Konyol Kalau Bawa UU Omnibus ke MK
by Dr.Margarito Kamis SH. M.Hum
Jakarta FNN – Senin (12/10). Dari namanya UU Omnibus Cipta Kerja, yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 lalu. Jangkauan materi muatannya mencakup 79 undang-undang, dengan 1.244 pasal ini, mengagumkan. Bahkan amat sangat mengagumkan. UU ini berambisi besar memberi kerja kepada 2,3 juta warga negara Indonesia, yang setiap tahun masuk ke pasar kerja.
Bukan DPR, tetapi Presiden adalah pemrakarsa UU ini. Prakarsanya itu dinyatakan pada pidato pelantikannya untuk masa jabatan kedua. Ambisinya besar. Presiden hendak membawa bangsa ini berjaya pada tahun 2045. Kejayaan itu harus sudah mulai diproses dari sekarang. Hebat kan?
Tidak Ada di Meja Paripurna
Presiden, dengan segala hormat, jelas bukan sarjana hukum. Bahkan mungkin juga tidak memiliki pengetahuan hukum. Presiden tak terlatih berpikir ala yuris, think like juris seperti para guru besar hukum dan doktor, ahli hukum lainnya. Para guru besar dan ahli hukum di kampus-kampus yang terlatih bernalar menurut ilmu hukum, telah secara terbuka menolak UU Omnibus Cipta Kerja ini.
Desakan mereka, ternyata tidak berbuah. Desakan dan deskan para demonstran, semuanya melayang ke angkasa. Berlau dalam kehampaan. Presiden tidak sudi memenuhi permintaan mereka. Presiden tak memilih pencabutan UU itu sebagai jawabannya. Presiden tetap di posisi politiknya melaksanakan UU.
Presiden memang tidak mengatakan bahwa para Guru Besar, mahasiswa, buruh dan pelajar demonstran tersebut berotak udang. Jelas itu tidak. Presiden juga dipastikan tidak mengatakan para Guru Besar telah memperoleh informasi hoax terkait UU ini.
Tetapi identifikasinya bahwa demontsran dirangsang, dipicu oleh informasi hoax. Ini terlihat sepertinya menyepelekan, untuk tak mengatakan Presiden telah mengidentifikasi para demonstran berotak udang. Celakanya, Preiden tak mampu menjelaskan secara detil pasal demi pasal UU ini.
Untuk hal paling sepele, yakni draf UU yang hingga paripurna itu tak tersaji di meja. Jangankan anggota DPR, Ketua Fraksi pun tidak itu punya. Peristiwa ini tidak dapat dijelaskan oleh Presiden. Celakanya, Presiden menyodorkan hoax, disinformasi sebagai pemicu demonstrasi. Jangan begitu Pak Presiden.
Permasalahan hukum apa yang disahkan Pak Presiden dan DPR? Mengesahkan hal yang hanya ada di kepala? Apakah Presiden sedang menciptakan tatanan baru pembentukan UU dalam ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945?
Apakah Pak Presiden hendak menjadikan Baleg sebagai organ baru menggantikan DPR? Apakah ekspresi DPR sebagai lembaga negara, sekarang diwakilkan kepada Baleg? Bukan pada rapat paripurna DPR? Ini ilmu apa Pak Presiden? Presiden harus diberi tahu perbaikan tipo, titik koma, bentuk huruf, itu bukan pekerjaan yang hanya sah secara konstitusi dilakukan dalam pembahasan.
Bukan setelah disepakati paripurna Pak Presiden. Tahukah Presiden hukum ada pada setiap kata, bentuk huruf, rangkaian kata-kata dan tanda-tanda baca dalam pasal, ayat, dan huruf? Hukum apa yang dibekali kepada Presiden kala menyampaikan sikapnya, pada tanggal 9 Oktober, sehari setelah demonstrasi?
Politik memang tidak sama dengan perang yang tidak bisa jauh dari gerak tipuan. Tetapi apa yang Presiden dapat sajikan kepada rakyat? Misalnya nalar dibalik konsep perhitungan upah buruh yang dipertalikan pada pertumbuhan ekonomi setiap daerah? Pak Presiden anak SD juga bisa baca teks UU. Tetapi mereka tak bakal mengerti nalar dibalik teks itu.
Andai Presiden mau buka sedikit lembaran sejarah pembangunan republik tercinta ini, Presiden pasti akan menemukan rangkaian bukti lapuknya paradigma penciptaan lapangan kerja. Paradigma bersandar pada korporasi. Orde baru mengawali eksistensinya dengan cara pandang itu. Hasilnya?
Pertumbuhan ekonomi hanya mengagumkan dan membesarkan segelintir korporasi. Presiden memang tidak bersentuhan dengan Orde Baru. Paradigma liberal klasik itu, sayangnya dihidupkan secar ugal-ugalan lagi pada saat ini. Paradigma itu bertransformasi menjadi metode korporasi memperbesar cengkeraman mereka atas seluruh tatanan bernegara. Sayang sekali Presiden tidak menenggelamkan nalarnya ke dalam falacy konsep itu. Menyedihkan betul.
Dilarang Terpukau
Presiden telah mendemonstrasikan sikapnya, entah demokratis atau angkuh dengan membuka diri, mempersilahkan warga negara yang jengkel dengan UU ini, membawanya ke MK. Hebatkah ini? Tidak. Ini malah payah. Mengapa? Orang-orang pintar tahu kalau mengikuti imbauan Presiden sama dengan membuat UU Omnibus Ciptaker yang sialan itu, tetap menjadi buih. Berada diatas permukaan ombak. Orang-orang pintar akan menemukan diri tenggelam dalam politik tak berkelas Presdien. Itu satu.
Kedua, ke MK itu konsekuensi sistem ketatanegaraan eksisting. Dengan atau tanpa sikap Presiden, sistem bekerja dengan cara itu. Tidak bisa lain. Bawaan lautan adalah asin. Itu alamiah. Tanpa perlu digarami pun lautan tetap saja asin. Jadi untuk apa mempersilahkan rakyat membawa UU ini ke MK?
Menyuruh orang ke MK, tetapi pada saat yang sama membuka dialog, jelas akan terlihat sebagai ejekan. Apa yang mau didialogkan setelah menjadi UU? Mau akomodasi gagasan baru ke dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden? Para Guru Besar akan merasa diakali. Mengapa? UU sudah disahkan. PP dan Perpres tidak bisa memuat norma yang tidak diperintahkan UU. Jadi apa faedahnya dialog? Pernyataan Presiden itu seperti menyuruh Guru Besar menjaring angin.
Sudahlah, tak ada faedah untuk diratapi. Nestapa, suka atau tidak, sudah muncul menemani bangsa ini disepanjang jalan berliku dihari-hari mendatang. Marilah melihat pernyataan itu sebagai cara Presiden menghindar Perpu mencabut UU itu. Perpu pencabutan UU itu tak tersedia di meja kebijakan Presiden.
Presiden mempersilakan siapapun membawa UU ini ke MK, dapat diduga mungkin dirangsang oleh pengetahuan kecilnya tentang preseden pasal tentang presdensial threshold pada UU Pilpres. Hantu blau ini tidak dikenal dalam pasal 6A UUD 1945. Ini ciptaan DPR dan Presiden, dan dibenarkan oleh MK.
Jatuh hati pada sikap demokratis Presiden, terasa sama dengan terjatuh ke dalam parit dan gorong-gorong. Mengejarnya terasa sama dengan membentangkan pelangi dilangit usai ba’da Azhar. Mustahil. Sehebat apapun angkuhmu, mustahil kau bentangkan pelangi di langit ujung ba’da Ashar. Sudahlah, menjauhlah dari pergi ke MK. Jangan rindukan datangnya luka hati.
Presiden, dapat diandaikan, tidak mengerti konsep unintended consequences atas hukum dalam pasal, ayat dan huruf. Terlalu berlebihan meminta Presien mengerti kenyataan sejarah yang dihasilkan dari konsekuensi itu. Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1868 usai perang saudara, sejenak terlihat mengagumkan.
Amandemen itu tegas mengatur, dalam sifatnya konsolidasi prinsip kesamaan derajat untuk semua jenis subyek hukum. Untuk Amerika yang hebat. Apa yang terjadi sesudahnya? Aturan itu menjadi dasar korporasi diterima sebagai subyek hukum dalam sistem hukum Amerika sejak itu. Itulah konsekuensi tak dikehendaki unintended consequences. Mau apa? Begitulah hukum bekerja dalam alam demokrasi korporasi yang dipandu dengan hukum, nomokrasi urakan.
Keuangkuhan Monster Mayoritas
Terpukaulah dengan kenyataan yang disodorkan PKS dan Demokrat, yaitu tidak adanya UU yang disahkan itu diatas meja paripurna. Luka besar konstitusi ini, cukuplah diratapi, bila tak mampu tertawakan. Namun tak usah kecil hati dengan kenyataan konstitusional bahwa Presiden punya tiga hakim MK. Begitu juga DPR. Itu konstrain UUD 1945. Itu determinative, bukan indeterminative.
Berbesar hati pulalah, sistem konstitusi di bawah UUD 1945 memungkinkan MK berkreasi menemukan argumen-argumen pembenar atas kenyataan sebusuk itu. Kreasi mereka tak bisa dikoreksi. Itu hebatnya sistem tata negara reformasi. Begitu MK membenarkan kenyataan busuk itu, maka terkunci, dalam arti terformalisasi sudah hal busuk itu. Putusan itu menjadi hukum dan tatanan bernegara dimasa datang. Itulah konsekuensi sistem.
Konsekuensi lainnya? Dimasa depan sistem ketatanegaraan kita membenarkan Presiden dan DPR mengesahkan RUU tanpa rancangan final tersaji diatas meja anggota DPR dalam paripurna. Berbahaya memang, karena ini menjadi panggilan mengerikan hidupnya monster bernama keangkuhan mayoritas.
Selalu ada waktu untuk kebenaran berbicara dengan cara yang tak dapat dilawan oleh penguasa sekaliber Fir’aun sekalipun. Hukum politik mengajarkan kebenaran selalu punya cara menyapa dan menggoyahkan, bahkan menggulung penguasa yang memonopoli semua aspek semau-maunya.
Terpukau untuk pergi ke MK menguji UU ini, bisa jadi akan ditertawakan kera putih kecil. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Tak usah menyusahkan diri sendiri. Meminta Perpu kepada yang terhormat Presiden mencabut UU ini, sekalipun terlihat sebagai hayalan, tetapi mungkin bisa diusahakan. Itu pilihan yang paling mungkin, dan satu-satunya.
Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.