Omnibus Law Hanya Obat Nyamuk, Bukan Kemenyan
by Salamuddin Daeng
Jakarta FNN – Ahad (11/10). Kalau salah menempuh jalan yang dilalui, maka ekonomi pasti masuk jung. Kalau liberalisasi dan neoliberal bisa menyelamatkan ekonomi pemerintahan Jokowi, seharusnya paling tidak dalam enam tahun terakhir ekonomi sudah membaik. Mengapa yang terjadi sebaliknya?
Ekonomi Indonesia di bawah Jokowi stagnan. Malah cenderung ke memburuk, dan semakin memburuk dari hari ke hari. Ternyata jalan yang di pakai para ekonomi dan pemikir ekonomi pemerintah Jokowi sudah tidak relevan lagi. Dunia sudah rame-rame meninggalkan leberalisasi dan neoliberal.
Lalu mengapa pemerintah malah menggunakan jalan liberalisasi neoliberal Omnibus Law? Ternyata ini karena tukang keuangan Jokowi tak mengerti keadaan dunia saat ini. Masih hidup di bawah tempurung. Mereka pikir jalan liberalisasi neoliberal bisa menjadi kemenyan untuk jampi-jampi agar uang masuk.
Ternyata liberalisasi neoliberal Omnibus Law ini hanya obat nyamuk asap. Asapnya banyak, dan hanya bisa untuk membuat sesak nafas. Para tukang ekonomi, keuangan, politik, dan sosial budaya yang ada di sekitar Jokowi sekarang umumnya adalah alumni krisis 98.
Mereka tidak memiliki kemampuan dalam memahami tema baru yang tengah menggerakkan dunia saat ini. Isi kepala dan otaknya alumni 98 terpenjara dalam mainstream ideologi yang sudah tak relevan lagi dalam menganalisis dan memecahkan situasi yang tengah berlangsung. Sayangnya, mereka masih coba-coba juga untuk dipaksakan mazhab yang sudah lapuk dan usang itu.
Bahkan alumni krisis 98 ini hanya memahami bahwa ilmu ekonomi ini adalah liberalisasi neoliberal macam Omnibus Law. Malah ilmu ekonomi mereka hanya seputar pada bagaimana memberikan dana talangan kepada perusahaan, bailout bank, Penyertaan Modal Negara (PMN), menutup defisit dengan hutang baru dan sejenisnya. Tidak lebih dari itu.
Alumni krisis 98 ini hanya memahami bagaimana menimbun utang dan mengambil pajak rakyat. Target akhirnya untuk mempertahankan supremasi oligarki, korporasi dan konglomerasi licik, picik, tamak dan culas atas kekuasaan politik dan ekonomi. Tragisnya faham dan mazhab yang sudah lapuk dan usang ini dilakukan dengan bangga berulang-ulang.
Mereka Alumni krisis ekonomi dan politik 98 ini hanya kaki tangan oligarki, korporadi dan konglomerasi busuk. Padahal kemampuan dan kredibilitas mereka tidak lebih dan istimewa. Bahkan hanya menjadi parasit negara. Memakan uang negara. Hidup dari proyek proyek pemerintah dan BUMN. Namun tampil di depan publik tepuk dada sebagai penyangga ekonomi negara.
Sayangnya mereka sekarang, hmapir seluruhnya tidak lagi dipandang relevan oleh arsitektur keuangan global dalam menata masa depan. Oligarki, korporasi dan konglomerasi busuk, licik, picik, dan tamak ini malah dipandang dan diposisikan sebagai penyakit global saat ini.
Kebaradaan mereka hendak disingkirkan dalam percaturan global. Sebab keberadaan mereka menjadi residu untuk sejarah manusia manusia. Uang mereka hilang, perusahaan mereka ambruk, institusi penopang mereka roboh. Mereka terjatuh seperti pelepah pohon kelapa kering.
Pemerintahan Jokowi sekarang telah kehilangan kesempatan. Jalan yang ditempuh sudah menyimpang jauh dari tema perubahan saat ini. Tema utama yang tengah memaksa dunia untuk berubah. Tema yang datang menerjang tak bisa dihalangi oleh siapapun. Apalagi oligarki, korporasi dan konglomerasi Indonesia, yang selama ini terkenal busuk, picik, licik dan tamak.
Dunia tampaknya memang lupa memberi nama tema yang tengah berlangsung. Dunia sekarang gigerakkan oleh tools utama, yakni transparansi dengan tiga elemen kunci, yaitu ICT, digitalisasi, financial technology. Selain itu, penghapusan uang kotor melalui Automatic of Exchange Information (AoI). Penghapusan uang ktor ini bekejasama dengan Mutual legal Assitance (MLA).
Terakhir, penghapusan energi kotor, industri kotor melalui Conference Of The Parties (COP) 21 dan Covid 19. Inilah elemen yang akan menyapu bersih dunia faham dan mazhab liberalisasi dan neoliberal model Omnibus Law. Siapa yang bisa berselancar di atasnya, akan bisa sampai ke tepi lautan Hindia.
Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).