UU Cipta Kerja Dan Proses Pemakzulan Jokowi
by Dr. Marwan Batubara
Jakarta FNN – Selasa (13/10). Paripurna DPR telah mengesahkan UU Cita Kerja (Ciptaker) pada 5 Oktober 2020. RUU Ciptaker setebal 906 halaman tersebut, dibahas hanya 6 bulan sejak April 2020. Menurut pemerintah pembentukan UU Ciptaker bertujuan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya melalui perbaikan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha.
Dikatakan, UU Ciptaker akan merubah struktur ekonomi dan sektor terkait, sehingga investasi dan produktivitas meningkat. Lapangan kerja tercipta, ekonomi tumbuh dan rakyat makin sejahtera. Namun kalau tujuannya mulia, kenapa para buruh, mahasiswa, tokoh, aktivis, akademisi, kepala daerah, pakar, ormas dan berbagai kalangan rakyat menolak?
Sebaliknya, jika pemerintah dan fraksi-fraksi DPR pendukung pemerintah berniat tulus meningkatkan kesejehteraan rakyat, mengapa pula harus membahas RUU Ciptaker terburu-buru? Juga tertutup, abai kaidah moral, abai peraturan, memanipulasi iniformasi dan menebar ancaman?
Jawabnya, di balik pemaksaan kehendak tersebut ada kepentingan khusus. Ada rekayasa dan agenda tersembunyi pro oligarki yang menyelinap, sehingga berpotensi merugikan rakyat dan membahayakan kehidupan berbangsa. UU Ciptaker mungkin dapat meningkatkan investasi dan lapangan kerja.
Namun para anggota oligarki penguasa-pengusahalah yang akan untung besar. Tidak heran, RUU Ciptaker dibahas dengan brutal. Menghalalkan segala cara, sesuai kehendak oligarki dan pemerintah, yang tampak semakin otoriter seperti diurai berikut ini.
Pertama, melanggar sila pertama Pancasila. Karena pembentukan UU sarat prilaku moral hazard. Paripurna DPR menetapkan UU Ciptaker atas dasar dokumen sesat, karena draft final RUU sengaja disembunyikan. Dengan modus ini, meski sudah ditetapkan DPR, penguasa dapat saja merubah-rubah naskah RUU sesuka hati, sambil melihat sikon dan mengakomodasi aspirasi dan tuntutan publik.
Secara moral, prilaku manipulatif ini jelas illegal, memalukan, amoral, merendahkan martabat bangsa dan pantas dipidanakan. Sebab hingga hari ini (12/10/2020) naskah akhir RUU malah belum diterima “partai oposisi”, PD dan PKS. Apalagi untuk diakses publik.
Jika Presiden Jokowi menuduh publik menolak UU Ciptaker atas dasar hoax. Publik pun bisa pula mengatakan Presiden Jokowi penyebar hoax UU Ciptaker. Faktanya, justru klarifikasi Presiden Jokowi (9/10/2020) atas isu hoax yang berkembang di publik itu yang dinilai berpredikat hoax. Penilaian ini sesuai penjelasan Presiden KSPI Said Iqbal terkait isu-isu UMSP, UMSK, PHK, dan Hak Cuti, (12/10/2020).
Kedua, tidak sejalan dengan prinsip-prinsip musyawarah mufakat sila ke-4 dan keadilan sila ke-5 Pancasila. Rapat-rapat Panja RUU Ciptaker yang diakui berjumlah 64 kali, sebagian besar berlangsung tertutup. Jangankan mengundang partisipasi dan bermusyawarah, naskah dan informasi terkait RUU pun tidak bisa diakses publik.
Jangankan bagi publik, bahkan naskah RUU bagi sesama anggota DPR saat pembahasan saja dibatasi. Sebaliknya, pemerintah dan DPR justru memberi peran bagi pengusaha oligarkis. Bukan saja untuk memberi masukan, bahkan diberi peran penting menyusun draft RUU.
Orang-orang dari unsur luar pemerintah, partai dan pengusaha sangat berperan membentuk UU ini. Beberapa penguasa dan pimpinan partai, serta sejumlah dan konglomerat seperti James Riyadi, dan Ruslan Rooslani, berserta sejumlah konspirator demikian dominan menentukan konten RUU. Sebaliknya buruh, pakar dan akademisi dihambat berpartisipasi. Hal ini jelas merupakan bentuk ketidakadilan dan persekongkolan yang mengangkangi prinsip-prinsip musyawarah dan keadilan Pancasila.
Ketiga, melanggar UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Tertutup dan konspiratifnya pembahasan RUU Ciptaker, pemerintah dan DPR telah menghalangi rakyat memperoleh informasi terkait dan naskah RUU Ciptaker, tetapi juga menghambat rakyat menyampaikan aspirasi dan melaksanakan hak kedaulatan yang dijamin konstitusi.
Keempat, melanggar Pasal 5 UU No.12/Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) dan Pasal 229 UU No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Mayoritas rapat Panja RUU melanggar asas keterbukaan karena dilakukan tertutup dan tidak dilakukan di DPR, tetapi di hotel-hotel. RUU dibahas tanpa partisipasi publik dan stakeholders terkait.
Sesuai UU P3 dan MD3, pembentukan UU, mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Konsultasi publik dan audiensi yang dilakukan Pemerintah dan DPR dengan beberapa pihak pada awal pembahasan, untuk kepentingan internal, bukanlah pengambilan aspirasi dan partisipasi publik sebagaimana diperintahkan kedua UU itu.
Kelima, melanggar Pasal 96 ayat (4) UU No.12/2011 tentang P3 yang menjamin akses informasi bagi publik. Naskah hasil pembahasan RUU sebelum diputuskan seharusnya dipublikasi, disebar kepada stakeholders dan diuji publik. Namun yang terjadi draft RUU Ciptaker tidak dipublikasi dan menjadi barang rahasia. Dengan begitu hak publik mengikuti perkembangan pembahasan dan memberi masukan lisan dan tertulis terhambat. RUU itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara formil dan materiil.
Ternyata, modus manipulatif pembentukan UU Ciptaker berlangsung bersamaan dengan munculnya langkah represif, ancaman dan penangkapan terhadap publik yang kritis. Termasuk terhadap sejumlah demonstran. Jika prilaku penyelenggaran negara sudah demikian, anda masih bicara “saya Pancasila”?
Bagaimana bisa para pejabat mengaku “saya Pancasila” tega melanggar prinsip-prinsip bernegara dan berbangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral? Bahkan hal ini dilakukan di tengah derita rakyat akibat pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan pemerintah telah meninggalkan prinsip-prinsip moral, demokrasi dan amanat reformasi.
Pemerintah tampaknya secara perlahan berubah dari negara demokratis berazas hukum menjadi negara kekuasaan atau otriter. Pemerintah terbukti melakukan pendekatan kekuasaan dan menabrak Pancasila dan sejumlah ketentuan hukum terkai UU Ciptaker. Dalam Pasal 170 UU Ciptaker telah pula termuat aturan otoriter, Presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengubah UU lain!
Ternyata pemerintahan menuju otoriterianisme telah berlangsung sejak terbitnya Perppu No.1/2020 yang berubah jadi UU No.2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan atau UU Korona. UU ini memberi kekuasaan Presiden menetapkan APBN/APBN-P tanpa partisipasi DPR (contoh: Perpres No.54/2020 dan Perpres No.72/2020). Hal ini jelas memberangus hak budget DPR yang dijamin Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Presiden pun semakin berkuasa dan dapat bertindak di atas hukum atau melakukan abuse of power. Karena diberi hak impunitas dalam Pasal 27 UU No.2/2020 dan merubah ketentuan dalam 12 UU yang saat ini berlaku, pada Pasal 28 UU No.2/2020. Bentuk lain dari kekuasaan menuju otoriterianisme, melalui UU Minerba No.3/2020. Presiden berkuasa memperpanjang kontrak-kontrak PKP2B dan izin-izin usaha tambang kepada para oligarki dan pengusaha tambang yang kontrak/izinnya habis.
Padahal menurut Pasal 33 UUD 1945 dan UU No.4/2009 yang diberangus, aset negara yang nilainya minimal Rp 10.000 triliun tersebut, harus dikelola oleh BUMN. Aset negara yang dapat menyejahterakan rakyat melalui BUMN, secara vulgar dirampok melalui konspirasi busuk oligarki kekuasaan.
Kemenko Perekonomian menyatakan, sesuai arahan Presiden Jokowi, akan diterbitkan sekitar 35 PP dan 4 Prepres sebagai turunan operasional dari UU Ciptaker dalam waktu 3 bulan ke depan. Bagaimana anda akan menerbitkan PP dan Perpres secara benar, legal dan objektif, jika UU-nya saja disusun penuh konspirasi, rekayasa dan manipulasi, serta belum juga final?
Otoriterianisme dan pemaksaan kehendak ini akan tetap dilanjutkan pemerintah? Bagi IRESS, rencana tersebut harus segera dibatalkan. Karena berbagai prilaku moral hazard, cacat formil, cacat materiil, melanggar UU, konstitusi dan menihilkan Pancasila, maka UU Ciptaker harus segera dicabut. Apalagi jika motif di balik pembentukan UU yang digadang-gadang sebagai alat untuk meningkatkan invesasti dan lapangan kerja itu, ternyata lebih banyak ditujukan untuk kepentingan oligarki kekuasaan dan asing.
Dalam tiga UU terkahir, yakni UU Korona No.2/2020, UU Minerba No.3/2020 dan draft UU Ciptaker, telah ditetapkan kekuasaan Presiden yang semakin besar menuju otoriterianisme. Oligarki kekuasaan tampak telah terlibat aktif merubah NKRI dari negara hukum, perlahan menjadi negara kekuasaan.
Kenyataan ini jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Karena telah melanggar berbagai UU dan mengkhianati UUD 1945, pantas jika DPR dan MPR memulai proses pemakzulan terhahap Presiden Jokowi sesuai amanat Pasal 7 UUD 1945.
Sebagai kesimpulan, kita menuntut agar UU Ciptaker yang ditetapkan DPR pada 5 Oktober 2020 segera dibatalkan. Karena dinilai bersikap semakin otoriter, pro oligarki, serta melanggar sejumlah peraturan dan konstitusi, maka Presiden Jokowi ditutut untuk segera menjalani proses pemakzulan oleh DPR/MPR. Demi hukum, keadilan dan kedaulatan rakyat, mari bergabung mengadvokasi pembatalan UU Ciptaker dan proses pemakzulan Presiden Jokowi.
Penulis adalag Direktur Eksekutif Institute Resources Studies (IRESS).