OPINI
BI Rate Bisa Rugikan Rakyat Rp 250 Triliun/Tahun
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) tanggaL 16 dan 17 September 2020 akhirnya memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) 4 persen. Salah satu alasannya untuk “mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah”. Padahal, suku bunga acuan 4 persen itu sudah termasuk tinggi. Bisa menghambat pemulihan ekonomi nasional. Karena kebijakan moneter yang seharusnya dilakukan di tengah resesi ekonomi adalah menurunkan suku bunga acuan dan suku bunga kredit. Tujuannya untuk membangkitkan permintaan, konsumsi dan investasi. Juga untuk membangkitkan ekonomi nasional. Alasan BI mempertahankan suku bunga acuan 4 persen sangat aneh. Malah ajaib. Sebab inflasi yang diperkirakan rendah, tetapi suku bunga tidak diturunkan. Karena mau menjaga stabilitas nilai tukar? Artinya, kebijakan moneter Bank Indonesia sekarang ini lebih mengutamakan dan menjaga “stabilitas” rupiah, dari pada upaya pemulihan ekonomi. Padahal, pemulihan ekonomi sangat penting, karena dibutuhkan oleh rakyat. Pemulihan ekonomi misalnya, dapat menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja baru. Juga dapat mengurangi kemiskinan. Sedangkan stabilitas rupiah untuk kepentingan siapa? Kebijakan moneter BI memang sangat dilematis. Kalau BI menurunkan suku bunga, maka pemulihan ekonomi akan lebih cepat terealisasi. Dan kebijakan penurunan suku bunga ini yang diharapkan rakyat. Kebijakan yang memang berpihak pada kepentingan rakyat. Dilematis, karena penurunan suku bunga acuan akan diikuti penurunan suku bunga kredit, termasuk suku bunga obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN). Penurunan suku bunga SBN bisa membuat investor menarik diri. Khususnya investor asing. SBN menjadi kurang diminati. Investor asing mungkin lebih memilih obligasi negara lain. Misalnya Vietnam, Thailand, Singapore, atau Malaysia. Hengkangnya investor asing membuat supply dolar (mata uang asing) ke Indonesia turun. Ada tiga kelompok kebutuhan dolar dari Indonesia. Pertama, kebutuhan untuk membiayai defisit transaksi berjalan. Kedua, Kebutuhan untuk membayar utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang jatuh tempo. Ketiga, kebutuhan untuk membayar utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang belum jatuh tempo, tetapi dicairkan investor bersangkutan melalui pasar obligasi. Defisit transaksi berjalan tahun 2019 sekitar U$ 30 miliar dolar. Defisit ini turun di masa pandemi 2020. Karena impor turun tajam. Kondisi ini membuat neraca perdagangan mengalami surplus yang cukup besar. Defisit transaksi berjalan pada Semester I/2020 U$ 6,6 miliar dolar. Kalau defisit ini berlanjut di semester II/2020, maka kebutuhan dolar hingga akhir tahun diperkirakan minimal U$ 5 miliar dolar. Total Utang Luar Negeri (ULN) pada 31 Desember 2019 yang akan jatuh tempo pada tahun 2020 U$ 63,3 miliar dolar. Terdiri dari utang pemerintah (dan Bank Indonesia) U$ 11,25 miliar dolar, dan utang swasta (termasuk BUMN) U$ 52,06 miliar dolar. Jumlah ini belum termasuk pembayaran bunga. Kelompok ketiga lebih berbahaya karena tidak terukur. Ketika asing tidak tertarik lagi memberi pinjaman ke Indonesia, misalnya karena suku bunga dianggap rendah, dan asing menjual obligasinya, maka kurs rupiah mengalami tekanan dan akan anjlok. Seperti terjadi pada akhir Maret 2020 lalu, dimana kurs rupiah di pasar spot sempat mencapai Rp17.000 per dolar Amerika. Untuk menjaga agar investor terus tertarik memberi pinjaman ke Indonesia, dan untuk menutupi kebutuhan dolar yang membesar tersebut, maka Bank Indonesia harus mempertahankan suku bunga yang tinggi. Tragisnya, kebijakan Bank Indonesia ini akan membuat ekonomi tidak bergerak. Selain itu, hanya menguntungkan investor luar negeri. Dilematis, karena suku bunga tinggi akan menghambat pemulihan ekonomi nasional. Juga merugikan perusahaan dan nasabah perorangan yang mempunyai pinjaman dalam rupiah. Total kredit dalam rupiah mencapai Rp 5.000 triliun lebih, termasuk perusahaan pembiayaan. Dari jumlah total kredir tersebut, kredit konsumsi mencapai Rp 1.600 triliun. Kelompok peminjam rupiah ini sangat dirugikan dengan kebijakan moneter yang mempertahankan suku bunga tinggi. Sebab notabene hanya untuk menguntungkan investor asing. Setiap penurunan 1 persen bunga kredit, akan memberi tambahan likuiditas Rp 50 triliun per tahun kepada kelompok peminjam rupiah. Penurunan bunga kredit yang ideal dan seharusnya di masa resesi seperti ini bisa mencapai 5 persen dibandingkan bunga kredit yang berlaku sekarang. Sehingga potensi kerugian masyarakat mencapai Rp 250 triliun per tahun. Kerugian mempertahankan suku bunga acuan jauh melampaui bantuan stimulus fiskal. Sehingga, menghambat pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan moneter saat ini tersandera dengan kondisi ekonomi yang lemah. Defisit transaksi berjalan yang akut dan ULN yang besar. Bank Indonesia lebih memilih mempertahankan stabilitas rupiah yang menguntungkan investor asing. Juga merugikan masyarakat. Sebab meskipun kebijakan ini berpotensi menghambat pemulihan ekonomi nasional serta merugikan peminjam dalam rupiah di dalam negeri. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Kodok Peking Yang Mulut Comberan
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Mantan narapidana kasus penista Agama Ahok tidak berubah. Dia masih asal ngomong (asmong). Ngomong asal tanpa kendali. Bahaaa kerennya Ahok “asal negbacot”. Kata Ahok, “kalau saya Dirut Pertamina, kadrun demo mau bikin gaduh". Kadrun adalah panggilan untuk "kadal gurun" yang mengarah kepada umat Islam. Atau konteks Ahok mungkin saja peserta aksi demonstrasi 411 dan 212 yang telah berhasil "memenjarakan" Ahok, dan membrikan label “penista Agama”. Kadrun dinilai sebagai panggilan yang rasialis Ahok. Mereka yang biasa menjuluki kadrun adalah para Kodok Peking (Doking). Mereka itu pengabdi negara Cina di Indonesia. Meraka juga Islamophobis, serta agen yang hanya bisa berlindung di ketiak kekuasaan. Sebenarnya Ahok tak pantas menjadi pejabat apapun di negeri ini. Disamping kinerjanya yang memang sangat buruk, juga ngomongnya gede selangit. Ngebacotnya itu yang terlalu ketinggian. Ahok sulit untuk bisa memperbaiki karakter sompral bawaannya. Akibatnya, Ahok suka menciptakan kegaduhan di masyarakat. Karakter bawaan yang sangat tidak pantas dan layah untuk menyandang jabatan sekelas Komisaris Utama Pertamina. Komisaris Utama kok membongkar dapur Pertamina sendiri? Bukan itu saja. Malah menyeret-nyeret Menteri segala. Ahok memang sok jago, sok kuasa, dan sok paling bersih. Peran Komisaris itu bukan marah-marah atau berkeluh kesah. Bukan juga membongkar dapur sendiri Yang utama dan mesti dilakukan Ahok adalah membenahi dengan membuat langkah konkrit sesuai kewenangan sebagai Komisaris Utama Pertamkina. Apalagi cuma bisa teriak-teriak bahwa kadrun kadrunan dengan rasa yang penuh sentimen. Mau ngomong bersih bersih. Padahal orang juga sudah tahu kalau sapunya “kagak bersih”. Bahkan sangat kotor sapunya. Gaji gede, namun prestasi kerja tidak jelas dan kabur. Orang yang buruk track record begini bisa ditempatkan di Pertamina, Komisaris Utama lagi? Yang menempatkan Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina kemungkinan juga sudah mati rasa. Sikap masyarakat yang sangat keras menolak Ahok dengan berprilaku buruk, sudah tidak lagi diiandahkan pemerintah. Pemerintah menutup mata saja dengan semua prilaku Ahok. Tahun 2020, Pertamina mengalami kerugian sampai Rp 11,3 triliun. Kerugian itu terjadi pada saat Pertamina di bawah kendalinya Ahok. Padahal sebelumnya Ahok sesumbar kepada publik, “kalau Pertamina itu tidur saja masih bisa untung”. Faktanya Pertamina mengalami kerugian besar. Padahal keuntungan yang didapat Pertamina dari hasil memeras rakyat, melalui penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) sekitar Rp 60 triliun rupiah. Pemerasan dilakukan Pertamina sejak awal tahun sampai sekarang. Semua negara tentangga seperti Malaysia, Thailand, Philipina dan Vietnam sudah menunrunkan harga jual BBM di dalam negeri. Namun tidak untuk Pertamina Kalau sudah begini kondisinya, Presiden Jokowi juga harus ikut bertanggungjawab. Karena Ahok adalah kroni terdekat Presiden Jokowi. Publik sudah sangat mengetahui dan faham soal kedekatan Ahok dengan Presiden Jokowi tersebut. Tanpa campur tangan Presiden Jokowi, tidak bakalan Ahok menjadi Komisaris Utama Pertamina. Para doking si Kodok Peking selalu menyebut pihak yang kritis pada kebijakan pemerintah sebagai kadrun. Mereka bisa buzzer, bisa pula influencer. Seperti Kodok Peking asli yang melompat sana sini. Mereka mencari makan dari semak semak ke semak lain. Bersuara pun berisik melulu. Wahai para Kodok Peking, jangan lecehkan umat. Kalian telah banyak menikmati hasil tanah dan air bangsa ini. Menguras dan menguasai. Saatnya untuk lebih tahu diri dan berterimakasih. Bukan dengan petantang petenteng sok kaya dan sok kuasa. Pribumi telah lama disakiti. Kini saatnya bangkit. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Perlukah Pam Swakarsa?
by Anton Permana Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Dikeluarkannya Peraturan Kapolri nomor 4 Tahun 2020 tentang Pam Swakarsa ini cukup menarik perhatian publik. Karena, dalam memori publik istilah "Pam Swakarsa" adalah pasukan era orde baru yang dibentuk dengan tujuan 'insurgency' (pertahanan negara) bagian dari tugas-tugas TNI AD. Sementara itu, di masa awal reformasi sempat menjadi sasaran pro dan kontra tentang keberadaan Pam Swakarsa. Yang pro mengatakan, pasukan Pam Swakarsa ini adalah strategi pembinaan teritorial ABRI (TNI hari ini) pada penggalangan masyarakat sipil. Ketika itu, dalam menggalang partisipasi rakyat untuk menangkal upaya mobilisasi masyarakat, khususnya mahasiswa. Ketika itu, mahasiswa ditenggarai sudah diboncengi "gerakan kiri ekstrim" ( PKI dan simpatisannya) untuk menggulingkan pemerintah. Artinya, membuat pasukan sipil untuk menghadapi sipil. Dan ini murni konsep perperangan anti gerilya dalam dimensi pertahanan. Atau dalam istilah Wikipedia, kelompok sipil bersenjata tajam yang dibentuk ABRI yang menolak Sidang Istimewa (SI) MPR. Karena image ABRI saat itu memerlukan kekuatan pendukung untuk menangkal isu pelanggaran HAM. Bagi yang kontra, Pam Swakarsa ini dianggap melanggar HAM. Perbuatan melawan hukum dengan mengadu domba sesama masyarakat. Bertentangan dengan prinsip negara demokrasi. Berbagai kecaman muncul, baik dari dalam negeri dan luar negeri. Hal ini karena sesungguhnya dari kelompok kotran ini, penilaian Pam Swakarsa berasal dari posisi yang anti tesis dengan tujuan awal. Namanya sudah berbeda pandangan, maka akan sulit disamakan. Oleh sebab itu, publik tentu perlu penjelasan yang lebih jelas dan tegas. Untuk apa ujug-ujug di era reformasi ini, pemerintah khususnya melalui Polri perlu membentuk Pam Swakarsa ini kembali ? Jika negara pada masa Orde Baru sangat jelas meletakkan tujuannya dalam wilayah pertahanan. Bagaimana dengan era reformasi sekarang? Secara pribadi saya yakin, Kapolri Jendral Idham Azis tentu punya maksud baik dan strategi tertentu. Sehingga beliau mengeluarkan Peraturan Kapolri yang ditandatanganinya tanggal 5 Agustus 2020 kemaren. Tetapi hal ini, apakah hal ini telah dikonsultasikan dahulu dengan pihak Menkopolhukam, Kementrian Pertahanan bahkan TNI AD ? yang secara doktrin memiliki aspek pembinaan perlawanan wilayah atau ketahanan wilayah? Juga dikonsultasikan dengan para akademisi dan pakar-pakar? Dikonsultasikan dengan mereka yang selama ini telah banyak memberikan bantuannya untuk menegakkan pembangunan dan menjunjung demokrasi di era reformasi. Agar tidak terjadi "distorsi pemahaman" ? Jika ingin mengatakan nantinya bahwa tidak ada pihak yang salah dalam hal ini, Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab tentang Kamtibmas pasti punya alasan untuk itu. Begitu juga masyarakat civil society. Tentu perlu juga penjelasan yang lebih jelas dan rinci dari pihak yang berwenang agar tidak menimbulkan keraguan dan kecurigaan yang tidak perlu. Untuk era digital sekarang, yang rentan terjadi "miss-understanding", penjelasan itu sangat diperlukan. Adapun beberapa pendapat yang saya tangkap di tengah masyarakat terkait dengan Pam Swakarsa tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, masyarakat tentu perlu mengetahui apa permasalahan paling substansial dari pembentukan Pam Swakarsa ini? Karena, ada yang berpendapat kenapa tidak memanfaatkan begitu banyak organisasi massa berbasis bela negara yang sudah ada saja? Yang setidaknya sudah mendapatkan pelatihan disiplin dan dasar-dasar militer dan keamanan. Misalnya FKPPI, PPM, Pemuda Pancasila, Laskar Merah Putih, HIPAKAD, KBP3, GBN, atau ormas yang tergabung dalam KNPI. Yang paling terakhir gerakan kader belanegara yang digagas oleh Jenderal Ryamizard (2015) saat menjabat Menhan? Padahal gagasan Ryamizard telah menghabiskan anggaran tidak kecil, dan para kadernya pun saat ini masih menunggu-nunggu kelanjutannya. Selain pemberdayaan wilayah pertahanan adalah tugas TNI, Organisasi Kemasyarakatan (Oramas) ini tentu sudah familiar dengan masyarakat. Saya yakin, para Ormas ini akan senang apabila mendapat kepercayaan dari pemerintah, khususnya kerjasama dengan komponen utama Pertahanan. Kedua, perlu juga dijelaskan, apa saja tugas pokok dan fungsi Pam Swakarsa ini? Apakah dibentuk untuk sementara dalam menangani PSBB pandemi covid19 saja? atau untuk permanen? Tentu perlu analisa serta jaminan bahwa pasukan Pam Swakarsa ini tidak akan disalahgunakan, yang akan menimbulkan konflik baru sesama masyarakat. Untuk itu diperlukan kejelasan batas waktunya. Karena tidak ada dasar hukum acuan dalam KUHP atas pembentukan Pan Swakarsa ini. Dimana bisa memangun sekelompok masyarkat tertentu dalam penegakan hukum. Atau setidaknya perlu terminologi nama lain dalam penyebutannya. Setidaknya dapat menjawab serta meyakinkan para pihak yang meragukan efektifitas, dan ketakutan penyalahgunaan pembentukan pasukan ala semi-milisi ini. Ketiga, perlu juga dijelaskan, apa spesifikasi dari persyaratan untuk menjadi anggota Pam Swakarsa ini? Karena banyak yang meragukan seberapa disiplin dan proteksi dari penyalahgunaan kewenangan di lapangan nantinya. Tentu yang dapat merugikan nama baik institusi kepolisian itu sendiri. Apakah "Preman" bisa masuk kategori Pam Swakarsa juga? Keempat, TNI sebagai alat pertahanan negara dan komponen utama negara, mempunyai juga binaan komponen cadangan. Komponen yang terlatih disamping sebagai kader bela negara. Yang sengaja dibentuk melalui UU PSDN Nomor 23 tahun 2019. Apakah ini sama atau berbeda? Atau timbul pertanyaan, kenapa tak bersinergi dengan TNI saja, kalau memang membutuhkan bantuan personil ? Kelima, bumi nusantara ini sangat beragam. Baik dari segi Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dan kultur budaya. Pendekatan kultur budaya kepada masyarakat lebih baik dari pada pendekatan struktural pemerintahan. Apalagi kalau hal itu terkait dengan upaya penegakan budaya dan prilaku. Memanfaatkan ketokohan agama, tokoh adat, serta kearifan lokal setempat akan lebih baik dan efektif. Di dalam Perkap Kapolri tersebut, memang ada disebutkan bahwa anggota Pam Swakarsa ini bisa diambil dari kelompok pranata sosial kearifan lokal. Namun ini tentu perlu dijelaskan dan ditegaskan, apakah itu lembaga yang sudah ada diberdayakan? Atau membentuk yang baru? Kenapa hal ini diperlukan? Untuk menjawab keraguan dan asumsi negatif dari beberapa pengamat dan akademisi, yang ragu kalau ujungnya Pam Swakarsa . Karena nama ini rentan menimbulkan gesekan baru sesama masyarakat, bahkan dengan aparat TNI. Secara psikologis, pembentukan Pam Swakarsa ini juga bisa menimbulkan keluar image di mata publik internasional dan nasional. Bahwa pemerintah Indonesia hari ini seakan-akan ada "gap distrosi" (tidak harmonis) yang begitu dalam dengan rakyatnya sendiri. Sehingga perlu membentuk Pam Swakarsa, yang kalau dalam kaca mata internasional bisa diasumsikan sama dengan pasukan milisi. Wajar berbagai keraguan dan pertanyaan kritis keluar dari masyarakat, mengingat negara kita selama ini selalu menggaungkan sebagai negara demokrasi. Negara Pancasila dengan semangat persatuan Gotong Royong yang sangat hebat dan kuat. Namun, tetap saja masih mau menggunakan pola yang dulu di akhir Orde Baru banyak dikecam dan dicap negatif. Apakah ini tidak bertentangan juga dengan semangat reformasi? Ataukah hendak mengatakan bahwa Orde Baru itu benar adanya dan ingin kembali lagi? Kita berharap, semua keraguan dan kegelisahan negatif itu tidak terjadi. Semoga pemerintah, melalui Menko Polhukam sudah menganalisa semua ini dengan seksama. Sebagai masyarakat sipil, kita semua pasti mendukung program Pam Swakarsa kalau memang ditujukan untuk mengayomi, melayani, dan melindungi masyarakat. Agar tentram dan damai di tengah pandemic Covid-19 ini. insya Allah. Jawab keraguan ini. Salam Indonesia Jaya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
Kekacauan Bernegara Di Eranya Jokowi
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (18/09). Negara sekarang jadi kacau. Kekacauan itu hampir terjadi di semua aspek. Kita mulai saja dari aspek hukum. Aparat, bahkan institusi hukum terlibat jauh dalam politik praktis. Nggak bisa dibantah itu. BIN pamer operasi kekuatan pasukan temput. KPK dimatikan untuk menyelamatkan orang-orang besar dan kasus besar. Secara beruntun RUU diusulkan, dan UU diterbitkan hanya untuk melindungi kepentingan korporasi, oligarki dan konglomerasi. Mau contohnya nyata? Lihat dan baca itu UU Minerba, UU Corona, RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU HIP yang berubah menjadi RUU BPIP. RUU yang terakhir ini, meski telah secara masif mendatangkan gelombang penolakan dari rakyat, tetap saja dipaksakan. Kekacauan juga terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT. Asuransi Jiwasraya kebobolan sampai belasan triliun. Pertamina rugi Rp 11,3 triliun. Komisaris Utama Ahok mencak-mencak. Sebelumnya Ahok sesumbar bilang “kalau Pertamina merem aja pasti untung”. Eh malah rugi besar. Sekarang bilang data dari Direktur Utama nggak bener. Kacau-balau, dan amburadul ini pemerintahan. Banyak BUMN yang dijaminkan untuk pinjaman pembangunan infrastruktur. Diantaranya infrastruktur komersial. Artinya, dibangun untuk dijual lagi. Total hutang luar negeri BUMN saat ini Rp 835 triliun, setara dengan U$ 57,8 miliar. Utang naik sekitar 15,1% dari bulan Juli lalu. Pada akhirnya, BUMN jalan megap-megap untuk bayar hutang. Pertumbuhan ekonomi minus sudah minus -5,32 persen. Berlanjut ke kuartal berikutnya. Artinya, bakal terjadi resesi di depan mata. Dampaknya, diantaranya pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Angka pengangguran diperkirakan bertambah sekitar 4,2 juta (data resmi Bappenas lho). Itupun kalau Bappenas jujur dan menggunakan standar wajar dalam menghitung pengangguran. Pemerintah dan DPR sepakat untuk cetak uang Rp 600 triliun. Untuk maksud cetak uang itu, lalu pakai bahasa yang agak sedikit keren, “burden sharing”. Mungkin supaya orang awam nggak paham dan tidak menimbulkan gejolak kalau itu adalah cetak uang. Cetak uang berlebihan, dengan menempatkan Bank Indonesia di bawah eksekutif rawan penyelahgunaan. Sangat berpotensi menciptakan inflasi. Kalau terjadi inflasi, siapa yang nanggung biayanya? Sudah rasti Rakyat. Anda saat ini beli kopi seharga Rp. 2000 per gelas. Pada tahun 2021 atau 2022, harganya "mungkin" bisa naik jadi Rp. 5.000 per gelas. Uang anda pasti bakal berkurang nilainya. Makanya, sejumlah orang kaya bakalan menukar uangnya ke emas atau dollar. Begitulah kalau terjadi inflasi. Dengan UU Corona Nomor 2 Tahun 2020, muncul anggaran Rp 905 triliun. Anggaran ini bakal digunakan secara bebas, karena dilindungi oleh UU No 2/2020. Bebas dari tuntutan pidana, perdata dan TUN. Tragisnya, bukannya anggaran tersebut lebih banyak dipakai untuk mengatasi pandemi (kurang dari 10%), tetapi justru digunakan untuk injeksi korporasi dan perbankan. Tragis kan? Pandemi coronanya cenderung diabaikan. Itu terlihat dari alokasi anggaran yang sangat kecil. Namun dampak ekonominya yang terus, dan sibuk diatasi oleh pemerintah Jokowi. Ya, seperti menuang air di ember yang bocor. Sia-sia saja. Sekarang baru pada siuman, termasuk Buya Syafi’i Maarif yang selama ini terkenal membela habis-habisan kebijakan pemerintahan Jokowi. Kenapa BI nggak beli saja Surat Berharga Negara (SBN) yang ada di tangan bank-bank itu. Lalu turunkan suku bunga (BI rate) hingga 0-1% saja seperti di Singapura (0%), Thailand (0,5%) dan Malaysia (1,75). BI rate sekarang ini masih terlalu tinggi dengan 4% itu. Meski sebelumnya BI rate sudah diturunkan 1%, dalam empat tahap, dari semula 5%. Tetapi tak mampu menahan laju resesi ekonomi di depan mata. Dunia usaha tersendat karena suplay liquiditas terhambat, padahal demand masih besar. Para pengusaha juga nggak mampu membayar cicilan bank, karena besarnya bunga, yang masih 8% hingga di atas 10%. Uniknya, uang nasabah bank terus bertambah. Artinya, masyarakat lebih memilih menyimpan di bank dari pada menggunakannya untuk biaya konsumsi. Makin parah lagi kondisinya. Sebab uang yang beredar di masyarakat makin kecil. Ini akan memicu naiknya angka kemiskinan. Kekacauan juga terjadi di panggung politik. Isinya para buzzer dan infulencer yang dianggarkan Rp 90.45 miliar. Masalah apapun sepertinya mau diselesaikan lewat buzzer dan infulencfer. Apapun penyakitnya, pasukan bodrek jadi obatnya. Ngeri sekali tata kelola bernegara di Era Jokowi ini. Belum lagi ketika datangnya musim orang gila beroperasi. Kini sebaran teror orang gila terjadi di berbagai wilayah negeri ini. Diantaranya di Lampung, Palembang dan Bogor, yang semakin menambah kekacauan sosial. Anehnya, orang gila bisa pilih-pilih sasara. Diutamakan para ulama atau ustadz. Di jajaran kementerian, terjadi overlaping yang akut. Menkes banyak diam, lahan corona diambil oleh TNI dan Menko Maritim. Kementerian Agama sibuk mengurus radikalisme dan sertifikasi muballigh. Menteri pertahanan diberi tugas untuk mengurusi ketahanan pangan. Lalu Wapres? Presiden saja lupa menyebut namanya saat pidato. Makin kacau tata kelolas pemerintahan di eranya Jokowi. Soal pandemi, pemerintah gagal mengatasinya. Negara lain mulai terbebas. Sementara di negeri ini covid-19 justru makin mengganas. Rata-rata perhari bertambah 3.000-an orang terinveksi. Rate mortality nasional adalah 4,1%. Ada 100 orang setiap hari meninggal. Akibatnya, sudah 68 negara yang lockdown Indonesia. Dalam sialtuasi ini, pemerintah bukannya fokus menyelesaikan, tetapi malah saling menyalahkan. Konyol bangat kan? Kekacauan bahkan sering muncul seiring dengan kebijakan Gubernur DKI. Dalam banyak kebijakan Gubernur, pemerintah pusat seringkali mengambil posisi sebagai oposisi. Bukan mendukung dan bersinergi untuk atasi mengganasnya pandemi. Ini hanyalah sebagian dari potret negara yang bernama Indonesia saat ini. Sebuah kekacauan yang belum ada tanda-tanda untuk berhenti. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Jokowi Kalah Berkali-Kali di Masa Pandemi
by Jusman Dalle Jakarta FNN - Rabu (17/09). Bagi Jokowi yang ingin lekas menggenjot ekonomi, penanganan Covid-19 telah menjelma jadi kekalahan besar. Telak. Legacy yang berupaya dibangun sejak enam tahun lalu, longsor terbawa krisis multi dimensi ini. Sejauh enam bulan perjalanan Covid-19, Jokowi telah ditimpa tiga kekalahan besar. Pertama, pemerintah terbukti gagal mengendalikan Covid-19. Awalnya menjanjikan Covid-19 selesai bulan Mei. Lalu bergeser Juni, Juli dan September. Saat ini sudah mendekati Oktober, namun Covid-19 makin jauh dari kata terkendali. Angka terinfeksi melambung. Mencatat rekor-rekor anyar nan mengerikan. Tenaga medis tumbang. Rumah sakit nyaris over kapasitas. Bahkan bakal kolaps dalam beberapa waktu ke depan. Ini bukan menakut-nakuti. Tapi prediksi berdasarkan simulasi yang berpijak pada data-data terkini. Penanganan Covid-19 yang tidak kompeten, mengakibatkan dampak turunan. Merambah ke problem sosial ekonomi. Jika berlarut-larut, bahkan berpotensi menjadi krisis politik. Kegagalan penanganan Covid-19 bahkan jadi studi ilmiah di Swiss. Tereskpos dan dipelototi sedunia. Kegagalan yang go internasional. Lembaga think thank berbasis di Swiss, Deep Knowledge Group membuat kajian yang menyimpulkan, Indonesia adalah zona merah Corona. Wilayah berbahaya. Sehingga wajar jika diblokir oleh 59 negara. Ada enam indikator umum dalam kajian itu. Semuanya menunjukkan, jika kinerja kebijakan pemerintah tidak perform. Sangat jauh di bawah rata-rata dunia. Termasuk kebijakan karantina/PSBB yang tidak efektif. Akibat direcok urusan politik. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Ash Shiddieqy menyebut pemerintah pusat beroposisi ke Pemda. Lucu dan aneh! Kekalahan kedua, krisis kesehatan telah menjelma jadi krisis ekonomi. Indonesia dipastikan resesi di Kuartal III nanti. Preseden buruk bagi pemerintah. Kepercayaan investor dan pasar merosot. Di dalam negeri, ekonomi yang terpuruk sudah terkonfirmasi oleh survei SRMC. Sigi itu menyebut persepsi masyarakat terhadap ekonomi menurun. Artinya, masyarakat tidak lagi melihat ada harapan terhadap perbaikan ekonomi jangka pendek. Semua cemas dan khawatir. Pijakan realitas persepsi yang ditangkap dari survei SRMC itu bukan pepesan kosong. Terlihat di tengah gemuruh jalanan. Di kehidupan sehari-hari. Rakyat memaksakan diri untuk mencari sesuap nasi. Terpaksa keluar rumah, meski PSBB. Covid-19 yang siap menginfeksi setiap saat, diabaikan. Demi mempertahankan dapur mengepul. Dalam ketegangan itu, rakyat tidak melihat geliat harapan dari para pejabat negara. Sehingga harus bertaruh nyawa. Memperjuangkan nasib sendiri. Gelombang kecemasan dari bawah ini, terakumulasi oleh perjalanan hari demi hari yang semakin tidak pasti. Kekalahan ketiga, secara politis legitimasi Jokowi semakin keropos. Bukan cuma karena kelompok oposisi ekstra perlemen yang terkonsoliasi di KAMI. Namun karena secara de facto, Jokowi memang gagal membawa negara menghindar krisis multidimensi : Covid-19, krisis ekonomi, krisis penegakan hukum, dll. Diperparah akrobat para menteri Jokowi. Overlapping antara satu sama lain. Menteri Pertahanan kerja pertanian. Menteri Pertanian bikin kalung anti virus. Menko Kemaritiman urus macam-macam. Pokoknya, kacau balau. Tidak ada orkestrasi kepemimpinan yang solid. Puncak kekacauan itu mendunia. Majalah majalah ekonomi papan atas The Economist, menobatkan dan bahkan secara gamblang menyebut Jokowi tidak kompeten menangani krisis Covid-19. Penulis adalah Konsultan Digital Crisis Menagement
Mereka Ingin Sekali Anies Baswedan Jatuh Lewat Kekacauan Covid-19
by Asyari Usman Jakarta FNN - Rabu (17/09). Mengapa sejumlah menteri dan buzzer bayaran menyerang habis tindakan Gubernur DKI Anies Baswedan memberlakukan kembali PSBB? Hanya ada satu jawaban yang logis: bahwa reputasi Anies lebih mudah dijatuhkan lewat kekacauan akibat wabah Covid-19. Para penguasa dan buzzer bayaran menunggu-nunggu blunder Anies dalam melindungi rakyat Jakarta. Mereka punya ‘harapan dengki’ agar penularan Covid di DKI tak terkendali dan banyak korban nyawa. Dengan begini, mereka semakin mudah menyulut sentimen atau opini publik. Mereka akan mengatakan bahwa Anies tidak punya kompetensi menjadi gubernur. Itulah yang mereka inginkan. Tetapi, Anies paham betul angan-angan mereka itu. Dia tidak buang-buang waktu. PSBB baru adalah jawaban yang tepat untuk menekan penyebaran virus. Tidak ada cara lain. Di mana pun di dunia ini, pembatasan aktivitas publik dan edukasi perlindungan diri adalah tindakan yang selalu diambil. Nah, para penguasa dan buzzer sudah membaca itu. Anies, insyaAllah, akan berhasil menekan penularan Covid lewat PSBB. Mereka tidak ingin Anies sukses. Kemauan mereka, Jakarta akan mengalamai kekacauan besar. Korban nyawa belasan ribu. Fasilitas kesehatan kucar-kacir di mana-mana. Korban nyawa petugas medis bertambah banyak, dlsb. Itu yang mereka dambakan. Situasi Covid menjadi tak terkendali. Sehingga, semua telunjuk akan mengarah ke Anies. Dia menjadi terpojok. Demoralized. Hancur berantakan. Sampai akhirnya, menurut nafsu para penguasa dan buzzer yang membenci Anies, Pak Gubernur yang smart ini akan mengambil ‘jalan pintas’. Kemudian Anies, secara ‘gentleman’, akan menyatakan dirinya tak sanggup melanjutkan mandat sebagai gubernur. Tercapailah angan-angan para penguasa dan buzzer bayaran. Sayangnya, angan-angan kosong itu baru bisa terjadi kalau Anies ragu-ragu memberlakukan PSBB kembali. Kalau Anies mengikuti ‘keinginan politis’ Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Dan kalau Anies mengikuti ‘keinginan jahat’ para buzzer bayaran itu. Alhamdulillah, Anies paham betul. Dan dia tegas. Airlangga tidak bisa mengatur Anies. Para buzzer juga hanya bisa gigit jari dalam ketololan mereka. Menko Airlangga berpendapat dampak ekonomi-bisnis akibat PSBB Jakarta akan besar. Airlangga lupa bahwa perekonomian Indonesia memang sudah bermasalah sebelum Corona masuk ke sini. Dia menyebut harga saham IHSG merosot 5%. Tapi, kenyataannya indeks saham kembali pulih, empat hari berikutnya. Bouncing back ke posisi di atas 5,000. Tidak ada masalah dengan PSBB. IHSG turun ibarat daun putri malu yang menguncup ketika tersenggol sedikit. Setelah itu, kembali normal. Dan, memang begitulah karakteristik investasi portofolio (portfolio investment). Para pedagang saham di mana pun juga selalu khawatir ketika ada kebijakan yang menyangkut ‘movement’ orang banyak. Namun, khusus terhadap manajemen Covid-19 di Jakarta, para pemain saham (domestik dan internasional) ternyata menaruh kepercayaan pada ‘leadership’ yang diperlihatkan oleh Anies. Bahwa mereka ‘tersengat’ sedikit akibat pemberlakuan PSBB tentu sangat wajar. Sejumlah menteri dan para buzzer bayaran seratus persen bermisi politik ketika mengomentari PSBB yang diaktifkan kembali oleh Gubernur. Mereka sadar gangguan ekonomi tidak akan bisa menjatuhkan reputasi Anies. Sebab, resesi ekonomi adalah dampak global Covid-19 yang melanda semua negara di dunia. Rakyat paham kesulitan ekonomi bukan hanya melanda Indonesia. Tapi, seluruh dunia. Sekali lagi, para penguasa dan buzzer bayaran berusaha agar PSBB tidak diterapkan. Supaya amuk Corona semakin menjadi-jadi. Dan Anies bertekuk lutut. Mereka berdoa agar Mr Goodbener akan sama dungunya dengan mereka. Mereka pikir Anies terpengaruh oleh momok ekonomi yang mereka lantunkan dengan keras itu. Mereka sangka Pak Gub akan mundur dari PSBB dan mereka senang korban nyawa banyak. Mereka ingin sekali Anies Baswedan jatuh lewat kekacauan Covid-19.[] Penulis wartawan senior fnn.co.id
PKI Memperalat Pancasila
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (16/09). Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bermisi membentuk masyarakat sosialis Indonesia untuk kemudiannya menjadikan masyarakat Komunis dalam proses perjuangannya tidak terang-terangan menentang Pancasila. Mereka bahkan berkoar-koar menjadi pembela Pancasila. Tidak tanggung-tanggung pada tahun 1964 DN Aidit Ketua CC PKI membuat buku yang berjudul "Aidit Membela Pantja Sila". Semua slogan itu ternyata palsu dan hanya kamuflase. Hanya tipu-tupa semata. Terbukti pada bulan September 1965 PKI mencoba melakukan kudeta. PKI mencoba menguasai pemerintahan, dan mengganti ideologi Pancasila. Aidit sendiri memang jujur menyatakan bahwa Pancasila hanya "alat pemersatu". Jika masyarakat sosialisme Indonesia sudah terwujud, maka Pancasila tidak diperlukan lagi. Soal Agama sama saja diposisikan sebagai alat. Aidit menyatakan PKI tidak anti Agama, dan anggotanya mayoritas beragama Islam. Tetapi PKI bersikap tergantung posisi Agama itu. Jika sama dengan pandangannya yaitu progresif, anti kapitalisme dan menuju masyarakat tanpa kelas maka Agama bukanlah candu. Sebaliknya, jika menjadi berbeda makna, apalagi samapai memusuhi PKI, maka Agama adalah candu. Agama ditempatkan sebagai alat mainan PKI menuju masyarakat Komunis. Pancasila sebagai sebuah alat memiliki tafsir dan tempat tersendiri bagi Aidit dan PKI. Karenanya PKI mampu berteriak lantang soal "Membela Pantja Sila". Dan bersama Soekarno akhirnya membubarkan Partai yang berjuang untuk bangsa dan Agama, yaitu Masyumi. "Konsepsi Presiden" yang berujung "Nasakom" menjadi fase nyaman bagi penguatan PKI menuju kudeta. Menurut Aidit PKI bisa bermetamorfosis menjadi partai lain asal revolusioner dan berprinsip untuk mengubah hal yang stagnan. Tujuannya adalah masyarakat tanpa kelas. Mungkin ini yang dimaksud oleh seorang kader anak PKI yang menyatakan PKI boleh bubar tetapi ideologi Komunisme tetap hidup. Ia pun berada di partai lain untuk terus berjuang. Kita kini sering melihat tokoh bahkan pemimpin politik yang berteriak lantang tentang membela Pancasila seolah dia yang paling Pancasilais. Tetapi prakteknya ia dan partainya memiliki perspektif lain tentang Pancasila itu. Menunjuk orang lain yang anti dan ingin mengganti Pancasila. Padaha sadar atau tidak dialah perongrong Pancasila. Pancasila pun diperalat sebagaimana PKI dahulu memperalat. Bangsa dan rakyat Indonesia harus bangun dan sadar akan metamorfosa PKI yang bisa saja menjadi PKI Reformasi, PKI Perjuangan atau Partai lainnya. Bagi mereka tak penting nama dari partai itu karena yang pokok adalah tujuan dan untuk mencapai tujuan itu maka dihalalkan segala cara. PKI adalah partai yang mampu bermanuver dengan memperalat semua, termasuk partai politik dan ideologi Negara. Karenanya kita harus semakin waspada pada penjahat yang memang pandai mengadu domba, memfitnah dan menipu ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Lawan Taipan, PSBB Anies Soal Keberpihakan
by Jusman Dalle Jakarta FNN – Rabu (16/09). Pembatasan Sosiak Berskala Besar (PSBB) total kali ini, merupakan ujian keberpihakan. Antara menyelamatkan nyawa rakyat, atau justru terburu-buru menggenjot dunia usaha mengikuti irama tekanan para oligark ekonomi. Beredar spucuk surat dari salah satu taipan. Orang terkaya di Indonesia, berpesan kepada Presiden Jokowi. Secara gamblang menyebut PSBB DKI tidak tepat atau salah. Inilah bukti omnipresent dalam teori relasi kuasa Michael Focault. Kekuasaan yang tersebar. Tidak terpusat pada satu simbol struktural. Surat taipan itu, merupakan ekspresi superioritas. Seolah mempertontonkan komunikasi antara majikan dan bawahan. Ditampilkan vulgar di panggung depan. Diekspos ke publik. Meski dengan kemasan yang tampak sopan. Credit Suisse menyebut mereka sebagai 1% penduduk yang mengontrol dan menguasai 47% kekayaan ekonomi nasional. Atau, 10% penduduk yang menguasai 75% ekonomi nasional. Bagi kaum ultra kaya itu, ancaman Covid-19 masih sangat jauh. Mereka lebih khawatir pada bisnis dan kekayaannya. Bagaimana tidak, mereka dilayani berbagai fasilitas yang memungkinkan beraktivitas dengan aman, nyaman dan higienis. Tinggal di dalam mansion super mewah. Dengan akses lift pribadi. Minim kontak. Tamu-tamu diseleksi. Virus pun, bahkan dapat disaring dengan peralatan canggih yang dimiliki. Mereka tak khawatir terinfeksi Covid-19. Kaum ultra kaya itu, jelas punya dunianya sendiri. Tinggal di kutub berlawanan, bukan representasi nasib masyarakat kebanyakan. Yang harus berjibaku naik KRL, angkot dan bis kota. Berdesak-desakan bertaruh nyawa. Berjudi keberuntungan. Meski cemas terinfeksi Covid-19 di tengah kehidupan kota yang menekan. Kelompok ultra kaya ini, bahkan tidak bisa membayangkan ketegangan di garis depan. Bagi mereka, tenaga medis yang berguguran hanyalah deretan angka, data, bahan bacaan semata. Layanan kesehatan yang sudah di tubir jurang dan terancam kolaps bahkan ingin diakali. Dengan memborong kamar hotel sebagai tempat karantina. Mereka mungkin menyangka, hotel dan rumah sakit punya tabung oksigen dan ruang ICU. Mereka lupa, kalau customer services, atau house keeper hotel bukan petugas medis yang terlatih memasng ventilator. Mendengarkan seruan para taipan melalui surat, ataupun via lidah Menteri dan pejabat negara, tidak akan menyelamatkan masyarakat di bawah. Kita tidak mengabaikan, para konglomerat menyisihkan sedikit dana CSR untuk penanganan Covid-19. Tapi sumbangan itu, tidak mampu menghidupkan para ayah dan kepala keluarga yang wafat akibat kebijakan yang tidak tegas dan mengancam nyawa. Dunia usaha, jelas sudah tidak sabar ingin ekonomi segera dipacu. Semua juga begitu. Masalahnya, Covid-19 makin tidak terbedung. Penanganan Covid-19 amburadul. Tidak ada garis komando dan akur kerja yang jelas. Tumpang tindih. Semua ingin jadi pahlawan. Memanfaatkan krisis sebagai panggung politik. Ini akibat dari lemahnya kepemimpinan. Sejak awal rencana, lockdown dihalang-halangi. Jadi drama politik yang pelik. Dengan alasan yang sama. Demi ekonomi. Anehnya, ada saja yang berargumen serampangan. Menilai PSBB ini bias kelas. Cuma cocok untuk pekerja kantoran. Tapi tidak memihak ke pekerja informal. Pekerja yang berpendapatan harian. Statemen itu prematur. Memang tampak membela masyarakat kecil. Nyatanya salah kaprah. Komentar itu muncul karena pandangan parsial. Melihat PSBB semata sebagai kewajiban warga negara untuk diam di rumah. Padahal di balik PSBB, ada kewajiban negara. Konstitusi jelas mengamanatkan pemerintah untuk menjamin kebutuhan warga selama masa PSBB. Jika UU Karantina Wilayah diterapkan. Konstitusi tegas melindungi hak paling asasi warga negara. Hak untuk hidup. Selamat dari ancaman terinfeksi Covid-19. Namun UU ini dihindari pemerintah. Bikin undang-undang kok tidak dipakai. Ketika pekerja informal, seperti pedagang kaki lima dan ojek online libur, negara semestinya menyiapkan kebutuhan pokok mereka. Bahkan bila perlu, ada ekstra stimulus ekonomi. Lagipula, PSBB atau tidak, APBN tetap tersedot. Rp 690 triliun dianggarkan untuk Covid-19. Sebagian besar, malah mengalir jadi subsidi ke korporasi. Jelas ini mengusik rasa keadilan rakyat. Sekali lagi. PSBB total adalah soal keberpihakan. Saatnya negara berdiri tegas. Memilih di sisi rakyat. Bukan malah benaung di ketiak cukong politik. Seperti istilah yang baru saja dipopulerkan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD. Menyoal fenomena bandar politik di Pilkada. Sektor ekonomi memang meradang. Namun begitu, sejarah mengajari. Sejak tragedi Black Death yang menewaskan 200 juta orang di Eropa, hingga wabah Flu Spanyol pada awal abad 20, ekonomi harus rela dikorbankan demi nyawa manusia. Ini Humanitarian Action. PSBB atau bahkan lokcdown, justru jadi solusi tercepat keluar dari jerat krisis ini. Semakin PSBB dihalang-halangi, semakin lama bencana Corona mendera. Pelonggaran aktivitas dan new normal sudah terbukti gagal. Bahkan berakibat fatal pada penanganan Covid-19 yang kian berlarut-larut. Sementara ekonomi tetap bangkrut. Penulis adalah Direktur Ekskeutif Tali Foundation.
Perketat PSBB, Anies Dutuduh Mau Jatuhkan Jokowi?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (16/09). Seringkali, seorang kepala daerah dihadapkan pada dua pilihan. "Good looking" di mata penguasa dan pengusaha, atau ambil risiko buat warganya. Kalau mau "good Looking", ikuti penguasa dan ketua partai. Atau patuhi cukong. Dukung, apapun keputusan dan kemauannnya. Mau benar atau salah, abaikan. Jadilah "anak manis". Jangan ambil kebijakan kontroversial, apalagi bertentangan. Itu berisiko. Risikonya bakal dimusuhi. Juga risikonya dibully. Risiko lain nggak turun anggaran. Macam-macam risikonya. Apalagi penguasa punya pasukan buzzer plus dana Rp 90.45 miliar. Jika anda hanya ingin "Good Looking", berarti anda tak layak jadi kepala daerah. Anda lebih pantas jadi jongos. Jongos penguasa dan jongos pengusaha. Jongos biasanya ada otak, tapi sedikit. Ada hati, tapi mati. Mentalnya sudah kebeli. Tak punya kemandirian dalam bertindak. Anies, gubernur DKI nampaknya memilih yang kedua. Kalau mau aman, tidak dibully, sedikit musuh, Anies nggak perlu mengambil keputusan PSBB lagi. Tapi, data masifnya penyebaran covid-19 di DKI. Risiko kematian yang tinggi, dan kapasitas rumah sakit yang terbatas, memaksa Anies harus mengambil keputusan berani. Suka tidak suka, harus dibuat keputusan itu. Terhadap kebijakan Pambatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini, Anies dibully. Semua buzzer keluar dari sarangnya. Mereka dapat momentum. Sampai ada yang begitu emosional meminta Anies mundur. Setidaknya, ada tiga tuduhan yang dialamatkan kepada Anies. Pertama, gara-gara Jakarta PSBB, Index Harga Saham Gabungan (IHSG) turun, katanya. Mari kita cek fakta. Senen, 14 September dimana hari pertama PSBB diberlakukan lagi dengan berbagai penyesuaian, justru IHSG bergeliat naik hingga 2,34 persen. Saham BRI ikut menguat 4,62 persen. Telkomsel menguat 2,14 persen. Bahkan ICBP punya Salim group juga menguat 2,44 persen. Ini data. Salahkan Anies? Kedua, PSBB diduga akan menyulitkan warga Jakarta. Dengan PSBB, warga Jakarta akan makin sulit hidupnya. Apakah tuduhan ini berbasis data? Analisis obyektif atau imajinatif? Jakarta, ada 3,6 juta Kepala Keluarga (KK) nggak punya tabungan. Maka, mereka diberikan bansos. Beberapa bulan ini, Anies telah menyiapkan anggaran bansos sebesar Rp 900 miliar per dua pekan untuk 3,6 juta warga DKI. Sebulan Rp 1,8 triliun. Jadi, relatif aman. Ini sudah berjalan. Salahkan Anies? Jika Anies nggak tarik rem darurat PSBB, Jakarta bisa collaps. Sebab 77 persen ruang isolasi rumah sakit di DKI sudah terpakai. Sekitar 83 persen ruang ICU terisi. Ini data 6 september. Sisanya nggak akan tampung jika pasien terus bertambah secara masif. Lalu, bagaimana nasib mereka? Mau mati di jalanan? Ketiga, dengan PSBB, Anies dianggap sengaja memperburuk ekonomi nasional agar Jokowi segera jatuh. Ini terlalu jauh imajinasinya. Di otak orang-orang ini sepertinya sudah kebayang Anies itu presiden masa depan. Lalu mereka takut kalau nahkoda kapal mereka akan diganti. Sebuah ketakutan yang berlebihan. Kalau pandemi tak serius diatasi, tapi fokus hanya pada ekonomi, maka Indonesia akan gagal dua-duanya. Kesehatan nggak pulih, ekonomi makin terpuruk. Ibarat ngisi ember bocor. Bansos terus diberikan, UMKM dan korporasi disuntik dana, tapi penyebaran virus nggak dibatasi. Maka, tak pernah ada ujungnya. Karena produksi tersendat. Otomatis peredaran uang juga terganggu. Terjadilah resesi ekonomi. Sampai kapan? Sampai pandemi betul-betul teratasi. Soal Jokowi, sampai 2024 atau tidak, begini kalkulasi politiknya. Kalau kondisi ekonomi-politik normal dan Jokowi bertahan sampai 2024, peluang Anies jadi presiden sangat besar. Karena Anies sedang berada di atas panggung. Kondisi obyektif, Anies paling populer saat ini. Ini fakta yang tak bisa dibantah. Tahun 2022, kemungkinan di DKI ada Pilkada. Semua partai di DPR menghendaki, kecuali PDIP. Jika 2022 Anies gubernur lagi, jadi presiden hanya butuh satu langkah. Sekali lagi, ini kalkulasi jika semuanya berjalan dengan normal. Jika Jokowi jatuh sebelum 2024, meski peluang Anies jadi presiden tetap ada, namun akan banyak tokoh yang berpotensi membajak situasi untuk berebut jadi presiden. Akan bermunculan para tokoh instan. Dan mereka akan saling menyalib di tikungan. Dari analisis ini, kelihatan bahwa Anies hanya fokus melihat data penyebaran covid-19, lalu menghitung segala dampaknya bagi warga Jakarta, dan ambil keputusan. Simple urutan logika dan kerjanya. Soal "good Looking" atau "tidak good Looking", untung rugi secara politik, nampaknya bukan prioritas lagi bagi Anies sekarang ini. Jika ada anak anda yang sakit, anak anda yang lain ditabrak kereta lalu mati, masihkah anda bisa berpikir politis? Ini yang seringkali tak terjangkau oleh otak para pengkritik Anies. Kira-kira kalau dinarasikan begini, nggak urus dengan 2024, yang penting warga Jakarta selamat. Selamat nyawanya, dan kebutuhan ekonominya bisa diatasi. Nggak peduli orang setuju atau tidak, karena tanggung jawab warga DKI ada di pundak seorang Gubernur sebagai kepala daerah. Inilah yang membedakan Anies dengan para pengkritiknya. Anies mengambil kebijakan dengan data dan rasa. Umumnya, para pengkritik nggak peduli data, dan nggak ada rasa. Di ujung, kebenaran akan terbuka. Ini sudah berulangkali terbukti. Para pengkritik sangat emosional. Kelebihan Anies, selalu bisa menjaga emosinya. Tenang dan tetap bersahaja. Kata dan sikapnya terukur. Itupun tetap dikritik, pinter mengolah kata, katanya. Mestinya, para pengkritik belajar kepada Anies bagaimana mengolah kata yang baik. Agar telinga para pendengar juga bisa menerima dengan baik. Kalau Kata-katanya kotor, tentu hanya telinga kotor yang bisa menampungnya. Ini hukum psikologi. Mental dan sikap yang nggak seimbang antara Anies dengan para pengkritiknya justru seringkali menjadi poin positif buat Anies. Kalau Tyson lawan petinju amatir, kira-kira sudah bisa ditebak kemana dukungan penonton akan diberikan. Ini logika dan analogi yang paling dasar. Di depan penguasa, Anies memang jauh dari performence "good looking" . Tapi, di mata warga DKI, Anies mendapat apresiasi, karena kekuatan leadershipnya. Di dalam diri Anies ada kejujuran, ketegasan, keberanian ambil risiko, dan kerja terukur berbasis data. Anies juga punya integritas dan kompetensi. Jika Anies mampu terus mempertahankan karakternya ini, maka ia akan selalu diterima di hati rakyat. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Pembujuk Tersembunyi Yang Merusak Demokrasi
by Zainal Bintang Jakarta FNN –Rabu (16/09). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Rata-rata setelah terpilih para calon kepala daerah ini akan memberi timbal balik berupa kebijakan, “melahirkan korupsi kebijakan”, “kata Mahfud, Jumat (11/09/20). Pada hari yang sama, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, “berdasarkan kajian KPK, lebih dari 80 persen calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor”. Dari sumber mata air yang keruh inilah lahir kebijakan “jual beli” lisensi SDA potensial di sebuah daerah. Sebagai kompensasi atas “bridging finance” sang cukong kepada pejabat daerah yang terpilih. Kejadian yang tidak menyenangkan itu, mengingatkan pada karya Vance Packard, jurnalis dan kritikus sosial Amerika yang berjudul “Pembujuk-Pembujuk Tersembunyi” (The Hidden Persuaders). Karyanya itu pertama kali diterbitkan tahun 1957. Vackard mengeksplorasi penggunaan riset motivasi konsumen dan teknik psikologis lainnya oleh pengiklan. Termasuk psikologi mendalam dan taktik subliminal. Bertujuan memanipulasi ekspektasi dan mendorong keinginan akan produk, terutama di era paska perang Amerika. Menurut Packard, kebutuhan ini begitu kuat sehingga orang terpaksa membeli produk hanya untuk memuaskannya. Buku ini juga membahas teknik manipulatif dalam mempromosikan politisi ke pemilih. Selain itu, buku ini mempertanyakan moralitas penggunaan teknik-teknik ini. Meskipun buku itu laris manis diantara khalayak kelas menengah, buku itu secara luas dikritik oleh peneliti pemasaran dan eksekutif periklanan karena membawa nada sensasional dan dianggap mengundang pernyataan yang tidak berdasar. Berbicara adanya keterlibatan cukong yang melancarkan praktik “money politics” (politik uang) tentu tidak berdiri sendiri. Publik punya banyak bukti adanya dukungan dari unit lain yang, termasuk lembaga survei. Bergabung menjadi sebuah konspirasi untuk memaksakan perubahan pandangan dan nilai moralitas masyarakat. Konspirasi itu leluasa beroperasi melumpuhkan nalar masyarakat. Memunculkan unit baru, “tim relawan” yang powerfull. Tapi, kesemuanya itu, yaa diperoleh tentu saja dengan doktrin “tidak ada makan siang gratis” (there is no free lunch). Secara umum banyak dibicarakan keberadaan kebijakan Otda (Otonomi Daerah) sejak 2004, yang ditengarai menjadi mesin penggerak “penyimpangan” kebijakan di daerah. Meskipun pemerintah telah beberapa kali merevisi UU No 22 Tahun 1999, menjadi UU No 32 Tahun 2004. Tapi UU itu telah kadung menjadi mesin provokator bangkitnya semangat berkuasa elite yang mau menempuh jalan pintas memanipulasi sentimen masyarakat lokal. Memaksakan pemekaran wilyah. Menjadi pintu masuk lahirnya aktor baru korupsi yang berselancar di atas kompensasi lisensi-lisensi potensi daerah. Didalam berbagai kajian ditemukan, kontestasi politik Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) menjadi bursa pemasaran hasil survei lembaga survei yang merangkap sebagai tim pemenangan. Mereka bekerja sistematis menawarkan hasil polesan “mantra” politik trisakti : popularitas (keterkenalan), elektabilitas (keterpilihan) dan akseptabiltas (keterterimaan) dari publik kepada publik. Metode survei pendapat masyarakat dikampanyekan sebagai cabang ilmu pengetahuan masyarakat moderen Dipaksakan melalui kampanye masif menggedor syaraf publik. Diboncengi ideologi baru “money politics” (politik uang). Sejak melembaganya kontestasi politik perebutan kekuasaan setiap ada Pilkada dan Pemilu era reformasi, telah terjadi peralihan lokasi aliran uang dari dunia ekonomi ke dunia politik. Jabatan politik laris manis dan diburu karena menjadi semacam kunci Inggris membuka pintu kemudahan mengalirnya upeti-upeti tak bernama. Efek lain yang muncul sebagai ekses produk “pembujuk-pembujuk tersembunyi” dapat dilihat merujuk tulisan Sarah Perucci yang disiarkan oleh Freedom House 2020 berjudul “Democracy And pluralism Are Under Assault” (Demokrasi Dan Keberagaman Sedang Diserang). Nampaknya apa yang terjadi di Indonesia, sepertinya terdapat benang merah dengan apa yang terjadi di negara lain. Menurut Perucci, “diktator bekerja keras untuk membasmi sisa-sisa perbedaan pendapat domestik, dan menyebarkan pengaruhnya yang berbahaya ke penjuru dunia yang baru”. Perucci yang juga Direktur Senior Riset dan Analisis Freedom House. Pada saat yang sama, banyak pemimpin yang dipilih secara bebas dan dramatis, mempersempit perhatian mereka ke interpretasi kepentingan nasional. Faktanya, para pemimpin seperti itu, termasuk kepala eksekutif Amerika Serikat dan India, dua negara demokrasi terbesar di dunia-semakin bersedia untuk mendobrak perlindungan institusional dan mengabaikan hak-hak kritik dan minoritas saat mereka mengejar agenda populis mereka. Kebrutalan rezim otokratis yang tidak terkendali dan kerusakan etika dari kekuatan demokrasi bergabung untuk membuat dunia semakin memusuhi tuntutan baru untuk pemerintahan yang lebih baik," ujar Perucci sambil menyebut , "bidang kemunduran yang paling umum, terjadi dalam fungsi pemerintahan, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, dan aturan negara hukum." “Sejumlah gerakan protes warga baru yang mencolok telah muncul selama setahun terakhir. Yang mencerminkan keinginan universal yang tidak ada habisnya untuk hak-hak fundamental. Namun, gerakan-gerakan ini dalam banyak kasus menghadapi kepentingan yang mengakar kuat yang mampu menanggung tekanan yang cukup besar dan bersedia menggunakan kekuatan mematikan untuk mempertahankan kekuasaan," ujar Perucci. Protes tahun 2019 sejauh ini gagal menghentikan penurunan kebebasan global secara keseluruhan. Tanpa dukungan dan solidaritas yang lebih besar dari negara-negara demokrasi mapan, mereka cenderung menyerah pada pembalasan otoriter," sebut Perucci menutup tulisannya. Mau tidak mau apa yang disampaikan Mahfud MD dan Ghufron itu, mengingatkan publik pada pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang pernah menyebut “Pemodal cukup merogoh ongkos Rp 1 triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia”. Menurut Bamsoet panggilan akrab mantan Ketua DPR RI itu, nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik di Indonesia. “Semahal-mahalnya Rp1 Triliun sudah bisa menguasai partai politik, ini pengalaman. Boleh dibantah atau tidak, tapi inilah kenyataan sistem yang masih dipertahankan," ungkapnya pada pertengahan Februari yang lalu di Jakarta. Kasus pembegalan politik yang dialami penyanyi Pasha Ungu di Palu, Sulawesi Tengah dan keributan dalam proses Pilwalikota Makassar yang menyeruakan pemberitaan pengusiran pimpinan lembaga survei Polmark Eep Saifulloh oleh kliennya, Erwin Aksa ketua tim calon walikota Appi- Rahman menunjukkan bagaimana elemen “manipulasi” ikut menjadi sumber sengketa. Tidak jelas siapa yang memanipulasi siapa. Meskipun kasus ini masih gelap dan masih memerlukan klarifikasi dan tranparansi kedua belah pihak. Yang menjadi pertanyaan publik adalah, mengapa pernyataan Bamsoet serta Menko Polhukam dan pimpinan KPK hanya berhenti menjadi cerita belaka. Tapi hanya sebatas menjadi trending topik dalam forum seminar. Tidak terlihat adanya langkah konkret preventif berbentuk regulasi penindakan, untuk menghentikan operasi kriminal dan penjahat demokrasi yang bernama cukong. Kebaikan macam apa yang diperoleh rakyat dari negara yang dikelola melalui budaya percukongan? Sebuah sistem politik yang mematikan harapan. Rakyat hanya menjadi angka-angka elektoral pemimpin politik dari pemilu ke pemilu. Akan tahankah mereka, Rakyat itu? Ataukah pemerintah lebih memilih membiarkan topik itu menjadi bagian dari skenario pengalihan isu belaka. Lalu menyerahkan urusan ini ditangani gerakan masyarakat sipil yang dikenal dengan sebutan “parlemen jalanan” : yang selalu memenuhi panggilan sejarahnya ketika tuntutan perubahan sudah tak tertahankan? Wallahualam bishawab! Penulis dalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.