Apa Kabar Renegosiasi di PLN

by Salamuddin Daeng

Jakarta FNN – Rabu (02/11). Direktur Utama PLN Zulkifli Hasan menyadari benar apa permasalahan yang terjadi di Perusahaan Listrik Negara tersbut sejak dia menjabat sebagai orang nomor satu. Masalah utama di PLN datang dari kebijakan pemerintah. Kebijakan yang berkaitan dengan harga bahan bakar dan harga listrik swasta yang wajib dibeli PLN.

Satu lagi permasalahan krusial datang dari sektor keuangan. Masalah itu sebagai akibat dari utang PLN yang membengkak sangat besar dalam mengejar ambisi mega proyek 35.000 megawatt. Masalah tersebut telah mengakibatkan PLN rugi besar-besaran.

Meski harga batubara dan minyak mentah dunia telah turun hingga level terendah dalam sejarah, tetapi PLN tetap saja merugi. Kerugian yang diperkirakan tidak akan pernah berakhir. Untuk ahun 2020 saja, PLN diprediksi menderita kerugian Rp 44,3 triliun. Kerugian seperti selalu melekat dengan PLN. Kerugian yang terus meningkat dari tahun ke sebelumnya.

Lebih gawat lagi tahun 2021 nanti. Kerugian PLN akan diperkirakan mencapai Rp 83,7 triliun. Sudah tak ada untung lagi dalam kamus PLN, baik dimasa kini maupun yang akan datang. Kerugiannya akan terus membengkak dan membengkak. Keuntungan menjadi barang langka untuk PLN.

Dari mana saja sumber kerugian PLN tersebut? Ada tiga sumbernya. Pertama, dari pembelian bahan bakar. Jumlahya mencapai 34,6% dari total biaya. Kedua, pembelian listrik swasta yang mencapai 41,2% dari total biaya. Ketiga, biaya depresiasi dan keuangan sebesar 15,8% . Ketiga komponen biaya tersebut 91,6% dari total biaya yang harus dikeluarkan PLN setiap tahun.

Siatuasi yang terjadi di PLN ini adalah bisnis BUMN paling konyol. Dimana sebagian besar pengeluaran atau biaya PLN ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan yang terbilang konyol untuk membuat PLN merugi dari tahun ke tahun. Kalau PLN bangkrut, maka membangkrutkan PLN adalah pemerintah. Kalau PLN merugi, maka yang membuat PLN merugi terus-menrus adalah pemerintah.

Pembelian bahan bakar misalnya, harganya dipatok dalam formulasi yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Begitu juga dengan pembelian listrik swasta. Harga pembelian PLN ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Kedua biaya ini sudah mencakup 75,8 % dari total biaya yang harus ditanggung oleh PLN. Konyol kan pemerintah?

Pertanyaannya, siapa yang untung dengan kebijakan harga bahan bakar dan harga listrik swasta yang konyol tersebut? Yang pasti bukan PLN. Yang diuntungkan adalah oligarki yang menjadi pebisnis bahan bakar, terutama pebisnis batu bara. Setelah itu siapa lagi yang untung paling besar? Yang pasti adalah pebisnis pembangkit batubara. Mereka selain punya tambang batubara, namun mereka sekaligus juga punya pembangkit listrik swasta.

PLN tidak akan pernah untung. Sebaliknya pebisnis pembangkit tak akan pernah merugi. Demikian juga dengan pemasok batubara ke PLN, yang akan pernah merugi. Mereka akan terus dan terus untung sepanjang perjalanan PLN melakukan bisnis listrik.

Selian PLN, siapa lagi yang dirugikan? Tidak lain adalah masyarakat Indonesia. Harga listrik Indonesia adalah salah satu yang paling mahal di dunia sekarang. Harga listrik Indonesia lebih mahal dari harga listrik India, China dan beberapa negara lain yang merupakan pesaing utama dalam perdagangan global.

Jika dibandingkan dengan pendapatan perkapita rakyat Indonesia, harga listrik Indonesia adalah salah satu yang paling menghisap atau tertinggi di dunia. Hanya satu kata kunci bagi PLN untuk selamat dan keluar dari jebakan kerugian. Segera lakukan renegosiasi, baik untuk harga listrik swasta maupun harga pembelian batubara.

Lalu, apa saja yang harus direnegosiasi? Pertama adalah harga bahan bakar, terutama batubara. Kedua, harga listrik yang wajib dibeli dengan skema take or pay milik swasta. Ketiga adalah utang-utang PLN warisan masa lalu. Renegosiasi ini telah menjadi komitmen Dirut PLN Zulkifli Hasan dalam membenahi struktur keuangan PLN.

Langkah ini sebagai upaya terakhir menyelamatkan PLN dari kebangkrutan yang lebih parah. Publik bertanya, “apa kabar renegosiasi ini ya”? Semoga saja telah berjalan sebagaimana yang telah dijanjikan kepada publik.

Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).

465

Related Post