kasus ini makin membuktikan perilaku buzzer yang merusak. Mereka tak peduli bangsa tengah menghadapi krisis. Terjadi pembelahan yang kian dalam antara pendukung dan penentang pemerintah. Hanya untuk bayaran berupa uang receh, mereka bergembira ria menggali lubang kubur bangsa lebih dalam. End Penulis adalah Wartawan Senior.
Mengapa Indonesia Perlu Presiden Yang Tidak Dungu?
by Asyari Usman Jakarta FNN (22 Juli 2020) - Merakyat saja tidak cukup. Dia harus jujur. Merakyat dan jujur saja, juga tidak cukup. Dia harus bertakwa. Merakyat, jujur dan bertakwa saja pun belum cukup. Dia juga harus berkarisma dan berkarakter kuat. Indonesia memerlukan presiden yang memiliki semua aspek. Di atas semua itu, dia harus cendekia. Sekadar mengingatkan, cendekia mencakup banyak hal yang berbasis IQ tinggi. Begini definisi “cendekia” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Saya copas langsung dari KBBI daring. Kalau ada waktu, tolong dibaca beberapa kali definisi berikut ini. CENDEKIA/cen·de·kia/ 1 tajam pikiran; lekas mengerti (kalau diberi tahu sesuatu); cerdas; pandai; 2 cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar (pandai menggunakan kesempatan); cerdik; 3 terpelajar; cerdik pandai; cerdik cendekia. Berdasarkan definisi ini, seorang presiden yang cendekia harus memiliki kapasitas pikir (thinking capacity) yang berlebih. Harus di atas rata-rata. Supaya dia menguasai masalah apa saja. Presiden ‘wajib’ menguasai semua masalah. Kalau pun dia tidak tahu secara detail semua masalah yang terkait dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, setidaknya seorang presiden memahami simpul-simpul penting dari masalah yang sedang terjadi. Presiden wajib tahu kisi-kisi semua masalah dan peristiwa. Dia, misalnya, harus paham soal landas kontinen (continental basin). Ini istilah hukum laut internasional. Tidak harus tahu detail. Tapi, presiden bisa berbicara ketika ditanya tentang pertikaian perairan. Presiden juga harus mengerti serba sedikit tentang ekonomi makro, port-folio investment, capital flight, Das Capital, tax holiday, Kyoto Protocol, dlsb. Presiden musti mengerti soal ‘debt to GDP ratio’ supaya dia tidak menjerumuskan negara ke lembah utang. Supaya tidak memaksakan diri berutang secara berlebihan. Ada pula istilah ‘debt trap’ (perangkap utang) yang harus dicermati. Sangat mungkin ‘debt trap’ itu menjadi bagian dari ‘geo-politcal strategy’ (strategi geo-politik) sebuah negara besar. Misalnya, banyak orang yang percaya bahwa China menerapkan ini lewat kebijakan OBOR (One Belt One Road) yang intinya adalah hegemoni dan kolonialisasi dengan ‘casing’ baru. Presiden yang cendekia pasti bisa mengikuti diskusi tentang ‘bio-diversity’. Ini penting untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan. Saat ini, Indonesia kehilangan banyak spesies dalam keragaman hayati. Di pentas internasional, masalah ‘bio-diversity’ selalu menjadi topik hangat yang sangat politis sifatnya. Presiden perlu memahami isu ini. Ada terminoligi perang asimeteris (asymmetric warfare). Yaitu, perang yang ditandai perbedaan mencolok dalam persenjataan dan strategi atau taktik. Sebagai negara besar yang berposisi strategis, presiden Indonesia harus mampu berdiskusi dengan para menteri bidang pertahanan tentang langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkecil dampak negatif secara militer dan psikologis akibat disparitas perangkat perang. Presiden harus bisa memberikan pengarahan dan mengambil keputusan yang tepat dan cepat. Itulah beberapa contoh tentang perlunya seorang presiden yang cendekia. Yang berpikiran tajam, cerdas dan cerdik. Smart thinking, smart actions. Intinya, orang yang cendekia itu punya otak. Tidak setiap hari, setiap saat, setiap masalah, bergantung pada tim penasihat. Lawan dari cendekia adalah dungu. Mari kita simak sebentar definisi ‘dungu’ berikut ini. Juga menurut KBBI. DUNGU/du·ngu/ sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh. Bisa dibayangkan kalau seorang presiden memiliki kapasitas yang berlawanan dengan kemampuan seorang cendekia. Orang yang cendekia tahu apa yang harus dia lakukan jika ada masalah. Sebaliknya, presiden yang dungu sangat membahayakan negara. Dia tidak paham masalah yang terjadi. Kalau pun dia paham, dia tidak memiliki kapabilitas untuk mengatasi masalah. Tidak memiliki kemampuan. Akibat literasi yang minim. Celakanya, seorang presiden yang dungu merasa memiliki kemampuan. Dan lebih celaka lagi, orang-orang yang cendekia siap melakukan apa saja untuk menutupi kedunguan seorang presiden. Akhirnya, mari kita jawab satu pertanyaan: mengapa Indonesia memerlukan presiden yang tidak dungu? Karena Indonesia ini besar dari banyak aspek. Besar dalam hal demografi. Besar dari segi geografi. Besar dalam ‘natural resources’ (sumberdaya alam). Dan besar dari aspek ekonomi, bisnis, dan kemaritiman. Di tangan seorang presiden yang dungu, Indonesia akan hancur berantakan. Menjadi lemah tanpa martabat dan wibawa. Untuk kemudian menjadi makanan empuk negara-negara kuat, terutama China. Apakah kita bisa menemukan figur sesempurna penjelasan di bagian awal tulisan ini? Jawabannya: harus ada. Dan pasti ada. Asalkan jangan Anda sengaja mencari orang yang dungu.[] (Penulis adalah wartawan senior)
Larangan Tolak Otsus, Kapolda Papua Bermain Politik
by Marthen Goo Jakarta FNN - Rabu (22/07). Kebijakan Kapolda Papua yang melarang aksi tolak Otonomi Khusus (Otsus) nyata-nyata melanggar Undang-Udang Nomor 9 Tahun 1998. Kebijakan Kapolda tersebut inkonstitusional, dan masuk ke dalam ranah atau domain politik. Kapolda jangan bermain politik. Kapolda sebaiknya jangan ikut-ikutan bermain politik. Polisi dilarang oleh undang-undang untuk masuk ranah politk. Pebicaraan tentang Ostus Papua adalah wilayah politik. Siapa saja masyarakat Papua bebas untuk berbicara tentang Otsus papua. Baik yang mendukung maupun yang menolak. Polisi jangan ikut-ikutan, termasuk melarang masyarakat yang hendak melakukan aksi menolak Otsus Papua. Sebab Indonesia sudah dikenal sebagai negara demokrasi. Dimana demokrasi di Indonesia mulai dikenal tahun 1998, dengan semangat reformasi 1998. Ketika kekuasaan yang otoriter ditumbangkan oleh para mahasiswa, aktivis dan masyarakat tahun 1998, lahirnya demokrasi tersebut. Bisa dilihat juga dengan lahirnya pasal 28 UUD 1945, yang kemudian diturunkan dalam UU Nomor 9 Tahun 1998. Tentu semangat demokrasi tersebut lahir dengan semangat mengedepankan hak asasi manusia. Atas dasar semangat reformasi dan cita-cita memupuk demokrasi, maka setiap orang berhak menyampaikan pendapat, pikiran dan perasaannya. Penyampain pendapat itu, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan di muka umum. Atas penyampaian tersebut, hak konstitusinya dilindungi dalam konstitusi Negara. Seperti pada pasal 28 UUD 1945 yang dengan jelas dirumuskan, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang". Kemerdekaan menyampaikan pendapat seperti yang dimaksud dalam pasal 28 UUD45 tersebut, diperjelas dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Ada apa Kapolda melarang aksi masyarakat untuk menolak Otsus Papua? Dijelaskan dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1998 bahwa penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Sementara dalam pasal (3) dijelaskan, pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai, telah diterima Polri setempat. Artinya, dalam ayat (1) lebih diutamakan pada sifat surat pemberitahuan. Sedangkan Pada ayat (3) adalah soal waktu dan tempat kegiatan penyampaian pendapat. Sebelum kegiatan dimulai, surat pemberitahuan sudah harus disampaikan kepada polisi. Undang-undang telah memberikan ruang demokrasi bagi setiap orang yang ingin menyampaikan pendapat di muka umum. Namun dengan prinsip kemanusiaan, atau dalam prespektif hukum, dikenal dengan istilah “batasan”. Batasanya tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Penolakan Otsus Konstitusional Otonomi Khusus bagi propinsi Papua yang diatur dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah undang-undang desentralisasi asimetris di Propinsi Papua. Dimana keberlakuannya sejak diundangkan. Dalam sistim pemerintahan, undang-undang yang menerapkan sistim desentralisasi asimetris tidak hanya di Papua, tetapi juga di beberapa daerah lainnya seperti di Aceh, Yogykarta dan Jakarta. Sementara wilayah lain, hanya diterapkan undang-undang desentralisasi. Apakah penolakan sebuah undang-undang bagi warga negara, yang tidak mendapatkan manfaat dan tidak relevan dengan kondisi objektif yang dialami rakyat, serta bertentangan dengan konstitusi, apakah wajib tetap dipertahankan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dipahami dengan baik juga tujuan dibentuknya undang-undang. Jika kita merujuk pada tujuan nasional, yang juga dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945, yakni bertujuan “mensejahterakan kehidupan bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Jika tujuan itu tidak terlihat dalam pelaksanaan undang-undang, maka wajib hukumnya ditolak. Karena tujuan utama pembentukan undang-undang adalah untuk kesejahteraan dan mencerdasan rakyat. Jika undang-undang dibuat hanya karena pertimbangan politik. Bukan pertimbangan tujuan nasional, secara konstitusional sah jika rakyat menolak. Jadi, jika rakyat atau pulbik ingin menolak UU Nomor 21 Tahun 2001, secara konstitusional boleh-boleh saja. Selagi tidak melakukan perbuatan pidana atau perbuatan yang melanggar hukum. Dalam dunia demokrasi, itu hal yang wajar dilakukan. Jangankan hanya undang-undang. Jika rakyat aksi untuk mendorong amandemen UUD 1945, itu boleh-boleh saja, atau bahkan perubahan sistim hukum di Indonesia. Menolak sebuah keberlakuan undang-undang itu hak konstitusional warga Negara. Sementara mengenai perubahan atau pencabutan undang-undang, hanya bisa terjadi melalui dua hal. Yaitu undang-undang tersebut mengatakan dirinya usai (berakhir) atau pembuat undang-undang mencabut undang-undang tersebut. Polisi Tidak Diberi Kewenangan Polisi hanya diberi kewenangan untuk mengawasi berjalannya asksi yang demokrasi. Bukan menutupi ruang demokrasi. Pelarangan terhadap aksi penolakan Otsus Papua adalah tindakan menutupi ruang demokrai. Melarang memiliki arti tidak mengijinkan, sementara setiap orang berhak menyampaikan pikiran, perasaan baik secara lisan dan tulisan. Dalam pasal 13 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1998 dijelaskan, setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalarn pasal 11 Polri wajib : a. segera rnemberikan surat tanda terirna pemberitahuan, b. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum, c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat, d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute. Sementara dalam pasal 13 ayat (2) dijelaskan, dalarn pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggungjawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum. Sementara dalam ayat (3) dijelaskan, dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai prosedur yang berlaku, Disini peran polisi sesungguhnya sangat jelas. Dijelaskan dalam pasal 13, baik itu pada ayat (1), (2) dan (3). Dalam pasal itu tidak dijelaskan Polisi menutupi ruang demokrasi. Apalagi sampai melarang warga menyampaikan pendapat untuk menolak undang-undang Otsus Papua. Dalam hirarki perundang-undangan, juga sudah jelas. Sebagai batasan dalam keberlakuan sistim hukum di Indonesia, undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan undang-undang di bawahnya jika bertentangan. Apalagi posisi kepolisian hanya pelaksana undang-undang. Bukan pembuat aturan. Jadi, Polisi sesungguhnya tidak diberi kewenangan melarang aksi atau menutupi demokrasi. Polisi hanya diberi kewenangan untuk mengawasi dan melakukan penegakan hukum apabila terbukti ada yang melanggar hokum. Terutama jika merujuk pada pasal 1 ayat (1) tentang asas legalitas. Kepolisian hanya memiliki kewenangan sebagai pelaksana undang-undang. Hanya untuk menjaga tertegaknya hokum. Bukan melarang rakyat menyampaikan penolakan terhadap sebuah undang-undang. Bukan juga melarang rakyat memenuhi UU Nomor 9 Tahun 1998. Pernyataan Polda Mencederai Demokrasi Dari uraian di atas, batasan dan ruang kepolisian sangat jelas dalam undang-undang. Sehingga jika Polisi menyampaikan pelarangan terhadap aksi penolakan UU Nomor 21 Tahun 2001, sesungguhnya telah mencederai demokrasi. Menolak sebuah undang-undang yang dirasakan tidak relevan dalam kehidupan masyarakat sah dan kontitusional. Keram itu adalah hak konstitusional setiap orang atau setiap masyarakat. Tidak perlu Polda melarang-larang. Dengan demikian, pernyataan Kapolda Papua bertentangan dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998. Kapolda harus melihat dan membaca undang-udang dengan seksama. Harus berpegang juga pada asas legalitas. Apalagi negara yang menerapkan sistim hukum Civil Low tidak mengenal dugaan-dugaan. Berlaku asas legalitas. Jika ada perbuatan pidana, maka terhadap perbuatan tersebut, diproses dan dikenakan sanksi hukum sesuai perbuatan pidananya. Menolak UU Nomor 21 Tahun 2001, tidak ada perbuatan pidananya. Itu ruang demokrasi bagi setiap orang untuk menyampaikan hak konstitusinya. Kepolisian tidak boleh masuk sampai pada membatasi hak konstitusional warga Negara. Karena tugas kepolisian hanya untuk memastikan dan mengawal hak konstitusional warga dapat berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hanya itu saja. Tidak lebih dari itu. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.
ITB Sentimen Terhadap Orang Miskin
by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Rabu (22/07). Anak saya yang akan melamar ke jurusan Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB), melalui jalur mandiri, mengatakan bahwa ITB mengumumkan secara mendadak bahwa orang tua calon pelamar mahasiswa ke ITB harus menunjukkan rekening senilai Rp. 100.000.000. Saya menyanggupi saja, demi membahagian anak. Namun, buat saya ini adalah kegagalan kedua ITB setelah kegagalan pertama berhasrat menyingkirkan Prof. Din Syamsudin dari ITB sebagai anggota Mejelis Wali Amanat (MWA) ITB, karena sentimen anti-Islam. Mengapa Gagal? Pembebanan bea masuk puluhan juta dan menunjukkan rekening Rp. 100.000.000 untuk masuk ke ITB, di masa krisis ekonomi saat ini, telah mendiskriminasi peluang anak-anak orang miskin yang cerdas untuk mendapatkan pendidikan unggul. Penjelasan ITB bahwa uang itu akan dipake untuk subsidi silang bagi mahasiswa yang tidak mampu, dengan block sejumlah 30% untuk orang-orang mampu, menyisakan peluang pertarungan masuk ITB hanya 70% bagi orang miskin. Sebaliknya 100% bagi orang-orang kaya. Di masa lalu, ITB adalah kampus rakyat. Karena peluang kebersamaan dimulai dengan sama status bagi semua mahasiswa. Di jurusan Geodesi, misalnya, tempat saya kuliah tahun 80an, tercatat beberapa senior saya, seperti adik Sultan Hamangkubono, anak menteri pak Harto, antara lain anaknya Mendagri Yogi S. Memet dan anak Menteri Kesehatan, dan lain-lain. Dan tentunya di jurusan lainnya, banyak anak anak pejabat, namun perbedaan diantara mahasiswa tidak terjadi. Orang-orang miskin tidak merasa kesulitan, karena negara Indonesia kala itu, meski negara berkembang, menyediakan berbagai program bea siswa bagi mereka. Dengan bantuan Negara, baik pinjaman maupun hibah, tidak ada hutang budi antara mahasiswa di ITB. Berbagai yayasan pun didirikan pemerintah untuk mengumpulkan uang bagi mahasiswa kurang mampu. Seperti yang dulu terkenal, yayasan Supersemar. Anak-anak ITB yang merantau dan perlu biaya hidup tambahan, umumnya karena kuliah ditempat orang-orang pintar. Dipercaya oleh masyarakat Bandung untuk menjadi guru yang mengajar anak-anak mereka. Sehingga kesulitan keuangan dapat diatasi. ITB Tanpa Diskriminasi ITB harus keluar dari industrialisasi pendidikan. Ini adalah momentum bagi 100 tahun ITB, yang baru saja diperingati beberapa hari lalu. Cara pandang pendidikan tinggi negeri saat ini, telah gagal menyaring generasi pintar dan autentik serta penuh inovasi. Sebab, 10 tahun belakangan ini, ITB dan kampus-kampus ternama telah menjadi tempat yang hanya untuk anak-anak orang kaya menimba ilmu. Sistem pendidikan Indonesia yang hancur, karena kompetisi murid-murid dilakukan dengan "drilling" via bimbingan-bimbingan belajar, membuat fungsi sekolah untuk mencetak orang pintar, cerdas dan inovatif hilang. Hanya beberapa sekolah, seperti SMA Negeri 8 di Jakarta atau SMA Negeri 3 di Bandung, yang identik antara sekolah, guru dan kepintaran anak murid. Selebihnya, kebanyakn, murid-murid pintar identik dengan bimbingan belajar yang menjamur di berbagai kota-kota besar. Bimbingan belajar semakin lama semakin mahal. Paket-paket bimbingan belajar bahkan ada yang berbiaya ratusan juta, dengan sistem menginap selama sebulan serta jaminan uang kembali. Alhasil, kemampuan murid masuk ke perguruan tinggi negeri berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan orang tua murid pada perusahaan bimbingan belajar itu. Sistem rekrutmen mahasiswa di Leiden University, Belanda, misalnya, pada generasi saya, dilakukan dengan lotere. Istri saya yang mendaftar di jurusan psikologi misalnya, tidak membutuhkan seleksi. Sebeb, seleksi dianggap selesai dalam sistem sekolah menengah di sana. Kelebihan peminat menyebabkan dilakukan undian. Yang tersingkir tidak sakit hati, karena tidak merasa lebih bodoh. Dalam konteks kesulitan hidup akibat hancurnya ekonomi Indonesia masa pandemi Covid-19 ini, selayaknya ITB melakukan terobosan baru. ITB tidak perlu terjebak pada sumber pembiayaan dari kantong orang tua mahasiswa. Berbagai sumber pendanaan harus dipikirkan, baik meminta jatah ke Sri Mulyani berupa uang stimulus fiskal, maupun dari alumni-alumni, khususnya yang dulu miskin-miskin. (note: pada jaman 80an mahasiswa yang memakai sendal jepit cukup banyak di ITB, sangkin miskinnya). Dengan berubah orientasi, yakni pendidikan bukan industry, serta mencari bibit-bibit pintar dan inovatif, ITB harus membebaskan persaingan 100% kepada semua calon mahasiswa. Tidak lagi memblock 30% untuk orang-orang kaya atau yang punya rekening Rp. 100.000.000. Sehingga ITB tidak melakukan diskriminasi pada orang-orang miskin. Penutup Pendidikan adalah instrument negara untuk melakukan gerakan egalitarian, equality, dan anti diskriminasi terhadap anak-anak bangsa. Sehingga orang-oreang miskin mampu melakukan mobilisasi vertikal dalam mengejar cita-cita. Pemblockan 30% jumlah mahasiswa ITB pada orang-orang kaya dan memastikan mayoritas mahasiwa ITB dari murid-murid yang di pompa ilmunya oleh bimbingan-bimbingan belajar super mahal, akan menjadikan ITB sebagai industri. Jika itu dipertahankan, akan membuat ITB kehilangan inovasi, dan terus terjungkal dari misinya sebagai kampus rakyat. Diskriminasi terhadap orang-orang miskin juga akan membuat suasana kampus tidak sehat nantinya. Orang-orang miskin seolah-olah harus berhutang budi pada orang-orang kaya, yang membayar lebih mahal. Padahal urusan pembebanan biaya pada orang-orang kaya sebaiknya diselesaikan melalui sistem tax progresif dalam sistem negara. Bukan sistem pendidikan di kampus. Jika sifat ITB yang diskriminatif terhadap orang-orang miskin dapat diatasi, maka mahasiswa-mahasiswa bersendal jepit akan muncul lagi di ITB pada masa krisis ekonomi saat ini. Namun, mereka tetap anak-anak pintar dan penuh harapan ke depan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.
Ideologi PDIP Pancasila 1 Juni 1945, Makarkah?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (22/07). Ketua Umum Partai Demokrasi Ondonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Seoakrnoputri dalam pidato tahun 2005 menegaskan bahwa, “ideologi partai PDIP adalah Pancasila 1 Juni 1945”. Bahkan Megawati agak "menafikan" Pancasila 18 Agustus 1945. Demikian berita dilansir oleh berbagai media saat itu. Antara lain termuat di Kompas.com. Penegasan bahwa Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi dari PDIP sesuai dengan hasil keputusan Kongres II Bali tahun 2005 lalu. Nah, kini dengan reaksi keras, khususnya dari umat Islam terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP) yang diinisiasi oleh PDIP dengan isu komunisme tersebut, maka masalah Pancasila 1 Juni 1945 mengemuka. Masalah ini muncul dalam Pasal 7 RUU HIP tersebut. Akibatnya, PDIP dimasalahkan aspek visi, misi dan platform perjuangannya. Sulit untuk dipungkiri bahwa perjuangan menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 tersebut, dominan dalam sistem politik telah dilakukan oleh PDIP. Dikeluarkan Perpres No 24 tahun 2019 oleh Jokowi adalah sukses perjuangan. Hasilnya, tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila. Juga ditetapkan sebagai hari libur nasional, dan diupacarakan secara resmi. Justru di sinilah perjuangan yang dinilai gagal oleh PDIP adalah RUU HIP yang digempur habis oleh masyarakat, khususnya umat Islam. RUU "pengganti" yang diajukan oleh Pemerintah ternyata masih berfilosofi perjuangan pada Pancasila 1 Juni 1945. Konsiderans RUU BPIP butir a dan b cukup membuktikan keinginan tersebut. Produk Kongres PDIP ke II Bali menjadi pertanyaan ketatanegaraan. Misalnya, bolehkah ada ideologi Pancasila lain yang diperjuangkan oleh partai politik, selain Pancasila yang sudah ada dan berlaku? Seperti Pancasila yang tanggal 1 Juni 1945? Jika boleh, maka bisakah ada partai politik di negeri kini yang menjadikan ideologi perjuangannya adalah Pancasila 22 Juni 1945 atau Piagam Jakarta? Bila tidak, bisakah masuk kategori makar, dengan ancaman hukuman 20 tahunkah ? Sedikit banyak ideologi perjuangan seperti ini dapat menggoyahkan kedudukan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Untuk itu, bila hal ini diabaikan atau tidak dianggap masalah, maka ideologi Pancasila memasuki fase reinterpretasi atau mungkin reformulasi. Pancasila akan menjadi diskursus yang bersifat "debatable". Dengan demikian, telah mendorong kemunduran dalam bernegara. Kini RUU HIP dicoba untuk diubah menjadi RUU BPIP. Namun pastinya RUU DPIP telah menjadi penambah masalah dalam konteks ideologi Pancasila. Sebelum menjadi kasus hukum di Mahkamah Konstitusi, maka baiknya masalah status Ideologi Pancasila 1 Juni 1945-nya PDIP yang menjadi ideologi partai, yang hendak diperjuangkan, mestinya didiskusikan oleh para pemerhati, khususnya ahli Hukum Tata Negara. Pembahsan bisa di lingkungan akademis maupun di ruang publik. Makarkah idelogi PDIP? Ini persoalan serius bangsa. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Gibran vs Wong Solo, Siapa Menang?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Jejak digital mencatat, dunia politik Indonesia dibuat heboh soal kemenangan “kotak kosong” dalam Pilkada Kota (Pilwali) Makassar, pertengahan 2018. Suara kotak kosong melibas suara koalisi parpol dari pasangan Munafri Arifuddin – Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Awal munculnya suara kotak kosong di Makassar setelah Mahkamah Agung (MA) mencoret pasangan Mohammad Ramdhan Danny Pomanto – Indira Mulyasari (DIAmi) dari kontestasi Pilwali Makassar. Atas putusan itu, Pilwali Makassar akhirnya diikuti satu pasangan. Yakni: Munafri Arifuddin – Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Dalam putusannya, MA beranggapan, Danny Pomanto selaku petahana dianggap menggunakan jabatannya untuk melakukan kampanye terselubung dalam program pemerintahannya. Hal ini dianggap majelis hakim yang diketuai Agung Supandi merugikan pasangan lainnya. Karena pertimbangan tersebut, MA lalu mencoret Keputusan KPU Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan atas PKPUNomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Maka tinggallah pasangan Appi-Cicu yang melaju sendiri menuju kursi Walikota Makassar. Tapi, pada 27 Juni 2018 semua orang tersentak, pundi-pundi suara kotak kosong di Makassar mengalir deras. Berdasarkan hasil rekapan dari KPU Kota Makassar per kecamatan, kotak kosong menang atas pasangan Appi-Cicu. Dari rekapitulasi tersebut, pasangan Appi-Cicu total memperoleh 264.071 suara, dan kotak kosong 300.969 suara. Drama saling klaim pendukung kotak kosong dan kelompok App-Cicu sempat terjadi pada sore hari setelah pemungutan suara berlangsung. Klaim pertama muncul pada sore hari dari arak-arakan massa di jalan protokol Makassar yang menyuarakan kemenangan kotak kosong. “Hidup kotak kosong, kotak kosong menang di Makassar,” teriak para massa yang berkonvoi di sepanjang jalan, seperti dilansir Detik.com, Kamis (27 Des 2018 13:53 WIB). Mereka pun memberikan simbol kosong di jarinya ketika melintasi jalan. Sementara itu, Appi dalam orasinya di hadapan pendukung mengklaim memenangi Pilwali Makassar dengan memperoleh suara lebih banyak dari kotak kosong. Ia mengklaim Makassar telah memiliki pemimpin baru dan menyebut menang sebesar 52 persen. Sengketa Pilwali ini sempat dibawa ke MK oleh pasangan Appi-Cicu. Namun, suara kotak kosong di gedung MK ini tetap nyaring berbunyi. Dalam putusan MK, disebutkan perolehan suara Appi-Cicu adalah 264.245 suara. Sedangkan perolehan suara yang 'tidak setuju' (kolom kosong) adalah 300.795 suara. Jadi, perbedaan perolehan suara antara pemohon dan suara yang “tidak setuju” (kolom kosong) adalah 300.795 suara - 264.245 suara = 36.550 suara atau lebih dari 2.825 suara. “Dengan demikian, jumlah perbedaan perolehan suara antara Pemohon dengan suara yang 'tidak setuju' (kolom kosong) untuk bisa diajukan permohonan PHPU Pilwali Makassar 2018 adalah paling banyak 0,5% x 565.040 suara (total suara sah) = 2.825 suara,” tegas MK. Pasca putusan MK itu, hingga kini belum ada Walikota definitif di Makassar. Setelah masa jabatan Mohammad Ramdhan Pomanto berakhir pada 8 Mei 2019 lalu, jabatan Walikota Makassar selanjutnya dipegang Pelaksana Harian dan Penjabat Walikota. Muhammad Anshar (Pelaksana Harian, 8-13 Mei 2019), Muhammad Iqbal Samad Suhaeb (Penjabat, 13 Mei 2019-13 Mei 2020), Yusran Jusuf (Penjabat, 13 Mei-26 Juni 2020), dan Rudy Djamaluddin (Penjabat, 26 Juni-Petahana). Mungkinkah “Sejarah Pilwali Makassar 2018” tersebut bakal terjadi pada Pilwali Solo 2020 mendatang? Apakah Wong Solo berani melakukan perlawanan terhadap putera Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa? Faktanya, Presiden Jokowi dan DPP PDIP akhirnya berhasil “mengalahkan” aspirasi DPC PDIP Kota Solo yang sebelumnya sepakat mengusung Achmad Purnomo – Teguh Prakosa (Puguh) sebagai pasangan bakal calon pada Pilwali Solo 2020. Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri memberikan rekomendasi kepada Gibran Rakabuming Raka – Teguh Prakosa untuk maju pada Pilwali Solo 2020. Menjelang pengumuman, ternyata Gibran sempat berkontak dengan ayahnya, Presiden Jokowi. “Bapak sudah (komunikasi), lewat telepon saja, mendoakan semuanya lancar,” kata Gibran kepada wartawan di kantor DPC PDIP Solo, Jumat (17/7/2020). Lewat sambungan telepon, Presiden Jokowi mendoakan agar proses pengumuman rekomendasi berjalan lancar. Sejumlah nama mengantungi rekomendasi PDIP untuk bertarung dalam kontestasi Pilkada pada 9 Desember 2020 mendatang di wilayah masing-masing. Dari sejumlah nama itu tak pelak nama Gibran sebagai bakal calon Walikota Solo menjadi sorotan. Inspirasi Makassar Sudah bukan rahasia lagi, Gibran yang akhirnya terpilih dan mendapat rekomendasi PDIP untu maju Pilwali Solo 2020 tidak lepas dari “intervensi” Presiden Jokowi. Sebagai basis PDIP yang diwakili oleh DPC PDIP Solo, jelas ini tidak sesuai aspirasi Wong Solo. Apakah Wong Solo sudah siap menjadi bagian dari “kotak kosong” yang bakal menghadapi Gibran – Teguh, seperti halnya rakyat Makassar saat Pilwali 2018 lalu? Para aktivis di sana ikut mengampanyekan kotak kosong. Warga dari mulut ke mulut membisikkan, bahkan meneriakkan: Menangkan kotak kosong! Militansi perlawanan yang luar biasa, hingga mampu menumbangkan dominasi parpol dan keangkuhan penguasa. Bagaimana dengan Solo? Bisa dan tetap mungkin seperti di Makassar. Kotak kosong punya peluang mempecundangi Gibran. Meski banyak suara pesimistik. Alasannya pun beragam. Karakter Wong Solo beda dengan Makassar. Solo basis PDIP. Oligarki sudah sangat menguat. Nepotisme menebal. Juga faktor KPU dan pemihakan aparatur. Pesimisme yang diringi banyak satire, olok-olok, dan kejengkelan warganet, selalu menghiasi timeline. Umumnya menyindir: sudahlah, lantik langsung saja tanpa nyoblos. Buat apa buang duit membiayai Pilkada yang sudah jelas siapa pemenangnya. Tapi, pada saat bersamaan juga banyak yang mengungkap inspirasi dari Makassar. Kalangan perindu keadilan mulai membisikkan dengan ungkapan, “Kita lawan oligarki kekuasaan. Kita tumbangkan Gibran”. Jangan remehkan akal sehat Wong Solo. Mungkin tidak semilitan Makasar. Perlawanan tidak tampak diumbar. Mereka akan melakukannya dengan “senyap”. Alon-alon asal kelakon bisa menjadi energi dahsyat dalam perlawanan diam-diam. Jangan juga remehkan Ahmad Purnomo yang disalip Gibran. Dia politisi senior PDIP Solo yang punya basis akar rumput. Sebuah survei membuktikan, elektabilitas Purnomo jauh di atas anak Jokowi itu. Purnomo lebih 40 persen. Gibran tak sampai 20 persen. Kekecewaan Purnomo menjadi kekecewaan pendukungnya. Politisi senior PDIP itu bisa saja dilihat sebagai sosok yang dizalimi. Dan itu bisa menarik simpati publik. Kotak kosong akan menjadi representasi Purnomo. Kotak kosong menjadi simbol perjuangan. Jangan juga remehkan PKS. Partai yang melawan arus ini bisa memainkan perannya untuk keunggulan kotak kosong. PKS punya modal suara senilai 5 kursi. Modal politik yang bisa gandakan dengan main elegan: cantik, tegas, punya nyali. Jangan remehkan pula umat perindu keadilan di Solo. Mereka eksis dan acap menjadi tulang punggung demo-demo besar di Solo menyuarakan keadilan. Kotak kosong menang bisa jadi diartikan Wong Solo menang dan melawan oligarkhi. *** Penulis Wartawan Senior
Jinakkan Segera “Independensi” Bank Sentral
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. (Bag. Ketiga) Jakarta FNN – Senin (20/07). Gigih, cermat, deteil memperhitungkan semua hal. Bekerja dalam formasi kartel antara sesama oligarki, terlihat menjadi andalan kelompok International Bankir Amerika. Mengambil dari sejarah, mereka tahu kerja besar untuk mendirikan bank sentral harus merangkak, melingkar dan bertahap tetapi dengan spektrum yang pasti. Canggih merancang taktik. Itulah yang diperlihatkan mereka disepanjang jalan berliku ini. Mereka anti gold, tetapi menampilkan diri sebagai pro gold. Mengontrol partai politik, itu pulalah taktik memuluskan jalan mereka menuju puncak tujun. Siapa mengontrol Republik, dan siapa mengontrol Demokrat, jelas pada semua deteilnya. Kalau tidak dapat dikatakan licik, ya oligarki ini cerdas ini. Menanam orangnya dalam pemerintahan dan parlemen. Ttulah salah satu cara mereka. Menggunakan uang negara untuk kepentingan mereka, teridentifikasi menjadi cara jitu mereka menggolkan The Federal Reserve. The Federal Reserve, Kemenangan Bankir Murray N. Rothbard pada artikel berjudul The Origin of The Federal Reserve, yang dimuat di The Quarterly Jorunal of Austrian Economic Vol. 2 Nomor 3, 1999, mengidentifikasi dengan sangat jelas usaha itu. Menurutnya pengawasan yang diatur dalam National Banking Act 1864, dan state bank mengontrol bank notes dan penampungan pajak, dinilai bankir merusak mereka. Tidak itu saja, pemaksaan state bank kepada bank nasional –swasta- berdasarkan National Banking Act itu. Mereka dipaksa menerima bank notes satu dengan lainnya. Juga menerima permintaan deposito sebagai tanpa menyesuaikan dengan pasar. Ini dinilai sangat merusak bankir swasta. Bagi mereka cara ini mengesampingkan proses yang telah berlangsung berdasarkan mekanisme pasar. Dalam kenyataannya, oligarki ini telah terbiasa mengandalkan inflasi sebagai cara terbaik menciptakan uang atau keuntungan.” Itu sebabnya ketika tahun 1870 diberlakukan mata uang coin yang disponsori Partai Demokrat, sebagai cara menghentikan inflasi. Mereka tidak suka. Ini harus dihentikan. Tidak idenpenden, dan tidak leluasaa mengontrol inflasi, sama dengan tidak dapat mempermainkan pasar, untuk dan demi keuntungan mereka. Tidak independen mengatur kebijakan bisnis perbankan, jelas memukul mereka. Padahal ini adalah andalan mereka. Kenyataannya sejak perang saudara itu telah berkembang bentuk baru corporasi. Bentuk baru korporasi itu adalah kartel. Kartel korporasi diparkarsai untuk pertama kalinya oleh J.P. Morgan. Bagaimana menyukseskan usahanya? Terlihat jelas, bukan hanya adanya pertalian, tetapi oligarjki inilah yang memutuskasn siapa yang berkuasa. Untuk tujuan itu oligarki mengerahkan semua sumberdaya politik mengatur pemilu presiden tahun pada 1896. Dukung McKinley Jadi Presiden 1896 Rockeffeller dan J.P. Morgan, dua bankir papan atas kala itu beraksi. Mereka bedua yang memimpin permainan ini. Rockeffeller, pemilik standar Oil, dan sejumlah Bank telah menjelma menjadi kekuatan terbesar yang mengendalikan Partai Republik. Diseberang sana, dalam sifat pseudo, ada J.P. Morgan. Sososk ini yang mengontrol Partai Demokrat. Permain dimulai dengan mengatur isu yang harus digemakan capres dalam konvensi masing-masing partai. Permainannya terlihat cukup canggih. Rockkeffeler telah mengubah platform Partai Republik, yang semula anti gold standard, berubah menjadi pro gold. Morgan dan Mark Hanna, segera jumpa William McKinley, kandidat Calon Presiden Partai Demokrat. Konvensi Demokrat pun berlangsung, dan William McKinley segera menghebohkan Amerika dengan gagasan anti gold, interfensionis terhadap dunia luar, dan proteksi terhadap ekonomi Amerika. Landscape politik berubah total. Uniknya, William Jenings Bryant yang menjadi tokoh utama Demokrat yang anti gold, diam saja. Dan William Meckinley menang pilpres. Permainan juga bergerak naik sesudah itu. Bankir melakukan apa yang disebut Indianapolis Monetary Convention. Convensi ini mendesak McKinley segera mengambil kebijakan: (i) Melanjutkan kebijakan gold standar. (ii) Menciptakan satu sistem baru yang elastis tentang kredit bank. Tak lama setelah itu, Comisi ini mendesak McKinley membentuk Komisi Moneter baru. Isu terakhir tak dipenuhi McKinley. Tetapi tahun 1900, akhir dari masa jabatan McKinley, Kongres mengeluarkan Gold Standar Act 1900. Dan atas nama pro gold, mereka memborong gold dari berbagai penjuru dunia, terutama Philipine, Meksiko dan Kuba. Motor kampanye pembelian ini dipimpin oleh Charles Conand, seorang Jurnalis dan Mark Hannah, kaki tangan Rockeffeler. Belum tuntas, tetapi masa jaatan McKinley segera berakahir dan pemilu presiden untuk jabatan kedua segera datang. McKinley tetap capres dengan Theodore Rosefelt menjadi wakilnya. McKinley Menang. Kenyataannya McKinley hanya bisa bekerja selama enam bulan sejak dilantik pada tangal 4 Maret 1901. McKinley ditembak oleh Leon Czolgosz pada tanggal 13 September, 1901, dan mati keesokan harinya. Krisis Keuangan 1907 Theodore, wakilnya melanjutkan sisa masa jabatannya. Berbeda dengan McKinley, Theodore tidak mengistimewakan Morgan, Rockeffeler dan kawan-kawan. Ia memusuhi pada tingkat tetentu korporasi besar, bertipe kartel. Tetapi Bankir-bankir ini tetap melanjutkan permainannya, sampai memasuki pemilihan presiden lagi. Pemilihan presiden 1904 ini diikuti juga oleh Theodore, dan menang. Ia berkuasa hingga 1908. Uniknya setahun sebelum masa jabatannya yang kedua berakhir, monster keuangan yang bernama inflasi menggerogoti Amerika. Ini dikenal dengan Financial Panick 1907. Inflasi ini terlihat menjadi anak tangga terdekat ke terbentuknya The Federal Reserve. Jalannya sedikit merangkak, tetapi sukses yang mengagumkan dimulai dari sini. Jessie Romero dalam artikel Jekyll Island: Where the Fed Began, menunjukan pria yang menjadi figur kunci politik J.P Morgan, segera muncul kepermukaan. Woodrow Wilson, profesor ilmu hukum administrasi negara dari Princeton University, mengawali kemunculannya ekspektasi Morgan. Wilson, seperti ditulis Mullins menyatakan semua kekacauan ini dapat diatasi, bila kita membuat satu Komite yang terdiri enam orang, seperti Morgan untuk menanganinya. Nelson Aldrich menyambut, bahkan memastikan gagasan Woodrow Wilson itu. Nelson, Senator Republik di Senat, sekaligus ketua Komisi Keuangan Senat, segera mengambil langkah. Yang dilakukan Nelson adalah mengajukan RUU National Currency Commission. RUU ini disetujui Senat jadi UU. Segera setelah itu, Theodore Rosevelt membentuk National Currency Commission 1908, sebelum mengakhiri jabatannya yang kedua. Komite ini, hebatnya diketuai sendiri oleh Nelson. Dibantu oleh Shelton, sekertarisnya, J. P Morgan, dan orang-orang Morgan lainnya seperti Charles Dalton, Henry P. Davison. Frank Fanderlip, President National City Bank of New York juga ikut bergabung dalam Komite ini. Komite ini, menariknya segera melakukan studi banding. Yang dipilih adalah bank-bank di Eropa. Dalam kenyataannya Bank-bank yang dijadikan obyek studi itu dikelola oleh saudara-saudara Rothschild. Dalam perjalanan ke Eropa, ikut bergabung Paul Warburg, sosok penentu dalam Kuhn and Loeb, milik Jacob Shif, orang yang mendanai Revolusi Rusia 1917. Pembaca FNN yang budiman, kembali dari Eropa, Tim “National Currency Commission” yang lebih merupakan Tim Morgan, setidaknya Tim Bankir ini, tidak langsung ke New York. Mereka ke Jekyll Island. Ditempat inilah Bill of The Federal Reserve disiapkan. Cukup cermat, RUU The Federal Reserve yang telah disiapkan itu, tidak langsung dimasukan ke Senat. Medan politik harus ditangani, dibereskan terlebih dahulu. Rakyat harus dicuci, dikecohkan otaknya dulu dengan cara propaganda, bentuk jahat dari sosialisasi khas Indonesia. Kerja pengecohan, yang sekali lagi kalau di Indonesia disebut sosialisasi, ditangani oleh satu, bukan Komite, tetapi liga. Dalam identifikasi Mullin liga ciptaan Paul Warburg ini, semula diberi nama “Citizen League” sebelum akhirnya diubah menjadi “National Citizen League”. Cermat, harus dikatakan begitu. Liga ini tidak dipimpin oleh Bankir, mahluk yang dibenci itu, tetapi profesor dari universitas ternama. Profesor Laughlin dari University of Chigaco. Universitas yang disokong Rockeffeler ini, yang ditunjuk memimpin liga. Ia dibantu, dalam semangat sebagai juru bicara Nelson, oleh Profesor O.M. Sprague dari Harvard University. Canggih kan kerja mereka. Masyarakat harus dikecohkan, dijauhkan dari kecurigaan terhadap usaha ini. Kata Paul Warburg kepada sahabatnya, untuk mencapai target itu, maka nama Cenral Bank tidak boleh digunakan. Nama itu diganti dengan The Federal Reserve. Ada pro dan ada yang kontra. Tetapi bukan itu point kuncinya. Poin kuncinya adalah gagasan ini telah tersaji di tengah masyarakat. Telah tersosialisasi dengan sangat baik dan rapi. Itu kuncinya. Sosialisasi hanya dirancang untuk menyajikan gagasan itu ditengah masyarakat. Bukan untuk mendapatkan persetujuan masyarakat. Tidak lebih. Dukung Woodrow Wilson 1913 Sangat terencan dan sistimatis. Hasil studi dan draf RUU yang telah disiapkan di Jekyl Island, tidak langsung dilaporkan kepada Presdien dan Congres. Gagasan ini, kalau di Indonesia akan disebut “sosialisasi” dipresentasikan pada masyarakat perbankan di berbagai penjuru Amerika. Berbaju resmi sebagai National Currency Committee, maka tindakan sosialisasi sepanjang 1908-1911 dibebankan pada uang Negara. Dalam tiga tahun Komite ini menghabiskan uang negara, menurut catatan Mullins sebesar $207.130. Hasil kerja National Currency Committee itu, dilaporkan ke Congres pada tanggal 15 Desember 1911 sebagai Aldrich Plan. Aldrich Plan ini, entah telah tersistem secara diam-diam atau merupakan kebetulan yang istimewa, menyandra, setidak mengakibatkan kongres tidak punya pilihan, selain menjadikannya sebagai rujukan utama pembentukan The Federal Act 1913. Cukup hebat, Aldrich, setelah plannya diterima Congres, mengakhiri masa jabatannya sebagai senator. Berantakankah plannya? Tidak. Dan ini yang hebat. Charter Glass dari Demokrat menggantikan posisinya, tentu pada awal pada tahun 1912. Pada titik ini muncul sebuah pertanyaan, mengapa Currency Committee begitu lama bekerja? Mengapa tidak segera diajukan ke Kongres, sehingga dapat segera membahasnya sebagai RUU prakarsa Kongres? Oligarki ini terlihat memperhitungkan kenyataan politik secara cermat. William Howard Taft, professor hukum tata negara, yang sedang berkuasa sebagai Presiden di tengah isu ini, dikenal sebagai Presiden anti Bank Sentral. Orang ini, sedemikian antinya terhadap Bank Sentral, sehingga menulis dalam biografinya “ia ingin menuliskan di Nisannya kelak setelah mati sebagai Presiden yang anti Bank Senral.” Taft adalah kegagalan untuk oligarki ini menggolkan The Federal Reserve Act. Caranya menunda pembahasan RUU itu. Momentumnya harus dibuat pasti. Pada titik inilah letak signifikannya memperhitungkan Woodrow Wilson. Sebagaimana ditulis Mullins, dan telah dikutip pada uraian sebelumya, orang inilah yang mengawali gagasan Currency Commission. Tidak itu saja. Dia juga yang munculkan nama J.P. Morgan masuk ke dalam Commite itu. Dalam rangka menunda pembentukan UU itu, kongres menyelenggarakan serangkaian hearing. Satu di antara hearing itu diprakarsai oleh Arsene Pujo, ketua subkomite of House of Banking and Currency Committee. Komite ini bekerja selama lima bulan, dengan menghasilkan tidak kurang dari 500 halaman hasil kerja. Logis saja, karena Komite, yang dikenal dengan “Komite Pujo” ini bekerja selama lima bulan. Menariknya Pujo dikenal sebagai juru bicara, setidaknya representasi kepentingan oligarki minyak Rockeffeler. Demokrasi pemilu terlihat tak bisa berkelit dari cengkeraman Rockeffeler yang telah mengontrol Republik. Dan J. P. Morgan yang mengontrol Demokrat, yang pada tahun 1896 memunculkan McKinley menjadi Presdien. Pada pemilu kali ini menyajikan taktik baru. Republik memunculkan dua figure, Taft dan Theodore Rosevelt, mantan presiden dalam konvensi partai Republik. Rosevelt dikalahkan oleh Taft dalam konvensi. Mundurkah Rosevelt dari pencalonan? Tidak. Rosevelt tetap maju dengan partai independen, partai progresif. Taft maju dengan Republik. Demokrat memunculkan Woodrow Wilson, profesor yang sejak tahu 1907 telah menominasikan J. P Morgan menyelesaikan masalah keuangan Amerika. Bukan Morgan, juga bukan Rockeffeler yang mengarap Wilson. Tugas itu diserahkan kepada Kolonel Edward Mandel House. Pria ini, mewarisi bisnis Cooton dari ayahnya di Texas, telah menyukseskan tiga koleganya jadi Gubernur Texas. Ia bertemu dengan Wilson untuk pertama kali 31 Mei 1912 di Hotel Gotham. Bertindak sebagai utusan Texas, ia menominasikan Wilson dalam konvensi Demokrat. Kesamaan House dan Wilson, diakui sendiri oleh House, tulis George Sylvester terletak pada temperamen dan hasrat mereka terhadap kebijakan publik. Kepada George Sylvester, House menambahkan, anda tahu bagaimana mewujudkan hasrat itu? Dijawab sendiri oleh House, mengontrol pembentukan UU, sehingga memastikan ide liberal dan progresif mereka ditulis dalam UU itu. Demokrasi pemilu bekerja dengan semangat “London Connection” jaringan bankir oligarkis. Jaringan berisi, beberapa di antaranya adalah Morgan, Rockeffeler, Paul Warburg, Jacob Shift, Frank Venderbild, Bernard Barus, Edward Mandel House, dengan Rotschild di puncaknya. House memberi sumbangan dalam kapanye Wilson sebesar U$ 35.000. Berrnard Baruch memberi sumbangan sebesar U$ 50.000. Penyumbang lain yang tidak disebut jumlah sumbangannya adalah Samuel Untermeyer, Corporate layer kaya raya ini. Orang ini pernah dibayar sebesar U$ 775.000 dalam menangani merger antara Copper Company and Boston Consolidated And Nevada Company. Sebelum memberikan keterangan di Komite Pujo, Untermeyer lebih dahulu menemui Jacob Schif. Kepada Schiff, Urtermeyer menanyakan bagaimana operasi Banking House Kuhn and Loeb. Jacob Schif diidentifikasi Senator Robert L. Owen sebagai representasi keluarga Rothschild di Amerika. Dalam itu, Untermeyer sulit dikesampingkan sebagai orang London Connection. Demokrasi pemilu yang hebat, yang disuntik dan dipandu dengan semangat “London Conection” khas para oligarkis, menempatkan Wilson teratas dalam perolehan suara. Tepatnya Wilson mendapatkan suara sebesar 409. Rosevelt 167 suara. Dan Taft, presiden incumbent yang sangat populer itu hanya mendapat suara 15. Rakyat tak percaya. Tetapi itulah demokrasi yang diagung-agungkan, dalam nada naïf, di tanah air tercinta ini. Waktu memetik hasil semakin cepat datang. Aldrich Plan (ingat Aldric Senator dari Republik), segera diajukan secara resmi sebagai RUU, tetapi telah berganti baju menjadi Charter Glas Bill. Charter adalah Senator Demokrat, juga memimpin komite keuangan di Kongres. Dia menggantikan Senator Aldrich dari Partai Republik. Charter Glass resmi mengajukan The Federal Reserve Bill Januari 1912, dan Woodrow Wilson terpilih jadi Presiden Desember 1912. Dia dilantik tanggal 4 Maret 1913. Dimasa Wilson inilah Charter-Gas Bill, yang kelak menghasilkan The Federal Reserve Act 1913 dibahas, dan disetujui jadi UU 18 September 1913. Bank Sentral, yang seabad sebelumnya berfungsi sebagai clearing house of finance and currecy, dalam kasus Bank of Englad, tercipta dengansempurna. Sempurna karena diberi status independen. Ini kreasi hebat, karena dianalogikan dengan status konstitusional Mahkamah Agung. Sempurna. (bersambung) Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khirun Ternate.