OPINI

Pemimpin Yang Berintegritas

by Shamsi Ali New York City FNN – Selasa (27/10). Di musim politik dan Pilkada seperti ini, tentunya masyarakat atau umat lagi-lagi diperhadapkan kepada kenyataan-kenyataan yang terkadang membingunkan. Tentu salah satunya adalah bingung dalam menentukan pilihan pada Pilkada tersbut. Dalam menentukan pilihan, terkadang memang tidak sederhana. Akan banyak sekali pertimbangan yang terlibat. Dari pertimbangan kedekatan (keluarga dan teman), kemampuan, Ilmu, karakter, agama, hingga kepada faktor uang. Saya menilai pertimbangan-pertimbangan itu sah-sah saja. Tapi pastinya ada pertimbangan yang seharusnya menjadi “flatform” atau dasar pilihan yang bersifat universal. Artinya, harus ada pertimbangan dasar yang menjadi alasan utama dalam menentukan pilihan. Salah satu pertimbangan utama dalam menentukan pilihan adalah agama dan karakter kandidat. Agama menjadi penting karena diharapkan seorang pejabat akan lebih amanah. Dengan agama pastinya seorang pejabat akan memiliki rasa tanggung jawa (sense of responsibility). Tidak saja secara duniawi (kepada rakyat ya). Tetapi lebih dari itu, tanggung jawab ukhrawi kepada Rabbnya di akhirat kelak. Agama seseorang itu dalam konotasi sosial, termasuk kepemimpinannya, akan terbentuk dalam wujud “karakter kemanusiaan”. Agamanya akan terbaca dalam prilaku dan integritasnya. Pemimpin yang beragama secara benar, tidak akan menjadikan simbol-simbol keagamaan sebagai mainan politik. Di saat musim kampanye serta merta menjadi “so religious” (nampak seperti beragama). Dari ragam kegiatan keagamaan, hingga kepada penampilan lahirnya menjadi nampak sangat beragama. Pemimpin yang beragama justeru akan menampakkan nilai-nilai agama itu dalam menjalankan kampanye politiknya. Bahwa dia tidak akan membangun kekuatan politiknya di atas dasar keuangan yang maha kuasa. Sehingga dia tidak akan membeli suara. Jika memang punya uang, maka uang itu akan dipergunakan dalam bentuk “programming” yang bersifat sosial dan manfaat umum. Bukan membeli suara melalui apa yang dikenal di negeri ini dengan “serangan fajar”. Pemimpin yang beragama juga mengedepankan pertarungan visi/misi dan program, ketimbang faktor lain dalam laga politiknya. Bahwa sebuah perhelatan politik memang memerlukan duit. Tetapi pemimpin yang berintegritas (berakhlak) akan selalu meraih hati masyarakat melalui visi/misi dan programnya. Tentu pemimpin beragama juga adalah pemimpin yang memiliki prilaku yang mulia. Pemimpin yang tetap “tawadhu” dan menjalin komunikasi dan silaturrahim dengan siapa saja tanpa memandang status sosialnya. Bukan ramah di saat kampanye. Tetapi berubah total di saat telah menjabat. Pemimpin beragama juga menjaga nilai-nilai moralitas dalam hidupnya. Maka dia akan menjauhi segala yang dilarang agama. Apapun itu, dari berbohong kepada rakyatnya, minum khamar, berjudi dan melakukan penyelewengan dalam hal kehidupan intimnya. Jika seorang calon itu dikenal memang sering ke Macau atau Singapura untuk berjudi jangan harapan akan mampu menjadi pemimpin yang berketauladadan bagi masyarakatnya. Sementara ketauladanan akan menentukan wajah masyarakat di masa depan. Disinilah kemudian masyarakat (pemilih) harus jeli membaca atau mencari tahu siapa pemimpin yang akan dipilihnya. Kesalahan dalam menentukan pilihan akan berdampak tidak saja lima tahun dalam kepemimpinannya. Tetapi boleh jadi berimbas ke dalam kehidupan yang lebih jauh lagi ke depan. Silahkan memilih teman, kerabat, bahkan saudara. Tetapi hendaknya pertemanan, kekeluargaan dan persaudaraan tidak menjadi pertimbangan yang menentukan. Karena tidak menutup kemungkinan saudara yang dipilih, namun tidak berintegritas itu justeru mencampakkan kepentingan masyarakat umum, bahkan teman dan keluarga yang memilihnya. Saya justeru khawatir, jangan-jangan menjatuhkan pilihan berdasarkan pertemanan dan kekeluargaan itu justeru menjadi bagian dari bentuk “nepotisme” tanpa disadari. Sebuah prilaku menyeleweng yang hina dalam kehidupan publik. Lebih runyam lagi disaat pilihan itu, ternyata didasarkan kepada kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat. Mendukung kandidat tertentu karena sebuah harapan untuk mendapat proyek tertentu pula. Atau dalam bahasa pinggir jalan, “ada kerupuk di balik rantang”. Penulis adalah Imam di kota New York & Presiden Nusantara Foundation.

Gus Nur Itu Paham Betul Nikmat atau Derita Dunia Hanya 2.5 Jam

by Asyari Usman Jakarta FNN - Senin (26/10). Orang-orang yang duduk dengan kekuasaan besar biasanya selalu menjaga kesehatan mereka agar selalu prima. Rumah mewah. Mobil luks. Makanan bagus-bagus. Istirahat cukup. Pemeriksaan kesehatan teratur dan terjadwal. General check-up maupun pemeriksaan rutin lainnya. Cek darah, jantung, ginjal, selalu normal. Mereka seolah ingin atau berharap hidup1,000 tahun. Kalau bisa. Mungkin saja mereka merasa bisa. Atau, berhayal bisa sampai segitu. Cuma probabilitasnya sangat kecil. Kalau tak boleh dikatakan nihil. Rentang usia yang paling mungkin dicapai adalah 100 tahun. Menurut catatan “The Centenarian” –media yang mengamati populasi di atas 100 tahun— ada sekitar 450,000 orang di muka Bumi ini yang berusia 100 tahun atau lebih. Hanya sekitar 0.006 persen saja dari sekitar 7,800,000,000 penduduk dunia. Lalu, apa kaitan antara judul tulisan ini dengan usia 100 tahun? Begini. Gus Nur (Sugi Nur Raharja) ditangkap pada 24 Oktober 2020. Persis tengah malam, pukul 00:00. Penceramah NU garis lurus ini dilaporkan oleh kalangan NU juga dengan tuduhan penghinaan dan penyebaran kebencian. Cemarah-ceramah ustadz yang memiliki kanal You Tube ini terasa keras. Terutama bagi orang-orang yang menyenangi kehidupan duniawi. Nah, di sini mulai terlihat kaitan antara usia 100-an tahun dan judul tulisan. Lebih mengerucut lagi, Gus Nur itu adalah orang yang paham betul bahwa hidup di dunia ini hanya 2.5 jam (dua setengah jam) saja. Walaupun disebut 100 tahun menurut kalender manusia. Inilah durasi hidup di dunia dalam perbandingan dengan hidup di akhirat. Satu hari di akhirat itu sama dengan 1,000 (seribu) tahun di dunia. Begitulah Allah jelaskan di dalam al-Qur’an surah Al-Hajj ayat 47. “…inna yauman ‘inda rabbika ka-alfa sanatin mimma ta’uddun.” (artinya: “…Sesungguhnya satu hari di sisi Tuhanmu sama dengan seribu tahun menurut hitunganmu.”) Dari sinilah didapat durasi hidup manusia hanya sekitar 2.5 jam di mata Allah. Itu pun kalau orang bisa sampai 100 tahun. Kembali ke Gus Nur. Bagi beliau, dan mungkin banyak orang lain yang paham, senang terus-menerus di dunia atau menderita tanpa akhir, tak sampai 2.5 jam. Kalau orang hari ini berusia 50 tahun, maka kesenangan atau penderitaan di dunia hanya tinggal 1 jam 15 menit lagi. Sangat “singkat”. Karena begitu “singkat” itu, Gus Nur tidak mau membuang-buang waktunya. Beliau gunakan detik demi detik usianya untuk persiapan menghadapi “Hari Pertanggungjawaban”. Dia mengambil sikap tegas. Tak kenal kompromi. Kebenaran harus ditegakkan, kezaliman wajib dimusnahkan. Begitu cara Gus Nur melihat kehidupan di dunia. Tentu ini untuk orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Bisa jadi banyak orang yang tidak peduli dengan perbandingan durasi itu. Yang penting bagi mereka adalah bisa hidup nikmat tanpa pernah disentuh kesusahan. Mereka akan melakukan apa saja asalkan menyenangkan. Sampai akhirnya mereka tidak bisa lagi membedakan kebaikan dan keburukan. Tak bisa melihat kebenaran dan kebatilan. Tidak lagi mengenal konsep halal dan haram. Semua disikat. Itulah sekadar upaya saya memahami pikiran Gus Nur. Bagaimana persisnya, hanya beliau dan Allah SWT yang tahu. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Rezim Yang Ngotot Dan Bandel

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (26/10). Undang-Undang Omnibus Law dianggap "mission sacre" oleh Pemerintah. Perlawanan dalam bentuk unjuk rasa menjadi aksi berkelanjutan. Demo dan unjuk rasa tidak reda dengan hanya penangkapan penangkapan. Kegoncangan bukan saja di tingkat nasional, tetapi juga reaksi internasional. Para buruh marah, mahasiswa terbangun, pelajar terinspirasi, umat Islam siap siaga. Langkah pun sudah dimulai bersama. Ada tiga hal yang menjadi fenomena menarik dari sikap pemerintah atas penentangan atau unjuk rasa Undang-Undang Omnibus Law ini, yaitu : Pertama, ngotot sampai titik darah penghabisan. Taruhannya siap sampai kursi goyang atau rubuh. Kehebatan apa di belakang undang-undang otoriter ini ? Betapa kuat sang pengorder. Sepertinya berapapun "economic and political costs-nya” siap untuk dibayar. Kedua, bandel dan nakal alias ngeyel yang menganggap semua sebagai hal yang wajar. Nanti juga rakyat akan diam sendiri. Suruh saja ke MK kan saja. Paling dijewer-jewer sedikit, namanya juga "Pemerintahan Sinchan". Yang penting ujungnya bus akan jalan terus meski supir mabuk atau ugal-ugalan. Ketiga, planga-plongo. Pemerintah yang bingung mundur kena maju kena. Antara misi dan reaksi membuat sikap Pemerintah seperti orang yang "kesambet setan". Linglung berjalan sambil menghitung angka-angka dan tertawa. Pemerintah yang depresi, cemas, dan stress. Negara dalam ketidakpastian. Jokowi sudah sulit dipercaya untuk mampu mengendalikan negara ke arah yang dicita-citakan. Penampilannya kalem, namun selalu bikin kebijakan yang gaduh. Bias antara manajemen konflik dan mis-manajemen. Faktanya mengelola negara secara acak-acakan. Undang-Undang Omnibus Law adalah aturan tebal bermakna tipis. Nafsu besar tenaga kecil. Seperti keangkuhan di tengah kelemahan. Orientasi kerakyatan yang gagal. Buruh dilecehkan dan rakyat yang dinistakan. Bagai lempar makanan kepada hewan dari dalam mobil. Jika dasar penolakan itu hoaks karena dianggap buta undang-undang, maka Pemerintah lah yang telah menciptakan dan memproduksi hoaks dengan aturan yang membabi buta. Buruh itu tidak bodoh. Mahasiswa yang membantu buru itu bukan rekayasa, umat teriak karena ikut terinjak. Bus "menabrak sana sini" melesat terburu-buru untuk kejar setoran. Dunia ikut bersuara. ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) telah meminta agar Undangg-Undang Omnibus Law dibatalkan karena melanggar hak-hak demokratis, hak buruh, dan lingkungan hidup. Selanjutnya "Undang-Undang ini tidak didasarkan atas ilmu ekonomi, melainkan oportunisme semata" kata Charles Santiago, Ketua APHR. Gerakan aksi buruh menentang Undang-Undang Omnibus Law didukung pula oleh organisasi serikat buruh internasional seperti Internasional Trade Union Confederation (ITU), yang menurut Said Iqbal Ketua KSPI organisasi ini beranggotakan 59 konfederasi serikat pekerja dari 34 negara Asia dan Pasifik. Kebijakan semestinya diambil dengan mudah untuk memulihkan keadaan, yakni tunda atau batalkan. Tetapi yang mudah dan simpatik ini nyatanya sangat sulit. Kesannya lebih baik mengorbankan segalanya daripada menarik kembali Undang-Undang Omnibus Law. Sungguh rezim telah menutup mata dan telinga untuk melihat dan mendengar aspirasi rakyatnya. Rezim memang tidak aspiratif, ngotot dan bandel. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ganjar Kerja Keras Singkirkan Puan dan Budi Gunawan

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (26/10). Persaingan yang sedang terjadi di PDIP semakin ketat. Siapa yang akan maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dari PDIP? Tentu saja Megawati maju jika elektabilitasnya memungkinkan. Jika berat, setidaknya ada Puan Maharani dan Budi Gunawan. Karir Puan, baik di PDIP maupun di pemerintahan cukup bagus. Di PDIP, Puan pernah menjadi wakil ketua. Di pemerintahan, Puan menjabat Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK), sebelum dilantik menjadi ketua DPR sekarang. Pengalaman politik Puan Maharani dianggap lebih dari cukup jika didapok menjadi capres 2024 nanti. Dan sepertinya, Puan memang dipersiapkan oleh Megawati untuk menjadi capres 2024. Minimal Cawapres. Sayangnya, elektabilitas Puan stagnan. Jauh tertinggal dari Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dua periode. Mungkin karena Puan belum serius menggarap branding dirinya untuk nyapres. Disisi lain, posisi Ganjar Pranomo sebagai gubernur, nampaknya telah diamnaatkan secara serius, dan digarap menjadi panggung untuk menaikkan popularitas lelaki dari Purworejo ini. Menjadi drama, kata Natalius Pigai. Tim media dan medsos Ganjar bekerja efektif. Selfie di tempat karantina pasien. Sidak ke bandara, dan berpenampilan informal dengan pasang senyumnya yang khas, adalah setting pencitraan yang sukses digarap oleh tim Ganjar untuk meningkatkan popularitasnya. Ini bagian dari kerja keras yang harus dilakukan Ganjar jika ingin singkirkan Puan Maharani, dan juga Budi Gunawan. Agak mirip dengan Jokowi. Ketika popularitas Jokowi tinggi, maka terjadi gelombang dukungan dari kader PDIP untuk capreskan mantan Walikota Solo ini. Megawati terdesak, dan akhirnya tersingkir. Tahun 2014, Megawati pun digantikan Jokowi untuk menjadi capres. Apakah Puan Maharani akan tersingkir juga oleh Ganjar? Tak menutup kemungkinan perkiraan itu bakal terjadi. Jika Puan tak serius menyiapkan tim untuk branding dirinya, maka besar kemungkinan juga akan tersingkir. Seperti ibunya dulu. Apalagi lihat kerja serius Ganjar yang sangat sistematis. Apabila ini terjadi, maka trah Soekarno mungkin memang ditakdirkan sementara untuk urus partai saja. Sedangkan capres menjadi ladang untuk kader yang lain. Pebruari lalu, Indobarometer merilis elektabilitas Ganjar 11,8 persen. Rilis tersebut menempatkan Ganjar mengungguli Puan Maharani yang hanya berada di angka tak lebih dari 1 persen. Sementara survei Median, Ganjar 9,6 persen dan Puan tetap di angka 1 persen. Survei terbaru di bulan oktober, Indikator merilis elektabilitas Ganjar naik lagi jadi 18,7 persen. Tertinggi saat ini. Jika dibandingkan Puan, tentu sangat jauh. Ganjar dengan kerja keras, serius dan sistematisnya, berhasil membonsai elektabilitas Puan Maharani. Ganjar lebih pandai memanfaatkan panggungnya sebagai gubernur Jawa Tengah dibanding Puan Maharani di DPR. Juga Budi Gunawan di BIN. Elektabilitas Ganjar yang cukup tinggi dan terus naik bisa dipahami, mengingat belum ada kepala daerah atau tokoh lain yang secara serius melakukan branding dan kerja-kerja politik untuk persiapan 2024. Ganjar saat ini, dengan keseriusan dan kehebatan timnya, sedang main sendiri tanpa lawan. Pertanyaannya, kenapa Ganjar terkesan curi star? Melakukan branding dari sekarang? Bukankah pilpres 2024 masih jauh? Empat tahun lagi. Jawabannya, karena Ganjar harus menjebol dua tembok besar. Tembok pertama bernama PDIP. Untuk dapat tiket PDIP, Ganjar harus kerja keras dan memastikan elektabilitasnya jauh di atas calon yang lain. Khususnya Puan Maharani dan Budi Gunawan yang saat ini menjadi calon potensial dari PDIP. Sedangkan tembok kedua bernama e-KTP. Ganjar Pranowo harus berhasil mengalahkan isu e-KTP yang sempat dikait-kaitkan dengan nama dirinya. Dengan elektabilitas yang tinggi tersebut, isu e-KTP diharapkan akan diabaikan oleh publik. Ini alasan masuk akal, jika Ganjar untuk saat ini berusaha melawan dua tembok besar itu. Mumpung belum ada lawan. Sebagai pemain tunggal, tim Ganjar bisa terus menaikkan elektabilitasnya. Apalagi kalau mau bermain mata dengan lembaga survei, ini akan lebih mendongkrak elektabilitas. Toh masyarakat nggak bisa klasifikasi jika menyangkut hasil survei. Kecuali ada hasil survei yang lain. Sebab, dalam sejumlah survei, selain angka ilmiah, kerapkali ada angka konspirasi. Bergantung siapa yang memesan. Tetap saja, semuanya dikembalikan kepada persepsi publik. Apapun dinamika di lembaga-lembaga survei itu, kerja keras dan keseriusan tim Ganjar menyingkirkan popularitas serta elektabilitas Puan Maharani, juga Budi Gunawan, tampaknya cukup berhasil. Ini obyektif, mengingat angkanya stabil di sejumlah lembaga survei. Tanpa singkirkan Puan dan Budi Gunawan, Ganjar tak akan punya ruang untuk dicapreskan oleh PDIP. Karena itu, harus kerja keras. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Sudah Saatnya Dibentuk Kementerian Penangkapan Aktivis

by Asyari Usman Jakarta FNN - Minggu (25/10). Salah satu fokus utama Amerika Serikat (AS) setelah kemerdekaannya (4 Juli 1776) adalah pembangunan kekuatan militer. Ini dibuktikan ketika presiden pertama AS, George Washington, dilantik pada 1789. Kongres AS langsung membentuk kementerian yang khusus menangani urusan perang. Kementerian itu dinamakan United States Department of War. Sering disebut War Departemen (Departemen Perang). Kementerian ini bertugas mengawasi operasi angkatan darat, awalnya. Kemudian, Departemen Perang mengurusi angkatan laut dan angkatan udara. Kelihatannya, pembentukan Departemen Perang AS sangat dipengaruhi oleh suasana psikologis orang Amerika waktu itu. Sebelum kemerdekaan, mereka terlibat perang revolusi yang berlangsung panjang melawan Inggris sebagai kekuatan kolonial. Setelah deklarasi kemerdekaan, perang masih berlanjut. Kali ini perang saudara (civil war). Yang berlangsung cukup lama. Dari 12 April 1861 sampai 13 Mei 1865. Empat tahun. Gara-gara sejumlah negara bagian di belahan selatan AS tidak mau berada di dalam Union (United States). Ini menyebabkan pemerintah federal melancarkan perang terhadap negara-negara bagian di selatan yang hendak membentuk Confederate of States of America. Sebelum Perang Saudara itu, AS terlibat perang dengan Meksiko. Mereka sebut Mexican War (Perang Meksiko). Berlangsung antara 25 April 1846 hingga 2 Februari 1848. Hampir dua tahun. Perang, perang, perang. Perang menjadi kelaziman di Amerika. Departemen Perang di kabinet AS baru diganti menjadi Deparemen Pertahanan (Department of Defense) pada 1949. Setelah berakhir Perang Dunia Kedua. Begitulah. Terlalu banyak peperangan sampai harus dibentuk Departemen Perang. Bagaimana dengan Indonesia saat ini? Kalau tak salah rasa, penangkapan adalah kegemaran yang sangat digandrungi oleh para penguasa. Dalam hal ini, pengkapan terhadap orang-orang yang kritis melihat cara kekuasaan dijalankan. Main tangkap adalah kelaziman yang sedang terjadi. Yang berseberangan dengan penguasa dan vokal, akan dicari-cari kesalahan mereka. Para aktivis sosial-politik menjadi sasaran. Diincar. Begitu ada alasan, dan alasan itu sering mengada-ada, maka para pengkritik yang bersuara lantang langsung diserbu pada tengah malam atau menjelang subuh. Karena penangkapan aktivis kelihatannya akan menjadi fokus baru penguasa, saya mengusulkan agar dibentuk Kementerian Penangkapan Aktivis (boleh juga disingkat Kemenkapvis). Supaya penguasa bisa lebih terarah dan leluasa. Apalagi, para pengguna medsos juga diancam tangkap dengan alasan hoax. Ada ratusan ribu atau jutaan pengguna medsos yang kritis. Jadi, akan sangat banyak pekerjaan penangkapan yang harus dilakukan penguasa. Di bawah kementerian khusus dan dikomandoi oleh Menteri Penangkapan Aktivis (sebut saja Menkapvis), tentu program penangkapan bisa dilembagakan dengan landasan UU tentang Penangkapan Aktivis. Sehingga, tindakan penangkapan bisa lebih masif lagi. Dan DPR bisa membuatkan anggaran resmi untuk penangkapan para aktivis. DPR pasti setuju. Sebab, sebagian besar mereka di parlemen mendukung penangkapan aktivis. Tinggal sekarang pemerintah mengusulkan pembentukan Kemenkapvis itu. Hari-hari ini merupakan waktu yang tepat. Penulis adalah Wartawan Senior FNN .co.id.

Ronnie Rusli, “Hanya Monyet Indonesia Yang Perlu Vaksin”

by Mochamad Toha Surabaya – Sabtu (24/10). Seorang relawan uji klinis vaksin COVID-19 AstraZeneca di Brazil meninggal dunia. Seperti keterangan para pejabat pada Rabu (21/10/2020), dikutip dari The Guardian, relawan yang meninggal dilaporkan bernama Dr. Joao Pedro Feitosa. Pedro petugas medis berusia 28 tahun yang merawat pasien Covid-19. Surat kabar Brasil, O Globo melaporkan, relawan itu telah diberi plasebo, bukan vaksin COVID-19 eksperimental. Uji klinis vaksin yang dikembangkan AstraZeneca bersama Universitas Oxford itu disebut-sebut akan tetap dilanjutkan. Sebelumnya, otoritas kesehatan Brasil, Anvisa mengabarkan seorang relawan yang turut serta dalam uji coba klinis vaksin Covid-19, yang dikembangkan AstraZeneca dan Universitas Oxford meninggal dunia. Seperti diikutip dari Reuters, CNN Brazil melaporkan bahwa dokter muda itu tinggal di Rio de Janeiro. Pedro meninggal karena komplikasi Covid-19. Sayangnya Anvisa tak merinci lebih lanjut. Pasalnya lembaga terikat kerahasiaan medis. Universitas Federal Sao Paulo, yang membantu mengordinasikan uji klinis di Brazil tersebut membenarkan relawan warga Brazil. Tetapi menolak memberi informasi detil. Pihak Universitas menyerahkan kelanjutan uji coba ke dewan peninjau independen. Mengutip dari AFP, relawan yang meninggal itu bekerja merawat pasien Covid-19 di ruang gawat darurat. Media lokal menyebut, Perdro adalah dokter muda, dan baru saja merampungkan studi tahun lalu. Sebelum tertular ia sehat dan tetap bekerja. Sementara itu, AstraZeneca menolak berkomentar. Namun, Universitas Oxford mengatakan, insiden itu sudah ditinjau secara independen, dan akan melanjutkan uji klinis. Setelah penilaian secara cermat atas kasus kematian di Brazil, tulis pernyataannya, tak ada kekhawatiran tentang keamanan uji klinis dan tinjauan independen, selain pemerintah telah merekomendasikan agar uji coba tetap dilanjutkan. Brazil sebelumnya memiliki rencana untuk membeli vaksin AstraZeneca dari Inggris tersebut dan memproduksinya. Sejauh ini sudah ada 8.000 relawan yang disuntik vaksin, dari target 20.000 orang. September 2020, vaksin eksperimental AstraZeneca dan Oxford ini sempat dihentikan pengujiannya. Pasalnya seorang relawan di Inggris mengalami sakit misterius. Tetapi, dalam penelitian vaksin biasanya memang tidak hanya vaksin yang diberikan. Relawan biasanya dibagi dalam dua kelompok, satu mendapat vaksin perusahaan penguji, dan satu lagi suntikan plasebo. Presiden Brazil Jair Bolsonaro menyatakan, tak akan beli vaksin Covid-19 buatan China. Sehari setelah itu Menteri Kesehatan Brasil menyebut vaksin asal China itu akan ditambahkan pada program imunisasi. Menanggapi pendukungnya di media sosial yang mendesaknya agar tidak membeli vaksin Sinovac, Bolsonaro mengatakan, “kami tidak membeli vaksin China”. Sang presiden menyebut vaksin tersebut belum merampungkan uji coba. Namun Brazil termasuk negara yang paling parah terkena dampak virus corona. Hampir 5,3 juta kasus positif di Brazil, tertinggi ketiga di dunia setelah AS dan India. Menurut data Universitas Johns Hopkins, Brazil juga tercatat pada peringkat kedua dunia setelah AS dalam hal angka kematian, yakni hampir 155.000 kematian hingga 21 Oktober 2020. Selasa (20/10/2020), Menteri Kesehatan Brazil Eduardo Pazuello mengatakan pemerintah federal telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah Negara Bagian Sao Paulo untuk membeli 46 juta dosis vaksin CoronaVac yang sedang diuji pusat riset Brazil, Institut Butantan. Vaksin yang akan diproduksi Butantan tersebut masih harus disetujui oleh badan regulator kesehatan agar dapat digunakan masyarakat. Gubernur Sao Paulo Joao Doria mengatakan, program vaksinasi dapat dimulai pada Januari 2021, yang menjadikan program itu sebagai salah satu vaksinasi Covid-19 pertama di dunia. Akan tetapi, pada Rabu (21/10), Presiden Bolsonaro mencuit di Twitter bahwa setiap vaksin harus disetujui oleh badan regulator kesehatan dan diuji keampuhannya oleh kementerian kesehatan sebelum tersedia untuk masyarakat. “Rakyat Brazil tidak akan menjadi kelinci percobaan siapapun,” tegas Presiden Bolsonaro. Berbeda dengan Indonesia, Vaksin Sinovac sangat ditunggu-tunggu kedatangannya untuk segera disuntikkan pada warganya. Mengutip Gelora.co, Rabu (21/10/2020), Pemerintah Indonesia tengah melakukan tahap finalisasi pembelian tiga vaksin corona dari beberapa perusahaan vaksin di China Ketiga vaksin China tersebut Sinovac, Sinopharm, dan CanSino seperti disebut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto telah menyelesaikan uji klinis fase tiga di sejumlah negara. Tim finalisasi pembelian vaksin tersebut terdiri dari Kementerian Kesehatan, Kementerian BUMN, Kementerian Maritim dan Investasi, Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan BPOM. “Bahkan, vaksin ini sudah digunakan di negara asalnya,” kata Yuri dalam jumpa pers daring yang ditayangkan Kompas TV, Senin (19/10/2020). “Tujuannya, kita mencari vaksin yang bisa digunakan secara aman untuk penduduk kita. Aman dalam dua perspektif, dari sisi manfaat terhadap pencegahan untuk menjadi sakit karena Covid dan aman dari sisi kehalalan,” jelas Yuri. Dari ketiga vaksin corona China yang melakukan uji klinis yang dilakukan di luar negara asalnya, salah satunya Sinovac dilakukan di Indonesia. Vaksin Sinovac, kata Yuri, telah menyelesaikan uji klinis fase 3, selain di China juga di Brazil. Indonesia, lanjut Yuri, baru selesai pada Desember ini. Dilaksanakan di Bandung Bio Farma dan Universitas Padjajaran. Sementara, akademisi yang juga mantan Eselon 1 Kemenko Maritim dan Eselon 1 Kemenko Ekuin Ronnie Higuchi Rusli punya pandangan lain terkait rencana pembelian vaksin tersebut. Melalui akun Twitternya, @Ronnie_Rusli, dosen Universitas Indonesia tersebut menyatakan, pengadaan vaksin merupakan bisnis besar oleh kalangan tertentu. Rusli membuka pandangan tentang sistem impor vaksin yang menurutnya hanya dilakukan oleh importir, bukan pemerintah. “Catat, vaksin itu bisnis besar para taipan yang gelontorin duitnya untuk impor. Bukan uang dari Anggaran Kemenkes untuk impor Vaksin,” tulis Ronnie dikutip Wartakotalive.com, Rabu (21/10/2020). Karena Kemenkes bukan importir obat/vaksin. Jadi para importir itulah yang pakai tangan pemerintah untuk wajib vaksinasi. Kalau mau, liat Singapore dan Brunei. Statement Ronnie pun membuat sejumlah pengikutnya tercengang. Mereka bertanya untuk memastikan bahwa uang pembelian vaksin itu bukan dari Kemenkes. “Bukan uang dari Anggaran Kemenkes untuk Impor Vaksin?” tanya seorang warganet. “Bukan, Vaksin itu dibeli. Memangnya Kemekes yang menyediakan obat-obatan Kemotherapi di RSUP/RSUD atau obat sakit jantung, segala vaksin yang ada di RS? Kemekes hanyalah regulator kesehatan. Kalau obat-obatan itu urusan POM,” jelas Ronnie. Ronnie kemudian mengutip pernyataan pendiri Tesla, Elon Musk, yang dengan tegas mengungkapkan tak akan pernah menggunakan vaksin virus corona, meski nantinya vaksin itu tersedia. “Tesla founder Elon Musk has said that “neither he nor his family will likely take future coronavirus vaccines” even when they are readily available, saying the pandemic has “diminished [his] faith in humanity,” kutipnya. “Hanya monyet di Indonesia yang perlu divaksin, yang bukan monyet gak perlu,” ungkap Ronnie. Menariknya, Pemerintah China sendiri sudah menyatakan, China tidak akan menyuntik vaksin rakyatnya. Sasaran Vaksinasi Pemerintah Indonesia memberi prioritas sesuai dengan ketersediaan vaksin, penduduk dan wilayah berisiko, tahapan pemakaian dan indeks pemakaian. Idealnya: Seluruh Penduduk; Optimal: 80% Penduduk Berisiko Tertular. Pertama, Garda terdepan: Medis dan Paramedis contact tracing, pelayanan publik termasuk TNI/Polri, aparat hukum 3.497.737 orang dengan kebutuhan vaksin 6.995.474 dosis. Kedua, Masyarakat (tokoh agama/masyarakat), perangkat daerah (kecamatan, desa, RT/RW), sebagian pelaku ekonomi) 5.624.0106 orang dengan kebutuhan vaksin 11.248.020 dosis; Ketiga, Seluruh tenaga pendidik (PAUD/TK, SD, SMP, SMA dan sederajat PT) 4.361.197 orang dengan kebutuhan vaksin 8.772.3942 dosis. Keempat, Aparatur pemerintah (Pusat, Daerah dan Legislatif) 2.305.689 orang dengan kebutuhan vaksin 4.611.378 dosis. Kelima, Peserta BPJS PBI 86.622.867 orang dengan kebutuhan vaksin 173.245.734 dosis; Sub total jumlah di atas 102.451.500 orang dengan kebutuhan vaksin 204.903.000 dosis; Jika ditambah Masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya 57.548.500 orang dengan kebutuhan vaksin 115.097.000 dosis. Jadi, total suluruhnya 160.000.000 orang dengan kebutuhan vaksin 320.000.000 dosis. Wajar jika Ronnie tadi menyebut, pengadaan vaksin merupakan bisnis besar oleh kalangan tertentu. Yang perlu dicermati adalah kematian di Brazil itu disebabkan vaksin, patut dicurigai, vaksinasi itu tidak ubahnya menanam virus corona di tubuh warga. Itulah mengapa China tidak memvaksin rakyatnya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Jokowi, Presiden Yang Menggergaji Demokrasi

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (24/10). Tentu bukan Jokowi sendiri, tetapi bersama-sama dengan elemen rezim yang lain, apakah taipan, pengendali asing, partai politik ataupun lembaga perwakilan rakyat. Yang pasti, dibawah Pemerintahan Jokowi, demokrasi terancam terpotong-potong, bahkan tercabik-cabik. Kadang dengan bahasa "bertindak tegas". Namun pada hakekatnya adalah memaksakan kehendak. Sayangnya, meskipun dengan setuju ancaman datang bertubu-tubu, namun rakyat tidak takut untuk tampil menyatakan kebenaran. Tidak takut menuntut keadilan dari pemerintahan Jokowi. Juga tidak takut menyatakan, pemerintah Jokiwi telah salah dalam tate kelola negara. Semakin diancam, bukanya takut. Malah semakin berani menyatakan perlawanan. Masyarakar umum, besama-sama dengan para buruh, mahasiswa dan pelajar bahkan berani melakukan perlawanan. Bahkan kalangan Guru Besar yang tadinya mendukung Jokowi pada Pilpres kemarin, kini berbalik menyerukan pembangkangan sipil (civil disobedience) kepada pemerintahan Jokowi. Guru Besar Universitas Gajagh Mada (UGM), Profesor Dr. Zainal Mochtar terang-terangan menyatakan pembangan sipil diperlukan atau apalah namanya (tirto.id 06/10/2020). Aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) Haris Azhar malah menyerukan pembangkangan dengan tidak membayar pajak. Semua itu sebagai bentuk nyata ungkapan tidak takut kepada tekanan dari pemerintah. Majalah The Economist edisi 15 Oktober 2020 menyatakan, otoritarisme yang dibangun pemerintahan Jokowi, ditandai dengan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juga penggunaan institusi kepolisian untuk membungkam pengkritik. Kurang memperhatikan hak-hak perempuan, kelompok minoritas dan kebebasan masyarakat sipil. Kemudian pemerintah Jokowi, menurut Majalah The Economist yang bermarkas di Inggris yang terbit sejak tahun 1843 tersebut, juga mengebiri Mahkamah Konstitusi (MK). Mengurangi hak-hak buruh, mempersempit desentralisasi. Yang terakhir adalah mengancam independensi Bank Indonedia (BI). The Economist juga menyatakan "Indonesia is lurching back into authoritarianism with Joko Widodo at the helm". Gambar ilustrasinya adalah pilar penopang istana yang sedang digergaji menjadi beberapa bagian oleh seorang tukang kayu. Tentu saja tulisan The Economist ini dapat menjadikan istana kebakaran jenggot. Pilar demokrasi yang digergaji Jokowi dirasakan oleh sebagian masyarakat baik cendekiawan, buruh, purnawirawan, agamawan, mahasiswa, maupun aktivis lainnya. Banyak Perppu dan terbitnya aturan perundang-undangan yang acak-acakan seperti Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) adalah cermin dan bukti dari penggergajian tersebut. Tiga hasil dari penggergajian demokrasi itu. Pertama, democrazy yaitu rakyat yang menjadi gila karena kepemimpinan yang gila-gilaan. Kedua, mobokrasi yakni kekuasaan kaum gerombolan melalui tampilan premanisme hukum, politik, dan budaya. Ketiga, korporatokrasi tukang kayu yang hanya berfikir bisnis. Korparat harus diuntungkan dan rakyat menjadi obyek proposal investasi dan hutang luar negeri. Menurut media Inggris ini, Jokowi memang berubah dari tukang meubeul sederhana yang merakyat "man of the people" menjadi petahana yang terpencil dan jauh dari rakyat "surrounded by courtiers from capital's intertwined bussiness and political elites". Jokowi yang terkepung dan tersandera. Dalam sejarah perubahan politik, sebenarnya situasi ini adalah sinyal dari semakin dekatnya kejatuhan. Sulit membayangkan kemampuan Jokowi untuk dapat membalikkan "distrust" sekarang ini menjadi simpati dan kokoh berdiri di kaki sendiri. Melepas kendali jalinan bisnis dan tekanan elit politik. Menggergaji demokrasi bukan solusi. Tetapi justru jalan melawan konstitusi dalam mempercepat gerak menuju lokasi kuburan sendiri. "Jokowi sama dengan Soeharto," kata The Economist. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Menuju Kongres Pemuda Era Digital

by Chaerudin Affan Jakarta FNN – Jum’at (23/10). Pada era awal-awal pergerakan modern di tahun 1910-1920-an, terdapat banyak organisasi pendidikan atau organisasi kepemudaan di Indonesia. Semangat mereka adalah menuntut perbaikan hidup, keadilan, dan kesetaraan. Pada tahun-tahun itu pula para pendiri negara sudah mulai bergerilya hingga Eropa sana. Kaum pemuda terpelajar melakukan konsulidasi dan penyadaran kepada masyarakat. Diperlukan adanya kesadaran perlawanan terhadap penindasan yg dilakukan penjajah kala itu. Maka pergerakan pemuda dilakukan hampir di setiap daerah. Gerakan mogog kerja juga tercatat pernah dilakukan dalam sejarah penjajahan ketika itu. Hingga akhirnya konsepsi negara republik Indonesia berhasil di sounding oleh pemudan dan terpelajar di pertengahan 1920-1930. Tan Malaka yang tercatat pernah menyurukan melalui bukunya “Naar de Republike Indonesia” di tahun 1925. Setelah itu, berikutnya dilantangkan kembali oleh Soekarno. Konsepsi sebuah negara merdeka, menjadi nafas baru dari gerakan pemuda dan intelektual Nusantara. Dengan sigap para tokoh muda seperti Kartosoewirjo, Mohammad Roem, J. Leimena, Soegondo Djojopoespito, Djoko Marsaid, Adnan Kapau Gani, M. Yamin, Amir Syarifuddin Harahap, W.R Supratman, S. Mangoensarkoro, Sie Kong Liong, dan Kasman Singodimedjo merumuskan sumpah pemuda yang merupakan kristalisasi dari pembahasan dalam kongres pemuda kedua 1928. Kongres pemuda melibatkan organisasi-organisasi kepemudaan yang berbasis kesukuan dan organisasi pendidikan. Dalam kongeres tersebut hadir Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Borneo, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), dan Pemuda Kaum Betawi. Konsulidasi membunyikan gong persatuan perlawanan terhadap penindasan yg dilakukan penjajah. Lalu mendeklarasikan diri sebagai satu bangsa, terjadi pada tahun 1928. Dengan semangat persatuan, mereka berikrar, "Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia." Zaman terus berganti, hingga beberapa puluh tahun kemudian ikrar tersebut bertemu dengan ridho Tuhan. Kemerdekaan pun menjadi kenyataan. Malam itu sebelum pidato kemerdekaan Soekarno dan Hatta di bacakan, kaum muda mengambil peran untuk membujuk kedua tokoh nasional agar segera mendeklarasikan kemerdekaan. Sukarni, Yusuf Kunto, dan kawan-kawan yang menjadi tokoh muda saat itu berhasil membujuk Soekarno dan Hatta untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan. Berselang 25 tahun dari kemerdekaan Indonesia, situasi guncang ganjing. Kondisi sosial, ekonomi dan politik bermasalah. Lagi-lagi, kaum muda kembali menunjukan perannya. Keritik pedas terhadap situasi tersebut berlangsung bertahun-tahun mewarnai surat kabar nasional. Konsepsi-konsepsi pemikiran kaum terpelajar yang terpadu dengan kepekaan terhadap situasi masyarakat menjadi pendobrak, menuju harapan baru. Tidak juga kita lupa pada tahun 1974. Kalangan mahasiswa bersama rakyat melakukan keritik keras terhadap investasi besar-besaran dari luar negeri, khususnya Jepang. Dan tentu belum lekang dari ingatan kita pergolakan menuju reformasi 1998. Kaum muda juga menjadi motor dalam perubahan. Kini 92 tahun sudah sejak Ikrar para pemuda saat itu dikumandangkan 1928. Zaman juga sudah berganti berkali-kali. Negara tercinta sudah mengalami cobaan yang tidak sekali. Era digital katanya, saat dunia seolah dilipat dengan kemajuan teknologi. Saat ini siilaturahmi dan diskusi bisa dilakukan dari jarak jauh. Informasi yang dulunya hanya dimiliki kaum elit, kini bisa dengan terbuka diakses lewat internet. Konsepsi bisa disebarkan melalui media sosial. Namun tantangan yang dihadapi juga berbeda dengan zaman sebelunya. Tantangan semakin berat. Zaman yang sudah berganti lalu membawa kemajuan teknologi menjadi sebuah keniscayaan yang terbukti. Namun pokok-pokok permasalahan juga seling barganti tidak jarang terulang lagi. Keadilan, kesetaraan, kemiskinan, kelaparan, dan penindasan belum juga terselesaikan. Semangat kebersamaan untuk membawa Indonesia mencapai cita-citanya perlu lagi diingatkan. Memperingati Sumpah Pemuda 1928 adalah cara mencari spirit kebersamaan untuk menyelesaikan permasalahan yang kerap menyandra Indonesia untuk melangkah ke depan. Suara pemuda perlu lagi digaungkan. Gagasan-gagasan pemuda perlu lagi dipertemukan. Tentu tidak lagi dengan entitas kesukuan, karena sejak 1928 kita sudah berikrar menjadi satu bangsa. Perjalanan kekini sering memisahkan kaum muda atas profesinya. Hal itu digambarkan dengan besarnya ego sektoral yang kerap menjadi momok penghabat sinergisitas dan akselerasi pembangunan. Untuk itu, bersamaan tulisan ini, saya mengundang kawan-kawan pemuda dari lintas profesi untuk bergabung dalam diskusi merefleksikan Sumpah Pemuda yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) FISIP Universitas Indonesia. Diskusi akan diselenggarakan secara online melalui media zoom, pada tanggal 28 Oktober 2020. Kami berharap suara anda bergabung di ruang diskusi. Salam Pemuda... Bahwa sesungguhnya pemuda adalah harapan untuk Indonesia mencapai cita-citanya, yang adil dan makmur. Amin Peulis adalah Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) FISIP Universitas Indonesia

Mahfud MD Hanya Bisanya Ngalor-Ngidul

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (23/10). Dalam acara Karni Ilyas Indonesia Lawyers Club (ILC), Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keadamana (Polhukam) Mahfud MD kesannya menyalahkan publik atas kritik kepada Pemerintah dengan jalan pikiran bahwa semua Pemerintah selalu disalahkan. Mahfud MD berapologi bahwa siapapun yang duduk di Pemerintahan tidak akan mampu memperbaiki keadaan. Skeptisme sebagai alasan pembenar. Padahal ciri pemerintah demokrasi adalah kuanya masyarakat sipil (civil socety) melakukan kontrol sosial atas jalannya pemerintahan. Kecuali untuk bentuk pemerintahan yang otoritas, check and balances tidak dibutuhkan. Mahfud mencontohkan Amin Rais sebagai "Bapak Reformasi". Meskipun menjadi Ketua Mejelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tetapi tetap tidak mampu mengatasi korupsi dan kronisme. Gatot Nurmantyo yang Panglima TNI juga tidak dapat menangkap kader Partai Komunis Indonesia (PKI) atau yang berfaham komunis. Begitu juga dengan Rizal Ramli sampai mantan Hakim Agung Artijo Alkostar disebut-sebut oleh Mahfud. Kemudian Mahfud menunjukkan fakta bahwa semua Pemerintah dikritik. Bahkan ada pula yang sampai dijatuhkan. Karenanya dimaklumi, kalau Pemerintahan Jokowi juga selalu saja disalahkan. Konon hal ini menjadi konsekuensi dari pelaksanaan asas demokrasi, dan opsi sebaliknya adalah Pemerintahan yang otoriter. Sesuatu yang dapat ditafsirkan sebagai ancaman Mahfud. Yang lucu dan menggelikan lagi, secara sumier disebut semua Presiden turun atau diturunkan dengan tuduhan melanggar Pancasila. Entah data sejarah darimana Mahfud berkesimpulan sesederhana itu. Malah tidak ada satupun Presiden yang turun akibat melanggar Pancasila. Sekelas Soekarno pun diturunkan karena berhubungan dengan kasus G-30/S PKI. Soeharto turun soal krisis ekonomi dan korupsi. Rakyat marah karena otoritarisme pemrintahan Soeharto, dengan menjadikan ABRI penopang kekuasaan 32 tahun. Habibie diturunkan karena efek dari referendum Timur-Timor. Demikian pula Presiden yang lain lebih spesifik lagi. Bahkan ada yang lengser dengan normal seperti Megawati Soekarnoputri dan Soesila Bambang Yudhoyono. Bahwa rakyat melakukan kritik terhadap setiap Pemerintahan, bukan menjadi alasan pembenar dari Pemerintahan Jokowi sekarang. Bahwa seakan-akan pemerintahan Jokowi telah benar dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan yang benar sesuai undang-undang yang berlaku. Presiden Jokowi lebih parah dari persiden-presiden sebelumnya. Apa yang dikemukakan Mahfud MD ini dinilai hanya ngalor-ngidul, apologetik saja. Tidak ilmiah, dan bukan pandangan yang rasional, apalagi solutif. Mahfud MD sebenarnya mengakui akan ketidakmampuan dirinya. Hanya saja Mahfud tampil dalam kepribadian yang terbelah, antara kepakaran di bidangnya dengan kedudukannya sebagai bagian dari Pemerintahan. Akibatnya, argumen yang dikemukakan menjadi naif dan cenderung menembak orang lain hanya untuk membenarkan dirinya dan pemerintah sekarang. Mahfud MD semakin tenggelam dalam kolam keruh kabinet pimpinan Jokowi. Terengah-engah mendalihkan pembenaran. Sayangnya, bukan berdasar pada dalil kebenaran. Kelu lidah untuk menyatakan kejujuran dan keadilan secara konsisten. Publik kini sedang melihat perkembangan politik yang semakin memanas akibat kebijakan yang tidak pro rakyat. Kebijakan yang hanyap bersikap pragmatik. Kebijakan yang hanya pro kepada oligarkis, korporasi dan konglomerasi busuk, licik, picik, culas dan tamak. Mahfud sang Menko Polhukam nampaknya terus dan senang berputar-putar ngalor-ngidul di pusaran air yang hampir menenggelamkan kekuasaan. Selamat atau tidaknya sang Guru Besar ini tergantung pada kesadaran dirinya untuk membelah atau tidak berkepribadian. Yang pasti Mahfud mulai kehilangan cara berpikir yang sehat sebagai seorang Guru Besar. Ilmuan yang mengabdi kepada kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan. Argumen yang tidak ajeg dan ngalor-ngidul membuat Mahfud MD kehilangan jati dirinya. Sementara lingkungan dan jabatan telah memenjarakan fikiran, fisik dan psikisnya. Kemudian, ia semakin jauh saja dari simpati publik. Oh, Mahfud yang malang. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Misteri Black Box dan Krisis Legitimasi Jokowi

by TB. Massa Djafar Jakarta FNN - Jumat (23/10). Ketuk palu DPR mensahkan Omnibus law, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja 5 Oktober 2020, telah menimbulkan berbagai reaksi dikalangan publik. Ditambah, aksi walk out Fraksi Demokrat dan Fraksi Keadilan Sejahtera dari sidang DPR. Kedua fraksi tersebut, menolak pengesahan RUU Cipta kerja. Dengan alasan, subtansinya merugikan rakyat dan belum memegang draft RUU Ciptaker. Komnas HAM menilai UU Cipta kerja janggal, ada nya penambahan jumlah 130 halaman. Disinyalir, kemungkinan masuknya pasal seludupan. Keterangan dari Sekretaris Jenderal DPR RI, draft final berjumlah 1.035 halaman. Padahal draft rapat paripurna 5 Oktober hanya 905 halaman. Bahkan, terakhir ada 5 versi draft yang beredar. Simpang iur seputar draft UU Cipta kerja, hingga menimbulkan berbagai persepsi dan kesimpulan berbeda beda. Pendirian buruh misalnya, sejak draft awal (proses input) akan dibawa ke DPR mereka sudah menolak. Hingga aksi turun kejalan, menolak untuk disahkan menjadi UUD Cipta kerja yang sudah menjadi (proses output), keputusan DPR. Gelombang penolakan keputusan DPR tidak hanya dari kelompok buruh, juga dari berbagai elemen masyarakat dan bersifat nasional. Black Box Yang menarik, selain reaksi keras kaum buruh, fokus perhatian publik pada misteri perubahan draft asli RUU Cipta Kerja. Menurut versi pemerintah, dalam pidato Presiden Jokowi, ia meyakinkan kepada buruh dan publik agar tidak terpengaruh hoax. Bahwa RUU Omnibuslaw justru membela kaum buruh dan nasib kelompok Usahan Mikro dan Menegah (UMKM). Sedangkan pihak kontra pemerintah, misalnya F.Demokrat dan F.PKS, maupun kalangan pengamat, mempertanyakan mana draft versi pemerintah. Kejanggalan terdapat pada subtansi dan seputar prosedur pengesahan RUU Omni Buslaw terkesan tidak transparan. Seperti ada yang disembunyikan. Ada dugaan, terjadi perubahan atau perbaikan pasal-pasal krusial berpotensi pelanggaran HAM, merugikan buruh dan mengutungkan pada oligharki. Melihat fakta-fakta tersebut, kecurigaan publik tentu bukan tanpa alasan. Kontroversi dalam proses pengambilan keputusan, penyeludupan pasal atau tukar guling pasal ditenggarai kerap terjadi di DPR. Sebuah proses politik tak terhindarkan, sebagai arena pertarungan berbagai kelompok kepentingan. Yang bisa mengubah dan menetukan keputusan final (output). Dinamika tersebut, dalam istilah seorang ahli ilmu politik, David Easton, menamakan kotak hitam (Black Box) penuh misterius. Dan membuka ruang, dimana proses input (within input) jadi tunggangan kepentingan. Sehingga ia menentukan ouput / keputusan final tidak sesuai atau bahkan bertolak belakang dengan input atau aspirasi publik. Fenomena black box tak terhindarkan dalam proses output, pada sistem politik sedemokratis apapun. Ia penuh misteri, kontradiktif bahkan antagonis dengan kadar yang berbeda beda dan dampak politis yang ditimbulkan. Pengakuan dua Fraksi yang menolak RUU Cipta kerja, memberi isyarat, misteri kotak hitam itu (black box). Sehingga pro kontra antara pemerintah dan masyarakat sipil semakin tajam dan memanas. Dalam waktu bersamaan, gelombang protes keras terhadap UU cilaka inipun semakin meluas. Pemerintah terus dibombardir pertanyaan kritis dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Pemerintah semakin terpojok, tidak mampu meyakinkan protes publik. Terus mempertanyakan, mana naskah asli RUU Cipta kerja maupun dalam bentuk yang sudah disahka Shadow State dan Oligharki. Misteri black box dalam kadar ekstrim tidak berdiri sendiri. Ia sangat dipengaruhi oleh sistem kekuasaan, relasi aktor yang bekerja dalam sistem politik suatu negara. Terutama pada negara-negara non demokratik (autotaritarian). Pertanyaan kunci untuk mengindentifikasi masalah, adalah struktur politik kekuasaan dan kelompok kepentingan mana yang dominan “mendikte” atau memanipulasi proses pengambilan keputusan. Pendekatan dan analisis sistem demokratis kurang signifikan dalam menjelaskan realitas politik. Peran dan fungsi struktur politik formal tidak sebagaimana tertulis dalam text book. Memuat prinsip demokrasi ideal, normatif. Termasuk peran media massa sebagai pilar keempat demokrasi yang terkooptasi kekuasaan. Shadow State salah satu pendekatan atau konsep teoritis alternatif untuk membongkar distorsi dan deviasi proses politik. Atau konsep serupa apa yang disebut Oligharki. Kedua konsep tersebut, menggambarkan dimana para elit atau kelompok pengambil keputusan merupakan aktor negara. Seperti Birokrat, Pejabat Negara, dan Pemilik Modal sebagai kekuatan politik (olihgarki atau shadow state) yang punya kepentingan sendiri mengatasnamakan kepentingan negara. Output keputusan politik strategis tersirat didalamnya kepentingan (vested interest) ekonomi politik aktor shadow state atau oligharki menabrak kepentingan publik bahkan merugikan kepentingan negara. Model kepolitikan demikian, hanya bisa eksis pada sistem authoritarian. Sementara kekuatan masyarakat sipil tidak efektif karena dihadang kekuatan politik formal sepeti partai politik atau parlemen yang sudah terkoptasi oleh shadow state atau oligharki. Realitas politik demikian ada riwayatnya. Sudah rahasia umum, politik pengaruh melalui instrumen politik uang ikut mempengaruhi kontestasi dan hasil pemilu mulai dari pilpres, pilkada, pileg. Kehadariran oligharki pasca reformasi menjadi power full dalam kacah ekonomi politik. Liberalisasi politik dan demokrasi berubah sebagai sarana transaksional dan pertukaran nilai. Yaitu, antara pemegang kekuasaan dan pemodal dalam membangun konspiratif dalam sistem kekuasaan. Alokasi proyek pembangunan, alokasi anggaran, pemberian monopoli penguasaan sumber daya alam, tambang mineral dan batubara. Konsensi lahan, dan impor dan ekspor komoditas. Ditambah, proyek-proyek investasi modal asing berkoloborasi dan terkoneksi jaringan bisnis para oligharki. Dengan demikian, sukar dielakkan ciri-ciri kedua model kepolitikan tersebut semakin menguat di era pemerintahan Jokowi. Kebebasan pers dalam kendali kekuasaan, kelompok oposisi atau tokoh-tokoh politik kritis begitu mudah dijerat hukum pasal ITE. Sebagian para akademisi, peneliti, praktisi menilai, produk perundang-undangan seperti, UU KPK, UU Minerba, Perpu Covid, mengabaikan nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Ditambah, RUU Haluan Ideologi Pancasila yang dianggap oleh umat islam betentangan dengan Islam dan Pancasila itu sendiri. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan itu, ikut menyuburkan resistensi terhadap pemerintahan Jokowi. Bahkan menurut pendapat Gatot Nurmantyo, UU Cipta Kerja menimbulkan kegaduhan politik. Dari pandangan masyarakat sipil menilai, sebagian subtansi UU Ciptaker lebih menguntungkan para oligharki dan merugikan kepentigan rakyat. Mengingat setidaknya ada 262 anggota DPR berasal dari pebisnis. Dan sekelompok kecil di antaranya jadi tim Satgas dan Panja Omnibus law. Tentu, peran para aktor tersebut, ada dalam pusaran konflik kepentingan industri tambang dan energy sebagai proses (within input), misteri black box pengambilan keputusan. Para ahli ilmu politik, berpendapat bahwa model kepolitikan shadow state atau oligharki sebagai suatu gejala destruktif dalam proses pembangunan politik. Karena telah membajak, bahkan dapat menghancurkan sistem demokrasi. Akibat paling tragis, menyandra kekuasaan presiden yang semestinya berpihak pada kepentingan rakyat. Konstalasi seperti ini justru mereproduksi polical decay, semakin memperburuk legitimasi Jokowi semenjak awal sudah dipersoalkan oleh sebagian publik. Oleh karenannya, krisis politik akan terus menghantui Indonesia. Mengingat problem ketimpangan sosial ekonomi, perkembangan ekonomi memburuk, pengangguran, kemiskinan, korupsi. Diperparah keadaan sebelumnya, yaitu pelemahan KPK dan MK sebagai lembaga banding penyelesaian konflik konstitusi tak memiliki gigi. Penurunan indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi, dampak pandemik covid 19 dan diambang resisi ekonomi. Persekusi dan diskrimiasi hukum terhadap para ulama, penanganan demo belakangan ini sangat represif. Justru, semakin memperkuat solidaritas masyarakat sipil dan perlawanan terhadap pemerintah Jokowi. Sementara, dinamika sosial, kemerosotan ekonomi dan pragmentasi sosial politik begitu tajam memberikan efek langsung pada penurunan kapasitas pemerintah. Sehingga akumulasi masalah pelbagai masalah menjadi perkerjaan tambahan dan beban politik. Sementara kemampuan pemerintah Jokowi dalam menyelesaikan masalah dan legitimasi semakin merosot. Pertanyaannya, apakah pemerintah Jokowi masih mampu menyelesaikan berbagai persoalan pelik seiring dengan krisis politik dan ekonomi yang berlangsung? Yaitu bagaimana mencari jalan keluar. Misalnya segera membatalkan UU Cipta kerja, bebaskan tahanan politik yang dijerat dengan pasal karet. Menghentikan cara-cara tak lazim dalam mengelola konflik politik. Termasuk peran buzzer yang justru memperkeruh iklim politik. Tidak mengeluarkan kebijakan atau pernyataan yang dapat menimbulkan kegaduhan politik. Mencopot pejabat negara atau aparat keamanan yang ditenggarai menghasilkan kegaduhan politik. Membuka ruang akomodasi politik, memaksimalkan fungsi reperesentasi politik. Jika jalan perbaikan tak berhasil, maka semakin mempercepat krisis politik dan delegitimasi Jokowi, seiring semakin derasnya tuntutan rakyat, mendesak Jokowi mundur dari jabatan presiden. Penulis adalah Akademisi dan Aktivis Politik