MUI Serukan Boikot Perancis!
by Tony Rosyid
Jakarta FNN – Sabtu (31/10). Tidak saja negara Arab, Indonesia pun boikot produk Perancis. Kali ini, seruan itu datang dari Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Seruan ini diikuti oleh sejumlah Organisiasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam. Diantaranya adalah Ikatan Ulama Asia Tenggara dan Wahdah Islamiyah, ormas Islam yang diketuai KH. Zaitun Rasmin.
Tidak saja boikot, MUI dan Ormas Islam meminta pemerintah mengambil sikap tegas. Pemerintah harus segera memulangkan Duta Besar Indonesia di Perancis. Wahdah Islamiyah lebih Tegas lagi, menuntut pemerintah mengusir Duta Besar Perancis dari Indonesia.
Efektifkah seruan MUI tersebut? Bergantung! Pertama, akan sangat bergantung seberapa gencar MUI menyuarakan seruan itu. Jika setiap ulama di MUI terus menerus bicara ke media, membuat tulisan, meme dan semacamnya, maka seruan akan berdengung.
Namun, jika MUI hanya membuat surat pernyataan, setelah itu diam, maka suara MUI hanya akan terdengar lirih dan sayup-sayup saja. Sekali ditiup isu lain, maka akan lenyap seketika. Soal sosialisasi, MUI memang sangat lemah. Mungkin karena MUI nggak punya relawan buzzer dan infulencer seperti FPI. Juga nggak punya buzzer dan infulencer komersial seperti istana.
Kedua, bergantung pada kemampuan MUI melakukan konsolidasi dan mendorong ormas Islam, para tokoh, hingga pejabat negara untuk mendengungkan seruan boikotnya. Untuk ini, MUI perlu secara masif melakukan lobi dan konsolidasi keluar. Umumnya, para ulama di MUI sudah sangat sibuk dengan tugas dan kepentingan organisasinya masing-masing, sehingga konsolidasi keluar atas nama lembaga MUI seringkali lemah.
Ketiga, akan jauh lebih berdengung seruan boikot itu jika MUI memimpin langsung "masirah qubra". Kerahkan demo besar-besaran dan mendesak presiden untuk mengambil sikap tegas. Mulai dari membuat pernyataan, memulangkan Duta Besar Indonesia untuk Perancis, lalu mengusir Duta Besar Perancis dari Indonesia, hingga boikot produk-produknya. Tetapi, apa MUI didengar presiden?
Selama ini, audiensi MUI ke presiden seringkali tidak efektif. MUI tidak punya daya tawar. Bahkan cenderung diabaikan nasehatnya oleh istana. Baru-baru ini, audiensi MUI ke Istana terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) diabaikan istana. Masukannya ditolak. MUI keluar istana tanpa hasil apapun.
Dalam kasus dukungan penghinaan kepada Nabi Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam oleh presiden Perancis Immanuel Marcon, MUI perlu mempertimbangkan "Masirah Qubra". Demo besar. Pertama, ini akan memberi energi dan dorongan yang kuat kepada pihak istana untuk mengambil sikap tegas. Sampaikan ke Istana, jangan takut jika mobil Esemka diboikot oleh Perancis.
Kedua, demo yang besar-besaran akan menjadi sosialisasi yang efektif ke telinga masyarakat. Bahwa MUI menyerukan boikot terhadap produk-produk Perancis. Demo akan memastikan bahwa masyarakat mendengar seruan boikot dari MUI tersebut.
Ketiga, ini akan memberi pesan kuat kepada masyarakat muslim di seluruh dunia, agar mereka ikut melakukan protes keras. Juga untuk mengkonsolidasikan massa secara besar-besaran dalam memboikot produk-produk Perancis.
Jika fatwa MUI terhadap kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok mampu menghadirkan tujuh juta massa umat Islam. Apalagi jika MUI dan seluruh ormas Islam turun langsung untuk memimpin demo serta melakukan konsolidasi massa. Hasilnya tentu saja lebih dahsyat lagi.
Cukup setiap ormas Islam mengerahkan sejuta massa, maka akan berkumpul belasan hingga puluhan juta massa dari Monas sampai Bundaran HI hingga memadati Jl Soedirman-Thamrin Jakarta. Mungkin ini akan menjadi demo terbesar di sepanjang sejarah Indonesia, bahkan dunia.
Jika demo ini dilakukan dan berhasil, maka pabrik milik Perancis di Indonesia bisa tutup, dan impor dari Perancis bisa berhenti. Ini baru akan memberi efek jera kepada Perancis. Sekaligus akan memaksa Immanuel Macron, presiden Perancis meminta maaf.
Masalahnya, MUI berani dan punya nyali tidak? Kalau cuma seruan boikot lewat surat yang diviralkan by PDF di medsos, mungkin banyak yang malas buka. Dijamin nggak bakal efektif. Bukan percuma, tapi tidak akan pernah besar pengaruhnya.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.