OPINI
Menepis Pendapat Amien Rais Soal Kembali ke UUD 1945" (Bagian-2)
by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Rabu (07/10). Untuk membedakan dan mempermudah, maka hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut dengan UUD 2002”. Dalam Pembukaan UUD 1945 sangat jelas, Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia disusun dalam Undang Undang Dasar Negara Indonesia. Pemerintahan yang dipilih, Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Begitu Konsensus nasional kita. Pembukaan UUD 1945 dan NKRI tidak boleh diubah. Bentuk negara dan implementasi kedaulatan rakyat diatur dalam Batang Tubuh. Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik, dan Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam pertarungan kepentingan politik global, untuk menguasai suatu negara, konstitusi merupakan sasaran. Indonesia masuk salah satu sasaran. Keterlibatan aktor internasional negara liberal kapitalis dalam amandemen UUD 1945 dengan dalih agar Indonesia lebih demokratis, adalah nyata. United Nations Develepment Program (UNDP) dan United State Agency for International Develepment (USAID) didukung LSM asing, Institute of Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Internasional Foundation for Election System (IFES), National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institution (IRI) terlibat dalam amandemen UUD 1945. Keterlibatan mereka tidak hanya masalah dana. Tetapi juga konsep pemikiran pembaharuan. Mereka hadir dalam rapat. Mereka berkolaborasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) domestik Centre for Electoral Reform (Cetro). (Valina Singka Subekti, 2007, Menyusun Konstitusi Transisi). Kita sudah merasakan, pemilihan secara langsung ala Amerika, yang "one man, one vote", sebagai hasil amandemen yang merusak sendi persatuan. Mari kita bahas bagaimana kaitan intervensi asing dalam amandemen UUD 1945 dengan implikasi yang disampaikan Amien Rais jika kita kembali ke UUD 1945. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Untuk Apa? Implikasi pertama yang disampaikan Amien Rais, DPD otomatis hilang, jika kembali ke UUD 1945. Amien Rais beranggapan DPD penting. Padahal, hilangnya DPD itu logis, UUD 1945 tidak mengenal DPD. Kecuali hanya diatur di UUD 2002. Kita kenal, lembaga DPD itu sebagai unsur negara serikat (federal). Padahal, Pasal 1 ayat (1) baik di UUD 1945 maupun UUD 2002, Indonesia sebagai Negara Kesatuan. Dengan demikian, DPD bertentangan dengan konstitusi. Pertanyaan kritisnya, siapa pembisik harus ada lembaga DPD? Intervensi asing kah? Untuk memecah belah kita kah? Walau DPD perannya belum sama seperti Senat di Kongres Amerika Serikat, DPD ini menjadi "embrio" yang tidak sesuai untuk Negara Kesatuan. Upaya meningkatkan peran DPD secara perlahan, merupakan indikasi, konsepsi "sutradara" untuk membangun DPD di Indonesia yang diinginkan belum selesai. Apabila dalih DPD untuk memberdayakan "Utusan Daerah" harus lewat Pemilu, dan dilembagakan, meka mengapa "Utusan Golongan" tidak sekalian diberdayakan menjadi "Dewan Perwakilan Golongan" saja? Patut diduga dan dicurigai, pembentukan DPD ada maksud dan tujuan tertentu. Nafas DPD berbeda dengan "Utusan Daerah" yang dimaksud dalam UUD 1945. Mari kita cermati, ada Otonomi Daerah, dan DPD, namun ketidakharmonisan terjadi pusat dan daerah. Pusat beroposisi dengan daerah. Begitu pula sebaliknya. Sumber kekayaan alam di daerah, dan pemilik modal selalu berada di belakang pejabat yang didukung saat pemilihan kepala daerah. Kita bangun pertanyaan kritis, adakah benang merah diatara rangkaian kondisi tersebut? Apakah DPD embrio menuju negara federal? Agar asing mudah bermain dalam urusan sumber daya alam di daerah? DPD bisa mengajukan RUU terkait Otonomi Daerah. Sedangkan anggota DPD dan Kepala Daerah lewat Pemilihan langsung, membuka peluang kapitalis bermain. Kiranya cukup panjang untuk menyoroti peran DPD. Apakah itu dari aspek kelembagaan, status, peran dan manfaatnya. Satu hal yang pasti, dengan kembali ke UUD 1945, otomatis DPD hilang. Itu bukan kerugian dan tidak perlu untuk risau. Justru sistem ketatanegaraan yang kita pilih benar, yaitu menjaga Negara Indonesia tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pentingnya Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Nusantara ini awalnya milik kerajaan-kerajaan. Selama belum ada Indonesia , maka pemilik Nusantara adalah para Raja dan Sultan. Raja dan Sultan selalu punya unsur Penasehat, Misalnya, Mahapatih dan lain-lain. Dunia wayang, juga ada Penasehat yang memiliki pitutur luhur. Suritauladan dunia wayang adalah negara Amarta dengan penasehat Batara Kresna dan Semar. Kresna seorang ksatria dan Raja. Semar seorang Punakawan abdi ksatria Pendawa. Komposisi inilah yang menggambarkan Raja mendengarkan suara para ksatria dan rakyat. Nilai budaya mengilhami "the founding fathers" tidak saja dalam menentukan Dasar Negara, tetapi juga dalam ketatanegaraan, antara lain perlunya Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Tempat terhormat untuk para Raja dan Sultan membeirkan pertimbangan kepada Presiden dan para Menteri Anggota Kabinet. Presiden mandataris MPR, sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara, memerlukan Penasehat. Dewan Pertimbangan Agung inilah penasehat Presiden. Sebuah badan yang di luar dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apabila undang-undang yang mengatur anggota DPA adalah tokoh-tokoh terpilih non Parpol, maka selanjutnya DPA akan memiliki independensi yang kuat. Tugas DPA diatur dalam Bab IV Pasal 16 UUD 1945. ”Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah”. Ada kewajiban dan hak. Tugas ini sangat penting, khususnya ketika Presiden berada dalam tekanan Parpol atau legislatif. Andaikan DPA ada, seperti masalah Pilkada serentak Desember 2020 dan RUU yang jauh dari kepentingan rakyat, Presiden bisa mendapat masukan DPA dari perspektif kepentingaan rakyat. Negara kita memang Republik, dan bukan Kerajaan. Namun agar pemimpin tidak otoriter dan salah keputusan, maka sebaiknya pemerintahan kerajaan maupun republik, tetap saja perlu "penasehat". Hal ini terbukti, pengamandemen juga berpikir, Presiden perlu Penasehat. Pengamandemen menghapus Bab IV UUD 1945 Dewan Pertimbangan Agung. Selanjutnya menempatkan Pasal 16 di Bab III UUD 2002, Kekuasaan Pemerintahan Negara. Disini terjadi keanehan dan tidak lazim. Bagaimana mungkin sebuah konstitusi ada Bab yang kosong atau hilang? Pasal 16 UUD 2002 mengatakan, “Presiden membentuk satu Dewan Pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.” Tidak ada kata kewajiban dan hak. Dewan pertimbangan ini sebagai unsur eksekutif. Pertanyaannya, sejauhmana anggota dewan petimbangan berani mandiri tidak takut kepada Presiden? Dewan penasehat Presiden saat ini bernama Wantimpres. Didukung Staf Kepresidenan. Suatu saat nanti, bisa jadi, tidak menutup kemugkinan, dewan ini isinya orang-orang tertentu, sebagai lanjutan saat Pilpres. Produknya bisa ditebak, cenderung melindungi kebijakan Presiden atau pemerintah dan pencitraan bagaikan tim sukses Presiden. Sedangkan DPA, sebagai Lembaga Negara yang independen, diharapkan memberikan masukan kepada Presiden dalam perspektif kepentingan negara. Sehingga Presiden tidak otoriter, tidak terkooptasi Parpol, memiliki bahan pertimbangan yang matang dan mandiri. DPA yang berperan bak Batara Kresna dan Semar. Kresna yang duduk sejajar dengan Raja Amarta, Yudhistira. Inilah pentingnya DPA dalam sistem ketatanegaraan UUD 1945. Pemerintahan Daerah di UUD 1945 Pada Bab VI Pemerintahan Daerah, Pasal 18 UUD 1945, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Cuplikan penjelasan Pasal 18 UUD 1945 di atas adalah "Daerah-daerah itu bersifat autonoom (steek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semua akan ditetapkan dengan undang-undang. Pada daerah-daerah yang bersifat autonoom, akan diadakan badan perwakilan daerah. Sebab di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Mencermati hal di atas, pendapat Amien Rais, jika kembali ke UUD 1945, maka Otonomi Daerah (Otda) batal, sabagai pernyataan yang tidak ada dasarnya. Bagaimana mungkin Otda batal, sedangkan UUD 1945 mengamanatkan masalah Pemerintahan Daerah. Persoalannya terletak bagaimana undang-undang Otda harus memiliki nafas sesuai pasal tersebut sehingga tetap dalam bingkai NKRI. Selanjutnya bagaimana implikasi terhadap keanggotaan MPR, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, jika kita kembali ke UUD 1945? Kedua implikasi yang disampaikan Amien Rais tersebut, akan kita bahas pada bagian-3 rangkaian artikel ini. Semoga bermanfaat. Insya Allah, Aamiin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
DPR Licik & Pengecut, “Hobby Nyakiti Rakyat”
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (07/10). Ketuk palu pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, bagian dari Omnibus Law oleh DPR di luar agenda awal yang cukup mengejutkan. Bukan kejutan prestasi tetapi kejutan pelecehan aspirasi. DPR secara institusi telah mempermalukan dirinya sendiri. Ada yang dengan bernada nyinyir menyebut DPR pimpinan Puan Maharani "pembunuh mic" sebenarnya memang sudah tidak punya rasa malu. Di Medsos ada tayangan kalimat duka dari Senayan "innalillahi wa inna ilaihi roojiuun". Kalimat yang menggambarkan sedang terjadi musibah. Semula dikira ada yang meninggal. Namun ternyata yang wafat itu adalah "hati nurani" anggota dewan. Terlepas dari keberanian politik dan acungan jempol untuk dua fraksi yang menolak, maka DPR untuk kesekian kalinya menyakiti rakyat. Hobby dan kesenangan DPR yang terbaru sekarang adalah ngotot untuk membohongi rakyat. DPR ngotot untuk membuat keputusan dengan rekayasa yang terang benderang. Maka dengan berat hati, kita memang harus menilai bahwa DPR melakukan kebijakan yang licik dengan mengambil momen Covid 19 untuk memutus dengan tergesa-gesa RUU kontroversial yang menimbulkan kemarahan rakyat khususnya kelompok buruh. DPR dengan licik memindahkan waktu pengesahan RUU Cipta Kerja dari rencana semula tanggal 8 menjadi tanggal 5 Oktober 2020. Dipastikan ini adalah undangan kilat yang tidak layak untuk suatu persidangan penting. Persidangan yang hanya mengesahkan kepentingan pengusaha dan pemodal. Disamping licik, DPR juga pengecut. Karena menghindar dari aksi unjuk rasa buruh yang tersakiti. Agenda mogok nasional tanggal 6-7 dan 8 Oktober yang dibarengi dengan unjuk rasa terendus DPR. Diantisipasi dengan mempercepat Sidang Paripurna DPR. Nampaknya anggota Dewan Yang Terhormat gemetar ketakutan digeruduk masa massa aksi buruh. Hit and run. Putuskan dan lari untuk sembunyi. Sungguh memilukan. Sementara rakyat akan semakin muak dengan perilaku licik dan pengecut seperti ini. Dewan tidak mampu menampilkan wibawa yang sesuai dengan kehormatan dari panggilannya. DPR sekarang lebih parah perannya dari DPR di masa Orde Baru yang dicap tukang stempel. Eksekutif kini mengangkangi legislatif sebagai kantor cabang. Rakyat sedih dan marah harus membiayai mahal wakil-wakil yang dianggap telah menghianatinya. Stempel baru untuk DPR sekarang adalah Dewan Penghianat Rakyat. Ketika kedaulatan rakyat diabaikan dan menjadi bahan mainan, serta sarana sekedar untuk mengeruk kekayaan, maka hancurlah kepercayaan. Undang-Undang Omnibus Law yang tak lain adalah kemauan Pemerintah telah menghancurkan hukum dan politik. Sejak awal, kongkalikong antara Pemerintah dengan DPR sudah dirasakan dan dilihat oleh rakyat. Kini buruh marah. Buruh bersama elemen masyarakat lain memahami dan merasakan kemarahan tersebut. Kebodohan Pemerintah dan DPR akan terlihat akibatnya ke depan. Selamat berjudi dengan aspirasi dan kepura-puraan demokrasi. Gumpalannya adalah "mosi tak percaya" di tengah pandemi dan resesi ekonomi. Siapa menabur angin akan menuai badai. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Buruh Mogok Gegara? Koplak & Amatiran Amit!
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (07/10). Menanggapi mogok nasional buruh tanggal 6-8 Oktober, seorang politisi partai "anu" berkomentar. Begini komentarnya,"mau mogok bagaimana, wong sudah mogok otomatis, karena banyak buruh yang dirumahkan akibat dampak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat seperti yang dilakukan Anies Baswedan". Maksudnya, mogok nasional yang dilakukan buruh tanggal 6-8 Oktober itu gara-gara Anies ya? Kok demonya ke Senayan? Kok demonya di Gedung Sate Bandung? Kok demonya di Serang Banten? Ko demonya ada di banyak wilayah? Anies ini gubernur Jakarta atau presiden Indonesia? Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak anda berpikir lurus. Berpikir lurus itu memahami hukum kausalitas. Hukum sebab akibat. Ini standar yang normal-normal saja. Kecuali jika anda sudah nggak normal. Siapapun anda. Apalagi jika omongan anda laku untuk dikutip media. Anda yang saya maksudkan bukan sebagai personal. Tetapi semua rakyat Indonesia. Semua anak bangsa yang sedang dan akan menghadapi ancaman kesulitan ini. Makanya, tidak saya sebut nama dan partainya. Kalau saya sebut, hanya akan mengecilkan kualitas tulisan ini. Orang Jawa bilang, “ngono yo ngono, tapi yo ojo ngono”. Benci ya benci, tapi yang cerdas dikit gitu loh bencinya. Jangan primitif gitu loh. Mosok mogok buruh nasional tanggal 6-8 Oktober gara-gara Anies perketat PSBB. Yang bener aja ah! Anda pasti bercanda. Kalau bercanda, pinteran dikit napa! Rakyat semua tahu. Buruh demo, lalu mogok kerja akibat disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja pada hari senen tanggal 5 Oktober 2020. Siapa yang mengesahkan UU itu? Ya DPR dan Pemerintah. Mosok tukang gorengan. Kagak mungkinlah! Ada-ada aja. Buruh nggak terima, kecewa dan marah, makanya mereka demo ke DPR. Juga protes ke Jokowi, karena UU Omnibus Law Cipta Kerja ini usulan dari pemerintahan Jokowi. Ah, mosok harus dijelasin kayak anak kecil ah. Masa anggota partai politik nggak ngerti tentang tata cara pembuatan suatu UU? "Dimanapun yang namanya UU adalah sebuah produk politik. Karena itu, apapun hasilnya harus diterima", kata politisi ini lagi. Waduh.. Waduh... Mau ngomong apa lagi jal. Ikut komentar, takut dibilang "blo'on" yaa?. Nggak komentar, khawatir masyarakat ikut-ikutan blo'on. Sudahlah terpaksa saya harus komentar. Begini bung, UU memang produk politik. Tapi tidak setiap produk politik harus diterima. Anda pikir UU itu kitab suci apa? Bersifat mutlak apa? Sekali dibuat, nggak boleh dikritik begitu? Sehingga harus diterima, gitu? Ini ngaco, ngawur dan sesat cara berpikirnya bro. Bisa melalui Yudisial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ok, ini yang agak waras dikit. Tetapi, bahwa masyarakat banyak yang apatis terhadap lembaga hukum itu fakta. Ini nggak boleh terjadi, tentunya. Tetapi, pelaksanaan dan penegakan hukum di Indonesia itu betul-betul bermasalah. Apalagi jika berhadapan dengan penguasa dan kekuatan politik. Buruh mengukur diri. Anda pasti tahu itu. Kalau pelaksanaan dan penegakan hukum kita tertib, buruh dan mahasiswa mungkin tidak akan menempuh cara demo. Cukup dengan Yudisial Review ke MK. Kenapa mereka demo, karena mereka nggak begitu percaya dengan penegakan hukum di negeri ini. Anda bilang, "UU dibuat tidak selalu akan menciptakan sebuah keseimbangan dan kepuasan bagi sebagian kecil masyarakat". Anda anggap jumlah buruh itu sedikit apa? Lebih banyak jumlah borjuis dari pada proletar? Anda makin ngaco, ngawur dan amatiran saja! Jumlah buruh di Indonesia itu mayoritas. Hampir semua, jika tidak dikatakan semua, yang menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja. Kenapa? Karena UU ini jadi neraka bagi mereka para buruh. Terkait upah minimum, kontrak kerja, masa cuti, PHK, tenaga kerja asing, dan lain-lainsangat merugikan para buruh. Melihat masa depan buruh yang dipreteli hak-haknya oleh UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, mahasiswa pun ikut bergerak. Demo dan protes. Begitu juga dengan sejumlah ormas dan ulama. Ikut melakukan protes. Lalu, anda bilang, mereka minoritas? Koplak dan primitif sekali anda. Jumlah buruh di Indonesia itu 131.005.641 dari total jumlah penduduk Indonesia 271.053.473. (data BPS 27 April 2020). Belum ditambah dengan jumlah pendukungnya, yaitu mahasiswa dan ormas yang dibesarkan oleh orangtua mereka yang berstatus buruh. Bagaimana anda bilang minoritas? Mungkin anda nggak pernah lahir dari rahim orangtua yang berstatus buruh, sehingga nggak mampu membaca perasaan pedih hati mereka para buruh. Seandainya mereka minoritas sekalipun, harus juga diakomodir kepentingannya. Nggak boleh diabaikan. Sebab di Indonesia, non muslim itu minoritas. Tetapi nggak boleh diabaikan kepentingannya. Tetapi jangan malah anda balik datanya dan mengatakan muslim itu minoritas, maka nggak perlu diakomodir kepentingannya. Lalu, supaya masuk akal, dibuatlah narasinya, “yang dimaksud minoritas itu Islam radikal dan pengusung Khilafah. Itu minoritas. Ah, suka-suka anda aja. Semakin aneh lagi, anda menyimpulkan bahwa mogok nasional buruh tanggal 6-8 Oktober itu gara-gara Anies perketat PSBB. Alah maaak...... Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Kebangsaan
Membangun “a Community of Excellence” di Amerika (Bagian-1)
by Imam Shamsi Ali New York FNN – Selasa (06/10). Jumat kemarin saya menyampaikan khutbah bulanan saya di Jamaica Muslim Center New York. Bagi yang belum mengenal, Jamaica Muslim Center(JMC) adalah salah satu Islamic Center terbesar di Amerika, khususnya di kota New York. Selain masjid, JMC juga mengelolah sekolah Islam full, sekolah Tahfidz, senior Center (rumah jompo), dan banyak lagi. Jamaica juga adalah Islamic Center Yang memiliki posisi di mata pejabat di kota New York. Satu-satunya masjid yang dijunjungi oleh Walikota Michael Bloomberg di saat mengakhiri tugasnya sebagai Walikota New York. Walikota Bill de Blasio telah tiga kali berkunjung ke masjid ini. Demikian juga dengan Kepolisian dan para anggota DPRD New York. Yang saya ingin sampaikan kali ini adalah ringkasan khutbah yang saya sampaikan pada Jumat lalu. Saya merasa perlu menuliskan ringkasan ini agar bermanfaat luas kepada warga Muslim, khususnya mereka yang di Amerika. “Khaer Ummah” Konteks Amerika Islam diyakini sebagai agama kehidupan. Ini dimaknai minimal dalam dua hal. Makna pertama, bahwa Islam hadir untuk mengajarkan kita hidup. Bukan sebaliknya, hadir untuk mengajarkan kematian. Justeru warna kematian ditentukan oleh warna kehidupan. Karenanya fokus Islam adalah bagaimana hidup yang baik demi kematian yang baik (husnul khatimah). Makna kedua, bahwa Islam sebagai ajaran kehidupan pastinya menyentuh seluruh aspek hidup manusia. Bukan hanya aspek individual. Apalagi lagi hanya aspek ritual kehidupan. Tetapi menyeluruh dan (komprehensif) sebagai ajaran yang syamil, kamil dan mutakamil. Dalam konteks inilah kita yakini bahwa Islam hadir mengajarkan manusia untuk mewujudkan komunitas (masyarakat). Inilah yang dikenal dengan kata “ummah”. Atau dalam konteks nation state (negara) disebut dengan “bangsa” (nation). Ummah atau bangsa itulah yang menjadi tujuan utama berdirinya Madinah. Disanalah berdiri Komunitas Muslim atau masyarakat Muslim pertama sebagai “tunas ummah” yang mengglobal di kemudian hari. Dalam upaya mewujudkan “Ummah” tersebut, Islam tidak sekedar mewujudkan Komunitas atau masyarakat biasa. Tteapi “a community of excellence” atau sebuah masyarakat yang istimewa.Yang diistilahkan dalam Al-Quran dengan “Khaer Ummah” (Umat terbaik). Al-Quran di Surah Al-Imran ayat 110 menggambarkan Umat termaksud. Al-Quran menyampaikan bahwa pengikut Muhammad SAW sebagai Umat terakhir dipilih untuk hadir mewujudkan masyarakat terbaik (Khaer Ummah) itu.Bagaimana proses pembentukan dan karakter masyarakat Istimewa atau the community of excellence itu? Dengan kata lain untuk pembentukan “Khaer ummat” hal-hal apa saja yang seharusnya dilakukan? Jawabannya ada pada ayat-ayat sebelumnya. Dimulai pada ayat 101 hingga pada ayat 109, yang kemudian tersimpulkan pada ayat 110 tentang “Khaer Ummah” atau the best nation (a nation of excellence). Pertama, Khaer Ummah atau komunitas istimewa itu adalah komunitas atau bangsa yang berkarakter ketakwaan. Taqwa adalah bentuk religiositas tertinggi. Pada ketakwaan itu menyatu nilai-nilai Islam, iman dan ihsan. Allah SWT berfirman ,“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Dan janganlah hendaknya meninggal kecuali dalam keadaan Muslim” (S. 3: 102). Dengan ketakwaan, segala sesuatu terbangun dalam Islam. Termasuk bangunan sosial masyarakat atau komunitas. Hanya dengan ketakwaan, sebuah komunitas akan mendapat ‘inayah Allah, dan pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi akan terbuka. Kata Allah, “Sekiranya penduduk sebuah negeri beriman dan bertakwa niscaya kami akan bukakan bagi mereka keberkahan lagi dan bumi” (Al-A’taf: 96). Kedua, Khaer Ummah atau komunitas istimewa (community of excellence) itu mengedepankan kebersamaan (persatuan). Persatuan itu terjadi karena ada pegangan yang sama yang dikenal dengan “tali agama Allah” (i’tishom bihablillah). Firman Allah, “Dan berpegang teguhlah kalian semua kepada tali agama Allah dan jangan berpecah belah” (Al-Imran: 103). Persatuan umat adalah modal utama dalam membangun komunitas yang istimewa itu. Persatuan yang merujuk kepada pegangan yang sama, yaitu tali agama Allah atau Al-Quran dan As-Sunnah. Bersatu dalam memegangi “tali agama Allah” itu bukan penyeragaman (unity is not uniformity). Karenanya jika ada keragaman pemahaman tentang pegangan yang satu itu, tidak seharusnya memecah belah kesatuan Umat. Karena boleh jadi memegang atau memandang dari sudut yang berbeda. Ketiga, Khaer Ummah atau komunitas istimewa itu juga harus terbangun di atas kesadaran tanggung jawab sosial (social responsibility). Tanggung ini yang dikenal dalam Islam dengan “amar ma’ruf-nahi mungkar”. Kata Allah, “Dan hendaklah segolongan di antara kalian yang mengajak kepada kebaikan (khaer) menyeru kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran. Dan mereka itulah orang-orang yang sukses” (Al-Imran: 104). Berbicara tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar itulah yang sesungguhnya yang terekspresi dalam tanggung jawab sosial kolektif ummah. Memerangi narkoba, pelacuran, korupsi adalah bagian dari tanggung jawab sosial. Tapi jangan lupa memerangi kebodohan, kemiskinan dan juga melawan tendensi perpecahan dan ragam social vices (kejahatan sosial) juga bagian dari tanggung jawab sosial kolektif itu. Keempat, Khaer Ummah atau komunitas istimewa itu memiliki wawasan atau orientasi hidup ukhrawi. Dalam menjalani kehidupan dunia ini mereka yang menjadi bagian dari Ummah terbaik itu tidak “hilang” (tersesat) dalam rimba nafsu duniawi. Justeru dunia dijadikan lahan (mazra’ah) bagi kehidupan ukhrawinya. Allah mengatakan, “Pada hari di mana ada wajah-wajah yang bersinar dan ada wajah-wajah yang muram/kelam.” (Al-Imran: 106). bersambung. Penulis adalah Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation.
KAMI Yang Lincah Dan Berkelas
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN –Selasa (06/10). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) terus memacu langkah-langkah di tengah himpitan-himpitan politik tipikal negara korporasi sejauh ini. Menancapkan kiblatnya untuk Indonesia yang hebat, yang beres dalam semua aspek, dan dipandu dengan kesadaran religisunya yang tuntas, KAMI terlihat asyik menikmati impiannya. Kami, kata Profesor Din, pria murah senyum yang sejuk wajahnya itu memikat harapan. Bukan orang-orang pengecut. Kami hanya takut pada Allah Subhanahu Wata’ala, begitu penggalan kalimat profesor Din selanjutnya. Kalimat itu memang cukup pendek. Tetapi sependek itu sekalipun, kalimat itu terlalu jelas menjelaskan kemana KAMI akan mengarungi laut hitam politik korporatis Indonesia dihari-hari mendatang. Jelas betul kalimat profesor Din tersebut menggambarkan tekad orisinilnya. Masuk Akal Tak ada jalan mundur atau berbelok di tikungan perjuangan dalam mengarungi impian. Mungkin kalimat itu dapat disematkan sebagai intisari kalimat professor Din tersebut. Ini kekuatan terbesar. Lebih besar dari kekuatan apapun yang dimiliki oleh negara yang telah terkorporatisasi. Siapapun yang berada dititik relijiusitas itu, dia melupakan semua keganasan politik korporasi dipelupuk matanya. Cahaya pengetahuan terlihat jelas menyinari mereka memandang, mengidentifikasi dan mendefenisikan masalah bangsa besar ini. Cahaya ini membawa mereka pada terminal defenitif. Negara ini sedang terbawa untuk diabdikan pada segelintir orang kaya. Bukan pada kebanyakan orang miskin. Soal-soal yang beginian, dibelahan dunia manapun hanya dapat dimengerti oleh segelintir orang yang dihikmahi pengetahuan dan kesadaran relijius. Disepanjang sejarah manusia soal-soal beginian selalu dan hanya menjadi santapan orang-orang terbatas. KAMI, untuk alasan apapun, jelas adalah orang-orang yang berkatagori terbatas itu. Terbiasa dalam khsanah ilmu pengetahuan dan problem kehidupan bernegara, KAMI tak mungkin tak mengerti bahwa demokrasi sudah sangat sering dikebiri. Demokrasi direduksi dengan berbagai cara. Stabilitas politik, sudah terlalu terbiasa digunakan oleh rejim korporasi berbaju demokrasi untuk mengebiri demokrasi dan mengisolasi orang-orang kritis. Keamanan nasional, juga sama. Ini telah menjadi metodologi standar politik rejim korporasi berbaju demokrasi. Ini mainan khas negara-negara demokratis sekelas Amerika. Rejim-rejim tipikal itu selalu dapat sesuka-sukanya menembakan peluru-peluru korporatis, yang selalu berkarakter fasistik. Menyudutkan siapapun yang teridentifikasi mengusik mereka. Baik di negara-negara liberalistik maupun komunistik, keamanan nasional dan stabilitas politik, dua entitas yang seiring sejalan ini pertama-tama diperuntukan untuk kaum kaya, khususnya para korporat dan oligarkis. Mereka yang utama dan terutama tersudut disetiap kritik terhadap tampilan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang mengorbankan rakyat. Itu karena, mereka para kaum kaya-korporat dan oligarkis inilah real goverment. Pemerintah yang sedang berkuasa, tidak pernah sungguh-sungguh dapat membuat kebijakan secara imparsial. Diakui secara halus oleh Presiden Woodrow Wilson diakhir masa jabatan kedua tahun 1921, kalau ada tangan-tangan non pemerintahan yang mengarahkan kebijakan pemerintahan. KAMI, saya yakin, tidak mungkin tak mengerti bahwa korporasi, yang sejak satu setengah abad silam telah diterima sebagai subyek hukum, adalah jenis mahluk politik paling ganas sejak saat itu hingga kini. Berstatus seperti itu ditengah demokrasi, korporasi bebas mengtatakan mereka punya hak sebagaimana haknya manusia natural untuk ikut merancang arah kebijakan pemerintah. Itu demokrasi namanya. Kalau impian mereka berbeda dengan impian kebanyakan orang, tidak apa-apa. Itulah demokrasi. Itulah indahnya demokrasi. Mereka untung, dan rakyat buntung, itu namanya demokrasi. Dan itulah indahnya demokrasi dalam pandangan mereka. Politik di alam demokrasi, saya yakin orang-orang KAMI mengerti lebih dari siapapun. Tidak pernah jauh urusan investasi diri dan meraih untung. Bukan tentang pengabdian, sebagaimana orang-orang Masyumi dulu mendefenisikan politik. Tidak. Politik adalah investasi diri, kembali modal lalu untung. Titik. Teruslah Bersuara Pemerintahan demokratis dimanapun di dunia ini, tidak pernah benar-benar dapat mengenali, apalagi mengimplementasi akutabilitas materil. Tidak. Selalu begitu dimanapun di setiap pemeritahan demokratis. Tidak pernah benar-benar bisa menarik garis batas dengan korporasi. Persis pemerintahan komunistik dimanapun, pemerintahan demokratis juga sama canggihnya dalam menyebar propaganda. Amerika, negara pengekspor utama demokrasi ke berbagai belahan dunia ini, menggila dengan propaganda kebebasan tahun 1917. Ini dilakukan pemerintahan Woodrow Wilson. Itu sebabnya merupakan merupakan master utama dalam urusan propaganda. Walter Lippman, jurnalis kawakan, yang juga penasihat Woodrow Wilson itu adalah otaknya. Ia tahu manusia tak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itu sebabnya pengetahuan mereka harus dibentuk. Caranya? Menyebarkan dan mengulan-ulang sebuah isu, tentu untuk menyesatkan. Rakyat orang kebanyakan akan berpikir dan bertindak sesuai pesan menyesatkan yang diulang-ulang itu. KAMI tentu mengerti kemana arah, dan apa yang dimaui dari pesan terus- menerus, dalam nada negatif yang dialamatkan kepada mereka. Perlakuan kontras terhadap protocol covid, tentu layak ditertawakan sebagai lelucon kecil nan murah meriah. Disana boleh, dan KAMI tidak boleh, mungkin hanya disambut KAMI dengan tawa kecil yang menggelikan. Dalam politik korporatis, menganolagi dua hal yang mirip, sepadang dan seimbang secara particular dalam sekuen kualitatifnya, bukan sesuatu yang perlu. Ini sia-sia saja. Tidak ada faedahnya. Itu karena kebenaran telah diletakan dihulu bahwa sesuatu sebut saja A, pasti pecah-belah bangsa, sehingga otomatis salah, dan disana tidak. KAMI mengerti, dan bersuara tegas bahwa bail out Jiwasraya, sebagai kebijakan yang melukai rakyat. Korporasi ngaco, rugi, lalu uang rakyat dipakai menutupi kerugian itu, jelas tak masuk akal. Rakyat dibebankan tanggung jawab untuk hal yang tidak mereka lakukan. Angkuh betul cara berpikir ini. Rakyat kebanyakan memang tidak bersuara, tentu tak perlu menemukan alasannya. Dimana pun didunia ini selalu begitu. Itu telah diidentifikasi secara akurat oleh Walter Lippman. Tetapi tragis kalau orang-orang berpengetahuan tidak bersuara. Dititik ini bangsa harus mensyukuri adanya suara kritis KAMI. KAMI terlihat tak mau tergulung akal-akalan korporasi oligarkis yang menyertai RUU Omnibus yang superkilat pembahasannya itu. RUU yang telah disetuju bersama DPR-Presiden jadi UU yang mentorpedo 79 UU eksisting. Luar biasa. Lalu, sekedar ilustrasi kecil, pemerintah ikut menanggung beban PHK bagi pekerja. PHK dibayar, tetapi persentasenya dibagi antara perusahaan dan pemerintah. Menyertakan Pemerintah ikut menanggung biaya PHK, jelas ini skema khas korporasi. Korporasi jelas berpesta dengan skema ini. Bukan puncak kebodohan, tetapi konsep itu jelas merupakan puncak cinta terhadap sosialisme ekstrim dalam konsep penguasaan tanah. Cara buruk itu diagungkan secara serampangan sebagai investmen drive. Ini inferensi angkuh khas corporasi. Inferensi ini sangat khas sosialisme ekstrim. Konsekuensi konsep itu adalah pemilik tanah tidak boleh menggunakan hak yang melekat padanya mempertahankan tanah itu. Demi investasi, pemilik tanah harus melepas kepemilikannya. Titik. Investasi adalah segala-galanya. Inilah napas dan jiwa pasal 33 UUD 1945 khas korporasi. Pemerintah, harus diakui, memiliki begitu banyak senjata yang setiap waktu dapat dimobilisir untuk mengisolasi pemilik tanah. Semua senjata hukum dan lainnya juga bisa digerakan mengisolasi KAMI. Menariknya, KAMI terus bersuara dengan nadanya yang amat berkelas. Surat Terbuka Profesor Din yang ditujukan kepada Presiden, yang hari ini berkibar ditengah masyarakat, jelas kelasnya. Isunya jelas. Manis kalimatnya memikat dengan bingkai kesantunan khas ulama. Ya Allah Ya Rab, Rahmatilah mereka dengan keagungan-MU yang tak terbatas. Insya Allah. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Potensi Bahaya Vaksin Virus Corona!
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Selasa (06/10). Sejak Minggu, 4 Oktober 2020, beredar “GRAND DESIGN/ROADMAP PELAKSANAAN VAKSINASI COVID-19” atas nama Direktur Jenderal P2P Kementerian Kesehatan RI. Apa benar Roadmap Vaksinasi Covid-19 ini berasal dari Kemenkes? Baiklah coba kita simak beberapa isinya. KANDIDAT VAKSIN COVID-19. Terdapat 34 vaksin Covid-19 dengan platform berbeda (mRNA, Inactivated, DNA, VLP, Non Replicating Viral Vector, Protein Sub Unit). Terdapat 9 vaksin COVID-19 sedang memasuki uji klinik fase III. Kandidat vaksin Covid -19 kerjasama mulitlateral: Sinovac kerjasama Biofarma dengan China; Sinopharm, kerjasama Kimia Farma dengan Group 42 United Emirat Arab; Genexine – GX19, kerjasama Kalbe Farma dengan Genoxine Korea Selatan; Gavi-CEPI untuk Middle Income Country dan Low Middle Income Country dengan skema AMC Covax. TUJUAN VAKSINASI COVID-19. 1. Menurunkan kesakitan dan kematian akibat Covid-19; 2. Mencapai kekebalan kelompok (herd immunity) untuk mencegah dan melindungi kesehatan masyarakat; 3. Melindungi dan memperkuat sistem kesehatan secara menyeluruh; 4. Menjaga produktifitas dan meminimalkan dampak sosial dan ekonomi. Sasaran Vaksinasi Covid 19 Ini Berisi Pentahapan Prioritas sesuai dengan ketersediaan vaksin, penduduk dan wilayah berisiko, tahapan pemakaian dan indeks pemakaian. IDEAL: SELURUH PENDUDUK; OPTIMAL: 80% PENDUDUK BERISIKO TERTULAR. 1. Garda terdepan: Medis dan Paramedis contact tracing, pelayanan publik termasuk TNI/Polri, aparat hukum 3.497.737 orang dengan kebutuhan vaksin 6.995.474 dosis; 2. Masyarakat (tokoh agama/masyarakat), perangkat daerah (kecamatan, desa, RT/RW), sebagian pelaku ekonomi) 5.624.0106 orang dengan kebutuhan vaksin 11.248.020 dosis; 3. Seluruh tenaga pendidik (PAUD/TK, SD, SMP, SMA dan sederajat PT) 4.361.197 orang dengan kebutuhan vaksin 8.772.3942 dosis; 4. Aparatur pemerintah (Pusat, Daerah dan Legislatif) 2.305.689 orang dengan kebutuhan vaksin 4.611.378 dosis; 5. Peserta BPJS PBI 86.622.867 orang dengan kebutuhan vaksin 173.245.734 dosis; Sub total jumlah di atas 102.451.500 orang dengan kebutuhan vaksin 204.903.000 dosis; Jika ditambah Masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya 57.548.500 orang dengan kebutuhan vaksin 115.097.000 dosis; Jadi, Total suluruhnya 160.000.000 orang dengan kebutuhan vaksin 320.000.000 dosis. Sesuai rekomendasi Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional atau Indonesian Technical advisory Group Immunization (ITAGI), prioritas pemberian imunisasi Covid-19 terdiri dari: Garda terdepan (front-line) yaitu Petugas medis: staf medis rumah sakit (dokter, perawat dan seluruh petugas yang bekerja di fasilitas pelayan kesehatan). Petugas non-medis: adalah petugas pelayanan publik (essensial worker), misalnya TNI-Polri, petugas bandara, stasiun kereta api, pelabuhan, pemadam kebakaran, PLN, PAM yang bertugas di lapangan, dll. Kelompok risiko tinggi/high risk lain. Terdapat Kelompok Pekerja berusia 18-59 tahun yang merupakan kelompok usia produktif dan berkontribusi pendidikan termasuk ke dalam sektor perekonomian; Penduduk < 60 tahun memiliki komorbid yang terkendali dan masih aktif; Contact tracing, kelompok risiko dari keluarga dan kontak kasus Covid 19; Administrator pemerintahan yang terlibat dalam memberikan layanan publik. Total target sasaran adalah 160 juta orang yang merupakan 80% dari total populasi penduduk yang berusia 18-59 tahun. Sesuai profile WHO, efikasi vaksin diharapkan minimal 70%. Mempertimbangkan masih terbatasnya ketersediaan jumlah, tahapan pasokan dan indeks pemakaian vaksin atau wastage rate suatu vaksin, maka disusun pentahapan pelaksanaan imunisasi Covid-19 sebagaimana dalam tabel tersebut di bawah ini. Garda terdepan: Medis dan Paramedis (1,2 juta), Contact tracing, pelayanan publik, aparatur pemerintah tingkat pusat; Masyarakat (tokoh agama/masyarakat), sebagian tenaga pendidik, aparatur pemerintah tingkat daerah; Pelaku ekonomi di 10 Provinsi terdampak (termasuk di dalamnya adalah pelaku sektor pariwisasta) dan sebagian tenaga pendidik; Pelaku ekonomi (24 Provinsi) dan perangkat daerah (kecamatan, kelurahan dll). Berdasarkan ketersediaan vaksin, maka total jumlah sasaran sebanyak 102.451.500 orang atau 204.903.000 dosis; Sub total 102.451.500 orang dengan kebutuhan vaksin 204.903.000 dosis; Masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya 57.548.500 orang dengan kebutuhan vaksin 115.097.000 dosis; Sehingga Total 160.000.000 orang dengan kebutuhan vaksin 320.000.000 dosis. Ketersediaan rantai dingin yang berfungsi dan sesuai standar. Per Desember 2019, vaksin rutin dan vaksin baru memakai 35% dari total kapasitas rantai dingin sehingga masih tersedia 65%. Sehingga, diperkirakan dapat menampung seluruh vaksin rutin dan introduksi sampai 2021. Pengalaman kampanye MR dengan sasaran 70 juta dilakukan bertahap selama 2 bulan. Jawa dan luar Jawa. Pengadaan Lemari es pada 2020 sebanyak 449 dan 2021 sebanyak 1.028 buah. Jika menyimak “Grand Design/Roadmap Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19” yang disebut dari Direktur Jenderal P2P Kementerian Kesehatan RI tersebut, jelas sekali, Pemerintah tampak begitu menyiapkan Vaksinasi Nasional. Dalam Ratas Persiapan Pelaksanaan Vaksin Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang berlangsung via video konferensi, Senin, 28 September 2020, Presiden Joko Widodo mengingatkan kembali mengenai intervensi berbasis lokal dan rencana vaksinasi. Presiden Jokowi minta untuk rencana vaksinasi, rencana suntikan vaksin itu direncanakan detail se awal mungkin. “Saya minta selama dua minggu ini ada perencanaan yang detail,” tegasnya. “Kapan dimulai, lokasinya di mana, siapa yang melakukan, siapa yang di vaksin pertama, semuanya harus terencana dengan baik, sehingga saat vaksin ada implementasi langsung pelaksanaan di lapangan,” ungkap Presiden. Dari pernyataan Presiden tersebut, “Grand Design/Roadmap Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19” itu jelas merupakan wujud dari hasil Ratas Persiapan Pelaksanaan Vaksin Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Senin, 28 September 2020, tersebut. Bahaya Vaksin Melansir CNNIndonesia.com, Kamis (17/09/2020 08:35 WIB), peneliti berpesan agar para pelaku uji klinis Vaksin Covid-19 memerhatikan potensi bahaya jika Virus Corona SARS-CoV-2 terbukti menimbulkan fenomena ADE (Antibody-Dependent Enhancement). Hal ini diungkap Guru Besar Ilmu Biologi Molekuler Universitas Airlangga (UA) Surabaya, Chaerul Anwar Nidom terkait temuan susunan asam amino virus corona SARS-CoV-2 yang berpotensi menimbulkan fenomena ADE. “Ini yang perlu kami sampaikan kepada pihak-pihak yang sedang upayakan vaksin, tolong diamati hal-hal yang terkait perubahan-perubahan virus ini,” tuturnya dalam wawancara dengan CNNIndonesia TV, Rabu (16/9/2020). ADE adalah fenomena virus berikatan dengan antibodi untuk menginfeksi sel inang. Potensi terjadinya fenomena ADE ini bisa dilihat dari pola tertentu dari susunan DNA/RNA virus. Sebelumnya, virus corona menginfeksi sel lewat reseptor ACE2 yang ada di paru-paru. Tapi dengan fenomena ADE, maka sel akan masuk ke sel lewat makrofag. “Sehingga virus berkembang di sel mikrofag (sel darah putih) bukan di sel saluran pernafasan lagi,” tuturnya saat dihubungi CNNIndonesia.com lewat pesan teks, Rabu (16/9/2020). Akibatnya, infeksi virus corona bisa terjadi tanpa menunjukkan gejala klinis (orang tanpa gejala/OTG) seperti batuk, demam, dan sebagainya. Akibat lain, infeksi virus corona jadi berlangsung kronis dan lama serta melemahkan sistem imun. Nidom menyebut potensi ADE pada virus corona ini masih sebatas bukti empiris dari analisa data virus yang memiliki ADE. “Kemudian kita analogikan jika terjadi pada Covid,” ujarnya. Sehingga, ia mendorong agar dilakukan penelitian preklinis untuk mencegah hal itu terjadi ke manusia. “Jangan sampai kita terjadi seperti itu kita terlambat,” lanjut Nidom. Nidom menambahkan ADE menjadi titik kritis dalam disain dan pengembangan vaksin. Studi terdahulu terhadap kandidat vaksin Dengue (DENV) memberikan gambaran bahwa ADE bisa memicu tingkat keparahan penyakit pasca vaksinasi. Sebagai contoh seperti terjadi pada penerapan vaksin demam berdarah yang sempat diuji di Filipina pada 2017 lalu. Vaksin itu, menurut Nidom, sudah melewati uji klinis tahap III dan dikomersialisasikan. Menurut Nidom, saat vaksin itu duji ke anak-anak untuk memicu antibodi, vaksin itu malah menimbulkan patogensitas lebih tinggi ketika pasien terinfeksi virus berikutnya. Akibatnya, uji vaksin demam berdarah dihentikan di Filipina. Contoh kedua, pada uji klinis pada vaksin untuk HIV AIDS di negara di Afrika. Vaksin yang diproduksi oleh sebuah lembaga riset Amerika Serikat tersebut ternyata malah menimbulkan masalah baru akibat muncul fenomena ADE. “Maka program vaksinasi HIV distop,” ujarnya. Hingga saat ini, para ahli terus melakukan penelitian terhadap virus corona dan mendapat temuan-temuan baru. Salah satunya terkait dengan potensi virus corona SARS-CoV-2 yang menimbulkan fenomena ADE seperti diutarakan Nidom. Selain itu, Nidom mengatakan, keberadaan ADE ini menarik mengingat saat ini berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, sedang membuat vaksin yang akan menghasilkan antibodi. WHO menyatakan, tidak bisa mengharapkan vaksinasi Covid-19 hingga pertengahan 2021. Mengutip Reuters, mereka menekankan pentingnya pemeriksaan ketat terhadap efektivitas dan keamanan vaksin. Juru Bicara WHO Margaret Harris menyatakan, tak satu pun dari kandidat vaksin dalam uji klinis lanjutan sejauh ini yang menunjukkan “sinyal jelas” kemanjuran di tingkat setidaknya 50 persen yang dicari oleh WHO. Dari sini menjadi aneh jika Pemerintah tetap memaksakan Vaksinasi Nasional pada rakyat Indonesia, tanpa peduli bahaya vaksin Covid-19. *** Penulis wartawan senior FNN.co.id
Mogok Mogok Dan Mogok
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Selasa (06/10). Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja segera dibawa ke Sidang Paripurna DPR untuk dapat persetujuan dewan. Pandangan Fraksi telah terpetakan, hanya dua Fraksi yang menolak yaitu Fraksi PKS dan Fraksi Demokrat. Sedangkan fraksi lainnya koor "setujuu". Memang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) realitanya sudah terkooptasi oleh Pemerintah. Maklum saja mayoritas adalah partai koalisi partai pendukung Presiden. Kenyataan ini mengindikasikan ada yang tidak beres dalam sistem dan pranata ketatanegaraan kita. DPR menjadi Dewan Perwakilan Rezim. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) mendukung seruan dan rencana mogok nasional para buruh. Sepakat bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah aturan yang dibuat hanya untuk menguntungkan pengusaha atau pemilik kapital. Undang-Undang yang sama-sekali tidak berpihak kepada pekerja. Karenanya sangat layak untuk ditolak. Banyak elemen yang juga menolak, termasuk PP Muhammadiyah yang menyerahkan hasil kajian Omnibus Law RUU Cipta Kerja kepada Pimpinan DPR. Muhammadiyah meminta DPR menghentikan pembahasan. Kegaduhan politik telah menjadi cipta kerja Pemerintah dan DPR. Mogok adalah hak konstitusional pekerja dan undang undang memberi perlindungan adanya unjuk rasa buruh yang bermodel mogok. Mogok adalah suara keras buruh terhadap ketidakadilan dan ancaman atas hajat hidup orang banyak khususnya tenaga kerja di berbagai bidang usaha. Mogok mogok dan mogok untuk melawan kerja kerja kerja. Kerja yang menyimpang dari nilai-nilai hubungan industrial yang sehat. Kerja yang hanya memperbudak tenaga kerja dengan meminimalisasi hak-hak yang dimilikinya. Kerja yang berorientasi untuk lebih menggemukan pemilik modal yang memang sudah gemuk. Kerja yang sekedar slogan dari konten pidato. Menjadi tidak jelas arah dan pelaksanaan. Hanya kerja pencitraan politik. Seruan mogok nasional dari para buruh adalah perlawanan efektif untuk menembus ketidakadilan dan ketidakpedulian penguasa dan DPR. Hubungan Industrial Pancasila yang telah dibantai oleh Hubungan Industrial Kapitalisme. Mogok adalah senjata buruh untuk menjaga martabat diri dari penindasan kaum borjuasi. Pengorbanan berat untuk berpuasa demi membela marwah komunitas yang berimplikasi pada diri dan keluarga. Mogok menjadi alat perjuangan menuju perubahan. RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah menjadi hantu yang menakutkan, dan mengganggu kenyamanan serta kebahagiaan kerja. RUU Omnibus Law Cipta Kerja harus disingkirkan. Rakyat dan kaum buruh tidak butuh Omnibus Law. Seorang Guru Besar menyatakan bahwa Omnibus Law akan menjadikan rakyat Indonesia menjadi bangsa jongos. Semangat buruh untuk mogok nasional jangan dibaca dengan kacamata negatif. Tetapi ini adalah pengingat bahwa semakin kecil peluang upaya alokasi aspirasi melalui negoisasi. Anggota Dewan, meski tidak seluruhnya, sulit untuk mandiri. Kungkungan Fraksi begitu kuat dan Partai memiliki kepentingan yang terlalu pragmatis dan transaksional. Mogok melawan RUU Omnibus Law Cipta Kerja tiada lain adalah perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Strike is a hard struggle to continue justice. Mogok mogok mogok. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Makna Jiwa Korsa Untuk Prajuri TNI (Bagian-2)
by Anton Permana Jakarta FNN- Selasa (06/10). Dalam rangka memperingati HUT TNI yang ke75, maka sebagai anak bangsa Indonesia, kita semua tentu bangga karena mempunyai tentara yang hebat, dan termasuk paling terbaik di dunia. Yaitu Tentara Nasional Indonesia. Tentara rakyat yang setia loyal kepada Pancasila dan UUD 1945. Karena jati diri TNI itu lahir dari rakyat, untuk rakyat. Sebagai tentara kebanggaan kita semua, yang diamanahkan sebagai komponen utama sistem pertahanan negara, tentu tidak heran apabila yang menjadi tentara itu adalah para putera-puteri terbaik bangsa. Mereka direkrut melalui seleksi yang sangat ketat, kemudian dilatih, dididik, dibina, dan disumpah agar menjadi tentara yang tangguh. Tentara yang terampil, profesioal, dan militan sebagai kebanggaan kita semua. Untuk itulah TNI selalu dibekali dengan kemampuan, doktrin, kedisiplinan, standar fisik, cara berpikir, serta semangat patriotik yang wajib di atas rata-rata masyarakat sipil biasa. Sebagai komponen utama alat pertahanan negara, TNI tidak cukup hanya dibekali dengan seragam loreng dan persenjataan saja. Ada satu kekuatan utama di dalam diri setiap personil TNI yang juga harus WAJIB menjadi kekuatan utama dirinya, baik secara individu, secara korps kesatuan, maupun secara institusi, yaitu “Jiwa Korsa”. Le'espirit de corps. Karena, dengan jiwa korsa inilah akan bisa terjalin kuat sebuah ikatan loyalitas, persaudaraan, rasa senasib dan seperjuangan, semangat kehormatan, antar sesama prajurit. Jiwa korsa ini bagaikan urat nadi, talian nafas, yang mengikat kuat jiwa-jiwa seorang prajurit, agar seolah menjadi satu bahagian tubuh yang kuat tangguh tak terpisahkan. Satu bahagian yang sakit, maka bahagian yang lainnya juga akan merasa sakit. Itulah jiwa korsa. Karena dengan jiwa korsa ini juga, para prajurit ini akan mempunyai daya gempur, daya tahan, daya soliditas yang kuat dalam menyelesaikan setiap tugas berat dan misinya. Artinya, jiwa korsa sejatinya adalah kehormatan bagi seorang prajurit. Jiwa korsa adalah identitas utama seorang prajurit. Jiwa korsa adalah parameter batin dan degub jantung setiap prajurit TNI. Karena jiwa korsa inilah yang menjadi pembeda antara TNI dengan masyarakat sipil lainnya. Jiwa korsa seorang prajurit TNI itu dimulai dari kesetiaannya kepada negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Kemudian baru kepada atasan dan pimpinan, kepada para senior, kakak asuh, pelatih, dan seterusnya. Sedangkan di dalam Konstitusi kita dalam pembukaan UUD 1945 jelas tertulis bahwasanya, negara Republik Indonesia ini berkedaulatan rakyat. Induk semang" TNI itu adalah rakyat. Karena TNI lahir dari rahim rakyat. Bukan cukong atau partai politik. Jadi sangat disayangkan apabila, kekuatan utama jiwa korsa seorang prajurit TNI ini sampai dikotori oleh tangan-tangan jahil politik kekuasaan. Ataupun juga campur tangan pihak luar yang sengaja mengobok-ngobok, memperalat, mengadu domba sesama prajurit. Apapun alasannya. Karena, sejatinya prajurit itu pasti akan selalu menjaga kehormatan dan wibawanya. Salah satu caranya itu adalah dengan loyal terhadap atasan, pimpinan, senior, pelatih, kakak asuh, bahkan sampai kepada anak buah dan para juniornya. Walaupun sudah pensiun sekalipun. Tradisi ini terjaga kuat selama ini, dan tradisi ini jugalah yang menjadi puncak kehormatan dan wibawa TNI di mata masyarakat. Namun sayang, semua ini tercoreng oleh tindakan oknum-oknum yang terjebak oleh sifat loyalitas buta. Pada insiden Gedung Juang DHD 45 Surabaya dan insiden ziarah purnawirawan di TMP Kalibata. Dimana dalam era pasca reformasi ini, TNI berada di bawah kendali supremasi sipil harus pandai menempatkan diri agar berdiri di tengah. Jangan sampai mau diperalat oleh politik kekuasaan golongan tertentu. Perbuatan yang menjadi aib bagi seluruh keluarga besar TNI, yaitu ketika melihat seorang mantan Panglima TNI, jendral bintang penuh, digelandang sedemikian rupa oleh petugas karena alasan yang tidak sesuai dengan fakta. Begitu juga insiden TMP Kalibata. Bagaimana seorang Dandim menghadang para seniornya dengan arogansi dan sikap diskriminatif. Padahal para purnawirawan itu ada yang mantan kepala staf (bintang empat), bintang tiga, bintang dua dan Pamen. Sungguh sebuah peringatan keras bagi semua keluarga besar TNI. Apakah masih ada semangat dan jiwa korsa itu dalam jati diri prajurit TNI hari ini ??? Apakah politik kekuasaan, iming-iming posisi jabatan, dan politik kepentingan ideologis partai politik tertentu telah berhasil merubuhkan apa yang selama ini menjadi kekuatan dan kebanggaan utama prajurit TNI ?? Semua geram, semua marah, melihat kejadian ini yang dilihat jutaan rakyat Indonesia secara telanjang. Satu pertanyaan seragam dari rakyat sekarang ini. Apakah masih ada jiwa korsa itu dalam diri prajurit TNI ? Bagaimana mau menjaga kedaulatan negara, sedangkan menjaga kehormatan keluarga besar TNI saja tidak mampu? Secara pribadi saya menjawab masih ada. Saya juga yakin masih ada dan kuat. Kejadian Surabaya dan TMP Kalibata hanyalah perbuatan oknum yang atas nama tugas, telah diperalat oleh sebuah kekuatan yang besar, sehingga kejadian memalukan itu terjadi. Untuk itulah, di hari yang penuh sejarah ini, mari kita semua merenung. mendalami lagi semangat patriotik dan jati diri seorang prajurit TNI yang telah ditanamkan oleh para pendahulu kita. Mari kita juga instropeksi, agar TNI ke depan jangan mau diperalat dan "dikerjain" lagi oleh kekuatan luar TNI. Mengadu domba sesama prajurit TNI antara senior dan junior ? Ini sama saja menepuk air di dulang. Mari kembalikan semangat dan jiwa korsa sesama prajurit TNI. Karena hanya dengan itu, wibawa dan kehormatan TNI kembali berdiri tegak. Untuk menjadi tentara kebanggan seluruh rakyat Indonesia, jiwa korsa TNI adalah untuk negara, rakyat, dan keluarga besar TNI. Bukan untuk cukong dan politisi. Dirgahayu TNI ku yang ke-75. Harapan dan do'a rakyat Indonesia akan selalu menyertaimu. Jaga negeri ini dengan jiwa ragamu. Salam Indonesia Jaya! Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
UU Omnibus Law, Perbudakan Buruh Di Negeri Sendiri
by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Senin (05/10). Sabtu malam, 3 Oktober 2020, DPR dan pemerintah sepakat meloloskan RUU Omnibus Law dibawa ke Sidang Paripurna DPR, 8 Oktober untuk disahkan. Tragedi tengah malam kembali terjadi. Tengah malam itu, kembali para elit bersekongkol secara jahat untuk menindas rakyatnya sendiri. Tampaknya DPR dan Pemerintah untuk kesekian kalinya kembali mengkhianati rakyat dengan menyepakati RUU Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja. Persis sama seperti KPU yang mengumumkan hasil Pemilu bermasalah yang sarat dengan kecurangan. Beberapa pasal UU Cipta Kerja yang dipastikan bakal menyengsarakan buruh antara lain, dihilangkannya pesangon , dihapuskannya UMP, UMK, dan UMSP serta upah buruh yang dihitung per jam. "Selain itu, RUU ini juga menghapuskan semua hak cuti tanpa ada kompensasi. Di antaranya cuti sakit, cuti kawinan, khitanan, cuti kematian, dan cuti melahirkan hilang dan tidak ada kompensasi. Hal lain yang tidak kalah memprihatinkannya, UU Omnibus Law ini akan memberi hak kepada pengusaha untuk mengganti _outsourcing_ dengan kontrak seumur hidup. Buruh akan berstatus kontrak, yang terus-menerus diperpanjang. Masih banyak pasal lain yang sangat mengeksploitasi dan menindas buruh. Antara lain, semua karyawan berstatus tenaga kerja harian, libur hari raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti. Selain itu, tenaga kerja asing bebas masuk, dan istirahat hari Jumat hanya satu jam, termasuk sholat Jumat. Dengan semua penindasan itu, buruh dilarang protes. Pasalnya, RUU Cipta Kerja memberi hak kepada pengusaha untuk melakukan PHK kapan saja, tanpa ada kewajiban memberi pesangon. Semua sanksi bagi pengusaha di RUU ini juga dihapuskan. Dengan konten yang menindas buruh seperti itu, pada hakekatnya RUU ini adalah pintu masuk bagi perbudakan terhadap buruh kita. DPR dan Pemerintah sudah kehilangan nurani dan akal budinya. Entah rakyat mana yang diwakili para anggota Dewan itu. Sementara para pejabat pemerintah yang gaji dan segala fasilitasnya dibiayai rakyat, ternyata justru secara kejam menyengsarakan buruh yang jelas-jelas bagian dari rakyat itu sendiri. Tak pelak lagi, UU ini adalah perbudakan gaya baru di era modern. Kita harus lawan. Kita dukung penuh perjuangan buruh menolak RUU Cipta Kerja. Penulis adalah Presidium Aliansi Selamatkan Merah Putih (ASMaPi)
Negara Tanpa Kekuatan "Checks and Balances"
by Sayuti Asyathri Jakarta FNN – Senin (05/10). Selama masa Pemerintahan SBY, saya kritik habis kepemimpinannya. Bahkan mengedarkan formulir di parlemen untuk rencana mengimpeachnya. Saya bangun wacana impeach atas presiden hampir sebulan di media nasional, tetapi tidak ada satupun pendukungnya yang menghadapinya dengan hujatan, apalagi dengan cara koor dalam satu barisan virtual penghujat. Pak E.E Mangindaan, yang Ketua Komisi II DPR waktu itu, bersama pimpinan Partai Demokrat, justru tidak sedikitpun mengurangi keakraban dan komunikasi dengan kawan-kawan di Komisi. Bahkan semakin banyak tugas dan tanggungjawab diserahkan kepada saya. Namun kini, kalau ada yang mengatakan kebijakan pemerintah salah saja, tidak lama kemudian langsung diserbu dengan hujatan dan cacian. Penguasa sekarang mempunyai punya suatu barisan hujatan dan cacian yang seperti siap menerkam dan merobek mangsa di belantara. Sesungguhnya kita sedang hidup di hutan mana? Sehingga tidak lagi menghargai kritik dan kontrol sosial? Padahal pada masa Soeharto yang dikenal kejam saja, mahasiswa bebas untuk kritik. Mereka yang kritik Soeharto dihormati dan dibanggakan sebagai calon pemimpin bangsa. Media massa nasional yang ketika itu dikontrol oleh pemerintah, selalu menyelipkan pesan perlunya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Juga pentingnya kontrol sosial dari warga masyarakat. Suara rakyat didengar. Kalau ada kenaikan tarif jasa publik, listrik, tarif toll,bis kota dan lain-lain, selalu disosialisakan dan meminta umpan balik dari masyarakat. Sehingga kenaikan dilakukan dengan sangat hati hati. Padahal kalau mau saja, Soeharto miliki kemampuan untuk memaksakan keinginannya. Pada masa reformasi, priinsip partsisipasi dan kontrol sosial menjadi inti dari pesan dan semangat reformasi. Ideologi Pancasila ditetapkan sebagai ideologi terbuka yang perlu memperoleh kajian dan timbangan kritis untuk keberhasilan dan keandalan dalam penerapannya. Reformasi digemakan agar nasib bangsa ini lebih baik dari keadaan di masa Pak Harto. Tetapi mengapa justru sekarang keadaan demokrasi dan perbedaan pendapat menjadi buruk di masa sekarang? Rakyat hanya menjadi objek hinaan dan kekerasan. Bukan lagi sebagai subjek dan objek pembangunan. Minimal posisi rakyat sebagaimana yang ditekankan media massa Orde baru dulu. Sesungguhnya untuk siapa pembangunan itu? Kalau rakyat dalam posisi kehilangan selera partisipasi dan hanya menjad objek pesakitan. Rakyat hari-hari hanya menjadi objek tuduhan penguasa dengan sebutan Islam radikal, taliban kadrun dan segala bentuk penyudutan lainya. Mila rakyat punya sedikit saja keinginan untuk menggugah pemerintah atas nasib mereka, atau bila mereka mengeluhkan keburukan yang mereka alami akibat kebijakan yang tidak menguntungkan mereka, maka mereka siap hadapi penerapan serangan model seperti Israel terhadap Palestina. Siapa yang memprotes penyerobotan tanah Palestina oleh Israel, maka mereka adalah Islam ektstrim. Termasuk dalam kategori bahwa semua orang Arab dan Islam ingin membunuh semua Yahudi. Itu cara terbaik Israel untuk memuluskan penyerobotan tanah dan merusak identitas Palestina. Kalau demikian, lantas mana itu kekuatan checks and balances yang menjadi sendi utama dari konstitusi kekuatan civil society? Ciri utama negara demokrasi adalah kuatnya civil society yang melahirkan keuatan checks and balances. Mana yang namanya the magnificient power of social control in solving national problems and crisis? Wajar saja kalai publik menyimpulkan bahwa memang pembangunan itu tidak otentik untuk rakyat. Tetapi untuk selain rakyat. Sangat boleh jadi untuk tuan asing dan penjajah bangsa ini. Karena itulah mengapa baja nasional kita, pabrik-pabrik semen, dan sumberdaya strategis kita justru rontok di saat ribuan trilyun dana infrastruktur digelontorkan. Mengapa produktivitas nasional kita merosot? Kelas menengah kita jadi terpelanting? Pengangguran meningkat dan matinya daya kreatif anak bangsa karena belenggu sub-ordinasi dan penistaan? Mementara Menkeu semakin kencang meneriakkan bahaya gagal bayar dan negara seperti sedang dilucuti martabat dan kehormatannya. Untuk semua itu, tidak ada cara lain, kecuali harus ada tindakan-tindakan besar untuk menyelematkan negeri ini. Sebagai negara, kita semua, bukan milik satu kelompok tertentu, apapun suku, agama, mazhab dan keyakinannya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kemasyarakatan.