Pilkada & Label Jokowi Inkompeten dari The Economist
by Jusman Dalle
Jakarta FNN - Rabu (23/09). Majalah ekonomi papan atas dunia, The Economist melabeli Joko Widodo tidak kompeten menangani krisis Covid. Dalam laporannya yang terbit akhir Agustus, The Economist membagi empat kluster pemimpin dunia dalam merespons krisis Covid-19.
Kluster pertama, mereka yang menyangkal ada masalah. Seperti Gurbanguly Berdymukhamedov dari Turkmenistan, yang mendenda rakyatnya karena memakai masker. Meski kemudian kebijakan itu diervisi. Wajib masker dengan alasan agar tidak menghirup debu. Aneh!
Kelompok kedua, yaitu para kepala negara yang mengakui ancaman Covid-19. Melawannya dengan upaya maksimum dan keras. Relatif berhasil. Meski cenderung mengabaikan kebebasan sipil. Hal ini misalnya dilakukan Xi Jinping di Tiongkok, dan Nguyễn Phú Trọng di Vietnam.
Kelompok ketiga, mencakup sebagian besar negara demokrasi. Berusaha kompromi. Antara menangani virus, dan tetap menimbang segala dampak sosial ekonominya.
Kelompok keempat, para kepala negara yang mencoba bertindak keras. Namun melakukannya dengan tidak kompeten. Di kluster terakhir inilah Presiden Joko Widodo ditempatkan. Kebijakan yang tidak solid sejak awal, memperburuk Covid-19 di Indonesia.
Keinginan memaksakan Pilkada, dipastikan bakal memperparah keadaan. Rencana Pilkada ini, persis langkah tergesa-gesaan pemerintah menggenjot ekonomi. Padahal para pakar lintas disiplin ilmu secara tidak tertulis bersepakta pada satu diktum. Ekonomi hanya bisa jalan jika pandemi terkendali.
Sebetulnya, pemerintah menyadari salah langkah. Namun bukannya menahan diri, malah terus berlari. Semakin jauh tersesat ke labirin gelap.
Sebuah dokumen rahasia, bahan presentasi mengenai kondisi perbaikan ekonomi serta penanganan Covid-19 jangka panjang terungkap. Mengutip CNBC Indonesia, dokumen itu bersumber dari Kemenko Perekonomian. Menunjukkan Covid-19 baru bisa selesai di akhir 2021 jika proses vaksinasi berjalan sesuai rencana. Mulai pertengahan 2021.
Masih dari dokumen yang sama, krisis ekonomi bakal sangat dalam. Skenario pemulihan yang diajukan berjalan sangat lamban. Recovery ekonomi seperti pre-Covid19 diperkirakan baru bisa terealisasi tahun 2022/2023.
Memperhitungkan dampak Pilkada mentransmisi Covid-19 di 270 daerah, maka krisis multidimensi akan berlangsung lebih panjang, dalam, dan mematikan dari semua perkiraan yang pernah diajukan. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat semakin tidak menentu.
Karena itu, seruan menunda Pilkada jadi opsi paling rasional saat ini. Apalagi di level masyarakat, tekanan agar Pilkada ditunda semakin kencang. Dua ormas terbesar di Indonesia, NU & Muhammadiyah bahkan kompak menyerukan Pilkada diundur. Para tokoh, pakar dan pengamat juga menyuarakan aspirasi senada. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, secara tegas meminta pemerintah menunda Pilkada hingga vaksinasi Covid19 selesai.
Opsi penundaan Pilkada amat beralasan. Agar pesta demokrasi lima tahunan itu, tidak menjelma jadi monumen kematian. Situasi penanganan Covid-19 yang amburadul memendam bom waktu. Akan terjadi ledakan Corona yang sangat mengerikan jika agenda Pilkada tetap dipaksakan.
Di masa-masa kampanye, pengumpulan massa skala besar hingga ribuan orang, tak bisa dihindari. Sudah terlihat pada proses pendaftaran para kandidat kemarin. Bakal calon kepala daerah bahkan tidak mampu mendisiplinkan tim sukses dan pendukungnya. Berkerumun mengabaikan protokol kesehatan.
Penyelenggara pemilu, juga melakukan pembiaran atas pelanggaran protokol kesehatan itu. KPU bahkan membolehkan konser musik ketika kampanye. Perlu di catat, KPU memegang rekor sebagai lembaga negara paling mematikan. Tahun 2019, sebanyak 894 petugas KPPS gugur karena kelelahan mengurus Pemilu.
Potensi angka kematian petugas KPPS akibat Pilkada bakal lebih besar. Tingkat ancamannya bertambah. Corona punya ruang yang nyaman di kerumunan dan sikap indisipliner menegakkan protokol kesehatan.
Bagi Jokowi, menunda atau melanjutkan Pilkada memang dilematis. Jika dilanjutkan, tingkat kematian dan penyebaran Covid-19 bakal semakin menyeramkan. Bila ditunda, ongkos politiknya tidak kecil. Kredibilitas pemerintah jatuh. Buah simalakama. Itulah akibatnya, sedari awal Jokowi dan jajarannya tidak tegas merespons Covid-19.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Tali Foundation.