OPINI
Ahok Yang The Real President Harus Dihentikan!
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Jumat (02/10). Tulisan ini lanjutan artikel IRESS 24/9/2020 terkait heboh ucapan Ahok tentang Pertamina di Channel POIN YouTube (15/9/2020). Ahok mengatakan akan terjadi gaduh dan demo oleh kadrun jika dia menjadi direktur utama Pertamina. Kata Ahok: “Persoalannya kalau saya jadi dirut, ribut. Kadun-kadrun mau demo, mau bikin gaduh lagi Republik ini”. Ahok sengaja menggunakan istilah kadrun terhadap kelompok orang yang tidak disenangi. Mereka seolah musuh abadi. Ini dapat pula dianggap cerminan sikap terhadap lawan politik bernuansa sinisme, tendensius, perseteruan, superioritas atau merasa benar sendiri. Karena itu, mengingat Ahok adalah pejabat publik, wajar kalau muncul reaksi dan kritik dari sejumlah tokoh, politisi, anggota DPR, aktivis dan berbagai kalangan masyarakat. Reaksi dan kritik menjadi lebih massif karena Ahok Komut di Pertamina, BUMN terbesar di republik yang mengelola sektor energi publik. Rangkuman reaksi tersebut antara lain adalah: mengusik ketenangan, rasis, tidak punya rasa malu, menunjukkan kesombongan, tidak tau diri, merasa paling benar, memicu kegaduhan baru, memicu perpecahan, menunjukkan kesombongan, merusak citra Pertamina dan membuat rusak tata kelola pemerintahan. Kita tidak bisa mengatur bagaimana seseorang menilai, bersikap dan berucap terhadap pihak atau kelompok lain. Itu merupakan hak azasi yang dijamin konstitusi. Namun karena Ahok pejabat BUMN mengurus hajat hidup rakyat, urusan menjadi lain. Bukan saja Ahok, bahkan Presiden Jokowi pun, yang menunjuk Ahok menjadi Komut, secara legal dan moral dapat dituntut mempertanggungjawabkan sikap Ahok sebagai pejabat perusahaan negara. Salah satu yang perlu dicamkan Ahok dan pemerintah adalah reaksi Wasekjen MUI Ustadz Tengku Zulkarnain. Tengku mengatakan: “Maksud ente kadrun siapa, Hok? Mereka yang membela Al Qur’an yang ente hina kemarin itu? Lagi pula demo itu hak rakyat yang dilindungi UUD 1945 Pasal 28. Sungguh Ahok tidak tahu diri… Ahok, ente diterima tinggal di NKRI saja mestinya sudah syukur. Sadarlah diri” (19/9/2020). Tampaknya Tengku ingin mengingatkan Ahok dan kita semua asal-usul dan status Ahok sebagai warga negara. Ini terkait penjelasan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra perihal status kewarganegaraan Ahok yang menjadi WNI bukan sejak kelahiran, tetapi sejak berumur 20 tahun (faktakini.net/4/2018). Ketika ayah Ahok dinaturalisasi tahun 1986, maka Ahok otomatis menjadi WNI ketika itu dia berusia 20 tahun. Nama Ahok ada dalam SKBRI Tjung Kim Nam. Sejalan dengan ungkapan Tengku di atas, Ahok dan pemerintah perlu kembali diingatkan tentang apa dan siapa, serta bagaimana sepak terjang Ahok selama ini. Hal-hal ini perlu diungkap agar suasana perseteruan antar kelompok atau golongan yang mengemuka sejak persaingan Pilkada DKI 2017 berkurang atau hilang. Dan yang lebih penting, agar Pertamina dapat dikelola sesuai konstitusi dan bebas kepentingan sempit oligarki. Ahok pernah mengatakan Jokowi tidak akan menjadi Presiden jika tidak didukung (dana massif) pengembang. “Saya pengen bilang Pak Jokowi tidak bisa jadi Presiden kalau ngandalin APBD, saya ngomong jujur kok. Jadi selama ini kalau bapak ibu lihat yang terbangun sekarang, rumah susun, jalan inpeksi, waduk semua, itu semua full pengembang, kaget gak?”, ujar Ahok (actual.com/22/6/2016). Jangan-jangan Presiden kita tersandera oleh Ahok dan oligarki. Presiden Jokowi pernah menawarkan rujuk nasional dan menyatakan akan menjadi presiden bagi seluruh rakyat Indonesia (27/6/2020). Jika Presiden konsisten dengan ucapan, maka sesumbar dan sisnisme Ahok perlu segera dihentikan. Presiden harus berperan dan bertindak sebagai pemimpin tertinggi negara yang bebas sanderaan politik siapa pun: bahwa Ahok harus ditertibkan dan diproses secara hukum atas berbagai dugaan kasus korupsi. Hukum dan keadilan harus ditegakkan untuk menunjukkan bangsa dan NKRI bermartabat di mata bangsa-bangsa di dunia. Negara tidak boleh takluk atas sanderaan dan ancaman seseorang atau segelintir orang yang karena kekuatan oligarki dan dana yang dimiliki, bisa berbuat sesuka hati dalam mengelola negara. Kita juga perlu mengingatkan para konglomerat dan oligarki kekuasaan untuk berhenti bersikap seolah semua bisa dikuasai dan diatur, tanpa peduli hukum, kemanusiaan dan rasa keadilan rakyat. Masalah ini bukan sekedar prilaku kontroversial atau “gaya bicara ceplas-ceplos”, sehingga dengan begitu perlu dimaklumi publik. Ini masalah serius yang dinilai sarat arogansi, niat mendominasi dan bebas berbuat, mentang-mentang berkuasa karena berada dalam lingkar kekuasaan. Kalau tidak ada kadrun-kadrun, lantas Ahok, atas dukungan Presiden, bisa menduduki jabatan apa saja walau tidak qualified? Mau dibawa ke mana negara ini? Kami meminta Presiden Jokowi memperhatikan hal-hal berikut. Pertama, usaha yang dikelola Pertamina adalah sektor sangat strategis dan menyangkut hajat hidup seluruh rakyat. Karena itu pengurusnya tidak diatur dan ditentukan berdasar dukungan atau penolakan sikap sekelompok orang tertentu. Sebaliknya, Ahok dan pejabat pemerintah terkait harus mencamkan untuk tidak memperlakukan Pertamina sesuka hati mentang-mentang sedang berkuasa. Kedua, Pertamina adalah badan usaha milik negara (BUMN) yang pemiliknya adalah seluruh rakyat, bukan segelintir orang yang ada dalam oligarki kekuasaan. Karena itu, pengurus Pertamina harus memenuhi berbagai persyaratan. Mengingat pernah divonis bersalah 2 tahun penjara (9/5/2017) secara moral dan legal Ahok tidak qualified menjadi Komut, karena melanggar Permen BUMN No.02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Komisaris dan Permen BUMN No.01/2011 tentang Penerapan GCG. Ketiga, secara legal Ahok mestinya diproses secara hukum oleh KPK karena diduga terlibat dan berperan sentral dan kasus RS Sumber Waras. Ahok bisa sesumbar dan seolah merasa di atas hukum akibat perlindungan KPK yang membebaskan Ahok dari jerat hukum dengan alasan tidak mempunyai niat jahat (mens rea), meskipun alat-alat bukti korupsinya telah lebih dari cukup (15/6/2016). KPK takluk di bawah kendali oligarki. Di samping alat-alat bukti telah lebih dari cukup, bukan pula tugas KPK mencari alat-alat bukti. Faktanya, sesuai tugas konstitusional, BPK sudah menemukan bukti-bukti. Namun, karena itu pula pimpinan BPK dikriminalisasi. Karena ingin melindungi Ahok, KPK yang dipimpin Agus Raharjo mengatakan ingin mencari mens rea. Mencari sesuatu di luar nalar orang sehat dan berpendidikan, karena hanya Ahok dan Tuhan-lah yang tau. Ini merupakan pernyataan absurd, sekaligus ungkapan tanpa rasa malu dan abai logika hukum, demi Ahok. Keempat, karena pernah mendapat perlakuan sangat istimewa dari KPK, Ahok dan para pendukung menganggap lembaga-lembaga negara lain, termasuk DPR dan Polri, berada dalam genggaman dan bisa dikendalikan. Ironisnya, lembaga-lembaga ini, termasuk mayoritas partai berkuasa, terkesan pasif dan justru ikut mendukung sikap KPK, dan ikut pula melindungi Ahok. Lembaga dan partai tersebut diduga kuat juga berada di bawah kendali oligarki kekuasaan. Dengan kondisi di atas, Ahok merasa confident mampu berbuat sesuai keinginan dan merasa akan mendapat pula dukungan dari pemimpin tertinggi. Karena itu, tak heran jika Menteri BUMN Erick Thohir pun terpaksa harus menerima penempatan Ahok sebagai Komut Pertamina, sebab menurut sumber terpercaya IRESS, Erick pun sebenarnya enggan menerima penempatan tersebut. Kami tidak sudi memiliki negara dan pemerintahan yang tidak dapat berfungsi normal dan berjalan sesuai Pancasila, konstitusi dan hukum. Kami tak rela negara dan rakyat terus tersandera Ahok dan oligarki kekuasaan. Ahok, seperti diungkap di atas, serta telah diuraikan dalam berbagai artikel IRESS dan buku Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok (2017), jauh lebih layak diproses secara hukum dibanding terus sesumbar di BUMN yang eksistensinya diamanatkan konstitusi. Pak Jokowi, kapan anda menghentikan sepak terjang Ahok? The Real President adalah Pemimpin Negara yang berani bertindak independent demi negara dan rakyat! Penulis adalah Direktur Eksekutif IRESS dan Deklarator KAMI.
Covid-19 Menulari Orang Yang Paling Kuat di Dunia
by Asyari Usman Jakarta FNN - Jum'at (02/10). Tidak ada satu manusia pun di muka Bumi ini yang dijaga dengan tingkat pengamanan terketat, kecuali hanya presiden Amerika Serikat (AS). Begitulah kira-kira gambaran tentang penjagaan terhadap Presisden Donald Trump dan keluarganya. Presiden AS tidak mengenal ancaman apa pun. Termasuk ancaman penyakit. Presiden tidak boleh terpapar penyakit. Tim kesehatan kepresidenan dilengkapi dengan peralatan medis darurat tercanggih. Ke mana saja Presiden pergi, pasti ada rombongan medis yang mengikutinya. Begitulah protap untuk presiden negara terkuat di dunia itu. Tetapi, Covid-19 ternyata lebih dahsyat dari sistem pengawalan kesehatan presiden. Virus Wuhan itu berhasil menyelinap masuk ke tubuh Presiden Trump. Dan istrinya, Melania. Mereka dinyatakan positif setelah dites malam tadi (waktu AS). Presiden Trump sendiri yang langsung mengumumkannya lewat akun twitternya, @realDonaldTrump. “Tonight, @FLOTUS and I tested positive for Covid-19. We will begin our quarantine and recovery process immediately. We will get through this together!” “Malam ini, @FLOTUS (panggilan Melania) dan saya dites positif Covid-19. Kami akan menjalani karatina dan proses pemulihan segera. Kami akan menempuh ini bersama-sama!” Trump termasuk orang yang tidak mau patuh dengan protokol Covid. Padahal, dia sendiri yang mengeluarkan protokol itu. Dia tidak suka memakai masker atau menjaga jarak. Dia baru saja selesai menghadiri acara kampanye pilpres yang diikuti ribuan orang. Dengan keberhasilan menulari Presiden Trump, berarti Covid-19 telah mencapai puncak ‘prestasi’-nya. The most powerful man on Earth (orang yang terkuat di Bumi) kini masuk ke dalam daftar Covid. Artinya, para presiden dan perdana menteri atau kepada negara mana pun di dunia ini, sekarang tidak bisa lagi dijamin tak tertular Covid-19. Dan, perlu dicermati, bahwa Trump mendapatkan virus itu di tengah kegiatan pilpres yang tetap dilaksanakan di AS. Perlukah meninjau kembali kegiatan pilkada 2020 di Indonesia? Terserah Presiden Jokowi, tentunya. Kalau pilpres AS memang tak mungkin digeser.[] Penulis wartawan senior FNN.co.id.
Wuuiissh,,, Moeldoko Ngancem Niyeeeee!!!
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (02/10). Kepala Staf Kepresidenan Jendral TNI (Purn.) Moeldoko meminta perhatian Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) agar tidak mengganggu stabilitas politik. Ucapan tersebut disampaikan Moeldoko seperti dikutip CNN Indonesia "kalau arahnya memaksakan kepentingan, akan ada perhitungan". Wuuiisshh jadi tatuuut dunk??? Mungkin karena namanya pemerintah, ya pasti jadi tukang perintah. Merasa punya kekuasaan, ada aparat ada senjata. Posisinya memang selalu di atas angin. Mungkin merasa sedang menaiki angin. Bisa kesana bisa kesini untuk buang angin. Ancam sana, ancam sini maklum otoritas ada di tangan. KAMI baru saja dibentuk tapi banyak terapi kejut. Baru urusan deklarasi ssaja sudah buat takut yang sono. Ujungnya larang sana, larang sini. Bikin demo buatan. Demo bayaran segala. Bayar dikit-dikitlah dan suruh teriak-teriak dengan bentangan spanduk "tolak KAMI", "KITA cinta damai". "Covid 19 dilarang kumpul". Sambil kumpul-kumpul teriak-teriaknya itu. Memangnya aturan tentang Kopit mah hanya untuk KAMI? Terus untuk kalian gimana? Kebal eh bebal untuk kalian? Rupa-rupanya Moeldoko lupa bahwa biang yang bikin stabilitas politik terganggu itu adalah Pemerintah sendiri. Omnibus Law membuat geram buruh. Akibatnya buruh ancam akan mogok nasional. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ikut Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang masuk lewat PDIP. Kan efeknya kan jadi rame Pak Moledoko. Bagaimana tidak, RUU HIP dan BPIP kan berhembus bau amis dan apek Orde Lama. Bahkan Neo PKI dan faham komunisme sangat kental dan menguat. Ada masuk di sana gerombolan Trisil dan Ekasila yang hanya mengakui Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Kalau begitu pancasila tanggal 18 Agustus 1945 mau disebunyikan di Pak Moeldoko? Apakah masyarakat tidak boleh protes? Apakah dibiarkan begitu saja gerobolan Trisila dan Ekasila yang memperjuangkan Pancasila 1 Juni 1945 di RUU HIP dan RUU BPIP? Kalau masyarakat protes, pasti goyanglah stabilitas politik. Itu dengan sendiri berakibat pada daya tahan (Imun ) pemerintah. KAMI hadir karena ulah Pemerintah yang tak memahami aspirasi rakyat. Pemerintah yang tidak melaksanakan cita-cita dan tujuan bernegara. Milsanya, soal hutang luar negeri yang abis-abisan. Investasi yang lebih memanjakan asing. Kerjasama dengan RRC yang mengkhawatirkan. Begitu juga dengan masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) China yang gila-gilaan di tengah pandemi Covid-19 yang meningkat. Penanganan Covid-19 yang acak-acakan. Ada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ada New Normal, dan kini Mini Lockdown. Entah berbasis undang-undang atau kebijakan reaktif yang bersifat adhok. Vaksin Cina menjadi bagian dari vaksin kegaduhan. Rakyat khususnya Purnawirawan TNI yang khawatir akan bangkitnya PKI malah disalah-salahkan. Katanya kewaspadaan itu yang membuat takut. Lalu haruskah abai pada PKI dan Komunisme ? Moeldoko itu mantan Panglima TNI, yang seharusnya lebih peka terhadap bahaya dan kegiatan laten PKI dan faham Komunisme. Yang sekarang sudah masuh di semua pusat-pusat kekuasaan. Bukankah korban kebiadaban PKI di Lubang Buaya adalah para Jenderal TNI, Pak Moeldoko? Anda ini aya-aya wae. Moeldoko semestinya berterimakasih atau bergabung dengan KAMI. Bukan main ancam-ancaman. Kekuasaan itu tidak langgeng Pak Moeldoko. Yang sekarang gagah dan duduk di atas kursi dengan posisi memerintah, besok sudah keriput. Pandangan kosong di kursi goyang. Penyakitan ini dan itu pula. Tak berdaya lagi. Walaupun dia memasang foto di ruang tamu berseragam lengkap bintang empat. KAMI itu kekuatan moral. Bukan kekuatan politik. Bukan pula kekuatan makar. Bahwa berdampak secara politik itu soal lain Pak Moeldoko. Itu soal respons publik dan masyarakat. Karena rakyat melihat pemerintah telah membuat jarak dengan rakyat. Sudah begitu berjalan di arah yang salah. Semakin menjauh dari cita-cita dan tujuan bernegara. Arahnya adalah pemerintah memaksakan kepentingan kepada rakyat. Bukan mendengar aspirasi dan keinginan rakyat. Lihat saja soal Pilkada di musim pandemi Covid-19. Rakyat tidak boleh berkumpul sana-sini, eh tahapan Pilkada tetap diproses. Teriakan agar Pilkada ditunda dulu tidak didengar. Ya pemerintah tuli dan bebal kepada suara rakyat. Dengan demikian, pemerintah justru telah nyata-nyata membuat gangguan atas stabilitas politik di tengah ketidakstabilan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Jika Pak Moeldoko mengancam untuk membuat perhitungan, apakah rakyat juga tidak bisa berhitung ? Pertanyaan yang boleh dinilai bodoh, tetapi jawabannya dapat menjadi terapi kejut lagi. Kebenaran sehat adalah 2+2 sama dengan empat. Tapi kebenaran PKI dan Komunisme 2+2 harus dipaksakan menjadi lima. Dan rakyat harus menghafal kategori-kategori palsu itu. KAMI itu mengajak anda agar mari berhitung dengan sehat, Pak Jenderal. Penulis adlah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
KAMI Dipersekusi, Tanda Imun Penguasa Bermasalah
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (02/10). Tanggal 18 Agustus Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) deklarasi di Tugu Proklamasi. Disambut dengan deklarasi di berbagai daerah. Lebih dari sebulan, dukungan ke KAMI terus mengalir. Permintaan deklarasi tak pernah berhenti. Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, NTB, bahkan luar negeri. Dukungan provinsi dan kabupaten/kota juga semakin rapat. Melihat perkembangan KAMI yang begitu masif, rupanya ada pihak yang khawatir, bahkan panik nggak karuan. Siapa mereka? Sebut saja penguasa yang panik. Cirinya sangat jelas dan sangat gamblang! Biar ini jadi sarana komunikasi yang dialogis. Ada pandangan yang berbeda antara KAMI dengan penguasa. Penguasa bilang “negara ini sedang baik-baik saja”. KAMI berpendapat ”negara sedang sakit”. Demokrasinya sakit, hukumnya sakit, ekonominya sakit, politiknya sakit dan banyak penyakit lainnya. Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ingat Harun Masiku, Novel Baswedan, Djoko Djandra dan perubahan UU KPK. Bicara aparat, teringat operasi mereka di pilpres 2019 lalu. Bicara ekonomi, sekarang anjlok, sudah minus -5,32? Resesi ekonomi yang di depan mata mengingatkan pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Tenaga Kerja Asing (TKA) China. Bertambah jumlah pengangguran dan orang-orang miskin. Bicara demokrasi, teringat banyak persekusi. Ini masalah, kata KAMI. Jadi, jangan pura-pura nggak ada masalah. KAMI lahir sebagai tuntutan tanggung jawab kebangsaan untuk membantu pemerintah menyelamatkan negeri dari berbagai masalah itu. Yang penting, pemerintah jujur, apa adanya. Jangan ditutup-tutupi. Jangan ada dusta diantara kita. KAMI lahir sebagai gerakan moral. Penguasa saja yang menganggap itu gerakan politik. Bukan memperbaiki, tetapi malah mau mengamputasi. Oh ya? Ngeri kali bahasanya. Bergantung penyakitnya. Kalau diare, perlu diobati. Tapi, kalau diabet, dan sebagian anggota tubuh sudah membusuk, dokter biasanya menyarankan untuk diamputasi. Maksudnya? Ini bicara medis lho. Tapi, teori medis sering pula berlaku di dunia sosial dan politik. Karena dianggap sebagai gerakan politik, maka penguasa merasa ini perlu diantisipasi. Takutnya, gerakan ini akan melakukan upaya amputasi. Satu sisi, berkumpul, berorganisasi dan menyatakan pendapat itu hak yang dilindungi konstitusi. Di sisi lain, menguatnya organisasi bisa jadi ancaman bagi penguasa yang sedang dililit masalah pandemi dan resesi ekonomi. KAMI, gerakan yang dipimpin oleh dua tokoh organisasi terbesar NU-Muhammadiyah, yaitu Din Syamsudin dan Rachmat Wahab. Dibantu oleh Gatot Nurmantyo dari mantan militer, semakin hari semakin kuat karena semakin besarnya dukungan. Sementara penguasa makin melemah karena pandemi covid-19 yang tak ditangani secara tepat membuat semakin sulit situasi ekonomi. Dilarang. Padahal deklarasi KAMI itu bagian dari hak berekspresi yang dilindungi konstitusi. Dibiarkan, makin menghantui. Posisi ini yang menyulitkan bagi penguasa. Maka, terjadilah kepanikan. Adanya kepanikan menunjukkan ketidakmampuan penguasa membangun komunikasi yang baik dengan pihak-pihak yang dianggap berseberangan. Termasuk dengan KAMI. Penguasa merasa huebaaattts Selama ini, penguasa merasa sangat kuat. Cukup percaya diri. Semua resources masih normal dan dibawah kendali. Instrumen kekuasaan ada di genggaman, dan bisa dimanfaatkan kapan saja untuk melakukan penekanan-penekanan. Pukul sana pukul sini, itu biasa saja. Upaya persekusi dengan cara "nabok nyilih tangan" hanya efektif jika dilakukan oleh penguasa, ketika masih dalam kondisi sangat kuat. Orla dan Orba melakukan yang sama ketika itu. Tepatnya, represi terhadap oposisi. Tetapi keduanya jatuh ketika ekonomi terpuruk. Ingat dan fahami itu baik-baik. Saat ini, kita bicara tentang ekonomi yang semakin terpuruk. Semua menyadarinya. Ini artinya, imun penguasa sedang rentan. Jika tak mampu menahan krisis, maka upaya persekusi dan tindakan represi akan menjadi senjata makan tuan. Menyerang balik di saat imun betul-betul melemah, karena dihajar krisis ekonomi. Situasi ini memungkinkan terjadinya amputasi. Beda jika penguasa melihat KAMI sebagai gerakan moral. Dirangkul dan diberi ruang untuk berdiskusi dan berekspresi. Tak ada persekusi. Tentu, ini akan menentramkan situasi. Sayangnya, selalu ada persekusi di setiap KAMI mengadakan deklarasi. Di Bandung dipersekusi. Di Surabaya, NTB, bahkan di Jakarta, terus terjadi persekusi. Sudahlah, rakyat juga tidak bodoh. Siapa pemain dibalik peristiwa persekusi terhadap deklarasi KAMI. Rakyat sudah tahu. Bahkan kuntilanak dan genderuwo juga tahu. Rakyat tahu siapa dibalik penusukan ulama, imam masjid dan perusakan mushalla. Rakyat tahu itu. Nggak usah menuduh PKI. Tidak! Itu kerja Intel. Peristiwanya berulang dan polanya sama. Gampang dikenali dan diidentifikasi. Tidak satu kejadian, tetapi banyak kejadian. Tidak satu tempat, tetapi banyak tempat. Waktunya berdekatan. Polanya sama dan sebangun. Itu kerja dan operasi orang-orang profesional. Kerjanya intel melayu. Mereka yang kendalikan gerombolan berbayar dan orang gila mendadak. Untungnya, KAMI nggak terpancing, meski terus diprovokasi. Ini sikap matang yang harus terus, dan mampu ditunjukkan oleh KAMI. Supaya publik tetap melihat bahwa KAMI betul-betul gerakan moral. Bukan gerakan politik. Bukan pula gerakan makar. Sekali terpancing, ada dasar hukum untuk membubarkan KAMI, dan menangkap para tokohnya. Ini pola lama yang sudah baku. Hampir setiap rezim yang lama berkuasa melakukan pola seperti ini. Tindakan represi dan praktek persekusi adalah bagian yang akan menguji ketahanan dan ketangguhan KAMI. Mampukah imun KAMI tetap bertahan di tengah lautan persekusi itu? Jika mampu, maka KAMI tidak saja akan terus berlimpah simpati, tetapi mampu menyiapkan diri jika "secara alamiah" jika terjadi proses amputasi nanti. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
KAMI Kebanjiran Kerkah Playing Victim Dari Penguasa
by Dr. Masri Sitanggang Medan FNN – Jum’at (02/10). Dihujani opini negatip, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) malah berlimpah simpati. Inilah dua hal yang membuat KAMI disambut dan sekaligus membuat penguasa gusar nggak karuan. Akankah Penguasa bertindak elegan? We are at the point of no return. Menyusul deklarasi KAMI Surabaya dan dukungan Purnawiran TNI pada acara Tabur Bunga di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata yang dipersekusi, Muldoko Kamis (1 Oktober 2020) mengeluarkan pernyataan bernada ancaman. Kepala Staf Presiden, yang menjelang Pilpres 2019 lalu menyerukan perang total melawan pasangan Capres/Cawapres 02, itu memperingatkan KAMI untuk menyampaikan aspirasinya lewat jalur hukum. Entahlah, apa Muldoko menganggap berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat di muka umum serta berkirim surat ke DPR RI seperti yang telah dilakaukan KAMI, dianggap tidak sesuai dengan hukum. Bagaimana cara Moeldoko memahami masalah hukum, terlihat enah dan amatiran. Luar biasa KAMI. Sejak dideklarasikan 18 Agustus 2020 lalu, KAMI tidak henti dihujani fitnah, cerca dan umpatan. Dinarasikan, malah didiskripsikan, seolah KAMI adalah kumpulan orang-orang yang sakit hati karena terlempar dari kekuasaan. Orang-orang yang ingin merebut kekauasaan. Kumpulan orang-orang yang penya kepentingan. Antek Orde Baru yang ingin come back dan lain-lain lagi, yang pada pokoknya menggambarkan KAMI itu jelek dan sejenisnya. Sepertinya kian terang bahwa, kutup demokrasi di negeri ini berangsur berubah. Dalam demokrasi yang sehat, kutup itu adalah pemerintah/penguasa di satu sisi, dan partai oposisi serta pers dan perangkat lainnya di sisi lain. Kini, kutub itu akan berubah menjadi pemerintah/penguasa di satu sisi dan KAMI di sisi lain. Ini terjadi karena partai-partai dan pers mainstream sudah berasa bagian dari penguasa. Hebatnya lagi, yang jadi oposisi sepertinya justeru adalah pemerintah, bukan KAMI. Wajar, memang, penguasa merasa gusar. Soalnya, KAMI lahir di saat-saat penguasa sudah merasa berada di zona nyaman. Ibarat berkenderaan, penguasa sudah merasa di jalan arteri. Jalan ringkas mencapai tujuan tanpa hambatan. Tinggal tancap gas saja. Partai-partai bukan lagi halangan. Malah sudah menjadi tenaga pendorong sehingga kenderaan memiliki mesin turbo. Kalau pun ada hambatan, diperkirakan itu tak lebih dari sobekan kertas di tepi jalan yang akan melayang diterpa angin kencang kenderaan. Itulah sebabnya DPR RI dan pemerintah, yang kita sebut saja sama-sama sebagai penguasa, sangat percaya diri untuk tidak menghiraukan suara yang minta penghentian pembahasan atau judicial review sejumlah RUU/UU yang tidak berpihak pada rakyat . Misalnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Perppu Nomor 1/2020 yang telah menjadi UU Nomor 2/2020. Aada juga Minerba, RUU HIP, RUU BIP dan lain-lain. Bahklan Majelis Ulama se-Indonesia (MUI) yang berteriak keras menolak RUU HIP dan RUU BIP, dianggap angin lalu saja. Menyedihkan memang, di negara yang mayoritas Islam, lembaga Ulama tidak digubris. Tetapi, itulah kenyataannya. Malah, sudah ada yang berani coba melempar ide untuk membubarkan lembaga itu dengan nada melecehkan kekuasaan. KAMI hadir untuk maksud meluruskan kiblat berbangsa yang dinilai sudah melenceng. Kiblat bangsa yang dimaksud adalah cita-cita dan tujuan bernegara sesuai dengan UUD 1945 yang diberlakukan berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Apa saja yang telah melenceng? Seberapa jauh melencengnya? Dituangkan dengan jelas dalam Maklumat KAMI. Termasuk dalam Maklumat tersebut adalah delapan tuntutan. Maklumat itu pun telah pula dikirimkan ke para pemegang kekuasaan di negerei ini. Hebatnya, meski bukan organisasi struktural, dari sejak akan dideklarisika, koalisi yang dibidani antara lain oleh Din Syamsuddinini, MS Kaban, Ahmad Yani, Abdullah Hehamahua, Syahganda Nainggolan, Marwan Batubara. Kemudian merangkul Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantio dan KH Rokhmat Wahab, Rocky Gerung serta sejumlah aktivis ini, sudah mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Sambutan masyarakat ini sangat mungkin karena setidaknya dua hal. Pertama, deklarator KAMI dikenal sebagai orang yang relative dapat dipercaya mewakili pikiran masyarakat. Mewakili kelompok Islam dan bukan Islam. Tokohnya mewakili kelompok dari arus utama Islam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Ada juga kelompok sipil dan TNI (Purnawirawan), kelompok intlektual dan berbagai profesi. Dengan demikian, KAMI tepat menyandang Gerakan Moral. Kedua, apa yang dituangkan dalam Maklumat Menyelamatkan Indonesia, secara khusus delapan tuntutan yang ditujukan kepada pengelola negara, senada dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan rakyat. Artinya, delapan tuntutan KAMI itu dirasakan rakyat persis mewakili tuntutan mereka. Dengan demikian, delapan tuntuntan KAMI itu bisa disebut PANTURA (Delapan Tuntutan Rakyat). Begitulah sehingga pertumbuhan dan dukungan terhadap KAMI serasa mengejutkan. Tanpa ada yang mengarah-arahkan, tanpa ada yang mendorong-dorong. Tapa pula ada aliran dana, namun berbagai daerah berebut deklarasi dan menyatakan dukungan. Kalau saja ini oraganisasi struktural biasa dan formal, tentulah untuk membentuk kepengurusan sampai ke tingklat Kabupaten/kota di seluruh Indonesia, memerlukan waktu bertahun-tahun. Juga biaya yang tidak sedikit. Tapi KAMI tumbuh dari hati dan jiwa rakyat, sehingga segalanya di luar kebiasaan. Boleh jadi dua hal itu pula yang menimbulkan kegusaran bagi penguasa. KAMI dianggap sebagai sebuah kekuatan yang muncul di luar dugaan. Sekaligus juga sulit dikendalikan. KAMI menjadi penghalang bagi arah dan laju kenderaan yang sedang dipacu. Setidaknya, kelahiran KAMI menyadarkan penguasa bahwa mereka tidak lagi sedang berada di jalan arteri tanpa hambatan. Penguasa mencoba menyingkirkan KAMI. Caranya, itu tadi, labelisasi KAMI dengan yang jelek-jelek. Ada pula upaya-upaya melahirkan “KAMI” tandingan ,dengan narasi dukungan kepada penguasa dan mengecam KAMI Gerakan Moral yang di deklarisikan di tugu proklamasi. Lebih dari itu, ada upaya-upaya yang terasa dirancang untuk melakukan persekusi terhadap kegiatan KAMI di daerah-daerah. Moeldoko sudah pula bersuara sedikit mengancam. Tetapi ini sungguh di luar dugaan. Tindakan-indakan upaya “menyingkirkan” itu bukannya megecilkan KAMI. Malah sebaliknya membesarkan KAMI. Akibatnya, KAMI semakin populer dan menuai banjir simpati dan dukungan. Sepertinya KAMI sedang kebanjiran berkah playing victim dari penguasa. Permintaaan deklarasi sudah hamper meliputi semua Kabupaten/Kota. Entahlah, apakah “oposisi” terhadap KAMI ini satu saat nanti berubah jadi tindakan repressif penguasa. KSP Moeldoko yang tahu persis. Tapi jika ini terjadi, negara ini akan hancur sehancur-hancurnya. Percayalah ! KAMI telah menjadi gerakan kekuatan rakyat yang dahsyat. Menurut hematku, penguasa negeri ini harus memiliki political will untuk mendengar suara rakyat. Cuma itu yang bisa menghindari kekacauan negeri ini. Penguasa harus tampil elegan. Menghadapi gerakan moral KAMI, penguasa harus menunjukkan sikap lebih bermoral. Dengan demikian, moral penguasa berada di atas moral KAMI. Jangan melontarkan pernyataan-pernyataan atau melakukan tindakan yang justeru menunjukkan rendahnya moralitas penguasa. Adalah elegan bila penguasa menjawab secara akademis dan melakukan tindakan praktis berkenaan dengan PANTURA. Mendengar, mendiskusikan pandangan dan memenuhi aspirasi rakyat, tidaklah akan menjatuhkan wibawa penguasa. Itu justeru meningkatkan moralitas penguasa, meningkatkan trust rakyat kepada penguasa serta menumbuhkuatkan dukungan terhadap penguasa. Bukankah pemerintah (penguasa) ini diamanahkan konstitusi untuk melindungi segenap tumbah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan serta keadilan sosial ? Bagaimana pemerintah dapat mengukur apakah tugas itu sudah dijalankan dengan baik? Atau malah sudah menyimpang kalau tidak mendengar jeritan rakyatnya? Suara rakyat itu telah dituangkan dalam bentuk PANTURA (Delapan Tuntutan Rakyat). Mendengar PANTURA adalah tindakan penguasa yang elegan dan bermoral tinggi. Itu kalau pemerintah memang bermaksud berkeja untuk rakyat. Kalau bekerja untuk kepentingan yang lain, aku tidak punya jawaban. Tetapi KAMI sudah menentukan sikap, “we are at the point of no return”. KAMI berada pada posisi yang tidak ada tempat untuk kembali. KAMI datang bukan untuk pulang! Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn & Ketua Komisi di MUI Medan.
Gatot Nurmantyo, KAMI, dan Bahaya Neo-Komunis
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Jumat (02/10). Tampaknya konflik horizontal bakal terjadi jika setiap agenda maupun deklarasi Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditolak oleh “massa bayaran”. Contohnya, kasus kericuhan Rabu sore, 30 September 2020, di TMP Kalibata. Saat acara ziarah dan tabur bunga purnawirawan TNI di kawasan Jakarta Selatan itu tengah berlangsung, ada aksi demo yang “menolak” dari sekelompok massa. Mereka diduga adalah massa bayaran yang bermaksud melakukan teror. Pantas jika aksi pelecehan seperti ini kemudian mendapat perlawanan dari ormas FKPPI dan purnawirawan berseragam TNI dari Kopassus, Marinir, dan Paskhas yang tergabung dalam Purnawirawan Pengawal Kedaulatan Negara (PPKN) tersebut. Pernyataan sikap sempat pula dibacakan Letjen TNI Mar (Purn) Suharto, mantan Komandan Korps Marinir ke-12 TNI AL, meski pernyataan itu nyaris dirampas Dandim Jakarta Selatan Kolonel Inf Ucu Yustia, namun gagal. Dalam ziarah dan tabur bunga itu juga dihadiri mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo yang juga Presidium KAMI. Gatot dan rombongan purnawirawan nyaris pula tak bisa masuk karena dihalangi Kolonel Ucu Yustia. Para purnawirawan TNI turun gunung melakukan aksi moral. Purnawirawan adalah hati dan cermin dari TNI aktif yang masih terikat oleh disiplin komando. Fenomena kegelisahan ini semestinya ditangkap dengan sepenuh jiwa karena kondisi ini tidak biasa. Wajar jika para purnawirawan TNI ini mendukung gerakan moral Gatot melalui KAMI. Ini karena mereka juga ikut merasakan kekhawatiran yang juga dirasakan Gatot terkait dengan indikasi munculnya bahaya PKI dan Neo-Komunis di Indonesia. Selain ulama, santri, dan aktivis Islam, maka TNI adalah sasaran PKI. Kepekaan elemen ini cukup tinggi terhadap ancaman bahaya PKI dan Komunisme. Oleh karenanya agenda ziarah dan tabur bunga pada 30 September 2020 menjadi sinyal dari kepekaan tersebut. Fenomena turun gunung para Purnawirawan TNI ini menjadi peristiwa politik yang menarik. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang bersedia menjadi salah satu Presidium KAMI adalah sebuah kejutan. KAMI, sebuah gerakan sangat kritis terhadap penyelenggaraan negara pimpinan Presiden Joko Widodo. Gatot tentu tidak sendirian, ada banyak barisan purnawirawan di belakangnya. Presiden seharusnya memahami perasaan old soldiers yang sedang mengunggah memori. Sejak Deklarasi pada 18 Agustus 2020 di Tugu Proklamasi, kehadiran KAMI disambut antusias dan diminta untuk deklarasi di berbagai daerah. Lebih dari sebulan, dukungan untuk KAMI terus mengalir. Permintaan deklarasi tidak berhenti. Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, NTB, bahkan luar negeri. Dukungan provinsi dan kabupaten semakin rapat. Melihat perkembangan KAMI yang begitu masif, rupanya ada pihak yang khawatir, bahkan panik. Siapa yang panik? Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Tony Rosyid menyebut: penguasa. Jelas dan gamblang! “Biar ini jadi sarana komunikasi yang dialogis,” tulisnya. Ada pandangan yang berbeda antara KAMI dengan penguasa. “Penguasa bilang: negara ini sedang baik-baik saja. KAMI berpendapat: negara sedang sakit. Demokrasinya sakit, hukumnya sakit, ekonominya sakit, dan banyak penyakit lainnya,” lanjut Tony Rosyid. KAMI lahir bukan untuk “memusuhi” Presiden. Tapi, tuntutan tanggung jawab kebangsaan untuk membantu pemerintah menyelamatkan negeri dari berbagai masalah itu. Yang penting, pemerintah jujur, apa adanya, jangan ditutup-tutupi. Kedua, KAMI lahir sebagai gerakan moral. Tapi, penguasa menganggap itu gerakan politik. Bukan memperbaiki, tapi mau mengamputasi. Karena dianggap sebagai gerpol, maka KAMI perlu diantisipasi. Takutnya, gerakan ini akan melakukan upaya amputasi. Saat Deklarasi, di satu sisi, berkumpul, berorganisasi dan menyatakan pendapat itu hak yang dilindungi konstitusi. Namun, di sisi lain, menguatnya organisasi ini bisa jadi ancaman bagi penguasa yang sedang dililit masalah pandemi dan resesi ekonomi. KAMI, gerakan yang dipimpin oleh dua tokoh organisasi terbesar NU-Muhammadiyah, yaitu Prof Rachmat Wahab dan Prof Din Syamsudin, dan dibantu Gatot Nurmantyo dari militer, semakin hari semakin kuat karena semakin besarnya dukungan. Sementara penguasa semakin melemah karena pandemi Covid-19 yang tidak ditangani secara tepat membuat semakin sulit situasi ekonomi. Ekonomi, kini minus 5,32 mengarah ke resesi ekonomi berbuntut PHK, jumlah pengangguran dan orang miskin bertambah. Bicara demokrasi, teringat banyak kasus persekusi atas ulama dan ustadz maupun tokoh yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Bagi KAMI, ini masalah. Jadi, jangan pura-pura tidak ada masalah. Seperti persekusi pada Gatot Nurmantyo di Surabaya. Acara silaturhmi KAMI yang dihadiri Gatot, di Surabaya, Senin (28 September 2020) dibubarkan oleh polisi. Pembubaran diduga karena ada aksi penolakan dari sejumlah orang. Kejadian ini terekam dalam video singkat yang tersebar di media sosial. Acara Deklarasi KAMI Jawa Timur sedianya akan dilaksanakan di Gedung Juang DHD 45 JL. Mayjend Sungkono Surabaya. Semua persyaratan, pemberitahuaan dan bahkan standart protokol kesehatan terkait Covid-19 juga sudah dipenuhi. Pemberitahuaan pada Polda Jatim pun sudah disampaikan. Bahkan kepada Polsek Sawahan yang membawahi wilayah hukum Gedung Juang 45 pun sudah diberi pemberitahuaan. Ijin pemakaian dan kontrak gedung dari pengelola sudah dikantongi. Pada Minggu pagi, 27 September 2020, salah seorang panitia ditelpon Polisi, diminta untuk membatalkan acara tersebut. Namun, KAMI bergeming, mereka tetap fight acara tetap harus berlangsung sesuai rencana. Sebab, persiapan sudah matang. Semua kelengkapan persyaratan pun sudah dipenuhi. Gatot Nurmantyo dan Prof. Rachmat Wahab dari Presedium KAMI Pusat sudah memastikan diri hadir. Gatot berangkat dari Jakarta. Senin pagi, 28 September 2020 baru akan tiba di Surabaya. Sedangkan Prof Rachmat Wahab sudah berada di Jombang, sebab dia memang asli Jombang, keluarga Pondok Pesantren Tambak Beras. Karena menekan Panitia tidak berhasil, rupanya polisi beralih melakukan penekanan kepada Pengelola Gedung Juang 45. Minggu malamnya pengelola meminta ketemu Panitia. Mereka bercerita banyakbahwa mereka ditelpon bolak balik oleh Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya. “Kami diminta Polisi untuk tidak memfasilitasi acara ini,” kata seorang pengelola Gedung. Pihak pengelola Gedung tentu punya hak untuk membatalkan ijin yang telah mereka berikan sebelumnya. KAMI sangat bisa memahami alasan mereka. Jadi, Gedung Juang 45 sudah tidak bisa dipakai. Tapi secara informal, KAMI Jatim meminta ijin kepada Pengelola untuk memakai lapangan saja. Pihak Pengelola tidak menyampaikan penolakan, tapi juga tidak melarang. Mereka berujar, “Kami tidak mau ikut ambil resiko.” Karena segala persiapan sudah matang. Sebagian peserta dari Kabupaten/Kota yang jauh pun sudah ada yang berangkat, diputuskan acara Deklarasi KAMI Jatim tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Tempatnya di lapangan sekitar gedung tersebut. Semua peserta yang bertanya kepastian tempat tetap acara, diberi jawaban bahwa acara di (lapangan) Gedung Juang 45. Pada hari H, Senin pagi 28 September 2020, Gatot dan Prof Rachmat Wahab sudah sampai di Surabaya. Kemudian Panitia membawa mereka untuk transit di penginapan Jabal Nur JL. Jambangan. Karena Gatot dan Prof. Rachmat berada di Jabal Nur, maka sebagian Kiai, Habaib dan para tokoh yang sedianya langsung ke lokasi acara Gedung Juang, mereka pun singgah dulu ke Jabal Nur untuk bertemu Gatot dan Prof Rahmat. Setidaknya, ada sekitar 70 orang, dari total 150 tokoh yang diundang untuk ikut deklarasi. Sebagian langsung ke Gedung Juang 45, sebagaiannya mungkin berhalangan hadir. Di Jabal Nur, para undangan sarapan dan melakukan ramah tamah dengan gayeng. Saat ramah-tamah itulah mereka dapat informasi dari peserta yang berada di Gedung Juang 45, bahwa situasi di lokasi tidak memungkinkan mereka untuk datang. Ada massa pendemo yang entah dari mana. Polisi pun banyak di lokasi. Sebagian undangan yang mencoba untuk mendekat ke lokasi mendapatkan persekusi dari orang-orang yang tidak dikenal. Mendapat informasi seperti itu, Panitia berembug. Panitia putuskan tidak jadi melaksanakan acara di Gedung Juang 45. Gatot, Prof Rahmat, dan para tokoh yang sudah siap berangkat ke lokasi, dicegah. Panitia minta mereka semua untuk tetap di Jabal Nur saja. “Kita lanjut ramah tamah di sini saja, hingga makan siang nanti,” kata seorang Panitia. Acara informal. Namanya kedatangan orang Jakarta, apalagi tokoh seperti Presidium KAMI Gatot Nurmantyo dan Prof Rahmat, maka keduanya pun diminta untuk berbicara sekedar cerita-cerita ringan terkait situasi Bangsa, Covid-19 dan lain sebagainya. Setelah Prof Rachmat, giliran Gatot berbicara, terdengar suara bising di luar. Di luar ada sound system berkuatan besar diangkut satu truk dengan beberapa orang di atasnya. Mereka ini pendemo atas nama “Surabaya Adalah Kita”. Di saat Gatot sedang berbicara, tiba-tiba masuklah beberapa orang yang mengaku dari Polda Jatim. Tak seorang pun memakai seragam Polisi dan ketika dimintai surat tugas, mereka tidak bisa menunjukkannya. Tapi, Wakil Direktur Intelkam AKBP Iwan Surya Ananta langsung maju mendekati Gatot yang sedang bicara. Dia memaksa Gatot berhenti. Sesaat kemudian kawan-kawannya yang lain pun ikutan merangsek. “Ini bapak-bapak dari Kepolisian meminta saya berhenti bicara. Tidak apa-apa, mereka hanya menjalankan tugas,” kata Gatot dengan lembut. Kemudian Gatot pun mengakhiri bicaranya. Sempat akan terjadi perlawanan. Teriakan takbir pun sudah bertaluan, yang diselingi pekikan merdeka. Tapi, Gatot Nurmantyo dan beberapa tokoh lainnya berhasil mencegah. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Waspada Terhadap PKI Itu Positif & Harus! (Bagian-1)
Tulisan ini hanyalah pendapat pribadi. Tidak mewakili siapa-siapa dan lembaga apapun. Boleh saja setuju, dan boleh juga tidak setuju. Maaf kalau agak panjang, sehingga dibagi menjadi dua tulisan! by Shamsi Ali Al-Kajangi New York City FNN – Jum’at (02/10). Setiap tanggal 30 September, dikenang sebagai salah satu hari kelam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sebab di hari itulah banyak Jenderal, tokoh bangsa dan agama yang dibunuh oleh kelompok orang berideologi Komunisme. Mereka tergabung dalam sebuah partai yang disebut PKI atau Partai Komunis Indonesia. Saya tidak perlu lagi membahas siapa dan apa itu PKI, ideologi dan agendanya. Karena saya yakin semua anak bangsa yang memiliki kepedulian pasti sudah tahu. Juga paham dan sadar akan apa yang pernah terjadi dengan PKI di negeri ini. Yang ingin saya sampaikan hanya sebuah kewaspadaan (al-hadzar). Sikap yang harusnya terbangun oleh setiap putra-putrì bangsa. Bahwa ada masa, dimana peristiwa kelam itu boleh saja terulang kembali. Sebab sejarah kerap terulang, walau dalam warna dan bentuk yang berbeda. Masihkah & Perlukah Diwaspadai? Ada sebagian yang mengatakan bahwa isu PKI atau faham komunisme harusnya tidak lagi perlu dibahas atau diributkan. Beberapa alasan yang disampaikan, antara lain, bahwa ideologi Komunisme telah selesai (berakhir). Komunis itu sudah mati terkubur. Dengan ambruknya Uni Soviet, seolah paham komunisme juga telah runtuh. Bahkan dengan perubahan konstalasi dunia, dimana Rusia dan Amerika dengan aliansi Uni Eropa mengakhiri perang dingin, juga berarti ideologi Komunis telah berakhir. China yang dikenal sebagai negara Komunis juga ternyata mengalami “shifting” atau pergeseran dari komunisme kepada paham yang nampaknya lebih dominan secara kapitalisme dan liberalisme. China semakin membuka diri secara ekonomi. Perkiraan di atas nampaknya terlalu menyederhanakan permasalahan. Karena sesungguhnya isu Komunis dalam konteks Indonesia tidak harusnya selalu dikaitkan dengan Rusia atau China. Tapi memiliki tendensi pemikiran dan karakternya sendiri. Selain itu, ideologi itu adalah faham atau pemikiran yang mempengaruhi karakter. Karenanya ideologi tidak selalu bubar dengan bubarnya sebuah institusi, termasuk organisasi atau negara. Begitu juga dengan PKI dan faham komunisme di Indonesia. Ideologi atau faham biasanya akan nampak melalui gejala-gejala (symptoms) yang kemudian berkembang dalam bentuk karakter dan aksi. Gejala ini terkadang sangat halus, sering menipu, bahkan tidak jarang dibungkus oleh teori-teori atau konsep-konsep yang menawan dan membuai. Saya jadi teringat kenapa Menteri Agama begitu “obsessed” dengan isu radikal? Tentu karena ada gejala-gejala, yang boleh jadi dicurigai sebagai gejala-gejala radikalisme. Sehingga berdasarkan gejala itu sang Menteri kemudian menghembuskan isu “radikal” agar terbangun kewaspadaan. Masalahnya kemudian, kenapa ketika isu PKI dihembuskan berdasarkan gejala-gejala untuk membangun kewaspadaan, justeru dituduh “mengganggu” bahkan membahayakan pemerintahan? Sehingga usaha-usaha mereka yang mengingatkan bangsa ini untuk waspada dihalangi di mana-mana. Saya menilai ini prilaku paradoks dari kekuasaan. Saya justeru khawtir jika prilaku “unfair” ini justeru menjadi bagian dari symptom yang ada. Semoga saja saya salah. Perlakuan “ketidak adilan” (unfair treatment) kekuasaan itu juga terlihat dalam menyikapi kelompok-kelompok yang dianggap mengancam negara atau ideologi negara. Salah satunya sebagai misal adalah kelompok dan jamaah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saya melihat ada sikap yang berbeda dari kekuasaan dalam menyikapi kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman itu. Ada yang ditindak dan dibumi hanguskan. Tapi ada yang seolah dirangkul dan dilindungi. Pilitik belah babmbu yang diterapkan. Tentu semua ini semakin membangun kecurigaan itu. Pastinya menjadikan Umat Islam semakin meningkatkan kewaspada. Kenapa ancaman yang dikaitkan dengan agama begitu dibenci? Sementara ancaman ideologi yang anti agama seolah hal yang biasa saja. Bahkan serasa mendapat perlindungan. Saya khawatir sekali lagi, jangan-jangan ini jadi bagian dari symptom itu. Gejala-Gejala itu... Sebuah gejala tentunya bukankah kesimpulan, sampai masanya bisa dibuktikan. Gejala hanya jembatan menju kepada realita. Karenanya sikap yang dibangun bukanlah “konklusi” (kesimpulan). Tetapi sekali lagi, lebih kepada membangun kewaspadaan. Sebagai ilustrasi saja. Jika saat ini saya terbang kembali ke Indonesia, pastinya setiba di bandara Soekarno Hatta suhu badan saya akan dicek. Kalau ternyata temperatur badan saya lebih dari normal, maka berarti saya ada “gejala” Covid. Tapi tingginya suhu badan itu belum tentu sebagai sebuah “kesimpulan” jika saya positif Covid. Namun demikian karena suhu badan tadi, maka wajar saja kalau saya dikarantina hingga ada pembuktian jika saya negatif atau memang postif Covid. Disinilah urgensi kewaspadaan terhadap gejala-gejala PKI dan faham komunisme itu. Karena dari gejala itulah nantinya akan nampak (terbukti) apa benar atau tidak benar jika memang PKI menggeliat di negeri ini. (bersambung) Penulis adalah Diaspora Indonesia di Amerika Serikat.
Ganggu Tabur Bunga Purnawirawan
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (02/10). Kasus kericuhan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata pada 30 September 2020 sore saat acara ziarah dan tabur bunga Purnawirawan TNI ini tidak mungkin tanpa disain. Aksi demo yang "menolak" sudah dapat diduga sebagai buatan, bayaran, dan teror. Pantas dan wajar jika aksi pelecehan seperti ini mendapat perlawanan. Untuk itu, baik peserta aksi demo maupun pembuat aksi semestinya ditindak oleh aparat Kepolisian. Tetapi selalu saja terkesan seperti dibiarkan. Sehingga wajar bila ada yang beranggapan bahwa, aksi ini bagian dari rekayasa penguasa untuk menekan dan menghalang-halangi tokoh-tokoh oposisi. Melihat kejadian di TMP Kalimata ini, kening jedi berkerut dengan seratus pertanyaan. Pemerintah sedang bermainkah? Betapa kasar permainannya. Jika model seperti ini masuk kategori operasi intelijen, maka betapa tidak cerdiknya operasi itu. Selera intelijen yang rendah, dan sangat tidak bermutu. Para purnawirawan TNI akhirnya turun gunung melakukan aksi moral. Purnawirawan adalah hati dan cermin dari TNI aktif yang masih terikat oleh disiplin komando. Fenomena kegelisahan ini semestinya ditangkap dengan sepenuh jiwa. karena kondisi ini tidak biasanya. Selain ulama, santri, dan aktivis Islam, maka TNI adalah sasaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan faham Komunisme. Kepekaan elemen ini cukup tinggi terhadap ancaman dan bahaya Neo PKI dan faham Komunisme. Oleh karenanya agenda ziarah dan tabur bunga pada tanggal 30 September ini menjadi sinyal dari kepekaan yang tinggi tersebut. Pemerintahan Jokowi semestinya memahami perasaan "old soldiers" yang sedang mengunggah memori anak-anak yang mencintai negeri ini dari bahaya dan ancaman Neo PKI dan faham Komunisme. Bukan malah sebaliknya, memberikan angin segar dan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya Neo PKI dan faham Komunisme yang mengancam ideologi Pancasila. Gagasan diajukannya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah bukti nyata bahwa Neo PKI dan faham Komunisme itu ada dan nyata. Bukan fitnah dan mengarang bebas. Tragisnya, pemerintah Jokowi malah memberikan penguatan dengan mengajukan RUU Ban Pembinaan Ideologi Pancasila (BIP). Ini lebih ngawur dan ngaco. Ketika kasus laporan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) atas Muhammad Said Didu, maka dukungan Purnawirawan TNI kepada Didu yang biasa disapa Mosad mengalir deras. Demikian juga saat Ruslan Buton ditangkap, dan terlebih lebih lagi saat peradilan Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zen. Dukungan luar biasa dari ribuan Purnawirawan TNI, diantaranya ratusan mantan Pati memberi dukungan tertulis. Fenomena turun gunung para Purnawirawan TNI ini menjadi peristiwa politik yang menarik. Karena menggambarkan kegelusahan mereka yang dalam terhadap teta kelola negara yang kacau-balau, amatiran dan amburadul. Mantan Panglima TNI Jendaral TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo yang bersedia menjadi salah satu Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) adalah sebuah kejutan. KAMI sebuah gerakan yang sangat kritis terhadap penyelenggaraan negara pimpinan Presiden Jokowi. Gatot tentu tidak sendirian. Ada banyak barisan Purnawirawan di belakangnya. Aksi Purnawirawan di berbagai even tidak bisa dianggap lalu. Disamping wujud kekecewaan atas peran terlalu besar "angkatan" Kepolisian, dan pengecilan TNI pasca pemisahan, juga hal ini menjadi suara keras gerakan moral dan patriotisme. Arah pengelolaan negara dinilai telah jauh melenceng jauh. Kalau ibarat kapal, arah kapal melenceng jauh dari tujuan akan dituju. Negara juga sudah melenceng dari cita-cita dan tujuan bernegara sesuai perintah kontitusi Pembukaan UUD 1945. Bukan lagi untuki melindungi segenap bangsa tumpah darah Indonesia. Tetapi melindungi kepentinga para oligarki, korporasi dan konglomerat licik, picik, busuk dan tamak. Sikap Purnawirawan adalah hati dan cermin dari TNI aktif yang masih terikat oleh disiplin komando. Komando yang kadang dibelenggu oleh permainan politik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Din-Rachmat, Sinergi Muhammadiyah-NU di KAMI
by Tony Rosyid Jakarta FNN- Jum’at (02/10). Dua tokoh besar Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) tampil memimpin Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia0 (KAMI). Mereka adalah Din Syamsudin dan Rachmat Wahab. Keduanya Guru Besar di dua perguruan tinggi ternama negeri ini. Din Syamsudin Guru Besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Sedangkan Rachmat Wahab Guru Besar di Universitas Negeri Jogyakarta (UNY). Kedua tokoh Muhammadiyah dan NU ini didaulat menjadi Presidium KAMI. Dibantu tokoh dari mantan militer yaitu Gatot Nurmantyo. Muhammadiyah adalah organisasi terbesar kedua setelah NU. Meski kedua tokoh ini tidak secara resmi mewakili organisasi masing-masing, namun representasi dan pengaruhnya tidak bisa diabaikan. Keduanya mempunyai nama besar. Baik di Muhammadiyah maupun NU. Jika tokoh Muhammadiyah dan NU sudah bersatu dalam langkah yang sama, maka dukungan mayoritas rakyat lebih mudah untuk diperoleh. Sejarah mencatat kemenangan Gus Dur di sidang MPR 1999 atas Megawati setelah tokoh Muhammadiyah yaitu Amien Rais memberikan dukungan kepada Gus Dur. Padahal, nama Gus Dur nggak muncul dari awal sebagai Capres. Bersatunya NU dan Muhammadiyah dalam gerakan moral dan juga politik termasuk barang langka dalam sejarah negeri ini. Sebab, keduanya memang bukan partai politik. Terutama sejak NU kembali ke Khittoh tahun 1984. Masing-masing ormas besar ini punya lahan sosial dan garapan pendidikan yang berbeda. Namun pada kondisi tertentu, para tokoh kedua Oraganisasi Kemasyarakatn (Ormas) ini bisa saja bersatu. Misalnya, untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. NU menggarap masyarakat pedesaan dan pendidikan tradisional. Muhammadiyah lebih terkonsentrasi pada masyarakat perkotaan dan pendidikan modern. Selain menggarap juga bidang kesehatan. melalui rumah sakit. Semacam bagi-bagi tugas. Namun, di dalam KAMI, dua tokoh Muhammadiyah dan NU bersatu di garda terdepan. Memimpin gerakan moral, meski harus berhadap-hadapan dengan penguasa. Mirip di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jika ketuanya dari NU, maka sekjen dari Muhammadiyah. Begitu juga sebaliknya. Bersatunya unsur NU-Muhammadiyah di KAMI, mesti diwakili oleh para tokoh non struktural, akan memberi harapan bahwa gerakan KAMI ke depan punya potensi besar. Selama ini, susahnya menyatukan NU-Muhammadiyah dalam satu paket (kebersamaan) gerakan moral, karena adanya faktor psikologis yang disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan dan ritual diantara mereka. Ketika kedua tokoh ormas besar ini bersatu, lenyap semua sekat-sekat itu. Inilah diantara faktor yang membuat penguasa cukup panik. Penguasa tentu saja tidak senang, kalau tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU bersama dalam gerakan moral yang beroposisi kepada yang sedang berkuasa. Dalam banyak peristiwa politik, kedua ormas ini seringkali sengaja dibenturkan satu dengan yang lain. Terutama jelang pemilu. Pelakunya adalah para politisi. Sebut saja "politisi busuk". Isunya selalu soal paham keagamaan, mazhab dan ritual. Klasik! Meski klasik, tapi seringkali efektif. Di KAMI, keduanya menyatu. Tak ada isu yang bisa membenturkannya. Isu Islam kanan, nggak mempan. Isu radikalisme dan Khilafah, juga nggak ngefek. Muhammadiyah dan NU dikenal ormas moderat. Nggak ke kanan, apalagi radikal. Isu Khilafah itu bukan khas NU dan Muhammadiyah. Jika di Surabaya Senin kemarin (28/9) demo menolak KAMI karena dianggap mengusung faham khilafah, itu tandanya para pendemo bangun kesiangan. Baru siuman. Sementara tuduhan kepada KAMI sebagai barisan sakit hati, itu salah sasaran. Nggak akan mempan juga. Sebab, Din Syamsudin dan Rachmat Wahab tak terlibat aktif di politik, terutama pilpres 2019. Anda mau nuduh kedua tokoh ini punya ambisi jadi presiden? Makin ngaco dan ngawur! Mereka lebih cocok sebagai bapak bangsa. Bukan politisi, apalagi agen dan broker politik. Mereka adalah berdua itu organisatoris, guru besar, akademisi, ilmuwan dan agamawan yang dalam pikiran mereka berdua hanya ingin bangsa ini selamat. Titik! Tidak lebih. Nggak ada keinginan lain kecuali hanya itu. Bersyukur KAMI lahir di tengah bangsa yang sedang carut-marut, berantakan dan amburadul begini. Bersyukur juga KAMI mendapatkan sosok pemimpin seperti Din Syamsudin dan Rachmat Wahab. Sosok yang berintegritas dan punya kapasitas. Karena itu, tak berlebihan jika mereka berdua dianggap telah merepresentasikan suara mayoritas rakyat Indonesia. Selamat berjuang, semoga di tangan dua sosok ini, KAMI mampu memberi arah bangsa yang lebih jelas dan terukur. Selamat dari gelombang masalah akibat kedunguan para nahkodanya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Selamat Hari Kesaktian Pencasila, "Suatu Saat Indonesia Akan Jaya"
Bangsa Indonesia kini sedang mendapatkan ujian dari Allah Sunhanahu Wa Ta'ala. Covid-19 semakin memporak-porandakan ekonomi nasional. Untungnya, ujian itu tidak hanya menimpa negara yang berdasarkan Pancasila ini. by Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - Kamis (1/10). Jayalah Negeriku. Jayalah Indonesiaku. Walaupun saat ini sedang carut-marut, akibat Corona Virus Disaesa 2019 (Covid-19), ditambah lagi pemerintahan yang carut-marut dalam menangani berbagai masalah ekonomi, sosial, kesehatan, hukum dan politik, saya percaya, suatu waktu Indonesia akan jaya, dan diperhitungkan kembali di kancah internasional. Saya percaya Indonesia akan bangkit dari keterpurukan. Pengorbanan para pahlawan kemerdekaan, pahlawan revolusi, dan pahlawan reformasi kelak tidak akan sia-sia. Kelak Indonesia akan menjadi macan Asia yang siap mengaum ke seluruh dunia. Ekonomi sudah terasa merosot dalam 5 tahun pertama pemerintahan Joko Widodo- M.Jusuf Kalla. Janji pertumbuhan ekonomi 7% per tahun dalam kampanyenya tahun 2014 tidak pernah tercapai. Jangankan 7%, 6% pun tidak tercapai. Akibatnya, daya beli masyarakat merosot. Saya yang juga ikut bermain di sektor kecil-kecilan, turut merasakannya. Penjualan tahun 2018 turun 50% lebih dibanding penjualan tahun 2019. Banyak yang mengeluh omset turun terus. Apalagi di masa Covid-19 ini. Dalam 5 tahun pertama itu (2014 sampai 2019), mungkin ada sektor yang tumbuh, bertahan, dan turun. Tapi, umumnya turun. Banyak kios dan toko di mal yang tutup. Katanya karena online. Tapi, pengaruh online masih sangat kecil. Buktinya, tidak hanya kios yang tutup, tetapi juga sejumlah gerai mini market dan tempat perbelanjaan modern banyak yang tutup. Sebut saja berapa banyak gerai Matahari, Robinson, Indomart, Alfamart yang tutup. Belum lagi toko-toko di pinggir jalan, banyak yang tutup. Bangsa Indonesia kini sedang mendapatkan ujian dari Allah Sunhanahu Wa Ta'ala. Covid-19 semakin memporak-porandakan ekonomi nasional. Untungnya, ujian itu tidak hanya menimpa negara yang berdasarkan Pancasila ini. Semua negara ikut meraskannya. Jepang yang merupakan negara maju misalnya, sudah mengalami pertumbuhan ekonomi minus 2,2% dalam dua semester pertama tahun ini (Januari sampai Juni). Demikian juga Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Eropa, sudah menjerit. Ekonomi di kawasan Timur Tengah juga 'oleng', karena di masa Covid-19 ini harga minyak dunia terjun bebas. Padahal, pengasilan utama negara-negara kawasan ini adalah minyak. Pun juga di sejumlah negara Afrika yang mengandalkan sumber pendapatan dari minyak bumi. Di kawasan Asia jelas sudah terasa, seperti yang dialami Jepang. Singapura yang mengandalkan perekonomian dari sektor jasa, hampir saja bangkrut. Negara-negara anggota ASEAN merasakan tekanan ekonomi yang sangat dalam, meski tingkat tekanannya berbeda antara negara yang satu dengan lainnya. Indonesia diperkirakan mendapatkan tekanan berat. Perkiraan ekonomi Indonesia tahun 2020 ini yang diproyeksikan minis 0 sampai 2 persen akan berdampak lama dalam pemulihannya. Tahun 2021, merupakan masa sulit. Pemerintah memproyeksikan ekonomi tumbuh 5 persen tahun depan. Akan tetapi, proyeksi itu terlalu ambisius, terlalu manis buat menghibur rakyatnya. Semua berharap Covid-19 segera berlalu. Semua berharap ekonomi membaik. Akan tetapi menyodorkan angka 5 persen, itu terlalu.muluk-muluk, terlalu gombal dan terlalu membual . Sebab, jika tidak tercapai, sebagian masyarakat akan berkata miring, "Pemerintah berbohong." Saya lebih cenderung pada pertumbuhan angka 3 sampai 4 persen tahun depan. Angka itu pun masih terlalu optimis. Mungkin yang realistis adalah 2,5 sampai 3,5 persen. Lebih baik proyeksi pemerintah dalam kondisi sekarang di bawah 5 persen. Katakanlah 4 persen. Kalau kenyataannya lebih dari 4 persen koma sekian, atau bisa 5 persen, itu sebuah prestasi. Akan tetapi, jika proyeksi 5 persen, dan kenyataan akhir yang diperoleh di bawah angk itu, pemerintah akan menjadi bulan-bulanan pengamat dan menjadi tambahan sumber ketidakpercayasns sebagia besar rakyat. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.