Alhamdulillah, Guru Besar Tidak Tolol Menilai UU Omnibus
by Dr. Margarito Kamis SH.Hum
Jakarta FNN – Selasa (13/10). Para Guru Besar, yang mengeritik keras UU Omnibus Cipta Kerja yang baru saja disahkan itu sebagai tolol? Yang benar saja deh. Apa mereka semua berkacamata kuda dalam menimbang UU Omnibus Cipta Kerja? Jangan aneh-aneh deh.
Para Guru Besar itu tidak mampu mengenal ambisi besar UU, yang saya nilai sialan ini, hendak menaruh monster pencegah korupsi di hulu semua proses berinvestasi? Jengan mengada-ada. Berpura-purakah mereka kritis? Aneh-aneh aja. Apakah Mereka yang biasa melahirkan para doktor, magister dan sarjana tak punya peralatan, metodologi berpikir? Enak aja.
Lensa Keilmuan
Kelewat konyol bila mengatakan Gara Buru besar kritis itu, tidak mengerti kelemahan dan kelebihan paradigma. Paradigma menentukan out put. Gambaran besar atau kecil diujung penalaran atas fakta. Fakta memiliki makna. Pemberian makna atas satu fakta, mungkin akan berbeda. Itu merupakan hal biasa, dan itu alamiah dalam khazanah ilmu.
Satu Guru Besar dengan Guru Besar lain mungkin akan berbeda memaknai kenyataan anggota DPR tidak dibelakai RUU itu pada saat disahkan menjadi UU. Kenyataan itu defenitif. Kenyataan ini dapat diperiksa secara obyektif. Kenyataan itu tidak dikarang-karang.
Para originalism seperti Antonio Scalia, hakim Agung Amerika Serikat, yang empat tahun lalu meninggal dunia di usia lebih 80 tahun itu, menjadikan teks sebagai determinative law. Law as text. Paradigma dominan ini, betapapun diagungkan Scalia, tetapi, bukan tak dapat dikritik.
Paradigma interpretasi ini, dalam kenyataan keilmuan juga menjadi alamat kritik hebat. Dalam sifatnya ini sama dengan pradigma klasik yang berkembang di Perancis, yang dikenal bouse de la loi atau judges as mouth of law. Hakim itu mulut UU. Hukum itu adanya di undang-undang.
Maknanya hakim jangan keluar dari UU dalam menemukan hukum. Hakim harus menganggap UU adalah hukum. Diluar itu tidak. Kelebihannya, begitulah dunia keilmuan, ternyata tidak mengubur munculnya kelemahan di sisi lain yang praktis.
Tidak ada kata yang sungguh- sungguh mengekspresi, mewakili original intention pembentuk teks, law giver atau law makers. Itu kelemahannya, sehingga muncul paradigma penantang. Progresive paradigm muncul sebagai salah satu penantang produktif atas originlism paradigm.
Paradigma ini, tidak memandang hukum sepenuhnya sebagai text dan hanya ada pada UU. Tidak begitu. Sebagai pantulan kombinatif dari hal-hal yang nyata terjadi dalam masyarakat, dan diabdikan untuk masyarakat, maka hukum harus dicari di tengah kehidupan masyarakat. Digunakan untuk mengenergizer masyarakat.
Interpretasi tipikal ini, mengundang sanggahan hebat dengan argumentasi yang tak kalah mengagumkan. Misalanya, paradigma ini diidentifikasi sebagai instrumen korporat mengakali hukum untuk kepentingan mereka. Mereka menyodorkan para hakim sebagai hulu balangnya.
Paradgima ini mengharuskan hakim pergi keluar dari teks hukum. Hakim keluar dari UU. Hakim diharamkan terpaku mati pada teks hukum. Cara ini, kata mereka, demi dan untuk keadilan sebanyak-banyak masyarakat. Bukan semua masyarakat.
Dalam kenyataannya, pemeritahan tiranis menyukai dan mengandalkan paradigma ini memutar roda pemerintahan. Menjadi trade mark pemerintah totaliter. Paradigma ini membenarkan pemerintah menggunakan hukum sebagai tongkat pemukul bengis terhadap rakyat.
Walau tidak selalu berbau komunistik, paradigm ini memungkinkan komunis bergerak masuk secara halus ke semua sudut kehidupan. Masuk dengan cara menjadikan hukum sebagai kuda manis tunggangannya. Dalam ilmu hukum, paradigma ini dikenal dengan progressivism. Dalam ilmu interpretasi ditransformasi menjadi judicial activism. Lawan tanding tangguh atas judicial restrain, khas Scalia.
Mereka Sangat Bening
Bodoh betul mengangap Guru Besar tidak mampu menganalogikan Omnibus Bills dengan code of act. Tidak ada ilmuan hukum yang tidak mengerti Omnibus mewakili lingkungan hukum anglo saxon. Disisi lain code of act (kitab UU semacam KUPH, KUH-Perdata Dagang, dan KUHAP) mewakili karakter hukum Eropa Kontinental.
Undang-undang yang isinya meliputi banyak aspek, yang disebut Omnibus Bills atau law, memang bukan barang baru di dunia hukum. Kapan mulai dipraktikan? O’Brien and Bosc dalam kajiannya berjudul “Omnibus Bills in Theory and Practice “menyodorkan Amerika pada frontline penggunaan konsep ini.
Profesor ilmu politik pada Laval University ini menunjuk tahun 1888 sebagai tahun awal penggunaan konsep itu. UU ini mengatur persetujuan pemisahan dua jalur kereta api. Disebabkan merupakan persetujuan dua korporasi yang bersifat privat, maka omnibus ini disifatkan sebagai private ominibus bill.
Tetapi Profesor ini, mengakui pertama kali mendengar konsep ini tahun 1967. Ini ketika Pierre Trudeau, Menteri Kehakiman Canada merancang, sungguh sangat baru dan mengagumkan, landmark, mengamandemen hukum pidana. Hukum pidana baru ini berisi beragam materi.
Materi Hukum pidana yang baru diamandemen itu meliputi, dalam kata-katanya, homosexuality, abortion, contraception, lotteries, gun ownership, drinking-and-driving penalties, harassing phone calls, regulated misleading advertising and even cruelty to animals. Jelas penalarannya.
Ilmu hukum, yang diketahui para Guru Besar bahwa politik menjadi golden views pada pembahasan RUU. Materi yang mau diatur, sepenuhnya berdasarkan penilaian dan ekspektasi politik. Itu sebabnya, apa saja bisa diatur dalam satu RUU dan diputuskan menjadi UU.
Ini terjadi di Irlandia, negeri dalam rumpun tradisi anglo saxon. Dalam Omnibus mereka yang belum lama diputuskan, berisi ragam hal, meliputi ribuan UU. Omnibus mereka mencabut ribuan undang-undang eksisting. Salahkah ini? Tidak. Pada titik ini, yang menjadi takarannya adalah politik, bukan hukum.
Mengagungkan UU hanya berdasarkan namanya. Misalnya Omnibus Cipta Kerja, juga hal-hal umum yang ada didalamnya, jelas bukan pekerjaan ilmuan hukum. Menunjuk penyederhanaan proses perolehan izin usaha, yang dipropagandakan politisi sebagai hal mengagumkan dari UU sialan ini, tak mungkin diterima ilmuan hukum.
Penyederhanaan izin, sama sekali tidak bermakna tidak perlu izin usaha. Izin usaha tetap ada. Izin harus diurusi oleh setiap pengusaha. Karena izin usaha tetap ada, maka semudah apapun prosedurnya, beralasan bila ilmuan hukum mengajukan hipotetis tentang kemungkinan terjadi hal buruk. Korupsi misalnya, pada saat mengurus izin.
Ilmuan hukum tahu teks hukum. Yang didalamnya norma hukum dinyatakan, bersifat hipotetis. Norma hukum tidak dapat disamakan dengan kenyataan atau fakta. Norma hukum atau teks hukum, hanya mewakili kehendak pembentuknya, bersifat hipotetis. Bukan menggambarkan kenyataan faktual.
Mengagungkan satu UU hanya, sekali lagi, berdasarkan judul UU itu, tak mungkin bukan merupakan pekerjaan konyol. Ini banyolan dahsyat. Ahli hukum tahu, korupsi disebabkan salah satunya teks hukum yang memiliki beragam makna. Teks yang memiliki ragam makna alias tak tunggal adalah panggilan terhadap korupsi.
Teks yang memiliki ragam makna justru pencipta utama ketidakpastian hukum. UU Omnibus ini diwarnai dengan teks jenis ini. Sekadar ilustrasi, upah buruh yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, misalnya. Bagaimana membaca teks itu? Pertumbuhan per semester, per triwulan atau per kwartal atau apa?
Bodoh sekali bila berpendapat UU Omnibus menghapus PHK. Sekali lagi bodoh. Ahli hukum tidak akan bernalar seperti ini. Mereka tahu nalar itu mencerminkan kebodohan paripurna. Tidak ada pekerja, apapun pekerjaan itu, dimanapun, yang tidak bisa diberhentikan.
Ahli hukum tahu semua pekerja bisa diberhentikan sebelum waktunya. Ini logis. Itu sebabnya ahli hukum akan menyelidiki syarat dan prosedur pemberhentian pekerja. Dari situ barulah ahli hukum tiba pada pernyataan kongklusif. Misalnya, pemberhentian kerja dipersulit atau dipermudah oleh UU Omnibus ini.
Pembaca FNN yang budiman. Sejarah kelimuan secara umum merekam sejumlah fakta adanya ahli yang bertindak sebagai corong dan kaki tangan korporasi. Mereka melegitimasi sebuah gagasan pembentukan UU yang ditolak rakyat. Ini juga terjadi di Amerika.
Terjadi sejumlah korporasi oligarki wall street menghendaki pembentukan UU Bank Sentral. Ilmuan ikut menyamarkan nama Bank Sentral itu menjadi The Federal Reserve Act. Praktris ilmuan ikut menyesatkan, mengakali masyarakat yang mati-matian menolak bank jenis ini.
Kembali ke kasus UU Omnibus Cipta Kerja. Namanya oke, cipta kerja. Tetapi ilmuan hukum tahu betul nama ini bersifat hipotetik. Konsekuensinya tidak serta-merta terwujud. Alhamdulillah ilmuan hukum, bahkan ratusan dari mereka, tidak berenang di lautan politik busuk khas politisi picisan, licik, culas dan picik. Juga tidak mengikuti maunya korporasi oligarkis keleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng.
Alhamdulillah, ahli-ahli hukum dan Guru Besar lainnya di sejumlah kampus tidak ikut-ikutan mempropagandakan UU Omnibus, yang saya nilai sangat membinasakan ini. Alhamudlillah, mereka masih menempatkan nurani intelektualnya di jantung hidupnya.
Bersyukur pada nurani mereka bening, sebening janji Allah Subhanahu Wata’ala yang akan mengangkat derajat merela orang-orang yang berilmu dan beramal lebih tinggi dari yang tidak berilmu dan tidak beramal. Allah Subhanahu Wata’ala juga akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Alhamudlillah.
Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.