OPINI
Kutukan Sisifus
by Zainal Bintang Jakarta FNN – Ahad (23/08). Peringatan ulang tahun ke 75 Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 2020 ditandai dua kegiatan yang serupa, tapi tak sama. Acara rutin yang diselenggarakan sebagai tradisi negara berlangsung pada tanggal 17 Agustus 2020 di Istana Merdeka. Keesokan harinya 18 Agustus diadakan pula acara yang sama di Tugu Proklamasi , Pegangsaan, Jakarta Pusat. Penyelenggara di Tugu Proklamasi adalah Deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia). Koalisi yang dibentuk oleh Din Syamsuddin, Gatot Nurmantiyo dan Rochmat Wahab bersama sejumlah tokoh ilmuawan, agamawan, budayawan, aktifis lintas agama, profesi, gender dan usia. Hakekat dibalik kelahiran KAMI nampaknya lebih banyak terkait dengan kekecewaan atas sinyalemen terjadinya kemunduran kehidupan demokrasi dalam beberapa tahun belakangan ini. Berbicara kemunduran demokrasi di dunia dewasa ini, perlu membaca laporan Freedom in The World 2020. Lembaga tersebut memberikan peringkat terhadap 195 negara, dan menyatakan bahwa 83 dari negara tersebut sebagai "bebas", 63 negara sebagai "bebas sebagian”, dan 49 negara sebagai "tidak bebas”. Sementara di banyak negara lainnya, orang-orang turun ke jalan dan mengekspresikan ketidakpuasan terhadap sistem politik yang ada. Mereka menuntut perubahan dan perbaikan agar negara menjadi lebih baik dan lebih demokratis. Gerakan-gerakan demonstrasi antara lain terjadi di Hong Kong, Aljazair, Bolivia, Chili, Ethiopia, Indonesia, Irak, Iran, Lebanon, dan Sudan. Gerakan-gerakan ini sering kali bertentangan dengan kepentingan kekuasaan yang telah mengakar kuat. Kekuasaan yang gagal menghasilkan perubahan yang signifikan, tulis laporan itu. Jumlah keseluruhan negara dengan status sebagai negara bebas telah menurun sebesar tiga persen dalam dekade terakhir. Indeks ini memperhitungkan berbagai faktor seperti fungsi pemerintah, transparansi, supremasi hukum, pluralisme serta kebebasan berekspresi dan berkeyakinan. Laporan tahun ini menunjukkan penurunan yang tajam dalam skala global terkait komitmen pemerintah terhadap pluralisme. Kelompok etnis, agama, dan minoritas lainnya telah banyak mengalami persekusi di negara-negara demokrasi dan otoriter. Laporan itu juga menuliskan menurun kebebasan di negara-negara demokrasi. Adanya penurunan kebebasan di sejumlah negara yang terkenal demokratis. Apa yang dilaporkan lembaga think tank Freedom House tahun 2020, cukup suram. “Demokrasi dan pluralisme sedang diserang. Diktator berupaya keras membasmi perbedaan pendapat yang tersisa, dan menyebarkan pengaruh berbahaya ke sudut-sudut baru di dunia”. Lembaga ini menyoroti menurunnya demokrasi di berbagai penjuru dunia, termasuk Amerika Serikat dan India. Freedom House yang merupakan lembaga swadaya masyarakat yang didanai pemerintah Amerika Serikat, menyoroti tanda bahaya atas memburuknya indeks kebebasan di negara-negara otoriter dan demokratis. Kaburnya koridor kekuasaan antara legislatif dengan eksekutif, termasuk di Indonesia paska reformasi, menimbulkan ketimpangan yang melemahkan check and balances di parlemen. Perwujudan demokrasi tidak bekerja sebagaimana teori “trias politica” hasil rumusan Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan kepada tiga lembaga berbeda, “Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif”. Berdasarkan sejumlah kajian, dikatakan sistem pemilu multipartai di Indonesia yang dilaksanakan secara langsung sejak tahun 2004, mengakibatkan persebaran kekuasaan kepada banyak partai. Mendorong partai mengambil langkah berkoalisi dan membuka ruang kompromi, yang berujung pragmatisme. Jika mau kuat di parlemen, maka eksekutif (presiden) dipaksa membangun mitra koalisi partai pendukung. Meskipun sistem presidensial membuat posisi politik presiden cukup kuat, namun karena bukan ketua umum partai, mau tidak mau Jokowi dituntut untuk membayar “ongkos” koalisi yang lebih mahal. Komposisi menteri kabinet “pelangi” saat ini yang warna-warni, banyak dikritik karena dinilai mengabaikan kompetensi. Itu adalah refleksi fragmentasi kekuatan politik sistem multi partai. Presiden tidak memiliki kekuatan komando tunggal. Berbeda dengan Soeharto yang mengendalikan penuh komando Golkar di tangannya. Selama 32 tahun pemerintahan Orba (Orde Baru), Golkar sebagai kendaraan politik pemerintah memenangkan enam kali pemilu berturut-turut dengan perolehan suara masif diatas 70 persen. Menempatkannya sebagai peraih suara terbanyak yang disebut “single mayority” (mayoritas tunggal). Sementara dua partai kontestan lainnya, yakni PPP dan PDI hanya dijadikan pelengkap penderita demokratisasi. Tragedi “kabinet pelangi” minim kompetensi sebagai ekses dari sistem pemilu multi partai yang dialami SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) dua priode (2004 – 2014). Ini adalah contoh soal betapa lemahnya “bargaining power” hasil pemilu multi partai. Karena hanya mampu melahirkan “simple mayority” (mayoritas sederhana) melalui praktik “jual-beli” suara di pasar koalisi. Ujung-ujungnya SBY tidak berhasil membuat program terobosan sebagai legasi bangsa. Meskipun dia berposisi sebagai ketua umum partai, akan tetapi koalisi memaksanya menari mengikuti irama gendang mereka yang yang sarat dengan “pemerasan” politik. Akibatnya, SBY kehilangan banyak waktu untuk berkompromi untuk banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat. Kedigdayaan legislator sebagai kelompok penekan eksekutif, membuat mereka lupa daratan. Terjebak di dalam perburuan kekuasaan politik dan materiel. Biaya kontestasi politik yang mahal (money politic) untuk menjadi legislator, memaksa mereka mendewakan budaya transaksional. Butuh transaksi politik untuk mengembalikan biaya investasi dan memupuk sumber daya investasi baru untuk kontestasi ke depannya. Fungsi check and balances digeser ke nomor dua. Tidak mengherankan jika akhirnya yang terjadi adalah kendornya komitmen aktor politik di parlemen. Banyak politisi kacangan, odong-odong, kaleng-kelang dan beleng-beleng berkantor di senayan. Sejumlah kajian menyebutkan melalui jalan reformasi, bangsa besar ini terjebak dalam lingkaran setan kejahatan regulasi dan kejahatan korupsi. Apa yang menimpa dunia perpolitikan Indonesia paska reformasi? Ketika membuka kiriman pesan WhatsApp dari teman seniman teater yang kesohor, dia menganalogikan bangsa Indonesia kini bagaikan sedang terjebak di dalam perangkap “nasib buruk” seorang raja dalam legenda mitologi Yunani yang bernama Sisifus (Sisiphus). Alkisah, tersebab oleh sebuah pembangkangan, dewa Zeus menghukum Sisifus untuk terus-menerus mendorong sebuah bongkahan batu besar ke atas puncak bukit. Setelah sempat merasakan kelegaan sedikit saat di puncak, batu besar itu menggelinding kembali ke kaki bukit. Dan setelah itu batu itupun harus didorongnya kembali. Demikian dilakukan berulang-ulang. Sistem politik hasil reformasi dianalogikan mengkerangkeng kekuatan politik (koalisi) di parlemen. Sehingga menjalani "penderitaan" serupa kutukan nasib buruk Sisifus. Jika Sisifus tak berkutik oleh tekanan hukuman Zeus sang dewa. Sementara koalisi di parlemen ditengarai masyarakat juga tidak berdaya dibawah tekanan semacam dewa lain yang bernama "Oligarkis, Korporasi dan Konglomerasi" yang terkenal dengan prilaku licik, picik, tamak dan culas. Sang oligarkis, korporasi dan konglomerasi itu bisa sangat powerfull. Karena di dalam tubuhnya menyatu perpaduan kekuatan politik dan kekuatan pendanaan. Meskipun tanpa bentuk nyata oligarikis telah menjebak bangsa ke dalam perangkap politik “lari berputar". Mereka berhasil membangun pusat kekuasaan tanpa alamat dan kartu nama. Mempunyai kekuatan lobi yang mengalahkan partai politik formal. Mengatur jalannya pemerintahan bahkan arah negara. Tragisnya karena berhasil mendegradasi fungsi aktor “trias politica” turun ke tingkat yang rendah dan nista, menjadi instrument legitimasi regulasi yang menjauh dari cita – cita proklamsi. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.
Selama Jokowi, Ekonmi Hanya Tumbuh 5,03%
by Anthony Budiawan Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 2015-2019 hanya rata-rata 5,03 persen per tahun. Capaian ini tentu saja lebih rendah dari dua periode lima tahunan sebelumnya, yang masing-masing sebesar 5,64 persen per tahun (2005-2009) dan 5,80 persen per tahun (2010-2014). Pertumbuhan rata-rata 5,03 persen ini di bawah target atau janji pemerintah Jokoswi yang dipatok angka pertumbuhan 7 persen per tahun. Seharusnya pemerintah menjelaskan kenapa janji tersebut tidak bisa dipenuhi. Lebih baik lagi kalau disertai minta maaf. Rakyat akan menghargai sikap seperti itu. Sikap kesatria untuk mengakui kekurangan. Penjelasan mengapa target tidak tercapai? Itu sangat penting untuk diketahui rakyat. Mungkin saja rakyat bisa memahami dan memaafkan ketikamampuan pemerintah Jokowi. Karena dengan penjelasan ini, mencerminkan pemerintah mengerti permasalahan sebenarnya. Mengerti situasi objektif ekonomi yang terjadi, sehingga dapat mewujudkan janjinya di kemudian hari. Pemerintah memang mencoba menjelaskan alasannya. Katanya, penurunan ekonomi tahun-tahun terakhir ini akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Alasan ini sangat sulit untuk dipahami dan diterima . Karena ekonomi nergara tetangga yang masih satu kawasan ASEAN, Vietnam dan Philipina ternyata malah naik pada periode 2015-2019. Pertumbuhan Vietnam rata-rata 6,76 persen per tahun (2015-2019). Sedangkan Philipina naik menjadi 6,56 persen per tahun untuk periode yang sama. Jauh lebih tinggi dari pertumbuhan Indonesia yang hanya rata-rata 5,03 persen per tahun. Oleh karena itu, alasan perang dagang global Amerika dan China terlalu mengada-ada. Juga menggampangkan masalah, sehingga kurang bisa diterima. Pembenaran juga selalu mewarnai alasan mengapa janji pertumbuhan ekonomi tidak tercapai. Pemerintah dan para pendukungnya sering menyatakan, meskipun pertumbuhan Indonesia melemah tetapi masih menjadi salah satu terbaik di kelompok G20, menempati peringkat ketiga. Dan seterusnya. Padahal membandingkan ekonomi Indonesia dengan negara-negara G20 adalah sebuah kesalahan. Pertama, di kelompok G20, sudah sejak lama pertumbuhan Indonesia selalu di peringkat tinggi. Tahun 2008 dan 2009, pertumbuhan Indonesia di peringkat 3. Tahun 2012 di peringkat 2. Bahkan pada tahun 1994 hingga 1996 pertumbuhan Indonesia juga sudah di peringkat 3 di kelompok negara-negara G20. Jadi, pertumbuhan ketiga tertinggi di kelompok G20 bukan sebuah prestasi. Sudah sejak tahun 1994. Kedua, negara yang masuk kelompok G20 sebagian besar adalah negara maju yang mempunyai pendapatan per kapita sudah sangat tinggi. Ada yang di atas U$ 40.000, bahkan U$ 50.000 dollar. Sedangkan Indonesia hanya sekitar U$ 4.000 dolar AS. Kondisi ekonomi di kebanyakan negara maju tersebut sudah mendekati full-employment. Sehingga terjadi limitasi tenaga kerja untuk ekspansi. Disamping upah tenaga kerja juga sangat tinggi. Sehingga, perusahaan-perusahaan di negara maju (multi-nasional) terdorong melakukan ekspansi ke negara berkembang yang mempunyai upah buruh lebih murah. Kenyataan ini menjelaskan, mengapa pertumbuhan di negara berkembang lebih tinggi dari negara maju? Dalam hal ini, Vietnam dan Philipina lebih berhasil menarik investasi global dibandingkan Indonesia, sehingga pertumbuhan ekonomi kedua negara ini lebih tinggi. Yang lebih mengkhawatirkan, banyak pihak, termasuk pejabat, membanggakan pertumbuhan Indonesia yang sedang menurun dengan cara yang kurang pantas. Misalnya dengan merendahkan ekonomi negara G20 lainnya. Merendahkan ekonomi sesama negara ASEAN. Kita sering dengar pernyataan, “pertumbuhan Indonesia lebih baik dari ... dari negara tetangga”. Pernyataan seperti ini sangat tidak pantas. Melanggar etika dan sopan santun hubungan internasional. Seolah-olah mereka gagal mengelola ekonominya. Seolah-olah mereka lebih bodoh dari kita. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Ngapain Gus Nabiel Uring-Uringan?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (22/08). FKP2B menyampaikan sikap penolakan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) dengan seperangkat argumen hukum, politik, dan akademik. Namun sikap ini dikomentari negatif oleh Muchamad Nabiel Haroen, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP. FKP2B diminta untuk membaca utuh isi RUU oleh Nabiel. Meski demikian, tentu saja Gus Nabiel juga bisa diminta untuk membaca utuh tuangan sikap dan argumen FKP2B dalam surat terbukanya tersebut. Sebab menurut Gus Nabiel, RUU BPIP adalah respons pemerintah atas aspirasi warga yang ingin perubahan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Nah rupanya anggota DPR ini tidak mampu untuk membaca secara utuh aspirasi warga masyarakat soal RUU HIP yang berbau komunis tersebut. Warga bukannya ingin perubahan atas RUU HIP. Melainkan warga ingin pencabutan atau pembatalan. Tak ada artinya perubahan atas RUU dengan paradigma yang sama. Sebab RUU HIP adalah akar atau fondamen. Sedangkan RUU BPIP adalah cabang. Bukankah Gus Nabiel sangat mengetahui bahwa BPIP itu menjadi bagian dari konten RUU HIP? Justru yang terjadi adalah kekacauan berfikir atau berlogika dalam hukum. Bagaimana RUU cabang dibuat tanpa akar. Goyah kan jadinya. Inilah model dari sebuah RUU yang manipulatif, asal-asalan, serta berisi selundupan misi menghidupkan faham komunis. Faham komunis yang dikemas dalam Trisila dan Ekasila, serta kebudayaan yang berketuhanan. Keliru menilai FKP2B itu melakukan argumentasi a historis. Justru FKP2B mengungkap fakta-fakta tentang argumentasi historis. RUU BPIP historisnya adalah RUU HIP. Dan kedua RUU tersebut dalam konteks Pancasila tidak dapat melepaskan dari basis Pancasila 1 Juni 1945. Tolong dibaca dengan utuh RUU BPIP oleh Gus Nabiel, terutama pada konsideran butir a dan b. Historis Pancasila 1 Juni 1945 itu tertuang apik. Ini paradigma. Ini juga selundupan ide, ini yang sangat berbahaya itu. Publik tidak perlu dibohongi bahwa RUU BPIP adalah perpanjangan misi dan duplikasi dari RUU HIP. Publik, khususnya umat Islam sangat memahami renacan busuk tersebut. Baiknya Gus Nabiel juga membaca dengan utuh AD/ART PDIP. Maka nantinya akan ketemu antara misi perjuangan partai dalam kaitan dengan Pancasila yang adalah Pancasila 1 Juni 1945. Bukan berjuang membela atau memurnikan Pancasila 18 Agustus 1945, yaitu Pancasila kini yang berlaku. Pancasila yang telah menjadi hasil konsensus bersama itu 18 Agustus 19445. Wajar pula jika FKP2B mengkritisi kompetensi pimpinan atau personal Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Ketua BPIP Yudian Wahyudi telah "babak belur" dikritik soal pernyataan-pernyataannya dari mulai salam Pancasila hingga agama yang dianggap musuh Pancasila. Ibu Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP juga harus introspeksi. Jangan hanya menjadi "pejuang" dan "pengarah" untukk Pancasila 1 Juni 1945. BPIP harus "full" berpijak pada Pancasila 18 Agustus 1945. Jika tidak, dikhawatirkan menjadi krisis pilitik. Padahal seluruh komponen bangsa sedang berjuang melawan pandemi covid 19. Dampak pendemi covid 19 hampir melumpuhkan seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Hari ini sektor ekonomi lumpuh hampir sempurna. Sektor politik juga lumpuh. Itu ditandai dengan kerja DPR dalam pembuatan beberapa Undang-Undang, yang tidak mendengarkan masukan dari masyarakat. Sektor sosial dan budaya juga ikut lumpuh. Sebaiknya DPR RI mau mendengar aspirasi rakyat. Tampung dan olah dengan obyektif dan seksama. Bukan menjadi penanggap parsial atas aspirasi. Mohon baca utuh jika ada surat terbuka yang mungkin agak panjang. Renungkan dan sikapi dengan baik. RUU BPIP adalah RUU usulan Pemerintah. Telah mengabaikan inisiatif DPR. RUU berbalas RUU. Kacau sekali DPR periode ini. DPR adalah wakil Rakyat. Bukan wakil Pemerintah. Anggota DPR harus berani mengoreksi kesalahan politik atau hukum dari Pemerintah. RUU BPIP memang harus ditolak. Tidak layak untuk dilanjutkan pemebahasannya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
KAMI Terus Melawan
by Mangarahon Dongoran Ada satu yang harus dilakukan pemerintah. Segera turunkan harga bahan bakar minyak, baik yang subsidi maupun non subsidi. Kalau BBM subsidi harus dibicarakan dengan DPR okelah bisa lama. Akan tetapi, non subsidi yang katanya harganya mengikuti mekanisme pasar, kok belum turun juga. Bukankah di pasar internasional harga minyak sudah lama turun? Jakarta FNN - Sabtu (22/8). Selasa, 18 Agustus 2020, sejumlah tokoh kritis terhadap situasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang kini morat-marit mendeklarasikan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Deklarasi yang dilakukan di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat itu merupakan gerakan moral untuk menggugah kesadaran Presiden dan jajarannya, serta elit politik agar membuka mata dan telinga lebar-lebar untuk melihat dan mendengarkan keluh-kesah atau kegelisahan yang merebak di tengah masyarakat yang secara ekonomi kian terpuruk di tengah pandemi Corona Virus Deases 2019 (Covid-19) atau Virus China yang belum bisa dipastikan kapan berakhir. Ada mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo, Din Syamsudin, Rizal Ramli, Rocky Gerung, Ahmad Yani (Ketua Komite Eksekutif KAMI), Refly Harun (pakar hukum tata negara), M.Said Didu, Ichsanuddin Noorsy (Pengamat Ekonomi dan Pembangunan) dan sederet nama lainnya. Total ada 150 deklarator. Mereka mengeluarkan suara dan kritik keras yang terdiri dari delapan poin, yang membuat pembela pemerintah kepanasan. Kehadiran KAMI telah membuat BuzzerRp seperti cacing kepanasan. Berbagai manuver mereka lakukan, termasuk melakukan aksi tandingan yang diikuti puluhan orang di dekat Tugu Proklamasi, tempat KAMI dideklarasikan. Tak hanya aksi demo, BuzzerRp pun memperlihatkan batang hidungnya lewat media sosial. Mereka terus-menerus meng-counter seluruh isi deklarasi itu. Bahkan, mereka tidak malu-malu menyebutkan, para deklarator itu adalah pejabat pecatan, mantan pejabat tidak tahu diri, tidak becus bekerja dan berbagai kalimat lainnya yang asal tuduh. Padahal, tidak ada deklarator yang berasal dari pejabat yang dipecat. Sasaran utama mereka menyebut pejabat pecatan adalah Gatot Nurmantyo. Padahal, tidak ada surat pemecatan kepada Gatot. Yang ada adalah surat pemberhentian dengan hormat, karena memasuki masa pensiun. Jadi, kalau betul dipecat, cobalah tunjukkan surat pemecatannya. Kemudian Din Syamsudin. Mantan Ketua PP Muhammadyah ini sempat diangkat Presiden Joko Widodo menjadi Utusan Khusus untuk Dialog Antaragama dan Peradaban bulan Oktober 2017. Namun, tidak sampai setahun, Din mengundurkan diri dari jabatannya itu. Ia mengundurkan diri pada September 2018 dengan alasan menjaga neteralitas dalam menghadapi Pileg dan Pilpres 2019, karena ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, dan Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju. Bahkan, ada juga yang menyebut Din radikal. Kalau radikal, kok bisa diangkat jadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog Antaragama dan Peradaban? Mungkin, para Buzzer bayaran itu belum tahu sepak-terjang Din Syamsudin, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kalau di tingkat nasional, tentu harus tahu sepak-terjang Ketua PP Muhammadiyah dua periode itu ( 2005-2010 dan 2010-2015) itu. Ia banyak melakukan dialog antaragama dan peradaban. Oleh karena itu, ia cukup dekat dengan tokoh-tokoh agama lain, seperti Pastor Beny Susetyo (Katolik), dengan tokoh Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Din adalah salah satu penggagas Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC), yang berkantor di Jalan Kemiri, Menteng, Jakarta Pusat. Saya beberapa kali ikut meliput kegiatan di rumah pribadi yang dijadikan kantor itu. Di tempat ini sering dilakukan dialog antaragama, termasuk mendatangkan narasumber dari agama lain dan negara lain. Karena kedekatannya denga tokoh-tokoh agama di dalam negeri dan juga luar negeri, maka Din seringkali menjadi pembicara mengenai agama dan peradaban di dunia internasional. Apa ia, kalau Din yang bernama lengkap Muhammad Sirajuddin Syamsuddin itu radikal, bisa diterima oleh tokoh-tokoh agama lain? Apa ia, seorang radikal bisa diangkat menjadi utusan khusus Presiden? Apa ia, jika seseorang radikal, tapi masih diterima oleh berbagai kalangan? Kemudian Rizal Ramli. Ekonom senior yang dijuluki "Rajawali Ngepret" itu bukan orang yang gila jabatan. Dia pengamat ekonomi yang tetap kritis dan analisanya hampir tidak pernah meleset. Dia aktivis sejati yang tidak diam walaupun sudah diberikan jabatan empuk oleh Joko Widodo. Di dalam kabinet, RR -- demikian ia disapa -- tetap ngepret, terutama menyangkut reklamasi pantai di Jakarta. Akibatnya, tidak cocok dengan Luhut B Panjaitan yang pro reklamasi. Dia diganti, bukan dipecat. Analisa ekonominya yang tajam sehingga membuat pemerintah gerah tidak hanya dilakukannya sekarang. Di masa Orde Baru juga ia sering mengeluarkan kritik tajam. Keberanian mengkritik rezim Orba tidak lain karena ia aktivis sejati, dan berkawan dengan para aktivis yang menyuarakan kebenaran, termasuk berteman dekat dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tidak heran, ketika Gus Dur menjadi Presiden, ia pun diangkat menjadi Menteri Koordinator bidanh Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) kemudian menjadi Menteri Keuangan, serta Kepala Bulog (Badan Urusan Logistik). Ketika pemerintahan Jokowi-JK, ia mengkritisi pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. RR mengatakan, dalam 5 tahun ke depan, Indonesia hanya butuh pembangkit listrik dengan kapasitas total 16.000 megawatt (MW), bukan 35.000 MW. "Kita melihat segala sesuatu dengan faktual dan logis kalau 35.000 MW tercapai 2019, maka pasokan jauh melebihi permintaan, ada idle (kelebihan) 21.000 MW. Di sana ada listrik swasta," jelas Rizal di Jakarta, Senin (7/9/2015). Jika dipaksakan, maka PLN akan bangkrut karena menanggung banyak hal, termasuk utang pokok dan bunga pinjaman luar negeri. Faktanya, sekarang saja PLN sudah hampir bangkrut karena utang. Nah, sejumlah tokoh lain, seperti Ichsanuddin Noorsy, Ahmad Yani, bukanlah pejabat yang dipecat. Tetapi, tidak terpilih lagi menjadi anggota DPR. Khusus Noorsy, ia didepak dari Golkar karena membongkar kasus Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra buron 11 tahun yang belum lama ini ditangkap. Noorsy didepak dari Golkar karena harus berhadapan dengan tokoh-tokoh kuat di partai tersebut, seperti Baramuli (almarhum), Setia Novanto (yang akhirnya dipenjara dalam kasus E-KTP). Jadi, banyak yang harus dikoreksi jika pemerintahan ini mau berada di jalurnya. Sebab, sudah banyak penyimpangan, tidak sesuai dengan janji-janji kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin, pun juga pemerintahan Jokowi-JK lima tahun sebelumnya. Misal, tidak mau menambah utang. Nyatanya, utang bertubi-tubi.Jumlah utang lima tahun pertama Jokowi sudah lebih besar ketimbang 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Pembangunan infrastruktur yang bersumber dari utang pun terlalu dipaksakan. Apalagi di masa sekarang, saat pandemi Covid-19 masih berjalan, banyak infrastruktur yang tidak dipakai. KAMI oposisi jalanan Rencana pemindahan ibukota pun tidak pernah hilang dari otak pemerintah. Padahal, sekarang stuasi ekonomi sulit, sudah krisis dan selangkah lagi akan resesi. Banyak yang harus dikoreksi dan dikritisi. Jika terus didiamkan, pemerintah bertindak seenaknya. DPR hanya menjadi pajangan yang harus menuruti kemauan pemerintah. Tidak ada lagi oposisi sejati di DPR. Oleh karena itu, bermunculanlah oposisi jalanan, baik yang dibentuk kalangan intelektual, maupun demo masyarakat yang belakangan hampir tiap pekan terjadi. Oh, ia. Ada satu yang harus dilakukan pemerintah. Segera turunkan harga bahan bakar minyak, baik yang subsidi maupun non subsidi. Kalau BBM subsidi harus dibicarakan dengan DPR okelah bisa lama. Akan tetapi, non subsidi yang katanya harganya mengikuti mekanisme pasar, kok belum turun juga. Bukankah harga minyak di pasar internasional sudah turun cukup lama? Mengapa harga di dalam negeri tidak turun, sedangkan negara lain sudah melakukannya? Ada pertanyaan di masyarakat. Kalau harga minyak dunia naik, pemerintah (baca Pertamina) buru-buru menaikkan harga. Tetapi, kalau harganya turun di pasar dunia, kok harga minyak anteng saja? Saya memperkirakan demo ke depan akan mulai menyasar ke harga BBM ini. Oleh karena itu, pemerintah sengaja mengalihkan isu, seperti isu RUU Omnibus Law tjipta karya dan RUU Haluan Ideologi Pancasila yang diganti menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Jika berbagai persoalan bangsa dan negara tidak digubris pemerintah, maka rakyat akan melawan. Perlawanan terus terjadi dari seluruh negeri. Dan KAMI pasti ikut melawan. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID.
Resufle Bisa Memperbesar Krisis Kabinet
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN – Sabtu (22/08). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan sejumlah tantangan dalam serapan anggaran penanganan covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Salah satu tantangan yang dihadapi adalah “perubahan kebijakan” dalam tiga bulan terakhir. Selain itu juga “soal orang yang baru menjabat menteri dan tak punya pengalaman birokrasi” (tanda petik dari saya). Beberapa menteri, tulis CNNIndonesia mengutip Sri Mulyani, benar-benar baru menjabat (sebagai menteri). Saya selalu berpikir seandainya semua oran seperti saya, berharap mereka sudah tahu tentang birokrasi, kebijakan, dokumen anggaran. Tapi tidak, beberapa dari mereka benar-benar baru (menjadi menteri), mereka belum pernah bekerja dipemerintahan sebelumnya (CNNIndonesia, 19/8/2020). Merosot Terus Kepingan lain dalam pernyataan Sri MUlyani, menteri keuangan ini, sangat menarik. Pernyataannya nyata-nyata menunjukan, entah apa namanya, dari cabinet ini. Ibu Sri menyatakan lebih jauh menyalurkan dana tersebut tidak semudah menyiram air di toilet. Pasalnya, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap penyalurannya melalui audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Presiden meminta menyiram dana tersebut kepada masyarakat. Tetapi menyiram dana ke masyarakat ini tidak semudah menyiram air ditoilet. Ketika menyalurkan dana diaudit mengenai siapa target penerimanya, alamatnya. Jadi ini bicara tentang data (CNNIndonesia, 19/8/2020). Cukup jelas pernyataan otoritatif Ibu Menteri ini. Ini Negara. Ada sistem. Ada hukum. Presiden tidak bisa main perintah siram duit kepada rakyat. Tidak bisa. Ada sistem, denghan semua konsekuensi hukumnya. Suka atau tidak, sistem itu mutlak ditaati oleh. Tidak hanya hanya para menteri dan pejabat-pejabatnya, tetapi juga Presiden sendiri. Tidak ada administrasi negara, khususnya subsistem administrasi keuangan negara, yang bisa digerakan dengan perintah verbal. Satu diantara tipikal administrasi negara adalah tindakan administrasi itu memiliki bentuk. Bentuk mesti tetulis. Sistem hukum mengharuskannya begitu. Subsistem adminsitrasi negara dalam tatanan yang sedang dilanda krisis, dalam batas perspektif data tersaji oleh Ibu Sri, sejauh ini tak dirancang dengan meyakinkan. Rincian teknisnya gagal dipetakan. Terciptalah lobang besar kelemahan. Ini tentu semakin menyulitkan menteri yang tidak kompeten. Rumit dan sulitkah untuk memetakan deteilnya? Rasanya tidak. Buktinya Ibu Sri dapat mengidentifikasinya. Nalarnya Presiden, dengan alasan apapun, harus bisa tampil melebihi Ibu Sri. Tetapi itulah kenyataannya. Akibatnya jelas. Pemerintahan jadinya tidak efektif. Praktis kelemahan memetakan detail ini, menambah daftar kelemahan yang sama sebelumnya. Keluhan elemen kecil strategis di BUM mengenai alat impor alat kesehatan. Hal yang sama tercermin dalam implementasi gagasan Kartu Prakerja buat para pengangguran. Gambaran lebih mutakhir terlihat juga pada sikap pemerintah yang menyodorkan perubahan RUU HIP menjadi RUU BPIP. Respon Presiden atas penolakan keras berbagai kalangan terhadap RUU HIP ini, terasa kelewat aneh. Pemerintah memang terus bekerja. Disana sini pemerintah terus bergerak mengusahakan tindakan-tindakan pemerintahan dalam menghadapi corona dan memulihkan ekonomi nasional. Termasuk dalam usaha besar itu adalah menyambut calon vaksin China untuk dikembangkan menjadi vaksin di Indonesia. Kritik menyertainya dari berbagai kalangan. Tetapi pemerintah terus jalan. Oke. Penyakit yang dibawa virus corona ini tidak mengenal negara. Obat juga tak mengenal negara. Tabiatnya sama dengan uang, yang juga tak punya nasionalisme. Tetapi tetap saja keduanya menyediakan perbedaan kecil yang fundamental. Vaksin menyediakan potensi derita bagi mereka menggunakannya. Tentu bila vaksin itu tidak cukup layak menurut standar ilmu kedokteran. Itu yang para dokter ingatkan. Menariknya jauh sebelum kandidat vaksin itu diuji coba, Presiden malah telah memiliki skema waktu untuk produksi. Hebat betul. Dalam isu pemulihan ekonomi, pemerintah memang terus menempatkan diri dengan serangkaian kebijakan. Resentralisasi sejumlah kewenangan ternyata mengundang masalah. Beralasan kebijakan ini justru dinilai oleh beberapa ekonom tak menjanjikan kesuksesan usaha pemulihan ekonomi. Celakanya modal terbesar setiap pemerintahan adalah kepercayaan masyarakat, justru terus merosot. Pembelahan ditengah masyarakat terus melebar. Sayang sekali tak ada seruan menyejukan dari pemerintah mengalir membasahi dahaga persatuan. Itu masalah besar. Lensa Sejarah Apa yang harus dilakukan Presiden? Resufle cabinet? Mengganti sebagian menteri? Ini sepenuhnya hak Presiden. Terserah Presiden. Mau menggunakannya, kapan dan siapa yang dipanggil, terserah Presiden. Ini bukan soal dari segi tata negara. Bung Karno selalu sukses menyudahi permasalahan kabinet sejak kabinet Sjarir pertama, hingga pembentukan kabinet kerja Juanda ditahun 1958. Itu karena Bung Karno ada dan hidup dalam denyut cinta rakyat. Ia begitu hangat terasa disetiap nurani rakyat. Itulah kunci sukses dan kekuatan Bung Karno. Keduanya kunci itu tidak terletak pada hukum. Kekuatannya terletak pada legitimasi. Kecintaan raktyat padanya, menjadi sungai politik yang mengalirkan legitimasi untuk pria yang tampan nan cerdas ini. Tetapi ketika Bung Karno dengan semua hasrat untuk kemuliaan bangsa ini memasuki kekuasaan eksekutif segera setelah tahun 1959, sungai legitimasinya perlahan-lahan mengering. Dari ke waktu air sungai legitimasi terus susut hingga benar-benar mengering. Mirip keadaan sekarang, kehidupan sosial politik begitu antagonisk. Sangat eksplosif. Terlalu banyak pikiran kalangan non pemerintah yang dianggap salah. Kontra revolusi, istilah zaman itu. Sanjungan dan kritik bertalu-talu. Sama intensnya. Benar-benar mirip keadaan sekarang. Sungai legitimasi akhirnya benar-benar mengering menyusul peristiwa pembunuhan para jendral. Dikenal dengan peristiwa G. 30 S PKI. Ditengah sungai legitimasi yang telah mengering, tanggal 24 Februari 1966 Bung Karno sodorkan kabinet Dwikora II. Jelas tak mendapat sambutan. Kabinet ini dirancang sebagai respon Bung Karno terhadap keadaan politik empiris. Itu tercermin, tidak hanya dari jumlah menteri lebih dari 100 orang, dengan 76 Kementerian Portofolio, tetapi lebih dari itu. Ada kementerian Agama. Tetapi untuk menjembatani pemerintah dengan Alim Ulama, Bung Karno ciptakan juga Menteri Hubungan Pemerintah dengan Alim Ulama. Kementerian ini dipimpin oleh Marzuki Yatim. Faktanya kabinet ini tak jalan. Pembaca FNN yang budiman. Legitimasi Bung Karno justru berpndah ke Pak Harto. Itu juga menjadi salah satu faktor terbesar Pak Harto sukses mengemban Supersemar, dan akhirnya membentuk kabinet sendiri. Sukses untuk waktu yang lama, tetapi menjelang pernyataan berhenti sebagai Presiden, sungai legitimasi Pak Harto juga mengering. Pukulan bertubi-tubi pada pengeritiknya, terutama mahasiswa, justru memakan pemerintahannya. Keraguan berbagai kalangan terhadap beberapa anggota kabinet, disepelekan. Sialnya sikap itu disajikan ditengah keadaan ekonomi yang terus memburuk. Mirip betul keadaan sekarang. Apa yang perlu dilakukan Pak Jokowi? Pak Jokowi mungkin harus memanggil para penasihat politiknya. Para penasihat harus jernih menganalisis detail situasi. Keliru memetakan detail situasi, sama dengan memperbesar spektrum krisis pemerintahan ini.* Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Menanti Lahirnya Gerbong-gerbong Oposisi
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Sabtu (22/08). Matinya Demokrasi. Kualitas demokrasi di Indonesia hancur di era rezim Jokowi. Kehancuran demokrasi dapat dilihat dari fakta-fakta tidak lagi efektifnya fungsi kontrol parlemen terhadap eksekutif akibat grand coalition yang diciptakan rezim Jokowi untuk membentuk kabinet. Hanya tersisa partai PKS yang secara teorities dianggap kritis dan obyektif pada pemerintah. Tetapi sangat mungkin, dengan ketidakberdayaan mengimbangi kekuatan parpol pemerintah di parlemen, maka PKS akan bersikap pragmatis-realistis ikut meloloskan semua agenda pemerintah. Keluarnya UU Nomor 2/2020 melengkapi UU Minerba dan Omnibus Law Cipta Kerja adalah bukti yang bahwa parlemen saat ini hanya mewakili kepentingannya sendiri, Tidak mewakili kehendak mayoritas masyarakat. Belum lagi lolosnya kenaikan iuran BPJS disaat masyarakat sedang terpukul ekonominya dan program-program yang kontroversial seperti Kartu Pra Kerja yang berpotensi korupsi dan melanggar prosedur tata kelola pengadaan barang dan jasa. Bukti kuat lainnya adalah tetap dipaksakannya Pilkada serentak di tahun ini. Padahal rakyat sedang membutuhkan bantuan pemerintah untuk bertahan hidup selama Pandemi Covid 19. Meskipun kita belum tahu kapan pandemi akan berakhir mengingat saat ini pertambahan kasus setiap hari menyentuh angka antara 1.500-2.000-an kasus. Disatu sisi pemerintah menambah utang demi menyelamatkan ekonomi dan mengendalikan pandemi covis 19. Tetapi disisi lain menggunakan anggaran untuk Pilkada yang saat ini sebenarnya bukan prioritas. Lebih baik anggaran Pilkada sebesar Rp. 15 triliun digunakan misalnya untuk membantu kebutuhan internet siswa dalam belajar daring. Faktanya hanya kurang dari 20% siswa yang mampu mengikuti belajar daring (Wakil Ketua Komisi X Abdul Fikri Faqih, 4 April). Padahal kewajiban konstitusional pemerintah adalah mencerdaskan anak-anak bangsa. Sedangkan Pilkada adalah agenda Parpol. Sangat mungkin, Jokowi dan parpol tidak memiliki sense of crisis dalam menghadapi pandemi secara total. Sudah menjadi rahasia umum bahwa momen Pilkada adalah masa panen raya Parpol dari mahar tiket para calon kepala daerah. Kepentingan parpol ini selaras dengan kepentingan Jokowi. Hanya untuk menempatkan anak dan mantu Jokowi menjadi orang nomor satu di Solo dan Medan. Walhasil, tidak ada parpol di parlemen yang mengupayakan Pilkada serentak ditunda. Hiruk pikuk yang terjadi di kalangan elit penguasa dan parpol hanya berkisar pada rebutan kursi dan jabatan. Siapa dapat apa. Padahal rakyat mengharapkan terjadi diskursus besar mengenai kehidupan ekonomi rakyat kecil sebagai fundamental ekonomi nasional. Misalnya dikembangkan wacana tentang bagaimana koperasi yang selama ini hanya jadi pemain ekonomi pinggiran, agar bisa naik kelas menjadi korporasi yang mampu mengerjakan proyek-proyek besar pemerintah. Diskursus ini membutuhkan political will rezim agar dapat terwujud nyata. Atau bagaimana keberpihakan negara pada jalur distribusi ritel rakyat, yang kini dikuasai jaringan korporasi dan konglomerasi hingga ke desa-desa. Kenyataan ini juga perlu political will rezim untuk membatasi ekspansi distribusi ritel korporasi masuk ke desa-desa. Gerbong Oposisi Extra Parlementer Menyikapi situasi negara yang carut marut. Negara yang berjalan tanpa arah. Yang tidak sesuai tujuan pada konstitusi, maka lahirlah Koalisi Aksi Menyelamtkan Indonesia (KAMI). Koalisi yang digagas oleh sejumlah tokoh yang prihatin atas nasib rakyat dan masa depan negeri ini. Disambut meriah oleh berbagai elemen masyarakat di penjuru pelosok tanah air, KAMI diharapkan dapat menjadi kekuatan extra parlementer dalam bingkai pembangunan demokrasi di Indonesia. KAMI telah menjadi pelopornya. Menjadi inspirasi bagi masyarakat lainnya yang punya keprihatinan dan perspektif sama untuk bergabung dengan KAMI. Walaupun demikian, KAMI tetap saja terbuka, dan mengilhami masyarakat lainnya untuk membentuk gerbong-gerbong oposisi extra parlemen lainnya. Ini baik bagi penguatan civil society agar masyarakat tetap dapat menjalankan kontrol terhadap pemerintah di saat parlemen tidak lagi efektif. Biarkan gerbong-gerbong oposisi extra parlemen lahir dan tumbuh dari akar masyarakatnya sendiri. Dan tidak perlu saling mengganggu.Saya yakin, kemunculan gerbong-gerbong oposisi ekstra parlemen selain memperkuat civil society, juga akan membawa semangat perubahan. Biarkan semua ide-ide baru yang merupakan anti-tesa dari situasi saat ini disemai secara alamiah hingga menjadi suatu ide besar. Ide yang akan menyatuan semua kepentingan masyarakat. Kepentingan yang sesuai dengan tujuan bernegara. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS)
Peretasan Terhadap Tempo.co “Pembredelan Gaya Baru”
by Tjahja Gunawan Jakarta FNN – Sabtu (22/08). Pada Jumat dini hari, pukul 00.30 WIB, 21 Agustus 2020, situs berita tempo.co dari Tempo Media Group diretas atau cyber attack. Tampilan situs tersebut hilang dan berganti dengan layar hitam bertuliskan kata Hoax berwarna merah. Sebelum peretasan, situs Tempo hanya menampilkan layar putih dengan tulisan Error 403 sejak pukul 00.01. Di dalam layar hitam ini, tertulis "Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok." Ketika diklik, maka akan beralih langsung ke akun twitter @xdigeeembok. Di twitter, sang pemilik akun menuliskan cuitan #KodeEtikJurnalistikHargaMati pada pukul 00.51 WIB. Cuitan pertama ini juga diikuti dengan cuitan kedua bertuliskan, "Malam Jumat ada yg lembur. Mampus... db bye... bye... bye..." Pukul 00.54 WIB, salah seorang netizen merespon cuitan pertama dengan menggunggah tampilan layar yang sudah diretas. Akun @xdigeeembok pun mengomentarinya dengan menuliskan "Peringatan Mesra". Akun @xdigeeembok yang memiliki 465 ribu pengikut ini selama ini menyuarakan dukungannya pada kampanye omnibus law yang sedang digalang pemerintah. Sementara Tempo membuat laporan dengan narasumber sejumlah pesohor yang terlibat dalam aksi penggalangan dukungan omnibus law di media sosial. Menjelang waktu Subuh Hari Jumat (21/8), situs Tempo sudah pulih kembali. Meski cepat teratasi namun peretasan tersebut dikecam Pemimpin Redaksi Tempo.co, Setri Yasra. Dia menganggap aksi ini merupakan salah satu upaya menggangu kerja jurnalistik yang diatur dalam Undang-undang Pers. "Kami mengecam siapapun yang berupaya mengganggu tugas media dalam memenuhi hak publik atas informasi yang relevan dan terpercaya," katanya seperti dikutip dari Tempo.co. Hingga saat ini tidak ada yang mengetahui dengan pasti orang yang berada dibalik peretasan terhadap Tempo. Yang jelas motif peretasan tersebut diduga bertujuan untuk menakut-nakuti media yang kritis terhadap pemerintah. Loh kok nuduh pemerintah melakukan cyber attack terhadap Tempo ? Ya memang yang melakukan bukan pemerintah (cq. Kementerian Komunikasi dan Informatika-Kemeninfo). Tapi peretasan tersebut sangat boleh jadi dilakukan olah ahli IT yang merupakan kepanjangan kepentingan rezim penguasa. Apalagi kalau memperhatikan anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk ragam aktivitas digital, jumlahnya sangat besar. Berdasarkan temuan dan kajian Indonesian Corruption Watch (ICW), Sejak 2014 hingga tàhun 2020, pemerintah telah menggelontorkan uang sebesar Rp 1,29 triliun untuk belanja terkait aktivitas digital. Aktivitas digital yang dimaksud ialah paket program pengadaan melalui media sosial, YouTube, maupun menggandeng influencer (baca : buzzeRp). Sebagaimana diungkapkan peneliti ICW, Egi Primayogha, Kamis (20/8/2020) siang, lembaganya telah melakukan penelusuran aktivitas pengadaan barang dan jasa (PBJ) di kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) di masing-masing situs LPSE. Ada total 34 kementerian, lima LPNK, dan dua institusi penegak hukum--Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI--yang ditelusuri oleh ICW. Dengan demikian, peretasan terhadap situs Tempo tentu tidak berdiri sendiri, terkait dengan kepentingan kekuasaan. Ketika saya tanya kepada seorang teman di Tempo, dia mengaku para pihak yang terlibat dalam aktivitas peretasan itu susah diidentifikasi karena jumlahnya banyak. "Partikelirnya sangat banyak. Kita sampai susah menebak ini permainan siapa," katanya. Di era rezim Orde Baru, pembredelan media dilakukan melalui otoritas Menteri Penerangan. Alasan pembredelan biasanya terkait dengan pemberitaan yang menjurus kepada sesuatu atau banyak hal yang sangat menyinggung penguasa dan atau lapisan masyarakat tertentu. Majalah Berita Mingguan Tempo pernah mengalami pembredelan pada 21 Juni 1994. Selain Tempo, media lain yang dibredel waktu itu Majalah Editor dan Tabloid Detik. Pembredelan tersebut menjadi momentum dan tonggak awal perlawanan memperjuangkan kebebasan pers. Waktu itu pembredelan diumumkan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko. Pemerintah Orde Baru beralasan pemberitaan Tempo mengenai indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur bisa membahayakan stabilitas nasional. Kini zaman dan rezim penguasa sudah berubah, media massa pun sebagian besar sudah beralih ke platform digital. Sistem pemerintahan sudah beralih dari zaman pemerintahan otoriter ke era reformasi dan demokrasi. Demikian pula media massa telah mengalami perpindahan (shifting) yakni dari era media konvensional (cetak) ke dunia digital (online). Meskipun saat ini kita sudah berada di zaman demokrasi dan hidup di era keterbukaan, namun rezim penguasa sekarang berada dibawah cengkraman oligarki politik dan ekonomi. Kini sekelompok taipan pemilik modal mampu mengendalikan birokrasi dan elite kekuasaan di negeri ini. Oleh karena itu, peretasan terhadap Tempo patut diduga terkait dengan laporan tentang RUU Omnibus Law yang saat ini sedang dibahas di DPR. RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini ditentang para buruh karena dianggap merugikan kelangsungan kerja mereka di perusahaan. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesi (KSPI) Said Iqbal mengatakan, undang-undang yang mengatur bisnis seharusnya juga mengandung unsur perlindungan. "Draf RUU Omnibus Law ini kebalikannya. Bicara investasi, tapi malah mereduksi kesejahteraan buruh. Bukan perlindungan," kata Iqbal sebagaimana dikutip KataData. Ada sembilan alasan mengapa para buruh menolak keras draft RUU Omnibus Law. Pertama, upah minimum Kabupaten/Kota akan dihilangkan. Kedua, pesangon menurun dan tanpa kepastian. Ketiga, pihak perusahaan bisa seenaknya dalam melakukan PHK. Keempat, tenaga ahli daya semakin bebas. Kelima, penghapusan sanksi pidana perusahaan yang melanggar UU Omnibus Law. Keenam, aturan jam kerja yang eksploitatif. Ketujuh, hilangnya jaminan sosial. Kedelapan, karyawan dikontrak tanpa batas. Kesembilan, penggunaan tenaga kerja asing. Jadi sangat masuk akal jika peretasan ini dipicu oleh laporan Tempo soal RUU Omnibus Law karena kalau sampai RUU ini batal disahkan DPR para taipan pemilik modal akan mengalami kerugian besar. Sepanjang RUU ini belum dicabut nampaknya para buruh akan terus melakukan berbagai aksi demo guna menggedor DPR agar bisa membatalkan RUU tersebut. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Peretasan Terhadap Tempo Pembredelan Gaya Baru?
by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Sabtu (22/7). Pada Jumat dini hari, pukul 00.30 WIB, Jumat 21 Agustus 2020, situs berita tempo.co dari Tempo Media Group diretas atau cyber attack. Tampilan situs tersebut hilang dan berganti dengan layar hitam bertuliskan kata Hoax berwarna merah. Sebelum peretasan, situs Tempo hanya menampilkan layar putih dengan tulisan Error 403 sejak pukul 00.01. Di dalam layar hitam ini, tertulis "Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok." Ketika diklik, maka akan beralih langsung ke akun twitter @xdigeeembok. Di twitter, sang pemilik akun menuliskan cuitan #KodeEtikJurnalistikHargaMati pada pukul 00.51 WIB. Cuitan pertama ini juga diikuti dengan cuitan kedua bertuliskan, "Malam Jumat ada yg lembur. Mampus... db bye... bye... bye..." Pukul 00.54 WIB, salah seorang netizen merespon cuitan pertama dengan menggunggah tampilan layar yang sudah diretas. Akun @xdigeeembok pun mengomentarinya dengan menuliskan "Peringatan Mesra". Akun @xdigeeembok yang memiliki 465 ribu pengikut ini selama ini menyuarakan dukungannya pada kampanye omnibus law yang sedang digalang pemerintah. Sementara Tempo sendiri membuat laporan dengan narasumber sejumlah pesohor yang terlibat dalam aksi penggalangan dukungan omnibus law di media sosial. Menjelang waktu Subuh Hari Jumat (21/8), situs Tempo sudah pulih kembali. Meski cepat teratasi namun peretasan tersebut dikecam Pemimpin Redaksi Tempo.co, Setri Yasra. Dia menganggap aksi ini merupakan salah satu upaya menggangu kerja jurnalistik yang diatur dalam Undang-undang Pers. "Kami mengecam siapapun yang berupaya mengganggu tugas media dalam memenuhi hak publik atas informasi yang relevan dan terpercaya," katanya seperti dikutip dari Tempo.co. Hingga saat ini tidak ada yang mengetahui dengan pasti orang yang berada dibalik peretasan terhadap Tempo. Yang jelas motif peretasan tersebut diduga bertujuan untuk menakut-nakuti media yang kritis terhadap pemerintah. Loh kok nuduh pemerintah melakukan cyber attack terhadap Tempo ? Ya memang yang melakukan bukan pemerintah (cq. Kementerian Komunikasi dan.Informatika-Kemeninfo). Tapi peretasan tereebut sangat boleh jadi dilakukan olah ahli IT yang merupakan kepanjangan kepentingan rezim penguasa. Apalagi kalau memperhatikan anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk ragam aktivitas digital, jumlahnya sangat besar. Berdasarkan temuan dan kajian Indonesian Corruption Watch (ICW), Sejak 2014 hingga tàhun 2020, pemerintah telah menggelontorkan uang sebesar Rp 1,29 triliun untuk belanja terkait aktivitas digital. Aktivitas digital yang dimaksud ialah paket program pengadaan melalui media sosial, YouTube, maupun menggandeng influencer (baca : buzzeRp). Sebagaimana diungkapkan peneliti ICW, Egi Primayogha, Kamis (20/8/2020) siang, lembaganya telah melakukan penelusuran aktivitas pengadaan barang dan jasa (PBJ) di kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) di masing-masing situs LPSE. Ada total 34 kementerian, lima LPNK, dan dua institusi penegak hukum--Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI--yang ditelusuri oleh ICW. Dengan demikian, peretasan terhadap situs Tempo tentu tidak berdiri sendiri, terkait dengan kepentingan kekuasaan. Ketika saya tanya kepada seorang teman di Tempo, dia mengaku para pihak yang terlibat dalam aktivitas peretasan itu susah diidentifikasi karena jumlahnya banyak. "Partikelirnya sangat banyak. Kita sampai susah menebak ini permainan siapa," katanya. Di era rezim Orde Baru, pembredelan media dilakukan melalui otoritas Menteri Penerangan. Alasan pembredelan biasanya terkait dengan pemberitaan yang menjurus kepada sesuatu atau banyak hal yang sangat menyinggung penguasa dan atau lapisan masyarakat tertentu. Majalah Berita Mingguan Tempo pernah mengalami pembredelan pada 21 Juni 1994. Selain Tempo, media lain yang dibredel waktu itu Majalah Editor dan Tabloid Detik. Pembredelan tersebut menjadi momentum dan tonggak awal perlawanan memperjuangkan kebebasan pers. Waktu itu pembredelan diumumkan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko. Pemerintah Orde Baru beralasan pemberitaan Tempo mengenai indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur bisa membahayakan stabilitas nasional. Kini zaman dan rezim penguasa sudah berubah, media massa pun sebagian besar sudah beralih ke platform digital. Sistem pemerintahan sudah beralih dari zaman pemerintahan otoriter ke era reformasi dan demokrasi. Demikian pula media massa telah mengalami perpindahan (shifting) yakni dari era media konvensional (cetak) ke dunia digital (online). Meskipun saat ini kita sudah berada di zaman demokrasi dan hidup di era keterbukaan, namun rezim penguasa sekarang berada dibawah cengkraman oligarki politik dan ekonomi. Kini sekelompok taipan pemilik modal mampu mengendalikan birokrasi dan elite kekuasaan di negeri ini. Oleh karena itu, peretasan terhadap Tempo patut diduga terkait dengan laporan tentang RUU Omnibus Law yang saat ini sedang dibahas di DPR. RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini ditentang para buruh karena dianggap merugikan kelangsungan kerja mereka di perusahaan. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesi (KSPI) Said Iqbal mengatakan, undang-undang yang mengatur bisnis seharusnya juga mengandung unsur perlindungan. "Draf RUU Omnibus Law ini kebalikannya, bicara investasi, tapi malah mereduksi kesejahteraan buruh, bukan perlindungan," kata Iqbal sebagaimana dikutip KataData. Ada 9 alasan mengapa para buruh menolak keras draft RUU Omnibus Law. Pertama, upah minimum Kabupaten/Kota akan dihilangkan. Kedua, pesangon menurun dan tanpa kepastian. Ketiga, pihak perusahaan bisa seenaknya dalam melakukan PHK. Keempat, tenaga ahli daya semakin bebas. Kelima, penghapusan sanksi pidana perusahaan yang melanggar UU Omnibus Law. Keenam, aturan jam kerja yang eksploitatif. Ketujuh, hilangnya jaminan sosial. Kedelapan, karyawan dikontrak tanpa batas. Kesembilan, penggunaan tenaga kerja asing. Jadi sangat masuk akal jika peretasan ini dipicu oleh laporan Tempo soal RUU Omnibus Law karena kalau sampai RUU ini batal disahkan DPR para taipan pemilik modal akan mengalami kerugian besar. Sepanjang RUU ini belum dicabut nampaknya para buruh akan terus melakukan berbagai aksi demo guna menggedor DPR agar bisa membatalkan RUU tersebut. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah wartawan senior.
Rezim Buzzer Dan Rezim Keblinger
by Edy Mulyadi Jakarta FNN – Jum’at (21/08). Temuan ICW menyebut bahwa pemerintah dalam rentang 2014-2020 mengalokasikan dana hingga Rp1,1 triliun untuk promo di media sosial (medsos). Dari jumlah tersebut, Polri yang mencdapatkan porsi terbanyak, mencapai Rp937 miliar. Temuan ICW juga menyebut ada anggaran sebesar Rp90,45 miliar untuk membayar para influencer. Bukan mustahil juga ada alokasi dana untuk para BuzzeRp yang terbukti telah berhasil memecah belah anak-anak bangsa. Menciptakan pengelompokan di masyarakat. ICW ini sekali lagi membuktikan bahwa pemerintah telah menggunakan cara-cara yang tidak terhormat dan amburadul. Pemerintah menghalalkan segala cara untuk membungkam oposisi dan kelompok civil society yang kritis kepada kekuasaan. Padahal ciri negara demokrasi adalah kuatnya civil society yang selalu mengkritisi pemerintah. Kecuali kita sepakat menerapkan kekuasaan otoriter. Tugas utama BuzzeRp adalah memuja-muji majikan yang membayar mereka. Tugas tamnahan lainnya adalah menghancurkan karakter orang atau pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan kepentingan sang majikan. Tidak perduli peroslan yang kritik kelompok civil society itu benar atau salah. Yang penting memuji majikan yang bayar dan melawan metreka yang mengkritik majikan. Dalam melakukan tugasnya, mereka menyerang personal pihak yang dianggap kritis terhadap kekuasaan. Mereka tidak segan-segan menggunakan diksi norak, kotor, dan menjijikkan. Narasi mereka jauh dari substansi kritik yang disuarakan "lawan" penguasa. Perilaku rezim yang seperti ini menjadi bukti penguasa tidak peduli dengan beban dan kesulitan rakyat. Ketika sebagian besar rakyat pontang-panting berjuang memenuhi kebutuhan dasar hidup yang harganya makin tak terjangkau, penguasa seenaknya menggelontorkan dana amat besar untuk membyar influencer dan BuzzeRp. Lagi-lagi kerjanya memuji-muji yang membayar. Ada pengakuan dari seorang artis yang dibayar Rp. 5 juta hingga Rp.10 juta untuk setiap kali unggahannya dengan tagar #Indonesiabutuhkerja. Ternyata ini bagian dari kampanye RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang biadab kepada rakyat tersebut. Padahal RUU Omnibus Law Cipta Kerja hanya untuk kepentingan oligarki, korporasi dan konglomerasi. Itu pula yang tampaknya terjadi pada Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Ada ancaman dan intimidasi di awal-awal pembentukan KAMI. Ancaman dan intimidasi terhadap para para deklarator dan rakyat di daerah yang hendak hadir di acara deklarasi. Selain itu, jagad medsos dijejali postingan dan meme yang menyudutkan serta memfitnah KAMI. Tentu saja, sebagai rakyat saya tidak rela uang pajak mereka hanya digunakan untuk membiayai rezim humas, dan rezim buzzer. Ada pertanggungjawaban atas penggunaan uang rakyat secara ilegal. Bukan hanya di dunia, tetapi juga di hingga akhirat. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Terjebak Ilusi Terra Incognita
by Jusman Dalle Jakarta FNN – Jum’at (21/08). Kita cemas. Disergap situasi menegangkan. Menghadapi kondisi yang tak pernah terjadi sebelumnya. Terjebak dalam situasi terra incognita. Krisis kesehatan menjelma jadi krisis ekonomi. Bahkan berpotensi menjadi bola salju krisis politik. Bila tidak ditangani dengan cermat, tampaknya memang itu yang terjadi. Kekuatan politik ekstra parlementer terkonsolidasi. Elemen kritis dari corak yang heterogen berbaris dalam satu baris visi dan misi KAMI. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang baru-baru ini mendeklarasikan eksistensi. Dengan sigap, gerakan opisisi ini membuka daftar dosa pemerintah secara transparan. Deretan kesalahan yang berbungkus rapi dalam kemasan konstitusi. UU No 2 tahun 2020 misalnya, yang mempreteli fungsi anggaran DPR. Fungsi yang jadi puncak refleksi kedaulatan rakyat dalam mengelola uang pajaknya. Kedaulatan itu direnggut. Masih banyak daftar dosa pemerintah yang lain. Termasuk gagal mengendalikan Covid-19 yang muluk-muluk dijanjikan melandai pada bulan Juni. Yang terjadi malah sebaliknya. Rekor-rekor anyar tercatat. Rekor buruk yang menjerumuskan Indonesia ke kelompok negara yang gagal menangani pandemi. Indonesia bahkan nangkring di peringkat 3 dari terbuncit. Di antara 100 negara yang disigi oleh Deep Knowledge Group. Dalam penelitian bertajuk The 100 Safest Countries In The World For Covid-19. Sekelumit fakta itu mengingatkan kita pada pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Direktur Jenderal WHO. Tedros Adhanom Gebreyesus bilang, bahwa ancaman terbesar kita adalah Covid-19. Apalagi kita berhadapan dengan kepemimpinan yang lemah. Sialnya, kepemimpinan yang lemah itu tersaji vulgar. Sengkarut problem yang membelit tak bisa disembunyikan. Apalagi sekadar dipoles citra dan pariwara. Mengerahkan buzzer rupiah untuk manipulasi opini. Masalah tidak bakal selesai hanya di situ. Malah tambah runyam. Pembekuan ekonomi dan pandemi ini dirasakan ke sumsum kehidupan masyarakat. Merata. Hingga ke pelosok daerah. Negara-negara tetangga sudah berjatuhan. Terperosok ke klub resesi. Thailand paling baru. Menyusul Singapura dan Filipina. Malaysia juga sudah mengalami resesi teknikal. Seperti nasib Indonesia. Kini, di bawah bayang-bayang resesi pemerintah mengerahkan energi. Berupaya menggenjot sektor konsumsi rumah tangga. Pembatasan sosial dolonggarkan. Aktivitas publik dibuka terbatas dengan tetap berpedoman pada protokol kesehatan. Terutama mal, pasar dan kegiatan perkantoran. Pertanyaannya, kenapa konsumsi menjadi penting? Lantaran, sektor inilah yang menjadi tumpuan ekonomi Indonesia. Konsumsi rumah tangga menyumbang 57,85% kue ekonomi nasional. Selebihnya terbagi ke investasi (30,6%), belanja pemerintah (8,67%), belanja lembaga non pemerintah (1,36%), serta ekspor dan impor (1,4%). Begitu konsumsi mandek, ekonomi anjlok. Itu pasti. Itulah yang terjadi pada kuartal II. Sepanjang April-Juni, ekonomi mengalami kontraksi -5,32%. Ekonomi tersungkur. Jatuh akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dicanangkan sejak pandemi Covid-19 mulai merebak. PSBB mengakibatkan aktivitas ekonomi membeku. Momentum puasa dan lebaran dilewatkan tanpa capaian mengesankan. Biasanya, di sinilah periode puncak konsumsi. Tahun ini momentum tersebut dilampaui dengan catatan jauh di bawah espektasi. Namun upaya pemerintah memacu sektor konsumsi rumah tangga, terbentur kenyataan krisis yang menggerogoti. Imunitas finansial masyarakat mulai ambruk. Roboh terinfeksi Covid-19. Maka dibuatlah berbagai program jaring pengaman sosial. Ada program keluarga harapan. Bantuan langsung tunai desa. Insentif Rp 600 ribu perbulan untuk pekerja swasta dan berbagai jenis bantuan lainnya. Untuk satu tujuan. Memompa konsumsi. Masuk Jebakan Jaring pengaman sosial itu memang sangat layak diapresiasi. Jika penerimaan negara dan APBN terkendali. Skema bansos jadi sekoci penyelamat daya beli. Redistribusi kekayaan. Persis konsep zakat dalam ajaran Islam. Dalam konteks bansos ini, melalui instrumen APBN. Persoalannya, saat ini pemerintah tidak punya uang. Terjepit di ruang fiskal yang sempit. Sehingga jurus klasik dikeluarkan. Menganggarkan bantuan sosial dengan sumber pendanaan dari utang. Akibatnya, rasio utang terhadap output perekonomian RI tahun 2020 melompat. Diperkirakan jadi sebesar 38% terhadap PDB. Sehingga pembiayaan pandemi Covid-19 dipastikan menimbulkan beban di masa depan. Masalah berikutnya, memacu konsumsi justru berakibat menciptakan efek semu pemulihan ekonomi. Ekonomi kelihatan bergerak. Tapi bermuara ke sektor industri dan konglomerasi. Karena pemicunya konsumsi. Dampaknya, upaya pemulihan ekonomi itu tidak konkret menyelesaikan problem mendasar di level masyarakat bawah. Ketimpangan terjadi. Problem kesenjangan ini bahkan diperkirakan bertambah dalam akibat pandemi. Perlu dicatat, Indonesia selalu masuk dalam daftar negara dengan tingkat ketimpangan yang parah. Data Credit Suisse tahun 2019, 1% konglomerat menguasai 45% kekayaan nasional. Data INDEF malah 75% pendapatan nasional terakumulasi ke 10% penduduk. Menggenjot konsumsi bakal semakin memperdalam jurang ketimpangan tersebut. Sebab energi konsumsi yang mengalir dari kantong jutaan rakyat, bermuara ke segelintir industrialis. Yang jumlahnya 1%-10% penduduk. Mereka yang mendominasi perekonomian dari hulu sampai hilir. Mereka menguasai mulai ari sektor perkebunan, perdagangan hingga fast moving consumer goods (FMCG). Produk konglomerasi ini yang menguasai rak-rak minimarket dan etalase di warung-warung pinggir jalan. Mulai dari odol, rokok, mie instan hingga sabun mandi. Konsumsi yang dipacu akhirnya menciptakan efek semu. Kita seolah menyaksikan orkestrasi ekonomi yang dipicu konsumsi. Tapi itu hanya ilusi. Gemuruh ekonomi yang semu. Deru akumulasi kapital terkonsentrasi kepada para oligarki ekonomi. Sementara pada saat yang sama, elit ekonomi itu, juga menikmati insentif seperti keringanan pajak dan berbagai jenis bantuan lain dari pemerintah. Idiom lawas, “yang kaya makin kaya yang miskin kian melarat” terbukti terjadi. Angus Deaton, peraih nobel ekonomi tahun 2015 sudah mewanti-wanti. Pandemi memperparah disparitas. Tanpa kehati-hatian, kebijakan pemerintah di berbagai belahan dunia memperkaya sekelompok kecil konglomerasi bisnis. Itu yang terjadi. Yang lebih parah, pemerintah ikut andil. Secara aktif dalam menciptakan situasi pelik. BUMN-BUMN diinjeksi dana jumbo. Agar bisa tetap eksis di tengah krisis. Termasuk dibiarkan berkompetisi dengan usaha-usaha rakyat. Sementara UMKM dan sektor riil dibiarkan bertaruh keberuntungan. Memang insentif dijanjikan. Serta berbagai jenis bantuan. Tapi melalui proses yang rumit. Insentif dan bantuan belum juga cair. Usaha yang menggerakkan sektor riil itu sudah menggelepar duluan. Bertekuk di hadapan Covid-19 yang diperparah sistem birokrasi dan data yang amburadul. Ini realitas yang memilukan. Indikasi jika negara ini memang salah kelola. Akhirnya, kita tidak bisa berharap banyak di balik agenda pengendalian Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Semua energi pemulihan yang dikerahkan akan terbuang percuma. Karena memang tidak punya pijakan kuat. Rapuh dari atas dan kekuasaan. Sialnya, pemerintah tampak menganggap kebijakan-kebijakan itu sudah on the track. Padahal, bangsa tengah digiring terjebak fantasi. Tersesat di wilayah asing tak bertuan. Fatamorgana yang selamanya tak menyelesaikan masalah. Ilusi terra incognita. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tali Foundation.