OPINI

Anies Bukan Pengecut!

by Tony Rosyid Jakartta FNN – Jum’at (09/10). Tengah malam, tanggal 5 oktober 2020 RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) diketuk dan disahkan menjadi UU. Kenapa tengah malam? Kenapa harus di luar waktu yang berlaku untuk orang umum orang bekerja? Sangat mendesakkah? Pertanyaan-pertanyaan itu terus ada di pikiran rakyat hari ini. Rakyat protes. Terutama kaum buruh, mahasiswa, pelajar, dan ormas Islam. Esok harinya, tanggal 6 Oktober 2020, demo terjadi di berbagai wilayah. Serentak. Tumpah ruah mahasiswa, pelajar, buruh dan sebagian aktifis di depan istana, kantor kepala daerah, DPR dan DPRD. Di sejumlah wilayah, para pendemo bersitegang dengan aparat kepolisian. Saling dorong, dan lempar batu. Sejumlah demonstran kena gebuk, tonjokan dan tendangan aparat. Entah sudah berapa korban berjatuhan. Mobil dan fasilitas umum juga ada yang terbakar. Rusuh! Siapa pemicunya? Demonstran selalu disalahkan! Satu tuntutan mereka, “Omnibus Law dibatalkan”. Titik! Kenapa? Pertama, cacat prosedur. Memang ada diskusi. Panggil buruh, perwakilan ormas dan para akademisi yang kompeten untuk ikut membahasnya. Tetapi, semua hasil diskusi dicatat, dijanjikan, tapi setelah itu dibuang ke tong sampah. Pasal-pasal yang diprotes tetap masih ada saat diketuk menjadi UU. Kedua, sejumlah pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja merugikan rakyat. Diantaranya kaum buruh dan lembaga pendidikan. Hak-hak mereka dipreteli. Pesangon ada, tapi berkurang. Upah minimum ada, tapi disesuaikan dengan korporasi. Soal PHK, perusahaan lebih leluasa. Kontrak kerja bisa diperpanjang terus-menerus. Belum lagi soal cuti dan seterusnya. Dua sasaran protes demo kali ini. Pertama, DPR. DPR lah yang mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Kedua, presiden. Sebab, UU Omnibus Law Cipta Kerja berasal dari pemerintah. Pemerintah yang mengusulkan ke DPR. Dalam pembahasan di DPR, presiden utus sejumlah menteri untuk hadir dan mengawalnya. Disinilah tampak kerjasama yang kompak antara pemerintah dan DPR. Antara eksekutif dan legislatif. Irama kekompakan ini sebenarnya sudah terbaca saat keduanya bersepakat "matikan KPK" melalui revisi UU. Saat itu, demo meluas dan dua mahasiswa kendari jadi korban. Peristiwa itu seolah sudah terlupakan. Para pendemo minta presiden menemui mereka, dengarkan aspirasii dan tuntutanya. Tapi, presiden tak ada di tempat. Mungkin bagi presiden, UU Omnibus Law Cipta Kerja sudah diketuk dan disahkan. Jadi, untuk apa dibahas lagi. Kehadiran perwakilan mahasiswa, buruh dan ormas untuk ketemu presiden sepertinya dianggap tidak terlalu penting. Jokowi justru memilih ke Kalimantan Tengah, setelah lebih dulu ke Jogja dan nginep di Gedung Agung. Sempat berziarah ke makam ibu dan bapaknya. Peristiwa ini dimaknai Ki Surau sebagai langkah untuk ambil kekuatan Spiritual, agar nggak lengser. Rakyat nggak kenal siapa Ki Surau ini. Validkah fatwanya? Kepergian Jokowi ini mengingatkan memori kita pada demo 411 (4 november 2016) terkait penistaan agama (Ahok). Perwakilan ulama minta ketemu Jokowi di Istana. Tapi, karena dianggap nggak terlalu penting, Jokowi lebih memilih pergi ke Cengkareng, menengok project kereta bandara. Para ulama kecewa, dan meledaklah demo 212. Sekitar tujuh juta umat Islam hadir. Apakah mahasiswa, pelajar, buruh dan ormas yang kecewa karena ditinggal pergi Jokowi ke Jogja dan Kalimantan Tengah? Apakah mereka akan datang lagi dengan massa yang jauh lebih besar sebagaimana demo 212? Seberapa besarkah spirit dan semangat para mahasiswa, buruh dan ormas ini memperjuangkan aspirasinya? Ini akan sangat bergantung seberapa besar keteguhan para pimpinan mahasiswa, sebagai pihak yang mengkonsolidasikan massa, baik BEM maupun organisasi ekstranya seperti HMI dan PMII untuk tetap konsisten menjaga idealismenya dalam memperjuangkan nasib rakyat. Tidak "nglokro" dan masuk angin. Sebab, penguasa tidak akan diam dan intel akan terus bergerilya. Tawaran dan ancaman boleh jadi ddatang silih berganti. Di tengah kekecewaan buruh, pelajar, terutama mahasiswa yang gagal menemui Jokowi di Istana, Anies, gubernur DKI Jakarta turun ke lapangan. Di malam hari. Saat kekecewaan mereka membucah dan sempat menaikkan eskalasi ketegangan antara para demonstran dengan aparat keamanan. Di tengah ratusan, mungkin ribuan massa, Anies yang didampingi Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya minta kepada mereka menyampaikan aspirasinya. Satu persatu hingga tuntas. Para mahasiswa yang hadir malam itu antusias menyampaikan harapannya. Mahasiswa keluarkan semua uneg-unegnya. Detil dan lengkap dengan data pendukung . Mantan ketua BEM UGM yang sudah jadi orang nomor satu di DKI ini dengan serius dan sabar mendengarkannya. Setelah semua aspirasi tersampaikan, Anies dengan tenang bicara kepada mereka. "Semua aspirasi ini sudah direkam dan dipastikan akan disampaikan. Mohon untuk dikawal dan dipantau. Ini bagian dari hak demokrasi kita". Begitu kata Anies. Anies juga sarankan kepada yang hadir malam itu untuk pulang dengan tertib. "Memperjuangkan hak rakyat harus dengan menjaga rasa aman bagi seluruh rakyat. Pastikan masyarakat merasa aman dan nyaman. Maka, Anies minta para demonstran tetap tertib. Sebelum mengajak para mahasiswa itu pulang, Anies meminta semua yang hadir berdiri dan menyanyikan lagu "padamu negeri". Kenapa lagu "padamu Negeri"? Apa pesan dari ajakan Anies dengan lagu ini? "Bahwa kita semua hadir disini berjuang untuk negeri ini. Berjuang dengan jiwa raga yang dimiliki". Begitulah kira-kira pesannya. Anies ingin para mahasiswa menjaga Komitmennya dan terus berjuang dengan segenap jiwa dan raga untuk negeri ini. Baik ketika masih mahasiswa, atau kelak ketika lulus dan punya posisi sebagai pejabat. Lagu "Padamu Negeri" harus bergelora dan menjadi nafas serta jiwa pengabdian. Itu intinya. Diterima dan didengarkan aspirasinya, mahasiswa tenang dan senang. Merasa didengarkan, diperhatikan, dihargai dan diayomi. Begitulah semestinya seorang pemimpin bersikap. Inilah yang dilakukan Anies ketika menghadapi setiap protes rakyat. Tidak pergi, lari dan meninggalkan warganya. Sebab, Anies bukan Pengecut. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Jokowi Di Ujung Tanduk

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (09/10). Ulang tahun satu tahun bagi Jokowi menjabat Presiden periode kedua bulan Oktober ini, tidak dalam posisi "happy anniversary". Tetapi sebaliknya justru "unhappy anniversary". UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang diketuk DPR sebagai hadiah ulang tahun pertama priode kedua menjadi palu godam politik yang membuat Jokowi pusing dan ruwet. Berjalan pun Jokowi nampaknya bakal limbung. Demonstrasi masif yang menandai "Oktober Prihatin". Jengkel, kecewa bahkan mungkin muak pada cara Jokowi mengelola negeri. Tata kelola pemerintahan yang terlihat amburadul, amatiran, kacangan. Bahkan cenderung primitif. Jauh dari tata kelola pemerintahan mendekati benar. Apalagi sampai profesional. Perencanaan dan kebijakan yang asal-asalan dan amatiran telah memberi bukti bahwa manajemen pemerintahan Jokowi tanpa perencanaan yang matang dan konsisten. UU Omnibus Law Cilaka hanyalah salah satu cara mempermainkan hukum demi kepentingan politik. Disangkanya dengan otak-atik legitimasi Pilpres, maka segalanya beres. Nampaknya Jokowi tidak mengenal apa dan bagaimana yang namanya sejarah. Mengabaikan dan memusuhi rakyat adalah hitungan mundur untuk dimundurkan. Manggali kolam atau lobang besar untuk menguburkan sendiri pemerintahan. Jokowi sebaiknya belajar dari sejarah. Paling kurang dari belajar dari sejarah kegagalan Soekarno dan Soeharto. Jokowi goyah di ujung tanduk, karena bermain-main untuk merealisasikan misi sesat. Diawali dengan memusuhi umat Islam melalui rekayasa Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), yang digagas atau diprakarsai oleh kader PDIP melalui kadernya Rieke Dyah Pitaloka. Akibatnya umat Islam melalui Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam meradang. Umat Islam tampil memberikan perlawanan.hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada biasanya berada di "tengah" pun membuat "political distancing" dengan pemerintah. MUI mngeluarkan produk Maklumat yang cukup keras. Bahkan menyaipkan Panglima Masiroh Qubro. Umat Islam telah memukul keras RUU HIP agar masuk gorong-gorong. Sementara RUU badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) layu sebelum berkembang. Keduanya dalam keadaan "hidup segan mati tak mau". Mundur kena maju kena. Hal ini adalah akibat dari ulah DPR yang mempersetankan aspirasi rakyat, dan terjebak pada domein kekuasaan dan mungkin juga besaran bayaran. Banteng coba menanduk rakyat dengan beringas. Tanduk satu RUU HIP-BPIP yang berbau komunis. Setelah itu tanduk lagi RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang berbau kapitalis. Lagi-lagi Ideologi Pancasila dicoba untuk digoyahkan. Presiden yang loncat-loncat dari tanduk kiri ke tanduk kanan. Mencoba berpegangan erat untuk tidak jatuh. Ada saatnya rakyat melawan rezim. Rezim yang menganggap aspirasi rakyat sesuatu yang enteng. Sejarah bergulir menuju ke arah perubahan. UU Omnibus Law Cilaka adalah pintu pembuka gelombang rakyat melawan kesewenang-wenangan. Jokowi semakin di ujung tanduk. Banteng Puan lesu tertunduk. Cari celah simpati dengan aturan turunan. Tapi itu mempertontonkan kebodohan. Aturan derivasi tak boleh bertentangan dengan undang-undang. UU Omnibus Law membawa malapetaka. Tanduk Joko dan tanduk Puan mulai retak hampir patah. Saat ini Jokowi berada di ujung tanduk, dari banteng yang dikendarainya. Mungkinkah Esok bakal terpeleset? Terinjak-injak kah? Atau terjatuh ke pasir hisap yang menenggelamkan kekuasaannya dengan pelan-pelan? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Lebi Pentingkan Bebek Dari Persoalan Rakyat

by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Jum’at (09/10). Semestinya hari Kamis kemarin 8 Oktober 2020, Presiden Jokowi menemui mahasiswa yang hendak berunjuk rasa memprotes ke istana negara terkait pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang telah disahkan DPR. Undangan aksi yang telah disosialisasikan beberapa hari sebelumnya melalui media sosial dan media online. Tentu kabar ini juga sudah diketahui pihak Istana. Tetapi pada hari yang sama Presiden Joko memutuskan tetap melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Pagi harinya, di akun Instagram @jokowi pada Kamis 8 Oktober 2020 Jokowi menegaskan acaranya. “Selamat pagi. Hari ini saya menuju Kalimantan Tengah untuk kunjungan sehari. Setiba di Bandara Tjilik Riwut, Kota Palangka Raya, saya melanjutkan perjalanan dengan helikopter menuju Kabupaten Pulang Pisau...Di sana saya hendak meninjau kawasan lumbung pangan yang sedang kita kembangkan, berikut penanaman padi, keramba ikan, serta peternakan bebek yang terletak di Kecamatan Pandih Batu”. Ya, mungkin acara Kunker itu sudah disusun jauh-jauh hari. Dan Jokowi tetap menjalankan rencananya, meski situasi di masyarakat berubah sejak UU OmnibusLaw Cipta Kerja disahkan DPR. Hal itu bisa dilihat dari keterangan yang disampaikan pihak istana bahwa Kunker Jokowi tak ada hubungannya dengan rencana aksi mahasiswa ke istana negara. Kesimpulannya, memang Jokowi tidak pernah ingin menemui mahasiswa yang berunjuk rasa hari ini. Seperti pernah terjadi dalam peristiwa demontrasi 411. Saat itu, Jokowi meninggalkan Istana, justru di saat jutaan masyarakat mendatangi istana untuk menemui presidennya. Padahal sebagai presiden, Jokowi seharusnya mampu memilah mana yang prioritas untuk ditemui dan diselesaikan. Sila ke-4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah narasi kepemimpinan yang berpengetahuan luas. Pemimpin yang berpengalaman hidup, sehingga memiliki kebijaksanaan. Bukan hanya memutuskan sesuatu masalah, tetapi juga mengajak rakyat berdialog dalam proses pengambilan keputusannya melalui musyawarah perwakilan. Kepemimpinan sama tuanya dengan sejarah manusia. Khalifah Umar bin Khattab Radiallahu Anhu pernah memberikan nasihat kepada kita. Amirul Mukminin mengajarkan, bagaimana seorang pemimpin harus mengambil sikap yang tegas untuk menyelesaikan sebuah masalah. Untuk menyelesaikan suatu masalah, seorang pemimpin hendaknya tidak menyepelekan masalah. Karena, jika masalah itu disepelekan dan tidak diselesaikan, maka dampaknya akan terus menerus. Melihat foto-foto Jokowi hari ini yang menikmati pemandangan bebek-bebek, amatlah ironis dengan pemandangan aksi mahasiswa di berbagai daerah. Apalagi jika foto Jokowi bersama bebek disandingkan dengan kebakaran dan kerusakan yang terjadi saat aksi mahasiswa. Bayangkan saja berapa puluh milyar kerugian material dalam aksi mahasiswa ini, yang sangat mungkin bisa dihindari jika Jokowi bersedia menemui mahasiswa. Peristiwa ini tentunya akan dilihat di berbagai daerah yang dapat menenangkan mahasiswa. Seperti dicontohkan oleh Gubernur Anies Baswedan dan Ridwan Kamil menenangkan para demonstran. Saya kuatir Jokowi telah kehilangan akal sehatnya. Bahkan hilang hati nuraninya sebagai seseorang yang diberikan oleh rakyatnya kepercayaan untuk menyelesaikan seluruh permasalahan bangsa dan negara. Dalam Alkitab, Ayub 12:24 juga tentang kepemimpinan. "Dia menyebabkan para pemimpin dunia kehilangan akal, dan membuat mereka tersesat di padang belantara yang tidak ada jalannya". Jokowi mungkin saja menganggap remeh aksi mahasiswa. Ya mereka memang sekumpulan remaja, tak bersenjata pula. Mengapa harus ditakuti. Ibarat sekumpulan domba-domba yang jinak. Tapi Jokowi harus membaca quote Alexander The Great, "Aku tidak takut pada pasukan singa yang dipimpin oleh domba. Aku takut akan pasukan domba yang dipimpin oleh seekor singa.” Penulis adalah Direktur Eksekurif Indonesian Future Studies (INFUSS)

Anak-Anak Revolusi Bergerak

by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Jum’at (09/10). Risma, walikota Surabaya memaki maki seorang remaja yang dijaring demo di Surabaya. Anak ini berasal dari Madiun. Risma marah karena kota Surabaya rusak gara-gara demo tolak Omnibus Law Cilaka datang dari luar kota. Menurutnya, seharusnya demo itu di Madiun saja, jangan anak itu datang ke Surabaya. Di jakarta, Anies Baswedan mendatangi demonstran. Kebakaran halte busway dan MRT mencapai 15 halte. Anies senyum menghadapi demonstran di bundaran Hotel Indonesia (HI), minta anak-anak muda itu membubarkan diri. Namun, Anies mengingatkan kalau mau melanjutkan demo, silakan besok lagi. Hari kemarin puluhan ribu mahasiswa dan buruh di Bandung mengepung Gedung Sate. Bentrokan dengan aparat keamanan terjadi. Keganasan anak-anak muda itu ditunjukan secara bringas menginjak-injak mobil yang dan brikade lainnya yang menghalangi mereka. Video beredar mahasiswa tersebut diperbolehkan beberapa tentara membacakan tuntutan mereka di malam hari. Kemarin dan hari ini sesungguhnya semua daerah para bergejolak. Anak-anak muda belia SMA dan STM, mahasiswa dan juga kaum buruh perempuan mengamuk dari Sabang sampai Merauke. Puluhan konfederasi dan federasi Serikat Buruh meminta semua buruh di manapun mogok kerja. Jakarta tentu jelas pusat pergolakan. Bukan saja buruh dan mahasiswa. Namun anak-anak STM dan SMA tampil juga sebagai kelompok militan. Mahasiswa-mahasiwa merasa menjadi kakak senior yang bangga menyambut anak-anak STM dan SMA itu. Memberi mereka jalan untuk masuk ke barisan. Buruh, mahasiswa, pemuda dan anak-anak remaja (STM/SMA) tampil sekarang melakukan gerakan perlawanan terhadap rezim Jokowi. Isu yang diusung adalah penolakan atas Omnibus Law. Berbagai pihak meragukan pemahaman mahasiswa dan anak-anak STM/SMA ini memahami UU Omnibus Law itu. Sebab, mereka dianggap terlalu rendah pengetahuannya tentang UU 906 halaman itu. Namun, tentu bisa saja keraguan itu datang juga ketika puluhan ribu orang-orang muda itu meneriakkan revolusi di depan Istana. Apakah memang mahasiswa dan pemuda-pemuda itu bodoh-bodoh alias tidak nyambung? Kenapa mereka dianggap belum paham, namun meneriakkan revolusi ???? Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian dan Ketua Umum Golkar, memberikan statemen bahwa mereka ditunggangi. Airlangga menyebutkan sudah mengantongi kelompok penunggang tersebut. Selanjutnya Mahfud MD dan jajaran pejabat keamanan negara menyatakan akan menindak tegas pendemo. Mahfud dan jajarannya mewakili Jokowi, karena Jokowi meninggalkan ibukota ketika demonstrasi meluas di Jakarta. Heroisme dan Unconsciousness Mind Mengkambing hitamkan dan menyepelekan serta dianggap ditunggangi para aktor kepada anak-anak STM, SMA atau Mahasiswa terlalu menyepelekan situasi. Kaum buruh memang vis a vis dengan kekuasaan Jokowi, karena nasibnya dimarginalisasi sampai hancur. Lalu kenapa dengan mahasiswa? Kenapa remaja STM/SMA? Kesadaran manusia atas situasi dalam teori psikoanalisis terdiri dari kesadaran nyata maupun kesadaran di bawah nyata (unconsciousness). Unconsciousness itu adalah sebuah kesadaran yang terpendam. Anak-anak STM dan SMA yang dipukuli serta dipenjara pada November 2019 lalu, ketika demo di DPR-RI menolak revisi UU KPK telah memendam sebuah kesadaran bawah nyatanya tentang kekejaman terhadap mereka. Begitu juga kekejaman yang dialami anak-anak remaja pada demo 21/22 Mei 2019 paska pilpres. Jaman internet of things sekarang ini, jejak digital, dan pengetahuan anak-anak muda atas situasi dengan mudah masuk ke pikiran mereka. Namun, realitas ini tidak mudah dikonstruksi anak-anak muda ini dalam dunia nyata. Baik karena faktor ketakutan, maupun lainnya. Namun, kesadaran itu tidak hilang. Dia dapat berupa dendam. Namun, dapat juga sebagai sebuah kesadaran nyata ketika bertemu momentumnya. Seperti situasi sekarang ini. Dendam maupun kesadaran yang bergeser jadi nyata. Menurut saya, telah terjadi pada anak-anak belia ini. Pemahaman mereka atas UU Omnibus Law mungkin terbatas. Namun, mereka memaknai gerakan penolakan kaum buruh sebagai sebuah kebenaran, karena sebuah versus antara buruh dengan pemerintah, membuat mereka lebih yakin dengan buruh. Apalagi berbagai faktor kegagalan pemerintah dalam urusan kesehatan dan situasi krisis ekonomi berkelanjutan membuat hampir semua rakyat depresi. Unconscious Mind yang bergeser nyata berimpit dengan semangat anak-anak muda, yang dalam sejarahnya menginginkan sebuah heroisme. Perasaan membela nasib bangsa dalam situasi bangsa yang sulit, muncul begitu besar. Seorang Mahasiswi yang dipukuli aparat, yang tersebar dalam video beredar, misalnya, akan memunculkan heroisme. Karena mereka merasa di front depan bertempur dengan kekuasaan. Heroisme bagi kaum buruh tentu saja juga terjadi. Sebab mereka sedang membela nasibnya. Namun, kesadaran kaum buruh adalah kesadaran nyata. Mereka mempunyai organisasi dan elit-elit buat mengkaji pasal-pasal yang merugikan pada Omnibus Law. Bagimana kalangan kampus? Professor dan dosen-dosen dari berbagai perguruan tinggi sudah banyak mengecam UU Omnibus Law ini. Kesadaran mereka juga nyata. Tentu saja sebagai cendikiawan mereka harus memilih apakah tetap berada di "menara gading" atau menyuarakan kebenaran. Saat ini semakin nyata perlawanan dari kalangan perguruan tinggi semakin menggema dan meluas. Faktor ini juga mendukung keberadaan gerakan mahasiswa dan remaja tadi. Sekali lagi, menuduh adanya aktor penunggang tentu menyepelekan analisis situasi saat ini. Meskipun berbagai ekses telah terjadi, seperti pembakaran, pengrusakan berbagai fasilitas maupun penjarahan dibeberapa tempat. Anaka-anak muda ini adalah anak-anak revolusi. Seperti anak-anak muda di Thailand dan Hongkong, mereka tampil gagah dijalanan berdemonstrasi. Sebagiannya disiksa aparat, sebagiannya ditangkap. Namun, perlawanan mereka kelihatannya sudah mempertimbangkan resiko. Kenapa? resiko terbesar adalah keluar rumah berkerumun di masa covid-19. Resiko pandemi hanya berani diambil oleh orang-orang tolol atau orang sadar. Tentu saja demonstrasi mahasiswa dan SMA ini punya tujuan. Begitu juga kaum buruh. Sehingga resiko yang diambil pasti dipilih dengan mempertimbangkan tujuan kemanusian yang mulia. Kedua, resiko dipukulin aparat sudah bukan hal baru bagi anak-anak muda itu. Justru mereka sudah melihat ganasnya aparat dalam menangani demo. Bahkan, berita terbengis terakhir adalah mahasiswa demo di Kendari dibubarkan dengan Helikopter, sebuah keganjilan baru di dunia. Mereka adalah anak-anak revolusi. Karena mereka berani mengambil resiko besar baik pandemi maupun kekejaman aparat. Mereka telah menyadari tujuan dari demonstrasi itu sendiri, yakni membela hak-hak rakyat. Penutup Demonstrasi anak-anak muda belia berkibar di seantero Indonesia. Orang-orang tua sebagian menangis melepas anak-anak itu menemukan kekerasan di jalanaan serta juga resiko Covid-19. Risma memaki-maki anak anak muda itu karena dari luar Surabaya merusak kotanya Risma. Anies Baswedan tersenyum minta anak-anak muda pulang dulu sudah malam. Airlangga Hartarto menuduh ada penunggang. Mahfud MD menuduh ada aktor aktor dan akan ditindak tegas. Perlawanan mahasiswa, buruh dan anak-anak STM/SMA ini adalah peristiwa revosioner dalam sejarah. Sebab, resiko perjuangan terlalu besar dan tujuan perjuangannya terlalu mulia menolak UU penindasan. Namun, sejarah akan menemukan jalannya sendiri. Revolusi akan mencari jalannya sendiri. Berbagai elemen dan ekosistem dalam sebuah revolusi maupun perubahan sosial besar harus dimaknai secara benar. Diantaranya adalah lahirnya elemen anak-anak revolusi itu. Saatnya semua pihak membaca situasi secara benar. Melihat dalam bingkai demokrasi. Agar menempatkan analisis sosial secara tepat demi menghormati keberadaan anak2 revolusi ini. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Bagaimanam Demokrasi Mati

by Zainal Bintang Jakarta FNN – Jum’at (09/10). Sidang paripurna DPR RI Senin (05/10/20) akhirnya berhasil mengesahkan UU tentang Cipta Kerja yang diformat dalam frasa Omnibus Law. Membuktikan betapa perkasanya kekuatan koalisi 7 parpol pendukung pemerintah di parlemen. Koalisi yang tidak tergoyahkan. Mengulang sukses UU sebelumnya, seperti revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK), revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Juga mengulang sukses revisi UU Mahkamah Konstitusi(MK) yang memberi hadiah perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga 15 tahun. Melancarkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 9 September 2020. Prosesnya yang sangat singkat dan cepat membuka anggapan adanya operasi “senyap” yang dilancarkan pemerintah dan DPR. Demokrasi modern berbasis rezim suara terbanyak, memang memberikan kekuatan posisi politik kepada pemerintah. Bersama dengan partai politik pendukungnya leluasa memuluskan UU demi UU sesuai dengan design kesepakatan. Hanya saja jalan tol yang diberikan oleh model perkoalisian yang demikian tetap saja diperlukan terpenuhinya persyaratan dasar. Persyaratan bagi maksimalisasi partispasi publik. Jika tidak, politik koalisi atau koalisi politik yang tidak memenuhi persyaratan dasar itu. Untuk jangka panjang, tidak sehat bagi proses demokratisasi. Terutama, harus dibebaskan dari anasir dominasi semangat “mumpung” sedang berkuasa dan mumpung sedang mayoritas. Bahwa di dalam diri UU Cipta Karya memiliki sejumlah instrumen hukum yang mempermudah masuknya investasi besar. Investasi berskala transnasional untuk merealisasi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sesuai amanat salah satu sila Pancasila itu tidak perlu dibantah. Pasti sepakat seluruh elemen bangsa ini. Bahwa penyebabnya karena sebelumnya telah dilahirkan sejumlah UU yang pada kenyataanya tumpang tindih satu sama lain, iyaa. Bahwa oleh karenanya telah menjadi penghalang terciptanya kesejahteraan yang melekat di dalam semangat demokrasi, iyaa. Akan tetapi tumpukan kekisruhan UU masa lalu itu tidak boleh dijadikan semacam tiket bebas hambatan untuk melahirkan UU baru yang melabrak prinsip dasar musyawarah mufakat. Kehadiran UU Cipta Kerja itu yang menimbulkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, terutama kalangan buruh dan pekerja, memperlihatkan kurang sempurnanya elemen dasar proses penggodokannya. Langkah ketergesagesaan yang diperlihatkan pemerintah dan DPR menguatkan kecurigaan publik. Masyarakat menengarai adanya “penyelundupan” pasal yang merugikan kalangan buruh dan menguntungkan kalangan pengusaha dan pemodal. Tingginya daya penolakan yang dihadang dengan tingginya tekanan pemulusan oleh pemerintah dan DPR. Ini menunjukkan tidak tersemangatinya prinsip transparansi, check and balances serta fair play yang dipersyaratkan oleh sebuah hakekat demokrasi. Sebegitu jauh belum dapat diketahui dengan pasti faktor apa yang mendorong proses penggodokan UU Omnibus Law harus menafikan akomodasi yang sebesar-besarnya bagi partispasi publik. Pihak pemerintah dan DPR kemungkinan tidak tahu atau tidak mau tahu, bahwa dengan bermain-main dibalik kekuatan “suara” terbanyak yang disediakan oleh instrumen demokrasi, sesungguhnya telah berbalik menjadi pembunuh demokrasi atas nama demokrasi. Terkait dengan hal itu, penting membaca ulang buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die : What History Reveals About Our Future (Bagaimana Demokrasi Mati. Apa Yang Diungkapkan Sejarah Tentang Masa Depan Kita). Buku dari dua Profesor Pemerintahan di Universitas Harvard itu dirilis 12 Desember 2018. Mereka mengatakan, terkadang demokrasi mati dengan keras, kudeta yang menjatuhkan pemerintah, pawai ke ibu kota saat darurat militer diberlakukan dan media pemerintah diambil alih. Inilah yang biasanya terjadi dalam film dan program televisi. Dengan cepat dan tegas. “Tetapi lebih sering, demokrasi mati perlahan. Secara kasat mata, di tangan pejabat terpilih. Melalui erosi bertahap dari norma dan institusi politik”. Kedua ilmuwan politik itu berpendapat , “sejarah tidak terulang, ia berirama. Dengan memeriksa sejarah dan melihat polanya, kita dapat menemukan rambu-rambu yang menandai otoritarianisme yang merayap - ancaman terhadap check and balances yang seharusnya mencegah pemilihan demagog”. Lebih jauh dikatakan “kemunduran demokrasi hari ini dimulai dari kotak suara. Empat indikator utama yang harus diperhatikan adalah penolakan (atau komitmen yang lemah untuk) aturan permainan yang demokratis, penolakan legitimasi lawan politi, toleransi atau dorongan kekerasan, kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media”. Levitsky dan Ziblatt memberikan contoh dari sejarah tentang bagaimana bertindak dalam kasus seperti ini. “Kadang-kadang anda harus bekerja dengan orang-orang yang secara ideologis berlawanan dengan anda untuk mempertahankan cita-cita demokrasi, seperti yang terjadi di Belgia dan Finlandia pada tahun 1930-an, demikian kami diberitahu”. Mengingat iklim politik saat ini, kebangkitan global dalam partai-partai ekstremis populis dan hiper-nasionalisme. Buku ini menjadi pengingat tepat waktu bahwa demokrasi tidak selalu mati dalam kegelapan. Terkadang mereka mati dengan lampu menyala, oleh orang-orang yang dipilih melalui cara-cara demokratis. Tetapi dengan mempelajari sejarah kita dapat memperoleh wawasan tentang langkah-langkah yang dapat kita ambil masing-masing untuk melindungi hak-hak demokrasi kita. “Melindungi demokrasi kita membutuhkan lebih dari ketakutan dan kemarahan. Kita harus rendah hati dan berani. Kita harus belajar dari negara lain untuk melihat tanda-tanda peringatan, dan mengenali tanda peringatan palsu. Dan kita harus melihat bagaimana warga negara telah bangkit untuk menghadapi krisis demokrasi besar di masa lalu, mengatasi perpecahan yang mengakar untuk mencegah kehancuran", ujar Levitsky dan Zilbatt. Ezra Klein (36) jurnalis, penulis blog, dan pengamat politik Amerika Serikat, yang pernah mewawancarai Levitsky dan Ziblatt untuk podcastnya mengatakan, ada gambaran yang muncul di benak kita saat membayangkan akhir demokrasi. Demokrasi jatuh dalam kudeta dan revolusi, terbakar api dan kerusuhan, runtuh di tengah perang dan wabah. Saat mereka mati, mereka mati sambil berteriak. Menurut Klein “tidak lagi” bagi Levitsky dan Ziblat dalam buku “How Democracies Die”. Klein yang sebelumnya seorang penulis blog dan kolomnis The Washington Post dan editor yang terafiliasi dengan The American Prospect itu melanjutkan, dalam kebanyakan kasus modern, demokrasi terkikis perlahan, dengan langkah yang nyaris tidak terlihat. Klein menambahkan, “mereka membusuk dari dalam, diracuni oleh para pemimpin yang merusak proses yang membawa mereka ke tampuk kekuasaan. Mereka dilubangi, perangkap demokrasi hadir lama setelah jiwa sistem dipadamkan”. Tanggapan publik di berbagai media, mayoritas menyebutkan UU Cipta Kerja itu merugikan pekerja. Pemerintah dan DPR bersikukuh menyebut UU itu akan memperlancar masuknya investasi berskala besar ke Indonesia. Pemerintah menawarkan jalan keluar, kepada yang menolak UU itu dapat menggugat melalui uji materi ke MK (Mahkamah Konstitusi). Sejumlah pakar hukum mengatakan model Omnibus Law tidak dikenal di dalam sistem hukum di Indonesia dimana satu UU baru dibentuk untuk menyederhanakan sejumlah UU lainnya, dalam konteks ini disebutkan ada 72 UU yang diperas paksa menjadi satu. Pasalnya, pada faktanya UU Cipta Kerja itu tidak hanya terbatas bekerja di wilayah ketenagakerjaan, tapi malah merangsek masuk ke substansi lain. Memasuki sektor seperti, tata ruang, tenaga nuklir, hak adat, soal imigrasi, hak paten, produk halal. Hal mana membuat UU itu berwatak etatisme. Suatu paham dalam pemikiran politik yang menjadikan negara sebagai pusat segala kekuasaan. Menjadikan segalanya akan berada di bawah kontrol secara ketat dengan menggunakan instrumen kekuasaan. Meniscayakan resentralisasi yang berkarakter kapitalistik. Ini yang menjelaskan mengapa UU itu dianggap lebih menguntungkan kalangan pemodal atau pengusaha besar alias kapitalis. Secara substansial postur etatisme itu lebih memperlihatkan semangat sebagai demokrasi elitis. Kebalikan dari demokrasi partisipatoris yang menghargai dan menghormati hak-hak demokrasi dengan membuka partisipasi publik seluas-luasnya sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat. Katakanlah pemerintah dan DPR saat ini memang berhasil “memenangkan” pertarungan politik di parlemen melalui metode voting dengan senjata pamungkasnya yang bernama suara terbanyak. Palu sudah diketuk. Nasi sudah jadi bubur. Dan kegaduhan sudah tersulut. Unjuk rasa merebak di banyak daerah. Isunya bergeser menjadi “mosi tidak percaya kepada pemerintah dan DPR. Namun demikian, untuk jangka panjang, sejauh pola ini selalu dijadikan palu godam pemukul untuk kepentingan subjektif jangka pendek (politis), maka ia adalah racun yang pelan-pelan akan membunuh demokrasi dan melumpuhkan tubuh sebuah bangsa. Sebuah tragedi yang dapat dianalogikan dengan legenda “Malinkundang”. Sang anak yang sukses dan kuat itu, malah mendadak lupa akan ibu kandungnya. Ibu yang menyebabkannya hadir di bumi ini. Di bumi Pancasila, di dalam mana marwah musyawarah mufakat menjadi mercu suar demokrasi! Penulis adalahWartawan Senior & Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Mereka Berteriak Keras: Apakah Kalian Akan Menonton Saja?

by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (08/10). Indonesia sedang berada di ambang kehancuran. Akibat pengelolaan negara yang dilakukan secara ugal-ugalan. Para pemimpin negara ini kelihatan tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan. Atau, mereka mengerti tetapi tidak peduli negara ini hancur-lebur. Sekarang, akumulasi masalah semakin menggunung. Para pemimpin hanya berpikir sektoral saja: bahwa semua ini bisa selesai dengan investasi asing. Dasar pemikiran sempit inilah yang melahirkan UU Cipta Kerja (Ciptaker). Yang sekarang diprotes rakyat. Di seluruh Indonesia. Dalam rangka menarik investasi sebanyak mungkin, pemerintah percaya bahwa kemudahan bisnis harus diciptakan. Kemudahan bisnis itu, menurut mereka, adalah kesewenangan dunia usaha terhadap kaum buruh. Selain itu, mereka percaya pula bahwa kemudahan bisnis itu kesewenangan terhadap sumber daya alam (SDA). Intinya, buruh harus tunduk pada keinginan pemilik usaha. Begitu juga SDA harus bisa dirusak sesuka hati mereka. Dua hal ini, yaitu buruh dan SDA, harus berada dalam genggaman wewenang dan kesewenangan para pengusaha. Khususnya, para pengusaha rakus. UU Ciptaker ini adalah ‘jalan tol’ para pengusaha untuk mempercepat dan mempermulus tindakan penghancuran bangsa dan kekayaan negara. Juga inilah ‘jalan tol’ menuju penyerahan kedaulatan negara kepada asing –khususnya kepada China. Presiden Xi Jinping sudah sejak lama menginginkan kemudahan untuk menjajah Indonesia dengan utang dan dengan menjadikan negeri ini sebagai pangkalan produksi mereka. Sekaligus sebagai pasar. Jauh sebelum UU Ciptaker disahkan, China sudah lebih dulu menyandera Indonesia dengan pinjaman untuk infrastruktur yang dikerjakan sendiri oleh China. Sejak itu, para pekerja dari China leluasa datang ke sini. Untuk bekerja. Mulai dari mengerjakan pekerjaan yang memerlukan ‘skill’ (keterampilan) sampai ke pekerjaan kategori kasar. China kini sudah berada di posisi mendikte para penguasa Indonesia. Mereka berkolaborasi dengan para pengusaha besar negeri ini yang kebetulan satu nenek moyang dengan mereka. Patut diduga, merekalah yang menjadi sponsor UU Ciptaker. UU baru yang dibanggakan oleh Presiden Jokowi itu, karena dianggap akan mempercepat kemajuan Indonesia, diprotes banyak pihak. Kaum buruh melihat UU Ciptaker akan menindas mereka. Kaum intelektual menafsirkan bahwa UU ini akan mengancam kepemilikan lahan. Para aktivis lingkungan memperkirakan kerusakan lingkungan akan menjadi-jadi. Sementara itu, kalangan mahasiswa kelihatannya menyadari bahwa masa depan mereka sebagai anak Indonesia akan terancam jika UU Ciptaker diberlakukan. Para mahasiswa, kalangan buruh, pelajar, dan elemen-elemen masyarakat lainnya melancarkan unjuk rasa dalam tiga hari ini. Mereka menuntut agar UU Ciptaker dibatalkan. Mereka berjuang keras dengan risiko besar. Bisa berdarah-darah bahkan bisa hilang nyawa. Macam-macam tindakan aparat keamanan yang dialami oleh para pengunjuk rasa. Umumnya, tindakan polisi rata-rata keras. Di sana-sini terekam kebrutalan terhadap pendemo. Boleh jadi para pendemo yang mempertaruhkan nyawa itu tidak saja berteriak agar UU Ciptaker dibatalkan. Melainkan juga berteriak keras, “Apakah kalian akan menonton saja?” Penulis wartawan senior FNN.co.id

Pak Idham Azis, Mana Janjimu Dulu?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (08/10). Dulu saat pertama dilantik sebagai Kapolri, janji Jenderal polisi ini sangat indah dan menyejukkan. Pak Idham Azis mengecam cara-cara penanganan demonstran yang brutal oleh aparat kepolisian. Untuk itu, dalam kepemimpinannya, akan mengubah cara penanganan aksi unjuk rasa tersebut agar lebih manusiawi dan simpatik. Tetapi di akhir masa jabatannya Kapolri, janji manis dan indah itu tidak terlihat di bawah kasus pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Ketika buruh dan mahasiswa berunjuk rasa menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, penanganan terhadap para pengujuk rasa yang manusiawi dan simpatik itu tidak terlihat dan terbukti. Penanganan aparat kepolisian sama saja. Masih tetap brutal seperti pada eranya Jendral Muhammad Tito Karnavian menjadi Kapolri. Bahkan dalam beberapa tempat lebih brutal lagi dari eranya Pak Tito. Peristiwa ini menjadi catatan buruk, bahkan hitam bagi anda pada saat pensiun nanti. Rakyat pemilik sebenarnya negeri ini, yang berunjuk rasa menutuk haknya sebagai warga negara untuk perbaikan bangsanya, dihadapi polisi seperti menghadapi teroris dan penjahat narkoba. Diperlakukan seperti musuh negara. Padahal dengan unjuk rasa seperti inilah Polisi bisa keluar, bahkan berpisah dari genggaman serta ketiaknya TNI. Modus bentrokan dan penganiayaan selalu sama. Yaitu diawali dengan provokasi satu dua orang terhadap aparat, lalu terjadi lempar-lemparan. Setelah itu, muncul sekelompok orang yang sepertinya "sangat dikenal" dan dipersiapkan oleh aparat untuk menyerang. Lalu terjadilah bentrokan dengan tembakan gas air mata. Buruh atau mahasiswapun terbawa arus. Ujungnya buruh atau mahasiswa itulah yang akan teraniaya, dan menjadi korban kejaran aparat kepolisian, anak buah anda Pak Idham. Kelompok yang suka memancing keributan itu tetap saja sehat dan segar bugar. Entah kemudian pergi kemana, karena sangat mahir untuk lolos dari penangkapan aparat kepolisian. Rupanya mereka spesialis dalam berbagai aksi dan pergerakan. "Harap jangan pukul kepala, karena di kepala itu bisa ada hafalan Qur'an dan Hadits" demikian himbauan seorang ustadz ketika berceramah di depan aparat kepolisian pada rakornas atau rapimnas kepolisian seluruh Indonesia. Kegiatan itu juga dihadiri juga oleh Kapolri Jenderal Idham Azis. Pak Kapolri sangat merespon ceramah dan himbauan sang ustaz agar jangan pukul kepala itu dengan positif. Pak Idham mengapresiasi dan menyatakan setuju dengan ceramahnya sang ustadz. Bahkan Pak Idham menyatakan akan memegang itu sebagai salah satu prinsip kepemimpinannya. Sayang di hari kemarin dan hari ini, aparat kepolisian yang bertugas di beberapa tempat untuk mengawal serta menangani unjuk rasa buruh dan mahasiswa, ternyata tidak mampu merealisasikan amanat janji Pak Kapolri itu dengan baik. Penanganan terhadap pengunjuk rasa yang humanis dan simpatik hanya ada dalam ceritra. Di lapangan, sama saja realitanya. Kita berharap pak Jenderal Idham Azis mengakhiri jabatannya dengan manis dan indah. Bukan dengan "su'ul khotimah". Sebab terlalu banyak banyak buruh atau mahasiswa yang merintih kesakitan akibat pukulan aparat pada badan dan kepalanya. Ingat Pak Idham, buruh dan mahasiswa yang berunjuk rasa tidak dibayar. Mereka berunjuk rasa dengan kesadaran sendiri. Mereka para buruh dan mahasiswa itu terpanggil jiwanya, raganya untuk memperbaiki nasib dirinya, nasib keluarganya dan nasib bangsanya yang mulai tergelincuir akibat salah kelola oleh penyelenggara negara. Mereka didorong untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sekedar berjuang untuk menjaga makan diri dan anak istrinya. Hak untuk mendapat perlindungan dari negara. Penangkapan, penganiayaan, bahkan konon ada korban yang tewas telah menjadi goresan hitam dari pemaksaan sebuah undang-undang yang merugikan rakyat. Diproduk dengan cara yang tidak sehat oleh para wakil rakyat yang tidak terhormat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Maaf, Pak Jokowi Apakah Sudah Siap Lengser?

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Kamis (08/10). Saya berharap semoga tidak ada orang atau pihak-pihak tertentu yang baper membaca judul dan isi tulisan ini. Sebab jika melihat reaksi publik dalam berbagai aksi demo massif menolak UU Omnibus Law akhir-akhir ini, bukan mustahil Jokowi bisa lengser dari kursi kekuasaannya. Sampai hari kedua aksi mogok nasional para buruh, telah diikuti dengan aksi demo para mahasiswa. Ini terjadi di berbagai kota di Indonesia. Dari berbagai tayangan video viral di sejumlah grup WA yang saya ikuti, pada hari Selasa 6 Oktober 2020 aksi demo diawali bentrok antara para mahasiswa di Kota Bandung dengan aparat kepolisian. Aksi demo dan bentrokan para mahasiswa juga terjadi di Kampus UIN Serang Banten dan Makassar Sulawesi Selatan. Sehari kemudian, aksi massa semakin meluas tidak hanya melibatkan para buruh dan mahasiswa tetapi juga anak-anak STM. Dengan gagah berani, mereka sudah mulai merangsek masuk ke sekitar jalan-jalan menuju kawasan Gedung DPR/MPR-RI di Jl Gatot Subroto Jakarta. Aksi anak STM ini belum terlalu massif tapi keberanian mereka berhadapan dengan aparat di jalan umum telah mengundang emosi sejumlah aparat sehingga sebagian di antara oknum polisi ada yang sengaja megejar dan memukul anak STM di Jalan Pejompongan. Di daerah itu, anak-anak STM juga merusak sebuah mobil polisi. Sementara para buruh yang bekerja di kawasan Jababeka, Kabupaten Bekasi, dan Karawang, juga ikut ambil bagian. Mereka meninggalkan tempat kerjanya, kemudian bergabung dengan rombongan buruh lainnya. Sehingga sebagian ruas jalan di Bekasi dan Cikarang, dipadati para buruh. Mereka berjalan secara berombongan dengan mengendarai berbagai sepeda motor. Sedangkan dari Jambi, para mahasiswa berusaha untuk menguasai Gedung DPRD setempat. Dari tayangan video pendek, terlihat para mahasiswa juga terlibat bentrok dengan aparat polisi. Penolakan para buruh dan mahasiswa terhadap UU Omnibus Law dan produk UU lainnya yang merugikan rakyat, semakin massif terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hari Kamis 8 Oktober 2020, rencananya para buruh dan mahasiswa akan menggeruduk Istana Kepresidenan. Jika aksi ini makin membesar dan meluas, diperkirakan aparat pun akan kewalahan dan sulit untuk menghadangnya. Jika aksi demo ke Istana Kepresidenan melibatkan banyak elemen masyarakat lainnya, akan sulit bagi aparat keamanan untuk bisa mencegahnya. Pembangkangan Sipil People Power tidak bisa dicegah. Masyarakat sudah muak dengan berbagai kebijakan rezim penguasa sekarang. Masyarakat sudah tidak tahan lagi dengan berbagai persoalan yang mendera mereka selama ini. Oleh karena itu sekarang merupakan momentum yang tepat untuk melampiaskan kekecewaan dan penderitaan yang selama ini mereka alami. UU Omnibus Law diprotes karena terkait dengan kepentingan semua elemen masyarakat, tidak hanya persoalan para buruh saat ini tetapi juga merupakan masalah para mahasiswa di masa datang saat mereka masuk ke dunia kerja. Di luar persoalan UU Omnibus Law sudah banyak persoalan yang mendera rakyat Indonesia termasuk pandemi global Virus Corona. Aksi para buruh menolak UU Omnibus Law telah menjadi pemantik elemen masyarakat lainnya khususnya mahasiswa untuk melakukan aksi demonstrasi menyuarakan ketidakpuasan terhadap DPR dan rezim penguasa di bawah Presiden Jokowi. Aksi demo para buruh dan mahasiswa ini akan diikuti dengan aksi pembangkangan sipil oleh elemen masyarakat lainnya. Salah satu yang menyerukan aksi pembangkangan sipil adalah ahli hukum dari UGM Zainal Arifin Mochtar. Menurut dia, pengesahan UU Cipta Kerja terkesan terburu-buru tanpa mempertimbangkan suara publik. Ini patut untuk diprotes. "UU Cipta Kerja dibuat dengan proses formil yang bermasalah. Selain itu substansi materiilnya juga begitu banyak catatan," kata Zainal Arifin sebagaimana dikutip SuaraJogja.id. Pembangkangan sipil dan perlawanan sosial sudah dimulai dari Kota Bandung yang dipelopori para mahasiswa pada hari Selasa lalu. Meski para pengunjuk rasa yang kebanyakan mahasiswa terlibat bentrok dengan aparat kepolisian, namun semangat perlawanan rakyat tidak kendor. Desingan suara senjata gas air mata dan water canon yang dimuntahkan pasukan polisi, tidak menyurutkan para pendemo untuk terus merangsek masuk ke Kawasan Gedung DPRD Jabar di Jl Diponegoro Bandung. Setelah berjuang keras akhirnya para mahasiswa berhasil memukul mundur aparat karena banyak di antara senjata gas air mata justru berbalik menuju arah polisi sehingga banyak di antara aparat yang kesakitan di bagian tenggorokan dan mata. Akhirnya aparat polisi pun mundur teratur. Setelah situasi tenang, perwakilan mahasiswa menyampaikan sejumlah tuntutan disaksikan aparat TNI di depan Gedung DPRD Jabar. Mereka menuntut agar UU Omnibus Law dan UU lainnya yang merugikan rakyat bisa segera dicabut. "Jika tidak, kami akan turun ke jalan lagi," kata seorang perwakilan mahasiswa dengan suara lantang. Gerakan aksi demo yang berakhir bentrok juga terjadi di depan kampus UIN Sultan Maulana Hasanudin (SMH), Serang, Banten. Ada beberapa mahasiswa yang mengalami luka karena mereka terperangkap di dalam kampus ketika aparat kepolisian berusaha para demonstran ke dalam kampus. Seruan untuk aksi besar-besaran dikemukakan Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Mereka berencana menggelar demonstrasi pada Kamis (8/10). Mereka juga akan menyuarakan penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja usulan pemerintah yang baru saja disahkan DPR hari Senin 5 Oktober 2020. "Rencananya tanggal 8 untuk aksi nasional," ungkap Koordinator Media Aliansi BEM SI Rizky Ramadhany kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/10). Rizky mengaku belum menentukan lokasi demonstrasi nanti. Ia hanya mengatakan bahwa aksi unjuk rasa bakal melibatkan mahasiswa dalam jumlah besar. Aksi demo ini diperkirakan akan menjalar ke kota-kota lain di Tanah Air karena buruknya perekonomian dan semakin sulitnya kehidupan masyarakat. Ekonomi Meledak Rakyat bawah lagi menunggu pemantik kerusuhan. Pemerintah dan DPR gagal memahami keinginan dan tuntutan rakyat. Pengesahan RUU Omnibus Law menjadi UU, terkesan dipaksakan dan membodohi rakyat dan buruh. Ini justru menjadi pemantik pembangkangan sosial secara nasional. Dengan situasi seperti sekarang, paling tidak akan terjadi kerusuhan dan pembangkangan sosial di banyak kota di Indonesia. Yang bakal terjadi di hari-hari mendatang adalah aksi mogok buruh dan aksi demo mahasiswa secara nasional disertai aksi pembangkangan sipil. Suasana dan peristiwa ini bukan halusinasi tapi benar-benar sudah menggaung dan terjadi di mana-mana. Dalam kesempatan inj, saya ingin flash back ke belakang ke tàhun 1998. Semoga para elite politik di DPR terutama politisi dari partai oligarki serta rezim penguasa di bawah Presiden Jokowi bisa belajar dari peristiwa kerusuhan pada waktu itu. Seperti kita ketahui bersama, waktu itu kekuasaan Soeharto dalam keadaan sangat kuat. Hampir semua infrastruktur dan suprastruktur politik berada dibawah kendali Rezim Orde Baru yang dibangun Soeharto selama 32 tàhun. Namun toh pada akhirnya pada bulan Mei 1998, kekuasaan Soeharto tumbang juga. Krisis politik yang berakhir pada lengsernya Soeharto dari kursi kekuasaan pada awalnya dipicu oleh krisis moneter yang terjadi pada bulan Juli 1997. Kemudian persoalan finansial yang dialami perusahaan besar dan perbankan ini merembet pada kesulitan rakyat dalam mendapatkan kebutuhan sembako. Kalaupun ada harganya mahal sehingga kemudian menyebabkan terjadinya berbagai aksi penjarahan toko-toko supermarket. Di sisi lain, banyak perusahaan swasta besar dan perbankan yang mendadak bangkrut dan kesulitan keuangan. Akibatnya PHK massal terjadi di mana-mana. Meski bulan November 1997 pemerintah waktu itu sudah menutup sejumlah bank swasta nasional untuk memulihkan ekonomi, namun kepercayaan masyarakat tidak kunjung pulih. Bahkan ketidakpercayaan masyarakat tersebut bukan hanya terhadap perbankan tetapi juga pada rezim Soeharto yang dianggap telah melakukan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Akhirnya krisis moneter meluas menjadi krisis sosial dan krisis politik. Pergantian Presiden dari Soeharto ke BJ Habibie pada Mei 1998, tidak seketika memulihkan bangsa ini dari krisis multi dimensi. Ketika itu Habibie dianggap sebagai bagian dari rezim kekuasaan Orde Baru. Akhirnya melalui proses politik di MPR, Habibie digantikan oleh Gus Dur pada tàhun 2000. Selanjutnya pasca reformasi tersebut kita ketahui bersama berbagai pergantian Presiden ke Megawati, kemudian Susilo Bambang Yudhoyono hingga akhirnya kepada Jokowi tàhun 2014. Jokowi dan partai pendukungnya ingin mengulang sukses SBY yang menjadi Presiden dua periode yakni dari tàhun 2004 hingga 2014. Namun sayangnya, kapasitas dan kompetensi Jokowi sangat jauh dibandingkan SBY. Sehingga banyak janji Jokowi yang tidak bisa dipenuhi, demikian pula program pembangunan tidak fokus dan cenderung halusinasi. Hampir semua proyek-proyek infrastruktur dibangun dengan utang sementara penggunaan dan hasil pembanguman proyek tersebut tidak optimal. Menurut M. Said Didu, pengamat ekonomi yang juga mantan Sekretaris Menteri BUMN, semua indikator ekonomi semakin memburuk dan tidak ada tanda perbaikan dalam 3-5 tahun ke depan. Krisis ekonomi baru akan berdampak pada kekuasaan jika sudah menyangkut kehidupan rakyat secara langsung. Kondisi ekonomi sekarang sudah berada pada ekonomi siap "meledak". Dan ekonomi bisa meledak jika rakyat sudah mengalami kesulitan hidup sehari-hari. Dan itu sudah terjadi saat ini. Selain itu, ekonomi akan meledak jika pengusaha sudah tercekik utang dan keberlanjutan usahanya. Saat ini banyak perusahaan yang dililit utang dan sebagian sudah banyak pula yang melakukan PHK karyawan dan menutup pabriknya. Said Didu memperkirakan, "Ekonomi akan meledak pada bulan November-Desember 2020". Gelombang protes dan ketidakpuasan tidak hanya disuarakan para buruh dan mahasiswa, para guru besar dan dosen serta dekan dari 55 perguruan tinggi di Indonesia juga menyampaikan keprihatinan yang sama. Mereka juga menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Guru Besar Hukum Unpad Bandung, Susi Dwi Harijanti, membacakan pernyataan sikap para akademisi tersebut melalui virtual, Rabu, 7 Oktober 2020. Susi mengatakan, mereka menyatakan sikap penolakan lantaran melihat banyak penyimpangan dalam proses pembahasan hingga isi undang-undang yang disahkan dalam rapat paripurna DPR, Senin, 5 Oktober 2020. Sejumlah akademisi bidang hukum lainnya yang turut menolak UU Ciptaker seperti Guru Besar Hukum UGM Eddy Hiariej, Maria Sri Wulan Sumardjono dan Zainal Arifin Mochtar. Hampir semua elemen masyarakat menyatakan menolak terhadap UU Omnibus Law. Jika pemerintah dan DPR tetap berkeras mau memaksakan memberlakukan UU Cipta Lapangan Kerja, harus berhadapan dengan risiko terjadinya People Power. Dan Jokowi harus siap-siap untuk lengser dan melepaskan kekuasaannya. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id & Mantan Wartawan Kompas

Dari Revolusi Mental Menuju Revolusi Sosial (Bagian-1)

by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Kamis (08/10). "Revolusi Itu Akan Mencari Jalannya Sendiri". Begitu sebuah postingan di tweeter @el_macho90 yang link ke tweeter Dr. Dipo Alam, mantan ketua Dewan Mahasiswa UI, yang pernah dipenjara Orde Baru. Isi postingan di tweeter itu saya lihat kemarin. Apa itu revolusi sosial? Apakah benar demikian? Revolusi adalah perubahan sosial yang menggantikan struktur sosial. Juga mengganti struktur politik dan ekonomi, serta kadangkala struktur budaya masyarakat atau peradaban. Perubahan seperti ini pada umumnya diwarnai dengan kepemimpinan perubahan yang kuat dan perlawanan yang terorganisasi serta acapkali dengan kekerasan. Pembicaraan tentang revolusi ini perlu kita kaji, mengingat lima hal atau situasi sebagai berikut : Pertama, gerakan mahasiswa dan buruh sebagai garda terdepan telah memenuhi jalan-jalan beberapa kotas besar sepanjang beberapa hari terakhir ini. Kedua, gerakan Islam dan khususnya yang di bawah komando Imam Besar Habib Rizieq Shihab (HRS) telah mengepung terus ibukota, dengan tema Pancasila dan kembalikan Habib Rizieq. Ketiga, Pernyataan Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), yang terkenal dengan isu pemerintahan bersih, Profesor Zainal Mochtar telah menyerukan adanya pembangkangan sipil (civil disobedience) atas situasi sosial paska pengesahan UU Omnibus Law kemarin. Keempat, adanya spirit kebangkitan purnawirawan militer untuk mewarnai perubahan sosial melalui jalur gerakan masyarakat sipil. Kelima, adanya respon negatif ormas Islam terbesar Muhammadiyah dan NU terhadap pemerintah dalam kasus Pilkada. Serta kaum ulama pada isu RUU HIP dan RUU BPIP. Tentu banyak fenomena sosial lainnya belakangan ini yang dapat dilihat sebagai fenomena penting dalam menganalisa situasi yang ada. Antara lain kegagalan pemerintah dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Administrasi pemerintahan negara yang melemah karena transformasi digital yang gagal, serta ekenomi yang semakin memburuk. Lalu mengapa perlu menganalisa revolusi itu? Pentingnya melakukan analisa atas hal ini karena jika revolusi datang pada sebuah bangsa, namun gagal “dibimbing", maka yang terjadi biasanya adalah kehancuran bangsa. Seperti kasus-kasus kegagalan revolusi di Afganistan, Filipina terkait penggulingan Ferdinan Marcos dan beberapa negara di Amerika latin. Sebaliknya, yang terjadi pada Revolusi Bolshevik di Rusia, Revolusi di Iran, Revolusi di China umpamanya hasil bagus yang membanggakan. itu karena revolusinya terlaksana dengan terarah dan terbimbing. Maka bangsa tersebut terselamatkan. Sebab-Sebab Revolusi Ilmu sosial telah melahirkan berbagai teori tentang revolusi. Baik mencari sebab-sebab munculnya revolusi maupun sejarah revolusi. Sebab-sebab revolusi dikaji oleh ahli-ahli sosiologi, seperti Skocpol, dalam bukunya "State and Social Revolution" Tahun 1979. Skocpol yang membandingkan revolusi Prancis, China dan Rusia. Sebagai seorang strukturalis fungsional, Skocpol melihat pergeseran equilibrium sebuah masyarakat yang terguncang (disequlibrium) akibat ada kemerosotan eksistensi negara dan pemberontakan petani di tiga negara yang dia bandingkan itu. Namun, kaum strukturalis, baik Marxis maupun fungsional, kurang memberi perhatian pada analisa agensi atau tokoh maupun ideologi gerakan. Sosiolog dan historian lainya, banyak yang juga melihat peranan ideologi, organsisasi aksi dan peranan tokoh dalam sebuah revolusi dan sebab-sebabnya. Misalnya, sebab-sebab revolusi dalam teori kenabian umumnya dikaitkan dengan adanya bala atau bencana yang ditimpakan kekuatan ilahiah pada sebuah rezim dan masyarakatnya. Lalu munculnya seorang pemimpin yang membawa perubahan peradaban. Melihat berbagai spektrum pemikiran dan analisa, maka secara umum sebuah revolusi itu terjadi karena meluasnya kekecewaan rakyat atas rezim yang berkuasa. Terjadinya kooptasi negara dengan melakukan politik tirani dan berbagi kekuasaan dengan kaum oligarki pemodal. Terjadi kemerosotan peran dan eksistensi negara akibat perang atau wabah ataupun keuangan negara. Munculnya tokoh-tokoh revolusioner, dan adanya ideologi yang mempersatukan gerakan perlawanan. Meluasnya kekecewaan rakyat Indonesia saat ini sudah meluas dan mendalam. Meluas itu terbukti dari kecaman dua ormas besar agama Islam atas sikap pemerintah yang mengorbankan nasib rakyat ditengah pandemi Covid-19 demi mendorong pilkada. Padahal MUI, NU dan Muhammadiyah, bahkan sesungguhnya hampir seluruh kekuatan masyarakat sudah menyatakan menolak pilkada. Penolakan ini ditambah dengan adanya sinyalamen Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Meamanan (Polhukan) bahwa Pilkada 92% dibiayai oleh cukong-cukong. Pernyataan yang diumumkam sendiri oleh tokoh sentral di pemerintahan. Angkanya cukup menghawatirkan. Kekecewaan dalam spektrum lainnya adalah kekecewaan buruh yang menolak UU Omnibus Law. Buruh sebagai kekuatan rakyat di perkotaan dan semi urban melihat bahwa pemaksaan secara cepat legalisasi UU ini adalah simbol kesombong rezim dan kaum kapitalis untuk mengekploitasi nasib mereka. Telah terjadi vis a vis secara kepentingan. Yang menariknya adalah, di luar buruh, kelompok-kelompok identitas, intelektual dan lingkungan ikut mengecam UU Omnibus ini. Seperti mahasiswa, kalangan dosen, ulama, pegiat dan pecinta lingkungan, masyarakat adat, dan terakhir lembaga-lembaga yang pro lingkungan hidup internasional. Selain itu, kekecewaan masyarakat terjadi karena kegagalan pemerintah menangani pandemi corona. Meskipun pemerintah beralibi telah menangani dengan baik, dengan membandingkan hasil faktual antar negara, namun rakyat sudah sedemikian jauh mengalami frustasi sosial dan kemerosotan hidup selama delapan bulan pandemi ini. Krisis kepercayaan meluas dan dalam kepada pemerintah. Krisis ini akibat adanya ketertutupan pemerintah soal pandemi ini di masa awal. Juga kegagalan dalam mengontrol penyebaran pandemi pada masa nasa yang disebut "golden time". Disamping publik melihat arogansi pemerintah dalam masa masa awal menyepelekan isu Covid-19 ini. Banyak lagi kekecewaan masyarakat yang muncul. Khususnya, kekecewaan ummat Islam dan eks militer (purnawirawan) atas isu di seputar bangkitnya PKI dan faham Komunisme. Dan klaim bahwa mayoritas masyarakat kecewa dengan Jokowi sudah pasti mempunyai landasan analitis. Dalam hal kooptasi negara atas semua kekuatan politik yang ada, sikap semena-mena itu ditunjukkan dengan upaya cepat pemerintah memberlakukan perpu corona, yang kemudian menjadi UU Corona No. 2/2020. Intinya pemusatan kekuasaan secara hampir mutlak pada pemerintah. Pada saat Jokowi mengkritik menteri menterinya yang dianggap gagal bekerja ekstra ordinary, setelah tiga bulan pandemi, Jokowi mengobral akan membuat Perpu Corona lainnya jika dianggap kurang dalam konsolidasi power. Ini menunjukkan sistem politik kita yang membagi kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, serta pemeriksaan keuangan independen telah terdistorsi. Bahkan terakhir adalah upaya rezim Jokowi membuat Dewan Moneter untuk mengendalikan Bank Indonesia. Tujuanya agar pemerintah bisa mencetak uang. Padahal selama ini dalam prakteknya bank Indonesia independen. Tidak dibawa kontrol dari pemerintah. Pemusatan kekuasaan di tangan Jokowi dan rezimnya bersamaan dengan rencana RUU HIP dan UU Omnibus Law. RUU HIP adalah upaya pemusatan tafsir ideologis atas Pancasila. Dengan genggaman itu maka pemerintah mempunyai alat pembungkaman lawan-lawan politik secara legal. Sedangkan Omnibus Law, yang luas ditentang saat ini, adalah upaya pemerintah membagi kesenangan kepada kaum kapitalis dan oligari modal. (bersambung). Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.

Bank Dunia : 90 Juta Orang Indonesia Hadapi Rawan Pangan

by Jusman Dalle Jakarta FNN – Kamis (08/10). Footage pekerja migran gagal terbang ke Saudi Arabia viral ,setelah saya posting di twitter @JusDalle. Twitter analytics mencatat, video itu telah ditonton lebih dari 278.000 kali. Jadi berita dan headline media nasional. Bahkan, mendapat respons dari dari Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Situasi paling dramatis video tersebut adalah pada bagian ketika sang Ibu pekerja migran mengucapkan kalimat “Selama tujuh bulan saya diam di rumah. Tidak pernah kemana-mana. Kita harus makan, anak-anak juga harus makan”. Suara sang ibu bergetar. Emosinya memuncak. Berusaha diredam, namun tak tertahan. Remuk redam rasanya hati ini mendengar kalimat tersebut. Curahan perasaan yang dilontarkan itu, bukan semata ekspresi kecewa seorang pekerja migran, karena gagal berangkat mencari nafkah akibat prosedur dan protokol yang ribet. Kekesalan itu, adalah common ground. Mewakili perasaan ratusan juta rakyat, yang marah kepada pemerintah. Video itu banjir komentar. Nadanya hampir mirip dan sama. Netizen umumnya kecewa, kesal dan marah atas situasi yang tidak menentu tersebut. Rakyat sangat merasakan adanya kesulitan ekonomi. Nasibnya tidak menentu dan tidak pasti. Hanya terjebak di rumah. Dalam situasi krisis yang mengunci seperti ini, kelompok masyarakat aspiring middle class yang menjadi korban paling besar. Namun mereka, luput dari perhatian media massa. Apalagi perhatian pejabat pembuat kebijakan. Tak masuk dalam radar dan data pemerintah untuk diselamatkan. Mereka sudah sangat dekat dengan tubir kemiskinan. Begitu terjadi sedikit saja gejolak ekonomi, mereka berjatuhan ke lembah kemelaratan. Jangankan Corona yang membekap, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan harga BBM dan inflasi, bahkan dapat menyeret mereka ke jurang kemiskinan. Posisi kelas menegah tanggung ini sangat rentan. Tidak punya determinasi ekonomi yang memadai (coeficcient of determination) kepada mereka. Semakin berbahaya, karena klasifikasi yang dibuat oleh negara menempatkan mereka seolah tidak miskin. Aspiring middle class ini adalah mayoritas masyarakat negeri ini yang tak terlihat pemerintah. Padahal jumlah sangat banyak. Bahkan mengagetkan. Menurut data Bank Dunia, per Januari 2020 jumlahnya mencapai 115 juta penduduk. Ini sangat menghawatirkan. Nasib ratusan juta rakyat tersebut mulai terkuak. Laporan anyar yang dipublikasikan Bank Dunia awal Oktober, menyebut jika saat ini sepertiga orang Indonesia makan lebih sedikit. Mereka kekurangan uang akibat Pandemi Covid-19. Artinya, sekitar 90 juta penduduk Indonesia menghadapi tekanan rawan pangan. Padahal, jumlah penduduk miskin cuma 26 juta jiwa. Itu data resmi BPS. Maka temuan sepertiga penduduk Indonesia kurang makan akibat dampak Corona, diinterpretasikan jika wabah ini telah melipatgandakan jumlah penduduk miskin. Naik sebanyak 300% cuma dalam tujuh bulan. Indikatornya sangat valid. Pemenuhan kebutuhan paling dasar, yaitu pangan. Rawan pangan itu, merupakan bom waktu yang siap meledak. Pasalnya, Corona masih sangat jauh dari kata dan kalimat terkendali. Indonesia bahkan jadi negara dengan penanganan Covid 19 yang terburuk di dunia. Setiap satu juta populasi, jumlah yang test cuma 10.760 orang. Sangat kecil. Bandingkan dengan AS sebanyak 298.423 tes per satu juta penduduk. India sebagai negara berpenduduk terbesar kedua di dunia, mencatatkan jumlah tes 47.000 per satu juta populasi. Karena itu, para pakar yakin jika kasus covid di Indonesia sebetulnya jauh lebih besar dari yang terungkap. Jumlah test sebagai dasar parameter, sama sekali tidak memenuhi standar WHO. Implikasinya penanganan Covid yang amburadul, berdampak masif terhadap perekonomian. Selama Covid tidak terkendali, maka aktivitas ekonomi tidak bakal beroperasi 100%. Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pelemahan daya beli, produksi dan konsumsi yang mandek, menciptakan lingkaran setan krisis ekonomi yang semakin babalieut. Masyarakat lapis bawah yang paling terkena dampaknya. Mereka sangat merasakan perihya kehidupan ekonomi sekarang. Persis kisah dramatis sang Ibu pekerja migran yang gagal berangkat ke Arab Saudi tersebut. Hanya bisa tinggal di rumah tanpa sumber pendapatan yang jelas. Tekanannya kian menyakitkan seiring perjalanan durasi waktu. Batas toleransi kian menipis. Maka satu dua bulan ke depan, rawan pangan dan kompleksitas problem ekonomi yang membelit bisa saja menjelma menjadi petaka kelaparan massal yang mengerikan. Semoga tidak terjadi. Amin Penulis adalah Direktur Ekskutif Tali Foundation.