Memindahkan Papua Dari Bahu ke Mobil (Bagian-1)

by Luthfi Pattimura

Jakarta FNN – Senin (19/10). Tanggal 19 Desember 2018, kami menginjakkan kaki di bumi Cendrawasih, Papua. Malamnya menginap di sebuah hotel, di Abepura. Ini kota kecil saja. Tidak ada beton-beton industri. Apalagi beton yang megah berdiri seperti di kota-kota besar.

Sambil menunggu Dr. Janiver Manalu, Dekan Fakultas Teknik Universitas Cendrawasih (Uncen) untuk berbincang-bincang, kami minum kopi panas di restorant hotel kami nginap. Ketika minum kopi itu, iseng-iseng kami berpikir, adakah kami sedang menikmati Papua? Nikmati kopi panasnya, iya! Yang kami pikirkan itu mungkin sedikit menyangkut kelas.

Setelah Janiver muncul dan kami berbincang. Terasa kalau kita mau menikmati Papua sambil duduk di warung kecil, di tepian jalan dan memandang keriuhan jalan protokol Abepura. Namun itu mungkin akan terjadi sepuluh atau limabelas tahun lagi.

Yang pasti. “Saya pernah terenyuh”, demikian Janiver memulai cerita. “Ketika masyarakat dari pegunungan Papua, pada suatu hari meminta tolong agar jalan bisa dibuka. Mereka bahkan ingin bisa menikmati jalan itu seperti apa? Ingin menikmati jalan seperti saudara-saudara yang lain”.

Jalur Emas Selatan Papua

Mendengar cerita di atas. Kami langsung ingat sebuah perbincangan lain. Bersama Dr. Ir. Nicolaas E Kuahaty M.Ec.Dev. pemikir dan praktisi kebijakan infrastruktur. Saat mengingatnya, perbincangan itu membantu kami mengenal raksasa komunitas Papua dengan komuditasnya. Terutama yang berada di lahan terbuka NKRI, tetapi tersembunyi di depan mata.

Bukan itu saja. Dari timbunan data dan informasi tentang bagaimana, dan ke arah mana Papua dibangun? Kuahaty secara analisis langsung memotong rute perbincangan dengan menyatakan bahwa pengembangann Papua idealnya dimulai dari selatan. Mengapa?

“Wilayah selatan adalah wilayah terdekat sisi jarak dari Pulau Jawa. Kita tahu, barang-barang kebutuhan pokok termasuk bahan bangunan masih didatangkan dari Jawa. Rasionalitas jarak memiliki korelasi positif terhadap biaya, sehingga jarak terpendek akan berpengaruh pada pergerakan atau mobilitas.”

Lalu, pernyataan berikutnya yang mengikuti analisa di atas berbuyi, “Selain itu, wilayah selatan Papua memiliki beberapa pusat kawasan stategis nasional dalam pembangunan yang berbasis pada Wilayah Pengembangan Strategis (WPS). Ini merupakan suatu pendekatan pembangunan yang memadukan wilayah dengan market driven yang tidak mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan”.

Menurut Kuahaty, Pembangunan berbasis WPS fokus pada pengembangan infrastruktur menuju wilayah strategis. Ini mendukung percepatan pertumbuhan kawasan-kawasan di WPS, serta mengurangi disparitas antar kawasan di dalam WPS yakni Sorong, PKN Bintuni, PKN Mimika dan PKN Merauke.

Penetapan pusat kawasan nasional adalah untuk mendukung beberapa industri strategis atau objek vital nasional. Misaslnya Industri Minyak Petrochina di Kab Sorong, Industri Gas BP Tangguh di Kab Bintuni, Industri Tambang Tembaga dan Emas PT Freeport Indonesia di Kab Mimika, dan Industri MIFEE di Kab Merauke. Jatuhnya, kata Kuahaty adalah “jalur jalan yang menghubungkan Sorong, Teluk Bintuni, Mimika, Yahukimo dan berakhir di Merauke.”

Jadi, bila pemerintah mendorong konektivitas selatan Papua, maka akan terjadi sebuah pergerakan pertumbuhan linear yang cepat terhadap transportasi orang barang dan jasa. Hal ini signifikan dipengaruhi oleh adanya interaksi keuangan yang tinggi.

Kita tahu, transportasi manusia atau barang bukanlah tujuan akhir. Makanya itu, permintaan akan jasa transportasi dapat disebut sebagai permintaan turunan (derived demand) yang timbul akibat adanya permintaan akan komoditas atau jasa lainnya.

Beberapa perubahan yang merupakan manfaat dari konektivitas selatan Papua adalah akan memberikan akses yang lebih mudah bagi tenaga kerja, terutama orang asli Papua untuk melakukan pilihan yang lebih rasional terhadap peluang kerja pada industri yang ada.

Kemudian, akan mendorong bertumbuhnya jalur distribusi pangan untuk industri yang di supply dari kawasan belakang yang memiliki lahan potensial pertanian dan perkebunan. Selanjutnya, terciptanya hilirisasi industri melalui pembangunan peleburan (smelter) dan pemurnian (refinery).

Sementara pemanfaatan sisa produksi Migas dan Tambang dapat memenuhi kebutuhan pupuk untuk pengembangan kawasan pangan andalan di Merauke melalui MIFEE. Bahkan sisa pasir tambang (sirsat) PT.Freeport Indonesia dapat dijadikan bahan dasar pembuatan semen.

“Pengembangan industri hilir,” kata Kuahaty, “pada intinya adalah untuk memastikan terciptanya rantai nilai ekonomi (value chained of economics). Sebab pada akhirnya, the last but not least, jalur tersebut akan memberikan efek perpindahan dengan daya beli yang tinggi.

Nanti untuk jangka panjang, dampaknya adalah, meningkatnya daya saing daerah. Yang diperlihatkan dengan menurunya angka kemiskinan. Daya serap tenaga kerja tinggi, Pertumbuhan ekonomi yang stabil. Ketimpangan (gini ratio) berada pada distribusi pendapatan merata.

Tentu akan berujung pada Papua Mandiri, yakni menjadi tuan di negeri sendiri. Sebuah harapan dalam konsep membangun jalur emas di selatan Papua. Selanjutnya, sebagai sebuah alternatif dalam menggagas kebijakan pembangunan transportasi rel kereta api. Jalur ini dapat dipertimbangkan mengingat posisi staretigis dalam mendorong pembangunan inklusif di Papua. (bersambung).

Penulis adalah Wartwan Senior FNN.co.id.

470

Related Post