UU Omnibus Cilaka, “The King Can Do No Wrong”
by M Rizal Fadillah
Bandung FNN – Jum’at (16/10). Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) bukan saja fenomenal tetapi juga kontroversial. Penolakan sangat masif dan mengguncangkan, baik yang dilakukan oleh buruh, mahasiswa, pelajar maupun kalangan akademik, terutama para Guru Besar Perguruan Tinggi di di berbagai wilayah tanah air.
Korban pun berjatuhan disana-sini. Baik itu korban secara fisik dan dalam bentuk penangkapan-penangkapan terhadap para aktivis yang menolak pengesahan Undang-Undang Cilaka. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ikut babak belur. Karena memutuskan RUU menjadi UU dengan cara tidak lazim pada Rapat Paripurna DPR tanggal 5 Oktober tengah malam.
Pada berbagai media massa, baik itu yang di media sosial (medsos) maupun media maisntream, nada sinis membuka borok tentang kejanggalan penetapan UU tersebut. Kategorinya cacat hukum. Tetapi secara institusi DPR merasa tak bersalah. DPR juga dapat membuat sejuta dalih untuk membela keputusan yang sangat primitif dan amburadul tersebut.
Maklum, karena merasa diri sebagai wakil rakyat , sehingga telah mengambil alih kedaulatan rakyat. Demokrasi menjadi Dewankrasi. Semua mandat dan kewenangan rakyat sudah diserahkan ke DPR. Sehingga merasa bahwa yang diputuskan DPR seakan-akan mewakili rakyat. Padahal nyatanya tidak demikian. Proter dan perlawanan rakyat hampir merata di seluruh tanah air.
Dewan dan Pemerintah telah menjadi satu paket. Bahkan sebuah rezim. DPR selain sebagai legislatif, juga sekaligus debagai eksekutif. Gedung DPR seperti sudah berubah fungsi menjadi Kantor Perwakilan atau Kantor Cabang Kepresiden, kata wartawan senior FNN.co.id, Kisman Latumakulita. Akibatnya, apa saja yang dimaui Pemerintah dipastikan bakal disetujui oleh DPR.
Kondisinya sekarang sudah lebih para dari eranya Soeharto dengan Orde Baru dulu, yang terkenal dengan “musyawarah mufakat”. Dimufakati dulu baru dimusyawarakan. DPR ketika itu fungsinya hanya menjadi tukang stempel terhadap semua kemauan rezim Soeharto. Tragisnya, DPR yang ekarang lebih parah dari Orde Baru. Dampaknya adalah hancur sudah fungsi DPR sebagai sistem “check and balances”.
Pembagian kekuasaan (distribution of power) antara pemerintah dan DPR teorinya Motesquieu tentang Trias Politika sudah tidak ada sekarang. Entah kemana hilangnya teori itu? Apalagi yang namanya pemisahan kekuasaan (separation of power). Yang nyata-nyata ada dan telanjang sekarang hanyalah penyatuan kekuasaan (unification of power).
Simbolisasi untuk ini adalah Jokowi dan Puan dalam satu singgasana Raja dan Ratu. Titah keduanya tak bisa dibantah. Keduanya berhak memerintahkan apa saja termasuk menuduh atau melakukan hoaks. Bagai dunia hewan dalam kerajaan kodok, kerajaan bebek, atau kerajaan singa. Bahaa kersennya adalah “The King can do no wrong”.
Dalam sebuah fabel dikisahkan Raja Singa memakan daging, dan petai hingga mulutnya berbau busuk. Lalu ia bertanya pada seekor bebek, dan bebek yang ketakutan menyebut bahwa sang Raja mulutnya wangi. Namun raja tahu bebek berdusta, dihukumlah bebek. Ketika bertanya pada kodok yang melihat bebek dihukum, kodok dengan yakin menyebut bahwa mulut raja itu bau. Karena dianggap menghina, kodok pun kena hukum. Semua jadinya salah.
Omnibus Law hanya kebenaran Raja. Bukan kebenaran yang selain Raja. Kebenaran hanya ada di ruang istana. Kata Plate, jika Pemerintah sudah nyatakan apa yang diteriakan rakyat itu hoaks, maka itu adalah hoaks. Pemerintah tidak perlu baca lagi . Itulah “The King can do no wrong”.
Omnibus Law Cipta Kerja adalah undang- undang tentang daging dan petai. Yang baunya busuk. Sayangnya, hanya DPR yang ikut-ikutan menyatakan baunya wangi.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.