Gubernur Khofifah “Dijebak” Luhut Pandjaitan?
by Mochamad Toha
Surabaya FNN- Kamis (24/09). Editorial Koran Tempo berjudul “Utak-atik Kematian Covid” (21 September 2020), mencibir Pemerintah yang berencana mengubah data kasus kematian Covid-19 menjadi 2 kelompok kematian dengan Covid-19 yang disertai komorbid dan kematian karena Covid-19.
Koran Tempo menyebut, pandemi tampaknya melahirkan orang-orang yang “kreatif”. Setelah Kementerian Pertanian mempromosikan kalung anti Covid-19, seseorang yang bernama Hadi Pranoto mengklaim berhasil menciptakan obat antivirus corona.
Kini, pemerintah berupaya menurunkan angka kematian akibat Covid-19 lewat “jalan pintas”. Caranya bukan dengan menekan tingkat penularan atau menggenjot angka kesembuhan, tapi mengubah definisi kematian.
Pemerintah berencana membuat 2 kategori: kematian karena Covid-19 dan kematian dengan Covid-19 yang disertai komorbid alias penyakit bawaan.
Usul membuat kategori seperti itu datang dari Provinsi Jawa Timur. Gubernur Khofifah Indar Parawansa mengirim surat kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto agar klasifikasi pelaporan kasus kematian ditinjau ulang.
Dari 2.922 kasus kematian di Jatim, sebanyak 91,1 persen meninggal disertai komorbid. Bila definisi kematian berubah angka kematian karena Covid-19 di Jatim bakal turun drastis.
Perubahan definisi itu otomatis akan menekan angka kematian Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia. Pasien yang meninggal setelah terjangkit virus corona, tapi memiliki penyakit asal seperti ganggunan jantung atau asma, akan dipisahkan dari kasus kematian akibat Covid-19.
Bila sudah begitu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tak perlu bersusah-payah lagi menurunkan angka kematian di 9 provinsi.
Belum lama ini, Presiden Jokowi memang menugasi Luhut untuk menekan angka kematian di daerah merah – termasuk Jatim – dalam dua pekan. Tanpa “mengolah” definisi kematian, target Jokowi itu jelas sangat muskil.
Utak-atik angka kematian sejatinya bukan pertama kali terjadi. Hingga pertengahan Juli lalu, Kemenkes tak mau memasukkan pasien yang meninggal dengan gejala Covid-19, tapi belum terkonfirmasi oleh hasil tes laboratorium, ke dalam kurva kematian akibat corona.
Padahal, 3 bulan sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukkan kasus berstatus probable itu dalam angka kematian Covid-19. Artinya, kematian dengan Covid-19 yang disertai komorbid itu tetap dimasukkan dalam angka kematian Covid-19.
Koran Tempo mengingatkan, sia-sia saja mengutak-atik definisi kematian bila tujuannya untuk menutupi kegagalan mengendalikan wabah. Indonesia bukanlah sebuah koloni di dalam gua tertutup.
Upaya menekan tingkat fatalitas dengan cara itu hanya akan menjadi bahan olok-olok dunia. Lebih berbahaya lagi, manipulasi data kematian iitu bisa menurunkan kewaspadaan dalam memerangi pandemi.
Tanpa “diskon” angka kematian pun, kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan sangat rendah. Akurasi data kematian semestinya menjadi pegangan pemerintah dalam memotong mata rantai penularan Covid-19.
Sekaligus membangun sistem kesehatan publik jangka panjang. Kalau tujuannya memang ingin menghibur diri atau meninabobokan banyak orang, kenapa pemerintah tidak sekalian membuat kategori kematian karena “sudah ajal” saja?
Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan dr Achmad Yurianto, redefinisi kematian COVID-19 masih dalam pembahasan rapat internal.
“Bukan saya yang mengubah, saya masih koordinasi ke staf ahli menteri dan staf khusus menteri, saat ini masih berproses, apakah perlu diubah atau tidak,” kata dia saat dihubungi IDN Times, Selasa (22/9/2020).
Redefinisi kematian COVID-19 muncul saat Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Kesehatan Kementerian Kesehatan M. Subuh menghadiri rapat koordinasi bersama Gubernur Khofifah di Jatim pada Kamis, 17 September 2020.
Menurut Subuh, kehadirannya untuk melaksanakan pesan dari Menkes berdasarkan Instruksi Presiden untuk membantu penurunan angka penularan, kematian, dan meningkatkan angka kesembuhan di wilayah Jatim dalam waktu dua pekan ke depan.
“Kita harus berusaha dalam dua minggu ke depan terjadi penurunan angka penularan, peningkatan angka kesembuhan, penurunan angka kematian di 9 provinsi, termasuk wilayah Jatim,” ungkap Subuh dilansir laman Kemkes.go.id.
Subuh menyebutkan ketiga poin tersebut (penurunan angka penularan, peningkatan angka kesembuhan, penurunan angka kematian) bisa ditekan, khususnya penurunan untuk angka kematian.
“Penurunan angka kematian harus kita intervensi dengan membuat definisi operasional dengan benar, meninggal karena Covid-19 atau karena adanya penyakit penyerta sesuai dengan panduan dari WHO, dan juga dukungan BPJS Kesehatan dalam pengajuan klaim biaya kematian pasien disertai Covid-19,'” kata Subuh.
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Khofifah akan segera mengkoordinasikan dengan tim Covid-19 wilayah Jatim agar tiga poin tersebut tercapai.
“Dengan adanya klasifikasi diharapkan adanya pendataan yang benar dan sinkronisasi data yang aktual antara pusat dan daerah, baik data kematian pasien yang memang disebabkan oleh Covid-19 dan kasus kematian karena Covid-19,” kata Khofifah.
Tingkat kematian akibat infeksi virus SARS CoV-2 di Jatim secara persentase itu tinggi. Data terbaru Satgas Penanganan Covid-19, sebanyak 2.990 orang meninggal dunia (7,28%) dari total terkonfirmasi positif 41.076 kasus. Sebanyak 33.575 dinyatakan sembuh (81,74%).
Merujuk data tersebut, Koordinator Rumpun Kuratif Penanganan COVID-19 Jatim dr. Joni Wahyuhadi mengakui pihaknya mengirimkan usulan kepada Kemenkes. Sebab, perlu adanya pelurusan mengenai pemberian status kematian akibat virus corona.
Harusnya, ada pembedaan klasifikasi meninggal dunia seperti standar WHO. Yang mana meninggal murni Covid-19 dan meninggal akibat komorbid disertai virus corona. “Usulan kami kalau melihat di pengisian sistem online Kementerian Kesehatan,” ujar Joni.
“Jjadi, angka kasus bukan berdasarkan rantai kasus sesuai WHO. Namun, kriteria saat Covid-19 pasien meninggal ini dicap negatif, probable, dan confirm,” ungkapnya saat di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin, 21 September 2020.
Sementara, pedoman WHO yang ditunjukkan Joni, dokter sejak awal mencatat penyebab pasien terinfeksi mulai dia kontak erat atau masuk kategori suspect.
Kemudian, harus dipastikan apakah ada penyakit penyerta atau tidak yang harus diisi, lalu dipantau terus apakah ada pneumonia atau tidak yang ini menjadi indikator penentuan pasien yang dinyatakan meninggal dunia.
“Definisi kematian, kematian karena Covid-19 untuk tujuan pengawasan sebagai kematian yang kompatibel secara klinis dalam kasus Covid-19 yang suspect atau probable,” katanya.
“Jadi, suspect itu gak boleh disebut kematian karena Covid-19. Ini bukan di-covid-kan. Sebab, suspect belum ada pemeriksaan labnya. Klinisnya, ada toraks fotonya, ada riwayat kontaknya, ada gejalanya,” lanjut Joni.
“Kecuali ada penyebab kematian alternatif yang jelas, yang tidak dapat dikaitkan dengan Covid-19. Jadi, suspect maupun terkonfirmasi menyebabkan gagal napas itu Covid-19,” jelas Joni.
Dirut RSUD dr Soetomo ini mencontohkan pasien yang meninggal dunia terdeteksi positif Covid-19, tapi tidak seharusnya tercatat meninggal akibat corona.
Yakni, pasien yang mengalami kecelakaan. Saat akan dirawat diwajibkan tes swab. Ternyata hasilnya positif. Tak lama setelah itu, pasien meninggal dunia.
“Harusnya bukan (masuk kematian akibat) Covid-19. Kematian Covid-19 (harusnya) tidak dikaitkan dengan hal lain. Misal kanker kronis mati kena Covid-19, ini bukan (meninggal karena) Covid-19. Tapi, karena kanker. Ini harus dihitung secara independen yang diduga memicu perjalanan Covid-19,” kata Joni.
Kewenangan untuk menghitung itu, kata dia, menjadi kewajiban dokter di rumah sakit yang menangani pasien. Menurutnya, harus dibedakan ada pasien positif virus corona yang meninggal karena komorbidnya. Ada pula yang meninggal karena Covid-19.
Berdasarkan data di Jatim, pasien meninggal dunia yang memiliki komorbid atau penyakit penyerta sebesar 91,9 persen. Mayoritas penyakit penyertanya adalah diabetes. Sedangkan yang meninggal murni karena Covid-19 hanya 8,1 persen.
Contoh Kasus
Usulan Gubernur Khofifah itu dikritisi Arie Karimah Muhammad, Pharma-Excelent Alumni ITB. “Buat yang mau otak-atik angka kematian, coba jawab dulu pertanyaan aye ini,” tulis Arie Karimah dei akun FB-nya.
Jika seorang penderita diabetes terinfeksi Covid dan meninggal: Piye Carane menentukan kematiannya itu akibat diabetes atau Covid? Kriteria apa yang digunakan? Kadar gula darah puasanya? Atau viral load-nya?
“Atau dilihat mana yang berhenti duluan: jantung atau paru-parunya? Atau: apa?” tulisnya. Kalau diputuskan kematiannya akibat diabetes (biar angka kematian Covid terlihat rendah): jenazah tetap diurus dan dimakamkan dengan protap Covid?
Di pemakaman khusus Covid? Nanti kalau wartawan ngecek akan banyak selisih atuh antara angka kematian akibat Covid di RS dengan jumlah makam di pemakaman khusus? Njur piye? Beda kalau semua jenazah dikremasi: tidak bisa di-cross check. Ya tho?
“Ingat lho, media asing seperti Reuters itu punya direct access ke sumber data. Mereka pasti melakukan cross checking jika datanya aneh. Testing number wae belum becussss,” ungkap Arie Karimah.
Belum lagi masalah administrasi di RS apa nggak ruwet: meninggal bukan karena Covid tapi pemulasarannya dengan protap Covid. SOP-nya apa nggak ruwet itu? “Kalau ada audit ISO piye carane manipulasi data?” lanjutnya.
“Kalau mau klaim biaya ke pemerintah juga gimana? Ada double SOP gitu? Khofifah, bisa jawab kagak?” sindir Arie Karimah.
“Senengane kok akal-akalan. Gimana kalau kutanya: Penderita penyakit kronis itu kalau tidak terinfeksi Covid secara statistik berumur lebih panjang nggak?” ujar Arie Karimah. Apakah cause of death-nya bisa dibedakan secara significant.
Lha kadang udah dikubur aja PCR-nya belum keluar. Apa yang meninggal di rumah pernah dihitung nggak yang akibat Covid?
Mbok semangat itu belajar dari negara lain yang angka kematiannya rendah, atau berhasil menekan angka kematian.
Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id