Setahun Penuh Gaduh & Demo Yang Dirindukan
by M. Rizal Fadillah
Bandung FNN – Selasa (20/10). Tanggal 20 Oktober adalah Hari Ulang Tahun (HUT) satu tahun Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Ulang tahun peringatan yang tidak dalam suasana ceria dan menggembirakan. Covid 19 membuat cuaca mendung dengan wajah-wajah yang bermasker. Artinya, suasana penuh dengan rasa keprihatinan.
Sementara itu Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang disahkan DPR tanggal 5 Oktober lalu, bukan menjadi kado yang menyenangkan. Malah sebaliknya, Undang-Undang ini menuai penolakan di hampir seluruh penjuru tanah air. Sebagian rakyat khususnya buruh, mahasiswa dan pelajar malah menangis sedih dan berunjuk rasa.
Setahun telah dijalani dengan lebih banyak luka dan duka ketimbang suka. Pemerintahan Jokowi memulai periode kedua ini ditandai oleh suasana yang gaduh. Ekonomi morat-marit. Hukum tidak hadir untuk membentuk kedamaian dan ketertiban, serta politik yang selalu gonjang-ganjing.
Seluruhnya akibat dari kebijakan penyelenggaran negara yang tidak bijak. Penyelenggara negara terkesan tidak mendengar apa kata rakyat. Sebaliknya, melawan aspirasi rakyat. Oligarkhi, korporasi dan konglomerasi yang akhirnya menggeser demokrasi, dan aneksasi telah menjauhkan "souvereignity".
Tanggal 28 Oktober nanti adalah Hari Sumpah Pemuda. Gerakan kaum muda untuk menentukan arah dan perjuangan bangsa. Satu bangsa, bahasa, dan tanah air. Para pemuda yang berkomitmen untuk membebaskan diri dari penindasan, perbudakan, dan penjajahan. Angkatan muda yang menggelora adalah dinamika bangsa dan negara.
Tangga 10 November nanti adalah Hari Pahlawan. Mengenang semangat perjuangan untuk mengusir penjajah, baik itu Inggris ataupun Belanda yang ingin kembali menguasai tanah ir. Pekik takbir dan merdeka membahana menjadi kekuatan untuk mengusir penjajah. Kekuatan Ilahi dan semangat untuk mempertahankan kemerdekaan berpadu dalam kegigihan dan kemenangan.
Wajar saja jika 10 November 2020 nanti masyarakat membangkitkan kembali jiwa kepahlawanan atau patriotisme. Makam Pahlawan bukan kematian yang sekedar diziarahi. Tetapi menjadi tempat jiwa-jiwa kehidupan yang disusun kembali. Menggemakan suara kematian untuk kehidupan yang berani mati. Mati syahid atau hidup mulia.
Tanggal 2 Desember bagai telah menjadi "harinya umat". Hari bagi runtuhnya kesombongan dan keangkuhan penista agama. Ahok yang digjaya dipaksa "bernafas di dalam bui". Jutaan umat Islam melakukan aksi damai yang berbuah manis. Perjuangan sukses dalam membangun wibawa keumatan melawan kekuasaan yang sombong, angkuh dan menistakan.
Angka 212 telah menjadi nama dari gerakan aksi dan silaturahmi. Berlanjut dengan reuni untuk mengenang perjuangan damai. Meski tokoh pencerah saat khutbah Habib Rizieq Shihab (HRS) kini masih diasingkan di Makkah Al-Mukarromah, namun suaranya terus menggema. Desakan untuk melepas cekal agar bisa kembali semakin terus menguat.
Dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang membuka peluang menjadi ledakan yaitu RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang berubah menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sementara RUU Omnibus Law yang baru diketuk menuai masalah. Dua peraturan "panas" ini dapat menjadi bola liar yang berujung pada krisis ideologi, hukum, ekonomi dan politik.
Jika keliru mencari solusi, maka bukan mustahil berakhir pada suksesi kepemimpinan. Sebab secara umum disebut aksi, tetapi secara agama itu namanya syi'ar. Unjuk rasa, unjuk kekuatan, dan unjuk kebersamaan. Dalam momen strategis aksi atau syi'ar menjadi tekanan politik bagus. Konstitusi melindungi kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat.
Penyelenggaraan negara memang harus dikontrol oleh kekuatan sivil society. Supaya tercipta check and balances. Tidak boleh sampai penyelenggara negara sesuka hati. Budeg dan tuli untuk mendengar aspirasi rakyat. Apalagi DPR telah berubah menjadi Dewan Pereakilan Rezim (DPR). Waratwan senior FNN.co.id menyebut DPR sebagai Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan Presiden.
Selamat ulang tahun pak Jokowi. Jadikan saja demo sebagai alat untuk pengontrol pemerintah. Supaya pemerintah tidak keliru. Juga jadikan saja aksi dan syi'ar sebagai hal yang dirindukan sebagaimana yang pernah dipidatokan Pak Jokowi dahulu di Gedung Merdeka Bandung.
"Saya kangen sebenarnya didemo. Karena apa ? Apapun..apapun..pemerintah itu perlu dikontrol. Pemerintah itu perlu ada yang peringatin kalo keliru. Jadi sekarang saya sering ngomong dimana-mana 'tolong saya didemo'. Pasti saya suruh masuk".
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.