OPINI

“Politik Dinasti”

by Zainal Bintang Jakarta FNN- Ahad (09/08). Jagad politik di Indonesia saat ini kembali heboh di tengah kelamnya upaya mitigasi negara dari serangan wabah Covid 19. Menjelang pertarungan kontestasi pimpinan daerah dalam Pilkada pada Desember 2020 mendatang, isu “politik dinasti” atau “dinasti politik” kembali merebak dan memantik pro kontra di tengah masyarakat. Pilkada serentak 2020 bakal diikuti keluarga Presiden Jokowi. Gibran Rakabuming Raka (anak) di Solo dan Bobby Nasution (menantu) di Medan, Di Banten, putri Wakil Presiden KH.Ma’ruf Amin, Siti Nur Azisah akan maju sebagai calon walikota Tangerang Selatan dan Hanindito Himawan Pramana putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung berkontestasi sebagai calon Bupati Kediri Timur. Tidak mau ketinggalan, keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo maju sebagai Calon Wali Kota Tangsel yang diusung PDI-P dan Partai Gerindra. Apa yang salah? Secara undang-undang tidak ada pasal yang dilanggar. Apalagi ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus pasal “dinasti politik” dalam UU No 8 Tahun 2015, pada Pasal 7 huruf (r) tentang Pilkada. Putusan MK itu bernomor 33/PUU-2015 tanggal 8 Juli 2015. Dengan adanya legalisasi “politik dinasti” oleh MK , mau tidak mau masyarakat terpaksa akan berpaling kepada legislator yang ada di Senayan. Sebagai salah satu komponen pembetuk Undang-Undang. Masyarakat berharap, lembaga DPR sejatinya sebagai salah satu komponen pembentuk Undang-Undang yang mengemban politik hukum, sebaiknya segera memperbaiki sistem pemilihan umum bagi pemegang kekuasaan di daerah. Membentengi celah penyimpangan, apapun itu, termasuk budaya “politik dinasti” melalui UU Pilkada yang ketat, sebagai political will untuk penyelenggaraanpilkada. Namun demikian, maukah yang terhormat anggota DPR tersebut melakukannya? Disinilah letak persoalnnya. Politik “lari berputar” berlaku. Kebanyakan calon kepala daerah, terlebih petahana adalah representasi parpol tertentu. Praktik “politik dinasti” yang menguntungkan partai tertentu, akan menolak mendorong kader mereka yang ada di legislatif untuk membumihanguskan “jalan tol dan karpet merah” menuju pelanggengan kekuasaan. Persoalannya tidak sekedar pada ketiadaan atau adanya bunyi pasal pada di regulasi yang harus diubah. Letaknya pada sikap mental yang berakar kepada cacat moralitas. Persoalannya ada pada rendahnya kualitas moralitas. Mengemukanya watak pragmatise, pemburu status sosial serta penggila kekuasaan. Inilah sumber dari segala sumber suburnya “politik dinasti”. Memburukkan proses demokratisasi yang terus menerus menjadi jargon politik menghipnotis masyarakat. Kualitas mentalitas yang rendah yang diidap masyarakat negara berkembang patut digugat. Mereka begitu gampang meninggalkan janji, bahkan sumpah yang diucapkannya. Bersembunyi dibalik pasal-pasal regulasi hasil kolusi antara penguasa dengan korporasi. Terkait dengan adanya indikasi kalangan elit politik yang sengaja merawat sikap dan mentalitas yang tidak terpuji, mengantar ingatan kepada apa yang pernah ditulis Gunnar Myrdal. Peraih nobel berkebangsaan Swedia itu menulis buku (1968) yang berjudul “Asian Drama” : An Inquiry Into The Poverty Of Nations (Sebuah Pertanyaan Menuju Kemiskinan Bangsa-Bangsa). Bukunya memaparkan hasil penelitiannya di Asia. Khususnya di India dan Indonesia. Kata “drama” sengaja dipakainya sebagai resultansi kecemasannya menyaksikan tendensi kepura-puraan yang disaksikannya terjadi negara negara Asia. Myrdal menyebut kedua negara tersebut sebagai “soft state” atau “negara lemah”. Ada juga yang menyebutnya “negara lunak”. Istilah “negara lunak” dilabelkan terhadap negara yang tidak memiliki tradisi administrasi. Karena itu mudah disantap oleh korupsi antara penguasa dengan korporasi, yang di Indonesia terkenal dengan sebutan “konglomerat”. Korupsi uang, korupsi hukum, dan korupsi politik. Dr. Ismi Rajiani MM pernah menulis analisis mengenai buku “Asian Drama” tahun 2013. Rajiani yang bergelar Doctor of Philosophy dalam Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang mengutip Myrdal, menulis begini, diantara ciri ciri negara lemah adalah: Pertama, golongan penguasa tidak menghormati, dan mentaati undang-undang. Sebaliknya, malah menggunakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebesar besarnya demi kepentingan sendiri. Kedua, Semuanya diperdagangkan. Di Indonesia mulai dari sapi sampai keadilan. Ketiga, peraturan sengaja dilanggar untuk memperkaya golongan berkuasa dan berpangkat. Keempat, meluluskan undang-undang, tetapi non sense dalam pelaksanaannya. Kelima, pembayaran pajak dipermainkan, dan kalau bisa tidak perlu dibayar. Keenam, semua ngomong kalau dapat jabatan, ‘ini amanah”, tapi dalam prakteknya amanah untuk memperkaya diri. Ketujuh, “budi politik” ditabur atau dijual kepada siapa yang bisa mendukung menjadi kepala daerah, anggota DPR, lurah, dan lain lain. Singkatnya, kata Dosen Senior, Universitas Teknik Malaysia Melaka (UTeM), Fakultas Manajemen Teknologi dan Technopreneurship itu, ciri utama negara lemah (soft state) ialah merajalelanya korupsi, kerakusan, keangkuhan dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan eksekutif (kepala daerah, bupati, gubernur, menteri dan semua pembuat kebijakan), merebak ke kalangan legislatif (DPR). Akhirnya tidak mau kalah juga untuk berpartisipasi kalangan yudikatif (hakim dan jaksa). “Tangkapan besar terbaru KPK yang melibatkan eksekutif, legislatif dan yudikatif, menunjukkan pembuktian apa yang dikatakan oleh Mbah Gunnar Myrdal sejak puluhan tahun yang lalu masih tetap dipertahankan sampai sekarang ini”. Bagaimana Solusi Untuk Indonesia? Mungkin akan lebih banyak manfaatnya, jika elite politik bertekad membekali diri dan jiwa dengan semangat Idul Adha. Meneladani konsitensi Nabi Ibrahim atas komitmennya yang rela menyembelih putranya Ismail, yang kemudian tergantikan dengan domba, atas nama ketaatan tak bertepi kepada Tuhan. Ritual penyembelihan hewan adalah refleksi dan simbolisasi “upacara” penyembelihan sifat “kebinatangan” yang ada dalam diri manusia. Sikap teguh Ibrahim harus dibaca sebagai pancaran ketinggian kadar moralitas yang harus dimiliki seorang yang bernama pemimpin. Menyatunya satu kata dengan perbuatan. Saatnya elite politik bangsa segera membersihkan mentalitas praktik Machiavellisme yang menghamba pada nafsu “the end justifie the means” (tujuan menghalalkan segala cara). Hanya demi sepotong kekuasaan dunia yang tidak kekal. Praktik Machiavellisme dalam ukuran moral tertentu, sering lebih banyak dianalogikan sebagai “sifat kebinatangan” bagian tak terpisahkan dari nafsu kuasa yang liar. Selamat Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriah. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.

Faktanya Pertumbuhan Ekonomi Terjun Bebas -10,34%

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (09/08). Pertumbuhan ekonomi pada kuartal ke II ini diumumkan Presiden pada angka minus lima koma tiga puluh dua persen (-5,32%). Nah, tertunduk lesu Pak Presiden Jokowi yang awalnya pernah hingar-bingar mengkampanyekan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang segera "meroket" di atas 7%. Pengumuman saat rapat terbatas Kabinet Indonesia Maju tersebut dinilai sebagai kegagalan dan frustrasi Pemerintah. Namun fakta yang sebenarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak Januari sampai dengan Agustus 2020 adalah minus sepuluh koma tiga puluh empat persen (-10,34%). Itu fakta yang sebenarnya. Begini perhitungannya. Pada akhir Desember 2019 seperti diberitakan CNBC Indonesia (05/02/2020), pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di angka lima koma nol dua persen (+5,02). Walaupun demikian, ketika itu semua neraca yang menajadi indikator ekonomi Indonesia sudah bermasalah. Neraca transaksi berjalan merah. Juga neraca penerimaan terjun bebas. Neraca pembayaran bermasalah. Neraca perdagangan juga merah. Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) soal pertumbuhan ekonomi Indonesia, tentu saja memukul Presiden dan jajaran kabinet. Pemerintah tidak bisa, bahkan gagal bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dan tumpah ddarah Indonesia di bidang ekonomi. Menambah daftar pemerintah melakukan pelanggaran terhadap tujuan bernegara sesuai perintah konstitusi UUD 1945. Sebelumnya Presiden Jokowi nyata-nyata telah melanggar konstitusi dengan membuat Perppu Nomo 1 Tahun 2020 yang telah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, yang judulnya sangat panjang tersebut. Dalam membuat APBN selama tiga tahun ke depan, Presiden tidak perlu lagi melibatkan DPR yang memiliki hak budgeting. Presiden dalam membuat APBN, bisa sesuka hati saja. Jika Presiden Jokowi marah-marah lagi, maka itu tak lain adalah ia yang sedang memarahi dirinya sendiri. Rakyat juga sedang menanti waktu untuk memarahi Presiden yang tak becus mengurus negere ini. Presiden yang menggunakan fasilitas negara untuk memikirkan anaknya dan menantunya menjadi Walikota Solo dan Walikota Medan. Pandemi korona belom menunjukan tanda-tanda akan mereda atau berakhir. Sekarang saja sudah hampir 120.000 orang terpapar korona. Namun Presiden Jokowi perlu memaksakan pelaksanaan Pilkada pada Desember 2020 nanti. Pilkada yang hanya untuk menjadikan anaknya Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution menjadi Walikota. Entah berapa ratusan ribu lagi rakyat Indonesia yang baka terjangkit korona, akibat dari berkumpulnya rakyat pada Pilkadana nanti. Rakyat dipastikan akan berkumpul dalam jumlah besar tempat kampanye dan tempat pemilihan. Belom lagi besarnya dana dikeluarkan negara untuk pelaksanaan Pilkada serentak. Menteri Keuangan Sri Mulyani di depan anggota DPR memprediksi pertumbuhan ekonomi di kuartal II ini adalah minus -3,5 hingga minus --5,1% dengan rentang tengah minus -4,3%. Nyatanya justru menjadi minus -5,32%. Rupanya ekonomi meroket yang dimaksudkan Jokowi adalah meroket ke bawah. Ekonomi Indonesia nyungsep itu meluncur tak tertahankan ke bawah. Terjun bebas. Bahkan diprediksi pada kuartal III dan IV nanti, ekonomi Indonesia masih terus minus. Akibat dari tata kelola pemerintahan yang ngawur, kacau-balau dan amburadul. Tidak sesuai prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Negara mengalami resesi ekonomi bukan semata akibat pandemo korona. Tetapi sebelumnya juga pergerakan ekonomi sudah mengarah pada resesi. Pelambatan ekonomi menyebabkan banyak perusahaan tutup. Kenyataan ini berakibat pada terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dimana-mana. Kondisi ini juga berakibat pada penurunan daya beli yangmasyarakat. Investasi banyak yang bermasalah, terutama di pasar keuangan dan asuransi, berdampak pada penurun nilai suatu portofolio atau aset seperti saham. Kasus seperti PT Asuransi Jiwasraya, Asabri, Bank BTN, Bank Bukopin, Bank Mayapada dan skandal Koperasi Indo Surya adalah bagian kecil dari bocroknya tata kelola indurtri keuangan Indonesia di bawah Presiden Jokowi. Kurs dollar yang tidak akan stabil, tentu berpengaruh pada neraca ekspor-impor. Tingkat suku bunga tinggi yang dapat meningkatkan inflasi. Sebagaimana kekhawatiran para pengamat ekonomi, bahwa pertumbuhan yang terus menurun dapat berujung pada depresi ekonomi, kini menjadi kenyataan. Kepercayaan masyarakat terhadap masa depan menjadi hilang. Tertunduk lesunya bapak Jokowi saat sidang kabinet terbatas untuk membahas pertumbuhan ekonomi kuartal II yang minus -5,32% ini jangan-jangan menjadi tanda-tanda depresi. Publik masih akan menunggu pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2020 besok. Siap-siap saja untuk menilai "pertanggungjawaban" kenegaraan atas kondisi politik, ekonomi, hukum, dan lainnya. Resesi membuat depresikah? Jika rakyat telah melihat negara ini masuk fase depresi, maka tak ada harapan untuk masa depan. Pilihanpun untuk para penyelenggara negara kini hanya tinggal dua. Berbesar hati untuk mengakui tidak mampu dan gagal mengurus negara, sehingga mundur sendiri atau dimundurkan? Rakyat dan bangsa Indonesia tidak boleh tertekan dan putus asa akibat tata kelola negara yang ngawur, tidak becus dan amburadul. Tetapi harus terus hidup dan bergerak ke depan. Artinya, absolut harus berganti dengan suasana yang baru. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Makin Ngawur Soal Pilkada Gibran

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (08/08). Sudah berbau nepotisme yang merusak tatanan ketatanegaraan, kini pendukung nampak percaya diri seolah Gibran-Teguh bakal menjadi calon tunggal Wali dan Wakil Walikota Surakarta. Hampir semua partai politik telah berhasil "ditaklukkan" oleh pengaruh ayahanda sang Presiden. Dugaan ini sangat beralasan. Keyakinan demikian menyebabkan munculnya gagasan atau usul agar Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres soal Pilkada 2020 yang kontennya bahwa pasangan calon tunggal kepala daerah dan wakil kepala daerah di Pilkada 2020 ditetapkan saja secara langsung tanpa melalui pencoblosan. Tidak perlu hambur-hamburkan biaya lagi. Usul itu dikemukakan oleh BRM Kusumo Putro, inisiator Gerakan Relawan Rakyat untuk Kota Surakarta alias Garuda. Alasannya adalah adanya bahaya pandemi covid 19 serta untuk menghemat anggaran yang dapat dialihkan pada kebutuhan lain. Menurut pendukung Gibran-Teguh ini, Pilkada mendatang tidak menjamin terbebas dari munculnya klaster baru covid 19. "Saya juga menilai KPU Solo belum siap melaksanakan Pilkada dalam kondisi pandemi covid 19". Kusumo Putro menyebut bahwa belum ada sosialisasi tentang mekanisme dan tata cara pelaksanaan Pilkada Solo yang baik dan aman. Berkumpulnya masyarakat dalam jumlah besar pada hari pemilihan dan kempanye tidak dapat dihindarkan. Sesungguhnya soal alasan penghematan anggaran dan bahaya pandemi covid 19 cukup rasional. Hanya saja solusinya yang terlihat tak rasional. Proses pemilihan tetap dijalankan, tetapi tanpa pencoblosan. Aneh, semestinya jika bersikap konsisten, maka solusinya adalah penundaan Pilkada sampai pandemi reda. Bukan pemkasaan pelikada harus dipaksakan seperti sekarang. Usul agar pasangan calon tunggal untuk dapat dikeluarkan Keppres langsung ditetapkan sebagai kepala/wakil kepala daerah adalah usul yang, ngawur, lucu dan licik. Lucunya, bagaimana mungkin ada konsep "penetapan" pasangan kepala daerah tanpa ada pemilihan? Tanpa dilakukan pencoblosan. Liciknya, diduga kuat dasar usulan adalah kepentingan bahwa hanya akan ada satu pasangan saja yaitu Gibran-Teguh. Konfigurasi partai politik menunjukkan bahwa mayoritas partai mendukung atau mengusung pasangan putra Presiden Jokowi ini. Alasan ini juga merusak akal sehat dan tatanan demokrasi. Suasana yang "dipaksakan" harus terealisasi. Palaksanaan Pilkada pada bulan Desember 2020 pada situasi pandemi covid 19 ini dinilai sarat kepentingan. Seperti mnengejar jadwal tayang. Banyak keluarga atau kerabat dari pejabat negara yang maju untuk memperebutkan kursi Bupati atau Walikota. Akibatnya Pilkdada harus dipaksakan. Jika Pemerintah Pusat serius untuk mempertimbangkan aspek keamanan dan kesehatan. Bila pemerintah pusat berkeinginan untuk serius dan bersungguh-sungguh mencegah munculnya klaster baru covid 19, maka Pilkada 2020 sudah selayaknya ditunda. Pilkada secara akan sehat harus dimundurkan sampai pandemi covid 19 hilang. Kasus usulan Keppres "penetapan" tentu saja ngawur. Tidak beralasan hukum. Gibran yang digadang-gadang "harus" menjadi Walikota ternyata diperjuangkan dengan segala cara yang merusak demokrasi. Ini bagian dari politik nepotisme yaitu mendahulukan kekerabatan ketimbang kemampuan. "Nepos" itu artinya "cucu" atau "keponakan" yang menggambarkan keluarga dekat. Aspek kemampuan dikesampingkan. Aspek kapasitas dan kapabilitas tidak lagi diperlukan. Nepotisme secara hukum telah dilarang, dan harus diberantas. Bukan justru di "keppres" kan. Pilkada "Gibran" ini semakin ngawur saja. Pilkada yang hanya untuk memproduksi klaster baru penyebaran covid 19. Biaya yang dikelurkan untuk pengobatan penyebaran covid 19 juga semakin bertambah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Indonesia Berhikmat Pada Maunya Oligarki (Bag. Pertama)

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum I care not what puppet is place upon the throne of England to rule the Empire on which the sun never sets. The man that controls Britain’s money supply controls the British Empir, and I control the British money.” (Nathan Mayer Rotshild 16/9/1777-28/7/1836). Jakarta FNN – Jum’at (08/08). Bernegara bukan sekadar menyelenggarakan kekuasaan. Benar-benar bukan seperti itu. Bernegara merupakan cara untuk memuliakan umat manusia, dalam wujud menyejahterakan dan mencerdaskan mereka. Itu yang para pendiri negara ini mau, sehingga digariskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk tujuan itu, pendiri negara membayangkan pemimpin penyelenggaran pemerintahan negara adalah orang yang memiliki kecerdasan intelektual dan moral di atas rata-rata. Pemimpin yang harus berkhidmat penuh pada denyut kemuliaan manusia, yang tarpatri dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Presiden, siapapun orangnya harus tahu tentang tujuan bernegara ini. Uang Tuhan Oligarki Para pendiri negara bukan tak mengerti soal demokrasi. Tetapi demokrasi yang diimpikan oleh mereka bukanlah demokrasi liberal. Bung Karno, Soepomo, Bung Hatta, Ki Bagoes Hadikusomo, semuanya sangat mengerti soal demokrasi itu. Mererka tahu demokrasi liberal punya anak kandung yang namanya imprialisme. Nah, imprialis itulah yang hari ini menghina pribumi Indonesia. Demokrasi liberal bertuhankan uang. Kenyataan itu terbentang telanjang disepajang rute sejarahnya. Hebatnya demokrasi tipikal ini diseluruh penjuru dunia hanya dapat didefenisikan secara indikatif. Akibatnya, terciptalah ruang kreasi liar, yang pada semua aspeknya hanya memuliakan orang kaya. Padahal mereka punya tabiat licik, picik, tamak dan culas. Tabiat untuk menindas rakyat kecil yang tidak punya sandaran kepada kekuasaan. Kreasi liar itu dipakai sebagai cara menyembunyikan semua kerusakan yang ada dalamnya. Polesannya selalu sangat dan sangat canggih. Sedemikian canggihnya, sehinga demokrasi liberal mampu untuk menampilkan semua kerusakan itu sebagai sesuatu yang biasa. Amerika dan Indonesia yang mutakhir, sejauh ini sukses dengan sangat spektakuler dalam cara itu. Sialnya politisi abal-abal, odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng di negara Pancasila ini, sudah terlanjur mendewakan demokrasi impor yang menindas ini. Akuntabilitas, responsibilitas, keadilan dibanggakan sebagai elemen hebat demokrasi impor ini. Di luar itu tidak. Terlalu banyak orang yang tak mampu mengenal sisi mematikan, setidakinya seisi manipulative yang tersembunyi dalam konseop Supremasi hukum dan equality before the law misalnya. Orang-orang ini tidak mengetahui bahwa sejarah konsep-konsep itu disodorkan oleh oligarki kuno. Dan terus digunakan oleh oligarki modern sebagai cara mereka untuk mempertahankan eksistensinya dalam hirearki politik, sosial dan ekonomi. Tersaji dalam sejarah sebagai pencipta utama demokrasi liberal, kaum oligarkis menjadi pemberi bentuk kongkrit terhadap jalannya pemerintahan. Merekalah yang mengisi konsep-konsep demokrasi. Mereka inilah yang dalam sejarahnya merancang arah pembangunan negara yang harus dan harus dilaksanakan oleh presiden, siapapun orang yang mejabat presiden itu. Oligarki, dalam sepenggal sejarah Amerika, menentukan siapa yang harus menjadi capres dan siapa yang tidak boleh menjadi capres. Siapa yang harus menang dan siapa yang harus kalah dalam pilpres. Itu telah menjadi khidmat kebijaksanaan mereka. Mereka bekerja dengan uang. Namanya itu sumbangan. Hebatnya konstitusi liberal yang bekerja dalam kasus Amerika dan Indonesia, justru memberi sifat konstitusional atas sumbangan itu sebagai ekspresi hak konstitusional. Itulah kenyataannya. Dihormati sebagai hak konstitusional, mengakibatkan sumbangan kaum oligarkis dalam pemilu dimanapun, terutama di Amerika dan Indonesia tidak bisa dilarang. Para pendiri negara ini sangat dan sangat mengerti itu. Mereka meolaknya, dengan menyodorkan nilai-nilai Pancasila untuk menjinakannya. Sayangnya, generasi sesudahnya memiliki jarak moral terlalu jauh dengan moralitas mereka para pendiri bangsa. Dunia politik, hukum dan ekonomi sungguh beracun dan mematikan. Inilah soal terbesar bangsa sekarang. Terus Terkonsolidasi Indonesia dengan Pancasilanya dalam bernegara, justru semakin jatuh hati dan mempraktikan pemilihan presiden dan pilkada langsung. Akibatnya uang jadi panduan utama demokrasi. Miskin, pas-pasan dalam banyak aspek, tetapi sombong dengan demokrasi, yang setiap aspeknya penuh dengan tipu-tipu. Konyol namanya. Demokrasi tipu-tipu mainan kaum korporasi dan oligarkis licik, picik, culas dan tamak. Kekonyolan itu terlihat juga begitu jelas pada politik keuangan. Politik keuangan bangsa ini bekerja di lintasan tangan korporasi dan oligarki keuangan dunia dan domestik. Terjebak dalam penaralarn The Fed. Kemiskinan pengetahuan bangsa ini, telah mengakibatkan orang membanggakan independensi Bank Sentral. Dampaknya korporasi dan oligarkis bisa dengan leluasa mengatur inflasi dan deflasi. Padahal gagasan dasar inderopendensi bank sentral, awalnya diciptakan oleh Kolonel Mendel House, mentor politik dari Presiden Woodrow Wilson. Bank Sentral di Amerika hanya diatur dengan undang-undang. Celakanya, Indonesia malah mengaturnya dalam UUD 1945 yang telah diubah sebanyak empat kali secara berturut-turut itu. Sukses besar mereka. Dalam sejarahnya Bank Sentral, tersaji sebagai kreator paling ulung mengatur inflasi, deflasi, pemberian utang, utang dan utang. Namanya kredit dan pinjaman, juga bank note dan sejenisnya. Lini nalar khas Wall Street itu memunculkan lembnaga yang bermana International Monetery Fund (IMF ) dan World Bank, organisasi keuangan dunia. Bekerja dalam lini itu, utang dan pinjaman kepada negara anggota, terutama Indonesia yang telah menjadi primadona. Konsep politik ekonominya dinamakan pinjaman. Politik itu mengambil rute macam-macam. Salah satunya adalah celah defisit anggaran. Beginilah cerdasnya para politisi tak berakal tersebut. Mereka membiarkan dan memperbesar nafsu untuk membangun. Lalu uangnya nanti dari hasil pinjam dan utang. Tragis sekali. (bersambung). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Penangkapan Joko Tjandra, Konfirmasi Masalah Besar di Kepolisian

by Asyari Usman Jakarta FNN - Jumat (07/08). Banyak yang memberikan aplus, bertepuk tangan. Memuji Polri, khususnya Bareskrim. Mereka berhasil menangkap Joko Tjandra (JT), narapidana buronan dalam kasus Bank Bali. Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, termasuk yang memuji Kepolisian. Kata Poengky, penangkapan ini akan memulihkan kepercayaan publik terhadap berbagai institusi penegak hukum. Sekjen Pemuda Pancasila (PP), Arief Rahman, juga memuji Polri, tepatnya Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo. Menurut Arief, penangkapan itu adalah prestasi yang pantas diapresisasi. Banyak lainnya yang turut memuji-muji. Mohon maaf. Kita, publik, tidak perlu lagi memberikan respon konvensional dalam bentuk pujian. Hari ini, kita harus melihatnya berbeda. Bagi saya, penangkapan Joko Tjandra merupakan konfirmasi bahwa ada masalah besar di Polri. Institusi ini, kelihatannya, dihuni oleh banyak oknum yang bermental bobrok. Persoalan inilah yang sejak lama dikeluhkan publik. Kebobrokan di kalangan para oknum pemegang jabatan penting di Kepolisian. Mungkin juga di instansi-instansi penegak hukum lainnya. Penangkapan yang ‘high profile’ ini bukanlah perstasi. Ada yang mengatakan itu prestasi Kepala Bareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo. Bagi saya, bukan. Listyo Sigit tidak perlu disanjung sebagai pahlawan. Mengapa itu bukan pretasi Komjen Listyo Sigit? Sederhana saja alur logika untuk itu. Pertama, Joko Tjandra bisa keluar-masuk Indonesia seenaknya antara bulan Maret dan Juni 2020. Lolos begitu saja. Bebas ke mana-mana. Tidak ada yang menangkap dia. Bahkan dibuatkan surat jalan, surat bebas Covid-19, dan entah dokumen papa lagi. Nah, siapa Kabareskrim-nya? Komjen Listyo Sigit bukan? (Dia dilantik pada Desember 2019). Kedua, kalau Joko Tjandra bisa ditangkap pada 30 Juli 2020 di Kuala Lumpur, terus apa rintangan untuk menangkap buronan pencoleng uang negara itu ketika dia berkeliaran di Jakarta? Mengapa tak ditangkap ketika Joko Tjandra membuat e-KTP di Kantor Kelurahan Jakarta Selatan? Mengapa Joko Tjandra tak bisa diciduk ketika mendatangi pengadilan negeri Jakarta Selatan untuk urusan sidang Penijauan Kembali (PK) perkaranya? Publik menuntut penjelasan, mengapa Joko Tjandra tidak ditangkap, atau tidak bisa ditangkap ketika dia melakukan banyak kegiatan di Indonesia dalam rentang tiga bulan. Apa alasan Pak Bareskrim Polisi? Ketiga, ada tiga polisi berbintang yang terlibat membantu Joko Tjandra. Semuanya sudah dijatuhi hukuman administrasi. Pertanyaannya, bisakah langsung disimpulkan bahwa ketiga polisi senior itu bertindak sendiri-sendiri? Mungkinkah itu tanpa koneksi dengan atasan mereka? Baik itu atasan dalam arti struktural maupun atasan dalam jenjang kepangkatan? Salah seorang yang jendral berbintang itu adalah Prasetijo Utomo, bekerja di lingkungan Bareskrim. Dialah yang menerbitkan surat jalan untuk Joko Tjandra. Lagi-lagi, siapa Kabareskrimnya waktu itu? Apakah ada Kabareskrim selain Komjen Listyo Sigit? Publik harus mengubah cara melihat ‘prestasi’ Polri. Atau juga institusi lain. Maksudnya begini. Bisa atau mampu menangkap buronan adalah keberhasilan yang biasa-biasa saja bagi Kepolisian. Polisi memang wajib bisa menangkap buronan. Tidak ada yang istimewa di situ. Penangkapan Joko Tjandra baru bisa disebut atau dikatagorikan istimewa kalau saya yang melakukannya. Itu baru bisa dikatakan luar biasa. Karena saya hanya masyarakat awam. Tidak dilatih seperti halnya polisi. Dan saya juga tidak punya apa-apa. Tidak dilengkapi dengan senjata dan kewenangan. Polri? Intitusi ini punya semuanya. Punya dana besar ratusan triliun setahun. Punya sistem pelatihan yang canggih. Alat-alatnya juga yang canggih-canggih. Punya jajaran intelijen kelas dunia. Plus, tingkat IQ yang tinggi-tinggi. Pintar, cerdas, dan sangat cendekia. Bareskrim itu, setahu saya, diisi oleh orang yang hebat-hebat. Bahkan paling hebat untuk ukuran negara-negara di kawasan ASEAN. Sejumlah orang penting di berbagai lembaga Hankam lainnya mengatakan, sebetulnya Polri itu jauh lebih canggih. Mereka ‘well-funded’, ‘well-maintained’, ‘well-resourced’. Pokoknya, semua ‘well-‘ ada di Polri. Semua hal yang bagus-bagus ada di sana. Yang jelas, lebih banyak uang dari APBN yang dikucurkan di Kepolisian dibandingkan anggaran pertahanan yang digunakan untuk tiga angkatan TNI, darat, laut, udara, Mabes TNI dan Kemenhan. Artinya, kalau cuma menangkap Joko Tjandra di Kuala Lumpur, pasti tidak ada sulitnya. Sebab, polisi dilengkapi macam-macam fasilitas perangkat lunak (software) yang diperlukan. Hubungan Polri dengan Polisi Di Raja Malaysia (PDRM), sangat bagus. Makanya yang menangkap Joko Tjandra di Malaysia pasti bukanlah dari Bareskrim Polri. Yang menangkap Joko Tjandara pastilah Polisi Malaysia (PDRM) atas permintaan dari Polri. Setelah ditangkap, barulah Joko Tjandra diserahkan kepada Bareskrim Polri untuk dibawa ke Indonesia. Penyerahan tersebut bisa saja di salah satu kantor Polisi di Malaysia. Bisa juga di salah satu bandar udara di Malaysia. Terus, ada juga kerja sama intelijen kedua negara. Ada saluran diplomatik lewat Kemenlu. Ada Interpol, dan lain sebagainya. Bisa melakukan operasi intelijen yang mampu membuat Joko Tjandra terlihat seperti ayam masuk comberan. Intinya, tidak ada yang berat bagi Polri untuk menangkap si penjahat rakus itu. Sangat tidak relevan memberikan tepuk tangan kepada Bareskrim Polisi, karena bisa menangkap buronan yang terbukti tidak ada apa-apanya. Kalau Joko Tjandra orang yang sangat kuat, dikawal Yakuza, Triad, dan geng Mafia, atau tentara bayaran (mercenary) boleh jadi sulit diciduk. Ternyata, tidak ada masalah ketika dia “ditangkap”. Barangkali, yang sulit itu adalah meminta maaf kepada Joko Tjandra bahwa dia “terpaksa” dibawa pulang. Dan harus diborgol di depan media. Tidak ada jalan lain. Publik terlanjur sudah tahu liku-likunya. Jadi, penangkapan Joko Tjandra adalah ‘operasi plastik’ untuk menyelamatkan muka sejumlah orang. Selain itu, ada aroma incar jabatan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Mundur...Mundur... Dan Mundurlah

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (07/08). Nampaknya seruan agar Pak Jokowi mundur akan semakin kencang dan menggaung. Ini efek dari tak ada kebijakan solusi atas keadaan saat ini yang menukik menuju multi dimensi krisis. Ekonomi, politik, moral, hingga ideologi. Pandemi juga melengkapi semua krisis yang ada. Penyelenggara negara seperti terbengong-bengong menghadapinya. Rakyat sulit berharap pada tim yang diberi amanah, tetapi tak mampu berbuat apa-apa. Kondisinya menjadi terus menerus melakukan kesalahan. Keluar Perppu salah, otak atik undang-undang salah, urusan kesehatan salah, pindah ibukota salah, ngurus keluarga Pilkada salah juga. "Salah melulu si dia". Sementara rakyat seperti dibiarkan mengatasi sendiri permasalahannya. Untuk sebaiknya, mundur..mundur..mundur sajalah. Mundur pertama, adalah mundurnya para pendukung Pilpres yang kecewa dengan kinerja junjungan. Tak sesuai harapan dan janji-janji pada saat pencitraan dan kampanye dulu. Kini sang pemimpin hanya bisa memikirkan diri, keluarga dan kelompok dekatnya saja. Kalau cebong mati karena tidak diberi makan. Menggelepar di daratan. Mundur kedua, adalah kelakuan para Menteri. Para pembantu Presiden yang "dimarah-marahin lagi", disalah-salahkan lagi, dan diancam-ancam akan diresafel. Menteri yang tidak dihargai oleh pemimpin yang sebenarnya tidak mengerti soal harga. Harga diri yang tergadai. Mundur ketiga, tentunya adalah mundurnya bapak. Koordinasi tim work yang amburadul membuat semua program "ambyar". Alih-alih investasi, nyatanya tumpukan hutang. Kepercayaan dan kesabaran publik sedauh semakin rendah. Mundur adalah keniscayaan. Tap MPR No. VI tahun 2001 bisa saja dijadikan sebagai sandaran pembenaran. Reformasi, restorasi, rekonstruksi atau apapun namanya mungkin segera terjadi. Perubahan politik secara konstitusional adalah biasa dalam proses ketatanegaraan Indonesia. UUD telah memfasilitasi hal demikian. Para pendahulu telah mengajarkan bagaimana pola suksesi. Bukan kudeta. Kemunduran adalah ketika kedaulatan rakyat dipermainkan dan elemen strategis bangsa diam saja. Kemunduran adalah hukum yang menjadi kepanjangan tangan politik pragmatik. Kemunduran adalah kemajuan yang tidak tercapai akibat Kulusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang semakin merajalela pada hampir strata pemerintahan hari ini. Kemunduran adalah jalan menuju keterpurukan dan pemiskinan rakyat. Jika kondisi sudah sangat ruwet...ruwet... dan ruwet, maka mundur...mundur...mundur adalah jalan terbaik untuk menuju kemajuan. Meski untuk maju lagi itu bertahap, namun maju..maju..maju. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Bertemu Tokoh Oposisi, PDIP Bermanuver?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (07/08). Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Cakra Buana, organisasi sayap PDIP bertandang ke rumah Rizal Ramli. Publik tahu, Rizal Ramli dikenal sebagai salah satu dari sembilan tokoh oposisi. Sekarang Rizal Ramli bersama-sama dengan tokoh yang lain membuat gerakan bernama Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Ada hal ganjil ketika Satgassus PDIP ini audiens ke rumah tokoh oposisi yang selama ini dikenal sangat kritis kepada pemerintah. Ganjil ketika pertama, oposisi sudah mulai terlihat menguat. Terutama ketika sejumlah tokoh oposisi membuat gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Kedua, PDIP sedang dalam posisi sedang terhakimi oleh umat Islam dalam kasus Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Ketiga, keadaan ekonomi ke depan membuka peluang terjadinya situasi politik yang tak terprediksi. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Tentu, kedatangan Satgassus PDIP ini bukan silaturahmi biasa. Tapi, ini langkah politik yang cukup cerdas. Apakah langkah ini sepengetahuan atau seijin Megawati? Di PDIP, hampir tak ada langkah penting yang dilakukan oleh kader yang tak terkordinasi dengan ketua umum. Silaturahmi politisi itu langkah politik. Bisa juga terobosan politik untuk membuka saluran dan kemungkinan politik beku. Untuk kembali mencair lagi. Jika silaturahmi itu ke kubu yang berseberangan, maka publik menyebutnya dengan istilah manuver politik. Itu hal yang biasa saja. PDIP itu pengusung Jokowi. Bahkan Jokowi adalah kader PDIP. Megawati menyebutnya sebagai petugas partai. Sementara Rizal Ramli adalah tokoh yang sangat aktif dan masif melakukan kritik kepada Jokowi. Berseberangan! Maka, silaturahmi Satgas PDIP ke Rizal Ramli itu tak salah jika dianggap sebagai bagian dari manuver politik. Lalu, apa targetnya? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, sebagai alat bergaining terhadap Jokowi. Silaturahmi ini mengirim pesan ke istana bahwa PDIP bersama oposisi bisa saja melakukan langkah politik yang tak bisa dikendalikan oleh istana. Pesan ini terbaca dari ungkapan Kadiman Sutedy, Ketua Satgassus Cakra Buana yang merasa kecewa terhadap Jokowi. Jokowi dianggapnya sudah tidak jujur dan nggak punya hati dalam memimpin rakyat. Kadiman seolah menegaskan bahwa Jokowi saat ini adalah pemimpin bermasalah. Ungkapan ini sekaligus digunakan untuk memancing reaksi Rizal Ramli terkait Jokowi. Dari reaksi Rizal Ramli, Satgassus akan mendapat bahan bacaan untuk menganalisis bagaimana respon dan pandangan kalangan oposisi terhadap situasi sekarang? Kedua, PDIP berupaya membuka komunikasi dengan para tokoh oposisi. Rizal Ramli bisa dianggap sebagai representasi dari para tokoh oposisi yang tergabung dalam KAMI. Manuver ini juga bisa dijadikan sebagai upaya untuk membaca kemana langkah gerakan oposisi, dan jika diperlukan sekaligus bisa untuk melunakkan para tokohnya. Ketiga, silaturahmi Satgas PDIP ini bisa dimaknai sebagai langkah pro-aktif dalam menghadapi situasi bangsa kedepan yang tak menentu. Ancaman resesi ekonomi membuka peluang terjadinya perubahan politik. Jika kekhawatiran ini terjadi, PDIP setidaknya telah menjajagi kebersamaannya di gerbong oposisi. Upaya cari selamatkah? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Reziki Wartawan Politik Meliput Olahraga (Bag. Pertama)

by Emron Pangkapi Jakarta FNN – Jum’at 907/08). Tahun 1981 saya bekerja sebagai wartawan pada Harian Pelita Jakarta. Bidang tugas peliputan adalah Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam). Meliput bidang olahraga adalah benar-benar barang garapan baru bagi saya. Pada akhir 1981, ada pesta olahraga Sea Games di Manila Filipina. Pesta Olahraga negara-megara anggota ASEAN. Harian Pelita menugaskan wartawan olahraga Ahmad Istiqom untuk meliput kegiatan Sea Games di Manila. Tiga hari sebelum pembukaan Sea Games, Istiqom ternyata berhalangan. Istiqom tidak bisa berangkat. Maka harus dicari wartawan pengganti. Sebab seluruh proses administrasi dengan OC Sea Games Manila sudah rapi dan selesai. Tidak ada wartawan olahraga yang siap berangkat. Bahkan sebagian rekan di Harian Pelita, paspor pun belum punya. Redaktur Olahraga Budiman Tos menawarkan saya yang wartawan politik, untuk dua minggu menjadi wartawan olahraga. Pendek kisah, berangkatlah saya ke Manila bersama rombongan SIWO PWI. Ketika itu SIWO PWI dipimpin Sondang Meliala. Menurut Istiqom, ikut rombongan SIWO "aman semua". Tiba di Manila, kami tinggal di Silahis Hotel. Proses administratif semua di tempat ini. Markas wartawan di Press Room Rezal Memorium Stadium. Ada ruangan Indonesia. Tidak terlalu luas dan masih kering dengan fasilitas yang layak untuk wartawan. Zaman itu kirim berita masih menggunakan telex dan sambungan telepon internasional. Belum ada faksimile, modem, email maupun WhatsApp (WA). Telepon di Press Room masih berebut. Di bussiness centre belum ada wartel. Pokoknya semua penuh persaingan. Bahkan jatah makan pun masih rebutan. Di hari pembukaan Sea Games, kami di tribun wartawan Rezal Memorial Stadium di tengah kota Manila. Acara pembukaan sangat meriah. Berbagai atraksi dan parade kontingen gegap gempita. Marching Band Angkatan Laut Filipina membawakan lagu lagu hits, antara lain aransemen lagu Suzana yang lagi ngetop. Upacara diawali Laporan Ketua OC/President Olympiade Filipina Bongbong Marcos. Dilanjutkan dengan sambutan Gubernur Metro Manila Emelda Marcos, dan pembukaan Sea Games oleh Prsiden Ferdinand Marcos. Di tribun juga ada putri presiden, Emee Marcos, yang cantik berkacamata hitam. Terlihat jelas dari tribun wartawan. Saya ingat semua ketua delegasi 'diperkenalkan" oleh Presiden Marcos. Delegasi Indonesia dipimpin Ketua KONI Pusat Sri Sultan Hamengkubuwono IX (mantan Wapres RI). Sejumlah pejabat RI juga hadir, antara lain Menpora Abdul Gafur. Sebagai pendatang baru di rombongan SIWO PWI, saya merasa tersisih. Hampir tidak punya teman. Teman teman wartawan olahraga itu "terkesan ekslusif". Bersaing keras, menyembunyikan info kegiatan. Saya merasa seperti "diplonco". Teruntang-anting. Agak keteteran dan sering ketinggalan info. Hanya satu dua wartawan yang berkenaan mengajak saya jalan bersama. Sekali sekali saya ikut Adhi Wargono, dan Indri. Maklum wartawan olahraga umumnya para senior. Mereka memandang saya sebagai "anak bawang" dengan sebelah mata. Saya sering salah lokasi venues, bahkan pernah tertinggal bis dari lapangan. Akibatnya laporan Sea Games saya tidak terlalu sempurna. Untunglah redaktur Olahraga Harian Pelita bisa maklumi. Akhirnya, saya lebih banyak mendampingi petenis nasional Suzana, yang kebetulan atlet asal daerah Babel. Saya juga kerepotan mengejar jatah SIWO. Titipan "memo" dari Istiqom untuk wartawan kordinator cabor Nurman Chaniago, baru bertemu dua tahun kemudian. Sedih saya. Untunglah ada Calon Ketum PSSI Syarnubi Said (Krama Yudha) dan Sespri beliau Syaiful Anwar Husein. Pak Syarnubi Said manajer Timnas, sedang kampanye untuk menjadi Calon Ketum PSSI. Maka dapatlah saya "sangu" dana transportasi lokal dari Pak Syarnubi. Belakangan Syaiful Anwar Husein jadi sahabat saya hingga akhir hayatnya. Di tengah kerepotan liputan olahraga itu, saya ke KBRI Manila. Nasib baik menghampiri saya. Bisa berkrnalan dengan Prof. Ilyas Ismail, penduduk Filipina asal Aceh yang menjadi staf lokal di KBRI. Beliau adalah guru besar di Philippines University. Banyak buku-buku karangannya, terutama tentang Islam dan perbandingan agama. Berdiskusi saya dengan Pak Ilyas Ismail, membuat saya merasa mendapat tantangan baru. Apalagi waktu itu pemerintah Filipina masih menghadapi pemberontakan MNLF (Front Pembebasan Nasional Moro) pimpinan Nur Misuari. Sebagai wartawan politik, cerita soal MNLF ini bahan liputan yang menarik. (bersambung). Penulis adalah Wartawan Senior dan Politisi PPP.

MK Gelar Karpet Merah Untuk Dinasti Politik

by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Kamis (06/08). Lima tahun lalu, tepatnya 18 Juli, koran The New Yorker membahas Dinasti politik di Indonesia, khususnya dinasti politik di Banten. Juga disinggung tentang parlemen Indonesia (DPR-RI) yang telah mengeluarkan undang-undang yang melarang siapa pun dengan satu derajat pemisahan dari petahana yang memiliki hubungan darah atau perkawinan sebagai calon Gubenur, Bupati dan Walikota Aturan itu telah nyata-nyata melarang politik dinasti keluarga. Malarang siapapun untuk mencalonkan diri ikut dalam pemilihan lima ratus lebih kursi Gubenur, Bupati dan Walikota, bupati jika memiliki hubungan keluarga dengan petahana. Mereka dilarang memiliki hubungan keluarga itu dengan yang sedang menjabat. Setidaknya satu masa jabatan selama lima tahun. Ketentuan tersebut adalah Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. UU ini disahkan tanggal 2 Oktober 2014 pada era pemerintahan Presiden SBY. Hanya berselang delapan belas hari sebelum Jokowi dilantik sebagai presiden. Pada pasal 7 memuat 2 ayat yang mengatur untuk terselenggaranya pilkada yang demokratis dan berkualitas. Yang mensyaratkan uji publik . Selian itu melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Syarat uji publik pada pasal 7 hruf (d) sangat bermanfaat bagi masyarakat pemilih. Tujuannya agar pemilih mengetahui kapasitas, integritas dan kapabilitas sang calon. Uji publik tentu berbeda dengan debat calon. Uji publik memungkinkan interaksi langsung pemilih kepada para kontestan. Uji publik setidaknya dapat mengimbangi disinformasi dari suatu pencitraan kontestan di media. Sedangkan pada pasal 7 huruf (q) menyebutkan bahwa, calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Dalam bab penjelasan UU tersebut, yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan” adalah tidak memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, dan ke bawah. Juga ke samping dengan petahana kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan. Penjelasan ini tentunya telah mempertimbangkan fenomena negatif yang muncul di setiap pilkada langsung sejak 2005. Sebab ketika itu di beberapa daerah terjadi kemunculan dinasti politik lokal yang dimungkinkan oleh pemilihan langsung. Dengan dukungan uang, pengaruh feodalisme lokal juga struktur politik dan pemerintahan lokal, dinasti politik lokal sangat mudah dibangun. Yang penting sudah memenuhi syarat formal demokrasi. Maka hampir pasti dipilih rakyat. Sayangnya di kemudian hari, aturan uji publik dihapus. Keputusan penghapusan itu melalui uji publik itu berdasarkan pembahasan yang dilakukan Panitia Kerja Revisi UU No 1 Tahun 2015 tentang Pilkada antara DPR dan Pemerintah. Penghapusan syarat uji publik ini tertuang dalam UU Nomor 8 tahun 2015. Ketentuan ini ditandatangi oleh Jokowi sekitar enam bulan setelah dilantik. Kemudian di bulan Maret 2015, MK mengabulkan gugatan atas aturan calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Yang kemudian aturan tersebut direvisi dalam UU Nomor 10 tahun 2016 yang ditandatangani oleh presiden Jokowi. Kesimpulannya dalam waktu 21 bulan pertama pemerintahan rezim Jokowi sudah mencabut dua aturan penting yang dibutuhkan dalam membangun demokrasi. Lalu apa yang terjadi dengan kualitas Pilkada di Indonesia? Rakyat tidak punya kesempatan untuk menguji calon-calon yang disodorkan parpol. Rakyat harus terima calon-calon yang diusung Parpol. Apalagi dengan threshold 20%, tentu saja sangat mudah Parpol mengendalikan bursa calon Kepala Daerah. Ini semacam "blind democracy" bagi rakyat. Sementara itu, rakyat dibombardir dengan informasi searah dari timses masing-masing kontestan yang tidak lebih dari pencitraan belaka. Lalu terbentuknya dinasti politik lokal di berbagai daerah yang melibatkan estafet kemimpinan di daerah hanya berputar-putar dalam hubungan keluarga. Bahkan terbentuk pula monopoli kekuasaan satu keluara yang menguasai lembaga eksekutif dan legislatif oleh satu keluarga di berbagai tingkat pemerintahan daerah, provinsi maupun kabupaten/kota. Hasilnya adalah di era Jokowi ini, ada 46 kepala daerah terjerat kasus korupsi (Data 2018). Yang terbaru adalah di Kabupaten Kutai Timur, suami Bupati dan istri ketua DPRD terkena OTT KPK. Belum lagi jumlah pejabat pemerintahan daerah di berbagai level yang terjerat kasus korupsi. Ini pun tak bisa dipisahkan dari kepemimpinan pemerintahan daerah yang merupakan hasil dari kontestasi politik. Ini tentu sangat menghawatirkan demokrasi di Indonesia yang usianya masih sangat muda. Rakyat yang sedang belajar demokrasi seharusnya diberikan contoh tauladan. Bukan diberikan tontonan yang membuat ketidakpercayaan rakyat pada demokrasi. Kontestasi politik bukan ajangf membangun dinasti politik. Ini salah besar, sesat dan menyesatkan rakyat. Semestinya negara membangun kecerdasan rakyat. Bukan malah membodohi rakyat. Dinasti politik tidak mempersoalkan diangkat atau dipilih rakyat. Dalam terminologi akademis pun, dimana saat ini negara demokrasi menerapkan pemilihan langsung, dinasti politik sudah pasti merujuk pada pemilihan langsung oleh rakyat. Demokrasi di negara-negara yang sudah maju dan matang juga terjadi dinasti politik, namun menjadi jadi sorotan publik. Di Amerika Serikat, politik dinasti jauh lebih sedikit merusak daripada dalam mengembangkan demokrasi seperti Indonesia. Itu karena Amerika memiliki lembaga peradilan yang independen dan kredibel. Peradilan untuk memeriksa penyalahgunaan kekuasaan secara aktif, baik selama kampanye pemilihan maupun setelahnya. Wassalaam. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studie (INFUS).

Boedi Djarot Ribut Soal Khilafah

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (06/08). Beredar Video menantang Boedi Djarot yang muncul dari persembunyiannya. Boedi Dfjarot berteriak teriak menyatakan bertanggungjawab atas peristiwa 27 Juli 2020 di depan gedung DPR. Lalu menantang sambil menyebut nyebut soal Khilafah segala. Jika berpedoman pada undang-unang ITE "teriakan" itu masuk kategori ujaran kebencian. Benci kepada Khilafah. Entah Boedi Djarot mengerti atau tidak Khilafah? Bahwa Khilafah itu adalah sistem pemerintahan para sahabat Rasulullah SAW sepeninggal Beliau. Pemerintahan Abubakar Shiddiq adalah Khalifah. Begitu juga dengan pemerintahan Umar bin Khattab, Usman bin Affan, serta Ali bun Abi Thalib. Umat Islam sangat menghormati para Khalifah tersebut. Mengingkari para Khulafa'ur Rasyidin sama dengan mengingkari Rosulullah SAW. Artinya yang bersangkutan telah keluar dari Islam. Murtad namanya. Memang timbul pertanyaan Boedi Djarot itu Muslim atau bukan. Seorang Muslim tidak mungkin membenci Khalifah dan Khilafah. Sejarah kenabian dan shahabat tidak bisa dihapus oleh suara berisik sinisme dan kerut kebencian seorang Boedi Djarot. Itu melekat dengan keimaman dan keislaman. Mencaci maki sama saja dengan menodai. Pasal 156 a KUHP mengancam perbuatannya. Khilafah yang ditentang keras adalah modus sembunyi dari peringatan umat Islam yang mewaspadai kebangkitan kader-kader neo-PKI dan faham Komunisme. Pembenci agama itu, dipastikan mereka adalah kaum Komunis. Tidak yang lain. Mereka hanya menjadikan agama sebagai alibi untuk menyembunyikan diri dari yang sebenarnya. Disangkanya dengan membenci Khilafah otomatis bisa menafikan kewaspadaan umat terhadap bahaya kebangkinan kader-kader neo PKI dan faham Komunisme. Tentu itu tidak mungkin terjadi. Tantangan angkuh, yang sebenarnya adalah ketakutan Boedi Djarot. Lalu dikai-kaitkan dengan Khilafah, justru memercik muka sendiri. Boedi Djaroe sebenarnya membongkar borok tanpa disadari. Ada ideologi yang kini berbahaya bagi NKRI, yaitu mereka Gerombolan Trisila dan Ekasila yang berpedoman kepada Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Bukan konteks historis tetapi menjadi ideologi perjuangan saat ini. NKRI adalah Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Bukannya Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Kalau yang 1 Juni 1945 bukan Pancasila dan NKRI. Jika diperjuangkan agar berlaku, maka itu masuk kategori subversif atau makar. Upaya untuk merongrong, dan dapat mengganti Pancasila. Ini kejahatan terhadap keamanan negara. Melanggar ketentuan Pasal 107 KUHP. Bila ada narasi "partai sebagai alat perjuangan untuk membentuk karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945" dan tugas partai "mempengaruhi dan menjiwai jalannya penyelengaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945" dapatkah itu dibenarkan ? Jelas sangat inkonstitusional. Telah merongrong kewibawaan Pancasila 18 Agustus 1945. Jelas itu adalah makar atau subversif? Tidak ada devini yang lain. Mungkin bung Boedi Djarot yang ribut soal Khilafah bisa menjawab pertanyaan tersebut. Jangan bersikap seperti "kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak". Adil dan jujurlah dalam berteriak atau ribut-ribut itu. Jika tidak, ya rugi sendiri. Jangan sok membela NKRI, tetapi nyatanya menghianati NKRI. Model seperti itu adalah gaya perjuangan PKI dahulu. Diulangi oleh kader-kader yang neo-PKI kini. Nah, Mas Boedi Djarot, "A germ on the other side of the sea is visible, an elephant under one's own eye-lid is not !". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.