OPINI
Pemerintahan Jokowi Semakin Rapuh
by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN – Rabu (02/090. Fokus, sekali lagi fokus, teridentifikasi menjadi ciri paling menonjol pada setiap pemerintahan yang sedang dililit masalah-masalah krusial. Tahu penyebab terbesar dari masalah yang melilit negara, lalu menemukan pemecahan yang tepat. Begitulah yang ditampilkan oleh berbagai pemerintahan di dunia. Indonesia maupun di dunia Internasional menunjukannya. Tidak bisa diluar itu. Bekerja di luar kerangka itu, dipastikan masalah semakin tambah membesar. Pemerintahan akan rapuh dan semakin rapuh. Pemerintahan jenis ini akan menemui akhir yang menyakitkan. Pemerintahan Jokowi hari-hari ini terlihat sedang dan terus mengalami kerapuhan itu. Dari waktu ke waktu terlihat semakin dalam. Dari waktu ke waktu pemerintah ini terlihat sulit menemukan fokus permasalahan untuk menyelesaikan masalah. Faktual Sulit Yakinkan Rakyat Sri Mulyani Lempar Penyelesaian DIPA PEN ke Komite Covid-19. Ini judul berita CNN Indonesia tanggal 26/8/2020. Di dalamnya diuraikan, saya kutip secara lengkap. "PEN yang belum ada DIPA ditangani oleh Pak Menko, Pak Erick (Ketua Pelaksana Penanganan Covid-19 dan PEN), dan BNPB (Doni Monardo). Tapi kami dari Kemenkeu bantu sepenuhnya yang butuh tambahan DIPA," ujar Ani, sapaan akrabnya, saat konferensi pers virtual APBN Kita, Selasa (25/8). Dari pagu itu, Ibu Menteri ini menambahkan anggaran yang sudah terpakai baru mencapai Rp. 174,79 triliun per 19 Agustus 2020. Jumlah itu setara 25,1 persen dari pagu anggaran (Lihat CNN Indonesia, 26/8/2020). Sangat menarik. Siapa yang menurut hukum keuangan negara menyediakan DIPA? Diseberang dekat dengan Ibu Menteri, CNN Indonesia melansir pernyataan Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Airlangga mengatakan realisasi penyerapan dana penanganan pandemi virus corona baru Rp. 182,55 triliun per 26 Agustus 2020. Ini artinya, pemerintah baru menggunakan dana tersebut sebesar 26,2 persen dari total alokasi yang sebesar Rp. 695,2 triliun. Dijelaskan lebih jauh "perkembangan sampai dengan hari ini 26 Agustus 2020 realisasi anggaran dari enam kelompok program PEN mencapai Rp. 182,55 triliun atau 26,2 persen," ungkap Airlangga dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (26/2). Ia menjelaskan realisasi penyerapan meningkat cukup signifikan dari Juli dan Agustus 2020. Tercatat, penyerapan pada akhir semester I 2020 sebesar Rp. 124,62 triliun. Kemudian, total penyerapan pada Juli 2020 naik menjadi Rp. 147,67 triliun. Kami, Airlangga menambahkan, ingin memastikan bahwa semua alokasi anggaran sudah ada programnya. Sudah bisa dipastikan realisasinya. Kalau ada program yang berpotensi tidak terealisasi dan tidak terserap anggarannya, kami sudah siapkan beberapa usulan program baru dengan kriteria yang berdampak signifikan terhadap ekonomi. (Lihat CNN Indonesia, 26/8/2020). Begitulah postur otoritatif pemerintahan Jokowi mengelola anggaran corona dan pemulihan ekonomi nasional. Postur ini terlihat menjadi penyumbang terbesar Indonesia berada pada keadaan yang benar-benar tidak produktif. Hari demi hari, semakin menyusahkan. Resesi ekonomi menanti dengan pasti. Pemerintah tak bisa lagi menemukan argumen manis untuk meyakinkan rakyat. Keadaan ekonomi nyata yang begitu pahit, tak mungkin dilukiskan dengan kata-kata manis, apalagi optimisme. Kata para ekonom keadaan ekonom, postur ekonomi pada triwulan ketiga ini benar-benar menakutkan. Ditengah kenyataan itu, muncul lagi kenyataan lain yang tidak kalah pahit sekaligus merobek-robek akal sehat. Pertamina, perusahaan negara itu menderita kerugian sebesar Rp 11 triliun lebih. Pertamina memang sempat menyodorkan argumen justifikatif terhadap kenyataan itu. Sayangnya argumen Pertamina terlalu rapuh. Bahkan konyol untuk dapat diyakini oleh masyarakat. Beli minyak dengan harga murah, lalu jual dengan harga mahal, tetapi rugi, jelas tidak bisa diterangkan dengan logis. Tidak ada nalar yang dapat menerimanya. Begitulah postur faktual pemerintahan saat ini. Hanguskan Harapan Untuk Bangkit Apakah DIPA belum tercetak merupakan akibat dari kebijakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya? Apakah DIPA belum tercetak, sehingga anggaran tidak bisa digunakan? Menggambarkan negara ini tidak punya uang? Tidakkah DIPA memiliki basis atau hanya dapat dirancang setelah program dan kegiatan tuntas tersedia? DIPA tidak pernah tidak berbasis program dan kegiatan kementerian atau lembaga atau Gugus Tugas, atau apapun itu. Itu sebabnya soal ini, tidak bisa dipecahkan dengan mengubah UU BI, OJK dan sejenisnya. Untuk alasan apapun, DIPA sama sekali tidak ada kaitannya dengan sistem keuangan. Tidak ada kaitannya dengan nilai tukar mata uang. DIPA selalu merupakan masalah teknis. Apa programnya, dan apa kegiatan dalam program itu. Itulah DIPA. Program dan kegiatan yang di-DIPA-kan inilah yang dibiayai dengan APBN. Membiayai program dan kegiatan itulah cara anggaran diserap, dibelanjakan atau digunakan. Praktis, serapan anggaran tidak ada kaitannya dengan sistem nilai tukar. Tidak ada hubungannya dengan jual-beli SUN. Ketidakmampuan menyediakan DIPA, tidak dapat disiasati dengan menyebar isu resufle misalnya. Soal ini juga tak dapat diatasi dengan menyebarkan berita-berita propaganda tentang ini dan itu. Sama sekali tidak. Melokalisir masalah dengan cara itu justru semakin menelanjangi kerapuhan pemerintahan ini. Ditengah keadaan sebagian DIPA belum tersedia, Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan membagi-bagi pulsa untuk PNS yang bekerja dari rumah. Ini menarik. Mengapa? DIPA kementerian mana atau pada bagian mana pada DIPA Komite Penanganan corona dan PEN yang menyediakan kegiatan seperti itu? Akankah kebijakan ini bekerja segera setelah keputusan dibuat atau akan sama dengan kebijakan subsidi terhadap pekerja berpendapatan dibawah lima juta? Pekerja yang sampai saat ini datanya belum benar-benar tersedia? Sampai saat ini pemerintah melalui Menteri Erick Tohir masih meminta bantuan pengusaha menyetor nama calon penerima BLT. Termasuk mengimbau pekerja yang layak mendapat BLT, tetapi tdak punya rekening agar segera membuat rekening bank (CNN Indonesia, 2/9/2020). Terlalu rapuh, kebijakan telah diresmikan dan dilaksanakan, tetapi data yang diperlukannya belum juga tersedia utuh. Dilansir CNN Indonesia, (2/9/2020), sejauh ini baru 1,9 juta pekerja yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Menariknya di tengah keadaan itu, pemerintah juga memproyeksi calon pekerja yang layak mendapat BLT. Kerapuhan dan tertatih-tatih, tanda lain dari pemerintah yang kehabisan gagasan. Kondisi itu semakin jelas menandai pemerintah ini. Tidak menyenangkan, bahkan mengkhawatirkan. Mengapa? Dalam kenyataannya corona terlihat belum akan berdamai dengan manusia dalam waktu dekat. Proyeksi pemerintah tentang penyediaan vaksin, sejauh yang dapat diverifikasi efektif tersedia dan direalisasikan pada awal 2021. Logikanya, tiga hingga empat bulan kedepan, Indonesia belum bisa keluar dengan leluasa dari lilitan corona. Efek mematikan ekonomipun akan terus menakutkan. Presiden harus menemukan, selain style baru kebijakan. Juga fokus dalam rincian. Jernih harus pandai dan membaca gelagat masalah juga mutlak dilakukan Presiden. Sebab Presiden harus dilarang untuk menutupi kerapuhan pemerintahan dengan cara-cara yang ditawarkan demokrasi urakan (menyebar isu, mengkapitalisasi isu-isu kecil). Itu sangat tak bermutu dan amatiran. Juga tidak berkelas sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Cara itu justru semakin mempercepat bangsa ini tenggelam dalam masalah. Model itu terlalu kuno dan konyol untuk kondisi sekarang. Temukan fokus dan kebijakan yang rinci, supaya akan menjadi air yang mendinginkan kenyataan panasnya ekonomi. Apalagi fakta ekonomi yang kini kian menghanguskan kearifan. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Kejahatan Besar Sedang Terjadi di Indonesia
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Rabu (202/09). Pada September 2019 lalu ratusan ribu mahasiswa, buruh dan rakyat jelata demonstrasi besar menolak pelemahan KPK. Hingga kini ada dua mahasiswa yang ditembak mati dalam demonstrasi tidak jelas proses hukumnya. Siapa saja pelaku penembakan? Masih kabur sampai sekarang. Nyawa mahasiswa seperti sampah yang tidak ada harganya di negeri ini. Tadinya saya mengira langkah-langkah jahat rezim seperti ini tidak lagi terjadi di Republik ini. Sebagai akademisi, saya berharap republik ini makin membaik menjalankan roda negara ke jalur demokrasi yang benar untuk membawa rakyat sejahtera. Negara yang menjunjung tinggi keadilan, menjunjung tinggi kemanusiaan, dan merawat harmoni. Namun semua perkiraan saya rupanya meleset. Hari demi hari harapan itu pupus seiring langkah rezim eksekutif berkolaborasi dengan rezim legislatif melakukan kejahatan sistemik. Kejahatan yang dibingkai regulasi, itulah kejahatan besar hari ini. Sebab secara sistemik kejahatan besar tersebut berbahaya bagi masa depan demokrasi. Berbahaya untuk masa depan kesejahteraan rakyat, masa depan keadilan, dan masa depan harmoni sosial kita sebagai bangsa. Saya mencatat, dalam waktu singkat kejahatan besar ini semakin sempurna. Kejahatan yang membawa republik ini ke arah jurang negara yang akan menyengsarakan rakyat dimasa depan. Merusak rantai dan tatanan demokrasi, serta membuat rakyat menderita ke depan. Secara akademik, kejahatan besar tersebut mesti dibuka. Harus dibongkar dengan argumen faktual, teoritik maupun dasar konstitusional yang kokoh. Setidaknya ada empat sektor kejahatan besar yang sudah dan sedang dilakukan oleh rezim saat ini. Diantaranya kejahatan dalam bidang Sosial Ekonomi, Sumber Daya Alam, Hukum, dan Politik. Namun demi efektifitas, narasi empat kejahatan tersebut hanya diurai pokok-pokoknya saja. Kejahatan Sosial Ekonomi Pemaksaan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah bersama DPR. RUU Omnibus Law ini adalah kejahatan besar yang sangat menyolok dibidang sosial ekonomi. Selain prosedurnya yang minim pelibatan publik, korbannya akan menimpa pada jutaan buruh dan jutaan generasi milenial. Padahal mereka penentu masa depan republik ini. Pemerintah dan DPR terlihat tutup mata, tutup telinga dan tutup nurani terhadap masa depan dan penderitaan buruh. Juga terhadap masa depan generasi milenial. Soal yang tidak kalah pentingnya adalah kelestarian lingkungan yang berdampak pada jutaan rakyat jelata. Selain RUU Omnibus Law, pemerintah dan DPR juga sebelumnya menyetujui Perpu No 1 tahun 2020 menjadi Undang-Undang No 2 tahun 2020. UU yang hanya untuk menguntungkan oligarki, dan memberikan kekebalan pada semua kebijakan ekonomi pemerintah. Padahal meskipun bertentangan dengan UU Keuangan Negara, ugal-ugalan, dan pada akhirnya merugikan rakyat banyak. Rencana pembentukan Dewan Moneter yang diketuai Menteri Keuangan juga bentuk kejahatan baru. Bersembunyi dibalik regulasi. Saat ini sedang dibahas di DPR untuk merevisi Undang-Undang Bank Indonesia (BI). Pemerintah terlihat ngotot agar Dewan Moneter dibentuk dengan kekuasaan dan wewenangnya di atas Bank Indonesia (BI). Dewan Moneter harus memiliki kekuasaan mengontrol Bank Indonesia. Ini bentuk kejahatan yang direncanakan oleh penguasa. Padahal bertentangan dengan UUD 1945 pasal 23 yang didalamnya memuat tentang Bank Sentral dan Independensi BI yang tidak boleh dikendalikan oleh siapapun. Kejahatan Sumber Daya Alam DPR dan Pemerintah ditengah situasi Covid-19 mengesahkan UU Minerba (Mineral dan Batu Bara) Nomor 3 Tahun 2020. Undang-Undang ini merugikan rakyat banyak. Juga mempreteli kewenangan daerah. Hanya menguntungkan oligarki ekonomi, mengaibaikan otoritas tanah adat, dan merusak lingkungan. Mengapa? Ini terkait dengan sentralisasi izin pertambangan dan lain-lain yang ada dalam undang-undang tersebut. Daya rusak UU ini sangat luar biasa. Kejahatan menggunakan UU. Urusan tata kelola sumberdaya alam yang buruk akan semakin bertambah buruk. Korbannya pasti rakyat. Rakyatlah banyak yang akan dirugikan. Contoh BUMN yang mengelola sumber daya alam (BBM) dan bermasalah adalah Pertamina. Sebuah BUMN yang diandalkan, ternyata telah melakukan kesalahan besar yang berdampak pada kerugian triliunan rupiah. Kesalahan besar Pertamina tersebut terjadi karena kepentingan oligarki. Misalnya terjebak dalam beban keuangan Signature Bonus (SB) Blok Rokan Rp. 11,3 triliun. Membeli crude domestic dengan harga mahal Rp 9,25 triliun, sampai biaya bunga akibat kebijakan populis jelang Pilpres 2019 lalu dengan nilai Rp 3 tiriliun. Akibat semua itu Pertamina harus menanggung beban keuangan sekitar Rp 23,55 triliun. Ujungnya Pertamina harus merugi lebih dari Rp 11,13 triliun. Kejahatan Hukum Tata Negara Lagi, pola rezim eksekutif dan legislatif menetapkan Undang-undang secara sembunyi-sembunyi disaat Covid-19. Kali ini tidak kalah bahayanya karena menyangkut tata kelola negara di bidang kekuasaan yudikatif, khususnya soal Mahkamah Konstitusi (MK). Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah diam-diam telah mengesahkan RUU Mahkamah Konstitusi menjadi undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dalam rapat paripurna DPR pada Selasa, 1 September 2020. Prosesnya berlangsung tertutup tanpa melibatkan partisipasi publik secara luas. UU MK tersebut bermasalah bukan hanya dari segi prosedurnya. Tetapi materinya juga tidak substantif. Tak mendesak dan terlihat sarat kepentingan politik. Buru-buru disahkan saat kebanyakan rakyat sibuk atasi dampak sosial ekonomi akibat Covid-19. Saat rakyat sedang menderita, saat rakyat sedang lapar. Diantara isinya yang bermasalah adalah soal penghapusan periodesasi jabatan, perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga usia pensiun 70 tahun, serta masa jabatan ketua dan wakil ketua MK. Ini mirip barter jabatan untuk para hakim MK yang saat ini menjabat. Ini bisa berdampak pada independensi hakim MK dalam memutus perkara dikemudian hari. Sejumlah UU dan RUU bermasalah dari DPR dan pemerintah seperti UU KPK, UU Keuangan Negara untuk Covid-19, UU Minerba serta RUU Omnibuslaw Cipta Kerja yang berpotensi diujikan ke MK akan dengan mudah diputuskan hakim MK demi memuluskan kepentingan oligarki politik dan oligarki ekonomi. Bentuk kejahatan yang sangat luar biasa bahanya untuk keselamatan negara. Kejahatan Politik Kejahatan besar politik juga masih akan terus terjadi, diantaranya soal ngototnya rezim berkuasa untuk mempertahankan Presidential Threshold dalam Undang-Undang Pemilihan Umum, padahal sudah ada Parliamentary Threshold. Oligarki politik dan dinasti politik yang dicontohkan keluarga istana dan dilindungi rezim juga adalah praktik jahat politik Indonesia saat ini yang vulgar dan tak malu-malu turut merusak kualitas demokrasi. Dinamika turunan kejahatan politik juga masih ada dan terus dilakukan rezim. Mulai dari menjerat lawan politik dengan UU ITE, menggunakan uang rakyat puluhan miliar untuk membiayai influencer dan buzzer yang merusak demokrasi. Juga merusak harmoni sosial, hingga praktek korupsi yang masih terus saja dilakukan elit berkuasa saat ini atau bahkan dilindungi elit berkuasa. Jika semua praktek kejahatan pemerintah dan DPR diurai tak akan cukup ditulis dalam narasi artikel yang terbatas ini. Apa yang terjadi, yang saya nilai sebagai kejahatan besar karena korbanya besar yaitu rakyat banyak tersebut secara teoritik semua itu bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi modern. Bertentangan dengan prinsip open government, bertentangan dengan prinsip negara kesejahteraan. Lebih dari itu, bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Bukankah Indonesia sejak berdirinya memilih sebagai negara Republik (res publica, kembali ke kepentingan publik), bukan monarki atau kerajaan. Sejak awal bukankah kita sudah memilih menjadi negara demokrasi modern yang mengutamakan kepentingan publik. Kepentingan rakyat banyak (demos cratos). Kepentingan kebaikan bersama (common good)? Itu semua tertuang dalam pembukaan UUD 1945 secara jelas sebagai tujuan negara. Semua praktik jahat itu, sesungguhnya juga bersumber dari miskinnya moralitas para penyelenggara negara dan anggota parlemen. Moralitas dalam bernegara diabaikan. Etika politik disingkirkan. Kepentingan publik disingkirkan. Padahal ketika para pendiri bangsa ini memilih jalan negara Republik, maknanya negara ini ingin menghadirkan kesejahteraan, demokrasi, keadilan, kemanusiaan, dan harmoni sosial. Saya jadi teringat salah satu filsuf besar Cicero dalam bukunya On the Republic (51 SM) yang ditulis di sebuah gulungan daun lontar bahwa kemerosotan jiwa dan rendahnya moralitas elit politik suatu negara adalah penyumbang utama rusaknya sebuah negara republik. Saatnya Episode gelap Republik? Kejahatan besar sedang terjadi! Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Presiden Harus Tanggungjawab Rugi Pertamina Rp 11,33 Triliun
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Rabu 02/09). Situs Pertamina mempublikasikan kerugian Pertamina Semester-1 2020 sebesar U$ 767,92 juta atau sekitar Rp 11,33 triliun, pada kurs Rp. 14.766 per dollar. Dibanding periode sama tahun lalu, perolehan Pertamina ini merupakan kemunduran yang parah. Karena saat itu Pertamina melaporkan keuntungan sebesar U$ 659,96 juta atau setara Rp. 9,7 triliun. Kita maklum jika banyak perusahaan merugi pada masa pandemi korona corona. Kerugian bisa besar atau bisa kecil. Namun ada juga perusahaan migas yang masih untung. Misalnya, Cinopec China, PTT Thailand, Indian Oil Company Ltd., dan Petronas. Untuk kasus Pertamina, kerugian tidak otomatis dapat diterima. Pemerintah harus bertanggungjawab seperti uraian berikut. Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR (26/08/2020), Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan, ada tiga faktor utama penyebab kerugian Pertamina, yaitu turunnya harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dollar dan permintaan BBM. Harga minyak turun menyebabkan sektor hulu Pertamina merugi. Sedangkan turunnya permintaan akibat korona menyebabkan sektor hilir merugi. Turunnya kurs berdampak pada tambahan beban keuangan, karena fundamental pembukuan Pertamina berdasar dollar. Kita paham bahwa ketiga faktor di atas menjadi sebab ruginya Pertamina. Namun bukan hanya ketiga faktor tersebut yang menjadi penyebab kerugian. Publik harus paham, ada penyebab kerugian lain, yang semuanya berpangkal pada kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi. Melanggar aturan dan prinsip Good Corporate Governance (GCG). Pertama, Pertamina harus membayar signature bonus (SB) Blok Rokan sebesar US$ 784 juta (sekitar Rp 11,3 triliun). Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, mengelola Blok Rokan menjadi hak mandatory Pertamina. Hal yang lebih runyam lagi, meskipun baru mengoperasikan Rokan Agustus 2021, Pertamina harus membayar SB pada 2018/2019. Untuk itu Pertamina harus menerbitkan surat utang. Seharusnya cadangan blok Rokan diperhitungkan sebagai penyertaan modal negara (PMN), tanpa menerbitkan SB. Berlaku sejak pengelolaan dimulai Pertamina Agustus 2021. Kedua, Pertamina harus membeli minyak mentah (crude) domestik dengan harga Indonesian Crude Price (ICP) lebih mahal sekitar U$ 8 per barel (Banyu Urip) dan U$ 11 per barel (Duri) dibanding ICP crude jenis lain. Hal ini terlihat pada Kepmen ESDM Nomor 79.K/2020 tanggal 1 April 2020. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan “anomali” perbedaan harga masih sama. Rerata produksi lapangan Banyu Urip sekitar 210.000 barel per hari (bph). Sedangkan lapangan Duri sekitar 170.000 bph. Jika seluruh produksi minyak kedua lapangan dibeli Pertamina, maka nilai “kemahalan” yang harus dibayar Pertamina sekitar Rp. 9,25 triliun Periciannya, asumsi Rp. 14.500 per dolar selama 1 semester itu 180 hari, maka untuk Banyu Urip U$ 8 per barel x 210.000 barel setiap hari x 180 adalah U$ 302,4 juta. Sedangkan untuk Duri U$ 11 per barel x 170.000 barel setiap hari x 180 adalah U$ 336,6 juta. Sehingga nilai “keabnormalan” harga yang harus dibayar Pertamina adalah U$ 302,4 ditambah 336,6 juta adalah U$ 639 juta atau setara Rp 9,25 triliun. Nilai kemahalan atau kerugian Pertamina di atas dihitung atas dasar 100% produksi Banyu Urip dan Duri dibeli oleh Pertamina. Jika diasumsikan biaya cost recovery ditambah nilai bagi hasil (split) rata-rata kontraktor adalah 35% dari total produksi, maka 35% dari nilai kemahalan tersebut adalah Rp 3,24 triliun malah dinikmati oleh asing Chevron di Duri dan Exxon untuk Banyu Urip. Ketiga, Pertamina harus menanggung beban pencitraan politik dalam rangka Pilpres 2019, sehingga harus terlebih dahulu menanggung beban biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017. Menurut Dirkeu Pertamina Emma Sri Martini pada RDPU Komisi VII DPR, akumulasi tanggungan Pertamina tersebut sebesar Rp 96,5 triliun, ditambah kompensasi Rp 13 triliun subsidi. Total beban kebijakan populis tersebut adalah Rp 109,5 triliun. Utang pemerintah ini memang kelak akan dibayar, tapi jadwalnya tak jelas, terutama karena besarnya defisit APBN akibat pandemi korona. Jika tak segera dilunasi, Pertamina justru terancam gagal bayar atau default. Akibat utang pemerintah Rp 109,5 triliun tak dilunasi, maka Pertamina harus menerbitkan surat utang. Beban surat utang Pertamina sejak 2011 mencapai U$ 12,5 miliar. Khusus untuk 2018-2020, akibat menanggung akumulasi utang pemerintah Rp 109,5 triliun di atas, Pertamina setiap tahun harus menerbitkan bond U$ 750 juta (2018), U$ 1,5 miliar (2019) dan U$ 3 miliar (2020), pada tingkat bunga (kupon) yang berbeda-beda antara 3,65% hingga 6,5%. Total tambahan surat utang Pertamina 2018 hingga 2020 adalah U$ 5,25 miliar. Artinya, dihitung sejak penerbitan surat utang 2018 dan tingkat kupon masing-masing, maka beban bunga (cost of money) yang ditanggung Pertamina akibat kebijakan populis Pilpres 2019 yang menjadikan Pertamina sapi perah adalah sekitar U$ 210 juta atau sekitar Rp 3 triliun. Keempat, selain ketiga faktor penyebab di atas, Pertamina juga harus menanggung beban kebijakan lain berupa public service obligation (PSO) BBM satu harga, PSO over quota LPG 3 kg, pembangunan rumah sakit untuk Covid-19, akuisisi perusahaan Maurel & Prom Prancis yang diperkirakan bernuansa moral hazad. Sesuai UU BUMN No.19/2003 beban PSO harus ditanggung APBN. Keseluruhan beban kebijakan tersebut dapat mencapai triliunan rupiah juga. Hanya dari tiga kebijakan pemerintah yang diurai di atas yaitu, 1). Beban keuangan SB Rokan Rp. 11,3 triliun. 2). Membeli crude domestic mahal Rp. 9,25 triliun dan 3). Biaya bunga akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp. 3 tiriliun. Pertamina harus menanggung total beban keuangan sekitar Rp. 23,55 triliun. Artinya, jika kebijakan sesuai konstitusi, tidak melanggar aturan dan GCG, maka Pertamina masih untung sekitar triliun Rp12,25 triliun. Rinciannya, total beban keuangan Rp. 23,55 dikurangi rugi Rp. 11,3 riliun. Terkait posisi Ahok sebagai Komut yang masih dihujat publik, karena pemerintah mengangkat Ahok tanpa peduli aturan. Ahok diangkat menjadi Komut dengan melanggar sejumlah ketentuan dalam UU BUMN No.19/2003, Permen BUMN No.02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan Pengangkatan Komisaris BUMN, dan Permen BUMN No.01/2011 tentang Penerapan GCG. Karena itu, seperti juga sikap publik, IRESS bersikukuh, Ahok harus segera dilengserkan dari posisi Komut Pertamina. Jika dikaitkan dengan peraturan harga BBM yang berlaku saat ini, pemerintah tak kunjung menurunkan harga BBM, sebenarnya konsumen BBM telah mensubsidi Pertamina minimal Rp 20 triliun. Artinya, rakyat telah menyelamatkan Pertamina dari kerugian yang lebih besar dari rugi Rp 11,3 triliun. Untuk itu IRESS bersama sejumlah tokoh dan aktivis telah mengajukan Somasi kepada Presiden dan Citizen Law Suit kepada Pengadilan Jakarta Pusat menuntut ganti kemahalan harga BBM pada Juni-Juli 2020. Sebagai kesimpulan, kerugian Pertamina sebenarnya terjadi akibat kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi, peraturan dan GCG. Dalam kondisi harga BBM yang tetap tinggi seperti sekarang, Pertamina malah bisa untung Rp 12,25 triliun, jika pelanggaran tidak terjadi. Namun karena berbagai pelanggaran oleh pemerintah, 265 juta rakyat kehilangan kesempatan memperoleh manfaat SDA migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keuntungan Pertamina hanya dinikmati segelintir orang dalam lingkar kekuasaan. Karena itu, sebagai pemimpin pemerintahan, rakyat wajar menuntut pertangungjawaban Presiden Jokowi. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resouuces Studies (IRESS).
1 Juni 1945 Hari Lahir “Trisila Dan Ekasila”
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (02/09). Klaim hari lahir Pancasila adalah tanggal 1 Juni 1945 masih alot diperdebatkan. Meskipun sudah distempel dengan Keputusan Presiden (Kepres). Masyarakat boleh saja menggungat keabsahan Kepres tentang penetapan Pancasila 1 Juni 1945 ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Biarkan PTUN yang menguji keasahan Kepresnya. Pandangan bahwa hari lahir Pancasila adalah 18 Agustus 1945 jauh lebih kuat. Baik itu alasan hukum maupun politiknya. Tanggal 1 Juni 1945 hanya sekedar pidato Soekarno dan tokoh-tokoh bangsa lainnya pada Sidang BPUPKI semata. Pidoto yang tanpa kesepakatan apapun tentang Pancasila. Yang disepakati justru Pancasila "Piagam Jakarta" 22 Juni 1945 atau finalnya Pancasila 18 Agustus 1945 tersebut. Jika tanggal 1 Juni 945 disebut sebagai hari lahir Pancasila, maka dokumen otentik ini dapat menegaskan dan membuktikan bahwa 1 Juni1945 adalah hari lahir Trisila. Juga kelahiran Ekasila. Hal ini karena, baik Pancasila rumusan 1 Juni 1945 dan rumusan sila-sila Trisila lahirnya pada menit yang sama. Begitu juga dengan Ekasila. Lahirnya di tanggal yang sama. Kepres Nomor 24 Tahun 2016 tersebut sejatinya bukan menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila. Tetapi hari lahir “Trisila dan Ekasila”. Disinilah kita melihat kekacauan dan bahaya ketatanegaraan. Makanya kalau ada kelompok masyarakat yang menggunggat Kepres Nomor 24 Tahun 2016 ini ke PTUN untuk dibatalkan, maka itu sah-sah saja. Trisila adalah sila yang berbau Komunis, atau sekurang-kurangnya Sosialis. Trisila yang berarti "tiga sila" diambil Soekarno dari filosofi kenegaraan Republik Rakyat Tiongkok, yaitu San Min Chu I karya Dr. Sun Yat Sen. Min Tsu (Nasionalisme), Min Chuan (Demokrasi), dan Min Sheng (Sosialisme). Dengan menjadikan sila ketiga "Ketuhanan", maka sosialisme ditempelkan pada kedua sila lainnya yaitu Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Trisila adalah konsepsi negara sosialis yang berpotensial untuk menuju Komunis. Faham Komunis inilah yang ditentang, bahkan dilawan habis-habisan oleh masyarakat, khususnya umat Islam. Tidak bakal ada kompromi. Akar ideologi pengaruh Sun Yat Sen ini diakui sendiri oleh Soekarno sendiri yang mengatakan, "yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat sehormat-hormatnya, merasa berterimakasih kepada Dr. Sun Yat Sen sampai ke liang kubur". Tanggal 1 Juni 1945 adalah juga hari lahir Ekasila karena "perasan" Soekarno terakhir adalah "Gotong Royong". Inilah yang dimaknai dengan "Communalism" atau mungkin juga "Communism". Kebersamaan tanpa adanya kejelasan batas. Dapat saja "sama rata sama rasa" (the same taste). Dalam pidatonya, Soekarno menyatakan, "gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjoangan bantu membantu bersama, amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua, ho lopis kuntul baris, buat kepentingan bersam. Itulah gotong royong". Mengingat Pancasila tanggal 1 Juni 1945 saat itu masih terus dibahas dan digodog, maka Pancasila mutlak belum lahir. Berbeda dengan Trisila dan Ekasila yang tidak berlanjut ke pembahasan. Artinya final. Maka keluarlah dan lahirlah. Jadinya tanggal 1 Juni 1945 adalah hari kelahiran Trisila dan Ekasila. Bukan kelahiran Pancasila. Pemerintah harus mencabut Kepres 24 tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila. Kepres ini telah membodohi rakyat. Tidak bermakna bagi kepentingan rakyat secara keseluruhan. Hanya memihak pada kelompok atau partai tertentu saja. Kepres ini kemudiannya telah menjadi landasan bagi penyesatan ideologi Pancasila yang sebenarnya. Pancasila tanggal 1 Juni 1945 adalah Pancasila yang invalid. Proses yang belum tuntas. Jika terus diperjuangkan maka menjadi "makar ideologi". Catat dan ingat itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Tempo Telanjangi Buzzer dan Influencer Istana
by Jusman Dalle Jakarta FNN – Rabu 02/09). Tempo kembali Bikin heboh! Sorotan terhadap buzzer dan influencer berlanjut. Kali ini, bahkan diangkat khusus sebagai cover story. Jadi headline majalah Tempo edisi 31 Agustus-6 September 2020. Dalam investigasi terbarunya, Tempo menguliti pasukan buzzer dan influencer yang dipekerjakan pemerintah. Tempo juga memuat pengakuan salah satu koordinator buzzer yang bergerak menyiapkan suplai konten tulisan. Orksetra pendengung. Demikian judul yang tertulis di sampul Majalah Tempo. Diantara beberapa angle berita yang diangkat Tempo yaitu : *Kakak Sepupu Jokowi, Andi Wibowo disebut memimpin salah satu tim media sosial. **Tim media sosial itu, menyusun narasi untuk menggaungkan satu isu di jagat maya. ***Beberapa isu titipan digaungkan untuk mendapatkan dukungan publik. Pepih Nugraha, jadi narasumber kunci dalam liputan terbaru Tempo tersebut. Pepih banyak bercerita tentang aktivitas tim media sosial pemerintah yang dipimpin oleh Andi Wibowo. Sepupu Jokowi. Pepih juga mengisahkan pertemuannya dengan Andi Wibowo, hingga bagaimana ia direkrut dan bergabung dengan tim tersebut. “Pepih mengaku mendapat bayaran menjadi anggota tim media sosial Jokowi. Sebagian digunakan untuk membayar sejumlah penulis” tulis Majalah Tempo dalam salah satu paragrafnya. Di paragraf lain, Tempo melanjutkan “Pepih mengatakan penulis yang dia himpun dan menggunakan akun anonim inilah yang berfungsi menjadi Buzzer atau pendengung”. Pepih nugraha merupakan sosok yang sudah familiar di kalangan penulis. Khususnya blogger. Pepih adalah jurnalis senior Kompas yang mendirikan platform blogging Kompasiana. Lantas, berapa bayaran menjadi buzzer atau influencer istana? Pepih, menurut laporan Tempo tersebut, tidak menyebutkan jumlahnya. Namun menurut hasil penelitian yang dikutip Tempo dari Oxford University, seorang buzzer atau influencer di Indonesia bisa mendapatkan bayaran dari Rp. 1 juta hingga Rp. 50 juta rupiah. Bahkan bisa lebih. Pengakuan selebritas Ardhito Pramono yang dibayar Rp. 10 juta untuk satu unggahan, sedikit membuka tabir besaran tarif seorang influencer dan buzzer di Indonesia. Ardhito, sempat jadi jadi sorotan. Ketika penyanyi muda itu mengunggah propaganda RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Belakangan, Ardhito mengklarifikasi dan mengaku unggahan itu merupakan pesanan. “Saya merasa ditipu”, kilah Ardhito dikutip dari Tempo. Dunia buzzer atau influencer sebetulnya bukan barang baru. Dunia ini diperkenalkan oleh pakar strategi pemasaran, Jay Conard Levinson pada tahun 1984. Lahir dari dunia bisnis. Tepatnya sebagai strategi gerilya pemasaran (guirella marketing). Belakangan, strategi menggunakan buzzer dan influencer diadopsi ke dunia politik. Maka muncullah buzzer dan influencer politik. Mulai populer di Indonesia sejak Pilkada DKI tahun 2012 lalu. Penting untuk memilah buzzer bisnis dan buzzer politik. Pasalnya, stigma buzzer politik kadung kotor. Akibat perilaku aktor-aktornya dan dalangnya. Sementara buzzer dan influencer untuk bisnis, adalah lumrah. Lahir secara otentik tanpa misi manipulatif. Pertanyaan berikutnya, mengapa pemerintah pakai buzzer dan influencer? Padahal mereka punya sumber daya komunikasi yang melimpah. Strukturnya berjenjang. Dari pusat hingga daerah. Apakah resources itu tidak cukup? Ada lima alasan di balik pengerahan buzzer politik oleh pemerintah. Pertama, pemeerintah tidak percaya diri atau merasa inferior terhadap kebijakan publik yang diputuskan. Kedua, pemerintah yakin jika mereka menerapkan kebijakan yang salah. Tidak populis. Menuai penolakan dari masyarakat. Sehingga harus berlindung di balik tangan pihak ketiga. Para influencer yang dianggap punya pengaruh, lalu dikerahkan. Diplot khusus untuk mengkondisikan opini melalui bermacam-macam propaganda. Solah-olah dukungan murni dari masyarakat. Padahal, diseminasi informasi itu sudah dimanipulasi sedemkian rupa. Ketiga, kuasa uang. Menganggap semua bisa dibeli. Uang kini bukan sekadar untuk beli suara dalam pemilu seperti yang diulas pakar politik Burhanudin Muhtadi dalam bukunya. Uang, juga sudah jadi senjata untuk menggiring dan membentuk opini. Uang, dipakai membeli dan memborong pencitraan di tengah ledakan informasi yang semakin buram dan tidak jelas. Uang membuat yang otentik dan yang manipulatif semakin sulit dibedakan. Keempat, karena produk politik yang ditawarkan memang tidak laku. Daya saing dan mutunya rendah, dan amatiran. Bisa juga kelas odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng. Produk politiknya adalah sosok ide-idenya politisi kacangan, yang menggambarkan kebijakan politik dari pemerintah. Kelima, ini alasan yang agak rasional. Menggunakan buzzer dan influencer lebih efektif dan efisien daripada menggunakan media maisntream. Bandingkan dengan beriklan di TV misalnya. Video berdurasi 10 detik harus dibayar ratusan juta hingga miliaran rupiah. tergantung frekuensi penayangan. Itu juga belum tentu bisa mempengaruhi audiens. Namun dengan modal di bawah 100 juta, seorang politisi atau satu institusi pemerintah dapat memperoleh publisitas luas dan terukur dari seorang buzzer dan influencer. Makanya saat membaca laporan ICW bahwa pemerintah mengeluarkan Rp. 90 miliar untuk publisitas digital melalui influencer dan buzzer, saya malah berpikir, itu kok murah banget?. Apalagi budget Rp. 90 miliar tersebut dikeluarkan sejak tahun 2014. Lalu kenapa kita marah? Kenapa publik antipati ketika pemerintah pakai buzzer dan influencer? Meski cost Rp. 90 miliar itu terbilang murah untuk sebuah program komunikasi selama enam tahun. Kemarahan dan sinisme publik, bukan soal besaran APBN yang dikeluarkan. Tteapi akibat dari perilaku dan ulah para buzzer tersebut. Propaganda mereka memecah belah masyarakat. Manipulasi informasi dan penggiringan opini yang dilakukan, berakibat buruk bagi kepentingan bangsa. Bayangkan, pelemahan KPK diglorifikasi sebagai penguatan sistem presidensial. Eksploitasi pekerja oleh korporasi dan perusakan lingkungan digiring seolah menciptakan lapangan kerja. Dasar, argumentasi berakal pendek, picisan dan kacangan. Maka buzzer politik ini lebih mirip pasukan perang yang mencari musuh, ketimbang menjalankan fungsi humas yang mestinya menjadi diplomat. Komunikator di garis depan, seharusnya bersikap ramah kepada audiens. Saya mau memberikan saran kepada para buzzer politik itu. Jika tujuannya untuk berkomunikasi dengan masyarakat, maka ubahlah pola komunikasi yang diterapkan. Gunakan pendekatan public relation. Pakai formula humanis. Berbicara sebagai humas pemerintah dengan narasi afirmatif. Esensi dan filosofi platform digital ini, hadir sebagai saluran komunikasi untuk mengirim informasi jernih. Informasi Tanpa distorsi. Jangan dibolak-balik. Kecuali memang plotnya sudah dipesan pengguna jasa. Bertujuan membangun atmosfer peperangan. Ya, itu pilihan. Yang pasti, kita sama-sama tahu. Banyak bisnis yang bergulir jika terjadi perang. Misalnya, di balik perang melawan terorisme di Timur Tengah, ada agenda perburuan minyak dan bisnis logistik perang. Termasuk bisnis senjata oleh korporasi global. Di balik konflik sektarian pengusiran Rohingnya di Myanmar, ada aktor perusahaan minyak multinasional China (CNPC) yang berburu minyak di Rakhine. Maka dalam perang-perangan ala buzzer dan influencer binaan pemerintah, tentu juga ada agenda yang diemban. Ada pihak-pihak yang diuntungkan. Setidak-tidaknya, jadi ajang panen bagi bisnis buzzer. Maka jangan kebakaran jenggot, jika sepak terjang anda, para buzzer disoroti. Bahkan dikuliti hingga ke jeroan. Seperti investigasi majalah Tempo. Hal itu bagian dari upaya keterbukaan informasi publik. Pertangunggjawaban penggunaan pajak rakyat. APBN yang dipakai membayai aktivitas buzzer. Setiap rupiah APBN harus dipertanggunjawabkan secara konstitusional. Karena anda berperang dan melontarkan peluru komunikasi ke publik pakai APBN. Maka rakyat pasti selalu monitor. Bahkan melawan lebih ganas jika diusik Pahami itu. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tali Foundation & Praktisi Ekonomi Digital.
Sinovac Diragukan, Indonesia Malah Terjepit Masuknya Corona D614G
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Rabu (01/9). Masih seputar Virus Corona Kode D614G yang beberapa waktu lalu di Filipina dan Malaysia melaporkan temuan virus Corona yang telah bermutasi menjadi 10 kali lebih ganas. Virus ini dikhawatirkan akan masuk ke Indonesia. Dan kekhawatiran ini benar adanya usai Universitas Airlangga mengaku menemukan mutasi ini di beberapa kota besar Indonesia. Bahkan Unair menyebut mutasi serupa juga ditemukan di Surabaya, meskipun data ini masih perlu diteliti lebih jauh. “Indonesia, kalau lihat di Jatim dan Jawa Barat, Indonesia masih sangat terbatas datanya. Masih 21 virus yang sudah disubmit,” ungkap Ahli Biomolekuler Unair, dr Ni Nyoman Tri Puspaningsih, seperti dilansir Kumparan.com, Jum’at (Aug 28, 2020). “Dan mutasinya ditemukan sekitar 8 datanya di Indonesia, di Jabar dan Jatim, dan ditemukan juga di Surabaya mutasi ini,” lanjut Nyoman dalam webinar internasional bertajuk “Ending Pandemics COVID-19: Effort and Challenge”, Jumat (28/8/2020). Menurut Nyoman, mutasi virus ini sebenarnya sudah ditemukan di Eropa sejak Februari 2020. Dan sejak itulah virus SARS-CoV-2 dengan tipe mutasi D614G menjadi yang paling dominan ditemukan di berbagai sampel usap global. Mutasi ini, terletak pada bagian dalam protein yang membentuk spike virus yang berfungsi untuk menembus masuk ke dalam sel tubuh manusia. Mutasi ini akan mengubah asam amino pada posisi 614, dari D (asam aspartat) menjadi G (glisin), sehingga diberi label D614G. “Jadi kami belum tahu mekanismenya persis. Tapi peningkatan mutasinya meluas,” ujar Nyoman, merujuk pada mekanisme penularan dan “cara kerja” baru virus hasil mutasi ini. “Kalian bisa lihat mutasi aslinya di Eropa, banyak mutasi varian virus ini dari Eropa.” Untuk memahaminya, diperlukan penelitian menyeluruh atas semua karakter virus. Namun saat ini Indonesia masih melakukan analisis awal, seperti Unair yang sudah menyerahkan sekitar 6 karakter virus. “Unair sudah submit 6 karakter virus, dua diantaranya karakternya terkait dengan virus di Eropa, dan keduanya termasuk D164G,” ujar Nyoman. “Tapi menariknya salah satu nomor virus ini menarik, karena enggak cuma ada mutasi D164G (di Surabaya).” Karakter Corona Mengapa mutasinya begitu cepat? Perlu diketahui, sifat dasar antibodi, bakteri/virus/hewan, tanaman, dan manusia itu, kalau disakiti, pasti akan melawan, karena untuk mempertahankan keberadaan dirinya. Maka sudah barang tentu, mereka akan melawan semaksimal yang bisa mereka lakukan atau menyerah. Pada saat tersakiti dengan des infektan atau apapun sejenisnya, mereka yang tidak mati (tentu sebagian mati,sebagian hidup) itu membiakkan diri beratus-ratus atau beribu-ribu kali lipat, dibanding kalau tidak disakiti. Padahal konsep yang ada saat ini, corona harus dibunuh dengan antivirus atau antiseptik/des infektan. Naluri virus, yang tidak mati, akan menggandakan diri sebanyak-banyaknya agar eksistensi mereka tetap ada di muka bumi ini. Mereka sebenarnya tidak ingin menyakiti, tetapi setiap ketemu media baru, tangan manusia, itu media asing yang menakutkan bagi mereka, sehingga mereka meriplikasi diri berkali lipat. Pada saat mereka mampu bertahan hidup, tentu saja mereka sudah menjadi lebih kuat, sudah mengenali semua zat yang membunuhnya atau sudah merubah asesoris tubuhnya, sehingga bisa difahami kalau akhirnya sekarang diketahui sudah ada 500 jenis virus corona. Sehingga, menjadi wajar, kalau corona yang tersebar itu: jumlahnya jauh lebih banyak; telah mengalami mutasi genetik; dan lebih kuat. Masalahnya, “siapa yang mempercayainya konsep itu”? Andaikan penglihatan dan pendengaran kita ini dibukakan hijab-nya oleh Allah SWT, bisa berkomunikasi dengan virus itu, bisa memahami sifat mereka, tidak tega menyemprotkan cairan des infektan kepada mereka. Mereka juga menderita. Mereka takut mati, seperti halnya manusia. Bagaimana gemuruhnya di kalangan mereka ketika itu datang. Serupa dengan hebohnya di kalangan manusia sendiri. Tapi sayangnya, siapa yang mempercayai ungkapan ini? Padahal, Covid-19 sudah menelan korban tenaga medis seperti dokter. Setidaknya sudah 100 dokter meninggal dunia sejak wabah Corona melanda Indonesia. Ketua Umum PB IDI dr Daeng M Faqih membenarkan kabar tersebut. “Iya dari laporan terakhir tadi malam yang kami terima sudah mencapai 100 orang (dokter yang meninggal),” bebernya melalui pesan singkat kepada Detikcom, Senin (31/8/2020). Dr. Daeng menyebut data tersebut diterima PB IDI pada Minggu malam (30/8/2020). Kasus Corona di Indonesia pun terus meningkat hingga tembus 3 ribu kasus perhari. Hingga saat ini total sudah ada 172.053 kasus. DKI Jakarta pada Minggu (30/8/2020) melaporkan kasus sebanyak 1.094 kasus. Sebelumnya, Indonesia juga mencatat rekor penambahan kasus harian selama tiga hari berturut-turut. Sabtu (29/8/2020): 3.308 kasus baru dari 28.905 pemeriksaan spesimen yang telah dilakukan. Jumat (28/8/2020): 3.003 kasus baru dari 33.082 pemeriksaan spesimen. Kamis (27/8/2020): 2.719 kasus baru dari 29.663 pemeriksaan spesimen yang dilakukan. Sementara itu Menteri BUMN Erick Thohir sibuk menghitung “untung” jika Sinovac sudah masuk ke Indonesia. Erick menyampaikan, harga vaksin Covid-19 untuk satu orang sekitar 25-30 dolar AS atau Rp 366.500 - Rp 439.800 (kurs Rp 14.660 per dolar AS). “Harga vaksin ini untuk satu orang dua kali suntik kurang lebih harganya 25 sampai 30 dolar AS, tapi ini Bio Farma lagi menghitung ulang,” ujar Menteri Erick dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR di Jakarta, Kamis pekan lalu. Sementara untuk harga bahan baku vaksin COVID-19, ia mengemukakan sekitar 8 dolar AS pada 2020. Pada 2021 harganya turun menjadi 6-7 dolar AS. “Jadi ada penurunan harga bahan baku pada 2021. Kita memang menginginkan bahan baku supaya kita bisa belajar memproduksi vaksin jadi, tidak hanya terima vaksin yang sudah jadi," ucapnya, dikutip Antara. Agar tidak menambah beban APBN, Erick mengusulkan melakukan vaksin ke masyarakat dengan dua pendekatan, yakni menggunakan APBN berdasarkan data BPJS Kesehatan dan vaksin mandiri. “Vaksin mandiri tidak lain ingin memastikan tidak membebani keuangan negara secara jangka menengah dan panjang,” ucapnya. Dalam kesempatan itu, Erick yang juga Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) mengatakan bahwa Covid-19 masuk dalam kategori pintar. “Catatan buat pimpinan Komisi VI dan anggota, memang virus COVID-19 termasuk kategori virus pintar, masuk kategori flu, vaksin bukan untuk selamanya, 6 bulan sampai 2 tahun kekuatannya. Karena itu kita berharap ada temuan lanjutan agar kita terjaga,” paparnya. Erick memperkirakan pelaksanaan protokol Covid-19 akan berjalan dalam waktu yang lama. Menurutnya, pihaknya meminta kepada seluruh BUMN untuk mulai mengkaji persiapan kinerja bisnis, diperlukan medium strategi dengan kondisi seperti saat ini. Jika menyimak mutasi Covid-19 D614G di atas, apakah belanja vaksin Sinovac masih efektif dan tetap mau dilakukan? Sebab, varian baru ini, bisa terjadi pada orang yang terkena tidak bergejala, tiba-tiba diketahui sudah pada stadium lanjut. Bisa diketahui, kondisi paru-parunya sudah dipenuhi cairan, dan akhirnya saturasi oksigen sudah rendah, dan sulit tertolong. Sebenarnya dengan varian ini, otomatis vaksin yang kini sedang uji klinis, tidak ada gunanya. Karena ada cairan yang banyak di paru-paru ini, maka kadar oksigen yang bisa diserap oleh paru-paru menjadi sangat sedikit/terbatas. Bisa dibayangkan, jika lendir itu tidak keluar, dan ada di dalam tenggorongkan. Sehingga, menyebabkan saluran nafas buntu. Masih tetap mau menggunakan vaksin Sinovac? Mengutip dr. Tifauzia Tyassuma, pihak Sinovac menjual vaksin curah itu ke Biofarma. Harga berapa itu vaksin literan belum jelas. Biofarma masukin botol dan dikardusin, terus dijual Rp 72,000 per dosis. Sampai di tempat Erick dijual Rp 440,000. Modalnya Rp 72 ribu x 273 juta x 2 dosis = Rp 39 Triliun. Omzetnya Rp 440 ribu x 273 juta x 2 dosis = Rp 240 Triliun. Kata Erick, untuk menekan cash flow pemerintah, maka rakyat harus beli secara mandiri. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID.
PDIP Gelisah Adanya KAMI
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (31/08). Sekurangnya tiga tokoh PDIP berkomentar nyinyir menggapi keberadaan Koalisi Aksi Manyelamatkan Indonesia (KAMI). Adian Napitupulu bagai kebakaran bulu hidung. Adian lalu berkicau soal KAMI yang katanya menggalang kekuatan pasca deklarasi Solo. Demikian juga dengan tokoh yang baru lompat ke PDIP Kapitra Ampera, yang mencak-mencak bahwa KAMI makar. Disebutnya KAMI berbahaya dengan mengutip butir ke-delapan Maklumat KAMI. Kapitra seperti awam dan seperti bukan Sarjana Hukum menyatakan makar atas narasi butir delapan. "Menuntut Presiden untuk bertanggungjawab sesuai sumpah dan janji jabatannya serta mendesak lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, DPD, dan MK) untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya demi menyelamatkan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia". Dua hal yang jelas bukan makar dari butir ini, pertama bahwa menuntut Presiden bertanggungjawab atas sumpah dan janji jabata ini sah-sah saja. Tidak melabrak Konstitusi. Bahkan mendorong kewajjban konstitusional seorang Presiden untuk merealisasikan Pasal 9 UUD 1945. Kedua, bahwa mendesak MPR, DPR, DPD dan Makmahah Kontitusi (MK) untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya. Ini merupakan desakan yang bagus sekali. Desakan anak bangsa yang mengingatkan para penyelenggara negara untuk bekerja sesuai sumpah dan janjinya. Lembaga-lembaga negara tersebut sudah semestinya berjalan optimal sesuai dengan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya. Lalu apa yang salah dari narasi Maklumat itu ? Tidak ada !. Dimana makarnya ? Tidak ada juga. Hanya inferioritas dan ketakutanlah yang menciptakan pandangan negatif atas butir Maklumat tersebut. Dasar pemikiran Kapitra Ampera dapat dikategorikan "obscuur libel" jika dalam sebuah gugatan. Tokoh puncak PDIP yang gamang dan gelisah adalah Megawati Soekarnoputri. Pidatonya menyinggung KAMI soal banyak yang ingin menjadi Presiden. Entah tudingannya tertuju pada siapa? Tidakl jelas jelas. Namun yang jelas banyak. Nah seorang politisi kawakan yang berpandangan "childish" seperti ini, jelas sangatlah memalukan. Terkurung wawasan tentang perbedaan pendapat. Jikapun benar, jika dan hanya jika, maka keinginan menjadi Presiden itu sah-sah saja. Keinginan yang dilarang atau diharmkan oleh konstitusi negara kita. Seorang sekelas Giring saja telah mendeklarasikan diri sebagai Capres untuk tahun 2024. Tak peduli banyak yang menertawakan. Apakah nyinyirannya bu Mega itu karena didasarkan takut anaknya tersaingi dalam Pilpres? Yah kalau itu wajar PDIP meradang. Menyeret isu makar segala pada KAMI. Padahal PDIP lupa bahwa platform perjuangan yang menginginkan Pancasila 1 Juni 1945 mempengaruhi dan menjiwai para penyelenggara negara itu bukan makar ? Berjuang untuk mewujudkan Pancasila 1 Juni 1945 adalah makar yang nyata. Apalagi dengan semangat Trisila dan Ekasila serta Ketuhanan yang berkebudayaan. Pancasila 1 Juni 1945 adalah bagian dari semangat kudeta terhadap konsesus Pancasila 18 Agustus 1945. Para petinggi PDIP tak perlu tunjuk-tunjuk hidung orang lainlah. Aapalagi untuk suatu pekerjaan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Rakyat sudah sangat faham akan kebobrokan rezim yang di "back up" sepenuhnya oleh "the rulling party". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
KAMI Itu Beroposisi Terhadap Ketidakadilan Penguasa
by Anton Permana Jakarta FNN – Senin (31/08). Maklumat yang dikeluarkan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) tidak lebih dari sebuah bentuk kegelisahan. Resah atas fenomena yang menimpa negara hari ini. Fenomena ketidakadilan yang berdampak kerusakan kehidupan bernegara. Tapi sayangnya, maklumat tersebut tidak pernah dijawab atau dibantah sesuai dengan muatan konten masalah dan argumentasi. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Mirip prilaku dan tindakan negara komunis Mao. Menyerang pribadi para deklarator secara membabi buta. "Apabila kamu tidak bisa mematahkan argumentasi lawanmu, maka seranglah pribadinya". (Mao Tse Tung). Untung saja kelakuan para buzzer dan influencer bayaran ini untuk menggembosi gerakan KAMI tidak berpengaruh terhadap masyarakat. Toh buktinya, sejak dideklarasikan tanggal 18 Agustus 2020 di Tugu Proklamasi, gerakan KAMI ini disambut berbagai daerah bagaikan gelombang tsunami tak terbendung. Sampai saat ini, setidaknya KAMI sudah dideklarasikan belasan provinsi. Saya yakin September ini insya Allah akan genap di 34 provinsi. Ini menunjukan, kemunculan kami bagaikan 'pucuk dicinta, ulampun tiba'. Ketika trias politika mati di negeri ini, KAMI hadir sebagai arus alternatif untuk melakukan koreksi terhadap rezim yang setiap hari semakin membawa kerusakan di segala lini. Wajar kelompok tertentu pendukung rezim panas dingin dengan kehadiran KAMI. Karena kalau dilihat secara arah gerakan, baik komposisi maupun personality -nya memiliki banyak keunggulan dan keunikan yang tidak bisa dianggap remeh, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pertama. KAMI adalah gerakan moral dengan nuansa kebangsaan. Dimana secara otomatis narasi radikal, intolerans, tidak bisa disematkan kepada gerakan KAMI. Sebagaimana selama ini rezim membungkam kelompok Islam. Kedua. Secara komposisi personal individu, para deklarator KAMI adalah para tokoh nasional yang mempunyai cadangan 'deposit moral' yang sangat kaya. Para tokoh nasional yang punya kredibilitas dan berpengaruh di masyarakat bawah. Sehingga upaya "blamming game" dari para buzzer rupiah murahan untuk mendegradasi ketokohan para deklarator KAMI tidak signifikan. Ketiga. Ada perimbangan keterwakilan yang apik bagaikan formulasi indah kebangsaan dari anatomi para deklarator KAMI ini. Ada dari kalangan militer dengan sosok Pak Gatot Nurmantio bersama rekan-rekannya. Ada sosok lintas agama dengan sosok Prof Din Syamsudin dari Muhammadiyah. Prof Rahmad Wahab dari NU Khittoh, Habieb Muchsin Al Athos dari Syuro FPI, KH Zainudin Rosmin dari PA 212, Bapak Bahtiar Chamsyah dari Parmusi, MS Ka'ban bersama Dr Ahmad Yani dari Masyumi Reborn. Belum lagi tokoh kharismatik KPK Bapak Dr Abdullah Hemahua, aktifis KAPPI dan HMI semasa remajanya. Begitu juga untuk kalangan non muslim ada Koh Lius, Dr Antony Budiman, dan Prof Philips bersama rekan. Tidak hanya dari kalangan keagamaan, hadir juga dari kalangan akademisi seperti Prof Hafiz, Prof Laode Kamaludin, serta para intelektual Refly Harun dan Rocky Gerung. Para pakar ekonomi Ichsanoedin Noersy, aktifis senior legendaris Bang Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat. Keempat. Di dalam barisan nama para deklarator KAMI, ada beberapa nama yang sebelumnya adalah bahagian dari pemerintahan. Yang tentu saja, akan banyak tahu tentang sistem pemerintahan serta jeroannya rezim hari ini apa saja. Para mantan pejabat yang secara pengetahuan dan jam terbang pemerintahannya tidak diragukan lagi seperti Dr Said Didu. Itu baru nama-nama yang muncul. Di belakang nama-nama besar tersebut tentu lengkap dengan gerbongnya masing-masing. Belum lagi para tokoh dan pejabat aktif sekalipun yang diam-diam turut memberikan dukungan dengan gerakan KAMI ini. Kelima. Momentum kehadiran KAMI sangat tepat. Ketika negara mengalami konstraksi dan titik jenuh pasca disahkannya UU Corona, UU KPK, UU Minerba, dan hiruk pikuk RUU HIP/BPIP dan RUU Omnibus Law. Karena, boleh dikatakan, matinya fungsi DPR RI sebagai alat kontrol, pengawasan dan budgetting alias tersanderanya Parpol oleh kekuasaan oligharki. negara ini seakan-akan berjalan tanpa navigasi dan semakin zig-zag menuju otoritenisme absolute. Dan ini sangat berbahaya kalau terus dibiarkan. Karena bisa memicu konflik besar yang berujung kepada disintegrasi bangsa. Negara bisa hancur lebur. Tak akan rela mayoritas rakyat Indonesia falsafah Pancasila diganti menjadi Ekasila dan Trisila yang notabenenya akan menggeser negara Indonesia menjadi berhaluan komunis. Sebenarnya masih sangat banyak lagi yang mau disebutkan, dimana intinya adalah kombinasi para deklarator KAMI bagaikan “The Avengers”-nya Indonesia hari ini. Untuk menentang para "penjahat negara" yang menjadi proxy kekuatan elit global asing-aseng untuk menjarah Indonesia. Sehingga lahirlah ketidakadilan dimana-mana. Semua dikuasai oleh segitiga oligharki (Politisi-Cukong-Pejabat). Selanjutnya. Keunggulan KAMI lainnya adalah memahami masalah secara dalam. Data-datanya faktual tidak terbantahkan. Sesuai dengan kenyataan bangsa kita hari ini yang kalau dibiarkan akan semakin sekarat. Kesimpulannya, KAMI tidak akan lahir kalau negara hari ini baik-baik saja. KAMI tidak akan mendapatkan sambutan luar biasa dari lapisan rakyat kalau apa yang diperjuangkan KAMI tidak selaras dengan kondisi bangsa hari ini. Seharusnya, kalau rezim mempunyai hati yang lurus, maka semestinya mereka tidak arogan dan justru berterimakasih kepada KAMI. Karena telah mau melakukan koreksi untuk mengingatkan bahwasanya negara sedang darurat. Sudah salah di jalan yang salah urus. Kalau bersih tak usah risih. Kalau merasa benar tak usah klepar-klepar. Kalau merasa baik, tak usah paranoid dan panik. Dari semua itu, artinya adalah KAMI beroposisi terhadap ketidakadilan hasil ulah para oknum yang telah merusak negeri ini secara sistematis. KAMI itu beroposisi terhadap setiap kebijakan yang membawa kerusakan dan kerugian negara. Kerugian yang diambil dan diputuskan oleh para penyelenggara negara. Saat ini, kerusakan ekonomi sudah parah sehingga kondisi rakyat semakin sulit. Ketimpangan penegakan hukum sungguh nyata sehingga banyak masyarakat yang teraniaya. Penyimpangan pemerintahan dan ideologi semakin menjadi sehingga negara lari jauh dari amanat konstitusi. Perampokan terhadap sumber kekayaan alam begitu jelas, sehingga negara terlilit hutang dan BUMN sebagai unit ekonomi negara terancam bangkrut. Kemiskinan dan kesulitan hidup rakyat semakin tinggi. Lapangan kerja semakin sulit. Sedangkan biaya hidup semakin naik. Semua kerusakan dan penyimpangan itu KAMI paparkan secara seksama dengan berbagai fakta bukti akurat. Tujuannya apa? Agar negara ini tidak semakin terpuruk dan bersegera melakukan pembenahan serta perbaikan. Tapi apa yang terjadi? KAMI diserang dengan berbagai bentuk caci maki, fitnah, dan komentar destruktif lainnya. Mulai dari buzzer sampai kalangan elit pemuja rezim. Tentu saja, kejadian arus balik ini semakin memperjelas "positioning" antara KAMI dengan para oknum yang berkuasa hari ini. Mereka yang lagi berkuasa dan merasa dirinya adalah sama dengan negara. Yang akhirnya terbentuk adalah pertarungan antara haq melawan kebatilan. Untuk memperjuangkan yang haq inilah, KAMI tidak akan tinggal diam dan membiarkan negeri ini dirampok dan dijarah. KAMI adalah gerakan moral. Dimana moral inilah yang sudah "defisit" dari implementasi bernegara kita hari ini. Makanya sambutan rakyat terhadap KAMI tak terbendung dari Sabang sampai Merauke. Bagaimana ujungnya? Biar waktu yang menjawabnya. Yang jelas KAMI sedang menunaikan hak dan kewajibannya. Hak sebagai warga negara menyampaikan pendapat yang dijamin konstitusi pasal 28 UUD 1945. Serta kewajiban bela negara sesuai dengan pasal 30 UUD 1945. Apapun caci-maki para pendengki dan para penjahat negara terhadap KAMI. Insya Allah KAMI akan terus bergerak bersama ke seluruh rakyat Indonesia untuk menyelamatkan Indonesia. Salam Indonesia Jaya ! Penulis adalah Pemerhati Militer, Politik dan Sosial Budaya.
Ma'ruf Digoyang, Ma'ruf Juga Melawan
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (31/08). Beberapa hari lalu Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S. Pane konferensi pers. Menyinggung kantor Wakil Presiden (Wapres) agar dibersihkan dari orang-orangnya Jusuf Kalla Para pendukung Ma'ruf merasa tak nyaman, katanya. Orang-orang Jusuf Kalla dianggap menjadi penghambat interaksi keluarga dan para relawan dengan Wapres Ma’ruf. Aneh! Sangat ganjil! Sulit diterima akal sehat! Orang-orang Jusuf Kalla masih kuasi kantor Wapres? Mereka menghambat para pendukung Ma'ruf masuk ke kantor Wapres? Lalu, apa kepentingan Jusuf Kalla menguasai kantor Wapres? Menjadi tidak aneh jika ungkapan Ma'ruf Amin dan para relawan yang disampaikan Neta S. Pane dipahami sebagai manuver. Bukan ditujukan kepada orang-orangnya Jusuf Kalla sebagai sasaran tembaknya. Tapi kepada Jokowi. Menyoal orang-orang Jusuf Kalla di kantor wapres hanya sebagai prolog. Tuntutan dan sasaran utamanya adalah Jokowi. Maka, dalam konferensi pers, disinggung soal reshuffle kabinet dan posisi komisaris di BUMN. Apa targetnya? Memberi peran Ma'ruf sebagai wakil presiden secara proporsional. Terutama dalam menyusun kabinet dan penempatan orang-orang sebagai komisaris di BUMN. Publik tahu, posisi Wapres selama ini hanya sebagai pelengkap konstitusi. Nyaris tak ada peran signifikan. Bahkan media pun tidak memberi ruang yang proporsional. Bagaikan burung di sangkar emas, kata Neta. Bandingkan ketika Jusuf Kalla yang jadi wapres. Nyaris seperti masa Orde Baru. Wapres hanya sebagai syarat konstitusional tanpa signifikansi peran. Hanya sesekali muncul di berita. Semua media didominasi berita tentang presiden. Presiden gendong cucu saja viral. Apalagi presiden marah-marah dan lempar bingkisan. Wajar jika wapres dan para relawannya protes. Kenapa baru sekarang? Boleh jadi pertama, ada tekanan terhadap Wapres akhir-akhir ini. Maksudnya, Wapres sedang digoyang. Kemungkinan kedua, posisi presiden mulai melemah ketika dihadapkan pada ancaman krisis ekonomi. Disini, Ma'ruf punya peluang bergaining. Bahkan bisa lebih dari itu. Krisis ekonomi jadi pintu masuk. APBN mengalami defisit. Diperkirakan hingga 6,72 persen dari PDB. Sekitar 1.028,6 triliun. Pertumbuhan ekonomi minus -5,32 persen. PLN rugi Rp. 38,87 triliun. Pertamina rugi Rp. 11,13 triliun. Harga minyak dunia turun, tapi dijual dengan harga normal ke rakyat kok bisa rugi? Tanya Ahok bro. Pertamina mengalami rugi Rp. 11,13 triliun, mungkin gara-gara ngitungnya sambil merem. Nasib BUMN yang lain? Cari saja sendiri datanya! Terlalu panjang kalau ditulis di sini. Yang pasti, sejumlah BUMN telah dijaminkan untuk pinjaman infrastruktur. Ngeri-ngeri sedap barang itu. Di sisi lain, gelombang protes rakyat mulai menyebar dan semakin masif. Muncul sejumlah kelompok oposisi. Diantaranya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dideklarasikan oleh ratusan tokoh berpengaruh dari berbagai elemen bangsa. Juga lahirnya "Anak NKRI" tak bisa dipandang sebelah mata. Gerakan 212 yang dikomandoi Habib Rizieq Shihab (HRS), Persatuan Alumni 212 dan GNPF Ulama juga masih terus eksis. Protes Ma'ruf dan para relawannya adalah cara bergaining yang boleh jadi efektif, tetapi tetap saja berisiko. Efektif, jika kondisi ekonomi makin memburuk. Apalagi upaya pemerintah mendesak Bank Indonesia melakukan burden sharing (cetak uang) nampaknya belum ada tanda-tanda berhasil. Sekarang kas negara kabarnya sedang bermasalah. Cari pinjaman luar negeri di masa pandemi juga tak mudah. Hampir punya semua negara punya masalah ekonomi yang sama. Hampir semua ekonom di luar pemerintah memprediksi ekonomi bakal collaps. Manuver Ma'ruf Amin tetap saja berisiko. Aapalagi jika Presiden Jokowi nantinya berhasil mengatasi kompleksitas masalah bangsa, terutama ekonomi. Maka posisi Ma'ruf bisa makin kehilangan peran. Bakal tambah kecewa lagi para pendukung Wapres. Bagaimanapun, terjun di dunia politik harus berani ambil risiko. Dari pada hanya sebagai pelengkap konstitusi. Pilihan untuk melawan jauh lebih rasional dan elegan. Rasional, karena Wapres mesti punya peran. Elegan, peran ini akan ditulis sebagai referensi sejarah bangsa Indonesia. Buat apa jadi Wapres kalau kelak ditulis oleh sejarah sebagai Wapres terlemah karena hanya sebagai pelengkap konstitusi tanpa peran berarti. Mundur atau melawan itu lebih terhormat. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Membedah Dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 (Bagian-1)
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto Jakarta FNN – Senin (31/08). Pembatasan, untuk membedakan dan memudahkan dalam artikel berseri ini, maka hasil amandemen UUD 1945 kita sebut dengan UUD 2002. Baca juga Undang Undang Dasar 1945 yang diamandemen 10 Agustus 2002) tidak identik dengan Undang Undang Dasar 1945 konsensus 18 Agustus 1945. (Google). Lima kesepakatan dasar yang disusun Panitia Ad Hoc 1 MPR RI dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 oleh MPR RI pada 1999-2002, (Prof. Dr. Maria Farida Indrati, 18/8/2020, Webinar GKI-Panji Masyarakat) adalah 1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. 2. Tetap mempertahankan NKRI. 3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial. 4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal. 5. Perubahan dilakukan dengan cara adendum. Mengapa lima kesepakatan dasar di atas ditempatkan di awal artikel ? Pertama, kesepakatan tersebut penting, ketika kita bicara seputar amandemen UUD 1945. Kedua, prinsip negara konstitusi, darul ahdi, darul mitzaq, negara kesepakatan, dimana orang wajib patuh dan tunduk apa yang telah diputus atau disepakati. (Prof. Jimly Assiddiqie, 23/8/2020, WhatsApp). Untuk membedah dan bagaimana rasa buah amandemen, Veteran Komisi Konstitusi MPR RI dan generasi muda turun gunung pada Webinar peringatan Hari Konstitusi, 18/8/2020. Webiner tersebut diselenggarakan oleh Gerakan Kebangkitan Indonesia bersama Panji Masyarakat. Apa kata mereka ? Prof. Dr. Tjipta Lesamana, Guru Besar Ilmu Komunikasi, Sekretaris Tim Penyusun Laporan Akhir Komisi Konstitusi MPR RI mengtakan, implementasi gabungan demokrasi politik dengan demokrasi ekonomi telah dijabarkan sangat jelas dalam UUD 1945 pada Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3). “Setelah amandemen, adanya ayat (4) Pasal 33 UUD 2002, dinilai sangatlah kontroversial karena bernafaskan asas liberal dan kapitalis, kata Prof. Tjipta. Demokrasi ekonomi yang dicita-citakan telah dibunuh sistem kapitalisme liberal sejak reformasi. Jurang antara kaya dan miskin di Indonesia terus melebar. Menurut Bank Dunia sebagian besar penduduk hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Namun, orang yang super kayapun semakin banyak. Selama masih ada ayat (4) Pasal 33 UUD 2002, omong kosong Indonesia bisa adil makmur yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perubahan UUD 1945, nyaris membawa Indonesia ke arah sistem oligarki. Kekuasaan politik di pemerintahan dan parlemen, secara efektif dipegang oleh kelompok kecil elit politik. Khusus implementasi ayat (4) Pasal 33 UUD 2002, juga ikut merusak sebagian dari tantanan hukum, tantanan pendidikan, kebudayaan dan pergaulan sosial. Ditambah tidak adanya penjelasan, membuat pasal-pasal dalam UUD 2002, sangat multi interpretatif. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH, MH, Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan, Anggota Komisi Konstitusi MPR RI, Hakim Konstitusi MK 2008-2018 menyoroti hilangnya marwah MPR sesudah perubahan UUD 1945. Perubahan UUD 1945 memang tidak tabu. Namun disayangkan, perubahan tidak dimulai dari pasal yang awal sampai pasal yang terakhir, sehingga secara “Sistematika Kelembagaan” telah menimbulkan kerancuan dalam rumusan dan implementasinya. Walau tidak terucap oleh Prof. Maria, namun kesepakatan dasar yang disusun PAH 1 MPR RI dalam perubahan UUD 1945 ada dimakalahnya. Kita tahu, perubahan UUD 1945 tidak dengan cara adendum. Artinya, ada ketidakpatuhan dalam perubahan UUD 1945 terhadap hal yang sudah disepakati. Eksistensi MPR RI secara kuantitas, sebelum perubahan memiliki tiga fungsi. Namun setelah perubahan, memiliki lima fungsi. Secara kualitas, fungsi MPR sebelum perubahan lebih bagus atau bergengsi, yaitu menetapkan Undang-Undang Dasar, membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 3 dan Pasal 6 ayat 2 UUD 1945). Setelah perubahan, setiap lima tahun sekali hanya melantik Presiden dan Wakil Presiden, yang sifatnya seremonial. Sedang empat fungsi lainnya jika perlu saja. Pertanyaan kritisnya, dengan tidak adanya Tap MPR, siapakah yang menetapkan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia ? Sebab, KPU hanya menetapkan pasangan Capres dan Cawapres pemenang Pemilu. Membingungkan bukan ? MPR bukan lagi pelasana kedaulatan rakyat, walaupun pelaksana kedaulatan tersebut kemudian dimandatkan kepada Presiden terpilih. MPR tidak sehebat sebelum perubahan, maka tidak heran banyak pihak menganggap yang berlaku saat ini bukan UUD 1945, kata Prof. Maria diplomatis. Dr. Laode Ida, Tokoh Muda Gerakan Reformasi, Anggota Komisi Konstitusi MPR RI menambahkan, semangat mudanya untuk membawa negara lebih baik. Dengan cara menuntut perubahan konstitusi. Mengubah pemilihan Presiden dari dipilih sekelompok orang, menjadi dipilih rakyat langsung. Begitu juga halnya pemilihan Kepala Daerah, untuk menghindari pemilihan lewat DPRD yang rawan dibayari oleh para pemilik modal. Di masa reformasi, Dr. Laode menjabat di DPD dan Ombudsmen RI. Banyak peristiwa di Indonesia yang dibacanya. Pilpres dan Pilkada secara langsung, telah megubah wajah demokrasi Indonesia. Celakanya, pemilik modal ternyata memiliki kemampuan membeli suara rakyat Indonesia. Suka tidak suka, demokrasi ala Indonesia saat ini telah membuat kerusakan yang sangat masif, kata Laode Ida. Persoalan lain, seperti disampaikan Prof. Tjipta , adanya ayat (4) Pasal 33 UUD 2002. Persoalan sumber kekayaan alam yang seharusnya dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, nyaris dikuasai asing. Bagaimana mungkin satu orang bisa menguasai sejuta hektare lahan. Ada hal yang sensitif dan merisaukan, yaitu hilangnya syarat Presiden orang Indonesia asli dalam UUD 2002. Pada tingkat tertentu, ketentuan ini digugat oleh orang-orang daerah, tatkala ada atas nama pemerintah pusat dan kebijakan nasional, terkait dengan penguasaan dan pengelolaan sumber kekayaan alam oleh asing. Siapakah sesungguhnya yang berdaulat? Apa kita harus membangunkan bapak pendiri negara yang sudah wafat dan tanya apa yang dimaksud “orang Indonesia asli”? Secara sosio-antropologis, orang Indonesia asli itu mereka yang secara turun menurun di Indonesia, menempati suatu ruang, pulau, tempat dan sejarah etnik ada di situ. Di luar terminologi itu, bukan orang Indonesia asli, kata Dr. Laode Ida. “Apabila kita ingin mengembalikan ruh konstitusi, persoalan format kedaulatan rakyat dalam Pilpres dan Pilkada, ayat (4) Pasal 33 UUD 2002 dan syarat Presiden orang Indonesia asli, itulah yang perlu didiskusikan”, tutur Dr. Laode Ida tokoh yang dulu menuntut perubahan konstitusi itu menutup pendapatnya. Bagaimana pendapat Generasi Muda dan tokoh lainnya dalam Webinar? Silakan baca “Membedah dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 ( Bagian-2) Generasi Muda Turun Gunung”. Lebih melengkapi, ditinjau dari perspektif lain. Semoga bermanfaat, amin. (bersambung). Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.