OPINI
Mendagri Tito Ambil Wewenang DPRD & Mahkamah Agung?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (20/10). Masa pandemi corona memberi ruang pemerintahdan DPR untuk membuat UU kontroversial. Perppu Corona (No 1/2020) yang diperkuat men jadi UU No 2/2020 telah memberi kebebasan untuk menggunakan anggaran Rp 905 triliun tanpa bisa dituntut secara pidana, perdata dan TUN. Huebat kan! Selain UU Corona, lahir pula UU Minerba. Lagi-lagi, UU ini kontroversial. Sebab, sejumlah pasal dianggap berpotensi merugikan rakyat. Misalnya, terkait kewenangan membuka lahan tambang dengan cara membakar hutan. Selama ini, masyarakat di sekitar hutan banyak direpotkan oleh kebakaran lahan. Sekarang, UU Minerba justru membolehkannya. Kacau-balau kan? Sempat juga RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) akan disahkan. RUU yang dicurigai berhaluan komunis ini akhirnya ditunda setelah mendapat penolakan masif, terutama dari MUI dan ratusan ormas-ormas Islam. Meski tetap ada ruang untuk dibahas kembali dan disahkan di kemudian hari. Sebab, RUU ini belum dicabut dari Prolegnas Prioritas DPR. Yang terkini adalah UU Omnibus Law Cipta Kerja. Meski dianggap cacat formil dan materiil, tetap saja disahkan. Presiden pun menandatangani, meski draft UU itu masih bermasalah. Ini bukan saja telah memperlihakan tata kelola negara kacau-balau. Tetapi juga amburadul. Mengapa sejumlah UU tersebut kontroversial? Terutama karena kelahirannya tidak melibatkan rakyat dalam proses pembahasan. Terkait masalah ini, pandemi corona selalu dijadikan alasan. Pembahasan dipercepat. Nampak kerja yang super kilat. Lalu disahkan dengan tergesa-gesa. Bahkan banyak anggota fraksi yang belum sempat membaca. Semoga Pak Presiden sudah baca sebelum beliau tanda tangan. Segala bentuk protes yang melibatkan massa dilarang. Setidaknya dihalang-halangi dan dihambat karena alasan pandemi corona. Melanggar protokol kesehatan, katanya. Klise dan mengada-ada saja. Karena penghadangan massa juga sering terjadi sebelum pandemi. Akhir-akhir ini, PSBB diperketat. Kapolri bahkan memberhentikan dua Kapolda, yaitu Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat. Juga dua Kapolres, yaitu Kapolres Jakarta Pusat dan Kapolres Bogor. Mereka dianggap tidak tegas terhadap adanya kerumunan. Kerumunan siapa? Masyarakat tahu jawabannya. Mendagri Tito Karnavian juga memberi instruksi bahkan mengancam akan memecat kepala daerah yang membiarkan terjadinya kerumunan di wilayahnya. Publik bertanya, mengapa mendadak semua pejabat bicara PSBB diperketat? Bukannya selama ini program "New Normal" yang dielu-elukan dan dipercaya sebagai malaikat penolong? Anehnya, kepala daerah yang berupaya untuk menerapkan PSBB dengan ketat, malah dikritik dan diberi peringatan. Dianggap sok-sokan. Dituduh menghambat pertumbuhan ekonomi yang sedang berupaya dinormalkan. Mengapa sekarang berbalik? Ada apa Pak Tito? Pemerintah ko pagi tempe, sore dele? Anies Baswedan, Gubernur DKI yang dari awal konsen untuk usulkan karantina wilayah dan PSBB ketat, justru selalu menghadapi penolakan. Sekarang, ketika kerumunan terjadi dimana-mana, Anies justru dipanggil Polda Metro Jaya karena dicurigai membiarkan kerumunan. Tidak saja panggilan Polda, bahkan Mendagri menyinggung soal pemecatan. Ngeri bangat! Mendagri pun akhirnya mengeluarkan instruksi Nomor 6 Tahun 2020 mengenai kewajiban kepala daerah menerapkan protokol kesehatan. Apakah instruksi ini bisa dijadikan dasar pencopotan kepala daerah? Tentu tidak Pak Tito! Urusan copot kepala daerah tetap mengacu pada UU No 23 Tahun 2014. Bukan urusannya Mendagri Pak Tito. Itu urusannya DPRD dan Mahkamah Agung. Memangngnya Mendagri Pak Tito mau ambil alih juga kewenangan DPRD dan Mahkamah Agung? Sebaiknya Mendagri Tito baca lagi berulang-ulang UU Nomor 23/2014 tersebut. Kelihatannya kalau Mendagri Tito tidak memahami ruhnya UU Nomor 23/2014. Sebab di UU itu, kepala daerah dipilih oleh rakyat. Hanya rakyat yang bisa mencabut mandatnya. Bukan presiden. Apalagi cuma Mendagri. Rakyatlah, melalui perwakilan di DPRD, yang bisa memberhentikan bupati, walikota dan gubernur. Itu pun dengan catatan DPRD harus punya cukup alasan jika ingin melakukan impeachmen terhadap kepala daerah. Sebab alasan DPRD itupun akan diuji di Mahkamah Agung (MA). Sampai di Mahkamag Agung inilah, kepala daerah diberi hak untuk melakukan pembelaan. Prosesnya panjang bangat. Bisa lebih dari setahun. Ayo... Pusing nggak? Tapi kalau Mendagri Tito mau coba, ya silahkan saja. Pada akhirnya rakyat yang akan menilai dan mencatat demokrasi model apa yang sedang dipahami Mendagri Tito Karnavian. Presiden hanya bisa memberhentikan "sementara" kepala daerah kalau ada usulan dari DPRD dalam hal kepala daerah menjadi terdakwa dengan ancaman pidana minimal lima tahun. Terjerat kasus korupsi, terorisme atau makar misalnya. Namun, jika tak terbukti di pengadilan, presiden wajib mencabut SK pemberhentiannya itu. Jadi, nggak bisa pakai instruksi Mentdagri aja untuk ancam kepala daerah. Publik membaca, semua ini hanya akibat dari satu sebab. Apa itu? Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS). Habib Rizieq dikhawatirkan akan terus melakukan konsolidasi massa. Ini sungguh terkesan sangat politis. Tapi pendekatannya seringkali menggunakan pasal-pasal dalam hukum pidana. Karena, pendekatan hukum ini terbukti memang sangat ampuh dan efektif. Fokusnya pada Habib Rizieq. Kerumunan apapun, asal tidak terkait Habib Rizieq, selama ini bebas- dan aman-aman saja. Tidak memiliki konsekuensi hukum apa-apa. Parade Merah Putih di Banyumas, Ulang Tahun Ulama di Pekalongan, rombongan ke KPUD di Solo, pengajian dan walimahan di berbagai tempat, selama ini bisa bejalan dengan bebas. Giliran Habib Rizieq Shihab pulang, dan dijempu oleh ratusan ribu orang, mulailah segala bentuk perlu diberlakukan. Bahkan sangat ketat. Marah sana marah sini. Semua yang terlibat dengan kerumunan massa di sekitar Habib Rizieq menjadi was-was. Begitulah publik memotret situasi sekarang ini. Selama ini, dengan dalih protokol kesehatan dan aturan PSBB, pemerintah punya alasan kendalikan pengerahan massa. Kalau sifatnya hanya untuk menghindari kerumunan, ini baik dan memang harus dilakukan. Dengan catatan, pertama, ini harus berlaku untuk semua. Tanpa kecuali. Tidak tebang pilih. Mesti adil. Namun, jika ini hanya berlaku untuk mereka yang kontra dan kritis terhadap pemerintah, itu sama saja pembunuhan demokrasi. Kedua, kewajiban menjalani protokol kesehatan tidak lantas boleh dimanfaatkan pemerintah, atau juga DPR untuk membuat aturan dan kebijakan tanpa melibatkan aspirasi rakyat. Alasan bahwa rakyat nggak boleh berkumpul karena pandemi, tetapi banyak kebijakan yang dibuat tanpa memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat, itu sama saja pembunuhan demokrasi dalam bentuk lain. Nampaknya, rakyat telah merasakan mati surinya demokrasi selama ini. Apalagi jika setiap aspirasi yang muncul harus berhadapan dengan ancaman pidana. Makin menakutkan saja. Sayangnya, tekanan tidak membuat rakyat tidak semakin takut. Jangan sampai hukum yang semestinya dibuat untuk melindungi negara dan rakyat justru berubah fungsi jadi musuh demokrasi. Hal ini mesti segera dievaluasi. Jangan gara-gara pandemi, demokrasi mati, dan pemerintah membuat kebijakan semau hati. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Sosio-Engineering Menuju Jambi Kota Bisnis
by Luthfi Pattimura Jambi FNN – Jum’at (20/11). Jambi bukanlah suatu daerah yang baru, atau jauh. Dibentuk sebagai Provinsi Jambi pada tanggal 6 Januari 1956. Sebagaimana daerah lain di Indonesia, hambatan perkembangannya juga datang dan pergi tanpa peringatan. Diantara hambatan dimaksud, ada ramuan kecemasan yang mudah dikenal tatkala kita berada di Jambi. Asap kebakaran hutan misalnya, sering keluar masuk rumah-rumah hingga gedung perkantoran sepanjang Kota Jambi. Juga, banjir di setiap musim hujan. Tulisan ini bukan untuk merinci ongkos lingkungan akibat ramuan kecemasan tersebut. Apalagi untuk merinci Jakarta yang sudah tak lagi memanusiakan orang. Kegemukan Jakarta yang sudah musti dikurangi, sehingga pemindahan ibu kota negara bukan sekedar wacana. Seperti daerah lain dengan pusat-pusat kegiatan yang penting, di era industri dan perdagangan yang makin kompetitif, tulisan ini mengakui, bahwa menggerakkan arus orang dan barang bagi pertumbuhan daerah Jambi juga penting. Begitu Pula upaya untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi di Jambi. Tidak semuanya bergantung pada pergerakan arus orang dan barang. Karena ketahanan air dan pangan nasional menjadi fokus sorotan, maka pembangunan bendungan dan embung di Jambi ikut pula menjadi fokus sorotan. Infrastruktur Air Manjakan Petani Jambi Seperti diketahui, potensi air di Indonesia sebesar 2,7 triliun meter kubik per tahun. Potensi ini cukup tinggi. Dari volume tersebut, air yang bisa dimanfaatkan sebesar 691 miliar meter kubik per tahun. Namun masih sekitar 222 miliar meter kubik per tahun yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. “Dengan potensi itu, keberadaannya tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Sehingga kita membutuhkan tampungan-tampungan air baru,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) M. Basuki Hadimuljono. Tujuan jangka panjang dari pembangunan bendungan dan embung/setu yang tidak disangsikan lagi adalah agar air bisa ditampung pada musim hujan. Lalu dimanfaatkan pada musim kemarau. Jatuhnya, akses air ke pemberdayaan potensinya adalah tiket ke ketahanan air dan pangan nasional. Kita tak boleh mengabaikan tiket ke sana itu. Tiket itu sedang dan akan melewati Jambi. Direktorat Jenderal (Ditjen SDA) Kementerian PUPR memang selalu konsisten. Melalui Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VI Provinsi Jambi, yang konsistensi segera setelah para petani musti sejahtera. Pastilah itu. Karena manfaat dari pembangunan bendung, bendungan hingga embung. Dari normalisasi jaringan rawa, hingga sistem pengendali muka air di pintu sungai. Satu lagi, wisata danau, seperti yang kami lihat di sana. Lihat saja pembangunan irigasi sawah Daerah Irigasi (DI) Siulak Deras-Kerinci seluas 5.819 hektar, pembangunan irigasi DI Batang Sangkir seluas 4.169 hektar yang sudah fungsional, kemudian Bendung Batang Asai dan Jaringan Irigasi DI Batang Asai. Juga, pembangunan Embung Desa Bukit dan Embung Danau Pauh-Sarolangun. Yang lain adalah mengamankan 4.000 hektar luas genangan kota Jambi, dengan sistem Flood Management Centre (FMC). Dan pembangunan tempat wisata di Danau Sipin kota Jambi, untuk mengamankan genangan air. Dana APBN yang digelontorkan ke Jambi tiap tahun kian meningkat. Dana ini pastilah menjadi sandaran kesejahteraan hidup petani sawah. Dosen Teknik Univ Batanghari dan Univ Negeri Jambi Ir. M Asmuni Jatoeb,MT. memperkirakan, masyarakat petani kebun akan kembali menjadi petani sawah, kalau luasan irigasi sawah di Kerinci dan Batang Sangkir, bisa dikelola dengan baik. “Kalau tidak, ribuan luas hektar area irigasi sawah itu, siapa yang mau mengelola? Karena selama ini kita lihat banyak masyarakat petani beralih dari petani sawah ke petani kebun,” demikian Asmuni Jatoeb. Masyarakat memang harus terus didorong, dari yang tadinya masyarakat petani kebun kembali menjadi petani sawah. “Jadi kita harus dorong bagaimana masyarakat kembali ke sawah. Perlu sosialisasi ke masyarakat, termasuk melalui pergutruan tinggi, melakukan pengabdian masyarakat. Semua perlu diajak bagaimana melakukan penyuluhan dan sosialisasi ke masyarakat.” Masih menurut Asmuni, Jambi sekarang sudah berkembang. Lihat terutama sejak ada infrastruktur, kota Jambi jadi ikut berkembang. Sekarang telah dicoba dengan berbagai upaya. Kini Jambi berkembang menjadi dua kota dan sembilan kabupaten. Akses transporatsi, dulu mengandalakan transportasi sungai. Dulu di (seberang Batanghari) itu sulit dijangkau dengan transpiortasi darat. Sekarang sudah lancar. Dengan adanya dua balai (Balai Pelaksanaan Jalan Nasional dan Balai Wilayah Sungai), menurut Asmuni, perkembangannya cukup baik. Kendatipun kalau dilihat sepintas, “dalam perencanaan, Kota Jambi masih kurang terencana dengan baik. Lebih tumbuh alami. Tidak terkonsep dengan baik. Akses jalan dibuat oleh masyarakat secara suka-suka”. Dari penanaman modal, perkembangan lima tahun terahir di Jambi, bisa kita lihat pada kehadiran hotel bintang lima dan lima. “Pesat sekali. Balai sungai juga mengembangkan salah satunya Danau Sipin. Dana yang tadinya terbengkalai, kini menjadi obyek wiiata baru. Potensi sumberdaya airnya besar sekali. Cuma masih terkendala dengan akses jalan.” Karena selama ini kita lihat banyak masyarakat petani beralih dari sawah ke petani kebun, maka perlu didorong supaya masyarakat kembali ke sawah. Caranya, antara lain perlu sosialisasi ke masyarakat, khususnya melalui Perguruan Tinggi. Kegiatan pengabdian masyarakat. Perguruan Tinggi perlu diajak bagaimana melakukan penyuluhan dan sosialisasi ke masyarakat. Demikian sosialisasi seperti diakui PPK Irigasi dan Rawa I Satuan Kerja Non Vertikal Terpadu (SNVT) Pelaksana jaringan Pemanfaatan Air (PJPA) Wilayah Sungai (WS) Batanghari Prov Jambi, Edy Fahriza, ST. MT. yang menangani masalah kegiatan di daerah rawa. Targetnya untuk mengoptimalkan produksi sawah dan perkebunan. Caranya normalisasi jaringan rawa supaya sirkulasi air ke daerah rawa bisa lancar dan bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. “Awalnya mereka tidak setuju. Tetapi setelah kita lakukan pendekatan dengan cara sosialisasi di awal ke masyarakat secara langsung, ternyata mau mengerti. Dimana masyarakat dikumpulkan di balai desa. Kita sosialisasi pekerjaan, dan kita kasih gambaran. Kita kasih tahu fungsi dan manfaat proyek buat apa? Barulah menangani masalah kegiatan di daerah rawa itu diterima,” kata Edy Fahriza. Pendekatan dan sosialisasi, yang bahkan diharapkan tidak berhenti hanya di penggambaran manfaat dari sebuah proyek. Tetapi juga bisa sampai ke edukasi masyarakat. Misalnya, untuk bersama-sama bisa saling menjaga sungai-sungai ke depan. “Kita punya upaya non struktural/non fisik seperti sinergi antar Kementerian/Lembaga dan komunitas peduli sungai, dan komunitas penghijauan kawasan hulu sungai. Komunitas ini yang melakukan edukasi kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai,” kata Dirjen SDA Kementerian PUPR Jarot Widyoko dalam suatu kesempatan. Seperti halnya refleksi tanggungjawab seorang pejabat dirjen hingga PPK. Dimana pun, setiap orang juga merasa kental dengan profesinya, dengan bidang usahanya masing-masing. Hari ini melihat perubahan, bisa jadi besok pagi ia berharap. Akademisi Universitas Jambi, salah satunya. Jambi menuju kota bisnis diakui Prof.Dr. Bahder Johan Nasution, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi, yang juga Ketua Assosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Provinsi Jambi. “Kalau wisata alam di Jambi memang dari dulu tidak seperti daerah lain yang punya nilai jual lebih. Tetapi kalau dibilang kota bisnis itu sangat tepat. Karena perkembangan ekonomi, bisnis, industri di Jambi dari tahun ke tahun selalu meningkat”. Menurut Prof Bahder, sejauh ini tidak ada konflik antara pemerintah dan masyarakat menyangkut lahan kalau untuk pembangunan jalan. “Sepanjang yang saya ketahui tidak ada kasus-kasus untuk hal-hal seperti itu. Cuma, pemerintah Jambi masih kurang promosi tentang produk Jambi sebagai kota bisnis. Itu bisa kita lihat misalnya di bandara. Masih perlu banyak pengembangan home industri di bandara yang memacu pertumbuhan bisnis“. Yang lain adalah Jumali yang akrab disapa Ali (37). Pengusaha rumah makan Aroma Cempaka di Jambi yang sudah bergerak sejak 1987. Sebagaimana daerah lain di Indonesia, ia mengaku perekonomian di Jambi juga ada grafik naik. Ada perubahan bagi pelaku bisnis. “Jambi lebih pas kota bisnis. Usaha-usaha apapun di Jambi mendukung, karena orang cenderung putar uang bagus di Jambi. Kalau kota wisata salah masuk dia ke Jambi. Kendatipun masalah lahan tidur (lahan yang tidak dimanfaatkan) masih cukup banyak di Jambi sebagai isu strategis lokal, namun makin jelaslah. Mau daerah baru atau jauh. Kini saatnya manjakan petani di Jambi dengan infrastruktur sumberdaya air. Apakah akan selesai? Belum. (bersambung).
Surya Paloh DBD, Atau Positif Covid Juga?
by Luqman Ibrahim Soemay Jayapura FNN – Kamis (19/11). Rabu kemarin media massa nasional ramai memberitakan Ketua Umum Partai Nasdem dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Surya dirawat di RSPD karena Demam Berdarah Donggie (DBD). Demikian tulis Kompas.com Rabu kemarin (18/11/2020). “Semalam saat diperiksa oleh tim dokter, trombosit Pak Surya memang menurun. Meski masih dalam batas yang nomal, “ujar Ketua Bidang Media dan Komunikasi Publik DPP Partai Nasdem, Charles Meikyansah. Charles menambahkan, “Surya dirawat di RSPAD sejak Selasa malam atas permintaan sendiri, guna mendapatkan perawatan yang lebih baik”. Lebih lanjut , Charles mengatakan, kondisi Surya Paloh saat ini sudah mulai membaik. Charles berharap, Surya dapat kembali sembuh. “Kami memohon do’a dari semuanya. Insya Allah Pak Surya cepat sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa, “pungkasnya. Apakah Hanya DBD? Terkait dengan DBD yang diderita Pak Surya Paloh sejak Selasa kemarin itu, kita sepakat untuk mendo’akan semoga Allah Subhanahu Wata’ala segera menyembuhkannya. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala segera mengangkat segala penyakit yang diderita Pak Surya Paloh. Baik itu DBD maupun penyakit-penyakit lain yang ada di dalam tubunya Pak Surya Paloh. Semoga Pak Surya Paloh sembuh dan sehat lagi, sehingga bisa segera keluar dari RSPAD. Semoga Pak Surya Paloh dapat kembali beraktivitas seperti biasa. Sebagai Panglima Besar restorasi, semoga Pak Surya Paloh kembali sehat untuk memimpin dan mengawal pelaksanaan restorasi yang masih mandeg. Baik itu restorasi di internal Partai Nasdem maupun bangsa. Namun pertanyaannya, apakah Surya Paloh hanya terkena DBD saja? Apaklah Pak Surya Paloh tidak terjangkit penyakit lain? Misalnya, bagaimana kalau Surya Paloh selain terkena DBD, juga terpapar virus covid 19? Apakah tetap dikondisikan untuk mengatakan bahwa Pak Surya hanya terkena DBD saja? Sangat tidak bijak kalau Pak Suya Paloh yang hanya terkena DPD. Tetapi dipaksakan untuk mengatakan, Pak Surya Paloh juga terkena penyakit selain DPD. Namun menjadi sangat menghawatirkan kita semua, bila Pak Surya Paloh kemungkinan terjangkit penyakit lain, covid 19 misalnya, tetapi mau dipaksakan untuk mengatakan bahwa Pak Surya Paloh hanya terkena DPD. Menyampaikan informasi yang sebenarnya menganai penyakit yang diderita Pak Surya Paloh selian DBD itu, menjadi sangat penting. Apakah Pak Surya Paloh sekarang hanya ansih terkena DPD? Atau selain DPD, Pak Surya Paloh juga positif terpapar covid 19? Ini menjadi penting, karena berkaitan dengan cara dan metodologi yang harus digunakan dalam penanganan terhadap Pak Surya Paloh. Kalau Pak Surya Paloh hanya terkana DPD, maka tidak perlu untuk diisolasi. Namun jika selain DBD, misalnya Pak Surua Paloh juga positif terpapar covid 19, maka penangannya menjadi berbeda lagi. Pak Surya Paloh perlu diisolasi di ruangan khusus. Ruangan isolasi untuk mencegah Pak Surya Paloh kemungkinan menjangkitkan kepada orang lain yang bersentuhan dengannya. Memproduksi Cluster Baru Sementara itu, berdasarkan infomasi A1 (katagori lingkaran satu) yang didapat Portal Berita Online FNN.co.id dari sumber yang sangat terpercaya, Surya Paloh sekarang positif terpapar covid 19. Meski demikian, sampai sekarang belum ada pernyataan resmi yang menyatakan kalau Surya Paloh positif terpapar covid 19. Baik itu pernyataan dari pihak RSPAD maupun Partai Nasdem. Tragisnya, Pak Surya Paloh sekarang ditangani di RSPAD bukan dengan pendekatan dan protokol pasien yang positif terpapar covid 19. Pak Surya Paloh tidak diisolasi di ruangan khusus. Pak Surya Paloh ditangani layaknya pasien DBD biasa. Sehingga kenyataan ini telah menimbulkan keresahan yang sangat tinggi di kalangan sebagian tenaga medis yang bekerja di RSPAD yang mengetahui informasi ini. Sebab setiap saat bisa menciptakan cluster baru covid 19 di RSPAD. Padahal, berdasarkan penelusuran yang dilakukan FNN.co.id, Pak Surya Paloh telah dengan legowo (besar hati) bersedia untuk ditangani berdasarkan protokol covid 19. Hanya saja, kebijakan menejemen RSPAD yang belum mau untuk mengumumkan bahwa Pak Surya Paloh positif terpapar covid 19. Belum diketahui, apa pertimbangan manajemen RSPAD, sehingga belum diumumkan? Babaiknya RSPAD perlu mengumumkan kalau Pak Surya Paloh positif terpapar covid 19. Dengan demikian, cara dan metode penanganan didasarkan pada protokol covid 19 yang sudah ditetapkan WHO. Toh, virus laknat covid 19 bukanlah penyakit yang memalukan. Bukan aib yang perlu untuk disembunyikan dari publik. Malah sebaliknya. Perlu disampaikan kepada publik untuk berjaga-jaga, dan meningkatkan kewaspadaan dalam rangka memutus mata rantai penularan. Banyak kepala kepala negara dan pemerintahan dunia yang sudah dinyatakan positif terpapar covid 19. Misalnya, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Amerika Donald Trump, Presiden Brasil Jair Balsonaro, dan Presiden Balarusia Alexander Lukashenko. Pejabat negara seperti Menteri Perhuhubungan Budi Karya Sumadi pernah positif terpapar covid 19. Infor tentang Budi Karya ini diumumkan terbuka kepada publik. Alhamdulillah wasyukurillaah, Pak Budi Karya sekarang sudah sembuh. Semoga Pak Surya Paloh juga segera sembuh, amin amin amin ya robbii. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Ketidakadilan Hukum Kepada HRS & Anies
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (19/11). Al-Qur'an Surat Annisa 58 mengingatkan kepada orang yang beriman dan juga umat manusia tentang dua hal. Kedua hal tersebut sangat relevan dengan peran kepemimpinan yang sedang diambannya. Pertama, perlunya menunaikan amanat. Dan amanat itu harus teralokasi kepada yang berhak (innallaha ya'murukum an tu-addul amanati ilaa ahliha). Amanat rakyat harus kembali kepada rakyat, bukan hanya sampai kepada keluarga, kerabat atau kroni. Kedua, jika menegakkan hukum, maka tegakkan dengan adil (wa Idza hakamtum bainan naas an tahkumuu bil adl). Keadilan adalan nilai tertinggi dalam hukum. Asas keadilan adalah kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law). Konstitusi negara RI menjamin asas kesamaan kedudukan tersebut sebagai konsekuensi dari prinsip negara hukum. Fenomena tersebut sekarang di negeri ini, terutama pada dua hal di atas amburadul atau acak-acakan. Amanat jabatan dikhianati dan rakyat tidak menjadi prioritas. Banyak pejabat yang lebih mementingkan diri, keluarga, dan kroni. Akibatnya korupsi, kolusi, nepotisme merajalela. Itu dilakukan secara bersama-sama, terang-terangan dan tanpa rasa malu. Pelaksanaan hukum aktual menampilkan wajah ketidakadilan. Covid 19 telah menjadi tongkat pemukul untuk memukul siapa saja yang dikehendaki. Ada yang dipukul dengan keras. Namun ada yang nyaman-nyaman saja karena sengaja memukul angin. Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Anies Baswedan dipukul dengan keras, karena adanya "kerumunan" banyak orang. Dampaknya dua Kapolda dan dua Kapolres dicopot dari jabatannya. Wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadi sasaran pukulan itu. Di sisi lain, kerumunan di acara Kliwonan Habib Luthfi yang menjadi anggota Watimpres di Pekalongan dan Long march 9.000 Banser di Banyumas Jawa Tengah lancar-lancar saja. Untuk dua acara ini, tanpa teguran. Apalagi sampai pencopotan Kapolda dan Kapolres segala. Begitu juga tanpa ada pemanggilan Gubernur Jawa Tengah. Maklum dia kader PDIP. Pendaftaran KPU anak Presiden Gibran Rakabuming di Solo dengan kerumunannya juga aman-aman saja. Sementara di Medan, menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution dan kerumunan Pilkada lain sami mawon. Satu kalimat cukup untuk ini adalah "ketidakadilan hukum". Rakyat sudah tahu dan merasakan bahwa Pemerintahan Jokowi tidak adil. Banyak mempermainkan hukum untuk kepentingan politik. Dari mulai Perppu, RUU HIP, UU Omnibus Law, UU ITE, hingga Covid 19 yang menjadi alat pemukul untuk memberangus lawan-lawan politik. Kini dua tokoh menjadi target, yaitu HRS dan Anies. Akan tetapi magnet keduanya dipastikan juga cukup kuat untuk meraih simpati dan dukungan rakyat. Bisa dibayangkan ketika keduanya mengikuti tahapan proses pemeriksaan Polisi, bahkan mungkin juga di Pengadilan nanti. Rakyat dan umat akan ikut berkerumun membesar dengan dukungan dahsyat. Gelombang perlawanan dapat bereskalasi di luar dugaan. Rezim Jokowi telah membuka jalan bagi peningkatan kejengkelan bahkan kemarahan. Di belahan dunia manapun, dan sejarah kapanpun telah dibuktikan bahwa ketidakadilan adalah gerbang strategis dari perubahan. Kembali kepada ayat Qur’an Surat Annisa 58 di atas, maka soal amanat dan keadilan merupakan pelajaran sempurna dari Allah "Innallaha ni'imma ya'idhukum bih". Urusan amanat yang dikhianati atau hukum yang dijauhkan dari keadilan, maka "Innallaha kaana samii'an bashiiro"-- Sesungguhnya Allah SWT Maha Mendengar dan Maha Melihat. Jika Allah SWT sudah membuat keputusan atas dasar Pendengaran dan Penglihatannya. Maka tak ada suatu kekuatan apapun yang bisa mencegah dan menghindar dari hukuman-Nya. Na'udzubillah min dzalik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Antara Anies dan Penyidik, Mushalla Kecil Itu Jadi Saksi
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (19/11). Manusia boleh berencana dan merekayasa, tetapi Tuhan yang menjadi penentu takdirnya. Banyak peristiwa tak terduga telah menyadarkan kita betapa Tuhan ada dan hadir dalam kehidupan kita. Dengan iman, ada kepasrahan dan petunjuk jalan. Iman menuntun dan memberi kemampuan untuk menjemput keputusan takdir-Nya Allah Subhanahu Wata’ala. Pahit-manis dan suka-duka, itu hanya panampakan di dalam perasaan manusia belaka. Karena hidup itu pada hakekatnya adalah kejujuran. Allahu Akbar... Allahu Akbar... Takbir adzan itu hanya bisa dirasakan oleh hati-hati yang di dalamnya Tuhan memberikan tempat. Tuhan tak hadir pada manusia yang tidak merasa butuh, apalagi alergi mendengar suara takbir-Nya. Mushalla kecil di pojok ruangan Polda Metro Jaya itu jadi saksi. Di sela-sela pemeriksaan, Anies datang menyambut panggilan itu. Kali ini bukan polisi yang panggil, tetapi Tuhan. Allah Pemilik Semua Istana. Istana langit maupun istana merdeka. Ditinggalkannya para penyidik, lalu Anies datang ke tempat dimana takbir itu memanggil. Tak ada yang bisa menghalangi saat penguasa alam ini berkehendak. Anies keluar dari ruang pemeriksaan dan melangkah ke mushalla kecil itu. Ambil air wudhu, lalu shalat dhuhur empat raka'at. Begitu juga saat waktu ashar tiba. Panggilan Tuhan tetap yang utama. Otentik, tanpa rekayasa. Anies datang tanpa beban, karena Tuhan yang memanggil itu sungguh Maha Adil dan Penyayang. Arsy Tuhan beda dengan istana manusia yang sarat dengan intrik dan tekanan. Matahari merangkak pulang. Gelap datang merayap tanda waktu magrib tiba. Adzan lagi-lagi berkumandang. Muadzin di mushalla mensosialisasikan takbir Tuhan. Ayo Shalat. Waktunya menghadap Tuhan, kata muadzin itu. Keluar dari ruangan, Anies bergegas ke mushalla. Sampai di Mushalla, Gubernur DKI ini didaulat menjadi imam. Jika anda jadi imam shalat dhuhur dan ashar, nggak perlu takut. Karena nggak ada yang tahu bagaimana kualitas bacaan anda. Salah benar, hanya Tuhan yang tahu. Mungkin anda sendiri juga nggak tahu. Tidak usah ragu. Orang juga nggak tahu anda paham atau tidak arti ayat yang anda baca. Yang penting di imam sholat dhuhur dan ashar adalah pastikan jumlah raka'at anda benar. Usahakan takbir anda agak sedikit fasih. Terutama jika ada kamera sedang menyorot anda. Bagaimana jika anda ditawari jadi imam shalat magrib? Untuk yang ini anda harus ukur diri. Tajwid, fashahah dan penghayatan makna mesti anda perbaiki dulu sebelum anda menyanggupi tawaran itu. Jangan gara-gara kamera, anda bersemangat terima tawaran dan nggak peduli defisit kemampuan. Tak ragu, tak ada was was, Anies maju dan menjadi imam shalat magrib. Nampak memang ia terbiasa jadi imam. Baik imam shalat, maupun imam di luar shalat. Allahu Akbar, shalat dimulai. Raka'at pertama, Anies membaca al-Fatihah. Ini bacaan wajib. Tanpa al-Fatihah, tidak sah shalatnya. Kecuali bagi pengikut mazhab Hanafi. Setelah membaca al-Fatihah, Anies membaca surat al-Insyirah. Ini surat pilihan. Mengapa Anies memilih surat al-Insyirah? Kita perlu tahu apa kandungan di dalam surat al-Insyirah itu. Dari situ kita akan bisa membaca apa maksud Anies memilih untuk membaca surat ke-94 ini. Surat al-Insyirah, "Tidakkah Kami (Allah) telah melapangkan dadamu. Dan Kami telah meletakkan darimu bebanmu. Yang telah membebani punggungmu. Dan Kami telah tinggikan namamu. Sesungguhnya di dalam kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya di dalam kesulitan ada kemudahan. Jika kamu sudah selesai, lanjutkan pekerjaan. Dan kepada Tuhanmu hendaknya engkau berharap" Surat al-Insyirah menjelaskan pertama, tentang perlunya kelapangan dada. Kedua, kelapangan dada membuat semua beban ditanggalkan. Ketiga, dari situlah sebuah nama akan diangkat dan ditinggikan. Keempat, bahwa setiap kesulitan selalu ada kemudahan Dua kali narasi ini diungkapkan dalam surat itu. Berarti, ini sunnatullah. Kelima, perintah untuk move on. Selesai satu urusan, lanjut urusan yang lain. Jangan diratapi. Nggak boleh baper. Ketujuh, tetap rendah hati, dan sadari bahwa semua itu Tangan Tuhan yang menggerakkan. Karena itu, jadikan Tuhan sebagai kiblat dan arah tujuan. Kandungan surat al-Insyirah yang sengaja dipilih Anies di raka'at pertama seolah menggambarkan situasi obyektif yang sedang dihadapinya. Ada kesadaran bahwa untuk menghadapi masalah perlu berlapang dada. Dengan begitu, semua kesulitan akan menjadi mudah. Badai akan berlalu, dan bersegeralah untuk move on. Kemudian melanjutkan tugas berikutnya. Kalau peristiwa ini menyebabkan banjir dukungan dan nama makin ditinggikan, itu bonus, sebagaimana ayat itu telah mengkonfirmasinya. Anies sepertinya mengerti betul kandungan makna dari surat yang dibacanya. Faktual dan kontekstual. Tepat dengan situasi yang sedang dihadapinya. Dari surat ini, sepertinya Anies menjadikannya sebagai pondasi dan referensi untuk menghadapi persoalan yang sedang menimpanya. Raka'at kedua Anies membaca al-Fatihah lagi. Ini surat yang wajib dibaca. Setelah membaca al-Fatihah, Anies membaca surat al-Baqarah 286, sebagai ayat pilihan. Surat al-Baqarah ayat 286 berbunyi, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ada pahala untuk kebajikan yang diperbuatnya, dan ada siksa untuk kejahatan yang dilakukannya....." Membaca ayat ini Anies sepertinya sadar betul. Pertama, betapa Tuhan selalu bertindak proporsional. Mengukur kemampuan sebelum pelajaran itu diturunkan kepada setiap hamba. Kedua, benar-salah dan baik-buruk, semua akan dipertanggungjawabkan. . Membaca ayat ini memberi keyakinan dan optimisme Anies bahwa setiap masalah pasti bisa diselesaikan. Karena itu, hadapi saja. Jangan pernah lari dan hindari masalah. Apakah itu masalah beneran atau direkayasa, hadapi. Toh salah-benar dan baik-buruk, sejarah akan membuka dan pasti akan meminta tanggung jawabnya. Anies hadir di Polda Metro Jaya, tepat waktu. Meski pemanggilan terkesan tergesa-gesa dan mendadak. Anies datang, hadapi dan jawab 33 pertanyaan. Rakyat menunggu sejarah membuka fakta-fakta yang sebenarnya. Dua surat pilihan yang dibaca Anies dalam shalat magrib bisa jadi "rujukan" bagi setiap warga negara yang dipanggil dan sedang menghadapi penyidik. Di dalam kedua surat itu, selain bicara kemudahan, juga menyinggung soal salah dan benar yang masing-masing ada tanggung jawabnya. Penulis Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Analisis Intelektual dan Spiritual terhadap Isu Pandemi
by Setyo Hajar Dewantoro Jakarta FNN - Rabu (18/11). Fakta yang kita bisa buktikan bersama-sama selama 9 bulan belakangan ini adalah "Destruksi yang terjadi pada kehidupan kita terjadi karena kebijakan bukan karena virus. Yang membuat anak-anak kehilangan kesempatan bersukacita bersama-sama dengan teman-temannya di sekolah bukanlah virus, tapi penetapan kebijakan sekolah online. Banyak pegawai kehilangan pekerjaan, banyak pekerja serabutan dan pengusaha beragam skala kehilangan nafkah, juga bukan karena virus tapi karena kebijakan PSBB yang membatasi geliat ekonomi." Sampai detik ini, sebetulnya tak ada yang bisa membuktikan bahwa di Indonesia ini ada virus yang sama dengan di Wuhan, dan orang di Indonesia tertular oleh siapapun yang pernah ke Wuhan. Yang pasti, semua nujuman seram tentang kematian massal di jalan-jalan karena serangan virus sama sekali tak terjadi. Death ratio di Indonesia tak berubah. Yang ada adalah orang-orang tak bergejala sakit tapi divonis sakit, dan segala bentuk sakit yang lain yang biasa terjadi di Indonesia diklaim sebagai fakta bahwa virus seperti yang di Wuhan itu ada dan bahaya. Tentang pernyataan ini, kita tak usah berdebat konyol: tunjukkan saja jurnal ilmiah hasil riset yang serius bahwa di Indonesia memang ada virus seperti di Wuhan dan memenuhi gold standar sebab akibat bahwa itulah yang menjadi penyebab infeksi dan sakit banyak orang di Indonesia. Kehebohan di Indonesia terjadi karena hasil test PCR yang setelah kita pelajari bersama kita jadi mengerti bahwa test itu sama sekali tak bisa membuktikan adanya infeksi, hanya menunjukkan ada materi genetik yang "disimpulkan sebagai virus". Di sini ada dua pendapat yang berbeda tetapi sama-sama menegaskan bahwa menentukan bahwa di Indonesia ada pandemi berdasarkan test PCR adalah gegabah: Test PCR benar-benar bisa mengindentifikasi keberadaan virus seperti di Wuhan (catat, seperti atau mirip, bukan sama) - tapi tidak bisa memastikan itu virus mati arah hidup, alat ini tak bisa membedakan orang sekadar terpapar dan terinfeksi.Test PCR sebenarnya tidak memastikan dengan pasti keberadaan virus seperti di Wuhan karena yang diidentifikasi itu belum dimurnikan, bisa saja itu adalah virus lain, bakteri, atau eksosom. Jika kita mengerti itu semua, kita bisa simpulkan bahwa yang terjadi saat ini bukanlah FENOMENA NATURAL dimana alam semesta sedang menyeimbangkan dirinya dengan memunculkan virus tertentu. Sama sekali bukan, yang terjadi sekarang hanyalah FENOMENA SOSIAL POLITIK yang dirancang para global player dan kolaboratornya. Selanjutnya, mari kita lihat secara spiritual fenomena ini, secara lebih spesifik siapa saja yang pasti berdosa dan pasti ngunduh wohing pakarti dalam keadaaan ini. Yang pasti, siapapun yang memilih tidak bermasker, tetap berjalan-jalan, tetap menghidupkan perekonomian, tetap berkegiatan sosial budaya - TIDAK MENANGGUNG DOSA ATAU KARMA BURUK. Mereka hanya salah dimata hukum pemerintah tapi tak salah secara hukum kosmik. Secara hukum kosmik atau hukum Tuhan, orang berkerumun di masa sekarang sama sekali tidak salah dan tidak akan menanggung hukuman Tuhan baik sekarang maupun nanti. Demikian juga, menolak vaksin bukanlah kesalahan di hadapan hukum kosmik atau hukum Tuhan (Jika ada yang menyangkal, mari kita buktikan dengan berbagai cara yang mungkin - saya sebagai guru meditasi terbiasa mendeteksi tubuh karma banyak orang untuk mengukur kadar karma buruk di situ). Secara hukum kosmik atau hukum Tuhan, yang BERSALAH dan pasti ngunduh wohing pakarti atau memetik resiko perbuatannya kini atau kelak adalah : Siapapun yang membuat kebijakan tanpa dasar sains yang akurat, tanpa juga dilandasi petunjuk Tuhan, lalu membuat susah banyak orang. Termasuk di sini adalah yang dengan otoritasnya membuat penetapan status pandemi, menerapkan PSBB, menetapkan pemaksaan penggunaan masker dan prokes ala WHO lainnya (Jika ada di lapangan penyimpangan dan penyalahgunaan dengan memanfaatkan kebijakan itu, karma buruknya semakin bertumpuk.) Siapapun yang memanfaatkan situasi ini untuk memperkaya diri dengan bisnis APD dan alkes yang sebetulnya tidak urgent. Siapapun yang memaksakan vaksin tanpa menimbang bahaya dan urgensinya, apalagi semata-mata menimbang dalam proyek vaksin ini ada keuntungan trilyunan rupiah untuk modal kampanye Pilpres 2024. Saya menyaksikan secara jiwa sebetulnya semua pelaku sudah ngunduh wohing pakarti, ada resiko yang sangat pedih yang sudah mulai ditanggung. Tapi ini belum final karena fisiknya masih ada dan sehat, masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri atau bertobat. Setelah tulisan ini saya akan semakin jarang membahas issue ini. Sudah banyak orang termasuk para dokter yang memberikan pandangan yang konstruktif. Inilah momennya rakyat mendengar pendapat-pendapat yang lebih sehat dan benar. Saya tetap bekerja tapi dengan cara lain. Jiwa raga saya pertaruhkan untuk keselamatan bangsa ini. Penulis adalah seorang spiritualis.
Nikita Dipelihara Siapa?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (17/11). Nikita Mirzani menjadi sangat populer untuk tiga hal. Pertama, sebagai artis yang paling seronok. Kedua, menghina Habib Rizieq Shihab (HRS). Ketiga, dilindungi oleh Polisi. Kontroversi dirinya bukan semakin terkendali, tetapi justru tambah "menantang". Belakangan Nikita Mirzani berani mengklaim kalau dirinya sebagai aset negara. Apakah dia memang sedang dipelihara? Sebab Ade Armando saja menduga kalau Nikita Mirzani sedang menjalankan misi Presiden Jokowi. Ironi kan? Toleransi dan support atas akting dan tampilannya menjadi cermin bobroknya moral bangsa sekarang. Jika, kalau kekuasaan berada di belakangnya, maka sama saja dengan mendukung moral dekaden. Hal ini berarti pelecehan yang nyata-nyata terhadap hukum. Nikita semestinya bukan dilindungi aparat. Tetapi segera diproses secara hukum karena beberapa alasan. Pertama, penghinaan atau pencemaran terhadap Habib Rizieq Shihab, yang artinya telah nyata-nyata melanggar ketentuan Pasal 310 ayat (1) KUHP maupun Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU Informatika dan Teknologi Elektronika (ITE). Tentu ini adalah klacht delict. Kedua, melanggar UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal 10 UU Pornografi menyatakan, "setiap orang mempertontonkan diri dan orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya". UU No. 44 tahun 2008 Pasal 36 mengatur sanksi pidana atas perbuatan dalam Pasal 10 tersebut di atas dengan hukuman penjara 10 tahun dan/atau denda sebesar Rp 5 miliar. Dengan video yang beredar, Nikita Mirzani sudah terkena ketentuan UU Pornografi tersebut, karena diduga elemen delik yang ada pada pasal-pasalnya akan mudah untuk dipenuhi. UU Pornografi dibuat untuk mencegah terjadinya dekadensi moral. Konsideran UU ini antara lain menyatakan, "bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasar Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara". Nah sudah sangat jelas kan? Sebenarnya tinggal proses hukum terhadap Nikita Mirzani dilaksanakan saja. Agar tidak ada pembiaran terhadap dugaan perilaku pornografi atau pornoaksi. Ataukah Indonesia akan semakin bobrok karena membiarkan borok-borok yang seperti ini? Kita tidak perlu mengulangi jaman Orde Lama, dimana saat pelacur-pelacur dari Gerwani menari-nari telanjang di lubang buaya. Mereka bersuka ria atas terbunuhnya para Jendral TNI-AD oleh pasukan Cakrabirawa pimpinan Letkol Untung. Para pelacur Gerwani menari telanjang sebagai wujud dan alat perjuangan komunis yang berprinsip menghalalkan segala cara. Atau juga para pelacur yang dimanfaatkan oleh Soekarno untuk menjadi bagian dari pergerakan kemerdekaa? Soekarno merujuk pada keberadaan pelacur yang menjadi tokoh di Perancis seperti Madame de Pompadoure dan Theroigne de Merricourt. Sayangnya, kita kini sudah merdeka. Negara telah berkomitmen untuk membangun bangsa dengan berbasis pada nilai-nilai moral yang luhur. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.
Dua Jenderal Dicopot, HRS Akan Dipenjara?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (17/11). Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) membuat penguasa panik. Itu wajar-wajar saja. Selama ini, sepak terjang Habib Rizieq dianggap sangat merepotkan penguasa. Apalagi ketika tokoh yang dipanggil HRS ini terus-menerus menyerukan Jokowi mundur. Kendati seruan ini tak lagi terdengar setelah HRS pulang ke Indonesia. Sudah berubah? Atau memang lagi atur strategi? Begitu juga narasi revolusi. Kata ini sering keluar dari caramah HRS. Namun belakangan, kata revolusi berubah jadi “revolusi akhlak”. Tentu saja beda makna dan penekananya. Apakah ini bagian dari strategi untuk menghindari pasal makar? Yang pasti, kepulangan HRS telah memakan banyak korban. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Nana Sujana dicopot. Begitu juga Kapolda Jawa Barat Irjen Pol. Rudi Sufriadi juga dicopot. Tak hanya dua Kapolda, dua kapolres juga ikut dicopot, yaitu Kapolres Jakarta Pusat dan Kapolres Bogor. Empat perwira polisi ini adalah kepala kepolisian di wilayah dimana HRS mengadakan acara yang menghadirkan puluhan hingga ratusan ribu massa. Mereka berampat itu adalah perwira polisi terbaik. Bukan saja di wilayah hukukmnya, tetapi terbaik di seluruh Indonesia. Tentu tidak ada yang kebetulan. Pencopotan dua Kapolda dan dua kapolres secara bersamaan sulit jika tidak dihubungkan dengan sepak terjang HRS. Apalagi telah diungkapkan bahwa pencopotan mereka karena dianggap tidak tegas mencegah pelanggaran protokol kesehatan di acara HRS. Situasi politik makin tegang ketika Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta juga dipanggil Polda Metro Jaya hari ini terkait pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan HRS. Melalui surat bernomor B/19925/XI/RES. 1.24/2020/DITRESKRIMUM, Anies akan diminta untuk meberikan klasifikasi terkait acara HRS. Anies sebelumnya telah konferensi pers, dan menjelaskan kepada publik bahwa prosedur pencegahan terhadap semua kegiatan yang berpotensi menciptakan penyebaran Covid-19, termasuk kepada HRS, telah dilakukan. Melalui Wali Kota Jakarta Pusat, surat sudah dikirim. Bahwa Pemprov DKI tak memberi ijin segala bentuk kegiatan yang berpotensi terjadinya kerumunan. Anies telah menunjukan sikap yang tegas. Ini berlaku untuk siapa saja. Tidak panda bulu. Buktinya ketika HRS melangsungkan acara walimah dan Maulid Nabi, Anies memberi sanksi denda Rp. 50 juta kepada HRS. HRS berlapang dada dan langsung membayar denda itu. Cash pula! Anies telah menjalankan prosedur kesehatan dengan benar, sesuai Pergub Nomor 79/2020 tentang Protokol Kesehatan, dan Pergub Nomor 80/2020 tentang PSBB. Lalu, apa yang salah dengan Anies sehingga Ditreskrimum Polda Metro Jaya harus memanggilnya dan minta klasifikasi? Sementara, berbagai kasus pelanggaran terhadap protokol kesehatan telah banyak terjadi di berbagai wilayah selama rangkaian Pilkada 2020. Tetapi Bareskrim tidak memanggil kepala daerah tersebut. Kapolda dan kapolresnya juga nggak dicopot. Publik mempertanyakan tindakan ini. Ganjil saja! Misal di Solo dan Medan. Rombongan yang mengantar Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, anak dan menantu Jokowi untuk mendaftar Cawalkot ke KPUD berkerumun banyak orang. Banyak yang ngggak pakai masker. Mereka mengabaikan protokol kesehatan dan melanggar aturan PSBB. Kenyataan Gibran dan Bobby ini diungkapkan sendiri oleh ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP Bambang Wuryanto. Bambang mengatakan bahwa "kerumunan yang ditimbulkan dari massa pendukung Gibran dan Bobby saat mendaftar ke KPU merupakan hal yang tak dapat dihindarkan" ....ekspresi gembira suka bikin lupa bahaya, katanya lagi. (5/9) Begitu juga Parade Merah Putih di Kabupaten Banyumas. Ansor dan Banser mengerahkan 7.000 massa. Yaqult bilang 9.999 pasukan. Kegiatan parade ini mendapatkan ijin dari pemerintah daerah. Mungkinkah 7.000 atau 9.999 orang ini bisa menghindari kerumunan? Saat berbaris, mungkin bisa. Sebelum dan setelah acara? Apalagi saat mereka sedang menyantap lezatnya makanan yang dihidangkan. Demikian juga dengan kegiatan pengajian dan dzikir Habib Lutfi di Pekalongan Jawa Tengah. Sama dengan HRS, Habib Lutfi juga punya magnet sosial yang luar biasa besar. Tentu, setiap kegiatan yang Habib Lutfi adakan akan dihadiri oleh puluhan hingga ratusan ribu jama'ah. Mereka berkerumun, dan terjadi juga pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Banyak kegiatan-kegiatan lainnya yang dipastikan terjadi pelanggaran protokol kesehatan. Namun demikian, Kapolda, kapolres dan kepala daerah dimana pelanggaran itu terjadi, tetap amansaja . Tetapi, jika HRS yang mengadakan kegiatan itu, para pejabatnya patut untuk was-was. Ada rasa ketidakadilan disini. Itu pasti. Pemerintah dianggap tebang pilih dalam bersikap. Ada perlakuan yang berbeda antara HRS dengan yang lain. Sikap pemerintah ini patut dikoreksi dan dikritik. Sebab, ketidakadilan berpotensi menimbulkan kecemasan dan ketegangan sosial. Jika kita bertanya, mengapa perlakuan terhadap HRS berbeda dengan yang lain? Mengapa dua Kapolda dan dua kapolres tempat dimana HRS mengadakan acara harus dicopot? Mengapa Anies Baswedan, Gubernur DKI dipanggil Ditreskrimum Polda Metero Jaya untuk klasifikasi acara HRS? Jawabnya, HRS dianggap tokoh berbahaya. Karena itu, perlu dicegat langkahnya. Cara paling efektif adalah mendorong semua aparat kepolisian dan kepala daerah melarang dan menghalangi panggung HRS. Dengan dicopotnya dua Kapolda dan dua kapolres serta dipanggilnya Gubernur DKI, ini akan jadi peringatan buat para Kapolda, kapolres dan kepala daerah yang lain. Jika mereka tak mencegah kegiatan-kegiatan HRS berikutnya, maka nasib mereka bisa jadi akan sama dengan dua kapolda dan dua kapolres yang dicopot di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kepala daerah yang nekat, tak menutup kemungkinan akan berurusan dengan polisi. Lalu, bagaimana reaksi dan langkah HRS setelah melihat perlakuan seperti ini? Apakah akan menyerah dan berhenti ceramah? Atau tetap akan melanjutkan road show-nya memperbesar massa dan melakukan konsolidasi jama'ah untuk melaksanakan “revolusi akhlak”? Jika berhenti ceramah, atau ceramah via zoom, maka gaung HRS akan lambat laun memudar. Heroisme HRS akan melamah, lalu dilupakan rakyat. Disisi lain, jika HRS tetap melanjutkan road show-nya, boleh jadi ia akan menghadapi banyak persoalan. Terutama soal ijin acara dan tuduhan pelanggaran Covid-19. Tak menutup kemungkinan ada lagi kasus kriminal yang menjadi alasan HRS ditangkap dan dipenjara. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Mengapa Panglima TNI Uring-Uringan?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (16/11). Judul tulisan ini berkaitan dengan pernyataan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto di Cabang Denma Mabes TNI Jalan Merdeka Barat 14 November 2020 malam lalu. Pada pokoknya Panglima TNI menggaris bawahi soal pentingnya persatuan dan kesatuan dalam menjaga stabilitas nasional. Memang stabilitas nasional lagi bermasalah Pak Panglima? Kalau stabiltas nasional bermasalah, siapa yang menjadi pengganggunya? Pak Panglima tinggal tunjuk saja batang hidungnya. Pasti bakalan digebukin endiri ramai-ramai oleh rakyat. Namun bagaimana kalau yang mengganggu stabilitas nasionan itu, dengan sengaja membuat ekonomi terpuruk? Adakah TNI punya kemampuan untuk mendeteksi yang seperti ini? Apa yang sudah dilakukan Dimana peran deteksi intelijen TNI terhadap mereka yang menggagas dan menjadi inisiator Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Sekarang telah berubah lagi menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Mengapa Pak Panglima TNI diam ketika rakyat ribut soal RUU HIP dan RUU BPIP? Mengapa Panglima tidak bilang “ada yang mau mengganggu stabilitas nasional”? Menariknya, pernyataan Panglima ini disamping bukan disampaikan dalam acara HUT TNI atau acara resmi TNI lainnya. Disampaikan saat Panglima didampingi Pangkostrad Letjen Eko Margiyono, Danjen Kopassus Mayjen Mohamad Hasan, Dankormar Mayjen TNI (Mar.) Suhartono, dan Dan Korpaskhas Marsda Eris Widodo Yuliastono. Artinya didampingi para koman dan pasukan "tempur". Menyangkut tugas TNI untuk menjaga persatuan dan kesatuan itu pasti. Sudah dipahami oleh semua prajurit TNI. Tugas TNI untuk menjamin stabilitas nasional, itu adalah hal yang normatif saja. Tetapi adanya sinyalemen dan nada ancaman, tentu menimbulkan tanda tanya. Adakah ketegangan dan kegelisahan yang mengharuskan TNI "keluar" seperti ini? Dua hal kandungan kegelisahan yang mencolo. Pertama, sinyalemen adanya provokasi dan ambisi yang "dibungkus dengan berbagai identitas". Kedua, kalimat ancaman "ingat, siapa saja yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa akan berhadapan dengan TNI. Hidup TNI, hidup NKRI". Lho, memangnya ada yang mau mengganggu? Ko nggak ditangkap? Tidak jelas juga target ancaman tersebut Panglima itu. Atau apakah itu berhubungan dengan nyanyian 'kasidah' prajurit TNI yang melantunkan "ahlan habibana" yang ditangkap dan diborgol tersebut? Betapa bahayanya nyanyian provokasi itu. Atau ketakutan oleh kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS), yang sejak penyambutan hingga acara-acaranya disambut dengan massa yang membludak? Jika urusan "sedahsyat" itulah yang dimaksud dengan pernyataan Panglima Hadi, maka sebenarnya TNI tak perlu gertak-gertak atau unjuk kekuatan segala. Kan ada Kepolisian yang siap menangani gangguan "provokasi" dan "ambisi" yang mengganggu keamanan. Ataukah TNI sudah tak percaya pada Polisi lagi? Kalau begitu adanya, maka terlaluuuuu. Netizen pun berkomentar macam-macam. Diantaranya meng-aplause tekad TNI untuk menjaga NKRI. Tetapi menyindir pontang-pantingnya para prajurit dan Panglima menghadapi "provokasi" dan "ambisi" pengganggu dan pengacau di Papua. Ngurus dan hadapi pemberontak bersentaja di Papua, nggak beres-beres. Namun kalau mengahadapi sivil society garangnya minta ampun. Demikian juga menghadapi ancaman Tentara Cina yang masuk, dan bergerak dengan leluasi di wilayah Kepulauan Natuna. Rakyat menyaksiklan dan melihat sendiri kalau "minder" nya TNI yang prajuritnya hebat-hebat itu. Baru mulai nyaman dari kegelisahan atas "provokasi" dan "ambisi" Cina itu setelah datangnya tawaran bantuan dari Amerika Serikat. Pompeo sang penenang jiwa. Kalau begini, ketegangan negara tak perlu diperlihatkan. Aada banyak cara, termasuk operasi intelijen untuk mengantisipasi "provokasi" dan "ambisi" dimaksud. Atau memang sebenarnya negara benar-benar sudah gelisah dan tegang ? Wah kasihan kalau begitu. Sebaiknya Pak Hadi Tjahjanto tidak harus tampil beringas unjuk kumis demi NKRI. Janganlah hanya menakut-nakuti dan berhadapan dengan rakyat, Pak TNI. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Anies Tegas, Beri Sanksi Kepada HRS
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (16/11). Habib Rizieq Shihab (HRS) punya magnet sosial yang luar biasa. Fenomena ini terlihat dari penyambutan massa di bandara saat Habib Rizieq pulang dari Makkah Arab Saudi. Ada puluhan, mungkin ratusan ribu, bahkan ada medias asing yang mengatakan jutaan massa yang menjemput kepulangan Habib Rizieq. Sepulang dari Makkah, massa terus berdatangan. Dimanapun Habib Rizieq berada massa memburunya seperti semut mengerumuni gula. Begitulah faktanya. Antusiasme untuk bertemu dan melepas rindu kepada Habib Rizieq tak bisa dibendung lagi. Semua berebut untuk melihat, berdekatan dan bersalaman. Ada nuansa heroisme. Hari-hari berikutnya, massa tetap berdatangan ke rumah Habib Rizieq. Mereka yang datang tidak hanya dari Jakarta dan wilayah Jawa. Banyak yang datang dari Bali, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Kabarnya, ada yang datang dari Maluku dan Papua. Sambutan terhadap Habib Rizieq juga terjadi di Gadog Puncak, sepanjang arah menuju Mega Mendung, tempat dimana Habib Rizieq mendirikan pesantren. Keluar dari tol Ciawi, massa berjubel memenuhi seluruh penggiran jalan raya. Sabtu kemarin, di rumah Habib Rizieq digelar acara pernikahan putrinya. Juga bersamaan dengan sacara Maulid Nabi. Acara tersebut mengundang banyak massa. Mereka memanfaatkan momen terbuka ini untuk berjumpa dan bersalaman dengan Habib Rizieq. Dalam acara walimah dan Maulid Nabi itu, kerumunan terjadi. Meski menggunakan masker, massa terlihat tak berjarak. Satu dengan yang lain berdesakan. Social distancing tak berlaku. Semangat untuk bertemu Habib Rizieq membuat massa lupa akan protokol kesehatan dan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Mereka tak disiplin dan melanggar aturan kesehatan. Aturan tetap saja aturan. Harus ditegakkan kepada siapapun. Tak pandang bulu. Bagi Anies, Gubernur Jakarta ini, tak perlu ada dilema. Habib Rizieq salah, ya harus diberi sanksi. Peraturan berlaku untuk semua. Untuk pegawai honorer Pemprov DKI yang dipecat, untuk Habib Rizieq, dan untuk masyarakat secara luas. Siapapun yang melanggar, aturan diberlakukan. Habib Rizieq langgar Pergub No. 79 Tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan, dan Pergub No. 80 tentang PSBB. Sanksi atas pelanggaran kedua pergub ini adalah denda 50 juta rupiah. Atas pelanggaran ini, Pemprov DKI Jakarta melalui Kasatpol PP DKI melayangkan surat pemberian sanksi denda kepada Habib Rizieq. Surat Nomor 2250/-1.75 telah diterima, dibaca, lalu Habib Rizieq membayar denda. Cash! Tidak tebang pilih, Anies menegakkan aturan untuk semua. Siapapun yang melanggar aturan Pergub Covid, maka akan diberikan sanksi. Tak peduli dia pejabat atau rakyat. Konglomerat atau tokoh masyarakat. Semua sama di depan hukum. Keadilan untuk semua. Anies, sebagai Kepala Daerah sudah tepat mengambil sikap tegas ini. Atas sanksi denda tersebut, Habib Rizieq juga berjiwa besar. Habib Rizieq bahkan mendukung langkah dan sikap tegas Anies ini. Kalau Habib Rizieq nggak diberi sanksi, bagaimana nantinya umat? Semua bisa ikutan melanggar tanpa sadar. Kalau Anies nggak tegakkan aturan, bagaimana dia bertanggung jawab di depan rakyat. Orang-orang yang pernah dapat denda bisa protes dan minta duitnya kembali. Bisa berabe. Cebong akut, buzzer dan infulencer rupiah sudah bersiap-siap dengan sejumlah jurus untuk menyerang Anies. Sayangnya gagal. Jika pemimpin di Indonesia tegas dan adil, maka negeri ini punya harapan untuk menjadi negara besar. Negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti Indonesia ini tak kunjung maju karena faktor penegakan hukum yang seringkali bermasalah. Produknya tumpang tindih, dan penegakan hukumnya terbang pilih. Tak ada negara maju di dunia jika produk dan penegakan hukumnya bermasalah. Ini PR bagi para pemimpin dan para penegak hukum. Meski punya hubungan baik, tak mengurangi ras hormat dan ta'dzimnya Anies kepada HRS. Gubernur DKI, tetap memiliki komitmen untuk menegakkan aturan yang berlaku. Apalagi, Pergub No. 79 dan 80 Tahun 2020 ini dibuat dan ditanda tangani oleh Anies sendiri. Anies pasti tahu konsekuensi atas tanda tangannya. Ini bukti bahwa Anies telah membaca semua pasal di dalam aturan itu sebelum dia tanda tangan. Emang ada yang tanda tangan sebelum baca? Jangan nyindir dan nyinyir doooooooong! Menerima surat denda, Habib Rizieq bersedia mematuhinya. Pendiri FPI ini menyadari kesalahan itu, dan dengan suka rela telah membayar denda tersebut. Lunas! Sebagai warga negara yang baik, Habib Rizieq menyatakan akan selalu taat pada aturan yang berlaku. Habib Rizieq tak mengelak. Tidak juga membantah. Apalagi lari dari hukuman. Habib Rizieq bukan Harun Masiku. Kader PDIP yang menghilang setelah ditetapkan jadi tersangka oleh KPK. Bukan juga Djoko Djandra, koruptor yang bisa mengatur para pejabat hukum sesuka hatinya. Sikap Habib Rizieq ini bisa jadi panutan buat seluruh masyarakat Indonesia. Ketaatan kepada hukum adalah hal paling utama dalam bernegara. Dari sinilah ketertiban sosial akan terajut. Kebangkitan bangsa punya optimisme untuk terwujud. Harapan sebagai bangsa besar terpampang di depan mata. Sikap Habib Rizieq ini jawaban terhadap penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan selama ini. Ada kesan tebang pilih. Lawan diperjarakan dan dihakimi. Sedangkan kawan dilindungi. Orang kaya boleh dinegoisasi. Yang miskin langsung masuk bui. Institusi hukum tak banyak bisa diharapkan untuk menegakkan keadilan. Harus dirombak. Anies dan Habib Rizieq telah memberi contoh yang sangat baik untuk bangsa ini. Meskipun keduanya berkawan, namun hukum tetap harus ditegakkan. Ini berlaku juga kepada yang lain. Tak pandang bulu. Pemimpin sejati bukanlah orang yang hanya bisa tegas kepada lawan. Tetapi lembek di depan kawan. Seseorang yang belum bisa bersikap adil kepada kawan dan lawan, dia bukan pemimpin. Mereka hanya orang-orang yang sedang berkuasa. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.