OPINI
Agum Gumelar Ngaco Soal Komunisme
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Senin (05/10). Pernyataan Ketua Umum Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) Jendral Kehormatan TNI (Purn. ) Agum Gumelar yang dikutip sebuah media online mainstream keliru besar. Miris juga saya mendengar pernyataan dari seorang Jendral Purnawirawan yang sangat miskin data. Sudah salah, ngawur dan ngaco pula dalam membuat kesimpulan. Dampaknya bisa sangat menyesatkan. Sekelas Agum Gumelar menyebut bahwa PKI di Indonesia adalah bagian dari gerakan komunisme internasional, dan Republik Rakyat Cina (RRC ). Padahal secara ekonomi, RRC sudah sangat kapitalis. Kata Agum lagi, RRC kini telha menjadi negara kapitalis terbesar di dunia. Hanya dengan alasan itu, orang sekelas Agum Gumelar lantas menyimpulkan bahwa komunisme sudah basi dan sudah bubar. Ini bentuk kasimpulan dan asumsi yang ngwur, ngaco dan sangat menyesatkan. Kesimpulan yang tanpa berbasis pada data dan fakta. Hanya karena Agum Gumelar tidak detail dalam membaca permasalahan di RRC. Bahwa benar RRC merubah haluan ekonominya iya. RRC juga takluk pada kapitalisme dan liberalisme ekonomi, juga iya. Tetapi di wilayah politik RRC, tidak ada yang berubah satu centipun. Politik di RRC itu masih tetap saja berhaluan komunis. Bukti apa ? Bukti yang paling sederhana adalah Partai Politik Komunis masih menjadi partai tunggal di RRC. Hanya Partai Komunis Cina yang mengendalikan seluruh lili pemerintaha di RRC. Yang namanya demokrasi itu, tidak tumbuh dengan sehat disana. Sebagaimana demokrasi yang tumbuh dan berkembang di negara-negara liberal kapitalis lainya. Partai politik tunggal adalah salah satu ciri utama dari sitem komunisme dalam politik. Doktrin tentara RRC adalah taat dan tunduk kepada Partai Komunis Cina. Bukan taat dan tunduk kepada negara RRC. Bgitulah salah satu sistem dan cara komunisme dalam mengelola dan mengusai negera. Kellee S.Tsai dalam bukunya Capitalism without Democracy: The Private Sector in Contemporary China (2007) menyebutkan bahwa Chinese entrepreneurs are not agitating for democracy. Most are working eighteen-hour days to stay in business. Mereka para pebisnis tersebut menurut Kellee S.Tsai adalah anggota Partai Komunis China. Dan itu juga yang menjadi haluan politik Tiongkok. Bahwa politiknya tetap saja komunisme, meski ekonominya liberal kapitalis. Meskipun ekonominya kapitalisme, China juga pada titik tertentu tidak murni kapitalis. Bukti lainya adalah posisi RRC yang selalu berhad-hadapan dengan Amerika Serikat, dan sangat getol melakukan perang dagang dengan Amerika Serikat. Jika betul RRC kapitalis dan liberalis, mestinya bersahabat dengan Amerika Serikat. Faktanya tidak juga tuh. Mestinya Agum Gumelar minimal tau dua argumen di atas. Sehingga Agum yang Jendral Kehormatan TNI (Purn.) itu tidak bicara tanpa data yang akurat. Jadinya, komentar Agum Gumelar jelas-jelas keliru, ngawur dan berlebihan terhadap isu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan faham komunisme yang dilontarkan oleh mantan Panglima TNI, Jendral Purnawirawan benaran Gatot Nurmantyo. Apa yang disampaikan Gatot Nurmantyo itu sifatnya warning. Juga sebagai analisis tentang kemungkinan metamorfosis faham komunisme dimanapun, khususnya di Indonesia. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta.
Gibran, Anak "Tuan 92%" Yang Menjadi Kadrun
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (05/10). Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Jokowi yang menjadi calon Walikota Solo merasa telah "booming". Apalagi mendapat dukungan dari koalisi mayoritas partai politik. Bahkan partai politik baru tanpa malu-malu juga ikut nimbrung mendukung. Dulu awalnya Gibran sama-sekali tidak terfikir untuk berkompetisi menjadi Kepala Daerah katanya. Mungkin saja karena takut menyulitkan posisi sang ayah yang mengagendakan jabatan politik yang lebih meroket dua periode. Karena keinginan dua periode sudah tercapai, maka sang anak sudah bisa untuk lampiaskan keinginan menjadi Walikota Solo. Situasi kini berbeda. Setelah muncul Gibran keinginan untuk menjadi Walikota Solo, tentu saja ini adalah keinginan mendapat dorongan atau dukungan penuh dari ayahanda. Masyarakat wajar saja kalai melihat status Gibran sebagai "putera raja" menjadi modal politik terbesar. Adapun modal kecilnya adalah kompetensi dan pengalaman yang sangat sangat minim dan bau kencur itu tidak lagi penting untuk dipertimbangkan. Jualan martabak saja, dipastikan bukan modal sosial untuk meraih jabatan politik. Modal utamanya adalah putera raja. Mulai merasa "over confidence". Gibran berujar bahwa kemenangan sudah pasti bakal digenggamnya. Tetapi tidak mau kemenagan itu sampai 70 % atau 80% saja. Harus bisa mencapai 92 % kemengan. Toh, sebenarnya kalau mau ditargetkan kemengan 110% juga boleh-boleh saja. Apalagi putera raja Namun kemenangan harus harus berdasarkan pada kalkulasi yang rasional untuk mencapainya. Atau memang pesaing independennya itu adalah pasangan yang "abal-abal" sehingga bisa dianggap enteng-enteng saja? Semacam shadow boxing begitu. Atau mungkin juga sudah siap dengan kelicikan dan mark up otak atik suara di Komusi Pemilihan Umum (KPU). Misalnya yang awalnya hanya 29 suara. Namun di KPU bisa berubah menjadi 92? Kalau kelicikan ini yang sudah dipersiapkan, maka jangankan hanya 92%, kemengan yang lebih besar, bahkan 200% juga kemungkinan aja bisa didapat Gibran. Jadi teringat model kekaisaran Romawi atau Cina yang selemah apapun sang putera, atau kerabat dapat dengan mudah untuk menduduki kursi jabatan Kaisar. Bukan soal dinastinya, tetapi idiotnya itu. Rakyat pun tidak bisa berbuat apa-apa memiliki Kaisar yang bukan saja "incompetent", tetapi juga abnormal. Caligula dan Nero adalah contoh Kaisar yang gila kuasa. Kekuasaan adalah Tuhan. Kejumawaan Gibran merupakan fenomena praktek politik kolusif dan nepotisme. Bukan kompetisi obyektif dan fair. Apresiasi pada kapasitas kah sehingga Megawati Ketum PDIP dan Sandiaga Uno Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra akan ikut berderet berkampanye untuk Gibran? Atau ini urusan dengan ayahnya yang sang Presiden ? Adakah Partai yang berkoalisi untuk mendukung penuh Gibran itu berhubungan dengan budaya politik sandera menyandra? Atakah memang ada proteksi atau transaksi besar disana? Silah ditanyakan kepada yang terhormat para Ketua Umum Partai Politik pendukung Gibran tersebut. Sebab apapun yang ada dibalik dukungan penuh Partai Politik kepada Gibran, terserah mereka saja. Olok-olok publik pada Gibran muncul soal pencitraan yang berfoto koko peci mengimami shalat berjamaah. Komentar netizen demi jabatan walikota siap juga untuk menjadi kadrun. Like father like son. Teringat kembali Novel "The Da Peci Code" karya Ben Sohib. Soal sengketa interpretasi pemakaian peci di keluarga marga al Gibran di Betawi. Peci pencitraan. Mungkin bagi Gibran angka kemenangan 92 % adalah hal yang "biasa saja". Karena dirinya hanya orang yang "biasa saja" dididik oleh orang tua yang menganggap anak mantu besan maju Pilkada itu "biasa saja". Nepotismekah? "biasa saja". Jika menjadi Walikota ternyata tidak becus dan korup, maka itu juga "biasa saja". Biarlah kalau begitu masyarakat yang menghukuminya, dan juga itu "biasa saja". Selamat menikmati kampanye Pilkada di era Covid 19 "tuan 92 %". Kelak jika korban berjatuhan akibat pandemi Covid 19 meningkat, maka hal itu adalah hal yang "biasa saja". Memang bangsa sudah payah, karena punya Presiden dan anak Presiden yang "biasa saja". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Istana Menyerang Anies, Karena Oon Membaca Data
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (05/10). Istana menyerang Anies, itu biasa. Sudah seperti sarapan pagi saja. Kalau nggak nyerang, justru publik nanya, kapan lagi ya? Tumben! Serangan Istana ke Anies sudah menjadi pekerjaan yang ritual. Sudah seperti sesajen yang harus dan mutlak ada. Kondisi ini sekaligus menegaskan posisi istana sebagai pihak yang opisisi kepada Anies. Sampai kapan ya? Sampai Anies tak lagi menjadi gubernur DKI dan pindah ke kursi di Istana. Kali ini aktor penyerangnya adalah Mahfuz MD dan Airlangga Hartarto. Posisi Mahfuz sebagai Menko Polhukam dan Airlangga Hartarto adalah Menko Perekonomian. Menko Polhukam dan Menko Perekonomian kok ikut-ikutan ngurus covid-19 DKI yaaaa??? Mungkin juga berbagi tugas dengan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Menko Maritim dan Investasi ngurus covid-19 tingkat nasional. Sedangn Manko Polhukam dan Menko Perekonomian kebagiandi wilayah DKI. Kalau Menhan? Biarkan beliau ngurus singkong saja. Sebab ini bagian dari ketahanan pangan. Entar kalau terjadi perang, kita bisa buat senjata dari singkong. Lalu kemana Menkes ya? Mungkin sedang sidak ke kerumunan yang pakai masker. Menurut beliau, ngapain pakai masker. Orang sehat gak perlu pakai masker. Pakai masker itu dikhususkan kepada mereka yang positif terkena pandemi corona saja. Kembali soal Mahfuz. Menko Polhukam ini bilang, "di DKI Jakarta yang tidak ada pilkada, justru angka infeksinya corona tinggi. Selalu menjadi juara satu soal penularannya"(2/10). Juara satu ya pak? Bisa dapat sepeda dong... Sejumlah daerah yang menggelar Pilkada 2020, justru turun status dan zona merah Covid-19, kata Mahfuz lagi. Dari 45 daerah berstatus zona merah, ada 16 daerah yang turun statusnya sehingga kini tinggal 29 daerah yang masih zona merah, lanjut Mahfuz. Sementara di daerah yang tak ada pilkadanya, zona merah naik, dari 25 menjadi 33, kata Mahfuz. Begitu ya pak? Data yang diungkap Mahfuz mungkin saja benar. Yang jadi soal adalah cara Mahfuz membaca data itu. Disitulah persoalannya. Kalau salah membaca, maka akan salah analisis dan salah pula menyimpulkan. Bisa kacau-balau, dan amburadul hasilnya. Untuk Indonesia, kemampuan negara melakukan tes PCR secara nasional itu sangat rendah. Hanya 1.799.563 dari total penduduk Indonesia yang jumlahnya 271.052.473. Nggak sampai 2%. Dari 1.799.563 penduduk yang dites itu, sebanyak 857.863 ada di Jakarta. Artinya, 48% penduduk Indonesia yang dites covid-19 itu adalah warga Jakarta. Sisanya, yaitu 941.700 itu warga di 33 propinsi. Penduduk Jakarta itu jumlahnya 10.944.986. Tapi telah melakukan tes PCR sebanyak 857.863. Sementara 33 provinsi di luar Jakarta, jumlah penduduknya 260.407.487. Yang dites PCR 941.700. Terus, gimana mau membandingkan Jakarta dengan 33 provinsi lain? Jumlah tes PCR jomplang banget dong??? Sekali lagi, 48% penduduk yang mendapatkan tes PCR secara nasional berada di Jakarta. Sisanya 52% tersebar di 33 provinsi. Wajar saja jika Jakarta lebih dulu berhasil melakukan tracing terhadap warga yang terinveksi covid-19. Kalau jumlahnya paling banyak, wajar! Karena yang dites jauh lebih banyak. Rupanya, ini bukan masalah data dan angka. Tetapi ini sudah masalah otak yang bekerja. Ada isinya apa nggak? Hehehe. Sebab kalau menggunakan standar WHO, dimana 1 orang dari 1.000 orang per minggu yang dites, maka tes di DKI itu 6x lipat lebih tinggi dari standar WHO. Faham nggak itu Pak Mahfud. Kalau kita menggunakan analisis mortality (tingkat kematian) karena covid-19, dimana rate mortality global 3,3% dan rate mortality nasional di kisaran 4%, maka rate mortality nasional jauh lebih tinggi dari rate mortality global. Sementara mortality di DKI hanya 2,8%. Fahami angkanya baik-baik Pak Mahfud. Mortality DKI Jakarta auh lebih rendah dari rate mortality nasional. Sedikit lebih rendah dari rate mortality global. Bandingkan dengan Jawa Timur yang 7,3%, Jawa Tengah di 6,3%, NTB 5,9%, Sumatera Selatan 5,6%, Bengkulu 4,9%, Sumatera Utara 4,2%, Kalimantan Selatan 4,1%, Sulawesi Utara 3,9% Aceh 3,9%, Kalimantan Timur 3,8% dan seterusnya. Kenapa tingkat kematian (rate mortality) nasional dan sejumlah daerah jauh melampaui batas mortality global? Jawabnya sederhana saja. Karena penduduk nasional yang dites masih terlalu amat sedikit. Jauh dibawah standar global. Kalah banyak dengan negara kecil di Afrika, Ghana. Kalau jumlah penduduk yang dites covid-19 itu sama prosentasinya dengan Jakarta misalnya, maka angka kematian nggak akan sebesar itu. Kalau toh selisih, nggak akan jauh dari angka kematian global. Masalahnya, daerah punya dana nggak untuk melakukan tes seperti yang dilakukan Anies di Jakarta? Atau dananya masih ngendap di Kementerian Keuangan? Gimana mau memperbanyak jumlah tes PCR, jika nggak punya dana? Ini masalah tersendiri. Jadi, data kematian (mortality) di berbagai wilayah Indonesia di atas rate mortality global 3,3%. Bahkan yang di atas 7%. Jangan sampai dibaca bahwa masyarakat di luar DKI itu lebih rentan mati. Belum tentu juga. Penyebabnya bukan karena meraka kurang gizi, banyak penyakit, daya tahan tubuhnya lemah. Tidak begitu. Apakah karena kepala daerahnya yang gak pecus atau nggak serius? Bisa iya, bisa enggak. Faktor yang pasti adalah karena jumlah penduduk yang dites jauh di bawah jumlah standar global. Ini menunjukkan bahwa banyak sekali orang Tanpa Gejala (OTG) yang belum mendapat tes PCR. Tanpa disadari, mereka terus menebar dan menjadi agen virus ke orang lain. Sesungguhnya ini yang akan memperpanjang masa pandemi di Indonesia. Makin kecil jumlah populasi yang dites, maka akan makin lama negeri ini hadapi pandemi. Lagi-lagi, ini diantaranya terkait soal kesungguhan dan kemampuan menyediakan anggaran, baik daerah maupun pusat. Sayangnya, hanya Rp 87,5 Ttriliun dari anggaran covid-19 yaitu Rp 905 triliun yang dipakai untuk tangani kesehatan. Kurang dari 10%. Terus sisanya dipakai untuk apa? Silahkan tanya ke Abu Janda dan Ade Armando. Uniknya, ada yang menyerang Anies soal anggaran ini. Katanya, Rp 10 triliun anggaran covid-19 di DKI, hasilnya banyak yang terpapar. Ini "guoblok kok yo nemen". Justru anggaran itu diantaranya digunakan untuk melakukan deteksi sebanyak mungkin warga yang terinfeksi. Setelah mereka sudah ketahuan positif, maka segera ditangani, agar penyebaran terkendali dan pandemi cepat selesai. Banyak daerah nggak mampu ngikutin langkah cepat dan agresif seperti di Jakarta, diantaranya karena keterbatasan anggaran. Jika kemampuan anggaran sama besar, dan prosentase populasi yang dites kurang-lebih jumlahnya sama dengan Jakarta dan kota-kota lain di dunia, maka angka terinveksi covid-19 di banyak daerah pasti akan naik tajam. Sebaliknya, prosentase kematian akan berangsur turun. Nah, data di atas hanya dipahami oleh mereka yang otaknya lurus. Waras maksudnya. Kesimpulanya, cara membaca yang benar akan melahirkan kesimpulan yang benar. Cara baca yang salah akan membuat kesimpulan salah. Kecuali, memang ada niat untuk membaca dan menyimpulkan dengan cara yang salah. Ya, silahkan tanya ke istana. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Waspada Terhadap PKI Itu Positif & Harus! (Bagian-2)
by Shamsi Ali Al-Kajangi New York City FNN – Ahad (05/10), Pada tulisan bagian kedua ini saya ingin menyebutkan beberapa gejala yang bisa menjadi perhatian, sekaligus kewaspadaan bangsa Indonesia. Pertama, kebanggan anak keturunan dan keluarga mantan pelaku di tahun 1965. Kesalahan memang tidak diwariskan. Karenanya keturunan PKI tidak harus ikut bertanggung jawab dengan dosa orang-orang tua mereka. Yang menjadi masalah adalah keterbukaan mereka dengan kebanggan itu. Jika PKI adalah dosa besar dalam tatanan kenegaraan dan kebangsaan, lalu apa yang menjadikan mereka bangga dengan dosa besar itu? Kebanggan terbuka atas dosa besar itu justeru menjadi salah satu indikasi tumbuhnya kembali ideologi yang mengantar kepada prilaku dan aksi PKI saat itu. Dan ini perlu diwaspadai. Kedua, upaya penghapusan sejarah PKI. Sejak 2018 lalu pelajaran sejarah PKI ditiadakan dari sekolah-sekolah di Indonesia. Selain penghapusan pelajaran sejarah PKI, juga pelarangan atau minimal peniadaan urgensi menonton film PKI yang menggambarkan kekejaman mereka. Semua bangsa besar itu ada karena kebesaran sejarah yang mereka ketahui. Jepang maju karena sejarah perang Dunia kedua yang meluluh lantahkan Nagasaki dan Hiroshima. Demikian pula Jerman, karena sejarah kekalahan mereka di perang dunia kedua. Upaya penghapusan sejarah PKI dicurigai sebagai upaya penina bobokan anak-anak bangsa agar tak lagi paham dan peduli dengan peristiwa itu. Saya diingatkan bagaimana kehebatan Amerika dalam membangun imej sejarah itu. Salah satunya peristiwa 9/11 yang dislogankan, “we forgive, but never forget”. Dalam kasus PKI, saat ini ada upaya membalik kenyataan seolah Komunislah yang korban. Tujuannya melemparkan kesalahan kepada TNI dan Umat Islam sebagai bagian dari upaya marjinalisasi dua backbones (tulang punggung) bangsa itu. Ketiga, meningginya serangan terbuka kepada Ulama dan institusi agama (baca Islam). Dalam sejarahnya hanya ideologi yang anti agama akan menyerang agama secara terbuka. Telah banyak ulama dan Ustadz yang diserang. Mungkin yang paling heboh baru-baru ini adalah serangan kepada Syeikh Ali Jaber. Baru saja kemarin tgl 19 September sebuah masjid di Tengerang dirusak dan dicoret-coret oleh sekelompok orang dengan kata-kata “anti Islam”. Jika serangan itu hanya kepada para Ulama, boleh jadi karena memang ada Ulama yang keras. Tapi ini justeru institusi agama, bahkan agamanya itu sendiri begitu dibenci. Benci Ulama boleh jadi karena perbedaan politik. Tapi benci agama dan institusi agama? Siapa lagi kalau bukan mereka yang memang anti agama? Keempat, terjadi pelemahan institusi pertahanan negara. Tentu dalam hal ini TNI menjadi target utama. Saya tidak membahas secara vulgar dan detail Masalah ini. Saya hanya mengharap agar kita semua mencoba menganalisa kejadian-kejadian dalam tubuh TNI tahun-tahun terakhir. Kelima, proses pembangunan ekonomi yang massif, tapi sangat “centralized” pada segmen masyarakat tertentu. Pembangunan infrastruktur-infrastruktur tidak mengarah kepada keberpihakan kepada rakyat. Pembangunan itu seolah menjadi hiburan sesaat bagi rakyat luas. Hal itu akan nampak ketika melihat kepada pembangunan sektor pertanian. Kepemilikan lahan di Indonesia diakui terkonsentrasi pada segmen masyarakat tertentu. Sementara rakyat luas semakin termarjinalkan dengan masa depan yang semakin suram. Keenam, gerilya politik yang tidak lagi malu-malu. Jika diperhatikan secara seksama, perpolitikan di Indonesia akan nampak bahwa ada permainan cantik, tapi terkadang kasar, dalam memarjinalkan kekuatan Umat dan penduduk mayoritas Indonesia. Partai-partai yang berwawasan keislaman dan kerakyatan akan dipaksa atau terpaksa untuk melebur dengan kekuatan besar. Pemaksaan itu sering dengan cara yang cantik. Tapi sering juga dengan kekeraran politik dan intimidasi. Gerilya politik ini kemudian tanpa malu-malu mencoba untuk melakukan ronrongan kepada ideologi negara, Pancasila. Upaya mengganti Pancasila melalui RUU HIP jelas merupakan demonstrasi yang terbuka dari pihak-pihak yang anti negara. Dan itu melalui gerilya politik tanpa sunkan lagi. Ketujuh, “hidden player” atau pemain terselubung ada di semua negara. Bahkan biasanya mereka bukan sekedar pemain. Justeru mereka adalah “hidden power” (kekuatan atau kekuasaan di balik tirai). Sebagai contoh saja. Di Amerika ada yang kita kenal dengan “kekuatan lobby”. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di negara ini lobby terkuat adalah lobby Yahudi Israel. Inilah yang menjadikan kenapa semua pemimpin negara ini nampaknya harus atau diharuskan mendukung Israel? Dalam sejarah Indonesia juga tidak terlepas dari hidden player atau hidden power ini. Ada masa-masa di zaman Orde Baru Umat Kristiani Katolik berkuasa. Anggaplah di masa keemasan Murdani. Di akhir masa Soeharto ada penghijauan institusi negara dengan pemain-pemain yang tergabung dalam organisasi ICMI. Di saat itulah seorang Habibie naik ke puncak kepemimpinan bangsa sebagai Wapres, lalu kemudian menjadi Presiden RI. Saya khawatir saat ini di Indonesia ada “hidden player” atau “hidden power” yang mewarnai. Bahkan mengendalikan arah kebijakan negara. Siapa mereka itu dan bagaimana eksistensinya? Disinilah urgensinya kita membangun kewaspadaan itu. Kedelapan, kekuatan luar (foreign power) atau minimal pemain luar (foreign player). Kenyataan ini kerap kali tidak disadari oleh banyak orang. Apalagi kalau pihak luar ini berhasil menggoda pemain dalam yang punya kepentingan-kepentingan sempit. Untuk Indonesia, ini bukan baru, namun tidak juga mengejutkan. Upaya melemahkan bahkan memecah belah NKRI telah lama dimainkan oleh pihak-pihak luar yang punya kepentingan. Ada dua segmen bangsa yang menjadi target utama mereka, yaitu TNI dan Umat Islam. TNI akan ditampilkan dengan wajah buruk, zholim, anti HAM, dan seterusnya. Yang kemudian dilanjutkan dengan lobi-lobi internasional untuk menekan, baik ke dalam negeri dengan mengurangi anggaran, maupun keluar negeri dengan boikot. Dimasa lalu TNI pernah diboikot untuk membeli senjata atau pesawat Tempir F-16 dari Amerika misalnya. Diantara sekian foreign player (pemain luar) itu adalah East Timor Action Network (ETAN). Salah satu aktifisnya yang kita kenal di Indonesia dulu adalah Sidney John. ETAN telah lama bekerja untuk merusak NKRI dengan melemahkan TNI dan Umat Islam. Dari zaman Timor Timur, Aceh, dan juga Papua. Mereka berhasil di Timor Timur. Di Aceh kalah dengan kelihaian pak JK menyelesaikan kasus Aceh dengan baik. Kini ETAN bergerilya untuk meronrong NKRI melalui Papua Merdeka. Sangat aktif dan mendapat dukungan dari beberapa negara yang punya kepentingan melihat Indonesia pecah. ETAN kini juga memasuki isu PKI di Indonesia. Salah satu propaganda mereka adalah membuat film tentang kasus 30 September dengan membalik realita. Film yang mereka buat ditampilkan kekejaman TNI dan Umat Islam. Sementara PKI adalah korban kekerasan kedua segmen bangsa (TNI-Islam) itu. Hal itu kemudian mereka hiasi dengan memplintir seolah kebangkitan Umat Islam untuk menentang Komunisme sebagai bentuk intoleransi. Maka ibarat bertepuk tangan, kedua telapak tangan itu, dalam negeri dan luar negeri, melahirkan irama tepukan “radikalisme”. Penutup. Sebelum menutup goresan ini, saya juga ingin mengatakan bahwa kewaspadaan itu bukan menambah beban atau menyirma bensin ke dalam kobaran api. Justeru ingin menjadikan kewaspadan ini sebagai jalan menyatukan langkah dan membangun rekonsiliasi kebangsaan. Maka tentunya harus juga diakui adanya kemungkinan “mistreatments” yang terjadi ketika itu. Boleh jadi memang kaena dorongan politik, dan kepentingan lainnya termasuk kepentingan global saat itu, ada perlakuan-perlakukan yang salah kepada pihak-pihak tertentu. Tetapi ini harusnya tidak menjadi pembenaran untuk merubah narasi peristiwa, apalagi membalik realita yang sesungguhnya. Komunisme dan PKI bagaimanapun adalah musuh bangsa dan negara Indonesia. Bangkitnya sebagian anak bangsa untuk membangun kewaspadaan terhadap ancaman ideologi PKI ini tidak lain karena kecintaan, nasionalisme, dan patriotisme mereka terhadap negara. Karenanya jangan dianggap gangguan, apalagi ancaman terhadap pemerintah. Sebaliknya, justeru harus diapresiasi dan didukung. Keselamatan negara dan bangsa adalah tanggung jawab semua elemen bangsa. Secara khusus bagi umat Islam, semangat menentang kemungkinan bangkitnya PKI, karena didorong oleh kesadaran bahwa Islam dan negara Indonesia adalah dua hal yang senyawa. Kedua entitas itu tidak akan bisa dipisahkan. Mengobok-obok negara ini adalah juga mengobok-obok iman/Islam itu sendiri. Karenanya saya ingin berpesan kepada putra-putrì bangsa, khususnya Umat Islam agar bersatu menjaga NKRI. Jangan mudah dipecah belah oleh “hidden player” tadi. Jangan ada yang mudah dirangkul, lalu yang lain ditendang. Kekuatan negara Republik Indonesia ada pada kebersamaan TNI dan Umat. Hal yang telah dibuktikan sepanjang sejarah perjalanan negeri ini. Merdeka! (habis). Penulis adalah Diaspora Indonesia di Amerika Serikat.
Makna Jiwa Korsa Bagi Prajurit TNI
by Anton Permana Jakarta FNN – Ahad (04/10). Yang paling membedakan antara seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI)dari masyarakat sipil tidak saja baju seragam dan senjatanya. Tetapi yang paling sakral dan monumental adalah jiwa korsa. Sering disebut dengan "esprit de corps". Kalau hanya berbicara seragam, senjata, atau atribut, adalah sesuatu yang lazim bagi dunia militer. Tetapi berbicara tentang jiwa korsa adalah berbicara tentang urat nadi. Talian tarikan nafas, perasaan senasib seperjuangan, persatuan dan kesatuan cita, dan cinta antar sesama prajurit tentara. Yang semua itu sudah ditanamkan sejak masa pendidikan. Sebagai komponen utama sistem pertahanan negara, tentu seorang tentara itu harus selalu tampil prima, profesional, dan trengginas dalam setiap medan penugasan. Untuk itulah, setiap prajurit dibekali banyak keahlian, sikap kedisiplinan tinggi, kemampuan, cara berpikir, standar fisik yang semuanya harus rata-rata di atas masyarakat kebanyakan. Karena itulah, jiwa korsa ini sangat berperan penting dalam menyatukan psikologis kejiwaan seorang prajurit. Bagaimana agar dengan jiwa korsa ini, mereka akan selalu struggle dan kompak dalam menyelesaikan apapun bentuk tugas, kesulitan dalam medan pengabdian. Baik itu berupa operasi militer perang maupun selain perang. Penanaman jiwa korsa ini adalah semacam keistimewaan dan kekhas-san seorang tentara dari masyarakat sipil biasa. Tujuanya agar setiap tentara itu mempunyai daya tahan, daya gempur, daya soliditas yang kuat dalam melaksanakan tugas dan misi. Artinya, bagi seorang tentara, salah satu wujud jiwa korsa adalah tidak ada lagi nilai selain rasa loyalitas, penghormatan, dan pengabdian kepada negara. Mereka telah disumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa untuk setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Melaksanakannya secara murni dan konsekuen. Begitulah pentingnya dan sensitif posisi jiwa korsa ini dalam dinas militer. Maka ada pihak yang menjadikan jiwa korsa ini menjadi salah satu indikator utama mengukur kekuatan pertahanan negara. Jika jiwa korsa tentaranya kuat, maka kuatlah negara tersebut. Vietnam dan Afghanistan contohnya. Vietnam, meskipun tidak mempunyai angkatan laut dan udara, tetapi berhasil mengalahkan Perancis dan Amerika Serikat dalam perang. Begitu juga Taliban di Afghanistan yang bisa mengalahkan tentara Uni Soviet dan membuat Amerika menyerah dan mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan. Padahal kalau berbicara persenjataan, perbedaannya bagaikan bumi dan langit. Tetapi karena dua negara ini memiliki tentara yang tangguh, terkenal menyatu dengan rakyat. Tentaranya juga terkenal dengan jiwa korsanya yang tinggi, maka jadilah tentara mereka menakutkan bagi negara lain. Begitu juga dengan Indonesia dalam keberhasilan merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah. Berhasil membendung agresi militer Belanda sebanyak dua kali, dalam pertempuran Palagan Ambarawa Semarang dan pertempuran 10 November di Surabaya. Kedua pertempurean ini menjadi catatan sejarah penting. Bagaimana heroiknya prajurit TNI kita dalam menghadapi invasi musuh dari luar. Belum lagi ancaman pemberontakan dari dalam negeri yang hanya bisa dituntaskan melalui peran TNI serta rakyat. Namun kini, yang menjadi tantangan bagi TNI itu adalah dunia politik, ideologi, dan ekonomi. Karena ketiga unsur ini juga yang bisa memecah belah organisasi. Apalagi jika tentara kita dikuasai oleh oknum oknum politisi yang memanfaatkan situasi, terlepas dari sejarah dan jati diri TNI yang dibentuk oleh rakyat. Bahkan TNI telah ada bersama rakyat sebelum terbentuknya pemerintahan NKRI. Disinilah daya kekuatan jiwa korsa seorang prajurit tentara itu diuji. Antara setia pada nilai, setia pada korps kesatuan, setia pada atasan, atau pragmatis atas rayuan tawaran jabatan, harta dan ada juga karena ideologi. Menjadi tantangan serius bagi TNI ke depan. Khusus untuk prajurit TNI. Seorang prajurit sapta marga, yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945, pasti tidak akan terpengaruh dan tergiur dengan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan ideologi di luar tugas pokok dan fungsinya.Namun dalam era supremasi sipil, dimana kadang politik lebih dominan dan berkuasa. Tidak jarang akhirnya para prajurit terseret kepada kepentingan politik pragmatis. Politik tentara adalah politik negara. Bukan dimaksudkan untuk mengikuti saja apa kata politisi yang sedang berkuasa. Politik bagi TNI adalah menjadi netral atau tidak berpihak dalam mengamankan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Itu harga mati yang menjiwai TNI! Disinilah dilematis itu bermula. Namanya politik, tentu tak mengenal ikatan jiwa korsa sebagaimana tentara. Yang ada hanya kepentingan. Akhirnya tak sedikit tentara yang mau tak mau terseret kepada pusaran politik kekuasaan. Karena penguasa tentu akan lihai memanfaatkan "tools" dan instrumen kekuasaan yang dibuatnya sendiri untuk mengendalikan tentara menjadi alat kekuasaan. Oke kalau seorang Panglimanya punya jiwa militansi sapta marga yang tinggi, sehingga tak terpengaruh dan bisa memisahkan mana yang politik negara dan mana yang politik kekuasaan. Maka TNI secara institusi akan aman dan terhormat berada di tengah-tengah. Tetapi kalau yang terjadi sebaliknya ??? Insiden TMP Kalibata, serta insiden di Gedung Juang DHD 45 Surabaya menjadi catatan penting bagi sejarah implementasi jiwa korsa di negeri ini. Bagaimana seorang mantan Panglima TNI dengan mudah digelandang aparat dan dikepung massa dengan caci maki yang sengaja dibiarkan? Selanjutnya insiden penghadangan dan perlakuan diskriminatif oleh seorang Dandim terhadap para senior purnawirawan TNI yang dipersulit untuk ziarah makam ke TMP Kalibata hanya dengan alasan Covid-19? Sementara upaya pelaksanaan Pilkada di tengah Covid -19 pun terus dilakukan? Dua insiden ini telah menampar wajah dan kehormatan keluarga besar TNI. Tak ada lagi penghormatan, tak ada lagi etika, apalagi kalau berbicara jiwa korsa seperti kita bahas di atas. Padahal sebagai prajurit yang sapta margais, meskipun para seniornya sudah pensiun, sejatinya tetaplah para senior yang wajib dihormati. Apalagi ada mantan Panglima serta mantan kepala staf dan puluhan jendral lainnya. Sungguh insiden ini telah mencoreng dan menjadi aib bagi kehormatan prajurit TNI. Padahal hanya karena prilaku seorang "oknum" yang disaksikan telanjang oleh ratusan juta mata rakyat Indonesia. Apapun alasan di balik semua itu, yang jelas muncul pertanyaan dalam benak publik. Kemana jiwa korsa antar angkatan sesama prajurit TNI di negeri ini??? Masihkah adakah jiwa korsa TNI itu??? Rakyat begitu bangga dan cinta terhadap TNI. Namun ketika melihat dua adegan itu, tentu akan banyak pertanyaan miris. Bagaimana TNI akan menjaga kedaulatan negara dan melindungi tumpah darah Indonesia, jika untuk melindungi sesama prajurit dan purnawirawan saja tidak bisa? Miris memang. Padahal, siapapun, apapun jabatannya, seorang tentara itu suatu saat pasti juga akan pensiun. Akan menjadi masyarakat sipil biasa. Lepas dari jabatan dan kembali kepada rakyat. Disitulah titik kritis dan ujian dari sebuah jiwa korsa seorang tentara utamanya dari para perwira. Terutama ketika berhadapan dengan kepentingan politik, ekonomi dan ideologi. Dari sanalah kita akan bisa melihat, mana prajurit yang sapta margais, patriot sejati, dan loyal kepada negara. Bukan loyalitas buta kepada penguasa. Jangan berbicara akan siap bertempur sampai mati demi bela negara, tetapi malah lebih takut dicopot dari jabatan atau tak dapat promosi pendidikan. Jangan berbicara patuh pada atasan, lalu loyalitas buta tanpa mementingkan nilai, sumpah setia, dan jiwa korsa. Semua itu pasti akan dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat. Akan menjadi catatan sejarah dan sosial bagi para junior selanjutnya. Sebagai rakyat biasa dan keluarga besar TNI, kita tentu banyak berharap kepada TNI untuk selalu setia, amanah, profesional dan loyal kepada Pancasila dan UUD 1945. Karena TNI itu lahir dari rakyat dan untuk rakyat. Bukan untuk mengabdi pada penguasa. Loyalitas TNI itu kepada konstitusi dan rakyat. Jiwa korsa TNI tercermin dari sikap mental para perwiranya terhadap para pendahulunya atau seniornya sebagai senjata utama yang paling ditakuti lawan. Jangan kotori itu dengan persoalan sepele, sikap arogan, berat sebelah, dan hal-hal berbau politik jabatan yang dapat merusak kehormatan prajurit TNI. Semoga TNI selalu jaya, kuat, tangguh, profesional dalam menjaga kedaulatan serta keutuhan NKRI. Dirgahayu TNI-ku, dan TNI kita ke 75! Salam Indonesia Jaya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
Kebijakan Penguasa Munafik Yang Picik
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (04/10). Kebijakan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid 19 bukan saja gamang. Tetapi juga tidak konsisten. Bahasa sederhananya banyak akal-akalan. Bahkan lebih parahnya Covid 19 dijadikan alat kepentingan politik untuk merangkul, mencangkul dan memukul. Mencoba merangkul dengan solidaritas yang penuh kepalsuan. Mencangkul sebanyak-banyak dana dari masyarakat. Misalnya, rencana penjualan vaksin rapid test yang mahal. Covid 19 juga dijadikan sebagai alasan untuk memukul lawan-lawan politik. Kekuasaan yang picik, licik dan culas kepada rakyatnya. Kebijakan yang akal akalan dan tidak konsisten pantas jika disebut dengan “kebijakan yang munafik”. Pemerintah secara mencolok menerapkan pilihan model ini. Di samping "esuk dele sore tempe" pada kebijakan umum seperti awal Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB), yang kemudian berubah menjadi New Normal, dan yang terakhir Mini Lockdown. Penerapan kebijakan, baik itu PSBB, New Normal dan Mini Lockdown, dalam pelaksanaannya, sangat digantungkan pada situasi dan kepentingan. Kalau kegiatan yang berlawanan dengan kepentingan penguasa, maka alasan pembubarannya menggunakan protokol Covid 19. Namun kalau kegiatan pengumpulan orang menguntungkan kepentingan penguasa, maka tidak berlaku protokol Covid 19. Contohnya, pengumpulan orang oleh menantu Presiden Jokowi Bobby Nasution di Medan. Kejadian paling mutakhir dan telanjang adalah "Kalibata Gate". Kejadian di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata sebagai upaya sistematik memperalat Covid 19 untuk menyerang Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmatyo dan para Purnawirawan TNI lain yang sedang menyelenggarakan ziarah dan tabur bunga ke Pahlawan Revolusi korban kebiadaban PKI. Dandim Jakarta Selatan dan Pangdam Jaya dijadikan sebagai alat untuk menyerang terhadap lawan politik penguasa. Belom lagi dengan menggunakan massa buatan dan bayaran khas rezim penguasa. Meminjam istilah yang digunakan Mas Anton Permana “Pemerintah menjadi oposisi buar rakyat sendiri” Dengan senjata "Kesaktian Covid 19" Pemerintah menyerang Deklarasi KAMI di berbagai daerah. Modusnya seragam, yakni dibuat aksi penolakan oleh "massa yang menjadi tangan kekuasaan". Kemudian aparat kepolisian masuk membubarkan acara. Meski sedikit saja, namun upaya ini berhasil. Tetapi cara-cara licik, picik, culas dan represif dalam memukul lawan telah dipertontonkan secara telanjang tanpas malu-malu. Dalam prakteknya "massa kpanjangan tangan kekuasaan" ini juga dibuat kocar kacir oleh keberanian dan heroisme Purnawirawan maupun peserta Deklarasi, seperti terjadi di TMP Kalibata. Begitu juga dengan yang terjadi pada Deklarasi di Bandung, Solo, Karawang, dan lainnya. Opini artifisial akan keberhasilan membubarkan berbeda dengan fakta yang terjadi. Sebab seluruh Deklarasi telah sukses dan berhasil. KAMI terbentuk dimana-mana. Kebijakan berbeda diambil Pemerintah untuk Pilkada. Kepentingan politik pragmatis dalam penguatan jaringan kekuasaan di daerah menjadikan Covid 19 lumpuh dan potensial membahayakan masyarakat banyak. "Kampanye" pengumpulan ribuan massa tanpa mengindahkan protokol Covid 19 terjadi di Muna, Muna Barat, dan Wakatobi dan Medan. Pengumpulan massa dalam jumlah banyak tak akan terhindarkan untuk proses Pilkada dimana-mana ke depan. Melanjutkan agenda Pilkada adalah kebijakan nyata-nyata munafik dari Pemerintahan Jokowi. Mendagri hanya bisa menegur untuk acara yang semestinya harus dibubarkan. Teguran dipastikan tidak akan membawa efek jera terhadap pengumpulan orang. Sebagaima dalam video yang viral nampak acara meriah "kampanye" Pilkada di Wakatobi. Dominan massa berkaus merah dan kibaran bendera PDIP di baris depan dengan panggung diisi "petinggi koalisi partai". Tentu ada PDIP, Nasdem, Golkar, Bulan Bintang, dan lainnya. Acaranya adalah hiburan dangdutan. Penyanyi secara atraktif tengah membawa massa bergoyang dangdutan. Covid 19 pun ikut bergoyang gembira dan bahagia bersama massa. Dengan ngototnya Pemerintah memaksakan pelaksanaan Pilkada serentak pada Desember 2020 di masa pandemi Covid 19 ini, maka secara terang benderang Pemerintah telah ngotot untuk menerapkan kebijakan politik yang munafik, licik, cipik dan culas kepada rakyatnya. Tragis memang negeri +62 ini. Punya Pemerintah yang tampil menjadi oposisi utama kepada rakyatnya sendiri. Dari semula PSBB ke New Normal, dan menjadi Mini Lockdown, akan berujung pada Smackdown. Gulat yang akan dimenangkan oleh Mr Covid 19. Bravo Mr. Covid 19, yang menjadi pahlawan dari kebijakan “Penguasa Munafik yang picik". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Bailout Jiwasraya Rp 22 Triliun Hanya Untuk Bayar Polis
by Anthony Budiawan Penyelesaian skandal Jiwasraya harus transparan dan adil. Sertakan tim yang independen. Harus adan tindakan hukum yang tegas kepada mereka yang bersamalah. Pihak-pihak yang wajib diperiksa adalah perwakilan pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi sektor asuransi, auditor atau pemeriksa laporan keuangan perusahaan, manajer investasi dan pejabat perusahaan yang menerima dana penempatan investasi Jiwasraya. Jakarta FNN – Ahad (04/10). Sejak akhir 2018 pemegang polis PT Asuransi Jiwasraya (Jiwasraya) tidak bisa mencairkan polisnya yang jatuh tempo. Jiwasraya gagal bayar. Namun sampai sekarang belum ada penyelesaiannya. Pemerintah sebagai pemegang saham Jiwasraya dengan kepemilikan 100 persen, terlihat gagap. Maju mundur tanpa ada solusi yang jelas. Penyebab gagal bayar Jiwasraya bukan karena risiko bisnis biasa. Bukan juga karena ekonomi turun, kemudian berimbas kepada kinerja investasi Jiwasraya sehingga merugi. Tetapi, gagal bayar Jiwasraya ditengarai akibat ada pelanggaran hukum dan korupsi. Beberapa orang sudah ditangkap. Beberapa orang lagi dicegah bepergian ke luar negeri (Cekal). Persoalan Jiwasraya dimulai dari produk “JS Saving Plan” yang ditawarkan kepada publik pada akhir 2013. Produk ini terindikasi melanggar ketentuan produk asuransi jiwa. Produk ini mirip deposito dengan bonus asuransi jiwa. Menawarkan imbal hasil tetap selama lima tahun. Anehnya, produk ini bisa dicairkan setiap tahun. Imbal hasil yang ditawarkan juga sangat tinggi. Sekitar 9 persen lebih, bahkan bisa mencapai 13 persen. Nasabah jadi tertarik, dan beramai-ramai membeli produk “JS Saving Plan”. Dana yang mengalir untuk membeli produk ini sampai puluhan triliun rupiah. Kemudian, Jiwasraya tertekan untuk mengembalikan imbal hasil tinggi. Spekulasi tidak bisa dihindarkan. Jiwasraya mulai investasi di saham “gorengan”. Melakukan penempatan investasi langsung, atau repo, di beberapa perusahaan dengan berkinerja buruk. Penempatan langsung ini sepertinya tidak dilakukan secara profesional, tetapi hanya berdasarkan rente. Sampailah pada Jiwasraya akhirnya gagal bayar. Polis yang jatuh tempo akhir 2018 tidak bisa dicairkan. Nasib pemegang polis terkatung-katung selama dua tahun terakhir ini. Ada yang mengadu ke tuan-tuang yang terhormat di DPR. Tetapi tanpa hasil. Para pemegang polis tidak boleh menjadi korban. Mereka tidak bersalah. Pemerintah selaku pemegang saham Jiwasraya harus bertanggung jawab penuh atas terjadinya kerugian ini. Pemerintah harus mengganti investasi mereka. Memang sangat dilematis, karena penggantian kerugian ini akan menjadi beban rakyat yang juga tidak bersalah. Rakyat yang tidak tahu-menahu permasalahan. Untuk itu, semua pihak yang terlibat dalam skandal gagal bayar Jiwasraya harus diusut. Yang salah harus dihukum sesuai peraturan dan undang-undang yang berlaku. Kalau tidak rakyat yang menanggung beban bailout ini bisa marah. Karena itu, penegakkan hukum yang adil menjadi suatu keharusan. Pihak-pihak yang wajib diperiksa antara lain perwakilan pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, pejabat OJK yang mengawasi sektor asuransi, auditor atau pemeriksa laporan keuangan perusahaan, serta pihak lainnya seperti manajer investasi dan pejabat perusahaan yang menerima dana penempatan investasi Jiwasraya. Pada 31 Desember 2019, ekuitas (modal) Jiwasraya defisit sebesar Rp 33,66 triliun. Dengan aset Rp 19,12 triliun dan kewajiban Rp 52,78 triliun. Defisit ini terus bertambah seiring berjalannya waktu. Maka pada akhir Juli 2020, defisit ekuitas diperkirakan mencapai Rp 38 triliun. Pemerintah rencananya akan melakukan restrukturisasi Jiwasraya dengan menyuntik dana Rp 22 triliun. Rencana ini tentu saja mengundang polemik. Tidak adil kalau rakyat harus menanggung beban korupsi berjamaah yang dilakukan para pejabat Jiwasraya dan kroninya. Namun, juga tidak adil kalau para pemegang polis yang tidak bersalah ini harus menanggung beban korupsi berjamaah tersebut. Tetapi, pemerintah sebagai pemegang saham wajib bertanggung jawab. Karena masalah gagal bayar ini juga merupakan kesalahan pemegang saham yang mempunyai wewenang untuk mengganti dan mengangkat para direksi dan komisaris Jiwasraya. Harus diusut, apa alasan pemerintah memilih mereka sebagai dewan direksi dan komisaris? Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diadakan paling sedikit setahun sekali. Pemegang saham seharusnya tahu kondisi keuangan Jiwasraya yang sebenarnya. Pemegang saham seharusnya tahu produk “JS Saving Plan” bermasalah. Karena mirip dengan “skema ponzi”. Mengapa didiamkan saja selama bertahun-tahun? Sampai dengan menderita kerugian besar? Jangan sampai suntikan dana Rp 22 triliun tersebut disalahgunakan lagi. Jangan sampai dikorupsi lagi. Karena itu, dana bailout seyogyanya hanya boleh digunakan untuk mengganti kerugian para pemegang polis. Proses penggantian ini harus dilakukan secara transparan. Pemerintah harus menunjuk tim independen untuk membayar polis yang sudah jatuh tempo. DPR juga harus membentuk tim independen untuk mencari fakta, siapa yang terlibat kasus korupsi maupun gratifikasi Jiwasraya? Hukum harus ditegakkan. Jangan kong kalikong lagi. Dana bailout Rp 22 triliun tidak boleh digunakan untuk operasional Jiwasraya atau holding asuransi yang akan dibentuk. Rakyat sudah tidak percaya dengan manajemen Jiwasraya, serta wakil pemegang saham. BUMN harus dirampingkan hanya untuk keperluan industri strategis saja, sesuai Pasal 33 UUD 1945. Pada akhir Desember 2019, 11 dari 99 BUMN di bawah kendali kementeriaan BUMN mengalami defisit modal. Antara lain PT Asabri yang defisit Rp 6,1 triliun. PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari defisit Rp 1,2 triliun. PT Iglas defisit Rp 1,1 triliun. PT Kertas Kraft Aceh defisit Rp 1,1, triliun, PT Merpati Nusantara Airlines defisit Rp 6,4 triliun, PT PANN defisit Rp 3,3 triliun. BUMN akan selalu menjadi beban negara. Akhurnya menjadi beban rakyat. Modal BUMN berasal dari utang negara dengan beban bunga cukup tinggi yang harus ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, BUMN juga tidak memberi manfaat banyak kepada rakyat. Bahkan monopoli BUMN sering kali merugikan rakyat. Pertamina sebagai contoh BUMN yang membebani rakyat. Pertamina tidak mau menurunkan harga penjualan BBM di dalam negeri kepada rakyat ketika harga minyak mentah dunia anjlok. Sudah seperti perusahaan pejajah VOC kepada negara jajahannya. PLN tidak juga sama. Tidak menurunkan tarif listrik ketika bahan bakar pembangkit listrik turun. Bank-bank BUMN lebih kapitalis dari negara penganut faham kapitalis. Bank-bank BUMN tidak mau menurunkan suku bunga kredit (sepantasnya) ketika suku bunga acuan Bank Indonesia turun. Apalagi ketika resesi menghantui ekonomi Indonesia. Bahkan, bank BUMN membukukan Net Interest Margin yang tinggi. Menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi di dalam negeri. BUMN juga sering dijadikan ATM (kasir) untuk kepentingan politik. Bagi-bagi jatah jabatan komisaris dan proyek di BUMN. Oleh karena itu, keberadaan BUMN harus ditinjau ulang untuk kepentingan rakyat. BUMN yang tidak penting sebaiknya dibubarkan saja. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Ideologi dan Doktrin Komunisme Menuju Tirani
by Anthony Budiawan Jakarta FNN - Sabtu (03/10). Distribusi pendapatan dan kekayaan tidak pernah ‘adil’. Masyarakat terbagi dalam kelompok kaya yang jumlahnya sedikit dan kelompok miskin yang jumlahnya banyak. Kedua kelompok ini rawan konflik. Menurut Aristoteles (384 – 322 BC), kemiskinan bahkan menjadi salah satu faktor pemicu revolusi. Sejarah menunjukkan terjadi banyak konflik sosial atau perjuangan kelas sejak zaman kuno. Antara lain, Conflict of the Orders pada zaman Romawi Kuno (500 BC), Peasants’ Revolt di Inggris (1381), Jacquire di Perancis Utara (1358), German Peasants’ War (1524), Canut Revolt Perancis (1831), dan masih panjang daftarnya. Revolusi Industri yang berkembang di Eropa sekitar tahun 1700-an membuat kesenjangan sosial semakin meningkat. Di tengah akselerasi revolusi industri, Adam Smith mempublikasikan karyanya yang sangat fenomenal, The Wealth of Nations (1776). Yang dipercaya menjadi landasan pemikiran sistem Kapitalisme. Tidak pelak, Karl Marx dan pengikutnya menuding kapitalisme sebagai penyebab utama kesenjangan sosial meningkat tajam. Kaum borjuis (kapitalis) dituding eksploitasi kaum buruh (proletariat) untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Membuat class conflict dalam sistem kapitalisme tidak terelakkan. Menurut Marx, kaum buruh lambat laun akan melawan ketidakadilan ini, dan memenangkan perjuangannya. Ketika itu terjadi maka tatanan masyarakat di dunia hanya terdiri dari satu (strata) kelas saja. Ini yang dimaksud oleh Marx dengan komunisme yang dituangkan dalam karyanya The Communist Manifesto (1848). Marx percaya untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, diperlukan revolusi. Melalui pemaksaan yang difasilitasi negara. Semua penghalang harus disingkirkan. Termasuk rekan yang tidak sejalan, rekan yang bisa menghambat revolusi. Di Rusia, partai buruh sosial-demokrat terpecah menjadi dua, Bolsheviks (mayoritas) dan Mensheviks (minoritas). Karena perbedaan pendapat bagaimana cara mencapai tujuan, Bolsheviks di bawah pimpinan Vladimir Lenin tidak segan-segan menyingkirkan rekannya (Mensheviks) di partai sosialis. Melalui revolusi Bolsheviks, Lenin berhasil merebut kekuasaan di Rusia. Membentuk negara sosialis pertama di dunia dengan partai tunggal, Partai Komunis Uni Soviet (CPSU). Uni Soviet kemudian berhasil membuat sebagian besar Eropa Timur menjadi negara komunis, dengan ideologi Marxisme-Leninisme. Negara komunis umumnya opresif. Tidak segan-segan menyingkirkan pihak yang mencoba menghalangi terwujudnya tatanan masyarakat dunia tanpa kelas, yaitu masyarakat komunis. Pengikut paham komunisme di belahan dunia lain mengikuti jalan revolusi Uni Soviet. Partai Komunis Tiongkok berhasil mendirikan negara komunis Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 1949. Kemudian menyusul negara-negara lainnya, seperti Kamboja, Cuba, Laos, Vietnam, Korea Utara. Sebagai anti tesis kapitalisme, komunisme ingin mewujudkan negara sosialis dengan pemerataan pendapatan, sehingga menciptakan masyarakat tanpa kelas. Sebagai konsekuensi, sistem ekonomi komunisme tidak mengenal private property sehingga faktor produksi dan distribusi dikuasai negara. Dikendalikan melalui central planning atau juga dikenal command planning. Tujuan komunisme tersebut hanya bisa berhasil melalui pemaksaaan dan kekuasaan mutlak yang akhirnya menuju tirani. Pihak yang tidak setuju akan disingkirkan secara permanen. Tidak ada demokrasi. Tidak ada perbedaan pendapat. Sebagai contoh, konversi kepemilikan lahan pertanian menjadi milik kolektif (negara) di berbagai negara komunis harus dilakukan melalui tangan besi, yang mengorbankan puluhan juta jiwa rakyat karena menentang. Sejarah menunjukkan ideologi komunisme gagal membangun ekonomi, dan gagal mencapai negara sosialis yang sejahtera tanpa kelas. Ekonomi Uni Soviet dan RRT terpuruk. RRT melakukan reformasi ekonomi pada 1978 dengan mengadopsi sistem kapitalisme pasar. Uni Soviet runtuh. Rusia meninggalkan sistem ekonomi komunisme, dan juga mengadopsi sistem kapitalisme pasar. Alhasil, meskipun masih mempertahankan sistem politik satu partai komunis, kesenjangan sosial di kedua negara tersebut meningkatkan tajam, menjadi salah satu yang terburuk di dunia. Artinya, ideologi komunisme gagal total menciptakan masyarakat tanpa kelas. Namun, partai komunis tetap dipertahankan sebagai penguasa tunggal. Bukan lagi untuk kepentingan masyarakat, tapi demi kepentingan pemerintahan tirani. Tirani komunisme sangat kejam, no merci. Sekali pemerintahan komunis berkuasa, rakyat tidak berdaya selamanya. Negara komunis hanya bisa diubah dari atas, dari pemimpin komunis tersebut. Seperti Gorbachev yang menyadari sistem komunisme telah gagal dan membubarkan Uni Soviet. Artinya, rakyat sendiri tidak bisa lepas dari cengkeraman rezim komunis. Rakyat Korea Utara tidak akan mampu membebaskan dirinya dari rezim komunis. Begitu juga rakyat Cuba. Dan rakyat negara komunis lainnya. Indonesia harus bersyukur berhasil menggagalkan G30S/PKI 1965. Dan juga Pemberontakan PKI 1948. Namun, apakah Indonesia bisa terbebas dari komunisme selamanya? Akhir-akhir ini sebagian masyarakat merasa gelisah. Merasa hukum tajam ke mereka yang berbeda pendapat. Yang mana menunjukkan kadar demokrasi menyusut. Dan kadar tirani meningkat. Sedangkan checks and balances tidak berjalan sebagaimana mestinya. Eksekutif, legislatif dan yudikatif mengerucut menuju ke satu pemikiran yang sama. Menuju satu-kesatuan. Pengesahan PERPPU Corona yang memuat imunitas hukum secara aklamasi (kecuali satu partai politik) hanya menunjukkan fenomena gunung es. Semoga Indonesia selalu dalam waspada penuh. Sistem ekonomi komunisme memang terbukti gagal, tetapi tirani dan doktrin komunisme masih menghantui dunia. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Ahong Yang Nginjak & Ngelunjak
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (03/10). Mobil Toyota Fortuner dengan plat nomer mobil dinas militer sangat viral di Medsos. Masalahnya mobil tersebut ditumpangi oleh warga sipil yang diduga suami istri warga negara "etnis keturunan cina". Terlihat dari profil hasil rekaman kamera hand phone seseorang yang mengaku wartawan. Tentu bukan bermaksud mengangkat aspek etnik, tetapi keadaan ini telah membuat sakit hati warga masyarakat. Netizen di media memberi berbagai komentar yang intinya "Cina nginjak dan ngelunjak". Menginjak pedal gas untuk kabur dan tidak melayani pertanyaan. Siapa dia? Itu mobil dinas yang biasa dipakai siapa? Gejala sosial apa? Tindakan apa yang bisa berefek jera? Akhirnya diketahui juga pengguna mobil Nomor Registrasi (Noreg) 3688-34 tersebut adalah Hendra Winata alias Ahong yang menurut keterangan bahwa Noreg itu sebenarnya telah ditarik oleh Puspomad atas nama Kolonel CPM Bagus Heru yang pensiun tahun 2016 lalu.Mengapa Mobil Dinas militer Noreg 3688-34 yang katanya sudah ditarik masih bisa " berkeliaran"? Memerlukan pengusutan lebih lanjut. Kaitan dengan peristiwa tahun 2016 kita teringat juga tertangkapnya mobil dinas tentara yang dikendarai dan dimiliki oknum etnis cina. Di Jawa Timur, persisnya di Genteng antara Surabaya Banyuwangi. Mobil Noreg 99457 V ternyata pemiliknya adalah Gavin Tjandra Laksana. Kasus ini menguap tak terusut jejaknya. Tentu masih banyak kasus serupa di berbagai daerah, hanya saja karena "tak terekam", maka sipengendara mobil lewat-lewat begitu saja. Entah ada proses atau selesai dengan damai atau sipetugas mendapat telepon dari "atas", lalu sitertangkap dilepas lagi. Urusan yang model memang bisa bervariasi. Satu kesamaan dalam kasus-kasus seperti ini adalah "Cina yang nginjak dan ngelunjak". Kesenjangan sosial antara "etnis keturunan cina" dan "pribumi" cukup tinggi. Sejarah memang telah mencatat cukup lama. Status ekonomi yang timpang menciptakan kecemburuan. Gaya berstatus "tuan" sering menjengkelkan. Eksklusif dan cenderung "menguasai". Dulu ada kebijakan pembauran dalam rangka menghindari perilaku seperti ini. Kini tak ada lagi. Ketika program investasi Cina meningkat, hubungan RI-RRC semakin erat, Partai Komunis Cina (PKC) menginjakkan kaki di Istana. Tenaga Kerja Asing (TKA) Cina datang dan sulit dihadang. Pemilikan tanah sampai ke desa, serta isu komunisme yang menghangat. Maka persoalan "Cina yang nginjak dan ngelunjak" menjadi bertambah rumit. Sentimen etnik dapat bereskalasi. Kejadian ini tentu saja sangat tidak bagus bagi harmoni masyarakat negeri ini yang sangat menghargai perbedaan etnis dan kebhinekaan. Namun yang menjaga sensivitas sosial sesasama warga masyarakat juga sangat diperlukan. Untuk menghindari gesekan dan kecemburuan sosoal yang memang ngata-nyata terbelah akibat perbedaan pendapatan dan penguasaan kue pembangunan. Harus Segera Bertindak Pertama, Polisi Militer TNI Angkatan Darat supaya mengusut terus Hendra Winata. Apa motif dan sanksi pelanggaran? Mengapa plat nomor reg milik Kolonel CPM Bagus Heru ada pada Ahong? Apakah ini modus "pembekingan" atau gaya-gayaan semata? Kedua, pemerintah harus redam emosi dan sentimen publik yang bagai api dalam sekam. Itu dengan kebijakan politik dan hukum yang tidak diskriminatif. Ketiga, pemerintah tinjau ulang pengentalan garis "persahabatan" RI-RRC yang berspektrum ekonomi, politik, dan ideologi. Kembalilah kepada politik luar negeri yang "bebas aktif". Keempat, pemerintah stop impor TKA Cina. Karena disamping menggeser lapangan kerja warga negara sendiri, juga rawan penyusupan tentara atau milisi Cina. Kelima, pemerintah harus lakukan sensus penduduk dan buat peta sebaran etnik. Karena dikhawatirkan ternyata totalitas etnik Cina meningkat tajam. Bhineka Tunggal Ika tidak boleh didalihkan untuk sesuatu yang dapat membahayakan negara. Kasus "tertangkap" kamera yang viral dari tuan Hendra Winata alias Ahong harus dijadikan awal dari pembenahan kebijakan ke depan. Tidak ada lagi perilaku menyakitkan kepada warga dan bangsa Indonesia. Jitaklah "Cina yang nginjak dan ngelunjak". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
KAMI Yang Pancasila Versus Neo PKI
by Anton Permana Jakarta FNN – Sabtu (03/10). Sahsudah! Akhirnya kita semua tahu bahwa yang sedang bertarung saat ini dalam konstalasi politik nasional itu adalah kelompok Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang Pancasila melawan gerombolan Neo Partai Komunis Indonesia (PKI) dan antek-antek budaknya. KAMI bertarung keras melawan gerombolan “Trisila dan Ekasila”. Gerombolan ini juga berjuang untuk mewujudkan Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Bukan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila yang diakui gerombolan akui adalah yang tanggal 1 Juni 1945. Melawan KAMI yang hanya mengakui Pancasila konsensus tanggal 18 Agustus 1945. Kenapa ? Karena hal utama yang dikumandangkan oleh KAMI itu adalah membela Pancasila dan melawan kebangkitan Neo PKI di Indonesia. Seperti gayung bersambut. Sejak dua persoalan itu dikumandangkan dengan lantang oleh Jendral TNI (Purn) Gatot Nurmantio sebagai dewan Presidium KAMI bersama Prof Din Syamsudin dan Prof KH Rachmad Wahab, langsung ada perlawanan keras yang super reaktif dalam menjegal setiap acara KAMI di beberapa kota. Artinya, kalau yang dimusuhi KAMI itu adalah kebangkitan Neo PKI, dan yang dibela KAMI itu adalah kedaulatan bangsa dan Pancasila, maka otomatis yang balik memusuhi dan menyerang KAMI secara sistematis itu adalah pengikut dan antek Neo PKI dan pengkhianat Pancasila. Jelas dan tegas bukan? Tidak hanya itu, macam cacing kepanasan dan uring-uringan. Bermunculan komentar pedas, baik dari para buzzer dan yang katanya tokoh dalam menyerang KAMI dan personalnya. Sangat mirip pola Mao Tse Tung, dedengkot komunis China. Kata Mao, “apabila kamu tidak bisa mematahkan argumentasi musuhmu, maka seranglah pribadinya”. Ketika KAMI mengeluarkan gugatan dan tuntutan, ehh malah dibalas dengan caci maki dan fitnah. Bukannya dijawab dengan klarifikasi atau data akurat lainnya. Ini bertanda, wajah perpolitikan nasional kita hari ini sungguh telah dikotori oleh tangan-tangan biadab dan jahil. Jauh dari norma kesusilaan. Negeri ini seakan kembali lagi pada masa kelam tahun 1960-an, dimana PKI berkuasa. Yaitu, semakin maraknya aktivitas provokasi penuh kebencian dan fitnah terhadap tokoh agama dan TNI. Kalau dulu Buya Hamka, M Natsir, Masyumi menjadi korban. Saat ini lihatlah tak terhitung lagi para ustadz, ulama, Kiyai, dan Habaib yang juga mengalami hal yang hampir serupa. Kalau dulu isunya anti Nasakom kontra revolusi. Maka saat ini isunya radikalisasi dan intoleran. Padahal, para Neo PKI inilah yang super radikal dan super intoleran. Buktinya, pembantaian dan tindakan penjegalan, persekusi, kembali marak terjadi terhadap tokoh ulama. Sikap intoleran seperti sakit hati dan benci terhadap simbol dan peribadatan agama. Benci celana cingkrang dan cadar. Benci pada Habaib dan Ulama yang tidak sejalan. Dan selalu merecoki aktivitas ibadah agama orang lain penuh kedengkian. Begitulah cara asli PKI dulu bekerja tahun 1960-an. Begitu juga selanjutnya, kalau dulu tujuh orang Jendral TNI AD difitnah dan dibunuh dengan sadis di sumur Lubang Buaya, saat ini lihatlah sudah berapa para pensiunan Jendral TNI seperti Pak Mayjend TNI (Purn) Kivlan Zen, Kapt (Purn) Ruslan Buton yang dipenjara dengan alasan hukum. Padahal menurut para pakar hukum, sungguh pasal yang dipakai sangat mengada-ngada. Dan persidangannya pun sedang berjalan meski kita tidak tahu akan berujung kemana. Hari-hari ini dengan mata telanjang, rakyat se-nusantara menyaksikan bagaimana seorang Jendral mantan Panglima TNI yang jasa serta dedikasinya buat negara ini tak diragukan lagi, digelandang dan dipaksa turun dari mimbar saat lagi berbicara. Padahal yang bersangkutan sedang pidato dihadapan para Kiyai dan Ulama di suatu ruangan dengan tetap mengikuti protokol covid-19. Sungguh ini sebuah perbuatan yang tidak pantas. Juga sangat tak beretika, sombong, arogansi dan pelecehan terhadap keluarga besar TNI. Sontak hal ini semakin membakar dan membuat mendidih darah serta jiwa korsa keluarga besar TNI, baik yang aktif maupun yang pensiun. Perbuatan tak beretika ala preman oleh oknum yang seharusnya menjadi penegak hukum ini, juga inskonstitusional. Belum lagi seolah pembiaran kepada aktivitas kelompok bayaran yang mengeluarkan perkataan tidak senonoh, penuh dengan kebencian terhadap Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo. Mungkin tujuannya sengaja mempermalukan Jendral Gatot, dan memberikan shock terapi. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Sikap kenegarawan Jendral Gatot berakibat pada banjirnya simpati dari rakyat. Persekusi terhadap Jendral Gator justru semakin menyulut gelombang perlawanan rakyat. Ditandai dengan banyaknya Jendral dan purnawirawan turun gunung merapatkan barisan bersama KAMI. Pertanyaannya, kalau mereka pendemo bayaran itu mengaku taat hukum dan nasionalis, mengapa tidak menggunakan cara yang sedikit lebih beradab. Tidak dengan gaya yang arogan kepada Jendral GN yang sudah pensiun. Kalau mengaku peduli pada bangsa ini, kemana mereka ketika Pancasila mau diganti? Dimana mereka ketika TKA China membanjiri negeri ini? Korupsi dimana-mana. narkoba meraja lela, dan penanganan covid-19 oleh negara yang amburadul dan amatiran? Dengan kejadian ini, kita semua dapat menyimpulkan bahwa, KAMI yang Pancasila telah berhasil memancing keluar para kelompok Neo PKI dari sarangnya. Keluar dari ketiak kekuasaan. Neo PKI saat ini adalah ancaman nyata terhadap keutuhan bangsa ini. Neo PKI bagaikan duri dan racun dari tubuh bangsa yang saat ini kembali mendapatkan momentum untuk melanjutkan perjuangan ideologi orang tua mereka, yaitu menjadikan Indonesia menjadi negara berhaluan komunis. Dengan segala cara, berupaya mengganti Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Kehutanan yang berkebudayaan Semakin terang benderang semuanya saat ini. KAMI Pancasila yang mencoba melakukan gerakan moral, menyadarkan bangsa ini akan ancaman bahaya Neo PKI, kini mendapatkan serangan balasan berupa intimidasi, persekusi, teror, caci maki hingga fitnah yang luar biasa dari kelompok Neo PKI. Walaupun kelompok Neo PKI mendapatkan dukungan penuh dari China dan pusat kekuasaan. Saat ini, saya yakin, KAMI yang Pancasila bersama rakyat dan TNI tidak akan gentar. Tidak akan membiarkan dan merelakan negara ini dihancurkan dan diubah menjadi berhaluan komunis. Perang itu sudah mulai dan juga mulai terbuka. Neo PKI semakin berani dan merasa di atas angin, karena mendapat dukungan dari kekuasaan. Mereka yakin bakal kebal hukum. Bukti dan contohnya sudah banyak kita saksikan secara kasat mata. Bahkan telanjang mata. Tapi yakinlah, rakyat khususnya umat Islam tidak akan diam. TNI sebagai komponen utama dan lahir dari rakyat juga pasti tidak akan diam. Semua menunggu waktu. NKRI harga mati. Pancasila sudah final dan mengikat. Komunisme haram hukumnya hidup lagi di Indonesia. Sekarang kita mau pilih yang mana. Bergabung bersama KAMI yang Pancasila??? Atau bersama Neo PKI??? Semua bebas memilih. Dan ingat, semua tentu juga akan ada resiko dan konsekuensinya. Bangun dan berjuang, atau punah? Pancasila atau Komunis? Salam Indonesia Jaya! Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.