OPINI
Rencana IPO Anak Usaha Pertamina “Inkonstitusional”
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Pemerintah segera menjual saham. Biasa dikenal dengan Initial Public Offering (IPO) anak-anak usaha (sub-holding) Pertamina di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pengkondisian dan kajian pelaksanaan IPO sedang disusun. Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, IPO antara lain bertujuan untuk mencari dana murah dan memperbaiki Good Corporate Governance (GCG), transparansi dan akuntabilitas. IPO atau privatisasi perusahaan di BEI guna memperoleh dana dan meningkatkan GCG merupakan hal lumrah. Masalahnya, karena perusahaan yang akan di-IPO anak usaha BUMN, maka persoalan menjadi lain. Apa pun alasannya, IRESS menilai rencana tersebut harus dibatalkan. Karena berlawanan dengan konstitusi. Apalagi, ternyata dana yang murah dan peningkatan GCG justru dapat diraih tanpa harus IPO. Pertamina telah memperoleh kredit dengan tingkat bunga rendah tanpa IPO. Sejak 2011 hingga awal 2020 total obligasi Pertamina mencapai US$ 12,5 miliar dengan tingkat bunga (kupon), tergantung tenor dan kondisi pasar, antara 3,1% hingga 6,5% (weighted average kupon sekitar 4,3%). Nilai kupon itu ternyata lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125% (US$ 1,35 miliar, 5/2014). Kupon rata-rata obligasi Pertamina (4,30%) yang tidak go public, tidak lebih tinggi (atau hampir sama) dengan kupon obligasi sejumlah BUMN go public. Kupon obligasi Bank Mandiri 4,7% (US$ 2,4 miliar, 4/2020), BTN 4,25% (US$ 300 juta, 1/2020), BNI 8% (Rp 3 triliun, 11/2017), dan Jasa Marga 8% (US$ 300 juta, 12/2017). Ini menujukkan meski tidak go public/IPO, Pertamina mampu memperoleh “dana murah” dengan tingkat kupon lebih rendah atau setara dengan kupon BUMN yang sudah IPO. Peringkat utang Pertamina malah bisa lebih baik (kupon lebih rendah) jika obligasi yang diterbitkan mendapat jaminan pemerintah. Karena saham negara di Pertamina masih 100%. Jaminan pemerintah terhadap Pertamina otomatis juga melekat. Dengan jaminan pemerintah, tanpa IPO Pertamina justru dapat mengkases dana lebih murah dibanding BUMN yang sudah IPO. Terkait GCG, masalah justru timbul dari para pejabat pemerintah, hingga level Presiden. Intervensi pemerintah telah merusak kinerja BUMN, sehingga peringkat utang bisa turun. GCG Pertamina akan otomatis meningkat, jika pejabat pemerintah mampu menahan dan tidak menjadikan BUMN sebagai sapi perah. Selain itu, Pertamina pun harus dijadikan sebagai non-listed public company (NLPC), terdaftar di BEI tanpa harus menjual saham meski hanya 1% pun. Dengan begitu, GCG-nya menigkat lebih baik. Jelas terlihat tanpa IPO, target dana murah dan perbaikan GCG dapat tercapai. Kuncinya ada pada pemerintah yang sering melanggar GCG. Kebijakan pencitraan Pilpres 2019 membuat Pertamina menanggung beban subsidi 2017-2019 sekitar Rp 96,5 triliun. Jika tidak segera dilunasi, Pertamina berpotensi gagal bayar. Karena itu, kita ingatkan agar pemerintah dan manajemen Pertamina, untuk berhenti memanipulasi informasi dengan mengatakan, “IPO anak usaha Pertamina diperlukan agar dapat mengakses dana murah dan meningkatkan GCG”. Menurut Pasal 33 UUD 1945, Pertamina adalah BUMN yang mendapat mandat negara memenuhi hajat hidup orang banyak dan mengelola sumber daya alam (SDA) migas, guna bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ada tiga aspek penting Ayat 2 dan Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yaitu, 1) pemenuhan hajat hidup publik, 2) pengelolaan SDA, dan 3) pencapaian target sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dominasi BUMN mengelola SDA ini telah diperkuat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.36/2012 dan No.85/2013. Pada prinsipnya MK menyatakan penguasaan negara terhadap SDA dijalankan dalam bentuk pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. Kekuasaan negara dalam pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan dan pengawasan ada di tangan Pemerintah dan DPR. Sedangkan penguasaan negara dalam pengelolaan SDA berada di tangan BUMN. Amanat Pasal 33 UUD 1945 itu diimplementasikan dalam peraturan operasional, yang termuat dalam UU BUMN Nomor 19/2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2004. Pasal 77 huruf (c) dan (d) UU BUMN No.19/2003 menyatakan, “Persero tidak dapat diprivatisasi karena: (c), oleh pemerintah ditugasi melaksanakan kegiatan berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dan (d), bergerak di bidang SDA yang diatur UU tidak boleh diprivatisasi. Sedangkan Pasal 28 ayat (9) dan (10) PP Hulu Migas No.35/2004 berbunyi sbb: (9) Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri mengelola Wilayah Kerja habis Kontrak; dan (10) Menteri dapat menyetujui permohonan dimaksud, dengan menilai kemampuan teknis dan keuangan, sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki Negara. Gabungan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 dan Pasal 28 ayat 9 & 10 PP No.35/2004 menyatakan, sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak dan pengelolaan SDA, maka pelaksananya hanyalah BUMN/Pertamina. Hak istimewa pengelolaan SDA hanya diberikan negara kepada Pertamina jika saham pemerintah di Pertamina masih utuh 100%. Jika saham pemerintah kurang dari 100%, maka privilege akan hilang. Artinya, anak usaha yang sudah IPO tidak berhak mendapat privilege mengelola SDA. Sebagai contoh, karena 100% sahamnya milik negara, Pertamina berhak mengelola Blok Rokan. Jika anak usaha Pertamina yang berfungsi mengelola Blok Rokan kelak di-IPO, maka terjadilah privatisasi. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 yang melarang privatisasi BUMN pengelola SDA sesuai konstitusi. Jika anak usaha tersebut tetap di-IPO maka telah terjadi pelanggaran konstitusi dan UU. IPO Tidak Berkeadilan Jika IPO anak usaha Pertamina tetap dijalankan, maka publik pembeli saham anak usaha tersebut otomatis menikmati hak istimewa penguasaan SDA negara. Sedang mayoritas rakyat yang miskin atau tidak punya dana, tidak berkesempatan menikmati hak istimewa tersebut. Apalagi jika pembeli saham adalah warga negara atau negara asing. Kondisi ini tentu tidak adil dan bertentangan dengan sila kelima Pancasila. Selain itu, penguasaan SDA migas oleh BUMN 100% milik negara akan menjamin 100% keuntungan BUMN dinikmati seluruh rakyat melalui mekanisme APBN. Jika sebagian saham BUMN dijual, maka keuntungan BUMN akan terbagi kepada para pemegang saham publik/asing. Kondisi ini juga tentu tidak adil. Artinya terjadi pelanggaran terhadap mekanisme distribusi manfaat SDA yang berkeadilan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Sebagai kesimpulan, IPO anak usaha melalui skema unbundling harus segera dihentikan. Karena selain inkonstitusional dan bertentangan dengan aturan berlaku, juga melanggar prinsip persamaan dan keadilan sesama anak bangsa. Sesuai konstitusi, larangan privatisasi sektor SDA berlaku bukan hanya terhadap induk usaha, tetapi juga terhadap anak usaha BUMN. Untuk itu, rekayasa licik pembentukan sub-holding Pertamina untuk tujuan IPO anak usaha, yang lebih ditujukan untuk kepentingan oligarki dan kapitalis liberal, juga harus segera dihentikan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS).
Anomali Pilkada 2020 Versus Penanggulangan Corona
by Apriliska Lattu Titahena Ambon FNN – Jum’at (28/08). Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur, Bupati dan Walikota. Ini tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Pilkada merupakan sarana kedaulatan politik rakyat. Begitulah sebuatan bahasa kerennya untuk pegiat demokrasi. Pilkada pertama kali diselenggarakan pertengahan tahun 2005 lalu. Sehingga pembiacaraan terkait penyelenggaraan hajatan demokrasi yang bernama pilkada ini sudah hangat-hangatnya sejak 15 tahun lalu. Apalagi menjelang hari penetuannya. Para pendukung dan pengamat politik ramai memprediksi kemenangan mereka yang bertarung di Pilkada. Dalam tahun 2020 ini juga akan diselenggarakan pilkada serentak. Sesuai Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Nomor 258/PL.02-kpt/01/KPU/VI/2020 Tentang Penetapan Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota serentak lanjutan tahun 2020. Pelaksanaan Pilkada 2020 didasarkan pada ketentuan Pasal 122A ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014. Penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 diperkirakan menimbulkan berbagai polemik. Apalagi Negara masih diperhadapkan dengan pandemi corona yang cenderung meningkat. Bukankah pelaksanaan pilkada ini untuk menjaga elektabilitas negar? Padahal ancaman pandemi corona masih terus menghantui kehidupan berneraga sampai hari ini. Bayangkan saja, ada 106 juta pemilih di 207 daerah yang akan melakukan pesta demokrasi tersebut. Kemungkinan besar untuk penyebaran virus corona dapat terjadi secara masal. Tentunya peningkatan korban terpapar corona justru semakin tinggi. Sehingga, penanggulangan corona akan semakin sulit dikendalikan. Malah bisa makin bertambah. Jika masih bersikukuh Pilkada tetap diselenggarakan. Maka harus ada jaminan dalam menekan segala kemungkinan penyebaran corona yang akan terjadi. Kita hanya berandai-andai saja, bahwa solusi yang ditawarkan penyelenggara adalah pilkada dilakukan secara daring dalam bentuk vote. Sudah tentu ini tidaklah efektif dan efesien. Dana Pilkada Untuk Pendidikan Dalam melaksanakan pilkada, tentunya negara harus mengeluarkan fundi-fundi rupiah yang tidak sedikit. Terhitung uang negara Rp 9 triliun lebih yang harus dikeluarkan untuk membiayai pilkada 2020. Anggaran sudah dibekukkan dan dipastikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri. Sedangkan secara nyata pada masa pandemi corona, negara mengalami krisis ekonomi akibat anjloknya perekonomian. Negara terlihat kesulitan keuangan. Untuk membayar Alat Pelindung Diri (APD) kepada perusaahan tekstil yang memproduksi saja, banyak yang belum dibayat oleh pemerintah. Negara kesulitan keuangan itu terjadi pada saat Pilkada 2020 Desember nanti. Hal ini dijelaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam town hall meeting tahun 2020 pada tanggal 19 juni lalu. Beliau Menkeu mengajak seluruh jajaran Kementrian Keuangan untuk membicarakan peran penting kementeriannya dalam menjaga pemulihan ekonomi saat terjadinya pandemi corona. Terkait dengan alokasi dana pilkada Rp. 9 triliun yang sudah dibekukan tersebut, ada baiknya dialihkan untuk penanganan corona. Memang sudah terlalu banyak kebijakan yang dibuat dalam upaya penanggulan virus yang menjadi masalah global ini. Namun sampai hari ini, masalah pendemi corona masih tetap menjadi momok yang menakutkan serta mengancam kestabilan negara. Menghadapi kenyataan ini, tentu pengalokasian dana pun harus untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pastinya, harus mendukung tujuan bernegara. Tujuan bernegara itu dapat kita baca di pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Salah satu tujuan yang wajib mendapat perhatian khusus saat ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, negara memang masih dihadapkan pada berbagai tantangan serius terutama dalam upaya peningkatan kinerja yang mencakup pemeratan dan perluasan akses. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing. Penataan tata kelolah akuntabilitas dan citra publik, serta peningkatan pembiayaan. Kawal Tujuan Bernegara Dihadapkan lagi dengan masalah corona yang mempengaruhi dunia pendidikan. Bahkan dampak itu membuat kegiatan belajar dirumahkan. Padahal disruftif inovasi juga terjadi dan mempengaruhi wajah dunia pendidikan. Mau tidak mau justru mengubah paradigma pendidikan yang ada. Sistem lama seperti tatap muka diganti dengan sistem siber (cyber system) seperti belajar daring yang memanfaatkan teknologi digital dalam mengelolah dunia pendidikan saat ini. Lalu maraklah penerapan pembelajaran online (online learning). Hari ini sekitar 45 juta peserta didik serta 7,5 juta mahasiswa harus dituntut untuk melaksanakan kegiatan online learning tersebut. Banyak kendala yang ditemui. Dimulai dari tidak memadainya sarana dan prasarana penunjang kegiatan belajar. Mengajar yang tidak menjamin kesehatan serta keselamatan siswa dan guru. Soal konektivitas dan aksesibilitas flatform pembelajaran online yang tidak maksimal, serta kendala lainnya. Semua kendala tersebut paling banyak ditemui terkhususnya didaerah 3T. Padahal sudah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31 bahwa negara telah menjamin setiap warganya agar bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Lalu bagaimana nasib masa depan puluhan juta anak Indonesia? Jika untuk belajar saja mendapatkan sejumlah kesulitan seperti ini. Negara harus menyelamatkan mereka. Pilkada masih bisa ditunda sampai tahun depan. Sampai pandemi corona benar-benar telah berhenti. Sampai dinyatakan aman bagi masyareakat untuk datang ke tempat-tempat pemilihan. Kalau masyarakat berkumpul, dipastikan tidak lagi ada gangguan penyebaran corona. Akan lebih bermanfaat jika anggaran Pilkada sebesar Rp. 9 triliun tersebut dipakai untuk menjawab kebutuhan pendidikan anak Indonesia. Dingatkan sekali lagi, bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan berbangsa dan bernegara. Tujuan mulia ini harus dikawal dengan ketat. Dipastikan kegiatan mencerdaskan kehidupan bangsa itu terlaksana sesuai cita-cita dan keinginan para pendiri bangsa. Menjadi kewajiban semua anak bangsa untuk mengawalnya. Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan.
Firaun Dan Komunis China
by Anton Permana Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Kalau berbicara kemajuan, Firaun adalah raja yang terkenal dengan pembangunan megah di zamannya. Kalau berbicara keperkasaan, Firaun juga dikenal sebagai ahli militer, dan punya pasukan kuat. Firaun tak pernah sakit semasa hidupnya. Namun, apakah itu semua menjadi tolak ukur kemajuan dan kehebatan seorang pemimpin ? Yaitu, prestasi bermahzab material, fisik, plus bumbu-bumbu mistis para tukang sihir dalam memanipulasi rakyat yang awam dengan pengaruh sihirnya? Tapi tahukah kita, bagaimana Firaun membunuhi setiap anak lelaki yang lahir hidup-hidup. Tak peduli anak siapa. Bayangkan kalau yang dibunuh itu adalah anak atau ponakan cucu kita. Bayi mungil tak berdosa harus disembelih sesuai titah sang Firaun. Tapi tahukah kita, bagaimana Firaun menjustifikasi dirinya adalah Tuhan yang wajib disembah dan dipatuhi? Siapa yang menentang, akan di bunuh berserta keluarganya, atau minimal di penjara sebagai pekerja paksa. Artinya, apa guna sebuah kemajuan, dan kemegahan yang dibangun dari puing tulang belulang rakyatnya. Kemegahan tanpa kemanusian, tanpa belas kasih. Mengorbankan darah dan air mata rakyatnya. Bagi para pemuja kehidupan matrealistis dan bermental budak, tentu hal ini tidak masalah. Karena dalam otak dan pikirannya hanyalah kehidupan fisik dan bangga menjadi budak hasil cuci otak para tukang sihir. Begitu juga dengan fenomena China komunis hari ini. Ada seorang pejabat negeri ini yang begitu mengelu-elukan kemajuan China secara berbusa-busa. Ibarat seorang "marketing brand ambassador" yang meng-endorse sebuah produk shampo. Yang menyatakan bahwa komunisme dapat menekan kemiskinan. Komunisne dapat menyatukan 1,4 milyar penduduk China komunis ? Tapi sayangnya, pernyataan tersebut hanya berupa sensasional yang menjustifikasi sebuah pendapat dari satu sudut "fisik" semata. Tanpa argumentasi dan indikator ilmiah lainnya. Misalnya, bagaimana perasaan dan tanggapan masyarakatnya terhadap negara? Karena rakyatlah yang paling berhak menyatakan baik atau buruknya perlakuan negara. Kita tentu semua tidak menafikkan atas pencapaian komunis Tiongkok hari ini. Dari sebuah negara miskin yang raksasa, tiba-tiba muncul dengan berbagai capaian prestasi. Sampai akhirnya menjadi kekuatan ekonomi nomor dua di dunia. Tetapi apakah cukup dengan pencapaian fisik itu semata lalu kita "latah" berdecak kagum terpesona? Seperti tulisan pembuka sebelumnya, Firaun juga punya prestasi kemajuan yang fantastis di eranya. Tetapi kemajuan itu dicapai tanpa memandang rasa kemanusian? Bahkan sangat berlebihan dengan menyatakan dirinya adalah Tuhan ! Apa Bedanya Dengan Tiongkok? Perlu dicatat. Kemajuan Tiongkok hari ini bukan karena komunisme. Tetapi oleh kapitalisme yang diadopsi Tiongkok melalui perselingkuhan ekonomi dan politik dengan kelompok elit globalis dunia. Baik itu yang bersama Israel maupun elit Amerika. Ini sudah rahasia umum. Cuma kelebihan Tiongkok adalah berani menerapkan strategi "one state two system" dalam negerinya. Bila ke dalam, Tiongkok menerapkan komunis (Naga). Sedangkan keluar Tiongkok menerapkan kapitalisme (Panda). Dengan strategi dua mata uang (Remimbee dan Yuan), Tiongkok memacu pembangunan industri dan explorasi alam murah-meriah. Kenapa bisa murah ? Sejatinya dengan strategi dua mata uang, China membangun industri dan infrastruktur negaranya "nol". Hanya cetak uang untuk biaya pembangunan. Setelah itu, sistem komunis ampuh memaksa rakyatnya untuk rela menjadi kuli negara berbiaya murah. Kombinasi inilah yang akhirnya segala produk-produk China berbiaya murah dan memukul produk negara lain. Uangnya dari cetak sendiri, tenaga kerjanya dari "perbudakan" rakyatnya sendiri. Lambat laun, kondisi ini akhirnya membuat Amerika dan sekutunya berinvestasi di China untuk menekan Cost produksi dan mendapatkan keuntungan berlipat. Saat inilah, baru Amerika dan sekutunya sadar, bahwasanya ada "hidden agenda" China dalam ambisinya menjadi penguasa baru dunia dengan memanfaatkan tenaga dan keunggulan energi lawan ibarat jurus Taichi dalam serial film kungfu. Barat yang sebelumnya fokus menjadikan Islam sebagai musuh utama, akhirnya lalai dan lengah terhadap China komunis yang sekarang tiba-tiba sudah menjadi naga raksasa. Hanya saja kemajuan China itu bukan karena komunisme, tapi karena kapitalisme. Persatuan China atas nama komunis pun adalah persatuan semu dan sepihak hasil propaganda opini agen komunis melalui media. Bagaimana kita percaya terhadap informasi sebuah negara yang semua lini komunikasinya dikontrol negara? Tidak ada kebebasan pers? Tidak ada HAM? Dan tidak ada perimbangan informasi independen, baik secara kanal berita maupun perangkat IT-nya. Itulah negara komunis. Kita tentu melihat Hongkong, Taiwan, dan Shenzen hari ini yang gemerlap sebagai kota metropolis dengan gedung pencakar langitnya yang megah. Tahukah kita bahwa tiga kota tersebut bukan China yang bangun, tetapi Barat yang bangun dari awal. Tahukah kita bahwasanya saat ini ada 55 kota hantu di China? Kenapa dinamakan kota hantu? Karena sudah mulai ditinggal para penghuninya atas sewanya yang mahal. Padahal kota ini dibuat dari program "printing money" renimbi. Bahan bakunya dari industri murah serta upah ala komunis yang murah. Mana ada UMK (Upah Minimum Kota) atau standar KHL seperti di Indonesia. Padahal kota hantu ini adalah juga basis kolateral China kepada pemodal. Coba kalau di negara demokrasi seperti ini? Pasti sudah ribut dan di penjara para pejabatnya. Di China, yang penting bagi pekerjanya ada tempat tidur, dapat makan, rakyat yang bekerja dapat upah seadanya dan wajib patuh pada aturan negara. Melawan ? Langsung hilang tengah malam. Lalu komunisme dapat menyatukan China. Ini jelas pernyataan berlebihan dengan aura menjilat yang kentara sekali untuk cari muka terhadap China. Mana ada persatuan kalau di Uyghur saja rakyatnya ditindas sedemikian rupa. Lihat pula penanganan terhadap demonstrasi besar-besaran saat di Hongkong. Belum lagi kalau kita ingat tragedi Tianamen di Taiwan. Entah sudah berapa puluh dan ratus juta China membunuhi rakyatnya tanpa rasa kemanusiaan. Namun itulah ideologi komunis. Tak mengenal Tuhan, tak mengenal HAM, apalagi hanya belas kasih. Yang penting bagi mereka tujuan politiknya tercapai. Lalu adakah sama rasa itu terjadi ? Itu hanya kamuflase semata bahwa negara akan menanggung hajad hidup rakyatnya. Yang benar adalah, negara hanya dinikmati oleh elit partai politik semata dan militer. Rakyatnya hidup dalam sebuah doktrin komunisme yang sangat kuat dan ketat. Dimana rakyat wajib tunduk, patuh kepada negara. Mulai dari lahir, sekolah, cara hidup, cara makan, sampai untuk cita-cita pun semua hanya untuk negara. Tuhan mereka adalah negara. Lalu kondisi seperti inikah yang mau diadopsi Indonesia ? Itukah yang dimaksud oleh pejabat endorser komunis tersebut ? China hari ini adalah hasil revolusi tentara komunis dari kelompok china demokratik yang akhirnya lari dan mendirikan Taiwan. Jadi negara Tiongkok hari ini adalah hasil revolusi komunis. Jadi wajar jadi negara komunis. Berbeda dengan Indonesia. Negara ini lahir dari perjuangan para ulama pejuang kemerdekaan. Dari penjajahan Belanda dan Jepang. Bangsa Indonesia lahir dari kesepakatan anak bangsa yang di abadikan dalam Sumpah Pemuda 1928. Lalu diproklamirkan 17 Agustus 1945, dan pada tanggal 18 Agustus dibacakanlah UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar dan konstitusi negara bernama Indonesia. Bangsa Indonesia sangat kaya akan kultur budaya dan khasanah tradisi daerah yang beragam. Dimana nilai KeTuhanan Yang Maha Esa sebagai nilai utama kita dalam bernegara. Dan komunisme sudah meninggalkan sejarah kelam bagi bangsa ini. Sama dengan China, komunisme di Indonesia juga telah bermandikan darah dan memakan korban nyawa ketika PKI masih ada. Memaksakan kembali ajaran komunisme ke Indonesia sama saja memantik perang saudara di Indonesia. Karena sudah pasti ummat Islam dan kaum nasionalis yang masih setia pada Pancasila akan melakukan perlawanan keras. Karena kerusakan yang terjadi di Indonesia hari ini adalah salah satu hasil infiltrasi dan hegemoni China terhadap pemerintah kita. Mana ada lagi kedaulatan negara kita hari ini? Hampir semua lini di dikte dan manut pada perintah China. Ibarat negeri ini bagaikan provinsi dari China. Sebagai bangsa yang beradab serta berKeTuhanan Yang Maha Esa, seharusnya kita tidak mudah terpesona dengan kemajuan sebuah negara seperti China. Karena kemajuan dalam konsepsi negara Indonesia itu tidak kemajuan fisik semata. Tapi bagaimana memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut aktif dalam perdamaian dunia. Dimana tujuannya itu adalah mewujudkan masyarakat yang berdaulat, adil dan makmur. Buat apa gedung megah, jalan tol pangjang, bandara besar? Tetapi kalau semua dibuat dari hutang berbunga besar dan juga tidak punya bangsa kita. Buat apa kata maju, tapi dibaliknya ada penindasan, pelanggaran HAM, ketidakadilan hukum, serta tanpa ada kebebasan dalam kehidupan. Jadi hanya mereka yang bermental budak dan jongos saja yang terpesona oleh kemajuan komunis China. Mereka yang mengabaikan nilai moralitas, nilai keTuhanan, dan nilai spritualitas, nasionalisme patriotisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Firauan dan komunis China hampir sama saja. Yaitu mengejar kemajuan dunia dengan mengabaikan nilai Illahiah, serta menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Kemajuan pun hanyalah tipu daya hasil "sulap" para tukang sihir. Kalau zaman Firaun ada tukang sihir untuk menakuti dan mengelabui rakyatnya. China hari ini menggunakan sihir media massa untuk mengelabui masyarakat dunia. Tapi yakinlah, seperti Firaun, kemegahan China hari ini akan hancur lebur. Karena mereka telah melampaui batas. Mau buktinya ? Semoga kita sama-sama punya masa dan waktunya sebagai saksi dari kehancuran China. Salam Indonesia Jaya ! Penulis adalah Pemerhati Politik, Militer dan Sosil Budaya.
Masirah Al Kubra Luruskan Kesesatan Penyelenggara Negara
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Agak lama umat menunggu Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan Maklumat kembali yang berisi tahzir (peringatan). MUI yang menolak dengan tegas tanpa kompromi terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) karena substansi materi keduanya dinilai sama. Memberi ruang untuk berkembangnya neo PKI dan faham komunisme. Merujuk pada hasil Kongres Umat Islam 2020 di Pangkal Pinang , yang meminta kepada Presiden agar BPIP segera dibubarkan. Pernyataan tegas MUI yang sudah disiapkan itu bagus dan juga menggigit, terutama sikap tegas bahwa Kepres No 24 tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila agar segera dicabut. Kepres ini menjadi sumber penyelewengan atas tafsir Pancasila. Hari lahir Pancasila itu bukan pada tanggal 1 Juni 1945, tetapi 18 Agustus 1945. Karenanya Pemerintah sepantasnya mengeluarkan Kepres baru yang menetapkan hari lahir Pancasila adalah 18 Agustus 1945. Pancasilan tanggal 1 Juni 1945 adalah Trisila dan Ekasila, serta Ketuhanan yang berkebudayaan. Bukan Ketunanan Yang Maha Esa seperti Pancasila 18 Agustus 1945. Bagi MUI yang sejak awal menegaskan penolakan RUU HIP, yang kemudian berubah menjadi RUU BPIP, itu memenuhi dua kewajiban. Pertama, kewajiban syar'i . Kedua, kewajiban kebangsaan dalam rangka penegakan kesepakatan. Ini artinya baik RUU HIP yang menjadi inisiatif DPR dan RUU BPIP yang menjadi usulan Pemerintah adalah bukti dan wujud penghianatan dari kesepakatan bangsa Indonesia. MUI sebagai lokomotif perjuangan umat Islam Indonesia, tentu sangat merasakan kegelisahan umat. Sekarang umat Islam merasa bahaya terhadap bangsa dan negara andai kedua RUU tersebut ditetapkan sebagai Undang Undang. Karenanya sedemikian serius MUI mewanti-wanti, bahkan sangat mungkin mengancam atas pengabaiannya. Bila sikap Pemerintah dan DPR tetap bersikukuh mempertahankan kedua RUU tersebut, maka tidak ada jalan lain, selain melakukan al masirah al kubra (parade akbar) sebagai jalan konstitusional untuk meluruskan kesesatan yang dilakukan para penyelenggara negara. Demikian sejak dini dikemukakan MUI. Bahkan telah menyebut persiapan panglima segala. Model "warning" yang seperti ini semestinya menjadi perhatian, baik Pemerintah maupun DPR, agar segera mengoreksi diri. Membuat keputusan untuk tidak melanjutkan pembahasan terhadap RUU HIP dan RUU BPIP. Bahkan sebaiknya batalkan dan cabut segera dari Program Legislasi nasional (Prolegnas) DPR tahun 2020 . Juga segera laksanakan pembubaran BPIP. Jika peringatan MUI dikeluarkan, maka hal itu merupakan peringatan keagamaan. Bukan peringatan politik atau lainnya. Karenanya pernyataan bahwa al masirah al kubra adalah "jalan untuk meluruskan kesesatan" menjadi peringatan yang bermuatan syar'i. Umat Islam tentu saja bersiap-siap untuk merespon secara konstruktif seruan MUI tersebut. Tentu dengan risiko dan semangat berkorban apapun untuk agama yang diyakini kebenarannya. Bangsa dan negara harus diselamatkan dari kemungkinan rencana penyelewengan terhadap ideologi Pancasila, yang dilakukan secara terselubung. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Kenapa Pemerintah Beroposisi Terhadap KAMI?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Ketika Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia KAMI) muncul dengan maklumatnya, publik jadi ramai. Umumnya masyarakat positif menyambutnya. Bahkan cukup rakyat antusias. Ada dua indikator. Pertama, berita media. Sangat masif pra dan pasca deklarasi KAMI. Kedua, berdirinya sejumlah KAMI di daerah. Meski begitu, ada juga yang kontra. Terutama dari sejumlah elit dan pendukung pemerintah. Mereka nampak gerah dan merasa nggak nyaman. Tentu saja mereka punya alasan mengapa gerak dan nggak nyaman. Soal rasional tidaknya alasan ketidaknyamanan itu, biar rakyat yang akan menilai. Kegerahan itu terlihat dengan munculnya sejumlah statemen negatif. Bahkan juga muncul tandingan terhadap KAMI. Lahir komunitas yang mengatasnamakan KITA, KALIAN atau KAMI dengan singkatan yang berbeda-beda. Karena sifatnya reaktif, apalagi hanya sebagai tandingan, biasanya nggak lama. Muncul, lalu segera tenggelam. Gerakan tanpa militansi dan orientasi perjuangan biasanya nggak bertahan lama. Apalagi jika bergantung biayanya. Beberapa tokoh membuat tudingan yang cenderung menyudutkan KAMI. Mereka menganggap KAMI adalah kumpulan barisan sakit hati. Nggak siap menerima kekalahan. Pingin jadi presiden, dan makar. Tudingannya macam-macam. Anehnya, mereka yang melakukan kritik terhadap KAMI umumnya tidak bicara substansi. Lima hal yang menjadi bagian dari maklumat KAMI terkait persoalan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan HAM serta Sumber Daya Alam, nyaris tak disinggung. Yang disorot justru organisasi dan para tokohnya dengan berbagai stigma dan tuduhan yang nggak perlu. Semacam tuduhan yang kekanak-kanakan. Sebaiknya perlu baca dulu maklumat KAMI. Pahami, lalu bahas dan diskusikan isi maklumatnya. Kalau sudah baca, lalu sengaja mengabaikan, karena dalam maklumat tersebut ada kebenaran data. Makanya tentu ini bukan saja nggak fair, tetapi juga gak mendidik bagi rakyat. Mestinya, para pengkritik KAMI membaca, lalu pelajari lebih dulu substansi dan konten maklumat KAMI. Jadikan konten itu sebagai tema diskusi. Adu data dan analisis yang jauh akan lebih konstruktif. Memberikan referensi yang baik dan dapat mencerdaskan rakyat. Tapi, jika yang disoal adalah organisasi gerakan dan para tokohnya saja. Apalagi dengan cara menyeebar fitnah, dan sibuk membuat tuduhan, maka hal ini hanya akan menjauhkan bangsa dari substansi persoalan yang sedang dihadapi. Tahu-tahu sudah krisis saja. Tahu-tahu bangkrut saja. Tahu-tahu meledak dan terjadi gejolak sosial saja. Tahu-tahu dan kemungkinan-kemungkinan itu dan inilah yang jauh lebih berbahaya untuk bangsa ini nantinya. Karena itu, gerakan seperti KAMI dan sejenisnya perlu hadir sebagai alarm. Sebelum negara ini semakin terpuruk dan terlambat untuk diatasi permasalahannya. Ada ungakapan, "orang bodoh selalu melihat siapa yang bicara. Orang pintar selalu melihat apa (konten) yang dibicarakan. Dan orang beradab selalu melihat nilai (value) di balik konten yang dibicarakan". Nah, silahkan pilih sendiri, anda mau masuk ke kelompok mana? Supaya tidak dianggap masuk yang "bodoh", maka sebaiknya semua pihak mestinya melihat maklumat KAMI sebagai tema diskusi kebangsaan hari ini. Dari sinilah rakyat belajar dan bagaimana ikut ambil peran menghadapi persoalan negaranya. Dalam konteks ini, nampaknya KAMI lebih siap untuk beradu gagasan dan data. Kesiapan itu terlihat dari kredibilitas para tokohnya yang tampil ke permukaan. Soal ekonomi, ada Said Didu, Ichsanuddin Noersy, Budhiyanto dan Didik J. Rachbini. Ekonom Rizal Ramli, kendati tak berada di struktur KAMI, tapi selalu mendukung dan satu pandangan dengan KAMI dalam analisis ekonominya. Soal Hukum, ada Refly Harun, Abdullah Hehamahua, Joko Edy, Ahmad Yani dan sejumlah advokat. Soal politik, ada Gatot Nurmantyo, Husnul Mariyah, Ubaidillah Badrun, Bachtiar Hamzah dan Tamsil Linrung. Soal Sumber Daya Alam ada Marwan Batubara yang aktif menulis tentang persoalan minerba. Soal sosial budaya, ada Din Syamsuddin, Rachmat Wahab, dan Jeje Zainuddin. Tokoh-tokoh yang jumlahnya ada 150 ini punya kapasitas di bidangnya masing-masing. Jumlah tokoh yang bergabung ke KAMI terus bertambah. Apalagi ada program KAMI berbasis profesi. Kabarnya akan lahir KAMI mahasiswa, KAMI kedokteran, KAMI advokat, KAMI purnawirawan, KAMI buruh, KAMI petani, KAMI nelayan, dan KAMI-KAMI yang lain. Jika ini terealisir, tentu akan menjadi potensi yang besar untuk berkontribusi kepada bangsa, sesuai bidang masing-masing. Pemerintah bisa manfaatkan mereka sebagai sparing partner dalam membangun gagasan dan kebijakan. Bukan sebaliknya, sibuk mencari kesalahan dan melakukan pembunuhan karakter terhadap para tokohnya. Itu prilaku picik, amatiran, kacangan, kaleng-keleng, odong-odong dan beleng-beleng. Tentu, ini tidak baik bagi proses pembelajaran politik dan demokrasi kita. Pemerintah dan DPR mestinya berterima kasih kepada para tokoh dan anak bangsa yang ikut membantu secara aktif menyelamatkan Indonesia dari krisis, terutama ekonomi, hukum dan politik. Mereka adalah orang-orang yang peduli terhadap bangsa dan negaranya. Dengan jiwa nasionalismenya, gerakan semacam KAMI inilah yang dapat mencegah terjadinya deviasi, distorsi dan disorientasi pengelolaan negara, dari nilai dasar dan cita-cita bangsa. Terutama di tengah DPR yang sedang kehilangan spiritnya untuk menjalankan tugas kontrolnya. Jangan justru sebaliknya, pemerintah malah merasa gerah dan berupaya mengganjal KAMI. Nggak lucu kalau kemudian pemerintah mangambil sikap oposisi terhadap KAMI. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Mengapa Megawati Juga Cemas Melihat KAMI?
by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (27/08). Kehadiran KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) semakin berdampak serius. Baru seminggu mendeklarasikan diri, eskalasi kecurigaan dan kecemasan berlangsung sangat kencang. Setelah dikeroyok oleh para politisi yang kehabisan ide, kemarin KAMI ‘dihajar’ oleh seorang politisi ‘heavy weight’ (kelas berat) yang ikut juga turun gunung. Giliran Megawati Soekarnoputri melibas KAMI. “Di situ kayaknya banyak banget yang kepengin jadi presiden," kata Bu Mega menyindir KAMI. Komentar seperti ini terasa ‘childish’. Kekanak-kanakan. Tak sepantasnya meluncur dari seorang politisi senior sekelas Bu Mega. Tapi, begitulah KAMI mengubah suasana psikologis para politsi. Rata-rata mereka terusik. Gerakan moral KAMI dilihat sebagai ancaman. Bagi KAMI, ucapan Mega di depan para kader seniornya, Rabu (26/8/2020), merupakan tambahan imunitas dalam menghadapi banyak lagi gempuran dari kalangan yang selama ini tak pernah ‘diganggu’ oleh gerakan moral. Selama ini, mereka bisa sesuka hati melakukan apa saja untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Begitu KAMI muncul, semua orang yang merasa sebagai pemilik Indonesia langsung mencak-mencak. Bu Mega wajar-wajar saja mengeluarkan sindiran soal jabatan presiden. Sebab, dia pastilah sedang berpikir keras agar posisi presiden bisa, suatu hari nanti, kembali lagi ke tangan keturunan Soekarno. Bu Mega sedang berusaha agar anaknya, Puan Maharani, bisa merintis jalan menuju ke RI-1. Skenario kasar itu mudah dibaca. Tetapi tidak mudah untuk dijabarkan. Indonesia ini tidak bisa lagi dipimpin oleh seorang selebriti. Yang setiap saat hanya mengandalkan lakon-lakon populis palsu. Rakyat dan negara tidak memerlukan itu lagi. Yang sangat dibutuhkan adalah seorang pemimpin yang memiliki kapabilitas. Dan tidak cukup hanya itu. Dia harus juga berkapasitas. Indonesia sedang rusak berat di semua aspek: ekonomi, sosial, politik, dan hankam. Kerusakan itu tidak main-main. Proses rehabilitasi kerusakan memerlukan pemimpin yang visioner, karismatik, dan pantas disebut ‘ideologist’ (ideolog). Sebab, bangsa dan negara ini sedang dilanda kehancuran moral ekonomi, moral bisnis, moral politik, moral sosial, dan moral hukum. Selain itu, negara juga sedang mengalami penurunan drastis dalam sistem pertahanan dan keamanan. KAMI hadir untuk menyadarkan rakyat tentang kerusakan multi-dimensi itu. Agar rakyat tahu apa yang harus dilakukan. Mohon maaf, hari ini kita semualah yang harus menggantikan fungsi elit pemimpin yang seharusnya memberikan ‘lead’ (arah) perjalanan bangsa. Tetapi, sayangnya, kepemimpinan (leadership) itu sedang kosong. Yang banyak adalah buzzer-buzzer bayaran yang bekerja untuk meyakinkan publik bahwa negara ini dipimpin oleh orang yang hebat. KAMI melihat adanya ancaman kekacauan internal dan ekspansionisme asing yang cederung diremehkan oleh para pemimpin. Diremehkan hanya karena ketiadaan visi dan kecendekiaan mereka. Semua mereka diasyikkan oleh tuntutan dan peluang untuk menumpuk kekayaan. Tuntutan itu besar dan peluangnya juga terbuka lebar. Inilah yang mereka urus setiap hari. Mereka sadar bahwa mereka memiliki kuasa dan berbagai perangkat untuk memperturutkan keasyikan itu. Mereka membuat regulasi sesuai dengan keinginan rakus mereka. Dan itu semua didukung dan disukseskan oleh lembaga perwakilan rakyat yang seharusnya berfungsi untuk mencegah kesewenangan. Ketika KAMI hadir dan langsung mempersoalkan itu, pastilah muncul reaksi yang sumbang. Sebab, para elit di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan bisnis merasa gerakan KAMI akan menghadang mereka. Boleh jadi, Bu Megawati melihat KAMI seperti itu. Yakni, melihat gerakan moral KAMI sebagai penghalang kerakusan. Semoga saja tidak begitu pikiran Bu Mega. Ketua Komite Eksekutif KAMI, Ahmad Yani, mengatakan prasangka Bu Mega bahwa KAMI ingin mengincar jabatan presiden adalah pikiran politik rendahan. Yani membantah itu. Harus diakui bahwa KAMI memang sangat khawatir melihat ‘leadership’ Presiden Jokowi. Sebab, kondisi morat-marit dalam pengelolaan negara saat ini seratus persen berpangkal di tangan Presiden. Tetapi, tidak berarti KAMI harus merebut posisi presiden sebagaimana disimpulkan secara sempit dan kekanak-kanakan oleh Bu Megawati. Ada kemungkinan Bu Mega belum paham betul tentang misi KAMI. Sesuai namanya, KAMI hanya ingin menyelamatkan Indonesia. Termasuklah “menyelamatkan” Presiden Jokowi agar tidak dikejar-kejar oleh sekian banyak kebijakan blunder yang dia terapkan. Jadi, KAMI tidak bermaksud membuat Bu Mega cemas sepanjang beliau juga ingin menyelamatkan bangsa dan negara. Bukan menyelamatkan rencana pribadi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID
Presiden Dilarang Membual
by Dr. Margarito Kamis SH.M.Hum Jakarta FNN – Rabu (26/08). Peradaban manusia, yang di dalamnya termasuk peradaban hukum dan politik telah menulis takdirnya sendiri. Sesederhana apapun kehidupan itu, begitu takdirnya, selalu jatuh dalam kebutuhan untuk diorganisasikan. Langkah pengorganisasian itu dirangsang oleh banyak mimpi. Mimpi-mimpi itu semuanya indah. Tetapi seindah-seindahnya semua mimpi itu, tak lebih indah dari mimpi diperlukannya seorang saja sebagai pemimpin. Sekali lagi seorang saja. Bukan dua orang. Mengapa bukan dua, apalagi banyak orang? Begitu dua orang menjadi pemimpin dalam satu organisasi, maka kekacauan menjadi hasil yang pasti menyertai organisasi itu disepanjang waktu. Kekacauan itu jelas sejelas matahari mengawali sapaannya kepada dunia dari timur. Kasian Rakyat Tidak banyak yang dibicarakan tentang orang macam apa yang dapat menjadi presiden. Ini patut dikenali. Tetapi dari tidak banyak itu, terdapat dua hal hebat yang layak dipertimbangkan. Pertama, presiden harus dipilih. Kedua, presiden bukan malaikat. Dia punya kelemahan akal budinya, terlepas dari bobotnya dan siapapun orangnya. Mengandalkan “pemilihan” bukan penunjukan. Apalagi diwariskan sebagai cara menemukan seseorang menjadi presiden, diyakini sebagai cara tepat memperoleh orang yang masuk akal memegang kekuasaan menjalankan hukum. Kekuasaan inilah yang disebut kekuasaan pemerintahan. Berjualan ide. Begitu orang-orang yang berhasrat jadi presiden. Itu untuk meyakinkan masyarakat pemilih. Padahal acapkali jualan ide menjadi bualan. Tetapi dengan membual itulah dia terlihat secara transparan. Tetapi setransparan apapun, selalu ada yang disembunyikan. Selalu ada bualan dalam setiap aspeknya. Bisakah dikoreksi sesudah si kabualan itu jadi presiden? Tidak bisa. Sistem didunia ini tidak menunjuknya sebagai alasan hukum dan politik memberhentikannya. Jadi? Membuallah sehebat-hebatnya pada saat balapan capres. Bualan-mualan itu, idealnya harus dihentikan bersamaan dengan dirinya resmi menjalankan pemerintahan. Setidak-tidaknya tidak boleh lagi muncul pernyataan yang tidak memiliki pijakan fakta dan rasio. Juga tidak boleh muncul pernyataan yang satu dan lainnya saling menyangkal. Mengapa presiden harus berhenti membual dalam menjalankan pemerintahannya? Dalam kedudukanya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, semua tindakan presiden memiliki nilai. Setiap katanya dinilai otoritatif. Dalam kedudukan itu, presiden juga dinilai secara politik untuk disamakan dengan kepastian. Masa depan negara, postur politik di panggung internasional, tercermin dari setiap kata-katanya. Satu saja pernyataan yang dinilai tidak masuk akal, segalanya bisa berubah. Dunia ekonomi akan bergejolak. Pasar uang dan pasar saham bisa bergelombang naik atau terjun bebas hanya dengan satu kata dari presiden. Relasi sosial juga akan terguncang kencang hanya dengan satu kata presiden. Kekayaan negara dan aset perusahaan bisa turun ke dasar hanya dengan satu kata dari preiden. Hubungan dan diplomasi internasional bisa memburuk hanya dengan satu kata presiden. Presiden haruslah manusia paling cerdas di negara dalam penggunaan setiap penggal kata yang keluar dari mulutnya. Presiden jangan sampai asal bicara. Begitu aturan tidak tertulis yang mutlak untuk dipahami seorang presiden. Body language presiden itu punya makna sangat yang tinggi terhadap nasib rakyatnya. Kasian negara kalau presiden sampai asal-asalan. Presiden harus pandai menemukan pijakan faktual. Presiden juga harus, bahkan mutlak pandai merangkai fakta itu. Fakta yang telah dirangkai itu harus disajikan dengan kalimat yang tepat. Diksinya harus bernilai dan berkelas. Kalau presiden hendak mengeritik lawan-lawanya, pilihan diksinya yang harus menjelaskan kelasnya sebagai politisi top. Politisi kelas dunia. Bukan sebagai politisi yang abal-abal. Tak boleh membual, sekecil appun bualannya itu, dan dalam situasi apapun. Terlalu besar konsekuensinya. Bukan saja perkara bualannya itu, bisa menandai dirinya tak kompeten, tak bermutu, dan tak memiliki dari aspek kapasitas dan kapabilitas. Tetapi efeknya itu. Sangat bahaya bila presiden membual. Jangan, jangan itu terjadi. Kasian negara dan rakyat. Republik Melarang Menginginkan dengan sangat untuk meyakinkan sesuatu yang positif terjadi, tetapi dalam kenyataannya tidak terjadi, mungkin tidak dapat dinilai sebagai bualan. Menginginkan pertumbuhan ekonomi 7% dan kurs Rp 10.000 per dollar misalnya, tetapi dalam kenyataannya justru negatif sekian persen, mungkin juga tak bisa untuk sebagai disebut bualan. Berhasrat kuat mengubah pandemi corona menjadi peluang, dan melakukan lompatan jauh untuk menggenggam masa depan yang gemilang, itu hebat. Kalaupun dalam kenyataan, Indonesia hari ini sedang berupaya dan bekerja keras untuk mengimpor vaksin dari China, mungkin tak dapat dinilai sebagai bualan. Boleh jadi itu malah bagus. Itu malah dapat dilihat sebagai postur kongkrit tanggung jawab Presiden. Risikonya Indonesia jadi pasar vaksin China. Dan dalam skema itu Indonesia harus bayar patennya. Yang terakhir ini yang menjadi soal Pak Presiden. Sudah jadi pasar China, eh harus bayar pula patennya lagi. Tragis nasib bangsa ini. Bahwa korporasi-korporasi China mendapatkan untung. Itu memang logis. Negara itu memang menjadikan Marxisme sebagai fundasi politiknya, tetapi tidak untuk urusan untung. Urusan ini, China jagonya. Apa boleh buat. Toh Indonesia baru mampu menyerap anggaran penanganan Corona dan PEN tak lebih dari 45,69% dari pagu anggaran Corona dan PEN per 19 Agustus 2020. Sebagian PEN malah belum ada DIPA-nya (Lihat CNN Indonesia, 25/8/2020). Indonesia harus realistis. Juga harus bisa rendah diri. Ini memang bisa ditertawakan. Bahkan bisa diolok-olok, karena bertolak belakang dengan hasrat, entah serius atau tidak dari Presiden sendiri. Berhasrat mengubah tantangan pandemi ini menjadi kesempatan besar untuk meraih kemajuan, melakukan lompatan besar ke depan, tetapi jatuh di tengah keharusan mengimpor vaksin dari China. Apa boleh buat. Amerika yang top, jago dalam banyak hal, cemerlang dalam hal inovasi, sejauh ini belum menemukan vaksin anti corona. Apalagi Indonesia yang selalu kedodoran, tertatih-tatih dalam lomba inovasi. Ingat mobil Esemka? Mobil yang dipropagandakan sebagai mobil nasional itu, sejauh ini seperti barang bualan. China hebat, tanggap dan cekatan bergerak memenuhi kebutuhan Indonesia. China mungkin tahu Indonesia terkenal tahu diri. Harus selalu siap sedia menyediakan kebutuhan China. Indonesia akan cekatan menyediakan kebutuhan China untuk memperlancar investasinya. Presiden dan DPR sedang habis-habisan sediakan berbagai fasilitas investasi. Presiden dan DPR menyiapkan RUU Omnibus Cipta Kerja. Dalam RUU ini, telah disediakan pasal yang memberi kewenangan Presiden mengubah pasal-pasal dalam UU dengan Peraturan Pemerintah (PP). Itu ditulis dalam pasal 170 RUU Omnibus. Andai sukses, Presiden dan DPR secara bersama-sama membinasakan tatanan bernegara berdasarkan UUD 1945. Kelak presiden, siapapun orangnya, dengan pasal itu akan menjadi figur yang powerfull. Bahkan presiden dengan kewenangan baru itu, layak disamakan dengan raja-raja absolut abad ke-17. Apalagi bila partai-partai tetap mengelompok sedemikian rupa seperti saat ini. Partai saat telah menampilkan ciri layaknya partai tunggal. PKS dan Partai Demokrat, terbukti kalah canggih dari bekerjanya liberalisme ganas yang menghasilkan pengelompokan itu. Presiden memang tidak sedang membual dengan tekadnya menyajikan lingkungan persaingan terbuka dalam semua aspek. Tekad ini terlihat telah bekerja secara efektif. Semua orang bisa bersaing. Anaknya dan menantunya sendiri pun berhak bersaing menjadi calon walikota Solo dan Medan, kampung halamannya sendiri. Itu juga hebat. Tekad itu terlihat tak terkontrol. Pandangan itu mengandung bahaya ganas yang tersembunyi. Mengapa? UMKM, mau atau tidak, suka atau tidak, harus bersaing terbuka dengan korporasi. Ini bahaya tipikal kapitalisme yang ganas itu. Juga tak seirama dengan pasal 33 UUD 1945. Membahayakan demokrasi? Ya, untuk demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal yang impor. Demokrasi liberal terlalu kaya dengan bualan-bualan, yang setiap aspeknya canggih. Penyesatan adalah salah satunya. Penyesatan itu bualan. Tetapi secanggih itu sekalipun demokrasi liberal, nurani republik melarang presiden, siapapun orangnya untuk membual. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate
Kilometer 24 Itu Masih Sangat Jauh
by Asyari Usman Jakarta FNN - Rabu (26/08). Ada-ada saja. Dan cukup kreatif. Tahun 2024 disebut “Kilometer 24” (Km-24). Perjalanan politik dari sekarang sampai pilpres 2024 diibaratkan seperti menempuh jarak dengan sukatan kilometer (Km). Sebutan “Kilometer-24” dimunculkan dalam konteks masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga 2024. Belakangan ini beredar teori-teori yang mempertanyakan tentang kemungkinan Jokowi bisa menyelesaikan jabatannya. Banyak yang ragu. Mengingat krisis ekonomi yang akan semakin parah. Dalam satu diskusi tak resmi belum lama ini di komplek restoran Nusa Dua, Senayan, seorang mantan anggota DPR-RI mengatakan, “Kilometer 24 itu masih sangat jauh. Belum tentu Jokowi bisa sampai ke sana.” Beliau kemudian melanjutkan, “Untuk apa bicara Km-24, sampai tahun depan saja berat.” Diskusi semakin panas. Tapi, panasnya hanya tinggi-tinggian suara saja. Bukan adu argumentasi. Semua yang ada di situ sepaham. Artinya, mereka yang duduk di “meja bundar” itu sama-sama yakin Jokowi akan menghadapi masalah besar. Masalah berat itu berpangkal dari resesi ekonomi. Pertumbuhan negatif besar. Bisa minus 10% atau lebih sebagaimana diprediksikan oleh para pakar ekonomi. Kemudian, pertumbuhan minus besar itu akan memuntahkan krisis multi-dimensi. Krisis politik adalah salah satu dimensi yang bisa membahayakan posisi Jokowi. Mengapa? Karena berbagai masalah krusial yang menumpuk di meja Presiden, bisa bergumpal menjadi kekuatan yang berpotensi menjatuhkan beliau. Krisis besar perekonomian hampir pasti akan melebar ke politik. Logis. Karena, rakyat yang dilanda masalah ekonomi akan langsung mempertanyakan kemampuan Presiden Jokowi memimpin negara. Rakyat akan mempersoalkan apakah Jokowi masih sanggup mengelola negara atau tidak. Kalau krisis ekonomi sangat dalam, maka aksi-aksi spontanitas rakyat otomatis akan diarahkan ke eksekutif tertinggi. Ada semacam “mosi tak percaya”. Dan itu semua tertuju ke Presiden. Begitulah karaterisik krisis ekonomi skala besar. Di mana pun juga. Tidak hanya di Indonesia. Para pemegang kekuasaan tertinggi akan selalu memikul tanggung jawab penuh dan tunggal. Perekonomian yang amburadul tidak mungkin disorot tanpa mengusik kepala pemerintahan. Kesalahan tidak bisa ditimpakan hanya kepada para menteri bidang perekonomian. Tidak cukup pula hanya diterapi dengan perombakan kabinet (reshuffle). Utang yang menumpuk, kebangkrutan bisnis di mana-mana, kesulitan lapangan kerja, pengangguran yang berlipat-lipat, ‘capital flight’ besar-besaran, dlsb, menunjukkan bahwa keseluruhan pemerintahan dililit masalah berat. Itu artinya ada persoalan besar dalam pengelolaan negara. Ada masalah kepemimpinan. Ada problem serius di tingkat eksekutif tertinggi. Mau tak mau posisi presiden atau perdana menteri disorot dari segala arah. Eksekutif tertinggi harus siap menghadapi kenyataan bahwa dirinya akan menjadi fokus sorotan kekuatan oposisi dan masyarakat sipil (civil society). Termasuk media mainstream yang independen. Kembali ke Indonesia, krisis politik yang bersumber dari krisis ekonomi biasanya akan sangat mudah berkobar menjadi besar. Apalagi, Presiden Jokowi sudah banyak menumpuk masalah. Akumulasi masalah itu pasti akan bergemuruh dalam proses fermentasinya. Dan tekanan di dalam akumulasi itu bisa sangat tinggi. Sebut saja beberapa ramuan yang menjadi beban Jokowi. Yaitu, janji-janji yang jauh dari terpenuhi. Kemudian, nepotisme yang cepat berkembang biak dan menjalar luas ke segala arah. Nepotisme itu antara lain tampak dari bagi-bagi jabatan komisaris BUMN kepada para komandan pendukung. Atau, alokasi posisi senior seperti wamen, dirjen, komisioner, dll. Juga nepotisme dalam bentuk ambisi anggota keluarga. Tumpukan masalah yang menggunung itulah yang diperkirakan oleh “para pakar” meja bundar Nusa Dua akan menyulitkan perjalanan Jokowi menuju Kilometer 24. Ibarat mengendara di jalan yang rusak berat. “Kilometer 24 itu masih jauh,” kata mantan anggota DPR mengulangi ucapannya. Dialah yang bertindak sebagai moderator dan ‘dominator’ diskusi.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID
Ahok Komut, Pertamina Untung Jadi Buntung
by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Rabu (26/08). Sepanjang semester 1-2020 Pertamina mencatat rugi bersih Rp11,3 triliun. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya, BUMN ini meraup laba Rp38,5 triliun. Ini terjadi ketika Ahok didapuk menjadi Komut Pertamina. Padahal, waktu mengangkat Si Mulut Jamban ini, Eric Tohir mengatakan Ahok ditugaskan untuk mendobrak dan menyikat mafia migas. Dia juga diharapkan bisa mempercepat pembangunan kilang. Sampai kini, publik tidak mendengar ada satu pun mafia migas yang diberangus. Soal pembangunan kilang, setali tiga uang pula. Jangankan dibangun, kabarnya sayup-sayup pun tak terdengar. Soal Ahok yang tegas dan berani, itu hanya mitos yang dibangunnya dengan media. Yang benar, manusia ini hobi marah-marah dan membentak-bentak. Mulutnya kasar. Ucapannya kotor hingga dia juluki Si Mulut Jamban. Di awal penugasannya, Ahok sesumbar, bahwa merem saja Pertamina bisa untung. Tapi memang harus diawasi. Dengan arogan dia juga mengklaim, penugasannya itu untuk mengembalikan uang Pertamina. Kini faktanya dia justru membuat Pertamina kehilangan uang. Soal memperbaiki kinerja keuangan Pertamina, alih-alih mempertahankan apalagi meningkatkan laba, yang terjadi justru Pertamina dihantam rugi sangat besar, Rp11,3 triliun. Jangan jadikan pandemi Covid-19, situasi global atau yang lainnya sebagai dalih untuk menutupi kelemahan dan ketidakbecusan. Banyak perusahaan minyak dunia lainnya masih bisa memetik untung, kok. Sebut saja, Sinopec Cina. Labanya justru naik dari 14,76 miliar yuan jadi 19,78 miliar yuan. Lalu, Shell Belanda. Labanya memang turun dari US$3,5 miliar, tapi tetap masih untung US$2,9 miliar. Bahkan Petronas, juga masih mencetak laba US$4,5 miliar, walau turun dari Laba US$14,2. Jadi, tidak perlu mencari-cari justifikasi untuk menutupi ketidakmampuan. Apalagi, selama berbulan-bulan harga minyak dunia anjlok, Pertamina tetap menjual BBM di dalam negeri dengan harga tinggi. Sebaliknya di banyak negara lain, harga jual BBM mereka di pasar lokal dipangkas gila-gilaan. Di Malaysia, harga BBM selevel Pertamax cuma dibanderol Rp4.250/liter. Di AS, BBM setara premium cuma dijual Rp2.500/liter. Berbekal serenceng fakta tersebut, Ahok sama sekali tidak layak menjadi Komut Pertamina. Terlebih lagi rekam jejaknya selama di DKI amat buruk. Dia diduga kuat terlibat sejumlah kasus korupsi senilai ratusan miliar. Skandal Bus Trans Jakarta, RS Sumber Waras, pembelian lahan milik DKI di Cengkareng, dan lainnya. Silakan baca buku _Korupsi Ahok_ karya Marwan Batubara. Jangan berdalih, korupsinya tidak terbukti di hadapan hukum. Bagaimana mau diadili dan terbukti, jika dipanggil untuk diperiksa saja tidak?! Bukan rahasia bahwa kejahatan manusia ini dilindungi kekuasaan. Eric Tohir harus bertanggungjawab. Dia musti segera mencopot Ahok. Eric tidak boleh membuat BUMN, apalagi Pertamina, makin babak-belur dan akhirnya hancur-lebur. Penulis adalah Presidium Aliansi Selamatkan Merah Putih (ASMaPi)
Kejaksaan Agung: Kebakaran yang Ideal dan Sempurna
by Asyari Usman Jakarta FNN - Selasa (25/08). Sabtu malam Minggu, jam 19.10. Hari libur. Dan dalam suasana Covid-19. Hampir pasti tidak ada yang bekerja. Pada saat itulah kebakaran dahsyat melenyapkan gedung Kejaksaan Agung. Inilah kebakaran yang ‘ideal’ dan ‘sempurna’. Ideal, dalam arti tidak ada korban jiwa. Yang korban ‘hanya’ berkas-berkas perkara saja. Sehebat apa pun berkas perkara itu akan dianggap ‘tak penting’ dibanding korban jiwa. Sempurna, dalam arti kobaran api leluasa merambat ke segala penjuru. Memangsa semua yang “diinginkan” api. Sempurna, juga dalam arti gedung yang ‘penuh kenangan indah’ bagi para VIP yang sering nongkrong dan berbagi macam-macam hal di situ, kini hanya tinggal tulang-belulang. Alhamdulillah, tidak ada korban nyawa dalam peristiwa 22 Agustus 2020 itu. Syukur sekali, Allah SWT “pilihkan” itu terjadi pada hari Sabtu. Bukan hari kerja. Kalau pun ada yang masuk, tentu tidak banyak. Andaikata ada yang masuk kerja Sabtu pagi itu, diperkirakan mereka sudah pulang semua sebelum malam tiba. Apalagi, Jakarta masih bergelut dengan Covid-19. Pastilah protokol ketat berlaku juga di Kejaksaan Agung. Hebat sekali “pilihan” Tuhan itu. Bayangkan kalau kebakaran terjadi pada hari kerja dan siang hari pula. Selasa atau Jumat, misalnya. Mungkin ratusan orang ada di gedung itu. Besar kemungkinan ada korban jiwa. Sangat menarik untuk merenungkan “pilihan” Tuhan ini. Pada hari Sabtu malam kebakaran dahsyat itu berkecamuk. Boleh jadi, libur itu menyebabkan tidak banyak ‘property’ penting Kejaksaan yang bisa diselamatkan. Kabarnya, memang tidak ada yang terselamatkan atau diselamatkan. Para penguasa Kejaksaan pantas bersyukur tak putus-putus karena kebakaran itu “dituliskan” Allah terjadi di hari libur. Luar biasa ‘kasih sayang’ Allah kepada orang-orang Kejaksaan Agung. Allah turunkan musibah itu ketika semua pegawai, tinggi dan rendah, tidak masuk kerja. Tidak salah kalau dikatakan ‘doa’ para petinggi Kejaksaan selalu didengar. Mungkin juga doa mustajab orang-orang yang ‘terzolimi’. Misalnya, orang seperti Tuan Joko Tjandra. Beliau ini bisa disebut sebagai orang yang ‘terzolimi’. Mengapa? Karena Tuan Joko terkenal sangat baik. Pemurah. Dermawan. Suka dan cepat bagi-bagi rezeki. Tapi, tiba-tiba sekarang dia ‘dimusuhi’ oleh orang-orang yang dekat dengannya. Dijebloskan ke penjara. Cuma, memang perlu dikorfirmasikan dulu apakah dia benar mendekam di penjara. Ketika perkara si Tuan mau dibongkar habis dan dia dimasukkan ke tahanan, tentu itu termasuk bentuk penzoliman kepada JT. Barangkali saja beliu berdoa agar ‘kasus zolim’ itu bisa lenyap. Benar saja. Kasus Tuan Joko dilenyapkan pada hari Sabtu. Tanpa korban jiwa. Sekarang, kita menunggu hasil investigasi Pak Polisi. Untuk membuktikan apakah musibah di Kejaksaan Agung itu kebakaran ‘pilihan’ Tuhan. Ataukah mirip cerita-cerita Bollywood yang selalu serba kebetulan. Selalu rapi, timely, dan dengan presisi yang tinggi. Ingat, jangan berspekulasi. Curiga dan menduga tentu boleh-boleh saja. Dilindungi oleh UU. Tapi, lebih baik Polisi kita beri kesempatan untuk mendalami kebakaran yang ‘tematis’ dan ‘sistematis’ itu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID