OPINI
Dukun-dukun dan Jimat Corona
by Hersubeno Arief Jakarta FNN – Kamis (06/08). Barisan pembela Anji dan Hadi Pranoto. Fenomena menarik ini dalam beberapa hari terakhir bermunculan di media sosial. Gegara obrolan mereka ditayangkan di channel youtube, Anji dan Hadi jadi korban bully. Tayangannya di-takedown youtube. Keduanya juga dilaporkan ke polisi dan terancam pidana. Bukan karena mereka setuju dengan pandangan Anji yang kontroversial. Apalagi percaya obat pencegah dan penyembuh corona temuan Hadi. Tapi lebih pada perlakuan yang tidak adil. Munculnya fenomena Anji dan Hadi adalah dampak kekacauan dan disinformasi dalam penanganan corona di Indonesia. Mereka bisa dikategorikan sebagai korban. Badan kesehatan dunia WHO bahkan menyebutnya “penyakit” baru yang tidak kalah berbahaya itu dengan sebutan unik. Infodemic. Disinformasi, pengobatan palsu. Dalam sepekan terakhir, dua media asing berpengaruh The New York Times dan The Guardian menyoroti kekacauan penanganan Covid di Indonesia. Sikap pemerintah Indonesia dinilai meremehkan. Mendorong pengobatan palsu. Para pejabat pemerintah lebih percaya kepada obatan-obatan buatan dukun. Quack remedies, begitu Richard C Paddock dari New York Times menyebutnya. Kita tentu masih ingat, sebelum ditemukan pasien positif pada awal Maret, para petinggi negara sangat yakin bahwa Indonesia kebal dari Covid. Mereka malah menjadikannya sebagai bahan candaan. Menhub Budi Karya Sumadi yakin orang Indonesia kebal. Alasannya karena sering makan nasi kucing. Sejenis nasi bungkus murah yang banyak dijual di kota Yogyakarta. Budi akhirnya menjadi pejabat tinggi pertama yang kena Covid. Syukurlah kemudian dia berhasil sembuh. Menkes Terawan juga menyampaikan pesan sangat meremehkan soal masker. Menanggapi petanyaan wartawan soal mahalnya harga masker, Terawan malah menyalahkan masyarakat. Salah sendiri kenapa beli? Menurutnya yang harus menggunakan masker adalah mereka yang positiv covid. Bukan yang sehat. Dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi juga kedapatan tidak mengenakan masker dengan baik di ruang publik. Presiden Jokowi hanya mengenakan masker yang menutupi dagunya. Hidung dan mulutnya dibiarkan terbuka. Mentan Syahrul Yasin Limpo mengaku Litbang Departemen Pertanian menemukan kalung anti Covid. Kalung itu terbuat dari pohon ekaliptus, yang selama ini dikenal sebagai bahan minyak kayu putih. Syahrul sangat serius dengan temuannya itu. Dia berharap kalung itu jadi terobosan. Memutus mata rantai penyebaran Covid. Gubernur Bali Wayan Koster meyakini minuman tradisional arak Bali sebagai obat ampuh penyembuh covid. Dengan sangat pede dia mempromosikannya kepada Menko Marinvest Luhut Panjaitan dan Menteri Pariwisata Wisnutama. Koster berharap keampuhan Arak Bali bisa menjadikannya sebagai komoditi yang menembus pasar internasional. Lantas apa bedanya Syahrul dan Koster dengan Hadi Pranoto? Sama-sama mengaku menemukan obat anti virus. Soal kompetensi medis, ketiganya juga sama-sama tidak punya. Kalau dianggap menyesatkan publik, menyebarkan kabar bohong, bukankah dampaknya lebih berat yang dilakukan Syahrul dan Koster. Syahrul dan Koster pejabat publik. Punya pengaruh besar. Ucapan dan tindakannya mendapat coverage media yang sangat luas. Hadi hanya profesor abal. Begitu kedoknya terbongkar, ambyar semua bualannya. Orang tidak percaya. Penyanyi Dangdut Iis Dahlia pernah mengenakan kalung Syahrul dan membagikan infonya kepada 12 juta followernya. Dia mengaku merasa aman dan lebih terlindungi setelah mengenakan kalung itu. Penyanyi lawas Yuni Shara juga mengaku membentengi diri dengan mengenakan kalung ekaliptus ketika keluar rumah. Baik Iis dan Yuni menggunakan kosa kata yang sama. “Bangga menggunakan produk Indonesia.” Netizen menghubung-hubungkan pemakaian jimat anti corona itu setelah mereka sebelumnya bertemu Presiden Jokowi di istana. Jokowi mengundang para seleb untuk membantu sosialisasi penanganan corona. Jadi apa bedanya Anji dengan Is Dahlia dan Yuni Shara? Apa bedanya Hadi dengan Syahrul dan Koster. Lebih serius lagi pertanyaannya, “Apa bedanya Menkes Terawan sebagai figur yang harusnya paling bertanggung jawab dalam penanganan pandemi dengan Anji dan Hadi?” Terawan juga semula sangat meremehkan Covid. Menganggap kita tak perlu mengenakan masker. Dia juga sempat membagikan jamu kepada pasien pertama covid ketika sembuh. Terawan merayakannya sambil memberi bingkisan jamu yang katanya biasa diminum Presiden Jokowi. Inilah yang disebut oleh the Guardian "Negara dengan dampak terparah di Asia Tenggara terhambat oleh kurangnya pengujian, buruknya komunikasi dari pemerintah, dan promosi obat palsu.” Sementara The New York Times menyebut penggunaan pengobatan palsu justru didorong oleh mereka yang seharusnya tahu lebih baik. Maksudnya tentu para pejabat pemerintah. Kalau Anji dan Hadi harus dipenjara, bagaimana dengan Terawan, Syahrul dan Koster? Kalau publik harus didisiplinkan dan didenda bila tidak mengenakan masker di area publik, bagaimana dengan Presiden Jokowi? Dia sering mengenakan masker yang tak sesuai standard. Tidak proper. Hanya jadi asesoris. Bukankah negara kita negara hukum. Ada persamaan di mata hukum. Equality before the law. Ayolah Berlaku Adil. Pepatah mengajarkan. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Lha ini para pejabat yang harus jadi teladan, bukan lagi kencing berdiri. Mereka sudah kencing sambil berlari. Terus rakyatnya disuruh kencing gaya apa? End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Caligula…………
by Zainal Bintang “Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana, dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu. Untuk itu senantiasa ada, dan hidup dalam nafas atas kita, satiap kali aroma ketidakadilan menyebarkan bau yang tidak sedap. Bersumber dari kekuasaan yang menghalau kontrol, menyingkirkan sikap krtis, dan marampas sumber mata air demokrasi dari tangan alam ini. Alam kemerdekaan berpendapat beda dan berbeda pendapat”, (Albert Camus). Jakarta FNN – Rabu (02/08). Hari Minggu pagi, 02 Agustus pukul 10.13 WIB, saya menerima postingan dari Ilham Bintang (Ketua Dewan Kehormatan PWI) yang berjudul “Caligula”. Dimulai dengan tulisan begini, “…barusan nonton lagi film cerita jadul yang mengisahkan kiprah Caligula, Kaisar Romawi (Tahun 37 - 41 M). Kaisar paling buruk dan kacau dalam sejarah Romawi. Demi melanggengkan kekuasaan, dia labrak seluruh tatanan masyarakat Rowawi masa itu…dst..dst.. Mendengar kata “Caligula” ingatan melayang ke tahun 1970. Ketika itu di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Jakarta, sedang dipentaskan drama “Caligula” dari 13 – 15 Januari 1970. Saya sempat menontonnya. Dimainkan oleh grup “Teater Kecil” pimpinan sutradara dan sastrawan papan atas Indonesia, Arifin. C.Noer. Saya mengenal dekat Arifien C. Noer. Pada tahun 70-an dia bolak balik ke Makassar melakukan riset mengenai adat istiadat orang Bugis-Makassar. Dia yang menulis skenario film “Sanrego” produksi Alam Film Makassar. Film yang berlatar belakang kultur Bugis-Makassar yang berprofesi sebagai bajak laut itu. Dibintangi WD. Mochtar dan Rakhmat Hidayat. “Caligula” adalah sebuah reportoar (lakon drama) kelas dunia karya Alber Camus. Diterjemahkan Asrul Sani. Tokoh sastrawan Indonesia pendiri Akademi Teater Indonesia (ATNI) itu, telah melahikran banyak aktor besar Indonesia, baik di pentas teater maupun di perfilman. Sebutlah aktor Soekarno M.Noer dan adiknya Ismet Noer. Ada nama Pietradjaya Burnama, Wahab Abdi. Kalangan sutradara teater dan film ada Wahyu Sihombing dan Teguh Karya dan lain lain. “Caligula” bercerita tentang seorang kaisar muda yang memerintah Roma dengan ambisi dan obsesi di luar akal manusia. Karena ambisinya, ia mengorbankan semua yang dimilikinya, termasuk orang-orang Roma, bahkan kekasihnya sendiri Drusilla, yang juga adalah saudara perempuannya yang diperisterikannya. “Caligula” adalah kaisar ketiga Roma. Dinobatkan pada musim semi tahun 37. Pada masa tujuh bulan pertama pemerintahannya, dia merupakan teladan dari hidup sederhana. Dia meyakinkan senat bahwa akan mematuhi nasehat mereka. Bahwa dirinya adalah hamba mereka. Seringkali mengadakan perjamuan-perjamuan besar bagi umum. Bersikap akomodatif terhadap para penentangnya. Pada waktu akhir musim gugur, tiba-tiba dia terserang penyakit “aneh” . Dan ketika telah sembuh sifatnya berubah total. Sebagian besar kerabatnya di Istana maupun rakyatnya menganggapnya sudah "gila". Tanda-tanda kegilaan “Caligula” misalnya, ketika memutuskan mengawini Drusilla adik kandungnya sendiri tanpa merasa berdosa. Sang kaisar bejat ini, suka mengambil paksa pengantin – pengantin wanita dari suaminya dan meniduri mereka. Memerintahkan orang-orang untuk mengangkat kuda kesayangannya yang bernama Incitatus untuk menjadi imam di kuil. Gemar menyebar teror. Tiba-tiba di dalam suatu jamuan makan di Istana, “Caligula” beteriak lantang , “aku sedang berpikir bahwa hanya dengan satu anggukan kepala, aku dapat menitahkan leher kalian digorok”. Hadirin langsung senyap. Sipir penjara diperintahkan mengeksekusi tahanan yang botak, kemudian dicincang-cincang sebagai makanan hewan-hewan yang ada di kebun binatang. Ketika itu sejumlah kebun binatang kehabisan persediaan daging lantaran pemerintah kesulitan keuangan akibat “Caligula” berfoya-foya. Sampai suatu hari, ada pemberontakan yang tidak tahan dengan kekejamannya. Mereka merencanakan untuk melenyapkan sang kaisar. Di akhir cerita, “Caligula” meninggal di tangan pemberontak. Albert Camus lahir di Mondovi (sekarang Deraan), Aljazair, 7 November 1913. Meninggal dunia pada umur 46 tahun dalam sebuah kecelakaan mobil di Villeblevin pada 5 Januari 1960. Camus adalah penulis dan filsuf Perancis yang terkenal dengan karya – kayanya yang absurd. Perkenalan saya yang lebih intens dengan jalan fikiran Albert Camus serta beberapa sastrawan dunia seperti Ionesco, Sartre, Anton Chekov dan Bertold Brecht atau Sophocles yang terkenal dengan trilogi Oedipus Rex dan lain-lain. Perkenalan dengan beberapa sastrawan dunia, bersumber dari pergaulan saya yang bertahun-tahun dengan tokoh-tokoh sastrawan Indonesia. Termasuk dengan Umar Kayam, WS Rendra, Putu Wijaya, Taufik Ismail dan Salim Said untuk menyebut beberapa nama. Umar Kayam pernah bertugas beberapa tahun di Makassar. Setiap hari kami bertemu dan berdiskusi berjam-jam di TIM siang dan malam. Kami berdiskusi masalah sastra pada kurun waktu yang lama. Bertahun-tahun. Aapalagi diskusi kami, didukung dengan tersedianya buku-buku dan literatur berkelas dunia di Perpustakaan HB. Jassin di komplek kesenian Jakarta tersebut. Berbagai analisis dan ulasan tentang Camus yang bertebaran di media mainstream Indonesia menyebutkan, bahwa menurut Camus, hidup manusia itu absurd. Absurd adalah sesuatu yang dianggap yang tidak masuk akal. Bahkan konyol. Letak absurditasnya adalah, karena di satu sisi manusia hidup mengarah atau menuju pada masa depan. Sementara di sisi lain, masa depan itu makin mendekatkan manusia pada kematian. Menghadapi absurditas itu, manusia sering kali melakukan kompensasi mencoba melarikan diri, dengan jalan memusatkan perhatian pada agama tertentu atau ideologi tertentu atau bahkan bunuh diri. Namun demikian, tindakan menyibukkan diri ke dalam agama atau ideologi maupun melakukan bunuh diri ditolak oleh Camus sebagai jalan keluar dari absurditas hidup manusia. Jalan keluar yang tegas baginya, adalah dengan melakukan pemberontakan atas hidup (revolt). Maksudnya, ketika menghadapi hidup, manusia harus berani. Manusia tidak boleh lari dari konflik. Tapi harus berani hidup bersama konflik! Tidak perlu takut pada bahaya kematian yang bisa datang setiap saat tanpa diketahui. Melalui karyanya “Caligula”, Camus menggambarkan bahwa manusia mati tidak bahagia dan hidup mereka tidak berarti. “Caligula” memberontak menentang ide ini. Dia memilih tindakan pembunuhan dan kekejaman untuk menegakkan ketertiban dan kontrol atas hidupnya. Camus menerbitkan karyanya ini pada tahun 1944. Namun diceritakan, dalam salah satu karyanya, Camus mengajukan sebuah epilog di ujung lakon ini dengan mengatakan, “Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu, jika engkau memiliki hati, jika engkau mencintai kehidupan, kau akan mendapati kekuasaan itu tidak terkendali, monster atau malaikat yang kau bawa itu akan masuk ke dalam dirimu. Waktu kita sangat ingin percaya pada nilai dan benda bisa menjadi indah dan berhenti menjadi tidak masuk akal. Selamat tinggal, saya akan kembali ke sejarah dan di sana, saya sudah dikurung begitu lama sehingga mereka takut untuk terlalu mencintai “. “…Alangkah berat, alangkah pedihnya upacara untuk menjadi manusia ini”, kata “Caligula.” Dengan luapan marahnya dia berucap lirih, “Aku mau menyemarakkan kejahatan dengan kebaikan, aku mau memeras tawa dari kesakitan.” Selain menciptakan maha karya “Caligula”, Camus juga melahirkan beberapa novel yang sangat kesohor ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Paling tidak ada empat yang bisa disebutkan, seperti Ke Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus), L’Etranger (Orang Asing), Le Malentendu (Kesalahpahaman) dan Novelnya berjudul (Prancis: La Peste) dikarang tahun 1947, dan memperoleh hadiah nobel pada tahun 1957. Dalam bahasa Inggris novel La Peste dikenal dengan nama ''The Plague''. Diterjemahkan oleh NH Dini pada 1985 dengan judul “Sampar”. Diterbitkan Yayasan Obor Jakarta. Tentu masih ada lagi karya-karya hebat lainnya. Seperti kumpulan esainya yang berjudul “Perlawanan, Pemberontakan, dan Kematian” atau Resistance, Rebellion, and Death. Tema utama dari cerita-cerita tersebut adalah kesendirian manusia, perasaan asing dan terisolasi dalam masyarakatnya sendiri. Akhirnya, sayapun sulit menjawab menjawab pesan WhatsApp dari teman-teman yang bergerak di luar lingkar kekuasaan. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Gerindra Dan Prilaku Nepotisme
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (05/08). Banyak yang menggeleng-geleng kepala melihat perkembangan Gerindra sekarang ini. Awalnya banyak yang melihat prospek ke depan yang cerah bagi partai ini. Karena pandangan Partai Gerindra politik yang kritis dan korektif. Tapi lama-kelamaan pengagum atau pengharap mulai kehilangan respek. Terasa sia-sia dahulu mendukung Ketua Umum Partai Gerindra untuk menjadi Presiden. Ketua Umum dan partai semakin loyo saja terhadap berbagai permasalahan rakyat dan bangs belakangan ini. Untung saja tidak terpilih menjadi Presiden. Bahkank ada yang menyatakan syukur, karena Prabowo tidak terpilih menjadi Presiden. Jangan-jangan kalau menjadi Presiden, bisa lebih parah dari yang sekarang. Rakyat yang tadinya bersemangat berharap adanya perubahan ke arah yang lebih baik, ternyata tak bisa menggantungkan harapan itu. Di Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) Gerindra senyap suara. Tragisnya, di Badan Legislasi DPR, Gerindra malah menyetujui usulan RUU gila ini untuk dibahas bersama-sama dengan pemerintah. Belakangan setelah umat Islam melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah beserta 200 lebih Ormas Islam menyatakan penolakan, barulah Gerindra ikut-ikutan menyatakan penolakan. Partai Gerindra tidak ada pembelaan kepada rakyat yang gelisah oleh permainan acak ideologi oleh partai pengusung RUU HIP. Umat berteriak keras akan bahaya dan ancaman terhadap dasar dan ideologi negara Pancasila. Gerindra seperti diam dan nyaman-nyaman saja. Yang lebih menyakitkan umat Islam adalah sang Ketua Umum ikut-ikutan mengantar lembaran busuk RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai pengganti RUU HIP. Konyol memang karena seperti tidak membaca konstelasi keumatan. Padahal Kongres Umat Islam telah menyatakan sikap, agar lembaga BPIP dibubarkan saja. Habis-habiskan anggaran, namun tidak jelas apa kerjanya BPIP. Pada Pilkada Desember 2020 nanti, lagi lagi Gerindra berperilaku aneh. Kasarnya menjilat yang tidak perlu dijilat. Anak Presiden didukung untuk menjadi calon Walikota Solo. Menantu Presiden juga didukung untuk menjadi Calon Walikota Medan. Besan Presiden didukung untuk menjadi Bupati Tapanuli Selatan (Tampsel). Anak Wakil Presiden didukung untuk menjadi calon Walikota Tengerang Selatan. Anak Sekretaris Kabinet didukung maju di Pilkada. Sebagai hak politik, hal demikian adalah sah-sah saja. Tetapi ini merupakan dukungan menuju pengabsahan nepotisme. Kultur yang diwanti-wanti oleh Tap MPR No. XI/MPR/ 1998 dan Tap MPR No. VIII/MPR/2001 sebagai perbuatan yang harus dihindari. Bahkan harus diberantas. Bukan malah mendukung, atau menjadi penyokong prilaku politik nepotisme. Pendukung benih nepotisme tentu bukan hanya Gerindra. Tetapi Gerindra patut disorot mengingat Ketua Umumnya adalah Calon Presiden yang mendapat dukungan jutaan suara, yang berharap memiliki pemimpin yang berintegritas dan mandiri. Pemimpin yang membasti nepotisme dalam segala aspek kehidupan berbagngsa dan bernegara. Sayangnya Geridra kini sangat pragmatisme. Kalkulasi politik, mungkin juga apologi demi strategi, maka para pemeran sandiwara politik lebih suka mempermainkan perasaan hati rakyat. Sekedar untuk mendapatkan sejumput keuntungan bagi kelompok atau partai. Lagi pula Pemilu waktunya masih lama. Bukankah Parpol itu membutuhkan dukungan rakyat hanya di saat Pemilu? Nepotisme harus diberantas, jika negara ingin kuat dan bersih. Nepotisme ada dalam satu nafas dengan Kolusi dan Korupsi (KKN). Penyelenggara negara mesti memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan KKN. Jika komitmen itu sudah hilang, maka baiknya Ketetapan MPR atau peraturan perundang-undangan yang ada dibuang saja ke bak dan tong sampah. Rakyat sudah semakin muak pada karakter pemerintahan yang didukung partai-partai politik yang sudah tidak menperdulikan aturan aturan hukum. Silahkan ber-KKN dengan bebas dan leluasa sesuka hati. Tidak peduli pada pandangan luar selain dari diri, kelompok, dan partainya. Mengelola negara seperti miliknya sendiri. Kekuasaan adalah aku--l'etat cest moi. Sebaiknya Gerindra introspeksi dan evaluasi atas langkah yang menenggelamkan diri itu. Hukum politik selalu ada "reward" dan "punishment". Jangan abaikan dan persetankan suara rakyat. Kekuasaan dan jabatan itu tidak abadi. Pada akhirnya akan berakhir juga. Tentu semua sudah sangat tahu akan hal itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Salah Sasaran, Serangan Saifudin Hakim ke Profesor Sukardi!
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Rabu (05 Agustus 2020). Nama dr. Mohamad Saifudin Hakim, MSc, PhD menjadi viral sejak wawancara Erdian Anji Prihartanto, penyanyi yang akrab dipanggil Anji, dengan klaim Hadi Pranoto yang disebut dalam kanal Youtube-nya sebagai penemu Antibodi Covid-19. Mengutip Kompas.com, Minggu (02/08/2020, 18:50 WIB), dalam video itu, Hadi Pranoto memperkenalkan diri sebagai profesor sekaligus Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19. Ia menyebutkan bahwa cairan Antibodi Covid-19 yang ditemukannya bisa menyembuhkan ribuan pasien Covid-19. Cairan antibodi Covid-19 tersebut diklaim telah didistribusikan di Pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan. Melansir Tempo.co, Minggu (Minggu, 2 Agustus 2020 21:01 WIB), para dokter spesialis seperti Pandu Riono, Jaka Pradipta, Aris Ramdhani, dan Ferdiriza Hamzah mengungkapkan kegusarannya kepada Anji di Twitter mereka, Ahad, 2 Agustus 2020. Mereka pun merespons konten Anji berjudul Bisa Kembali Normal? Obat Covid-19 Sudah Ditemukan!! yang tayang di kanal Youtube-nya, Jumat, 31 Juli 2020. Aris Ramdhani, dokter spesialis bedah umum, misalnya menyatakan perbuatan Anji dengan menghadirkan narasumber yang tidak jelas latar jelas keilmuwannya tapi mengklaim telah menemukan obat, sangat membahayakan. Yang tak kalah serunya adalah reaksi Saifudin Hakim. Kalau dalam tulisan awalnya lebih mempertanyakan “kepakaran mikrobiologi” Hadi Pranoto, pada tulisan berikutnya justru terkesan “menyerang” kepakaran “Profesor Ainul Fatah”. Tampaknya, pria kelahiran Rembang, 22 Februari 1985, ini mulai sadar bahwa penyebutan Prof Ainul Fatah alias Prof Sukardi sebagai ahli mikrobiologi ternyata salah. Dari googling yang dia lakukan, ternyata Prof Sukardi itu ahli mikro kultur bakteriologi. Dosen dan juga peneliti virus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM Jogjakarta itu kali ini benar-benar blejeti Formulator Probiotik Siklus yang formulanya memang benar-benar bisa disebut sebagai Revolusi Kesehatan. Terlebih di saat dunia kini dilanda Virus Corona atau Covid-19 yang belum juga ditemukan vaksinnya. Untuk Mas Dokter Hakim – saya panggil demikian saja supaya akrab – dari yang saya baca, Prof AF tidak pernah klaim sebagai penemu Antibodi Covid-19. Kalau kemudian ada yang klaim sebagai penemu, itu di luar tanggung jawab Prof AF. Yang menjadi pertanyaan sekarang ini, mengapa Mas Dokter Hakim mengalihkan “serangan” ke Prof AF? Ayolah bersikap sebagai profesional peneliti muda jenius yang pinter. Dari catatan yang saya baca, Anda termasuk dosen dan dokter yang pinter. Terbukti, Anda 2 kali mendapat beasiswa. Beasiswa LPDP, Erasmus University Rotterdam (2014). Beasiswa Luar Negeri DIKTI, Erasmus University Rotterdam (2011). Undergraduate, Bachelor Degree (S.Ked), Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, 08/2003 - 01/2007 Thesis : Faktor risiko anemia saat persalinan pada ibu hamil di daerah endemik malaria, Jepara, Jawa Tengah . Undergraduate, Medical Doctor (MD), Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, 05/2007 - 01/2009 Thesis : Faktor risiko anemia saat persalinan pada ibu hamil di daerah endemik malaria, Jepara, Jawa Tengah. Master, Infection and Immunity, Erasmus University Rotterdam, Belanda, 08/2011 - 08/2013 Thesis : Inhibitory receptor molecules in chronic hepatitis B and C infections. Doctor, Virology and Immunology, Erasmus University Rotterdam, Belanda, 10/2014 - 09/2018 Thesis : Hepatic and Enteric Viral Infections: Molecular epidemiology, immunity and antiviral therapy. Namun, sayangnya, Mas Dokter Hakim sedikit terjebak dengan pola “sesat pikir”. Mungkin karena Anda merasa lebih pinter dan unggul – karena sering nulis di berbagai jurnal ilmiah dan sebagainya – sehingga dengan mudah mem-bully seorang AF. Siapakah sebenarnya “Profesor Ainul Fatah” (PROF. DR. AINUL FATAH) alias "Sukardi", yang meng-klaim dirinya sebagai "professor ahli kultur mikrobakteriologi"? Dan juga “penemu” obat anti-covid-19? “Dongeng” tentang ini terpusat pada, a so called “genius professor”, misterius, tapi di saat yang sama “terkenal” di dunia, bernama Prof. Dr. Ainul Fatah alias Sukardi. Saya sendiri pernah bertemu dengan beliau ini di Suncity Hotel, Sidoarjo, sekitar bulan April 2019 dalam sebuah seminar yg diselenggarakan oleh komunitas mereka. Saya sendiri memberanikan diri mendaftar atas bantuan seorang teman yang juga membiayai perjalanan saya dari Jogja-Surabaya pp dengan kereta. (Rasanya deg-degan saat itu meskipun saya mendaftar secara resmi, di kereta juga sulit tidur) Sosoknya sendiri digambarkan sebagai sosok misterius. Ketika dia hadir di lokasi seminar, pembawa acara berkali2 mengingatkan untuk tidak boleh mengambil gambar (foto beliau). Apalagi merekam dengan video. Saya sendiri berhasil memfoto beliau secara sembunyi2 (supaya tidak ketahuan panitia) ketika itu. Dia disebut sebagai “formulator”. Beliau ini digambarkan sebagai “aset negara”, keluar rumah pun ada pengawalnya de el el. Pokoknya melebihi pejabat lah. Sosok ini digambarkan kurang lebih seperti ini, di berbagai website: https://m.facebook.com/photo.php?fbid=330080957733416&id=100021945434609&set=a.115187722556075&source=57 Siapa saja yang sudah malang melintang di dunia akademisi (sains) dan riset, mengenali kejanggalan-kejanggalan seperti ini sangat mudah. Namun bagi orang awam, mungkin harus djelaskan terlebih dahulu. Kita bahas satu per satu kejanggalan-kejanggalan sosok ini. 1. Kultur Mikrobakteriologi atau Mikrokultur bakteriologi. Ini adalah taktik untuk mengelabuhi orang awam. Sebagaimana Vicky Prasetyo menciptakan istilah-istilah aneh dengan menggabungkan kata-kata yang seolah berhubungan. Mikrobakteriologi? Mikro-bakterio-logi → Mikro - Bakteri - Logos? Ilmu ttg bakteri mikro? Semua bakteri itu termasuk microbes. Microbes adalah organisme yang terlalu kecil untuk dilihat dengan mata telanjang. Mayoritas bakteri tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Mikrobakteriologi? Apakah ada bidang "Makrobakteriologi"? TIDAK ADA. Saya sengaja tidak mengutip point selanjutnya (sampai 5 point) karena rasanya tidak terlalu penting untuk dikomentari. Mungkin Mas Dokter Hakim perlu saya kutipkan komentar dari seorang dokter senior yang mengkritisi tulisan panjenengan itu. Waduh... Nih orang (yang bantah) ilmunya juga masih cetek sebetulnya. Saya dulu juga sangat heran dengan istilah2 yang ada. Sadar pemahaman saya yang masih super dangkal, lalu saya browsing2. Nah ketemu istilah Mikrobakteri, yakni bakteri yang hanya bisa terlihat dengan mikroskop elektron dengan pembesaran di atas 1.000 kali. So.. Mikrobakteri/Mikrobakteriologi itu bukan istilah yang mengada-ada. Poin ini aja doi dah kelihatan ceteknya... Jadi males bahas poin lainnya. Mungkin Mas Dokter Hakim tidak tahu kalau sekarang ini justru sudah banyak dokter yang mulai mengenal “ilmu baru” yang disampaikan Prof AF. Termasuk tenaga medis lainnya. Di sini Mas Dokter Hakim perlu telisik siapa saja mereka ini. Jangan sampai sampeyan ketinggalan kereta hanya karena “sesat pikir”, merasa lebih pinter dan unggul dari seorang AF. Seperti yang Anda bilang, “kultur bakteri, bukan cabang spesifik di bidang mikrobiologi”. (ttps://www.hopkinsmedicine.org/microbiology/services/BACTERIOLOGY/culture/index.html). Dari sini saja Anda kemarin tidak cermat dan kurang teliti ketika googling nama Prof AF sebagai ahli mikrobiologi seperti keahlian Mas Dokter Hakim. First, who has the authority to make a list of so-called “ahli”? One thing in common dari sesiapa pun yang dianggap “ahli” oleh publik adalah mereka PUNYA TRACK RECORD PENELITIAN. Apalagi ini seseorang dengan gelar “Profesor”. (Wow banget kan?) Mari kita cari di database penelitian ilmiah pubmed -bisa dicoba untuk kroscek kalau ada yang mengaku-aku ahli lainnya-. TIDAK ADA record penelitian atas nama “Ainul Fatah”. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=ainul+fatah. Mengapa Mas Dokter Hakim tidak menemukan satu pun artikel atau publikasi ilmiah hasil penelitian Prof AF? Karena yang saya tahu, catatan ilmiah yang Anda minta itu ada dalam otaknya. Dia tidak pernah merekan dalam bentuk catatan. Yang mencatatnya selama ini ya “murid-murid” Prof AF yang setia belajar “ilmu baru” yang disampaikan Prof AF itu: Probiotik Siklus/Komunitas! *** Penulis adalah wartawan senior.
UU Korona Nomor 2/2020, Magaskandal BLBI Terulang Lagi
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Rabu (05/08). Salah satu ketentuan yang berpotensi merugikan rakyat dalam UU Korona Nomor 2/2020. Terutama aturan tentang perubahan kewenangan Bank Indonesia (BI). Pada pasal 16 ayat (1) UU Korona antara lain memberi BI kewenangan untuk memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik Selian itu, BI diberi kewenangan untuk memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas. Juga yang tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan Komite Stabilitas Sistim Keangan (KSSK). BI juga diberi kewenangan untuk membeli/repo surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dan bank selain Bank Sistemik. Ketentuan Pasal 16 (1) UU Korona membuka peluang terjadinya penyelamatan sektor keuangan melalui skema pemberian dana talangan atau bail-out oleh negara. Kebijakan seperti ini tentu tidak adil bagi seluruh rakyat. Segelintir orang atau pemilik bank yang memperoleh bantuan khusus dari negara atas nama penyelamatan sektor keuangan. Padahal kondisi mayoritas rakyat sedang menderita. Masyarakat yang justru jauh lebih layak untuk memperoleh bantuan dari negara. Apalagi jika bank-bank tersebut bermasalah akibat berbagai pelanggaran aturan dan prilaku moral hazard dari para pemiliknya. Di sisi lain, guna menyelamatkan sektor keuangan yang diakui dapat berdampak sistemik, tersedia mekanisme lebih adil, yaitu melalui skema bail-in. Dalam skema bail-in, pemegang saham atau group bisnis dalam suatu konglomerasi dapat saling bantu menyelamatkan sektor bisnis yang bermasalah. Ketentuan tentang mekanisme bail-in ini pun telah diatur dalam UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Para pemilik bank yang umumnya konglomerat tersebut, berbisnis dibanyak sektor. Mereka akan mampu dan berkeadilan menerapkan skema bail-in. Namun langkah ini ternyata diabaikan oleh pemerintah. Padahal Skema bail-out berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang menimbulkan biaya sangat besar bagi negara. Megaskandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesis (BLBI) akibat krisis ekonomi 1997-1998 telah membuat negara menanggung beban utang Rp. 640.9 triliun. Utang itu, terdiri dari BLBI Rp. 144,5 triliun, program penjaminan Rp. 53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp. 20 triliun dan obligasi rekap perbankan Rp. 422,6 triliun. Beban negara ini harus ditanggung rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan hingga sekarang. Ternyata sebagian besar pengusaha dan konglomerat penikmat kebijakan zolim fasilitas BLBI (termasuk obligasi rekap) saat ini bukan saja survive, tetapi bahkan tumbuh jauh lebih besar. Posisi mereka sebagai bagian dari oligarki kekuasaan tetap memperoleh berbabagi fasilitas. Mereka juga mendapatkan hak istimewa dari pemerintah seperti yang terjadi sebelumnya. Mereka para konglomerat itu dapat menguasai dan mencengkeram di berbagai sektor ekonomi dan keuangan nasional. Bahkan sebagian konglomerat telah merambah sektor sosial dan politik. Sehingga tidak mengherankan, bila mereka dapat mempengaruhi pembuatan aneka kebijakan, undang-undang dan peraturan pro oligarki, seperti UU Korona Nomor 2/2020. Kombinasi sejumlah ketentuan dalam UU Korona Nomor 2/2020, yakni Pasal 16 terkait bail-out, Pasal 20 tentang peran LPS, Pasal 22 tentang penjaminan dan Pasal 28 terkait eliminasi ketentuan dalam 12 UU yang berlaku, akan berpotensi merlahirkan kebijakan penjaminan penuh simpanan nasabah kaya (blanket guarantee). Disamping tidak adil, berbagai ketentuan tersebut berpotensi memunculkan moral hazard, termasuk oleh pejabat negara, sehingga dapat mengulangi megaskandal BLBI. Pada Pasal 20 UU Korona Nomor 2/2020, LPS diberikan kewenangan merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan pada Pasal 22 disebutkan guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan yang diatur dalam undang-undang tentang LPS. Dengan skema penjaminan penuh (full guarantee), maka simpanan konglomerat di perbankan seluruhnya dijamin pemerintah yang berpotensi moral hazard. Menurut BPK, tindakan moral hazard penguasa, pengusaha dan konglomerat yang mengkorupsi uang negara pada megaskandal BLBI dilakukan dalam berbagai modus. Laporan BPK No.06/VII/2000 menyimpulkan terjadi berbagai tindak pidana, sehingga para pelakunya harus diproses secara hukum, dengan pelanggaran sebagai berikut: Penggunaan BLBI diluar kepentingan yang telah ditentukan (yaitu untuk pembayaran dana nasabah), seperti untuk melunasi pinjaman dan kewajiban pembayaran yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, membayar utang kepada kelompok usahanya sendiri, transaksi surat berharga, melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam bentuk aktiva tetap, dan membiayai overhead (biaya operasional bank). Total penyimpangan yang terjadi adalah senilai Rp 84,84 triliun) atau 58,70% dari jumlah BLBI yang dikucurkan per 29 Januari 1999 (sebesarRp 144,5 triliun); Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), yaitu nilai maksimum kredit yang dapat dikucurkan perbankan pada kelompok usaha sendiri. Pelanggaran BMPK sesuai dengan pasal 49 ayat (2) jo pasal 50 jo pasal 50 A UU No 10 Tahun 1998, merupakan tindak pidana yang harus diproses hukum; Pemberian fasilitas oleh BI yang mengizinkan perbankan untuk tetap mengikuti proses kliring walaupun rekening gironya di BI telah bersaldo negatif. Penggelembungan nilai aset oleh para obligor BLBI untuk menutupi kewajiban yang harus dilunasi dalam skema pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Salim Group, misalnya, menyatakan nilai seluruh aset yang diserahkan pada 1998 adalah Rp 52 triliun (hal ini diterima oleh konsultan BPPN, yakni Lehman Brothers, PT Danareksa, dan PT Bahana tanpa financial due diligence lebih dulu). Namun, audit PricewaterhouseCoopers pada 2000 ternyata menemukan nilai aset Salim hanya berkisar Rp 12 triliun – Rp 20 triliun. Temuan BPK di atas menunjukkan tindakan moral hazard dalam megaskandal BLBI, di samping oleh para konglomerat, juga dilakukan pejabat negara baik di BI maupun lembaga terkait lain. BPK juga menemukan berbagai pelanggaran oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai berikut: Mengonversi BLBI bank-bank take-over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS); Mengalihkan utang ke bank pemegang saham pengendali melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS), dengan menandatangani APU; Memerankan diri sebagai agen dari pihak penerima bantuan dari pada sebagai wakil pemerintah yang berhak menarik bantuan likuiditas yang telah diberikan; Aset yang dibayarkan berdasar pengakuan penerima BLBI jauh di atas nilai berlaku. Salah satu contoh, aset tambak udang Dipasena, Lampung milik Sjamsul Nursalim diserahkan kepada BPPN dengan nilai Rp 20 triliun. Padahal menurut perhitungan Menko Ekiun masa itu, Kwik Kian Gie, nilai pasar tambak Dipasena hanya Rp 2 triliun Dalam menjual aset yang dibayarkan penerima bantuan dalam rangka mengonversi aktiva tetap menjadi uang kas kerap jauh di bawah nilai pasar. Kasus BLBI merupakan megaskandal karena menyangkut jumlah dana sangat besar, Rp. 640 triliun. Para konglomerat penerima BLBI masa orde baru menguasai perekonomian nasional dari hulu sampai hilir. Ternyata saat ini, dominasi mereka bukan hanya pada sektor ekonomi dan keuangan, tetapi juga merambah hampir seluruh aspek kehidupan bangsa. Kalau dulu mereka hanya berhasil mempengaruhi pemerintahan Megawati untuk menerbitkan Inpres Nomor 8/2002 agar bebas pidana. Namun pada pemerintahan Jokowi ini, cengekraman mereka semakin kuat. Sehingga mampu dan berperan dalam pembentukan UU Korona Nomor 2/2020, yang berpotensi lebih menyengsarakan rakyat. Akibat megaskandal BLBI yang membuat besarnya beban utang yang ditanggung oleh negara. Untuk membayar bunga utang, maka setiap tahun pemerintah harus mengurangi beberapa pos anggaran untuk aspek-aspek mendasar kehidupan rakyat. Pengurangan tersebut termasuk untuk sektor pendidikan dan kesehatan, yang dibutuhkan oleh masyarakat. Akibatnya, program pos pelayanan terpadu menghilang. Biaya berobat naik. Biaya pendidikan juga naik, dan harga-harga barang/jasa ikuat naik. Meskipun mungkin terdapat perdebatan atas terjadinya penurunan anggaran kesejahteraan publik di tingkat makro, namun kian beratnya beban hidup menjadikan puluhan juta rakyat tetap hidup susah dan miskin. Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah menegakkan hukum dan keadilan terhadap para koruptor BLBI. Minimal sebagian aset mereka harus disita untuk didistribusikan kepada rakyat melalui mekanisme APBN. Namun, dengan ditetapkannya UU Korona Nomor 2/2020, kebijakan dan aturan tersebut bukan saja mengulang kesalahan dan kejahatan yang sarat moral hazard pada masa lalu. Namun kebijakan pemerintah semakin terlihat memihak kepada konglomerat. Kebijakan ini akan menambah kesengsaraan rakyat dan jumlah orang miskin itu sendiri. Bahkan, menurut CORE, pada kuartal-2 tahun 2020, akibat pendemi korona, penduduk miskin Indonesia akan bertambah sesuai skenario moderat 5,1 juta hingga sangat berat 12,2 juta jiwa. Dengan demikian, pada akhir 2020 nanti, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan diperkirakan mencapai 37,9 juta jiwa (14,35%). Situasi akan semakin parah jika anggaran perlindungan sosial lebih rendah dibanding dengan anggaran pemulihan ekonomi yang ditengarai sangat pro kepada pengusaha. Sama seperti pada megaskandal BLBI dulu. Karena itu, Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) telah menggugat UU Korona No.2/2020 ke Mahkamah Konstitusi. Rakyat pun harus bangkit menolak UU pro oligarki tersebut. Penulis adalah Kordinator Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK).
Moral Politik dan Arah Perjuangan
by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Rabu (05/08). Rizal Ramli melalui media konfrontasi online memberi pesan tentang moral politik dan ketika puluhan tokoh-tokoh bangsa yang berkumpul merencanakan deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) . Tulisan tentang "Moral Politik" itu sesuai dengan pesan Rizal Ramli kepada saya sebagai syarat bergabungnya beliau dalam perjuangan bersama koalisi KAMI. Bergabungnya Rizal Ramli itu, baik tentang renacana kehadirannya pada acara tanggal 2 Agustus lalu, maupun selanjutnya. Lantas apa itu moral politik? Pertanyaan ini menjadi penting, karena syarat kesamaan moral politik dari tokoh Rizal Ramli adalah syarat mutlak. Olehkarenanya kita harus membedah dan memahaminya secara bersama. Pada tahun 1992, ketika saya direkrut Adi Sasono, tokoh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bekerja untuknya, dia menanyakan tentang moral politik pada saya. Sambil menyupiri mobil mercy tua dari Bandung ke Jakarta, Adi yang adalah cucu Mumammad Roem, tokoh perundingan Roem-Roijen untuk pengakuan kemerdekaan Indonesia di The Hague, meminta jawaban saya. Standar pengetahuan saya yang apolitis ketika itu mengatakan bahwa, moral adalah kelakuan asusila. Menjaga moral adalah menghindari perbuatan asusila, seperti berbuat zina, minum alkohol, mencuri dan sejenisnya. Namun, Adi membantah. Menurutnya orang-orang tidak bermoral adalah aktifis-aktifis yang berburu sekolah keluar negeri. Mereka juga merasa paling tahu Indonesia. Padahal aktifis-aktifis di Indonesia tersiksa oleh kebengisan rezim Soeharto. Di masa setelahnya, saya baru bisa mengerti apa yang disebutkan Adi Sasono saat itu adalah pernyataan kontekstual. Konteksnya pertama, Adi ingin menghibur saya yang dipecat dan dipenjara orde baru karena anti Suharto. Kedua, memang para aktifis yang tidak memburu sekolah ke luar negeri dengan bea siswa asing lebih nasionalis dan berani tahan banting melawan Suharto. Ketiga, aktifis-aktifis mahasiswa yang disekolahkan asing ke Amerika, Australia dan barat lainnya saat itu berubah dari kelompok perlawanan menjadi pengamat atau konsultan berbayar mahal. Sehingga pada saat Adi Sasono menjadi menteri Koperasi di masa pemerintahan Habibie, saya meminta ijin padanya untuk mendapatkan rumah di Kompleks Koperasi di sekitar Cububur. Permintaan itu saya lakukan karena seorang staf ahli menteri mengatakan bahwa asal ada ijin dari menteri, maka saya akan mendapatkan satu rumah gratis. Dan tentu saya ingin memiliki rumah, karena saat itu masih ngontrak. Tragisnyaa, Adi Sasono bukannya menyetujui, malah dia membentak saya. Menurutnya pekerjaan politik saya adalah menggalang rakyat, dan khususnya ke Aceh yang bergolak. Bukan mencari materi dalam perjuangan. Alhasil selama Adi Sasono menteri Koperasi, saya tidak membawa sama sekali penghasilan yang bisa ditabung dan rumah masih mengontrak. Begitulah kekuasaan dalam moral politik, yaitu memperkaya rakyat miskin. Pada suatu hari Adi Sasono dan Muslimin Nasution, menteri Kehutanan Habibie, berunding dengan Raja Kebun Malaysia, Kuok. Kuok ketika itu ingin memiliki 100.000 lahan untuk perkebunan. Adi Sasuno pun menyetujui permintaan Kuok. Namun dengan syarat 70% sahamnya untuk Koperasi, dan sianya 30% lagi untuk Kuok. Kuok jadi terkejut dan terheran-heran, karena seharusnya sebagai investor, Kuok yang mendikte menteri, sehinga porsinya 70% untuk pengusaha, dan 30% lagi mitra yang ditunjuk oleh pemerintah. Namun, sebagai seorang nasionalis, Adi Sasono tetap bertahan bahwa koperasi rakyat harus memiliki 70% saham. Alasan Adi, karena tanah milik negara. Sedangkan uang atas beban pinjaman perusahaan, kontraktor dan lain-lain dibayar perusahan. Akhirnya Kuok sepakat. Sayangnya, pemerintah Habibie terlalu cepat terguling, sehingga rencana tersebut tidak terealisasi. Pada saat berkuasa, penguasa tidak boleh membawa pulang uang abu-abu kerumah . Artinya, yang abu-abu itu tidak jelas asal usulnya. Hal ini diperlihatkan Hariman Siregar ketika menjadi orang kepercayaan Habibie lainnya ketika itu. Semua orang boleh makan sepuasnya di Hotel Mandarin ,atau lainnya di mana Hariman menjamu orang-orang politik. Namun begitu, apa yang dapat dinikmati para aktifis-aktifis miskin di hotel saat itu hanya di ruangan hotel itu saja. Hariman sangat melarang aktifis-aktifis memperkaya diri karena kekuasaan atau aktifis tidak boleh jadi “broker power" untuk kepentingan sendiri atau keluarga. Kembali pada soal Moral Politik yang diangkat Rizal Ramli melalui media konfrontasi online, apa yang terjadi dalam kisah di atas dan tentunya kisah yang bisa digambarkan Rizal Ramli dalam posisi dia berkuasa. Tentu saja menjadi pengalaman segelintir orang-orang suci di politik. Politik di masa lalu adalah politik cita-cita. Mohammad Hatta sampai meninggal dunia tidak mampu membeli sebuah sepatu yang dia inginkan. Sukarno tidak meninggalkan warisan. Adi Sasono sampai wafat adiknya tetap miskin di Pekalongan. Hariman Siregar hidupnya terus dalam standar kesederhanaan. Begitulah moral politik berbicara. Namun, politik paska orde baru bukanlah hitam putih lagi. Orang-orang baik dengan cita-cita telah terdampar lebih buruk dibanding masa Suharto berkuasa. Saat ini politik dan cita-cita bangsa dikendalikan segelintir okigarki dan para taipan. Itu yang disebut Jeffrey Sach sebagai Korporatokrasi. Kira-kira lebih atau sama buruknya dari plutokrasi. Kenapa? Karena sekarang partai-partai politik dan kekuasaan politik berkembang dengan reproduksi tokoh-tokoh pencitraan dan dinasti. Demokrasi uang menaungi sistem politik yang ada sekarang. Selama 22 tahun reformasi, koruptor-koruptor bukan hanya bisa menguasai partai dan menjadi referensi "kesucian". Aparatur negara pun tidak berdaya berhadapan dengan mereka. Lalu Bagaimama ke Depan? Menyaring pasir dengan ayakan halus akan membuat sedikit yang lolos saringan. Sebaliknya menyaring dengan ayakan kasar, pasir kasarpun tidak tersaring. Habibie pernah mengingatkan tentang tetesan air yang jatuh tetes demi tetes ke batu karang, akan menghancurkan batu karang itu perlahan-lahan. Persoalan moralitas politik yang digugat Rizal Ramli tentunya tugas berat kita. Kita sedang melawan sebuah mental bangsa yang rusak. Mental yang gagal untuk direvolusi oleh Jokowi dengan “Revolusi Mentalnya”. Namun, kita tentu tidak menyerah. Standar moral ideal mengelola bangsa tetap pada tiga hal. Pertama, orang-orang suci maupun yang insyaf harus di depan. Di depan artinya mengendalikan kepemimpinan perjuangan. Kedua, ideologi perjuangan adalah alat penyaring yang disebut "ayakan". Ideologi adalah negara dan kekuasaan hanya berfungsi dua, utamanya, membuat orang-orang lebih mencintai Tuhannya dan menjadikan orang-orang miskin kaya. Ketiga, negara dan kekuasaan harus adil terhadap eksistensi keberagaman suku bangsa kita. Penutup Nasihat Rizal Ramli tentang moral politik, baik yang dipesankan kepada saya, maupun melalui nedia konfrontasi online, perlu menjadi perhatian serius gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang dikumandangkan tanggal 2 Agustus lalu. Rizal yang menunda kehadirannya, padahal sudah memberitahu Profesor Din akan datang saat itu, mengangat isu moral politik. Tentu saja saya harus membahasnya, apa itu moral politik dan bagaimana kita harus merespon? Moral politik adalah sebauh moral gerakan. Moral Politik adalah bagaimana kita melihat kekuasaan dan orang yang menjalankannya. Dalam moral politik yang benar, kekuasaan sejatinya hanya berfungsi untuk membuat rakyatnya lebih cinta Tuhannya (happiness) dan rakyat miskin-miskin itu semua jadi kaya. Dan ini terkait dengan penguasanya. Penguasa bermoral adalah penguasa yang tidak merampok uang negara untuk pribadi. Tidak juga memperkaya hanya orang kaya. Namun tantangan kita saat ini lebih berat dibanding ketika Sukarno Hatta menjadi penguasa. Saat ini demokrasi uang dan uang telah menghancurkan moral yang ada. Sehingga kita perlu melakukan strategi yang tepat tanpa mengurangu garis ideologi perjuangan. Itulah arah perjuangan kita. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.
Indonesia Seperti Negara Bagian China (Bag. Kedua)
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Rabu (05/08). Presiden Ping memang punya record-record intelektual dan menejerial top, berkelas dan mengagumkan. Itu memang satu soal. Namun soal lainnya adalah China, seperti pandangan PM Wen Jiabao, berhasrat kuat mengontrol masa depan didunia internasional. Hasrat yang hanya bisa ditopang oleh pemimpin atau Presiden yang top, lincah berkelas dunia. China tahu meraka tidak dapat memksakan negara-negara lain untuk mengikuti pandangan politik dan ekonomi mereka. Tetapi tahu bukan di situ masalah besarnya. China hanya perlu berada front terdepan dalam semua aspek, dan negara-negara lain akan menyesuaikan diri. Dalam kasus vaksin corona, China terlihat mendefenisikan pandemi Corona sebagai pasar sedang terbuka. Pasar ini harus direbut. Itulah kira-kira yang ada dibenak pemerintahan China. China tahu tabiat Amerika, negara terhebat dalam permainan kartu proteksi. Untuk terhindar dari tembakan senjata proteksi Amerika, China tentu harus bergerak selangkah mendahului Amerika. Temuan dini atas vaksin akan membawa mereka menjadi pendefenisi utama pasar vaksin dunia. Paling tidak China akan jadi raja vaksin untuk Indonesia, yang sejauh ini terlihat tak memiliki kebijakan terukur dalam penyediaan vaksin sendiri. Itulah China sekarang. Fokus dan bekerja dengan haluan mereka sendiri. Selebihnya akan datang dengan sendirinya. China cukup tahu bahwa kalau anda tidak ingin dimakan oleh negara besar, maka anda harus besar dalam semua aspek. Kalau anda ingin dihormati, termasuk menguasai dunia, anda harus besar. Itulah ilham dari Amerika. Apapun itu, kini China telah menyediakan kandidat vaksin untuk diuji coba bukan oleh kepada kelinci, tetapi pada kepala manusia. Tragisnya lagi, manusia yang dijadikan kelinci percobaan untuk tahap ketiga itu, bukan orang China, tetapi orang Indonesia. Indonesia terlalu payah dalam urusan seperti ini. Indonesia Terperangkap Kecemasan Indonesia bakal menemukan diri layaknya negara bagian atau provinsi kesekian darai China atau konfederasi China, mungkin saja akan ditertawakan. Para politisi kacangan dan tengik, yang telah mengambil jarak terlalu jauh dari perintah hebat yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, mungkin saja menertawakan kecemasan ini. Pembaca FNN yang budiman. Sulit meminta politisi kacangan dan tengik untuk membangun kecemasan atas postur relasi Indonesia-China sejauh ini. Indonesia yang telah berada sedemikian jauh di belakang China, terlihat tidak cukup menggetarkan para politisi negeri ini. Tidak seperti China yang tahu tidak ada hubungan internasional, terutama di bidang ekonomi yang saling menguntungkan. Para politisi Indonesia justru asyik dengan kesetaraan dunia yang penuh dengan penipuan. Tidak seperti Indonesia, China tahu bahwa relasi dunia internasional, selalu khas leviathan. Yang besar menerkam, mencabik-cabik negara-negara yang kapasitas ekonomi dan militernya kecil. Negara-negara besar itu mengangkangi negara-negara kecil dengan utang dalam berbagai bentuk. Bisa berupa bantuan, pinjaman, dan bahkan sumbangan recehan diberikan. China terus memompa habis kapastitas ekonomi dan militernya. Perusahaan negara mereka dipompa memasuki banyak sektor. Darimana uangnya? Ada utang memang. Selain utang, China memompa kemampuan keuangannya dengan mengandalkan tabungan masyarakat. Dalam urusan itu, China mengontrol secara ketat warga negara mereka untuk tidak membawa uang mereka keluar China sesuka hati mereka. Bagaimana dengan Indonesia? Keluar susah, masuk juga lebih susah. Komunisme mereka, jelas bersifat pseudo pada aspek tertentu. China mengenakan bunga rendah pada penabung domestik. Lalu bank, kata Chu, diguyur kredit dengan bunga murah. Perusahaan China jadinya mengisap rakyat mereka sendiri. Itulah komunisme mereka. Korporasi China lalu merambah dunia dengan berbagai proyek. Di Afrika (Etiopia, Tanzania dan Zambia) misalnya pada tahun 2005-2006 saja China memiliki proyek sebanyak 900 unit. Dan negara-negara itu segera menemukan dirinya terlilit dengan utang. Hebatnya China telah menempatkan pasukan penjaga perdamaian di Liberia. China terus mengamankan masa depannya, dengan ambisi menyediakan keunggulan lain. Pembuatan baterei litium untuk mobil listrik misalnya adalah salah satu cara mereka mengamankan masa depannya. Cerdas mereka dalam menggapai ambisi besarnya, karena mempunyai pemimpin yang hebat, top, berkelas dan mengagumkan. Tidak memiliki raw material, tetapi tetap memelihara ambisi itu. Bagaimana memenuhi ambisi itu? Negara lain, khususnya Indonesia yang tak pernah bisa bergerak maju dalam bidang manufaktur dapat diajak. Bahkan dikadalin untuk menyediakannya. Indonesia pun membentangkan karpet merah, layaknya negara bagian, konfederasi atau provinsi dari China. Toh Indonesia telah terlatih dengan nanyian klasik investasi mendatangkan keuntungan terendiri. Keuntungan itu, salah satunya adalah penyerapan dan penyediaan tenaga kerja dan nilai tambah, karena korporasi itu memproduksinya di Indonesia. Hebat anggapan ini. Padahal korporasinya punya orang China, bukan punya Indonesia. Indonesia cuma dapat pajak alakadarnya. Titik. Tidak terlihat sejauh ini sebagai provinsi kesekian China dalam arti tata negara, itu betul. Tetapi postur politik Indonesia telah tak berdaya dalam banyak hal. Persis China, Indonesia saat ini sedang mati-matian menancapkan lagi kebijakan desentralisasi sejumlah izin. Dalihnya untuk percepatan investasi. Lag-lagi ini anggapan yang konyol dan bahlul, kata orang istilah arab . Hasrat itu diskemakan secara sadar dalam RUU Omnibus Cipta Kerja, yang sejak awal hingga sekarang teridentifikasi bakal menyengsarakan rakyat. Akibatnya, menuai protes terus-terusan. Persis seperti propaganda khas Wall Street dalam menggolkan RUU The Fed. Setiap kali protes muncul, segera direspon dengan argumen tandingan yang mengecohkan. RUU ini, begitu argumen tandingan itu, akan menjadi kunci pembangunan ekonomi Indonesia, dan menyejahterakan pekerja Indonesia. Padahal resentralisasi izin dan syarat pekerja, sekedar sebagai contoh, tak pernah logis sebagai basis pikiran menyejahterakan rakyat. China tentu tak memedulikan friksi ini ini. China terlatih dengan sistem politik dan pemerintahan sentralistik. China tak bakal memedulikan adanya kecemasan Indonesia, yang mulai terlihat seperti provinsi kesekian China. Kasus Afrika membuat China dapat mengatakan kecemasan itu tak beralasan. Tetapi apapun itu, politik pemerintahan yang sedang bekerja sejauh ini, memungkinkan Indonesia benar-benar terlihat seperti konfederasi China. (habis). Penulis adalah Pengajar HTN Univeristas Khairun Ternate.
Antara Hadi Pranoto, Saifuddin Hakim, dan Klaim Vaksin Covid
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Selasa (04/08). Akhirnya, Erdian Anji Prihartanto, penyanyi yang akkrab dipanggil Anji, dilaporkan ke polisi terkait dengan klaim Hadi Pranoto di kanal Youtube-nya. Hadi Pranoto terlalu berani mengaku sebagai pakar mikrobiologi seperti disampaikan melalui video wawancaranya bersama penyanyi Anji di kanal Youtube-nya. Anji menyebut Hadi Pranoto sebagai profesor dan ahli mikrobiologi. Setelah dilakukan penelusuran identitas oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Hadi Pranoto itu bukan anggota kelompok profesi tersebut. “Kami coba cari di daftar anggota IDI tidak ada Hadi Pranoto seperti di dalam video,” kata Adib Khumaidi. Mengutip Tempo.co, Minggu (2 Agustus 2020 18:50 WIB), Wakil Ketua Umum PB IDI itu mengatakan memang menemukan seseorang bernama Hadi Pranoto sebagai staf pengajar di Universitas Mulawarman. Namun dia bukan Hadi Pranoto yang ada di video itu. Adib mengatakan sudah mengontak kelompok ahli mikrobiologi. Menurut dia, tidak ada yang mengenal Hadi Pranoto. “Kami ada grup, semuanya mengatakan tidak mengenal beliau,” kata Adib. Adib meminta kepolisian untuk turun tangan menelusuri latar belakang Hadi Pranoto. Sebab, ada kemungkinan Hadi telah melakukan pembohongan publik. “Dia bukan seorang dokter atau ahli mikrobiologi bahkan mengaku sebagai profesor, ini kan tentunya harus ditelusuri oleh aparat, bukan tidak mungkin ada kebohongan publik yang dilakukan,” ujar dia. Sebelumnya, nama Hadi Pranoto banyak diperbincangkan di medsos setelah diwawancarai oleh penyanyi Erdian Anji Prihartanto alias Anji di kanal Youtube-nya. Anji menyebut Hadi Pranoto sebagai profesor dan ahli mikrobiologi. Dalam video itu, Hadi Pranoto mengklaim telah menemukan obat atau herbal antibodi untuk menyembuhkan Covid-19. Hadi Pranoto mengklaim sudah menyembuhkan ribuan orang. Menurut dia, hanya butuh waktu dua sampai tiga hari untuk pengobatan. Adib meminta masyarakat berhati-hati. Dia bilang klaimnya itu tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. “Masyarakat harus bisa menyaring yang disampaikan oleh siapapun, kalau tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, maka keamanan pasien yang menjadi taruhannya,” kata dia. Siapa Hadi Pranoto yang sebenarnya, sudah banyak media yang meneliknya. Mungkin info yang saya tulis ini sedikit berbeda dengan tulisan atau berita yang tersebar di berbagai media, termasuk Tempo.co maupun Kompas.com. Namun sebelum saya uraikan siapa Hadi Pranoto itu, ada baiknya, kita simak komentar dari Saifuddin Hakim yang juga mengaku ahli mikrobiologi dari Department of Microbiology, Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, Universitas Gadjah Mada. “Siapakah Profesor Hadi Pranoto, yang katanya profesor mikrobiologi penemu antibodi anti-covid-19?” begitu Saifuddin Hakim mengawali tulisannya yang kini juga viral di berbagai media dan medsos itu. Berikut petikan lengkapnya: Pagi ini, lagi2 dikejutkan dengan video ini yang katanya seorang profesor mikrobiologi penemu antibodi anti-Covid-19. Klaim yg fantastis ... Bahkan beliau mengklaim meneliti virus sejak tahun 2000 (sejak 20 tahun yg lalu), juga meneliti virus influenza (H5N1), SARS-CoV, dan MERS-CoV. Kami lacak ke google scholar, scopus, hasilnya NIHIL. Memang ada nama hadi pranoto, tapi bukan Hadi Pranoto yg muncul dalam video ini. Hasil pelacakan ke database dosen mmg ada nama Hadi Pranoto juga, tapi profilnya berbeda dg orang yg tiba2 muncul dalam video ini (gambar 2) Meneliti virus sejak 20 tahun, tanpa ada satu pun publikasi ilmiah, bahkan di jurnal ecek2 sekalipun? Terus tiba2 muncul sebagai "superhero" penemu antibodi anti-covid-19? Wow ... kalau bener bapak ini bisa publikasi di Nature, Science, terus tahun depan bisa dapat Nobel, pak. Tahu nggak sih beliau ini, antibodi itu apa? Terus penelitiannya kalau membuktikan ini, harus dilakukan di institusi dengan minimal BSL3. Lha emang dia punya Lab BSL3? Punya cell line yg sesuai nggak, pak? Terus di mana bikin antibodinya? Sesuai prinsip GMP atau nggak? Jangan2 cuma cairan keruh aja itu produknya? Record clinical trial-nya di mana? Ternyata, lagi2 saya nemu orang dengan klaim "profesor mikrobiologi". Ini orang kedua yg saya temui. Orang pertama adalah Profesor Ainul Fatah alias Sukardi. Saya pernah menyusup ke seminarnya di Sidoarjo atas bantuan seorang teman. "Penemu" probiotik siklus. Saya punya tanda tangan sertifikat atas nama beliau setelah ikut seminarnya. Katanya, Prof Sukardi ini dicari2 CIA. Ketika dia masuk ruang seminar, kita tidak boleh foto, nggak boleh ambil video. Pokoknya g boleh ada yg tau dia di mana, rumahnya di mana. Pokoknya rahasia, krn "aset negara". (Niat banget saya malam2 naik kereta dari Jogja hanya utk ndatengin profesor jadi2an ini). Bermimpi suatu hari masyarakat Indonesia cerdas dalam menyikapi klaim2 seperti ini. Kepada Bapak, Ibu, mas, mbak, adek2, yg udah nonton video ini, tidak perlu ditonton sampai selesai, banyak info yang tidak benar. Meski saya tidak perlu rinci satu2, nti kepanjangan. Salam sehat!! Semoga kita tetap waras. Ini link google scholar saya, siapa tau ada yg mencari, meski saya masih peneliti pemula: https://scholar.google.co.id/citations?hl=en&user=69FHXg8AAAAJ Hadi Pranoto Hadi Pranoto itu SPd, MPd, bukan doktor, apalagi profesor. Dia ini salah satu anggotanya Laksma TNI DR. Agung Suradi yang menjadi endoser-nya Bio Nuswa yang BPOM-nya di-suspend karena over claim. Hadi Pranoto pernah ketemu dengan formulator (Probiotik Siklus) di Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Kemudian, Hadi membuat kehebohan yang lebih tepat disebut sebagai “kebodohan”itu. Lalu dia ingin mengganti “baju”, dari Bio Nuswa menjadi nama baru. Tapi dia kelihatan tidak menguasai masalah yang dibahasnya, banyak yang (maaf) asal bunyi. Lepas dari kontroversi tentang Prof Sukardi, tidak terlalu penting tentang kontroversi itu. Yang penting formulanya sudah terbukti bisa menolong banyak orang. Dan, juga itu terbukti kehebatannya berdasar beberapa uji lab dan riset yang sudah dilakukan. Testimoni dan uji klinik telah pula terbukti formulanya berhasil menyembuhkan Covid-19. Andaikan beliau tukang angon wedus, tukang angon sapi, tukang sampah, tukang sapu, atau tukang ngepel, juga terlalu penting bagi tim formulator. Tantangannya, bagi tim melakukan riset atas formula-formulanya, dan menemukan bukti-bukti kehebatan formulanya. Tidak sekedar berdebat tanpa melakukan riset. Makanya, tim tidak akan melakukan seperti yang dilakukan oleh yang lainnya, yang hanya menjual nama besar formulator. Saifuddin Hakim Ada yang perlu dicermati dari cerita Saifuddin Hakim di atas. Dia bilang “menyusup” di acara silaturrahmi Grup Probiotik Siklus (GPS) Sidoarjo di Sun City Hotel. Dari situ saja mencerminkan perilaku yang tidak terpuji. Susunan kalimatnya dipenuhi dengan su'udzon yang tidak mencerminkan seorang akademisi dan sehat. Dia pernah bergabung sebentar “menyusup” ke room GPS-1 dan dikeluarkan oleh Admin karena perilaku yang tidak terpuji. Bagi anggota GPS yang bersikap dan berperilaku seperti Saifuddin Hakim dan sampai saat ini masih ada di GPS, duduk seperti belajar di sana, tapi menyimpan hasad dan kebencian kepada sistem dan gerakan peradaban sehat yang sedang dibangun tim sungguh lebih bijak diam atau bergabung kepada apa yang anda yakini sebagai kebenaran. Kalau Saifuddin Hakim memang berniat “menyusup”, tentunya dia tidak akan salah dalam googling nama Prof Sukardi. Prof AF itu bukanlah ahli mikrobiologi. Tapi, seorang ahli mikro kultur bakteriologi. Silakan googling! Kalau Saifuddin Hakim googling nama Prof AF sebagai ahli mikrobiologi, tentu sampai dia ubek-ubek google tidak akan ketemu. Atau mungkin sekarang ini sudah diralat setelah salah sebut sebagai ahli mikrobiologi? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Nadiem Minta Maaf, Lebih Baik Lagi Kalau Mundur
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (04/08). Merasa tertekan akibat Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menarik diri dari Program Organisasi Penggerak (POP) bernilai Rp. 600 Milyar, maka Menteri Pendidikan Nadiem Makarim merilis permohonan maaf kepada tiga organisasi besar yang bergerak di bidang pendidikan tersebut. Nadiem juga bertandang ke PP Muhammadiyah Jakarta. Di Pusat Da’wah Muhammadiyah, Menteri Pendidikan Nadiem diterima oleh Sekum PP Muhammadiyah DR. Abdul Mu'thi dan pengurus Muhammadiyah lainnya. Kebijakan POP Nadiem yang asal-asalan itu untuk patut dikritisi dengan tajam. Sebab program itu berujung pada hengkangnya Muhammadiyah, NU, dan PGRI. Bagaimana tidak, ketiga organisasi besar di bidang pendidikan tersebut ternyata mau disejajarkan Nadiem dengan organisasi abal-abal sekelas yang hanya mengurusi "bimbel". Ironisnya lagi, ada dana Rp. 20 miliar yang dialokasikan kepada Yayasan pendidikan milik dua konglomerat HM. Sampoerna dan Sukamto Tanoto. Kini Nadiem Menteri "anak kemarin" sore yang seperti tidak faham pelaku pendikan "terdahulu" itu telah meminta maaf. Dari sisi etika tentu kita semua menghargai dan mengapresiasi permintaan maaf nadiem tersebut. Akan tetapi ini bukan saja ajang maaf-memaafkaan seperti lebaran atau baru saja Iedul Adha. Bukan juga soal apakah Muhammadiyah, NU atau PGRI memaafkan atau tidak. Ini persoalan bangsa dan negara. Ini persoalan ketidakmampuan Nadiem, anak kemarin sore tersenut dalam mengemban amanat pengelolaan pendidikan nasional. Inovasi yang nyatanya berbasis kebijakan acak-acakan, ngawur dan kacau-balau. Mundurnya tiga organisasi besar melengkapi kritik sejak awal kepada Menteri yang "bukan bidangnya" tersebut. Kritik itu harus dibaca sebagai ketidakpercayaan publik. Nah berdasarkan Tap MPR No VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, maka penyelenggara negara yang sudah kehilangan kepercayaan publik hendaknya harus mengundurkan diri. Demi menjunjung etika pendidikan ke depan. Nadiem baiknya cepat mengundurkan diri untuk integritas dan masa depan dunia pendidikan. Masa depan Nadiem juga yang masih panjang. Anak muda yang berprestasi yang tercemar oleh pergulatan politik oligarkhis dan kapitalistik. Mundur adalah sikap yang terhormat dan bermartabat. Mundur juga sekaligus sebagai sikap pembersihan dan rintisan dari penghargaan terhadap peraturan perilundang-undangan. Apalagi di tengah habitat rezim yang rendah rasa peduli dan bermuka tebal, sangat diperlukan sikap menghargai kesalahan. Kecuali yang dikejar adalah abisi untuk mengelola anggarakan pendidikan 20% dari total APBN setiap tahun Contoilah dan ikutilah dua teman seusia anda yang diangkat Presiden Jokowi menjadi Staf Khusus Presiden. Adamas Belva Syah devara dan Andi Taufan telah lebih dulu mengundurkan diri sebagai sikap yang kesatria dan gentelment. Mereka berdua adalah anak muda yang tau diri. Tau terhadap kesalahan yang mereka perbuat. Nadiem dapat kembali menata usahanya yang juga terdampak akibat pandemi covid 19. Membangun dan menata kembali kreasi baru yang mengahadirkan solutif. Perusahaan start up yang perlu penanganan serius dan menjadi model usaha anak muda Indonesia. Disinilah bidang yang subur untuk keahlian Nadiem. Jabatan Menteri Pendidikan, disamping belum waktunya, juga nampaknya menjadi lebih pantas untuk orang lain. Orang yang benar-benar mengerti, memahami dan menjiwai dunia pendidikan. Orang yang sudah berpengalaman dalam mengelola lembaga pendidikan. Salah satu bumber bahan bakunya dari Muhammadiyah, NU dan PGRI. Saatnya untuk menetapkan pilihan antara terjebak di kubangan lumpur kepentingan permainan politik, atau keluar menata integritas dan kapasitas diri. Sumbangsih bagi negara bukan ngeyel, ngawur dan ngaco dalam ketidakmampuan, tetapi sebaiknya mundur dari jabatan itu. Rakyat menunggu sikapNadiem Makarim, anak muda yang siap untuk menjunjung tinggi etika. Sikap yang kesatria dan gentelent. Bukan sikap pendukung faham "ngeyelisme". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
UU Minerba, Skandal Konstitusi Terbesar Abad Ini
by Kisman Latumakulita Undang-undang boleh saja dibanggakan para ahli hukum formalis dan politisi picisan dan kacangan sebagai benteng keadilan. Dalam kenyataannya tidak selalu begitu. Undang-undang atau hukum juga dapat berubah fungsi menjadi benteng terkuat bagi para korporasi dan oligarkis licik, picik, tamak srta culas. Jakarta FNN – Selasa (04/08). Orang-orang berduit besar ini dapat menggunakan uangnya untuk menciptakan politik pembentukan undag-undang untuk kepentingan mereka. Seperti itu menajdi hal biasa dalam semua permainan politik, termasuk politik pembentukan UU. Kalau uang telah bicara, maka semuanya dipastikan akanberes dan cepat. Argumentasi yang bersifat justifikasi atas Rancangan Undang-Undang (RUU) itu bisa berdatangan dari berbagai sudut, dan berbagai kalangan. Begitulah adanya dunia politik hukum liberal. Kalau korporasi licik, picik, tamak dan culas yang punya mau, maka uangkah yang bemain dibalik prakarsa pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahabn Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara? Tak ada bukti otoritatif yang menunjukan uang telah bekerja secara signifikan dibalik munculnya prakarsa ini. Tidak ada juga bukti otoritatif untuk dijadikan sandaran penilaian bahwa uang telah bekerja dengan caranya yang khas dibalik pembahasan RUU Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009. Sekali lagi, belum dan tidak ditemukan bukti itu. Bekerjanya uang dibalik cepatnya waktu pembahasan dan pengesahan RUU Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 itu ibarat kentut. Bunyi dan bau kentut hanya bisa untuk didengar dan dicium. Namun wujudnya kentut seperti apa? Nggak bisa dilihat atau dipegang. Uang hanya terasa bekerja dengan caranya yang paling sunyi dan senyap dibalik pembahasan aturan pertambangan umum ini. Inilah UU Yang Sangat Brutal Dari sejarahnya, diketahui DPR teridentifikasi sebagai pemrakarsa, pengusul perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara. DPR menggunakan kewenangan dan mandat yang tekenal bernama "Hak Usul Inisiatif Dewan". Tidak banyak undang-undang yang dilahirkan DPR bersama Pemerintah berdasarkan celah "Hak Usul Inisiatif Dewan" ini. Apalagi UU untuk kepentingan rakyat bawah. Sebaiknya berharap banyak kepada DPR, karena ujungnya hanya kekecewaan semata. Prakarsa ini meraih sukses besar. Harap dimaklumi saja. Sebab UU bukan untuk kepentingan rakyat bawah. Pihak yang paling berkepentingan dibalik perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 adalah para korporasi dan konglomerat tambang. Dengan perubahan UU ini, maka izin usahanya bisa diperpanjang secara otomatis, tanpa perlu ada pengurusan perpanjangan baru lagi. Jangka waktunya tetap 20 tahun, namun dievaluasi setiap sepuluh tahun. Luas bisa hebatnya kan? Apakah aturan yang super brutal dan amburadul seperti ini hanya karena keinginan dan maunya DPR semata? Silahkan menjawabnya sendiri. Namun jangan kasih tau teman dan kerabat yang duduk atau berdiri di sebelah anda. Yang pasti Sekarang UU Nomor Tahun 2009 itu telah resmi berubah menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara. Begitu cerit awalnya. Tanggal 4 Februari 2016 menjadi tanggal paling bersejarah untuk UU Nomor 3 Tahun 2020 ini. Pada tanggal, bulan dan tahun itu langit politik hukum mencatat sebuah peristiwa bersejarah. Sebab pada tanggal tersebut, DPR khususnya Badan Legislasi (Baleg) mengadakan Rapat Dengar Pendapat dengan para akademisi dan pakar. Namanya saja rapat dengar pendapat. Tentu saja yang disajikan dalam rapat tersebut adalah pandangan-pandangan dari para pakar dan akademisi. Apa saja pendapat mereka? Hanya mereka para pakar dan anggota DPR di Baleg itulah yang tahu. Rapat tanggal 4 Februari tahun 2016 itu tercatat sebagai satu-satunya rapat disepanjang sejarah DPR dari tahun 2016 sampai dengan 8 Maret tahun 2018. Disepanjang dua tahun itu hanya ada satu kali rapat resmi di DPR, khususnya rapat di Baleg. Rapatnya juga dengan agenda yang sangat istimewa, yaitu membicarakan RUU perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara ini. Aneh? Ya pasti aneh bin ajaiblah. Dengan merujuk pada praktik pembahasan RUU yang baku, dan berlaku selama ini. Maka harus diakui secara jujur bahwa rapat di Baleg, apalagi rapat dengar pendapat antara Baleg dengan para ahli, pakar dan akademisi, tentu tidak dihadiri oleh pemerintah. Itu sudah pasti. Teman-teman ahli hukum telah meyakinkan beta bahwa RDP di Baleg selalu begitu aturan mainnya. Tidak dihadiri oleh pemerintah. Lantas bagaimana kelanjutannya? Tanggal 7 Maret 2018 barulah Baleg melakukan Pleno bersama dengan para anggota DPR pengusul. Tentu saja untuk memperoleh penjelasan dari para anggota DPR pengusul. Tiga minggu kemudian, tepatnya tanggal 29 Maret 2018 Baleg melakukan lagi rapat. Esensi rapat kali ini adalah melakukan harmonisasi. DIM Pemerintah Tanpa Paraf Setelah rapat tanggal 29 Maret 2018, menujuk (CNNIndonesia, Kamis 18/07/2019) Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gus Irawan Pasaribu telah menyerahkan Daftar Infentarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba untuk dibahas dengan pemerintah sejak April 2018. Dua bulan kemudian, tepatnya bulan Juni 2018 pemerintah juga menyerahkan DIM. Sayangnya, berdasarkan penelusurn CNNIndonesia, DIM yang diserahkan pemerintah itu tanpa adanya paraf dari pemerintah. DIM ini diserahkan bulan Juni 2019. DIM itu, merujuk CNNIndonesia, baru berasal dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (Lihat CNNIndonesia, 18 Juni 2019). Orang gila macam apa yang akan atau mau untuk menerima DIM tanpa paraf sebagai DIM resmi pemerintah? terus DPR gila dan sinting macam apa, yang mau juga untuk menerima DIM dari Kementerian ESDM yang tanpa paraf itu? Anda tidak usah menjadi ahli hukum untuk mengatakan DIM itu abal-abal, dongo, dungu, keleng-kaleng dan beleng-beleng. Yang pasti DIM yang tanpa paraf itu pastinya tidak sah. Tragisnya, terlihat kalau DIM yang tidak sah ini disadari betul oleh anggota DPR yang terhormat. Merujuk pada pemberitaan Kontan.co.Id, tanggal 29/8/2019, Komisi VII DPR RI kala itu masih berkeinginan untuk merampungkan revisi atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Namun sangat disayangkan, dan ini jangan sampai membuat pembaca FNN kaget setengah mampus. Hingga kini Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) itu masih mandek di pihak pemerintah. Belom sampai ke DPR. Hebat kan? Meskipun RUU Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 sudah disahkan menjadi UU Nomor 3 tahun 2020. Namun DIM-nya masih di tangan pemerintah sampai sekarang. Jadi, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara itu disahkan DPR tanpa DIM yang resmi dari pemerintah. Artinya, UU ini memang sudah cacat sejak lahir. Kalau meminjam istilah keren yang sering digunakan para penasehat hukum ketika peracara di pengadilan, “UU ini cacat secara formil”. Proases pembuatannya sudah cacat, kacau-balau dan amburadul. Pembuatannya kejar tayang untuk menampung kepentingan korporasi dan oligarki yang izin habis di tahun 2020 ini. Sudah cacat bawaan sebelum lahir menjadi UU. Cacat sejak masih dalam kandungan di DPR. (bersambung). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id