Duka Yang Mendalam di Koalisi Tetangga
by M Rizal Fadillah
Bandung FNN – Jum’at (27/11). Tetangga pada umumnya adalah lingkungan paling dekat untuk berbagi cerita. Bercengkerama, bersenda gurau, hingga bertengkar. Ada suka dan duka dalam bermitra dengan tetangga. Mengisi ruang bangsa dan negara.
Istri Nasrudin Hoja kesal pada suaminya sang sufi. Sambil menggerutu meminta Nasrudin agar keluar rumah untuk mencari nafkah. Kemiskinan membuatnya menderita. Keluarlah Hoja bersujud dan berdo'a keras berharap Allah memberi uang kepadanya.
Tetangganya melihat dan mendengar Nasrudin yzng berdoa dengan suara keras, segera berfikir untuk segera mempermainkannya. Tetangganya melemparkan seratus keping perak ke atas kepalanya. Nasrudin mengumpulkan uang perak itu dan bergegas masuk ke dalam rumahnya.
Tetangganya terkaget-kaget, karena uangnya dibawa Nasrudin. Lalu terjadi pertengkaran antara Nasrudin dengan tetangganya. Nasrudin beralasan uang itu pemberian Allah yang dijatuhkan melalui kepalanya. Sementara tetangganya ngotot bahwa itu adalah uang miliknya.
Tetangganya mengusulkan kepada Nasrudin agar masalah ini dibawa ke depan Hakim. Akan tetapi Nasrudin menyatakan tidak punya sorban, pakaian, dan kuda yang bagus untuk pergi ke kota menghadap Hakim. Lalu tetangganya putuskan untuk meminjamkan semua keperluan itu kepada Nasrudin. Demi perjuangan hak dan keadilan.
Di depan Hakim, tetangganya mengadukan masalah yang dipersengketakan. Hakim bertanya tentang argumen Nasrudin Hoja atas gugatan tetangganya. Nasrudin menjawab bahwa tetangganya itu gila. Sikapnya selalu menyatakan segala adalah miliknya.
Ketika tetangga Nasrudin berteriak "pak Hakim, memang benar uang perak dan sorban, kuda, serta pakaian yang dikenakan Nasrudin adalah milik saya", maka Hakim segera memutuskan. "Saya sudah mengerti". Nasrudin tersenyum. Menang.
Hukuman Untuk Pengkhianat
Begitulah jika memiliki tetangga koalisi yang gemar bermain-main. Sementara mitra koalisinya adalah politisi cerdik tapi licik, maka kelak panggung pertunjukan kekuasaan hanya menghasilkan kejengkelan dan senyum senyum membatin yang dalam. Bagai peran orang gila di panggung sandiwara. Panggung orang gila yang memimpin negara.
Namun lebih dari itu, semua yang terjadi hari pada koalisi tetangga adalah hasil dari buah yang ditanam sendiri. Siapa yang meniup angin akan menuai badai. Setiap prilaku pengkhiatan, akan dilabalas dengan pekhiatan yang lebih keras lagi. Tragisnya, pengkhianatan yang lebih keras itu kemungkinan bisa saja dilakukan oleh koalisi yang bari dibentuk.
Apalagi koalisi yang baru terbentuk tersebut, bukan didasarkan pada dasar dan cara pandang terhadap permasalahan sosial kemasyarakan yang sama. Bukan pada mengatasi tata kelola kekuasaan yang kacau-balau, amburadul dan amatiran. Namun koalisi yang dibangun hanya didasarkan pada kalkulasi kepentingan jangka pendek. Perhitungan untung-rugi, mengganti dan kembalinya biaya-biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan.
Kalkulasi yang betujuan untuk mendapatkan pembagian kue kekuasaan semata dan angka semata. Meskipun untuk mendapatkan itu, harus dilakukan dengan mengkhianati teman seperjuangan yang telah berkorban segala-galanya. Rakyat yang terlanjur berkoran jiwa, darah, harta, keringat dan waktu. Sayangnya, yang didapat adalah kehinanaan semata. Duka yang mendalam.
Duku dan luka yang mendalam, sehingga susah untuk bisa melangkah kembali bergabung dengan para pendukung setia dulu. Kini publik (kawan dan lawan) sedang menyaksikan dukanya yang mendalam pada koalisi tetangga. Koalisi yang menjanjikan akan datangnya pelimpahan kekuasaan yang besar pada tahun-tahun mendatang, atau priode berikutnya.
Walaupun koalisi tersebut, belum sempat membuahkan hasil pendahuluan sesuai harapan, tetapi duka dan luka itu sudah datang menghampiri. Begitulah cara alam menghukum sebuah pengkhinatan. Semoga menjadi pelajaran berharga untuk yang lain. Amin
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.