OPINI

Pemerintah Yang Buat Kekacauan Akibat Omnibus Law?

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Senin (19/10). Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) panen kegagalan. Sejak semula, berbagai kritik dan saran telah kita sampaikan kepada pemerintah. Baik itu kritik secara terbuka di hadapan publik, melalui diskusi dan seminar, maupun melalui jalur lembaga-lembaga resmi negara. Kritik itu ada yang didengar, namun ada juga yang tidak. Ada juga yang dianggap sebagai angin lalu saja. Namun beberapa persoalan yang telah dikritisi itu, justru menjadi kenyataan sekarang. Intinya, pemerintah telah gagal dalam membuat kebijakan program dan proyek-proyeknya yang paling dibanggakan tersebut. Pertama, sebanyak 14 Paket Kebijakan yang diterbitkan pemerintah, dengan menelan biaya dan tenaga besar. Namun semuanya gagal. Paket-paket kebijakan tersebut berisi kegiatan obral sumber daya alam dan sumber daya ekonomi. Namun paket-paket itu keliru, dan gagal dalam menerjemahkan keadaan nasional dan internasional. Kerjanya amatiran dan recehan. Akibatnya berantakan semua. Kedua, kebijakan tax amnesty untuk mencari uang Rp 10.000 triliun rupiah. Kebijakan ini juga gagal dan berantakan semuanya. Tax amnesty adalah proyek pengampunan pajak. Namun dalam kenyataan menjadi proyek pengampunan piutang negara dan pengampunan para koruptor, pelaku penggelapan pajak, dan pengampunan para peternak uang kotor. Akhirnya tax amnesty yang tadinya berorientasi ke luar untuk memgejar harta para koruptor, digeser ke dalam negeri. Akibatnya adalah menghapus banyak sekali piutang pajak pemerintah yang belum tertagih kepada pengusaha di dalam negeri. Ini kebijakan yang ngaco, ngawur, dan bebal. Ketiga, meskipun tidak ada uang, pemerintah memaksakan ambisi pembangunan infrastruktur. Lalu dipaksakan lagi dengan mega proyek energi listrik 35.000 Mw, mega proyek kilang, dan sekarang mega proyek ibukota baru. Semua mega proyek ini tidak hanya gagal, namun juga tidak properly. Sehingga mewariskan beban utang dan pemeliharaan dimasa depan yang tak dapat dibiayai. Wajah Buruk Pembuat UU Akibat dari berbagai kegagalan di depan mata ini, para pemikir ekonomi di lingkaran kekuasan menuduh adanya tumpang tindih regulasi. Tidak singkronnya berbagai program dan proyek pemerintah, serta benturan kepentingan antara penyelenggara negara, yakni pemerintah, legislatif, yudikatif dan pemeintah daerah, sebagai penyebab dari kegagalan rencana pemerintah. Padahal semua UU mereka (DPR dan Pemerintah )yang buat sendiri. Mereka yang bikin tumpang tindih sendiri. Mereka yang buat situasi berantakan sendiri. Jadi kesimpulannya, pemerintahan ini jelas menuduh diri mereka sendiri sebagai pembuat kekacauan (chaos). Bukan yang lain. Lalu dibuatlah Omnimbus Law. Tujuannya menghilangkan berbagai hambatan regulasi, mensingkronisasi regulasi yang bertentangan, dan mengintegrasikan kembali kelembagaan pemerintah yang selama ini kepentingannya berbenturan. Namun Omnibus Law yang tadinya diharapkan bisa membuat stabilitas politik dan ekonomi, malah yang terjadi sebaliknya. Menjadi sumber kekacauan baru ngeri ini. Setidaknya ada tiga hal yang akan tercipta dari Omnibus Law. Pertama, ketidakpastian regulasi di bidang ekonomi, politik dan sosial akan makin parah. Perubahan UU sekaligus dalam jumlah banyak, akan membuat dunia usaha bingung. Bagaimana mereka dapat beradaptasi dengan aturan-aturan baru yang akan turun setelah Omnibus law? Kedua, ketaatan pada hukum makin buruk. Ini dikarenakan regulasi yang berubah-ubah. Terjadi banyak benturan dengan regulasi internasional yang telah diratifikasi pemerintah. Omnibus Law berdasarkan draft yang beredar, banyak sekali bertentangan dengan aturan aturan internasional di bidang lingkungan hidup, perburuhan atau ketenagakerjaan, dan norma demokrasi serta hak azasi manusia. Kitiga, Peraturan Pemerintah, Perpres, serta Kepmen berikutnya yang menjadi aturan pelaksana UU Omnibus Law rawan diperjual belikan. Ini dikarenakan banyaknya aturan itu sendiri, dan kepentingan diantara oligarki yang bersaing memperebutkan hal-hal yang akan diatur berikutnya. Dampaknya ke depan, akan banyak masalah yang bisa muncul. Misalnya, kekosongan hukum, atau aturan yang hanya bersumber dari pesanan pihak pihak tertentu. Bahkan sangat mungkin berakibat chaos dalam praktek penyelengaraan negara, pemerintahan, ekonomi dan sosial politik. Barangkali ada setitik niat baik dalam penyusunan Omnibus Law. Namun sejak semula perubahan sekitar 73 UU ini dipandang tidak demokrastis. Juga tidak transparan, dan tidak akuntable. Pihak internasional justru memandang Omnibus law membahayakan masa depan investasi, ketenagakerjaan dan lingkungan hidup di Indonesia. Sementara di dalam negeri terjadi penolakan yang begitu masiv dan keras dari buruh, mahasiswa, pelajar dan umat Islam. Mengapa bisa terjadi demikian? Ada yang salah dengan penyelenggara negara dan pemerintahan ini. Tetapi salah itu apa ya? Ada Yang Menginginakan Chaos Dalam dua dekade terakhir, sejak UUD 1945 diamandemen, Indonesia disebut berada dalam masa transisi. Jangankan waktu yang cukup panjang memang. Suasan politik dan ekonomi penuh dengan ketidak pastian. Dalam hal regulasi terjadi beberapa masalah yang timbul. Pertama, peraturan perundang-undangan terus diproduksi setiap waktu dalam hitungan hari dan bulan. Peraturan baru terus saja bermunculan. Peraturan lama berganti dengan yang baru sangat cepat dan begitu mudah. Akibatnya, semua cemas menunggu UU yang baru dan baru lagi. Kedua, peraturan perusahan dapat dibatalkan setiap saat. Baik oleh individu, maupun badan hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Orang pun resah apakah sebuah Undang-Undang yang baru lahir akan dibatalkan lagi atau tidak. Makin tidak pasti regulasi tersebut. Ketiga, banyak regulasi yang telah dibatalkan oleh MK. Namun pemerintan tidak juga membuat aturan pelaksanaannya. Pemerintah sepertinya enggan melaksanakan putusan MK tersebut. Lalu UU yang mana yang harus dijadikan pegangan? Lagi-lagi membingungkan pemerintah ini. Keempat, banyak UU yang pada tingkat pelaksanaannya dilanggar oleh pemerintah sendiri. Karena pesanan dari pengusaha, pesanan asing dan lain sebagainya. Jadi peraturan pelaksanaan UU ternyata rawan menjadi obyek pesanan para pengusaha. Kelima, banyak lembaga baru yang dilahirkan oleh UU. Terjadi persaingan, rebutan peran antara kementrerian dan lembaga dalam mengejar proyek akibat lahirnya suatu Undang-Undang. Makin kacau karena pelaksananya terlibat dalam konflik kepentingan. Kesemua itu melahirkan kondisi chaos dalam pelaksanaan negara dan pemerintahan. Terjadi kekacauan dalam regulasi. Aadanya tumpang tindih regulasi, tumpang tindih birokrasi dikarenakan tumpang tindih kepentingan. Aakibat dari kehidupan bernegara dan pemerintahan yang serba kacau balau. Implikasinya negara tidak memiliki kesempatan menegakkan aturan. Aparat hukum juga tidak leluasa menegakkan aturan. Oknum aparat negara rawan menjadi kaki tangan pengusaha, agar menegakkan aturan tertentu saja. Tidak menegakkan aturan lainnya, agar kepentingan sang pengusaha langgeng. Ada menteri dan anggota DPR yang juga pengusaha. Sehingga memproduksi aturan hanya untuk melindungi kepentingan binsis mereka sendiri. Dan tampaknya langkah itu banyak membawa hasil. Banyak pejabat sekaligus pengusaha berhasil menjadi kaya raya dalam masa transisi ini. Dalam situasi ketidakpastian dan chaos ini, kita menyaksikan negara dikuasai para pebisnis. Tampak sekali sebagian aturan ditegakkan untuk kepentingan bisnis meraka. Sebagian yang lain tidak ditegakkan agar mereka semakin kaya. Inilah keadaan paling chaos dalam praktek kehidupan bernegara. Mereka telah belajar bagaimana merancang situasi ketidakpastiandan chaos itu. Melalui Omnibus Law, mereka secara efektif telah menyisir UU yang tidak menguntungkan bisnis mereka. Menghabisi pasal pasal dalam 79 UU yang dapat memperkaya oligarki kekuasaan. Mereka bisa saja membuang pasal yang dipandang menghambat, yang seringkali menyangku kepentingan orang banyak. Itulah Omnibus Law. Dalam dua dekade transisi yang chaos ini, para konglomerat busuk, taipan kelas kakap menjadi semakin kaya raya. Mereka tak tersentuh hukum. Mereka menguasai politik secara penuh. Uang terkonsentrasi pada segelintir orang kaya. Sebagian besar kekayaan dikuasai segelintir konglomerat. Akibatnya, kekayaan empat orang kaya Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta penduduk negeri ini. Koefisien gini ratio meningkat. Yang kaya makin kaya, bandar makin kaya. Rakyat makin miskin. Harap sabaaaaaaaaaaaaar lagi. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).

Bahaya, Ali Ngabalin Ditunggangi ISIS

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (19/10). Setelah menyembur kalimat "sampah demokrasi" untuk pendemo Undang-Undang Cipta Kerja (Cilaka) beberapa hari lalu, kini mulut Ali Muchtar Ngabalin kembali menyemprot pendemo lagi. Kali ini dengan bahasa "Waspadai ISIS". Rupanya berseri umpatan demi umpatan Bapak Tenaga Ahli Utama (TAHU) ini he he hee. Terkesan lucu dan menjengkelkan, pria yang bersorban ini. Apalagi berusaha merepresentasi diri sebagai "tokoh Islam", tetapi gemar menyakiti umat Islam ini. Misalnya, ceramah "Trinitas" di gereja telah memporak-porandakan akidah. Khas karakter manusia pencari muka. Muka dicari-cari, entah lupa kalau menyimpen dimana ? Mungkin tertinggal di pintu gerbang istana? He he heee. ISIS yang sudah ditempatkan di museum purbakal, kini dibuka-buka kembali oleh Tuan TAHU. Engga kejauhan tuh menghubungkan aksi unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cilaka Omnibus Law dengan ISIS? Harus pergi ke Irak dan Suriah segala. Kasihan buruh dan mahasiswa yang sudah rela menanggung segala risiko untuk berunjuk rasa, eh ditunggangi ISIS kata Ali Ngabalin. Justru yang terjadi adalah Ali Ngabalin yang kemungkinan saja ditunggangi oleh ISIS. Ini yang harus diwaspadai. Ikatan Sahabat Ideologi Sesat (ISIS). Apalagi kalau ideologi Kapitalis dan Komunis. Kedua ideologi inilah yang sedang diperjuangkan oleh ISIS agar Undang-Undang Omnibus Law Cilaka sukses merusak NKRI. Ali Ngabalin kok mau maunya menjadi corong ISIS sih? Undang-Undang Omnibus Law Cilaka ditolak buruh, mahasiswa, pelajar dan umat Islam karena sangat menguntungkan pemilik modal dan pengusaha licik, picik, tamak dan culas. Juga dianggap merugikan hak-hak para pekerja. Ketidakadilan ini yang dikritisi sekarang. Sukses Omnibus Law adalah kemenangan kaum kapitalis dan komunis. Pahami itu baik-baik Ali Ngabalin. Disisi lain, satu Undang-Undang yang memakan dan menghilangkan banyak undang-undang adalah jalan bagi otoritarianisme. Kewenangan Pemerintah Daerah banyak yang diambil dan ditarik ke Pemerintah Pusat. Hegemoni kekuasaan semakin nampak. Ratusan peraturan pelaksanaan yang dibuat merupakan kewenangan penuh Pemerintah, baik melalui Peraturan Pemerintah, Kepres, dan Keputusan Menteri. Ini tidak lain adalah jalan untuk menjadikan Undang-Undang Omnibus Law Cilaka sebagai pintu masuk pengembangan sistem ekonomi komando yang dikenal dengan etatisme-sosialisme. Embrio dari komunisme. Ali Ngabilin perlu belajar ekonomi komando dan perizinan sentralitik yang hari ini dipraktekan oleh pemrintah komunis Republik Rakyat China (RRC). Spektrum luas yang hendak dicakupi dari Undang-Undang Omnibus Law Cilaka, ternyata bukan saja terfokus pada aspek-aspek ekonomi semata. Namun lebih dari aspek ekonomi itu. Kanyatan inilah membuat Undang-Undang Omnibus Law Cilaka menjadi aturan yang sanbgat berbahaya. Aturan sesat yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Nah tuan Ali Ngabalin perlu diwaspadai. Sebab kini anda sedang ditunggangi oleh kelompok ISIS (Ikatan Sahabat Ideologi Sesat). Ideologi yang bersembunyi di balik sorbanmu atau mungkin dalam otakmu. Selamat bersahabat dengan kaum kapitalis dan komunis. Penulis adalah Pemerhati Ali Ngabalin.

Demokrasi Jujur Versus Munafik

by Imam Shamsi Ali Makasar FNN – Senin (19/10). Konon Demokrasi itu dipahami sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Artinya, kekuasaan tertinggi itu sesungguhnya ada di tangan rakyat. Pengertian di atas tentunya sebagai pemahaman demokrasi yang berbentuk liberal. Bahwa Demokrasi liberal memang semuanya terpusat pada manusia. Manusia memang menempatkan diri sebagai superman dalam hidupnya. Pemahaman ini tentunya merupakan antitesis dari konsep teokrasi atau konsep bernegara yang berdasarkan kepada paham agama secara mutlak. Dimana pemerintah diyakini sebagai “representasi Tuhan”. Karenanya memiliki hak sacara mutlak untuk menentukan urusan publik sesuai keyakinan dari agama yang dianutnya. Antara paham Demokrasi liberal dan konsep negara teokrasi sesungguhnya memilki kecenderungan yang sama. Keduanya adalah konsep yang rentang melahirkan “absolutisme” yang dapat merugikan negara atau bangsa. Konsep Demokrasi liberal, rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sering mengantar kepada paham dan praktek hidup yang sesuai dengan kecenderungan rakyat banyak. Hal ini tentu sangat berbahaya. Karena kebenaran dan kebatilan, khususnya yang berkaitan dengan agama dan moralitas, akan ditentukan oleh arah suara rakyat mayoritas. Jika mayoritas rakyat itu sadar agama dan moralitas tentu masih positif. Tetapi, jika mayoritas rakyat telah menyeleweng dari nilai-nilai “kefitrahan” kemanusiaan, maka akan terlahir kemudian kebijakan-kebijakan publik yang bertentangan dengan fitrah manusia. Sebaliknya, pada konsep teokrasi, kekuasaan tertinggi ada pada pemimpin (Imam) yang diyakini sebagai wakil Tuhan di bumi. Dan karenanya, atas nama agama atau Tuhan, kebijakan publik semuanya ditentukan oleh pemimpin, Imam atau Khalifah. Masalahnya adalah pemimpin itu walaupun memang diyakini sebagai Wakil Tuhan (khususnya dalam konteks pemerintahan Syiah), tetapi pastinya mereka adalah tetap manusia yang memiliki semua kecenderungan manusia itu (hawa nafsu, dan lain-lain). Maka, sebagaimana teori yang mengatakan bahwa “power tend to corrupt” (kekuasaan cenderung korup atau merusak). Paham teokrasi ini tidak jarang berakhir pada “kekuasaan mutlak” (diktatorship) yang melahirkan kesemena-menaan dan manipulasi dalam kebijakan publik dan menejemen negara. Disinilah kemudian Islam dan praktek publik (kenegaraan) Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam mengambil jalan tengah (wasatiyah). Mengambil sebuah sistim yang di satu sisi memberikan hak otoritas (kekuasaan) kepada penguasa. Taat kepada penguasa (umara) dapat dipandang sebagai taat kepada Allah dan RasulNya). Namun di sisi lain, Islam memberikan hak yang dijaga dan dijamin untuk rakyat. Bahkan dalam konteks tertentu, rakyat wajib melakukan koreksi kepada kekuasaan. Bahwa kekuasaan itu tidak lain adalah amanah dari Allah, sekaligus tanggung jawab untuk memberikan pelayanan (khidmah) kepad rakyat. Jika kita menelusuri karakter pemerintahan Islam dalam perjalanan sejarahnya, bahkan dari zaman Rasulullah Salallaahu Alaihi Wassallam di Madinah, memiliki kecenderungan menapak jalan pemerintahan yang “tawazun” (imbang). Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam bahkan sebagai Rasul dan nabi kita yakini menerima wahyu dalam segala urusan aspek kehidupan. Tetapi kesadaran akan hak rakyat dalam tatanan kehidupan publik (negara) Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam juga tidak jarang menerima masukan dari para sahabat. Bahkan beberapa kali justeru apa yang diinginkan oleh Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam berbeda dengan keinginan mayoritas umat. Dan Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam kemudian mengambil pendapat mayoritas selama tidak melanggar prinsip ajaran agama.Salah satunya yang kita ingat dalam sejarah adalah kisah perang Khandak atau Parit ketika itu. Juga dalam hal tawanan perang Badar, dimana beliau menerima pendapat Abu Bakar Assinddiq Radiyallaahu Anhu ketimbang pendapat Umar Bin Khatab Radiyallaahu Anhu. Belakangan justeru yang dikonfirmasi oleh Allah adalah opini Umar Ibnu Khatthab Radiyallaahu Anhu. Pemerintahan Islam yang imbang itu sangat nampak dalam proses pembentukan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam prosesnya, Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam melibatkan seluruh unsur masyarakat Madinah dari semua kalangan. Padahal realitanya sekali lagi beliau adalah seorang Rasul yang pastinya “tidak mengatakan sesuai keinginannya (hawa nafsu), tetapi dengan wahyu yang disampaikan kepadanya” (ayat). Para Khulafa Rasyidin semuanya disatu sisi menerima kekuasaan itu sebagai amanah Allah. Tetapi amanah itu dalam konteks “khidmatul ibaad” (pelayanan kepada hamba-hambaNya). Namun disisi lain, mereka semua sadar bahwa rakyat disatu sisi adalah “ra’iyah” (yang digembala, dijaga, diperhatikan, dilayani, dan seterusnya). Namun disisi lain mereka juga memiliki hak dan atau kewajiban untuk mengawal dan mengoreksi kekuasaan itu jika menyeleweng. Disaat Abu Bakar Assiddiq Radiyallaahu Anhu menerima amanah kekuasaan ketika itu, beliau berdiri dengan pedang terhunus seraya menyampaikan, “saya telah dipilih sebagai pemimpin dan belum tentu saya yang terbaik diantara kalian. Maka bantulah saya dalam mengemban amanah ini. Tetapi jika saya menyeleweng, maka luruslan saya dengan pedang ini”. Demikian pula Umar Bin Khatab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib Radiyallaahu Anhu. Semua pemimpin Islam dalam sejarah yang konsisten dengan ajaran Islam. Semuanya menyadari, jika kekuasaan itu adalah amanah Allah untuk memberikan prlayanan terbaik kepada hamba-hambaNya. Oleh karena itu, dalam konsep nation state saat ini, dimana Demokrasi menjadi konsensus dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, Umat Islam dan bangsa Indonesia tentunya akan selalu konsisten dengan pemahaman yang imbang itu. Bahwa pemerintah (kekuasaan) punya hak otoritas untuk mengelolah negara dan bangsa. Tetapi juga sadar bahwa dalam tatanan kehidupan bernegara yang demokratis, rakyat memiliki hak (bahkan kewajiban) untuk mengoreksi kekuasaan yang cenderung korup tadi. Saya yakin konsep demokrasi imbang inilah yang dianut di Indonesia. Apalagi memang Indonesia bukan negara agama. Tetapi juga bukan negara sekuler liberal. Maka jalan tengah (wasatiyah) menjadi pilihan, bahkan karakter kehidupan bernegara dan berbangsa kita. Semua itu tentunya terpatri dalam konsep Pancasila yang secara filsafat menyatukan nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebangsaan. Harapan kita, tentunya pemahaman imbang (tawazun) atau moderat (wasatiyah) harus dipertahankan secara konsisten. Bahwa pemerintah punya hak untuk mengelolah negara berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya. Tetapi disisi lain, rakyat punya hak, bahkan sekali lagi pada tataran tertentu menjadi kewajiban sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, untuk melakukan koreksi kepada kekuasaan. Pada saat rakyat mengambil hak atau melakukan kewajiban koreksi kekuasaan inilah, maka seringkali kemudian pemerintah teruji dalam konsistensi demokrasinya. Apakah siap untuk dikoreksi sebagai konsekwensi paham demokrasi yang dibanggakan itu? Atau sebaliknya, justeru alergi terhadap kritikan lalu melakukan reaksi yang justeru antitesi terhadap konsep demokrasi itu. Kritikan atau koreksi masyarakat dianggap ancaman, lalu terjadi kriminalisasi kepada rakyat. Kalau itu terjadi, sesungguhnya telah terjadi kemunafikan yang nyata atas nama demokrasi itu sendiri. Semoga saja tidak! Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation.

Pendapatan Pemerintah Cekak, Utang Segunung

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Ahad (18/10). Utang luar negeri dibagi dalam utang pemerintah, dan swasta. Kedua duanya hampir sama besarnya. Sekarang keduanya menghadapi masalah besar, yakni kesulitan untuk membayar kembali utang. Mengapa bisa demikian? Ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang menurun. Sementara utang bergerak ke arah yang sebaliknya. Jumlahnya semakin meningkat. Padahal kesulitan ekonomi yang dihadapi pemerintah ditutup kembali dengan utang. Kemana uang utang ini selama ini mengalir? Dalam logika yang dibangun para intelektual, bahwa utang luar negeri merupakan cara untuk meningkatkan pendapatan suatu negara. Mereka mengklaim ada korelasi antara peningkatan utang dengan peningkatan pendapatan. Ada logika bahwa makin tinggi utang, maka makin tinggi pendapatan. Apa itu pendapatan? Pendapatan suatu negara diukur dengan indikator Produk Domestik Bruto (PDB). Indonsia adalah negara dalam kelompok G-20 atau negara dengan GDP terbesar di dunia. Namun setelah dibagi dengan jumlah penduduk menjadi GDP perkapita, maka Indonesia menjadi negara G-20 dengan GDP perkapita yang rendah. Bahkan di ASEAN sekalipun. Kemana Uang Utang Mengalir? Utang luar megeri swasta tentu mengalir ke kantong kantong swasta. Perusahaan swasta Indonesia utangnya sangat besar dibandingkan skala ekonomi mereka. Termasuk juga BUMN. Umumnya mereka memiliki utang yang sangat besar. Sementara bisnis mereka tidak merangkak naik. Segitu gitu saja. Nah pertanyaan muncul. Kemana uang utang luar negeri pemerintah dan BUMN mengalir selama ini? Mengapa pendapatan masayarakat tidak merangkak naik, atau tidak berkorelasi positif dengan kenaikan utang pemerintah dan BUMN? Utang pemerintah jelas dialirkan kepada proyek-proyek pemerintah. Dengan demikian, utang pemerintah mengalir ke kantong kantong swasta dalam negeri. Demikian juga dengan utang BUMN, yang mengalir ke proyek-proyek BUMN yang dikerjakan oleh swasta dalam negeri. Itulah mengapa utang pemerintah dan BUMN juga untuk swasta. Dalam lima tahun terakhir, terjadi peningkatan besar dalam utang luar negeri pemerintah. Sementara utang luar negeri swasta relatif stagnan. Penurunan harga komoditas dan penurunan permintaan global merupakan salah satu penyebab swasta sulit dapat utang. Akibatnya, swata bersandar penuh pada utang pemerintah dan BUMN. Proyek-proyek pemerintah dan BUMN yang dibiayai dengan utang, telah menjadi andalan swasta untuk dapat survive. Tanpa proyek-proyek pemerintah, maka mustahil swasta Indoneaia masih bisa bertahan sampai hari ini. Akibatnya, utang pemerintah meningkat dengan sangat cepat karena harus membiayai dan mempertahankan bisnis swasta yang terancam gulung tikar. Gunung Es Utang Pemerintah Untuk memompa ekonomi yang tengah lesu dalam lima tahun terakhir, terhitung sejak penurunan harga komoditas, pemerintah berusaha memompa. Caranya dengan merancang berbagai mega proyek yang semuanya dibiayai dengan utang. Maka dirancanglah 14 paket kebijakan ekonomi, untuk mendukung mega proyek ketenagalistrikan 35 ribu megawatt, mega proyek tol, jalan, jembatan, bendungan dan lain sebagainya. Mega proyek kilang minyak, smelterisas, hingga peoperti melalui reklamasi dan ibukota baru. Memang semua proyek proyek itu relatif tidak rampung, atau boleh dikatakan gagal. Namun utang pemerintah dan BUMN terus meningkat. Terutama yang bersumber dari dalam Negeri. Pada saat mega proyek itu semua dirancang, tampaknya memang sudah mengincar dana dana masyarakat yang ada di dalam negeri, di bank dan di lembaga keuangan dalam negeri. Digunakanlah sebagian besar dana masyarakat untuk mendukung mega proyek tersebut. Dana-dana ini berasal dari dana haji, dana Jamsostek, dan Taspen, Dana Asabri, Dana Pensiun di perusahaan asuransi, dan lain-lian yang digunakan oleh pemerintah untuk mega proyek infrastruktur tersebut. Belakangan ini pemerintah memberanikan diri menggunakan dana tabungan masyarakat di bank untuk membiayai APBN. Melalui Perpu Nomor 1/2020 dan selanjutnya disyahkan melalui UU Nomor 2/2020, pemerintah memakai dana bank yang ada di BI untuk membiayai APBN. Pemerintah menyebut sebagai Quantitative Easing (QE). Caranya, dengan meminta Bank Indonesia (BI) membeli surat utang negara secara langsung melalui pasar perdana. Program ini sebetulnya sama dengan BLBI. Kalau BLBI, dana untuk suntik bank dari BI. Kalau yang ini dana untuk suntik APBN dari BI. Nanti dana dana ini akan dipake oleh pemerintah untuk menyuntik swasta dan BUMN. Akibatnya utang pemerintah meningkat, dan semakin menggunung. Baik yang bersumber dari luar negeri maupun utang pemerintah kepada masyarakat, pensiunan, jamaah haji, nasabah asuransi dan nasabah bank. Entah bagaimana cara pemerintan nanti dapat membayarnya. Apalagi dalam skema ekonomi covid, Indonesia tampaknya akan terpuruk, karena tidak ada persiapan yang memadai menghadapi era digitalisais dan online yang merupakan tools ekonomi saat ini. Pendapatan Pemerintah Rendah Mega proyek swasta yang dibiayai pemerintah ini tidak banyak menghasilkan multiflier efek terhadap ekononomi. Proyek yang dibiayai dengan utang ini umumnya ditopang oleh barang barang impor. Bahan baku impor. Besi baja, paku, kawat impor, dan mesin mesin impor. Bahkan tenaga kerja pun impor. Proyek-proyek yang dibiayai dengan utang tidak banyak menciptakan kesempatan berusaha bagi Usaha Menengah, Kecil an Mikro ( UMKM). Apalagi dalam menopang pertanian, perikanan dan sektor primer lainnya. Ueuntungan yang diperoleh swasta dan BUMN atas proyek proyek yang dibiayai APBN ini habis untuk membayar utang utang mereka. Tidak ada yang berputar menjadi darah ekonomi dalam negeri. Bahkan belakangan ini, suntikan dana pemerintan kepada swasta swasta habis untuk menopang utang utang swasta yang besar. Jadi utang pemerintah ke luar negeri dan ke masyarakat tidak dapat menjadi instrumen dalam menggairahkan ekonomi kembali. Inilah yang disebut dengan jerat atau perangkap utang yang membuat ekonomi Indonesia tidak bisa kemana mana. Indonesia tetap sebagai negara berpendapatan rendah dan tidak bisa bayar utangnya. Sekarang siapa bisa tolong? Swasta dan BUMN tak mungkin selamat tanpa pertolongan pemerintah. Sementara pemerintah untuk menolong dirinya sendiri belum tentu bisa ? Dari mana uangnya ? Penulis adalah Peniliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).

Bisakah Presiden Terguling?

by Asyari Usman Jakarta FNN - Sabtu (17/10). Jawaban untuk pertanyaan di judul tulisan ini ialah: sangat bisa. Ada berbagai alasan yang menyebabkan presiden terguling. Dan juga perdana menteri. Rakyat menuntut penyingkiran pemerintah-pemerintah yang korup. Mereka juga menuntut taraf hidup yang lebih baik dan kebebasan yang lebih besar. Itulah yang terjadi di Kyrgyzstan, dua hari lalu. Dan di Bolivia, Aljazair, Lebanon, Irak dan Sudan sepanjang 2019. Sedangkan di Chile dan Ekuador, rakyat berhasil mendapatkan konsesi dari pemerintah mereka. Dua hari lalu, Kamis (15/10/2020), presiden Republik Kyrgyzstan, Sooronbay Jeenbekov, meletakkan jabatan. Dia akhirnya terguling. Dia memilih mundur ketimbang melihat pertumpahan darah. Presiden Jeenbekov menghadapi aksi ptotes besar selama berhari-hari. Penyebabnya adalah pilpres 4 Oktober 2020. Jeenbekov dinyatakan menang. Pihak lawan menuduh Jeenbekov menang karena membeli suara. Hasil ini kemudian dibatalkan. Tetapi, suasana tegang tak mereda. Akhirnya, dia memutuskan untuk mundur. Pidato pengunduran diri Jeenbekov luar biasa hebat. “Saya tidak akan berkeras mempertahankan kekuasaan. Saya tidak ingin tercatat dalam sejarah Kyrgyzstan sebagai presiden yang membiarkan pertumpahan darah.” Sepanjang 2019, ada sekian banyak presiden dan perdana menteri yang digulingkan rakyat. Evo Morales di Bolivia dipaksa mundur dari kursi presiden, 10 November 2019. Dia dituduh curang dalam pemilihan umum. Coba Anda perhatikan. Tuduhan pemilu curang di Bolivia bisa menyulut aksi unjuk rasa yang akhirnya membuat Presiden Morales terguling. Saad al-Hariri, perdana menteri (PM) Lebanon, dipaksa mundur setelah berlangsung aksi protes jalanan di seluruh pelosok negara, Oktober 2019. Rakyat menuduh elit penguasa melakukan korupsi sistemik dan meluas di tengah krisis ekonomi yang menghimpit negara itu. Hebatnya rakyat Lebanon, mereka menolak calon perdana menteri, Hassan Diab, yang diajukan Presiden Michel Aoun. Demo besar terus berlangsung. Tanpa henti. Di Beirut dan juga kota-kota lain. Massa demo menolak Diab karena mereka menganggap guru besar (profesor) itu sebagai bagian dari elit korup. Di Irak, PM Adel Abdul Mahdi mundur November 2019. Dia menghadapi tekanan berat dari aksi protes besar yang melumpuhkan Irak sejak 1 Oktober 2019. Warga menuntut reformasi total. Sebab, sistem yang berlaku sangat korup. Yang membuat sebagian besar rakyat Irak dilanda kemiskinan. Lebih 450 orang tewas dan 20,000 luka-luka sejak demo panjang itu dimulai. Namun, warga tidak surut. Ketika akan diumumkan penjabat (Plt) PM, rakyat kembali turun ke jalan. Mereka bertekad untuk memastikan agar orang-orang korup tidak kembali berkuasa. Tekanan kuat rakyat membuat Presiden Barham Salih menolak untuk mengangkat figur partai yang didukung Iran sebagai PM. Presiden Salih menegaskan dia akan memilih mundur ketimbang mengangkat orang yang ditolak rakyat. Salih akhirnya mengambil sikap memihak ke rakyat. Rakyat benar-benar berdaulat di Irak. Mereka mampu menekan pemerintah. Tidak ada satu pun yang tampil ngawur untuk mendukung tokoh yang ngawur. Persinggahan berikutnya adalah Aljazair di Afrika utara. Di sini, Presiden Abdelaziz Bouteflika mengundurkan diri pada 2 April 2019. Dia meletakkan jabatan setelah KSAD Jenderal Ahmed Gaid Salah menuntut agar Bouteflika dinyatakan tidak sehat dan harus segera turun. Aksi protes luas berkobar pertengahan Februari 2019. Penyulutnya adalah pengumuman Bouteflika bahwa dia akan ikut pilpers untuk masa jabatan ke-5. Tapi, karena tekanan aksi demo besar-besaran, akhirnya presiden yang berusia 82 tahun itu meletakkan jabatan. Penyingkiran Bouteflika dari kursi presiden tidak membuat rakyat Aljazair berhenti melancarkan demo jalanan. Banyak warga yang menganggap pemerintah tak becus, korup, dan tidak mampu mengelola perekonomian yang sedang dianda krisis berat. Rakyat kompak mengawal tuntutan penyingkiran elit korup. Rakyat Aljazair betul-betul sadar bahwa elit korup dan sistem yang busuk harus diamputasi. Jangan sampai berkelanjutan. Namun, rakyat paham juga bahwa proses demokrasi harus tetap dilaksanakan. Tapi, ketika pemerintah melaksanakan pilpres pada 12 Desember 2019, lebih 60% warga memboikot. Hanya saja, secara konstitusional Abdelmadjid Tebboune menang pilpres. Rakyat menolak. Karena dia pernah duduk sebagai PM di bawah Presiden Bouteflika. Aksi unjuk rasa yang menuntut perubahan di Aljazair berlangsung selama delapan bulan, non-stop. Selanjutnya, Sudan. Presiden yang berkuasa cukup lama, Omar al-Bashir, berhasil ditumbangkan lewat unjuk rasa yang dimulai Desember 2018 hingga April 2019. Bashir duduk sebagai presiden selama 30 tahun. Dahsyatnya rakyat Sudan, unjuk rasa yang kerap rusuh itu masih berlanjut selama berbulan-bulan berikutnya. Berlangsung lama setelah Bashir digulingkan. Rakyat Sudan melakukan demo berkepanjangan itu karena mereka berkesimpulan bahwa mata rantai kekuasaan otoriter harus diputus. Jangan sampai dilanjutkan lagi oleh sisa-sisa rezim korup dan penindas. Omar al-Bashir diajukan ke pengadilan dengan sejumlah dakwaan korupsi. Pada 14 Desember 2019, dia dijatuhi hukuman penjara dua tahun. Perlawanan sipil juga terjadi di bagian lain dunia. Pada saat rakyat Bolivia melancarkan unjuk rasa panjang yang berakhir dengan penggulingan Evo Morales, di Ekuador aksi demo berlangsung berminggu-minggu oleh warga pribumi. Demo panjang ini memaksa Presiden Lenin Moreno mencabut Keppres yang menaikkan harga BBM. Kerusuhan di Chile mendorong pemerintah mengeluarkan paket ekonomi jutaan dollar. Sedangkan di Kolombia, Presiden Ivan Duque tak bisa duduk tenang karena menghadapi aksi protes massa dan mogok kerja. Rakyat Kolombia menentang kebijakan ekonomi dan juga korupsi yang meluas. Itulah antara lain catatan tentang perlawanan sipil terhadap kezoliman pemerintah. Dari berbagai pengalaman empiris di atas bisa disimpulkan bahwa aksi demo besar dan berlangsung panjang bisa menggulingkan presiden atau perdana menteri. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Fir’aun Menuduh Musa Alaihi Salam Penyebar Hoaks

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (17/10). Musuh Fir'aun bukan Musa Alaihi Salam. Sebab Musa Alaihi Salam tidak sekuasa seperti Fir'aun yang serba punya kekuasaan. Dimulai dari tentara, dana, ahli infrasruktur, hingga paranormal yang hebast-hebat. Fir'aun bisa menghukum siapa saja yang dia mau. Menuduh hoaks terhadap lawan politik pun bisa saja setiap saat (QS. Al Mu'min 37). Musa Alaihi Salam saja disebut dan dituduh Fir’aun sebagai pengganti agama dan pembuat kerusakan di muka bumi (QS. Al Mu'min 26). Tuduhan Fir’aun kepada Musa Alaihi Salam sebagai penyebar hoaks, karena pesan-pesan kebenaran ilahiyah yang disampaikan Musa Alaihi Salam mengancam kekuasaan Fir’an yang menggap dirinya memiliki kebenaran mutlak. Pokoknya kalau yang dibilang penguasa Fir’aun hoaks, maka jadinya hoaks. Dengan semikian, bala Tentara dan Polisinya (penegak hukum) Fir’aun harus menangkap dan memenjarankan sertiap orang yang menyebarkan informasi yang dianggap pengeuasa Fir’aun sebagai hoaks tersebut. Semua informasi yang bertentangan dengan penguasa Fir’aun harus dianggap sebagai hoaks. Resikonya masuk penjara. Bahkan ada juga yang dibunuh. Saking tak tertandinginya Fir'aun itu, sampai-sampai menyebut dirinya sebagai "Tuhan Yang Maha Tinggi" (QS. An Nazi'at 24 ). Meskipun demikian Allah "Tuhan Yang Maha Tinggi" yang sebenarnya tetap memerintahkan Musa Alaihi Salam untuk menghadapi dan berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebab Fir'aun telah melampaui batas (QS. Thaha 43). Fir'aun dalam ketakutan yang tinggi. Ketakutan akan turun dan kehilangan tahta. Ketakutan runtuhnya singgasana kekuasaan di tangannya. Segala bentuk oposisi harus dibasmi. Dianggap sebagai penyebar hoaks. Musa Alaihi Salam dianggap sebagai pengganggu stabilitas negeri penguasa. Fir'aun tidak takut pada Musa Alaihi Salam. Tetapi hanya takut bahwa dirinya kelak tidak berkuasa lagi. Untuk itu, Fir’aun harus membuktikan dengan kemampuan untuk menghancurkan Musa penyebar hoaks dan pengikutnya. Fatamorgana atas kehebatan Fir’aun untuk menguasai segala yang ada dihadapannya, termasuk "Jalan bebas hambatan" di samudera yang akhirnya menenggelamkannya. Nafsu berkuasa yang penuh dengan keserakahan, akan berhadapan dengan diri sendiri. Musa Alaihi Salam hanya bayangan untuk mewujudkan murkanya kepada cahaya kebanaran yang dianggapnya hoaks. Sebenanya Allah Suhanahu Wata’ala, "Tuhan Yang Maha Tinggi" sedang mempermainkan "penguasa dunia" yang bingung, bodoh dan dungu. Modelnya adalah anjing serakah yang sedang menggigit daging dan berada di atas jembatan. Merasa tertantang karena melihat ada anjing di bawah yang juga sedang menggigit daging, dan sama menyeringai. Diterkamnya anjing yang dianggapnya "oposisi". Hasilnya, byuurr masuk sungai. Tenggelam. Sama dengan raja tikus yang melihat di sungai ada tikus besar sebagai saingannya. Raja Tikus lalu melompat untuk berkelahi melawan tikus besar yang tak lain adalah bayangan dirinya sendiri. Itulah musuh terbesar yang hakekatnya sering mengalahkan keserakahan dan kebodohan penguasa. Rezim manapun termasuk Pemerintahan Jokowi bukan tandingan oposisi dengan segala unsur kekuatan dan genggaman kekuasaan. Semua bisa dikendalikan. Akan tetapi bayang-bayang selalu membuatnya cemas dan takut. Konkritisasi bisa HTI, FPI, juga KAMI bahkan MUI sebagai "lawan" yang sebenarnya hanya bayangan yang dibesar-besarkan saja. Dahulu Fir'aun selalu dihantui oleh "nightmare" bahwa kekuasaannya akan jatuh. Musa Alaihi Salam dicurigai dan dituduh sebagai biang perusak negara. Mimpi buruk menjadi kenyataan ,dengan bukti kekuasaan Allah. Fir'aun terlambat menyadari dan terlambat untuk kembali. Pintu taubat sudah tak ada lagi. Mati dengan penyesalan diri yang tanpa arti. Untuk itu, wahai penguasa negeri, Presiden dan para Menteri. Jangan mengulangi perilaku Fir'aun ini. Karena tak ada kekuasaan yang tidak berganti. Hari ini jadi pejabat besok menjadi rakyat. Hari ini dihormat besok bisa habis-habisan dihujat. Taubatlah sebelum terlambat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

Jenguk Para Korban, Anies Tunjukkan Leadershipnya

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (16/10). Demo ricuh. Terjadi baku hantam aparat dan demonstran. Ada kelompok ketiga yang diduga berperan sebagai pemicu kerusuhan. Memprovokasi agar aparat dan demonstran berhadap-hadapan. Terlihat dalam video yang beredar, terjadi tindakan anarkis sejumlah pihak. Fasilitas umum dirusak, termasuk milik Pemprov DKI Jakarta. Entah oleh siapa yang melakukan pengrusakan tersebut. Yang pasti, bukan para demonstran. Ada tangan-tangan jahil yang memanfaatkan ketulusan dan perjuangan para pelajar, mahasiswa dan buruh dalam demo UU Ciptaker itu. Anies hadir di tengah ketegangan itu. Lewat tengah malam, Anies datang dan berada di tengah para demonstran. Mendengarkan semua aspirasi mereka. Kehadiran Anies berhasil untuk meredam gejolak para pendemo. Menampung aspirasi dan menenangkan para demonstran. Hingga mereka pulang dengan lega dan tenang. Esoknya, dan juga hari-hari berikutnya, terjadi lagi demonstrasi. Tak berhenti, dan terus bergelombang. Bahkan hingga hari ini. Sebab, tuntutan mahasiswa, buruh, ormas Islam dan elemen umat untuk membatalkan UU Ciptaker belum dipenuhi. Beberapa demonstrasi telah memakan banyak korban. Terutama dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Bahkan rumah warga, diantaranya di Kwitang Senen Jakarta Pusat, diserbu aparat. Gas air mata bertebaran di dalam rumah. Ibu-ibu dan anak-anak balita yang tak terlibat dan tak tahu menahu tentang demo ikut jadi sasaran tembak gas air mata itu. Pedih! Perih! Tidak saja terasa di mata, tapi juga di hati. Kantor Pelajar Islam Indonesia (PII) diserbu. Sejumlah kaca pecah dan fasilitas dirusak. Aparat masuk ke dalam kantor dan menangkap sejumlah aktifis. Darah berceceran. Diduga banyak yang terluka. Entah darah itu keluar dari tubuh pelajar, atau bahkan nungkin kepala yang robek. Belum terkonfirmasi berapa ribu persisnya jumlah pelajar dan mahasiswa yang ditangkap. Entah berapa banyak pula yang terluka. Berapa banyak pula yang terkapar di rumah sakit. Ngeri bila kita melihat penganiayaan kepada mereka di berbagai video yang beredar di medosos. Betul-betul ngeri. Nggak bisa membayangkan anak-anak itu ditonjok ramai-ramai, dipukul pakai tongkat dan ditendang sepatu aparat. Yang pasti, itu terjadi di Indonesia. Terjadi pada saat pelajar dan mahasiswa itu sedang demo. Bukan sedang curi tambang dan korupsi uang negara. Tetapi, mereka sedang demo. Situasi agak mencekam. Ada yang bilang sudah pada level 5,5. Kalau level 6, itu artinya dharurat sipil. Kalau level 7, berarti dharurat militer. Itu istilah yang dibuat standarnya oleh aparat. Intinya, sudah lumayan gawat. Di tengah banyak demonstran yang terluka dan kantor yang rusak, Anies, Gubernur DKI Jakarta, hadir. Meninjau kantor PII yang rusak. Anies juga datang ke sejumlah rumah sakit dimana banyak pelajar dan mahasiswa yang terluka. Selain datang ke rumah warga yang ibu dan bayinya terkena gas air mata. Mereka adalah warga DKI. Kejadiannya di wilayah DKI. Dan Anies adalah geburnur dan pemimpin bagi warga DKI. Sudah seharusnya Anies ambil peduli dan menunjukkan empati. Anies ingin memastikan untuk saat ini, mereka baik-baik saja Begitu mestinya seorang pemimpin bertindak dan punya sikap. Silent, nyaris tak ada beritanya. Tanpa kegaduhan kata-kata, dan sepi dari sorot kamera, Anies terus bekerja. Menjalankan tugasnya sebagai pemimpin ibu kota. Sampai disini, Anies "on the track" dengan ungkapannya: "Saya akan jawab semua kritik itu dengan kerja dan karya, bukan dengan kata-kata". Dalam banyak hal, Anies nampak berusaha membuktikan apa yang pernah diungkapannya itu. Seorang pemimpin tidak boleh lari saat warganya berada dalam masalah. Apalagi mereka terluka. Mereka anak-anak muda, pelajar maupun mahasiswa. "Anak muda itu yang punya masa depan. Mereka berhak bicara karena mereka yang rasakan konsekuensi keputusan besar di hari ini", kata Anies. Entah apa yang dirasakan Anies saat melihat kantor anak-anak PII diporak-poranda. Para aktifis pelajar ditangkap aparat di kantor mereka. Sebagian dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Kesedihan dan keprihatinan itu jelas tersirat dalam ungkapan Anies: "Kita ini harus senang kalau ada anak-anak usia sekolah sudah ikut bicara soal-soal negara". Kalimat yang santun, tapi jelas pesannya. "Jika anak-anak bertindak salah, ya diberikan tambahan pendidikan. Bukan malah dihentikan pendidikannya", tegas Anies. Sang Gubernur jelas tak rela jika anak-anak Jakarta kehilangan pendidikannya. Nampak sekali bahwa jiwa pendidik dan leadership telah menyatu dalam diri cucu pahlawan Abdurrahman Baswedan ini. Seorang pemimpin tidak hanya harus tahu bagimana menyapa rakyatnya. Tetapi juga harus bisa memahami apa yang dirasakan dan diharapkan oleh rakyatnya. Begitulah seorang pemimpin sejati yang selama ini dinanti dan dirindukan oleh sebuah bangsa besar yang bernama Indonesia. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Revolusi Ala Erdogan Dan Harapan Umat

by Imam Shamsi Ali Dubai FNN – Jum’at (16/20). Dalam perjalanan di atas udara New York – Dubai, saya terdorong untuk menuliskan tentang seorang pemimpin Muslim yang mungkin akan menjadi salah satu yang dicatat oleh goresan tinta sejarah perjalanan kolektif keumatan kita di abad ini. Dialah Erdogan, Pemimpin Islam yang saat ini memimpin negara Turki. Tulisan ini bisa menjadi tambahan informasi bagi mereka yang mendukung, bahkan memuja Erdogan. Boleh juga bagi mereka yang biasa mengeritiknya. Bahkan boleh menjadi masukan bagi mereka yang membencinya. Kiranya dengan goresan ini dapat menambah wawasan, membuka mata, serta menyadarkan tentang siapa Erdogan yang sesungguhnya. Tak disangkal, Erdogan telah berhasil menggantikan sekularisme ala Ataturk yang anti, memusuhi, bahkan membasmi agama (Islam). Erdogan membentuk negara yang senyawa, mendukung bahkan mengembangkan agama. Erdogan tidak merubah status Turki menjadi negara Islam atau negara agama (teokrasi). Tapi berhasil melakukan perubahan mendasar dan esensi dalam sebuah negara. Disadari bahwa bukanlah sebuah kemustahilan jika suatu ketika Erdogan akan dijatuhkan oleh sebuah kudeta, seperti yang pernah gagal itu. Atau terkalahkan dalam sebuah pemilihan Presiden. Atau bahkan ketika kematian yang Allah telah tetapkan itu menjemputnya di kelak hari. Akan tetapi diakui atau tidak, hari ini Erdogan telah menyelesaikan beberapa beberapa fase revolusi besarnya. Beliau telah berhasil meletakkan fondasi bagi pembentukan negara Turki yang baru. Yang dilakukan oleh Erdogan di Turki, sesungguhnya adalah revolusi dahsyat dari sudut pandang tujuan akhir sebuah perjuangan. Bukan revolusi yang mengedepankan wacana dan retorika. Revolusi seringkali identik dengan pemberontakan rakyat atau demonstrasi-demonstrasi yang memenuhi jalan-jalan. Bahkan kadang bersifat anarkis. Tidak jarang pula harus berhadapan dengan kekuatan militer (bersenjata) sehingga terjadi pertumpahan darah. Tentu revolusi yang dimaksud bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan dan menggantinya dengan pemerintahan baru, yang berbeda secara politik, tatanan masyarakat maupun sistim ekonominya. Revolusi seperti itu pastinya akan melalui masa-masa sulit. Menimbulkan situasi goncangan terhadap sendi-sendi bernegara, bahkan seringkali melemahkan negara. Tidak jarang menimbulkan disintegrasi bangsa, serta membawa kepada kemunduran bahkan kehancuran dari segala capaian selama ini. Disinilah Erdogan mampu membuktikan bahwa revolusi itu tidak harus melalui semua jalan-jalan kelam itu. Tidak selamanya melalui sebuah proses pahit yang terlalu berbahaya. Proses yang jika gagal, justeru akan merusak dan menghancurkan bangsa dan negara yang tadinya diharapkan maju dan kuat. Di bawah Erdogan, Turki mengalami perubahan fantastis. Dari sebuah negara yang lemah, goyah dan hampir ambruk secara ekonomi. Bahkan sebuah negara yang berada di ambang kebangkrutannya. Namun kini Turki menjadi negara kuat, mandiri, dan kokoh tegap di tengah bangsa-bangsa maju lainnya. Semua ini bukan karena ladang gas atau minyak. Atau karena kekayaan pertambangan atau sumber alam lainnya. Namun kemajuan dan kekuatan Turki justeru pada kebangkitan ilmu pengetahuan, pemikiran dan inovasi, teknologi maupun pembangunan ekonomi secara sungguh-sungguh. Kini Turki diakui sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia. Ini mengantarkan Turki berada pada posisi kesembilan dari kekuatan militer dunia. Yang pada akhirnya menjadikan NATO setengah terpaksa harus menerima Turki sebagai anggotanya. Salah satu kecemerlangan Erdogan dalam politik adalah keberhasilannya mengendalikan kekuatan militer yang selama ini justeru menjadi benteng sekularisme Ataturk. Setelah berhasil mengendalikan para petinggi militer, beliau menjadi Pemimpin sejati negara Turki. Padahal selama ini pemimpin militer Turki sesungguhnya adalah Pemimpin negara itu sendiri. Erdogan berhasil melucuti keterlibatan dan kekuasaan politik militer secara menyeluruh. Itu dilakukan secara bertahap dan cantik. Dengan pendekatan yang persuasif dan halus, Erdogan berhasil menggiring tentara kembali ke baraknya. Merubah fungsi militer dari fungsi kekuasaan politik kepada fungsi pengamanan. Dari militer yang mencengkram secara politik menjadi militer yang tunduk pada Pemimpin negara yang terpilih sebagai Panglima tertinggi. Yang dilakukan Erdogan adalah perubahan revolusioner, mengingat selama ini militer Turki begitu kuat dan berpengaruh, bahkan menentukan bentuk dan arah kebijakan negara. Sekali lagi, Erdogan telah meruntuhkan Republik Ataturk secara menyeluruh, tanpa menghancurkan patung-patung Ataturk. Tanpa retorika dan emosi yang meluap untuk menggusur kekuasaan. Tetapi Erdogan menahan angin dan air mengalir kepada sekularisme Ataturk, sehingga mengalami kematian dan kemusnahan. Setelah itu tercabut satu persatu dari akar negara dan bangsa. Terjadilah perubahan itu dari sebuah negara diktator atas nama demokrasi, tanpa menghargai keragaman, dan dengan kekuasaan yang menekan kebebasan. Dengan perubahan itu, kenangan Ataturk tinggal menjadi catatan sejarah, dan masa lalu yang diingat oleh orang-orang Turki secara menyeluruh. Erdogan berhasil merubah negara Turki dari negara sekuler ala Ataturk, yang antithesis bahkan memusuhi agama, kepada negara sekuler yang senyawa dengannya. Sehingga hukum-hukum negara tetap satu arah dengan ajaran agama. Erdogan tidak memutuskan untuk mendirikan dan memimpin negara Turki di atas dasar dan hukum agama (Islam). Tapi dia berhasil menghapuskan banyak bentuk aturan yang semena-mena, dimana Islam telah menjadi korban di bawah pemerintahan sekuler Ataturk. Semua itu telah merendahkan dan menghinakan agama secara nyata. Erdogan membalik semua itu. Dimulai dari masalah akidah dan keimanan, yang berujung pada terbentuknya karakter masyarakat yang solid dalam keislaman. Tentunya melalui ketaatan ubudiyah dan syiar-syiar agama lainnya. Erdogan paham bahwa Islam lebih besar dari sekedar sebuah pemerintahan. Lebih tinggi dari sekedar perundang-undangan yang kaku. Tapi memerlukan sistim pemerintahan yang adil, yang tidak melakukan tekanan dan diskriminasi bahkan kepada lawannya. Maka ditatalah aturan-aturan itu dengan penuh kehati-hatian. Dilonggarkan segala aturan yang tadinya secara ketat menekan praktek-praktek keagamaan tanpa merubah pada tataran formalitasnya. Bahkan rumah-rumah pelacuran tidak sekaligus ditutup. Tapi pembangunan ekonomi umat diperkuat. Didukung oleh pembangunan sekolah-sekolah Islam yang dipermudah dan difasilitasi. Sehingga dengan sendirinya berbagai maksiat itu termarjinalkan. Para ateis tidak juga dikriminalkan. Yang dilakukan adalah mempermudah berdirinya sekolah-sekolah penghafal Al-Quran (Tahfidz). Seraya membuka lebar pintu-pintu segala bentuk keilmuan Islam untuk pendalaman iman dan Islam. Erdogan tidak memaksa wanita-wanita Turki untuk memakai hijab. Tapi memberikan izin kepada para wanita yang berhijab untuk masuk sekolah dan universitas-universitas. Sungguh Erdogan telah berhasil membebaskan agama (Islam) dari penjara sekularisme tanpa harus memenjarakan sekularisme itu sendiri. Menjadikan nilai-nilai dan prinsip, keyakinan dan pemikiran Islam menjadi senyawa dengan masyarakat. Sehingga pada akhirnya semangat Islam, prinsip-prinsip dan nilai-nilainya mengalir kembali dalam pori-pori negara dan bangsa Turki. Dan inilah sesungguhnya esensi sebuah revolusi dan perubahan. Semua itu terjadi tanpa setitik darah yang mengalir. Turki telha menjadi karunia Tuhan yang unik. Keindahan alam, dengan strategi geografis yang mempertemukan Asia dan Eropa, koneksinya yang mengglobal. Tentu dengan sejarah masa lalu yang mengagumkan. Harapan besar saya dan kita semoga Turki semakin kuat. Memiliki “haebah” (kharisma) yang lebih, sehingga mampu melakukan langkah kongkrit membantu menyelesaikan penderitaan Umat yang tiada di akhir di berbagai belahan dunia. Salah satunya adalah penderitaan saudara-saudara kita di Palestina. Dan lebih khusus lagi perjuangan membebaskan Kota Suci ketiga Islam (Jerusalem). Tapi apakah itu memungkinkan? Apalagi dalam kapasitas Turki sebagai anggota NATO (North Atlantic Treaty Organization), dimana Amerika kerap mendominasi. Dengan Donald Trump mengakui Jerusalem sebagai Ibukota Israel, dan konsesi barteran dalam masalah perbatasan Suriah dan masalah Kurdi menambah kerumitan itu. Tapi lebih khusus lagi Turki adalah satu dari segelintir negara-negar Muslim yang telah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Tentu semakin rumit...Kita tunggu saja dobrakan Erdogan ke depan! Whatever, bravo Erdogan! Penulis adalah Iman Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation.

Akhirnya Presiden Mundur Juga

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (16/10). Sabar dulu boss. Jangan buru-buru geerrr dulu. Sebab judul tulisan ini tentu bukan berita yang menggambakan keadaan sebenarnya di Indonesia. Kondisi di tanah air masih penuh dengan kegelisahan. Bahkan kegoncangan akibat pengesahan undang-undang yang "memakan semua" Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka). Aksi unjuk rasa di tanah tentu belum ada tanda-tanda akan berakhir. Masyarakat belum puas dengan berbagai klarifikasi tentang "hoaks" bahkan tindakan "tegas" dari rezim yang berkuasa sekarang. Bahkan penangkan-penangkapan terhadap sejumlah aktivis demokrasi masih terjadi beberapa hari lalu. Peserta aksi demonstrasi juga ada yang meninggal, Akbar Alamsyah yang berusia 19 tahun. Yang mengundurkan bukan Presiden Jokowi. Tetapi Presiden Kyrgyzstan Sooronbay Jeenbekov. Dia baru saja mengumumkan pegunduran diri akibat unjuk rasa terkait sengketa pemilihan anggota parlemen pada 4 Oktober 2020. Presiden Jeenbekov mengundurkan diri dengan mempertimbangkan kebaikan negara dan tidak mau mengorbankan rakyat yang tersakiti. "Saya tidak akan bergantung pada kekuasaan. Saya juga tidak ingin turun dalam sejarah Kurzystan sebagai Presiden yang membiarkan terjadinya pertumpahan darah dan penembakan terhadap rakyat. Saya telah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri" demikian ungkapan dilansir televisi Al Jazeera pada 15 Oktober 2020. Kepemimpinan yang berfikir tentang kebaikan untuk rakyat dan negara ke depan tentu saja sangat terpuji dan mulia. Apalagi dengan keyakinan bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Sebab "mempertahankan kekuasaan tidak sebanding dengan integritas negara dan kesepakatan dalam masyarakat" kata Jeebenkov. Unjuk rasa rakyat Kyrgyzstan adalah suara kebenaran dan keadilan. Bukan sasaran lawan dari yang tidak suka terhadap kekuasaan. Substansi yang diperjuangkan rakyat senantiasa pada aspek kecurangan, keculasan atau kesewenang-wenangan penguasa. Juga berkisar pada moralitas politik, hukum, dan ekonomi yang diabaikan oleh penguasa. Pada November 2019 yang lalu Presiden Bolivia Evo Marales juga mengundurkan diri setelah unjuk rasa rakyat Bolivia yang datang secara bergelombang. Akhirnya dengan "terbirit-birit" Evo Morales lari meminta suaka politik ke Mexico City. Kekuasaan yang digenggam oleh Evo Marales tidak mampu dipertahankan dengan modal kekerasan. Unjuk rasa di Indonesia baru tahap desakan pembatalan Omnibus Law yang dinilai berbahaya oleh kaum buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat lainnya. Implikasi bisa saja pada tuntutan pengunduran diri Presiden Jokowi jika tidak ada putusan bijak yang didengar rakyat. Tindakan represif bukan jawaban. Karenanya diharapkan tidak ada sikap pemaksaan kehendak. Undang-undang ini diproduk tanpa proses dan konten yang matang dan berkeadilan. Reaksi publik harus dibaca sebagai kritik atas pemanfaatan hukum oleh kepentingan politik yang secara telanjang dipertontonkan. Rasa malu penyelenggara negara yang hilang. DPR maupun Pemerintah mempertontonkan sikap yang tidak bisa diterima rakyat. DPR dan pemerintah lebih mengutamakan kepentingan pengusaha dan pemodal dalam membuat undang-undang Cilaka. Sebagai pelajaran adalah peristiwa di Amerika Latin lagi. Tepatnya di Mexico. Anggota Parlemen Antonio Garcia pada tahun 2013 berpidato sambil membuka baju kemeja dasi dengan menyisakan celana dalam saja yang dikenakannya. Ini bentuk lain dari protes terhadap kekuasaan dan parlemen yang tidak mau mendengar tuntutan rakyat. Tuli dan budeg terhadap aspirasi rakyat. "Kalian malu melihatku telanjang? Kenapa kalian tidak malu pada bangsamu? Hartanya telah kalian rampok dan curi, sehingga kalian dan keluarga kalian hidup dalam kemewahan yang paripurna?". Antonia memprotes investasi asing yang telah menggerus kedaulatan negara. "Karena duit rela mengorbankan harga diri dan bangsa ". Begitlah ketegasan Antonio. Namun untung saja itu pidato di Mexico. Bukan di Indonesia. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

UU Omnibus Cilaka, “The King Can Do No Wrong”

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (16/10). Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) bukan saja fenomenal tetapi juga kontroversial. Penolakan sangat masif dan mengguncangkan, baik yang dilakukan oleh buruh, mahasiswa, pelajar maupun kalangan akademik, terutama para Guru Besar Perguruan Tinggi di di berbagai wilayah tanah air. Korban pun berjatuhan disana-sini. Baik itu korban secara fisik dan dalam bentuk penangkapan-penangkapan terhadap para aktivis yang menolak pengesahan Undang-Undang Cilaka. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ikut babak belur. Karena memutuskan RUU menjadi UU dengan cara tidak lazim pada Rapat Paripurna DPR tanggal 5 Oktober tengah malam. Pada berbagai media massa, baik itu yang di media sosial (medsos) maupun media maisntream, nada sinis membuka borok tentang kejanggalan penetapan UU tersebut. Kategorinya cacat hukum. Tetapi secara institusi DPR merasa tak bersalah. DPR juga dapat membuat sejuta dalih untuk membela keputusan yang sangat primitif dan amburadul tersebut. Maklum, karena merasa diri sebagai wakil rakyat , sehingga telah mengambil alih kedaulatan rakyat. Demokrasi menjadi Dewankrasi. Semua mandat dan kewenangan rakyat sudah diserahkan ke DPR. Sehingga merasa bahwa yang diputuskan DPR seakan-akan mewakili rakyat. Padahal nyatanya tidak demikian. Proter dan perlawanan rakyat hampir merata di seluruh tanah air. Dewan dan Pemerintah telah menjadi satu paket. Bahkan sebuah rezim. DPR selain sebagai legislatif, juga sekaligus debagai eksekutif. Gedung DPR seperti sudah berubah fungsi menjadi Kantor Perwakilan atau Kantor Cabang Kepresiden, kata wartawan senior FNN.co.id, Kisman Latumakulita. Akibatnya, apa saja yang dimaui Pemerintah dipastikan bakal disetujui oleh DPR. Kondisinya sekarang sudah lebih para dari eranya Soeharto dengan Orde Baru dulu, yang terkenal dengan “musyawarah mufakat”. Dimufakati dulu baru dimusyawarakan. DPR ketika itu fungsinya hanya menjadi tukang stempel terhadap semua kemauan rezim Soeharto. Tragisnya, DPR yang ekarang lebih parah dari Orde Baru. Dampaknya adalah hancur sudah fungsi DPR sebagai sistem “check and balances”. Pembagian kekuasaan (distribution of power) antara pemerintah dan DPR teorinya Motesquieu tentang Trias Politika sudah tidak ada sekarang. Entah kemana hilangnya teori itu? Apalagi yang namanya pemisahan kekuasaan (separation of power). Yang nyata-nyata ada dan telanjang sekarang hanyalah penyatuan kekuasaan (unification of power). Simbolisasi untuk ini adalah Jokowi dan Puan dalam satu singgasana Raja dan Ratu. Titah keduanya tak bisa dibantah. Keduanya berhak memerintahkan apa saja termasuk menuduh atau melakukan hoaks. Bagai dunia hewan dalam kerajaan kodok, kerajaan bebek, atau kerajaan singa. Bahaa kersennya adalah “The King can do no wrong”. Dalam sebuah fabel dikisahkan Raja Singa memakan daging, dan petai hingga mulutnya berbau busuk. Lalu ia bertanya pada seekor bebek, dan bebek yang ketakutan menyebut bahwa sang Raja mulutnya wangi. Namun raja tahu bebek berdusta, dihukumlah bebek. Ketika bertanya pada kodok yang melihat bebek dihukum, kodok dengan yakin menyebut bahwa mulut raja itu bau. Karena dianggap menghina, kodok pun kena hukum. Semua jadinya salah. Omnibus Law hanya kebenaran Raja. Bukan kebenaran yang selain Raja. Kebenaran hanya ada di ruang istana. Kata Plate, jika Pemerintah sudah nyatakan apa yang diteriakan rakyat itu hoaks, maka itu adalah hoaks. Pemerintah tidak perlu baca lagi . Itulah “The King can do no wrong”. Omnibus Law Cipta Kerja adalah undang- undang tentang daging dan petai. Yang baunya busuk. Sayangnya, hanya DPR yang ikut-ikutan menyatakan baunya wangi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.