Penguasa Baru Itu Bernama Satgas Covid 19
by M Rizal Fadillah
Bandung FNN – Senin (30/11). Kasus Ketua Satgas Penanganan Covid 19 Bima Arya yang Walikota Bogor menunjukkan watak arogansi dan kesombongannya. Bima melaporkan Direktur Rumah Sakit UMMI Bogor ke Polisi. Menurut Bima Arya, Rumah Sakit UMMI tidak terbuka dalam menyampaikan prosedur dan hasil test swab atas Habib Rizieq Shihab (HRS) yang dirawat di RS UMMI Bogor.
Rumah Sakit dan dokter tentu punya aturan dan kode etik sendiri mengenai pasiennya. Sehingga apa yang dilakukan tentu dengan dasar dan pertimbangan medis. Bukan pertimbangan non medis. Sikap seenaknya saja main lapor adalah cermin keangkuhan seorang pejabat. Bahkan prilaku Bima Arya dinilai sarat akan muatan politis. Politisasi masalah kesehatan.
Walikota Bima Arya semestinya dilaporkan juga oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atau pihak Rumah Sakit UMMI ke pihak Kepolisian. Bima Arya bisa saja dituduh mau mengacak-acak aturan dan kode etik yang sudah baku, dan berlaku di dunia kedokteran selama ini. Dokter berhak untuk tidak menyampaikan hasil pemeriksaan dan data pasien kepada publik.
Satgas Covid kini adalah raja atau penguasa baru. Dimana-mana urusan ditentukan oleh Satgas. Tidak bakal keluar izin tanpa rekomendasi Satgas atau Gugus Tugas (Gutas). Jadi teringat ketika Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jawa Barat (Jabar) akan mengadakan Deklarasi.
Ketika itu, semua persyaratan izin sudah selesai dipenuhi. Bahkan hotel pun telah dibayar. Namun gagal untuk melakukan deklarasi KAMI Jabar di tempat yang telah dicantumkan dalam pengumuman hanya karena Gugus Tugas membatalkan rekomendasi. Seenaknya saja. Sesuka hati saja.
Apa dasar hukum kekuasaan Satuan Tugas Penanganan Covid 19, sehingga menjadi raja diraja. Satgas menjadi penentu dari segala aktivitas kehidupan bermasyarakat saat ini. Padahal soal pandemi Covid 19, semua masyarakat sudah tahu dan memahami situasinya, karena sudah berlansung hampir sembilan bulan. Tragisnya, Satgas Covid 19 dijadikan alat oleh rezim sekarang ini sebagai penguasa baru untuk menghambat dan menghalangi kegiatan masyarakat sipil (civil society) yang dianggap oposisi.
Situasi pandemi Covid 19 tidak boleh dijadikan sebagai legitimasi bagi Satgas Penanganan Covid 19, sehingga memiliki kewenangan yang tidak terbatas (extra ordinary). Kewenangan untuk menyatakan seseorang atau sekelompok orang melakukan perbuatan pidana lalu dengan semaunya, sehingga melaporkan ke pihak kepolisian. Bisa terjadi penyalaggunaan kekuasaan.
Indonesia ini negara hukum. Bukan negara Satgas, pak Bima Arya. Jika Direktur Rumah Sakit atau Dokter diproses hukum atas dasar alasan tidak membuka rahasia pasien, maka betapa banyak kelak korban akan berjatuhan. Semestinya jika dinilai ada kekeliruan, maka kepada lembaga profesi seperti IDI pengaduan disampaikan. Baru setelah ada kejelasan menurut kompetensi medis, maka diputuskan dapat atau tidaknya berlanjut ke ranah hukum melalui Kepolisian.
UU Kekarantinaan Kesehatan dilaksanakan penuh dengan multi tafsir. Ketika pilihan kebijakan adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan bukan Karantina Nasional, maka ada tidaknya sanksi pidana masih diperdebatkan di kalangan ahli hukum. Demikian juga soal test swab tentang kewajiban rakyat atau pasien membuka informasi, itupun perlu penjelasan dan aturan yang jelas.
Demikian juga kewenangan Satgas yang berada di ruang administrasi atau hukum. Menjadi sama dengan aparat keamanan kah atau berstatus sebagai "Polisi Kesehatan"? Sebab, yang jelas UU No 44 tahun 2004 tentang Rumah Sakit mengatur adanya hak pasien untuk mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita beserta data-data medisnya.
Kacau negara ini jika seenaknya memberi kewenangan tanpa dasar hukum yang jelas. Pandemi Covid 19 tak boleh menjadi alat untuk merampok uang negara, atau menghukum sewenang-wenang seseorang atau institusi hanya dengan tafsir sepihak saja.
Pak Bima Arya yang terhormat, kembali lagi dipertegas bahwa Indonesia ini menurut Konstitusi adalah Negara Hukum (Rechstaat). Bukan Negara Kekuasaan (Machstaat). Apalagi Negara Satgas (Satgasstaat)!
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.