Konfigurasi Arab, Abdullah, El-Sisi, dan

Oleh Sabpri Piliang | Wartawan Senior

     RAJA ABDULLAH (Yordania), 'khusyuk' memperhatikan Presiden AS Donald Trump bicara.
   Gesture  'sang raja? Penuh hormat, rasa segan, berikut tangan tersilang di atas paha. Mimik Raja Abdullah, seperti bimbang! Gambar adalah "sejuta" makna.
    Sementara Trump dalam kunjungan Abdullah ke AS (11 Pebruari), duduk menghadap ke depan, lepas, tanpa beban. Soal Gaza?
    Ya masa depan Gaza menjadi pembicaraan keduanya. Termasuk relokasi yang diinginkan Trump terhadap dua juta rakyat Palestina ke Yordania dan Mesir.
     "Perangkap" perdamaian: Israel-Mesir 1978 di Camp David, Israel-Yordania 1994, Israel (Maroko, UEA-Sudan) di "Abaraham Peace" 2020, dan nyaris Israel-Arab Saudi (2023). 
     Membuat negara-negara Arab menghadapi pilihan mustahil terhadap "Trump Plan" menyangkut Gaza.
      Posisi rentan di antara (Mesir, Yordania, Arab Saudi), Raja Abdulah-lah  yang paling 'tertekan'. Kunjungan 'tergesa' Abdullah kepada Trump disinyalir, adalah sebentuk "pressure" 'chapter' Gaza.
    Sementara, Presiden Abdel Fattah El-Sisi (Mesir) sejauh ini telah menolak mengunjungi Washington (AS). Selagi Donald Trump tetap pada rencana "Trump Plan" menyangkut relokasi warga Gaza.
     Meski sempat terlontar ungkapan PM Israel Benyamin Netanyahu. "Tanah Arab Saudi" masih luas. Di mana penduduk Gaza (Palestina) bisa membuat negara di sana. Disinyalir, cetusan ini, sejatinya telah  dibicarakan oleh Netanyahu-Trump. Wallahuallam.
     Suksesor Raja Hussein (baca: Raja Abdullah) ini, dalam posisi sulit. Antara menerima permintaan Donald Trump, dan menolaknya. 
      Perjanjian "Wadi Araba" yang ditandatangani Raja Hussein (1994) dengan Israel. Yordania mendapat bantuan milyaran dolar dari AS, sebagai kompensasi perdamaian. "Rayuan" lain yang memikat, dari bantuan itu, Yordania mendapatkan keringanan utang.
      Posisi Arab Saudi, jauh lebih ringan dibanding Mesir dan Yordania di mata AS (Trump). Meskipun, sebelum 7 Oktober 2023 (Serangan Hamas ke Israel), Arab Saudi-Israel tengah "dalam perjalanan" normalisasi hubungan. 
     Trump tidak akan "semena-mena" menekan Arab Saudi untuk menyetujui "Trump Plan", menyangkut masa depan Gaza. Pelajaran 1973 (embargo minyak) Arab Saudi terhadap AS dan sekutunya, membuat Trump akan lebih "hati-hati" terhadap Arab Saudi Arab Saudi adalah 'remote' dan "finishing touch" menyangkut isu Palestina.
      Mesir yang merupakan sekutu kental AS di Timur Tengah juga tidak mudah bagi Trump untuk mendapat stempel "yes" menyangkut Gaza.
    Sekalipun telah memperoleh lebih dari 87 milyar dolar bantuan AS. Sejak kesepakatan Camp David (AS) ditandatangani Presiden Anwar Sadat dan PM Israel Manachem Begin. Posisi tawar Mesir jauh lebih baik, ketimbang Yordania terhadap AS.
     "Simbiosa mutualisme", Mesir-AS menyangkut keamanan Israel adalah perbatasan Rafah. AS sulit menekan Abdel Fattah El-Sisi (Presiden Mesir), karena kekuatan Ikhwanul Muslimun di negara Sphinx ini sangat dominan. AS bergantung pada El-Sisi untuk menjamin keamanan Israel.
       AS-Israel sempat cemas ketika Pemilu demokratis Mesir 2012 memenangkan tokoh Ikhwanul Muslimun, Muhammad Mursi (Presiden ke-5). Setahun setelah dia menjabat (2013).  Tokoh militer Abdel Fattah El-Sisi menggulingkannya dalam sebuah kudeta militer.
      Muhammad Mursi yang memenangkan 51,7 persen suara dalam Pemilu paling demokratis di Mesir. Akan membuat relasi, mempermudah dan "buncah" aliran senjata pintu Rafah ke Hamas (Palestina).
      Tak salah, bila Abdel Fattah El-Sisi berkeras tidak akan mengunjungi Donald Trump di Washington. Bila "Trump Plan", tetap diterapkan dan dijalankan oleh AS.
     El-Sisi, pun juga akan terancam oleh gerakan fundamental (kuat) di Mesir yang mendukung Palestina. Gerakan Ikhwanul Muslimun dan gerakan garis keras lainnya, akan membahayakan kedudukan El-Sisi.
    Konfigurasi kepemimpinan Mesir diyakini,  kembali  akan berubah. Bila bukan El-Sisi yang memegang tampuk Presiden.
     KTT Arab 27 Pebruari mendatang di Kairo (Mesir), akan menjadi tolok ukur. Akan menjadi daya nalar, sejauh mana sikap setiap anggota Liga Arab terhadap "Trump Plan" saat ini. 
    Sejauh mana AS-Israel mampu memecah belah Arab, lewat 'pikatan' bantuan ekonomi, bila mau berdamai dengan Israel dan "lupakan" negara Palestina.
     Selaku pengamat, saya memprediksi. Pengusiran warga Gaza ke negara lain, bukanlah akhir dari segalanya. Ini justru akan menjadi awal dari "kengerian" ekstreem.
     Bangsa Palestina (Hamas, Fatah, PIJ), mungkin akan memaklumi Trump (pihak luar) atas tindakan ini. Namun, bangsa Palestina tak akan pernah memaafkan Mesir, Yordania, dan seluruh negara Liga Arab yang membiarkan mereka "pergi" dari tanah yang dipijaknya.
      Raja Abdullah tahu, betapa berbahayanya meng-iyakan "Trump Plan" bagi kedudukannya sebagai Raja. Mengingat 35 persen rakyat Yordania adalah keturunan Palestina. (*).

158

Related Post