OPINI

Sinergi KAMI Dan MUI

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (19/08). Antara Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentu berbeda. KAMI adalah koalisi dari berbagai elemen bangsa, termasuk yang berbeda keyakinan agama. Sedangkan MUI merepresentasi umat Islam saja. Ulama yang tugasnya menjaga keamanan dan kemurnian agama. KAMI memprihatinkan segala hal yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik ekonomi, budaya, maupun politik. Meski berbeda pada fokus perhatian dan kompetensi, tetapi terhadap permasalahan aktual yang dihadapi pada beberapa hal terdapat persamaan. Satu contoh adalah keberadaan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Apalagi RUU HIP yang berhubungan dengan ideologi negara, yang berspektrum luas, baik politik maupun hukum, termasuk keagamaan. RUU HIP yang kemudian berganti menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mendapat sorotan serius dari MUI. RUU HIP ini dinilai bukan saja merongrong ideologi Pancasila, yang telah disepakati bersama. Tetapi juga dapat meminggirkan aspek keagamaan. Melalui RUU HIP, komunisme memiliki pintu untuk menerkam agama dan ideologi negara. Dua hal yang mendapat sorotan MUI dalam Maklumatnya, yaitu pencabutan RUU berbau komunis ini. Selain itu, pengusutan inisiator atau konseptor RUU. MUI mencurigai konseptor RUU adalah oknum yang ingin membangkitkan PKI dan komunisme. Meminta yang berwajib untuk mengusutnya. Alih-alih DPR mencabut RUU HIP. Justru faktanya yang muncul adalah diajukannya RUU BPIP dari Pemerintah. Karenanya bagi MUI, masalah RUU HIP dan juga RUU BPIP masih menjadi "piutang" yang menjadi tuntutan. Ancaman adalah adanya "masirah kubro" dan "penunjukan panglima" tetap menjadi agenda utama dari MUI. Sementara itu, KAMI dalam Maklumat yang dibuat sebagai "bacaan" Deklarasinya, menyinggung kedua RUU tersebut sebagai langkah yang "jelas-jelas tidak hanya bertentangan dengan Pancasila. Tetapi mau mengganti Pancasila dengan Trisila dan Ekasila, serta agama yang berkebudaan, telah membuka jalan lebar untuk bangkitnya komunisme". Menjadi tuntutan yang butirnya dibacakan berulang-ulang oleh Rocky Gerung untuk "telinga kiri" dan "telinga kanan", yakni butir 7 yang berbunyi ,"Menuntut Pemerintah untuk mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas terhadap pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi mengubah Dasar Negara Pancasila sebagai upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945, agar tidak terulang upaya sejenis di masa yang akan datang". Kini menjadi jelas bahwa ada kepentingan dan "concern" yang sama antara KAMI dan MUI, berupa tuntutan kepada Pemerintah untuk mengusut tuntas pihak yang melalui RUU HIP. Juga RUU BPIP berupaya mengubah Pancasila 18 Agustus 1945. KAMI menyebut bahwa Deklarasi adalah langkah awal dari gerakan moral politik. MUI menyiapkan langkah aksi dari gerakan keagamaan. Ada sinergitas antara keduanya dalam menyelamatkan ideologi negara Pancasila yang dinilai terancam oleh upaya penggerogotan dan pengubahan oleh para Gerombolan Trisila dan Ekasila. Artinya, baik KAMI maupun MUI melihat negara tengah dihadapkan pada persoalan mendasar, yakni penggoyahan Dasar Negara Psancasila. Umat Islam dan bangsa Indonesia menghadapi persoalan yang sangat serius. Gerakan komunisme ternyata bukan isapan jempol. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Refleksi 75 Tahun Merdeka, Penguasaan SDA Masih Mimpi

by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Selasa (18/08). Kita sering mendengar ungkapan, Indonesia negara kaya. Kaya dengan sumber daya alam. Semua orang pasti setuju. Indonesia ada minyak dan gas bumi, batubara, nikel, emas, dan banyak mineral lainnya. Indonesia juga merupakan (salah satu) negara produsen terbesar minyak sawit dan karet. Indonesia juga mempunyai hutan tanaman industri yang luas. Menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen kertas terbesar dunia. Belum lagi potensi perikanannya. Ironinya, Indonesia hanya sebagai negara berpendapatan menengah. Dengan pendapatan per kapita tahun 2019 sekitar U$ 4.000 dolar per tahun. Jauh lebih rendah dari negara tetangga seperti Malaysia, Thailand atau Singapore. Artinya, kebanyakan dari mereka lebih kaya dari rakyat Indonesia. Padahal Malaysia dan Thailand hanya mempunyai sedikit kekayaan alam. Bahkan Singapore tidak ada kekayaan alam sama-sekali. Yang lebih mengenaskan, sebagian besar penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Menurut Bank Dunia, Indonesia mempunyai 150 juta (sekitar 56%) penduduk miskin pada tahun 2018. Mereka mempunyai pendapatan di bawah U$ 5,5 dolar (PPP 2011) per orang per hari, yaitu batas garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia. Ironi Yang Mengenaskan Indonesia memang diberkahi kekayaan alam yang melimpah. Antara lain, mineral dan batubara (minerba). Tetapi, pendapatan negara dari sektor minerba sangat tidak signifikan. Sangat rendah dibandingkan total pendapatan negara. Sangat rendah untuk dapat membuat rakyat menjadi sejahtera. Apalagi sampai kaya. Padahal sektor minerba merupakan salah satu sektor yang cukup besar yang dipunyai Indonesia. Sebut saja antara lain, sektor bijih besi, nikel, aluminium, perak, perunggu, emas, batubara, bauksit dan banyak lagi mineral lainnya. Rasio pendapatan minerba terhadap total pendapatan negara hanya sekitar 1 persen hingga 1,5 persen saja. Bahkan rasio pendapatan minerba pada 2015 hanya 0,98 persen atau hanya Rp 14,7 triliun dari Rp 1.508 triliun. Sangat sangat dan sangat rendah. Meskipun rasio pendapatan negara dari minerba pada 2018 meningkat menjadi 1,58 persen, dengan pendapatan minerba Rp 30,7 triuliun dari total pendapatan negara Rp 1,943,7 triliun, secara substansi masih sangat rendah. Di lain pihak, korporasi pengelola (baca: penguasa) sektor minerba sangat berjaya. Mereka kaya raya. Korporasi-korporasi tersebut berhasil meraup triliunan rupiah dari masyarakat, melalui pasar modal. Nilai perusahaan (kapitalisasi pasar) korporasi penguasa tambang minerba pada akhir 2018 mencapai Rp 363,8 triliun. Terdiri dari 25 perusahaan tambang batubara dan 10 tambang mineral. Jumlah ini tidak termasuk penguasa tambang minerba raksasa lainnya yang tidak go public di bursa saham Indonesia. Tetapi mereka go public di bursa saham luar negeri. Dari jumlah tersebut, hanya ada tiga BUMN dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 73,5 triliun. Namun, sebagian kepemilikan tiga BUMN tersebut juga sudah dikuasai publik. Sedangkan korporasi pertambangan minerba yang kaya raya tersebut, diberi hak pengelolaan pertambangan, melalui kerjasama pengusahaan pertambangan, izin usaha pertambangan atau izin usaha pertambangan khusus. Pada prakteknya, kerjasama dan izin usaha pertambangan tersebut sangat bebas (liberal) di dalam pengelolaannya. Sehingga terjadi pengalihan (sementara) penguasaan (baca: kepemilikan) kekayaan sumber daya alam minerba dari negara ke pengelola (yang sebagian besar swasta nasional dan asing). Pengalihan kepemilikan kekayaan minerba ke korporasi pemegang hak pengelolaan terlihat jelas ketika mereka menawarkan sahamnya ke publik (go public) atau ketika melakukan divestasi kepemilikan usahanya sesuai Undang-undang. Nilai divestasi atau valuasi perusahaan dihitung berdasarkan nilai ekonomis minerba yang terkandung di dalam wilayah usaha pertambangan tersebut. Seperti yang terjadi pada kasus divestasi PT Freeport Indonesia. Tragisnya, pada kasus divestasi PT Freeport Indonesia, pemerintah negeri ini harus mengambil alih dengan nilai komersial. Termasuk pulka nilai kandungan mineral yang terkandung di dalam tanah, yang seharusnya menjadi milik negara. Tragis memang. Peringtah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, nampaknya masih sebatas mimpi. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

75 Tahun Yang Gagal, Saatnya Untuk Moratorium NKRI

by Ikhsan Tualeka Jakarta FNN – Selasa (18/08). Arah dan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah 75 tahun, rupanya menunjukan tanda-tanda yang kurang memuaskan. Bahkan malah mengkhawatirkan. Sejumlah realitas memperlihatkan ada kekecewaan yang mendalam dari anak bangsa. Keadilan distributif yang jauh dari harapan. Sistem politik yang diskriminatif. Hingga oligarki yang mencengkeram kuat dari pusat kekuasaan sampai ke daerah. Semua ini adalah pangkal utama, dan sulit terbantahkan. Bisa dikonfirmasi dengan banyak data. Termasuk yang dikeluarkan oleh otoritas negara seperti dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Implikasinya jelas. Kekecewaan politik atau political disconten terus menguat dan mengental. Hampir semua terbentuk atau terjadi karena rasa persentuhan warga negara dengan negara, yang faktanya tidak sama. Keadilan distributif sangat tergantung pada dimana warga negara itu lahir dan dibesarkan. Jika terlahir sebagai anak Aru atau besar di Maluku Barat Daya, Seram Timur atau di banyak tempat di Papua dan Indonesia timur lainnya, tentu akan merasakan negara tak hadir dalam berbagai urusan publik. Padahal sejatinya adalah tanggungjawab negara. Itu setidaknya dapat dilihat dengan jelas dalam urusan pendidikan dan kesehatan. Jumlah anak-anak yang putus sekolah atau sekolah dengan fasilitas ala kadarnya dan memprihatinkan, sangat mencolok di Indonesia Timur. Ratusan anak-anak yang meninggal saat persalinan setiap tahunnya di Maluku, mengkonfirmasi realitas yang tidak menguntungkan itu. Pemerintah pusat dan daerah punya andil besar, tapi jangan-jangan kita ada dalam sistem bernegara yang tidak relevan. Membuat sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di Maluku Raya, Nusa Tengara Raya dan Papua Raya susah keluar dari kondisi yang nyaris sama dengan saat masih berada di masa kolonial Belanda. Jangan-jangan pada masa itu jauh lebih baik dari sekarang. Negara kerap menyampaikan memiliki berbagai keterbatasan, tapi sulit untuk dimaklumi bila kebutuhan dasar warga negara saja masih jauh dari harapan untuk terpenuhi. Sentralisasi pengelolaan negara yang coba diatasi dengan otonomi daerah rupanya tidak menjawab persoalan. Adanya lima daerah otonomi khusus, yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat, justru memperlihatkan bahwa negara ini sudah sejak awal tidak relevan menggunakan sistem negara kesatuan. Diajukannya RUU provinsi atau daerah kepulauan oleh delapan provinsi, menunjukan kalau ada banyak daerah yang juga ingin diperlakukan secara khusus. Sebab memiliki karakter wilayah yang berbeda. Karena mengatur daerah kelautan sama dengan daerah lain berbasis daratan, justru hanya memupuk dan membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Wajah NKRI semakin mengarah pada federalisme yang malu-malu. Ada dalam praktik, tapi tak didukung oleh legitimasi konstitusi. Sehingga bila ada yang terkait dengan beban negara, maka logika otonomi yang dikembangkan. Sedangkan bila menyangkut keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam, maka paradigma negara kesatuan yang ditonjolkan. Kondisi ini tentu tak dapat dibiarkan. Kita tidak bisa terus berada dalam penerapan Negera Kesatuan bercita rasa federal semacam ini. Membiarkan situasi terus seperti ini, sejatinya sedang memasrahkan Indonesia diambang kehancuran dan perpecahan. Kekecewaan politik yang ibarat bisul tersebut, akan pecah pada waktunya. NKRI perlu segara “dimoratorium”. Kemudian mencari serta menerapkan format baru bernegara yang lebih relevan. Bila menginginkan Indonesia tatap ada dalam peta negara-negara dunia. Memaksakan diri untuk menjadi kesatuan, hanya menunda kematian alias sedang menuju jalan yang salah. Meminjam pendapat Raymond Gettel, Negara Kesatuan itu dapat terjadi bila terdiri dari pulau atau satu daratan. Wilayahnya relatif tidak luas. Relatif tidak banyak penduduknya. Juga relatif tidak majemuk masyarakatnya. Untuk semua syarat itu, hampir berseberangan dengan realitas NKRI. Tak salah kemudian bila ide federalisme telah muncul jauh sebelumnya. Dulu Bung Hatta yang menginisiasinya. Tentu dengan alasan dan padangan yang lebih maju. Meski akhirnya harus kalah dengan pilihan menjadi Negara Kasatuan, yang dalam perjalanan sejarah terbukti anomali. Melihat kondisi yang ada, ide negara federal perlu dihidupkan kembali. Tak boleh dimatikan begitu saja hanya dengan menunjuk ‘kegagalan’ era Republik Indonesia Serikat (RIS). Ide negara federasi bukanlah sesuatu yang ahistoris dalam peta pertarungan pemikiran politik di Indonesia. Ide yang pernah diusung oleh sejumlah founding fathers Indonesia. Terutama dengan munculnya perdebatan federalisme vs unitarisme adalah fakta sejarah yang tentu perlu dikembangkan kembali. Karena itu, menggali lagi pemikiran tentang negara federasi di Indonesia bukanlah sesuatu yang salah. Bisa saja jadi alternatif untuk menyelamatkan Indonesia yang besar ini. Rasanya setalah 75 tahun ini, perlu ada terobosan. Dengan cara melakukan “moratorium” NKRI. Langkah berikutnya, bisa jadi dengan menerapkan Negara Federal sacara kaffah. Untuk menyelamatkan tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pilihan yang lebih dapat untuk memastikan keberlanjutan Indonesia, ketimbang terus bertahan dalam status kesatuan. Namun menjalankan juga model federasi secara malu-malu kucing. Dengan demikian, NKRI mestinya menjadi Harga Hidup, agar bisa terus didiskusikan guna menemukan formula yang tepat dalam pengelolaan negara-bangsa. Penulis adalah Direktur IndoEast Network.

Tidak Perlu Resah Terhadap KAMI

by Asyari Usman Jakarta FNN - Selasa (19/08). Ada yang gelisah. Dan kelihatan sangat gelisah. Mungkin mereka punya firasat akan muncul kekuatan besar. Yang merasa gelisah itu, barangkali takut digoyang. Takut jatuh. Sebaiknya, jauhkanlah semua itu. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) hanya ingin menyadarkan rakyat tentang situasi bangsa dan negara yang sedang amburadul. Hanya itu. Hanya ingin menyadarkan rakyat bahwa kehidupan akan sangat berat. Dalam waktu dekat ini. KAMI bukan dimaksudkan untuk menggoyang pemerintah. Sekali lagi, rakyat perlu diingatkan. Agar mereka siap mental dan siap fisik. Sebab, krisis yang segera membentang di depan bukan sekadar hilang pekerjaan. Bukan sekadar kebangkrutan bisnis. Tetapi jauh lebih seram dari itu. Krisis yang sedang ‘unfolding’ (menghampar) di depan kita diprediksi akan menjadi sesuatu yang ‘unprecedented’ alias ‘belum pernah terjadi’. Dan bisa ‘unpredictable’ (liar) juga. Krisis itu pasti multi-dimensional. Sebab, kebangkrutan bisnis akan merambah ke semua kategori: besar-kecil-menengah, semua akan mengalami pukulan berat. Dan berlangsung meluas dalam waktu bersamaan. Setelah kebangkrutan massal, tentu akan ada krisis moneter. Krisis ‘cash-flow’. Krisis duit. Kalangan bisnis akan pontang-panting mencari sumber pendanaan. Nah, dari mana mau dicarikan uang untuk menahan agar kebangkrutan massal itu tidak berdampak fatal dan masif? Untuk saat ini, dengan kondisi global seperti sekarang, tidak mudah mencari dana segar. Di tengah kebangkrutan dahsyat itu, pastilah muncul krisis-krisis lain. Akan muncul masalah keamanan dan ketertiban. Tak bisa tidak. Tindak kejahatan yang terkait dengan kesulitan hidup hampir pasti akan muncul di mana-mana. Akan menjadi fenomena umum. Dalam situasi normal saja, tanpa gangguan ekonomi, angka kejahatan yang bermotifkan materi kehidupan berada di tingkat yang memprihatinkan. Apalagi seperti yang sedang kita alami ini. Itu yang membuat para tokoh bangsa berkumpul hari ini (18/8/2020) di Tugu Proklamasi, Jakarta. Mereka mendeklarasikan tekad untuk menjaga agar jalannya pemerintahan tidak keliru. Menjaga supaya negara tidak dikelola secara ugal-ugalan. Sebab, lumrah sekali dimunculkan alasan krisis untuk melakukan langkah yang sewenang-wenang. KAMI bukan organisasi pemberontak. KAMI dengan tegas menyatakan diri sebagai ‘moral force’. Hanya gerekan moral. Apakah tidak boleh ada gerakan yang berusaha mengawal hak-hak rakyat? Yang mengawasi sepak-terjang para penguasa agar mereka tidak sesuka hati? Seharusnya tidak perlu ada reaksi yang berlebihan terhadap kemunculan KAMI. Tidak perlu ada intimidasi. Mereka itu adalah para tokoh yang kebetulan memiliki keprihatinan terhadap situasi umum di negara ini. Dan kebetulan pula belum ada terlihat orang-orang lain yang merasa tergugah untuk menyelamatkan Indonesia dari berbagai ancaman. Ada ancaman ideologis, ada ancaman imperialis, dan ada ancaman terhadap eksistensi NKRI. KAMI melihat potensi besar ancaman-ancaman itu. Jika itu yang mendasari kebersamaan para tokoh bangsa di dalam gerakan moral ini, mengapa mereka harus diposisikan sebagai musuh? Mereka semua memahami konstitusi. Dari pemahaman itulah mereka melangkah. Mereka tahu apa yang mereka lakukan dan untuk siapa. Alangkah naifnya kalau mereka dijadikan musuh yang harus ditumpas. Lihat saja sambutan publik terhadap kehadiran KAMI. Memang gerakan ini pastilah akan membesar terus. Karena mereka tidak bermaksud mencari keuntungan pribadi melalui gerakan ini. KAMI menyatakan dengan tegas bahwa gerakan moral mereka itu akan diimplementasikan dengan cara yang persuasif. Mereka akan menginisiasi dialog dengan siapa pun. Dan siap melayani ajakan dialog dari mana pun juga asalkan itu dimaksudkan untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Kemunculan KAMI tidak dipicu oleh kebencian.Tekad para tokohnya hanya untuk menyelamatkan Indonesia. Tidak benar bunyi salah satu plakat yang dipajang di aksi tandingan di sekitar Tugu Proklamasi, pagi tadi. Orang-orang yang mengaku sebagai komponen milenial menulis: “Jangan Tulari Rakyat Dengan Virus Kebencian Pada Pemerintah”. Agak aneh aksi orang-orang yang mengaku kelompok milenial itu. Aksi yang rapi dan tampak mahal dan terawat. KAMI tak punya waktu untuk hal-hal yang disangkakan itu. KAMI tidak perlu menghasut agar rakyat membenci pemerintah. Sebab, rakyat Indonesia mampu melihat sendiri berbagai kejanggalan dan kesewenangan yang terjadi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co

Pertamina Tak Masuk Peringkat 500 Majalah FORTUNE?

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Selasa (18/08). Tidak mengapa Pertamina meninggalkan perinkat ke 500 di Majalah FORUNE. Pertamina tidak masuk dalam kelompok perusahaan kelas dunia yang dikelola bedasarkan pada standar profesionalisme. Apakah ini karena Pemerintah belum bayar utang sebesat Rp.140 triliun kepada Pertamina ? Banyak yang bertanya-tanya. Mengapa Pertamina kali ini tidak lagi masuk dalam peringkat perusahaan kalaas global 500 menurut versi Majalah FORTUNE? Seharusnya perusahaan masuk peringkat di atas 200 perusahaan global versi FORTUNE. Namun nama Pertamina tak ada kelompok perusahaan terkemuka di dunia tersebut. Publik tentu saja bertanya apa sebenarnya yang terjadi? Padahal Pertamina adalah salah satu perusahaan minyak dengan kinerja positif sepanjang masa pandemi Covid 19. Ratusan perusahaan minyak global ambruk, melakukan PHK ratusan, bahkan ribuan buruh mereka. PHK ini disebabkan penurunan harga minyak global. Dalam kondisi penuruanan harga minyak dunia, Pertamina masih mempertahankan tingkat keuntungan yang baik. Misalnya Pertamina masih mengandalkan pasar domestik. Pertamina serta sama sekali tidak melakukan PHK terhadap karyawannya. Tahun 2019 lalu Pertamina sebagai BUMN penyedia energi nasional berada di peringkat 175, lompat dari 78 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya yang berada di peringkat 253. Tahun ini menurut banyak kalangan, memang sedikit menurun dan seharusnya berada di posisi peringkat 198. Bukan malah tersingkir dari peringkat 500 dunia. Pertamina terpaksa harus menelan pil pahit. Karena nama perusahaan minya dan gas (migas) terbesar di Indonesia ini tidak tercatat dalam peringkat 500 perusahaan terkemuka dunia. Lalu, apa yang menyebabkan Pertamina tidak masuk dalam peringkat 500 perusahaan terkemuka dunia? Tentu saja hanya Majalah FORTUNE yang paling tau. Walapun demikian, dugaan sementara adalah dikarenakan pendapatan dan keuntungan Pertamina tidak masuk dalam kas perusahaan. Keuntungan dan pendapatan Pertamina masih menjadi piutang kepada pemerintah. Atau dengan kata lainpemerintah belum membayar utang kepada Pertamina. Padahal pendapatan dan keuntungan adalah dua kriteria utama sebuah perusahaan bisa masuk perinkat 500 versi Majalah FORTUNE. Mari kita lihat apa sesungguhnya kriteria global Majalah FORTUNE companies ini. Perusahaan kelas dunia 500 versi Majalah Fortune adalah sebuah penilaian dari Majalah FORTUNE yang membuat peringkat perusahaan global terkemuka dari berbagai penilaian. Misalnya, dari sisi pendapatan (revenue). Juga keuntungan, neraca keuangan (aset dan deviden yang dibagikan). Selain itu, juga dinilai banyaknya karyawan, penghasilan per lembar saham. Begitu juga dengan pengembalian kepada investor, dan kredit perusahaan. Kriteria asal negara juga menjadi salah satu pertimbangan yang dinilai oleh Majalah FORTUNE. Namun ukuran laba atau keuntungan menjadi ukuran yang tampaknya paling penting. Karena dari keuntungan itulah, akan banyak menentukan posisi keuangan perusahaan dalam banyak aspek lainnya. Sementara masalah keuntungan ini selalu menjadi bagian paling krusial bagi Pertamina. Mengapa demikian? Selama ini keuntungan Pertamina sebagian besar harus digunakan untuk menalangi sementara BBM bersubsidi, BBM satu harga. Konon susbidi itu akan diganti oleh pemerintah melalui mekanisme APBN. Kalau kondisi APBN normal, maka tidak ada masalah. Namun di saat kondisi APBN tidak normal seperti sekarang ini, maka pergantian subsidi BBM, pergantian kompensasi BBM satu harga, hanya akan berbentuk janji-janji manis dari pemerintah. Belum jelas kapan pemerintah akan membayarnya. Akibat tidak masuknya keuntungan atas pendapatan ke dalam kas Pertamina, karena masih menjadi piutang di pemerintah, maka berakibat pada melemahnya ukuran penilaian lain dalam perusahaan. Misalnya arus kas, dan equity yang diperlukan bagi belanja barang maupun belanja proyek perusahaan. Tentu kemampuan perusahaan dalam membayar utang kepada investor global, posisi kredit perusahaan, dan lain sebagainya ikut terganggu. Banyak sekali konsekuensi yang harus diterima perusahaan akibat keuntungan tertahan sebagai piutang kepada pemerintah. Jadi sebetulnya urusan tidak masuk peringkat 500 versi Majalah FORTUNE akan dapat kembali disandang Pertamina jika seluruh piutang kepada pemerintah sampai dengan tahun 2019 sebesar Rp. 140 triliunan dibayar pemerintah pada tahun 2020 ini. Dengan demikian, neraca Pertamina akan langsung pulih. Keuntungan menjadi sangat besar. Kemampuan belanja perusahaan, baik belanja barang maupun proyek sangat besar, maka posisi utang perusahaan membaik dengan sendirinya. Kemampuan membayar kewajiban kepada investor juga membaik, dan lain sebagainya. Barangkali dalam hal ini publik bertanya tanya, apakah Majalah FORTUNE tidak tahu bahwa piutang Pertamina adalah kepada pemegang saham 100% Pertamina, yaitu pemerintah? Apakah Majalah FORTUNE pemberi peringkat ini tidak tahu bahwa piutang itu kepada pemegang kuasa yang menjamin kelangsungan Pertamina? Bisa saja Majalah FORTUNE tahu. Namun mereka juga tidak yakin, bahwa di masa pandemi ini Pemerintah Indonesia bisa punya uang banyak. Akibatnya, pemerintah tidak mampu membayar utang kepada Pertamina. Publik nasional dan internasional tahu bahwa Pemerintah Indonesia sedang mengalami pendarahan keuangan yang lumayan berat. Wallahualam. Tentang Majalah FORTUNE Fortune adalah sebuah majalah bisnis global yang diterbitkan oleh Fortune|Money Group, milik Time Inc. Didirikan oleh Henry Luce pada tahun 1930. Bisnis penerbitan yang terdiri dari Time, Life, Fortune, dan Sports Illustrated ini tumbuh menjadi Time Warner. Hasilnya, AOL tumbuh ketika mengambil alih Time Warner tahun 2000. Ketika itu Time Warner adalah konglomerat media terbesar di dunia. Pesaing utama FORTUNE dalam kategori majalah bisnis nasional adalah Majalah FORBES, yang juga diterbitkan dwimingguan, dan Majalah BusinessWeek. Majalah FORTUNE ini dikenal khusus, karena setiap tahunnya menerbitkan peringkat perusahaan-perusahaan menurut laba mereka. Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).

Deklarasi "Tugu Proklamasi"

by M Rizal Fadillah Jakarta FFN – Selasa (18/08). Hari ini 18 Agustus 2020 ada sejarah baru, yakni Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Rangkaian kegiatan deklarasi dilakuasanakan di Tugu Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur Jakarta. Waktu menuju Deklarasi berjalan. Persiapan telah rampung tinggal pelaksanaan saja. Peserta Deklarasi akan atau telah berdatangan. Siap untuk mengikuti acara pokok pembacaan Maklumat KAMI. Kegiatan ini memang bukan aksi mahasiswa. Akan tetapi aksi para tokoh dari berbagai elemen bangsa. Mdereka resah dengan situasi bangsa saat ini, yang sedang menuju sebagai negara gagal. Mereka umumnya berasal dari berbagai latar belakang, baik profesional, ulama, purnawirawan TNI, aktivis pergerakan, serta akademisi. Sebagian besar dari mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh politik nasional, bahkan internasional. Ini merupakan fenomena baru. Terhitung sejak masa Soeharto dulu menjelang kejatuhannya. Peristiwa yang dikenal dengan Kelompok Kerja Petisi 50. Para anggota Petisi 50 terdiri dari berbabagi elemen masyarakat. Umunya purnawirawan TNI seperti Jendral (Purn.) Abdul Haris Nasution, Letjen Marinir (Purn.) Ali Sadikin, Letjen TNI (Purn.) HR. Dharsono, A.M Fatwa, Chrisa Siner Timmu dan lain-lain. Ada nilai strategis dari Deklarasi "Tugu Proklamasi" ini, yaitu : Pertama, berhimpun para tokoh dalam wadah koalisi menyatukan kekuatan yang asalnya berceraian. Tokoh-tokoh mana dikenal kritis dan korektif terhadap berbagai kebijakan Pemerintah yang dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tokoh (political figure) adalah kekuatan infrastruktur politik yang berpengaruh. Kedua, deklarasi dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 2020 untuk mengenang sekaligus membangun dasar pemberangkatan. Bahwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari penetapan Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Semangat KAMI adalah kembali ke landasan Pancasila dan UUD 1945. Bukan yang disimpangkan atau telah diselewengkan. Misalnya, Pancasila 1 Juni 1945. Ketiga, deklarasi KAMI adalah komitmen awal dan konsolidasi untuk memulai agenda menyelamatkan Indonesia. Menyelamatkan negara yang hancur dan hampir tenggelam, sebagai akibat perilaku penyelenggara negara yang dinilai telah keluar dari rel cita cita tujuan mulia kita untuk berbangsa dan bernegara. Kondisi ekonomi, sosial, politik dan lainnya yang dirusak oleh kepentingan pragmatik dan koruptif. Penguasa negara yang dirusak oleh gerombolan oligarkis, korporasi dan konglomerasi licik, picik, tamak dan culas. Mereka tidak pernah merasa puas dengan menghisap darah rakyat melalui pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan yang hanya berpihak kepada oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Bukan yang berphak kepada rakyat atau kelompok UMKM (Usaha Menengah Kecil dan Mikro). Keempat, deklarasi menjadi sacara penyambung aspirasi rakyat yang tersumbat, karena tidak mau lagu didengar oleh DPR. Padahal rakyat telah berkeinginan untuk terjadinya perubahan pada segala bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, dan politik ke arah yang lebih baik. Melepas suasana "terjajah" untuk menjadi lebih merdeka di segala bidang. Tapat pada usia 75 tahun kemerdekaan lalu. Tugu Proklamasi adalah tempat pernyataan kemerdekaan dan semangat pemindahan segera kekuasaan "dalam tempo yang sesingkat-singkatnya". Koalisi aksi yang dilakukan oleh KAMI tentu saja bukan basa basi. Namun bukan pula subversi. Ada aksi moral nyata yang ditunggu-tunggu rakyat dalam rangka menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia. KAMI yang memulai, KAMI juga yang mengakhiri, dan KAMI yang memulihkan Negeri. Para Deklarator tentu saja memiliki spirit perjuangan sebagaimana para pejuang kemerdekaan dahulu, yaitu “MERDEKA atau MATI”...! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Merawat Marwah Proklamasi

by Zainal Bintang Jakarta FNN – Senin (17/08). Perayaan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 75 tahun ini lain dari sebelumnya. Penyebabnya negara digelantungi dua masalah besar yang membuat masyarakat terbelah dua. Pertama, belum pulihnya konflik politik di tataran masyarakat sebagai residu pertarungan panas dua kubu pada masa kampanye Pemilu 2019. Yang kedua, adanya serangan mendadak wabah Covid 19 sejak bulan Maret 2020… Berbagai undang -undang yang dihasilkan oleh lembaga pembuat perundang-undangan (eksekutif dan legislatif) itu kelahirannya terindikasi “dipaksakan” dengan menegasikan aspirasi rakyat. Setidaknya ada dua UU sebagai contoh soal. Yang pertama UU No.19 Tahun 2019 hasil revisi UU KPK dan UU No.2 Tahun 2020 sebagai anak kandung dari Perppu No.1 Tahun 2020. Kelahiran kedua UU tersebut telah membuka jurang pemisah yang lebar antara pemerintah dengan masyarakat sipil kritis di luar pemerintahan. Terjadi ketegangan terbuka ke ruang publik, antara aktor negara berhadapan dengan warga negara non struktural. Ekses daripada konflik inilah yang membuat skenario mitigasi penanggulangan Pandemi Covid 19 kembang kempis. Aktor negara terlihat gamang. Skenario mitigasi Pandemi Covid 19 memerlukan payung hukum yang baru. Payung hukum yang cacat hukum itulah sumber konflik yang mendorong lahirnya “perlawnan”. Masyarakat civil society beranggapan, pruduk perundang-undangan yang dibuat pemerintah dan DPR hanya menyelamatkan oligarki, korporasi dan konglomerasi licik, picik, culas dan tamak. Bukan untuk menyelamat kementingan rakyat. Jauh dari tujuan bernegara. “Perlawanan” warganegara yang menganggap kedua UU itu cacat yuridis berlanjut ke MK (Mahkamah Konstitusi). Tetapi hasilnya nol. Menghadapi jalan buntu di jalur hukum di MK, Din Syamsuddin bersama mantan Panglima TNI Jenderal TNI AD (Purn.) Gatot Nurmantiyo dan Rizal Ramli plus Rachmawati Soekarno untuk menyebut beberapa nama tokoh, melangkah menggagas pembentukan wadah berhimpun yang diberi nama KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Koalisi ini didukung sejumlah tokoh yang berjumlah 150 orang. Mereka datang dari berbagai latar belakang usia dan profesi. Ada dari kalangan politisi, penguasa, mantan aktivis, pegiat hak azasi manusia, ekonom, toko agama seperti ulama dan habaib. Wadah berhimpun intelektual diberi nama KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) itu telah dimulai sosialisasinya pada hari Minggu (02/08) di Jakarta. Sebuah akronim simbolik mengingatkan gerakan mahasiswa yang menjatuhkan Presiden Soekarno tahun 1965/1966. Koalisi ini merencanakan mengadakan juga acara peringatan HUT RI ke -75 pada 18 Agustus 2020. Pilihan tanggal itu, selain tampak berbeda dengan pemerintah, juga sebagai pernyataan sikap tegas hari lahir Pancasila. Bahwa Pancasila yang benar itu adalah lahir pada tanggal 18 Agustus 1945. Bukan Pancasila 1 Juni 1945, seperti yang diputuskan oleh Pemrintah melalui Keputusan Presiden. Lalu, bagaimana membaca peta mutakhir konstalasi politik Indonesia hari ini? Sebagai sebuah bahan renungan, menarik untuk membaca ulang buah fikiran Henry David Thoreau. Penulis dan filsuf Amerika (1817 – 1862) yang terkenal dengan karyanya berjudul “Civil Disobedience” atau “Pembangkangan Sipil”. Thoreau yang dikenal pada zamannya gencar mengkritik kebijakan sosial Amerika, terkait dengan perbudakan dan Perang Meksiko-Amerika. Dia memulai esainya dengan menyatakan, “pemerintah sangat jarang membuktikan dirinya berguna bagi umat manusia secara universal. Pemerintah memperoleh kekuasaannya dari mayoritas karena mereka adalah kelompok terkuat dalam aspek tertentu. Bukan karena mereka memegang sudut pandang yang paling ideal , yaitu bertanggungjawab bagi umat manusia”. Hari ini di Indonesia, apa yang dilakukan pemerintah dan yang dilakukan masyarakat sipil di luar pemerintah, sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama. Untuk “merawat marwah proklamasi”. Proklamasi yang sederhana 75 tahun yang lalu itu, sejatinya bertenaga besar. Memiliki daya tendang yang melampaui zaman. Karena proklamasilah maka ada Pancasila sebagai ideologi. Karena proklamasilah, maka tersusun konstitusi. Karena proklamasilah maka ada Republik ini, sampai hari ini. Masih sekitar pemikiran Thoreau, dia dengan tegas menyebutkan, “kewajiban pertama rakyat adalah melakukan apa yang mereka yakini benar dan tidak mengikuti hukum yang ditentukan oleh mayoritas atau otoritas. Ketika pemerintah tidak adil, orang harus menolak untuk mengikuti hukum, menjauhkan diri dari pemerintah secara umum”. Lanjut dikatakannya, “seseorang tidak berkewajiban mengabdikan hidupnya untuk menghilangkan semua kejahatan di dunia, tetapi berkewajiban untuk tidak berpartisipasi dalam bentuk-bentuk kejahatan. Ini termasuk tidak menjadi anggota lembaga yang tidak adil (seperti pemerintah, atau lembaga negara)”. Thoreau secara ideologis memisahkan dirinya dengan pemerintah, "mencuci tangannya" dan menolak berpartisipasi dalam lembaga-lembaga negara. Dikatakan oleh Thoreau bahwa, “bentuk protes ini lebih disukai untuk mengadvokasi reformasi dalam pemerintahan”. Ditegaskan, “seseorang tidak dapat melihat pemerintah apa adanya ketika seseorang bekerja berpartisipasi di dalamnya”. Menurut Thoreu, "that government is best which governs least". Hal itu mengandung hakekat, “pemerintahan itu adalah yang terbaik, yang mengatur paling sedikit”. Memang, kata Thoreau, manusia suatu saat dapat memiliki pemerintahan yang tidak memerintah sama sekali. Karena itu, pemerintah jarang terbukti bermanfaat atau efisien. Ini sering "disalahgunakan, dan diselewengkan" sehingga tidak lagi mewakili kehendak rakyat. Perang antara Meksiko-Amerika mengilustrasikan fenomena ini. Thoreau berpendapat. “dalil mayoritas, pada demokrasi menjawab keinginan kelompok terkuat. Bukan yang paling berbudi luhur atau bijaksana. Pemerintah didirikan pada prinsip ini tidak dapat didasarkan pada keadilan. Pemerintahan tidak bisa menentukan apa itu benar salah, karena seharusnya tidak diputuskan oleh mayoritas tetapi oleh hati nurani”. Gagasan Din Syamsuddin dan kawan-kawan membentuk KAMI adalah sebuah langkah membuka ruang koreksi yang konstruktif. Uluran tangan merawat marwah proklamasi. Untuk menjaga proses demokratisasi. Hendaknya dilihat tetap berada di jalur dengan semangat yang menghormati konstitusi. Pemerintah tidak boleh terjebak di dalam lorong gelap represif. Sejatinya kita semua seyogyanya bisa tersenyum. Karena di luar Istana masih ada sumber oksigen yang dapat membantu merawat kesegaran wangi demokrasi. Pemerintah tidak boleh menari di gendang pecundang yang tidak pernah rela melihat negeri besar ini aman, harmonis, kompak dan tenteram. Mereka itu para “rent seekers” yang berjubah “nabi”. Dari Karet Bivak tempat pemakaman penyair legendaris Chairil Anwar, sayup-sayup terdengar penggalan puisinya yang berjudul “Kerawang-Bekasi”. Gaung puisinya itu menderu diantara debu dan deru jalanan : Teruskan, teruskan jiwa kami – Menjaga Bung Karno - menjaga Bung Hatta – menjaga-Bung Sjahrir - Kami sekarang mayat – Berikan kami arti – Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian – Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi….!!! Selamat HUT Prokamasi RI ke 75. Dirgahayu Bangsa Indonesia Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.

Ah, Dasar Boneka!

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (17/08). Merdeka! Pekiknya terasa di dada. Menggetarkan dan masuk ke setiap nurani anak bangsa. Pada saat itu. Iya, saat itu saat dimana rakyat menjelma jadi pejuang. Berjuang untuk nasib bangsa dan anak cucunya di masa depan. Itulah jejak para pahlawan. Darah dan nyawa jadi taruhan. Ketulusan dan integritas adalah persoalan utama yang mereka pertahankan dan perjuangkan. Sampai akhirnya, ujung usia memanggil mereka. Tapi, warisan kemerdekaan telah terhidang. Merdeka! Terdengar, tapi tak lagi menggetarkan. Jelas suaranya, tapi samar maknanya. Lantang, tapi tak lebih dari sekedar slogan. Itulah kata "Merdeka" pada hari ini. Kata “Merdeka” bukan lagi digunakan untuk melawan penjajah. Tapi seringkali untuk dipakai untuk membungkam siapa saja anak bangsa yang meneriakkan kebenaran. Merdeka! Dor! Satu persatu mayat bertumbangan. Ada mahasiswa. Namun ada remaja atau anam SMA yang sedang belajar menemukan demokrasi di lapangan. Ada pemuda yang tak lagi punya harapan, karena tak bisa pulang dan tak ditemukan dimana keberadaannya. Merdeka! Begitulah mulutnya para penipu negara ini yang tidak kalah fasih untuk melafazkan. Hilang segan, dan rasa malu telah terbungkam. Gemerlap nafsu dan syahwat kekuasaan tampak sangat transparan menguasai setiap kebijakan yang dibuat. Ada panggung depan, ada panggung di belakang. Kata "Merdeka" diteriakan, mesti pada makna sama, tapi beda dalam tekanan. Lakon di panggung belakang lebih mengerikan dari panggung depan. Itulah dramaturgi para preman. Di atas panggung politik, para penipu berteriak merdeka. Diam-diam, di panggung belakang mereka merampok dan habiskan kekayaan negara. Supaya legal, aturan perundang-undangan dimanipulasinya sesuai dengan kehendak mereka. Kadang mengatasnamakan pinjaman. Ada juga dibalik hutang, bahkan permainan upeti dijadikan lahan. Mereka kerahkan para petugas. Petugas ini petugas itu. Ada yang rapi dan berseragam. Punya jabatan dan pangkat yang luar biasa tingginya. Tak sedikit dari mereka yang berpakaian preman. Sebagian dibekali dengan aturan. Sebagian yang lain berperan menyandera dan menekan. Merdeka! Katanya sama, tapi punya getaran yang berbeda. Sangat gergantung kepada siapa yang meneriakkan kata itu. Mereka pahlawan, atau gerombolan para preman. Diucapkan demi bangsa, atau untuk memenuhi ambisi dan keserakahan mereka. Preman-preman itu terus bergentayangan di negeri ini. Memburu dan berebut warisan kemerdekaan yang ditinggalkan para Pahlawan. Siapa yang tak ikut? Sebab beramai-ramai akan disingkirkan. Mereka berada pada semua strata kekuasaan negara. Ada preman besar, ada preman kecil. Preman kakap dan preman teri. Preman kelas berdasi, sampai preman upeti. Bergantung peran dan bagian. Preman besar isinya para pemodal. Kerjanya membeli suara dan mengendalikan para boneka. Para boneka tak lagi sempat berpikir negara dan bangsa. Karena habis waktu dan sibuk membenahi kursi dan dasi. Setiap 17 Agustus mereka pura-pura teriak merdeka. Padahal rakyat semakin miskin, terpuruk dan menderita. Ah, dasar boneka! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Setelah 75 Tahun, Rakyat Masih Antri di Gerbang Kemerdekaan

by Asyari Usman Jakarta FNN – Senin (17/08). Di bagian pembukaan UUD 1945, ada tertulis pengantar tentang perjuangan yang berdarah-darah. Yaitu, jihad rakyat untuk merebut kemerdekaan akhirnya mencapai hasil gemilang. Penjajahan dilenyapkan. Tapi, bagaimanakah kondisi rakyat saat ini? Sudahkah masalah kemiskinan dan ketidakadilan terhapuskan? Mari kita simak pengantar di pembukaan UUD 1945 itu. Bagian di bawah ini sangat penting dan menarik untuk dibicarakan di hari peringatan 75 kemerdekaan RI. “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Begitulah alinea (paragraf) kedua pembukaan UUD kita. Alinea ini menunjukkan kelegaan para pejuang dan pendiri NKRI. Kemerdekaan akhirnya tercapai. Tapi, bagaimana dengan keadilan? Apa yang terjadi dengan kemakmuran? Belum lagi soal kedaulatan dan persatuan. Hari ini, kita fokuskan saja perhatian ke soal keadilan dan kemakmuran. Sebab, dua hal inilah yang menjadi tujuan kemerdekaan itu. Di masa penjajahan, dua hal ini sengaja mereka tiadakan. Supaya penjajahan tetap bertahan. Sayangnya, logika kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sebagaimana digariskan di alinea kedua pembukaan UUD 1945 itu, masih jauh dari kenyataan. Keadilan tak dinikmati oleh seluruh rakyat. Lebih-lebih lagi kemakmuran. Segelintir orang mungkin telah merasakan keadilan. Dan segelintir lainnya telah menikmati kemakmuran. Bahkan supermakmur. Namun, “segelontor” lainnya rakyat Indonesia masih bekerja keras mencari di mana letak kedua janji kemerdekaan itu. Masih belum ketemu juga. Tapi, setelah alinea kedua UUD 1945 dibaca ulang, barulah ketahuan masalahnya. Rupanya, sebagian besar rakyat Indonesia masih berada di “pintu gerbang” kemerdekaan. Belum bisa masuk ke hamparan kemerdekaan itu. Sebab, puluhan juta hektar hamparan itu sedang dikontrak HGU jangka panjang oleh beberapa orang yang diberi prioritas. Kelihatanya, kontrak itu baru akan berakhir 75 tahun lagi. Begitu juga keadilan. Seluruh ruang keadilan hukum juga dikontrak jangka panjang oleh beberapa ratus penyewa gedung-gedung pengadilan rendah dan tinggi. Mereka adalah para penyewa gedung hukum yang mampu memberikan profit besar. Rakyat kebanyakan dimohon bersabar menunggu di “pintu gerbang” kemerdekaan. Kapan-kapan akan dipanggil. Simpan dulu nomor antriannya. Begitu juga keadilan sosial. Rakyat harus menunggu di “pintu gerbang”. Belum bisa masuk semuanya. Sebab, dana keadilan sosial sedang dipakai untuk mengaspal jalan menuju komplek para elit dan cukong. Begitulah kisah rakyat Indonesia. Masih terus berdiri di pintu gerbang kemerdekaan. Belum boleh masuk setelah menanti 75 tahun lamanya. Bersabarlah. Sampai hari ini mesin GPS Google Map untuk pencarian keadilan dan kemakmuran masih menampilkan koordinat terbatas. Ketika Anda tulis kata “keadilan dan kemakmuran”, yang keluar hanya Istana, KSP, kantor para menteri, BUMN, Sinar Mas, Podomoro, Agung Sedayu, Summarecon, Tommy Winata, James Riady, rekening gendut, Fadjroel Rahman, Ngabalin, Wiranto, Luhut, dan segelintir penikmat lainnya. Boleh jadi Anda akan mendapat giliran setelah proklamasi kemerdekaan berikutnya. Berjuanglah terus agar alinea kedua UUD 1945 itu menjadi milik Anda. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.

Sudahkah Kita Merdeka?

by M. Nigara Jakarta FNN – Senin (17/08). Pagi ini, pekik merdeka berkumandang di seantero tanah air. Bukan hanya dari kita manusia yang masih hidup, tapi jika diizinkan Allah, pekik merdeka itu juga pasti dikumandangkan oleh mereka para pahlawan. Pahlawan yang bertarung sejak 1908, 1928 bahkan para pahlawan jauh sebelum itu. Dan tentu pula pahlawan di tahun 1945 yang akhirnya berhasil memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kemerdekaan dunia yang seharusnya bisa dirasakan anak-cucu para pehlawan itu sekarang. Tidak, pasti tidak hanya mereka. Masih berjuta pahlawan lain yang memekik kemerdekaan. Malah, hingga kemarin bahkan ada pahlawan yang pagi ini baru gugur. Ya, mereka adalag pahlawan untuk keluarga sendiri. Setiap kita adalah calon-calon pahlawan meski untuk lingkungan terbatas. Pertanyaannya, benarkah kita sebagai pribadi sungguh-sungguh telah merdeka? Tak seorang pun yang bisa menjawab kecuali diri kita sendiri. Sungguh, jawabannya sangat sederhana dan kasat mata bisa kita lihat dan rasakan. Merdekakah kita, ketika hati ini bergolak, marah, saat melihat kesuksesan orang. Merdekakah kita? Jika lisan kita masih asyik memaki dan memfitnah orang. Merdekakah kita? Jika setiap desah napas terus menebar kebohongan. Merdekakah kita? Saat kedengkian masih memeluk erat hati kita. Merdekakah kita? Atau, Merdekakah kita saat takut untuk meneriakkan kebenaran? Merdekakah kita saat berpaling dari kesulitan orang? Merdekakah kita, saat terus mengamini kemudaratan? Atau, Merdekakah kita ketika takut kehilangan jabatan? Hari ini, sesungguhnya kita kembali masuk dalam uji kelayakan. Uji kepatutan, dan uji nyali tentang kemerdekaan. Atas nama kata merdeka, sesungguhnya kita sebagai pribadi, jauh dari merdeka. Entah dimana kemerdekaan itu? Hari ini, sesungguhnya kita kembali diuji untuk berani sungguh-sungguh meraih kemerdekaan itu sendiri. Sebelum ajal memerdekakan kita dari merdeka di dunia. Karena kemerdekaan yang hakiki, justru pada saat ruh dan raga kita mulai berpisah. Saat kita dan seluruh yang kita cintai berpisah. Saat seluruh yang telah kita capai dan kita miliki apa apapun itu, juga berpisah. Kemerdekaan yang sesungguhnya baru akan kita raih, jika kita bisa tersenyum dan bahagia ketika menyambut malaikat Munkar dan Nakir. Teruslah berusaha meraih kemerdekaan.... Selamat ulang tahun RI-75..Merdeka!!!! Penulis adalah Wartawan Senior.