KAMI Yang Lincah Dan Berkelas
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum
Jakarta FNN –Selasa (06/10). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) terus memacu langkah-langkah di tengah himpitan-himpitan politik tipikal negara korporasi sejauh ini. Menancapkan kiblatnya untuk Indonesia yang hebat, yang beres dalam semua aspek, dan dipandu dengan kesadaran religisunya yang tuntas, KAMI terlihat asyik menikmati impiannya.
Kami, kata Profesor Din, pria murah senyum yang sejuk wajahnya itu memikat harapan. Bukan orang-orang pengecut. Kami hanya takut pada Allah Subhanahu Wata’ala, begitu penggalan kalimat profesor Din selanjutnya. Kalimat itu memang cukup pendek.
Tetapi sependek itu sekalipun, kalimat itu terlalu jelas menjelaskan kemana KAMI akan mengarungi laut hitam politik korporatis Indonesia dihari-hari mendatang. Jelas betul kalimat profesor Din tersebut menggambarkan tekad orisinilnya.
Masuk Akal
Tak ada jalan mundur atau berbelok di tikungan perjuangan dalam mengarungi impian. Mungkin kalimat itu dapat disematkan sebagai intisari kalimat professor Din tersebut. Ini kekuatan terbesar. Lebih besar dari kekuatan apapun yang dimiliki oleh negara yang telah terkorporatisasi. Siapapun yang berada dititik relijiusitas itu, dia melupakan semua keganasan politik korporasi dipelupuk matanya.
Cahaya pengetahuan terlihat jelas menyinari mereka memandang, mengidentifikasi dan mendefenisikan masalah bangsa besar ini. Cahaya ini membawa mereka pada terminal defenitif. Negara ini sedang terbawa untuk diabdikan pada segelintir orang kaya. Bukan pada kebanyakan orang miskin.
Soal-soal yang beginian, dibelahan dunia manapun hanya dapat dimengerti oleh segelintir orang yang dihikmahi pengetahuan dan kesadaran relijius. Disepanjang sejarah manusia soal-soal beginian selalu dan hanya menjadi santapan orang-orang terbatas. KAMI, untuk alasan apapun, jelas adalah orang-orang yang berkatagori terbatas itu.
Terbiasa dalam khsanah ilmu pengetahuan dan problem kehidupan bernegara, KAMI tak mungkin tak mengerti bahwa demokrasi sudah sangat sering dikebiri. Demokrasi direduksi dengan berbagai cara. Stabilitas politik, sudah terlalu terbiasa digunakan oleh rejim korporasi berbaju demokrasi untuk mengebiri demokrasi dan mengisolasi orang-orang kritis.
Keamanan nasional, juga sama. Ini telah menjadi metodologi standar politik rejim korporasi berbaju demokrasi. Ini mainan khas negara-negara demokratis sekelas Amerika. Rejim-rejim tipikal itu selalu dapat sesuka-sukanya menembakan peluru-peluru korporatis, yang selalu berkarakter fasistik. Menyudutkan siapapun yang teridentifikasi mengusik mereka.
Baik di negara-negara liberalistik maupun komunistik, keamanan nasional dan stabilitas politik, dua entitas yang seiring sejalan ini pertama-tama diperuntukan untuk kaum kaya, khususnya para korporat dan oligarkis. Mereka yang utama dan terutama tersudut disetiap kritik terhadap tampilan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang mengorbankan rakyat.
Itu karena, mereka para kaum kaya-korporat dan oligarkis inilah real goverment. Pemerintah yang sedang berkuasa, tidak pernah sungguh-sungguh dapat membuat kebijakan secara imparsial. Diakui secara halus oleh Presiden Woodrow Wilson diakhir masa jabatan kedua tahun 1921, kalau ada tangan-tangan non pemerintahan yang mengarahkan kebijakan pemerintahan.
KAMI, saya yakin, tidak mungkin tak mengerti bahwa korporasi, yang sejak satu setengah abad silam telah diterima sebagai subyek hukum, adalah jenis mahluk politik paling ganas sejak saat itu hingga kini. Berstatus seperti itu ditengah demokrasi, korporasi bebas mengtatakan mereka punya hak sebagaimana haknya manusia natural untuk ikut merancang arah kebijakan pemerintah.
Itu demokrasi namanya. Kalau impian mereka berbeda dengan impian kebanyakan orang, tidak apa-apa. Itulah demokrasi. Itulah indahnya demokrasi. Mereka untung, dan rakyat buntung, itu namanya demokrasi. Dan itulah indahnya demokrasi dalam pandangan mereka.
Politik di alam demokrasi, saya yakin orang-orang KAMI mengerti lebih dari siapapun. Tidak pernah jauh urusan investasi diri dan meraih untung. Bukan tentang pengabdian, sebagaimana orang-orang Masyumi dulu mendefenisikan politik. Tidak. Politik adalah investasi diri, kembali modal lalu untung. Titik.
Teruslah Bersuara
Pemerintahan demokratis dimanapun di dunia ini, tidak pernah benar-benar dapat mengenali, apalagi mengimplementasi akutabilitas materil. Tidak. Selalu begitu dimanapun di setiap pemeritahan demokratis. Tidak pernah benar-benar bisa menarik garis batas dengan korporasi.
Persis pemerintahan komunistik dimanapun, pemerintahan demokratis juga sama canggihnya dalam menyebar propaganda. Amerika, negara pengekspor utama demokrasi ke berbagai belahan dunia ini, menggila dengan propaganda kebebasan tahun 1917. Ini dilakukan pemerintahan Woodrow Wilson. Itu sebabnya merupakan merupakan master utama dalam urusan propaganda.
Walter Lippman, jurnalis kawakan, yang juga penasihat Woodrow Wilson itu adalah otaknya. Ia tahu manusia tak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itu sebabnya pengetahuan mereka harus dibentuk. Caranya? Menyebarkan dan mengulan-ulang sebuah isu, tentu untuk menyesatkan. Rakyat orang kebanyakan akan berpikir dan bertindak sesuai pesan menyesatkan yang diulang-ulang itu.
KAMI tentu mengerti kemana arah, dan apa yang dimaui dari pesan terus- menerus, dalam nada negatif yang dialamatkan kepada mereka. Perlakuan kontras terhadap protocol covid, tentu layak ditertawakan sebagai lelucon kecil nan murah meriah. Disana boleh, dan KAMI tidak boleh, mungkin hanya disambut KAMI dengan tawa kecil yang menggelikan.
Dalam politik korporatis, menganolagi dua hal yang mirip, sepadang dan seimbang secara particular dalam sekuen kualitatifnya, bukan sesuatu yang perlu. Ini sia-sia saja. Tidak ada faedahnya. Itu karena kebenaran telah diletakan dihulu bahwa sesuatu sebut saja A, pasti pecah-belah bangsa, sehingga otomatis salah, dan disana tidak.
KAMI mengerti, dan bersuara tegas bahwa bail out Jiwasraya, sebagai kebijakan yang melukai rakyat. Korporasi ngaco, rugi, lalu uang rakyat dipakai menutupi kerugian itu, jelas tak masuk akal. Rakyat dibebankan tanggung jawab untuk hal yang tidak mereka lakukan. Angkuh betul cara berpikir ini.
Rakyat kebanyakan memang tidak bersuara, tentu tak perlu menemukan alasannya. Dimana pun didunia ini selalu begitu. Itu telah diidentifikasi secara akurat oleh Walter Lippman. Tetapi tragis kalau orang-orang berpengetahuan tidak bersuara. Dititik ini bangsa harus mensyukuri adanya suara kritis KAMI.
KAMI terlihat tak mau tergulung akal-akalan korporasi oligarkis yang menyertai RUU Omnibus yang superkilat pembahasannya itu. RUU yang telah disetuju bersama DPR-Presiden jadi UU yang mentorpedo 79 UU eksisting. Luar biasa. Lalu, sekedar ilustrasi kecil, pemerintah ikut menanggung beban PHK bagi pekerja.
PHK dibayar, tetapi persentasenya dibagi antara perusahaan dan pemerintah. Menyertakan Pemerintah ikut menanggung biaya PHK, jelas ini skema khas korporasi. Korporasi jelas berpesta dengan skema ini.
Bukan puncak kebodohan, tetapi konsep itu jelas merupakan puncak cinta terhadap sosialisme ekstrim dalam konsep penguasaan tanah. Cara buruk itu diagungkan secara serampangan sebagai investmen drive. Ini inferensi angkuh khas corporasi. Inferensi ini sangat khas sosialisme ekstrim.
Konsekuensi konsep itu adalah pemilik tanah tidak boleh menggunakan hak yang melekat padanya mempertahankan tanah itu. Demi investasi, pemilik tanah harus melepas kepemilikannya. Titik. Investasi adalah segala-galanya. Inilah napas dan jiwa pasal 33 UUD 1945 khas korporasi.
Pemerintah, harus diakui, memiliki begitu banyak senjata yang setiap waktu dapat dimobilisir untuk mengisolasi pemilik tanah. Semua senjata hukum dan lainnya juga bisa digerakan mengisolasi KAMI.
Menariknya, KAMI terus bersuara dengan nadanya yang amat berkelas. Surat Terbuka Profesor Din yang ditujukan kepada Presiden, yang hari ini berkibar ditengah masyarakat, jelas kelasnya. Isunya jelas. Manis kalimatnya memikat dengan bingkai kesantunan khas ulama. Ya Allah Ya Rab, Rahmatilah mereka dengan keagungan-MU yang tak terbatas. Insya Allah.
Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.