OPINI

Perbedaan Antara Kerajaan Qatar dan Republik Qotor

by Asyari Usman Jakarta FNN - Jumat (04/09). Sekitar bulan April 2018 (sudah cukup lama, lebih dua tahun lalu), ada postingan di FB salah seorang teman dengan judul “Qatar adalah Negara Paling Aneh di Dunia”. Tulisan ini memuji Qatar sebagai negara yang penduduknya paling makmur dari segi finansial. Pendapatan per kapita rakyatnya mencapai USD132,000 atau setara dengan Rp1.7 miliar setahun. Dengan penghasilan segitu besar, negara masih menyediakan semua fasilitas hidup untuk warga negara Qatar –sebuah negara kecil di jazirah Arab. Mau sekolah atau kuliah di mana saja, mau berobat di mana saja, negara yang menanggung. Kabarnya juga, laki-laki yang telah atau mau beristri empat (4), dibiayai oleh negara. Satu rumah untuk tiap istri. Plus beberapa orang pembantu. Penduduk Qatar hanya sekitar 315,000 jiwa. Sedangkan pekerja asing yang ada di negara itu mencapai 2.3 juta orang. Bisa dibayangkan seberapa besar pengeluaran negara kecil itu untuk menggaji orang asing. Dan ingat! Pastilah ratusan ribu orang diantara 2.3 juta itu adalah tenaga ahli yang berkualifikasi tinggi. Artinya, gaji mereka pun pasti selangit. Walhasil, semua orang yang hidup di Qatar merasakan kemakmuran yang boleh dikatakan sempurna. Terlebih-lebih rakyat negara itu sendiri. Semua disediakan negara. Apa saja keperluan rakyatnya tinggal kasih tau kerajaan. Begitulah kira-kira. Tentu saja wajar kalau sedunia ini merasa kagum sampai berdecik-decik. Pantas juga kalau ada yang ‘ngiler’. Tidak masalah. Karena ngiler ‘kan tidak dipungut biaya. Wajar-wajar saja. Yang tidak wajar ialah kalau Anda, rakyat Indonesia, membanding-bandingkan kemakmuran rakyat Qatar dengan rakyat di negara ini. Kenapa tidak wajar? Karena cara Indonesia ini dikelola sangat lain dengan cara Qatar diurus oleh para pemimpinnya. Di Qatar, para pemimpin, para emir, sangat menghargai rakyat mereka. Mereka bangga dengan rakyatnya. Mereka memiliki ambisi yang positif untuk rakyatnya. Para pemimpin Qatar paham bahwa rakyat merekalah yang harus dilayani. Bukan orang luar. Di sini, terbalik. Kemakmuran yang digali dari bumi negara ini dikirim ke luar. Belakangan ini, banyak dikirim ke RRC. Paling-paling rakyat kebagian ampas, sampah, dan limbah galian. Kebagian yang kotor-kotor. Kerajaan Qatar mencukupi keperluan rakyatnya. Merawat rakyatnya. Di sini, para penguasa melayani para majikan mereka yang membawa pundi-pundi utang. Kemudian, para penguasa menilap uang utangan itu untuk rekening gendut mereka. Begitulah cara kerja pikiran kotor. Para pemimpin di kerajaan Qatar membuat APBN untuk kesejahteraan rakyatnya. Di sini, para pemimpin menyusun APBN agar bisa dicuri. Begitulah pikiran kotor. Di Kerajaan Qatar, sebutan untuk pendapatan rakyatnya adalah “penghasilan bersih”. Di negeri kita ini, pendapatan rakyat selalu disebut “penghasilan kotor”. Sering ‘kan Anda ditanya atau bertanya: “berapa penghasilan kotor”? Karena memang yang diterima rakyat kita itu yang kotor-kotor. Yang kotor-kotor dari lahan tambang. Yang kotor-kotor dari pengerjaan proyek-proyek besar. Yang kotor-kotor dari pembangunan fisik, dll. Jadi, penghasilan rakyat di sini memang ‘literally’ disebut “penghasilan kotor”. Berbeda dengan penghasilan rakyat di Qatar. Mereka selalu menyebut “penghasilan bersih”. Karena semuanya bersih. Tempat kerja, bersih. Layanan rumah sakit, bersih. Jalan raya, bersih. Jalan kecil, bersih. Bantuan dari negara diterima bersih, tanpa korupsi. Melihat kondisi yang ada sekarang di negeri ini, tampaknya Anda semua harus bersabar. Bersabar menerima yang kotor-kotor itu. Bersabar menyaksikan pikiran-pikiran kotor. Itulah beda antara Kerajaan Qatar dengan Republik Qotor. Anda harus berjuang keras untuk mengganti dua huruf “o” di Republik Qotor menjadi huruf “a” agar tidak terus-menerus “kotor”. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Giliran Puan Versus Masyarakat Sumatera Barat

by M. RIzal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (04/09). "Semoga Sumatera Barat menjadi Provinsi yang mendukung Negara Pancasila". Begitu himbauan Puan Maharani saat mengumumkan rekomendasi PDIP pada pasangan Calon Gubernur (Cagub) Suametar Barat Mulyadi dan Ali Mukhni. Sontak ucapan Puan ini menimbulkan reaksi keras dari banyak pihak. Penyataan Puan dinilai sangat menyinggung, menyakiti perasaan masyarakat Sumatera Barat. Penyataan tersebut juga mengindikasikan kalau Puan telah meragukan kesetiaan masyarakat Sumatera Barat kepada Pancasila sebagai dasar negara. Bersamaan dengan itu, juga sangat merugikan pasangan Cagub yang diusung oleh PDIP sendiri. Menyinggung karena menganggap Sumatera Barat sebagai Provinsi yang tak setia atau tak mendukung Negara Pancasila. Padahal tokoh tokoh Sumatera Barat banyak yang menjadi loyalis, pejuang, bahkan perumus dasar negara Pancasila. Mohammad Hatta adalah Proklamator Negara Pancasila. Merugikan pasangan PDIP, karena menjadi beban berat bagi pasangan tersebut dimata pemilih atau rakyat Sumatera Barat. Pasangan PDIP bakal dimusuhi habis-habisan oleh banyak warga Sumatera Barat yang merasa dilecehkan oleh anak Ketum PDIP tersebut. Bukan mustahil bisa muncul "negative campaign" terhadap pasangan Cagub yang diusung oleh PDIP. Misalnya, akan muncul himbauan agar masyarakat Sumatera Barat silahkan pilih pasangan Cagub mana saja. Asal jangan pilih pasangan yang didukung oleh PDIP, karena pimpinan PDIP telah mengghina masyarakat Sumatera Barat. Puan bukan saja tidak taktis dalam memilih diksi sebagai politis sekelas Ketua DPR. Tetapi juga lucu, atau mungkin masih lugu sebagai politisi. Bisa juga belum matang, meski sudah menjadi Ketua DPR. Atau mungkin saja masih kelas, bahkan tipikal politisi karbitan dan kacangan. Apakah mungkin saja ada persoalan serius yang mengganjal atau perlu klarifikasi? Pancasila yang mana yang dimaksud oleh Puan? Sebab bila Pancasila yang kini diakui yaitu rumusan 18 Agustus 1945, maka warga Sumatera Barat tentu tidak diragukan loyalitasnya. Seperti uraian di atas, bahwa pendiri negara itu banyak dari kalangan tokoh Sumatera Barat. Nah, jangan-jangan yang dimaksud oleh Puan adalah Pancasila 1 Juni 1945. Pernyataan Puan ini tentu saja bukan hal mengada-ada. Ada basis argumen dan dasar pijakannya. Karena PDIP secara platform partainya memang berjuang untuk menegakan Pancasila 1 Juni 1945. Pada Pasal 10 butir g Anggaran Dasar PDIP berbunyi seperti ini : "mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945, UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif, bersih, dan berwibawa". Plaform Anggaran Dasar PDIP ini diperkuat oleh Pasal 6 sebagai aturan yang mendahuluinya. "(a) alat perjuangan guna membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945". Nah, jelas dan wajar jika muncul keraguan bahwa Pancasila yang diperjuangkan oleh PDIP beserta kader-kadernya adalah bukan Pancasila 18 Agustus 1945. Dalam keraguan seperti ini menjadi aneh jika Puan Maharani berharap pada masyarakat Sumbar agar menjadi pendukung Negara Pancasila. Kecuali jika Puan memaknai yang dimaksud adalah Pancasila 1 Juni 1945. Keceplosan atas "keluguan" atau "kelucuan" Puan ini mesti menjadi pelajaran bagi PDIP untuk berpolitik lebih konsisten dalam membela Pancasila. Bukan merasa yang paling ber-Pancasila dengan realita pemaknaan Pancasila yang kabur. Perlu evaluasi mendasar untuk meluruskan. Tanpa evaluasi dan koreksi PDIP akan menjadi sorotan sebagai partai yang perongrong Pancasila. Jadi, penilaian dari ucapan Puan bukan hanya melecehkan warga Sumatera Barat, dan merugikan pasangan PDIP, tetapi juga sikap yang merasa paling Pancasila di tengah upaya untuk pengaburan Pancasila. Megawati sang ibunda pernah menyebut saat ini kita tak perlu lagi memperdebatkan soal Pancasila. Setuju saja, jika itu adalah Pancasila 18 Agustus 1945, akan tetapi jika yang dimaksud dan diperjuangkan adalah Pancasila 1 Juni 1945, maka rakyat dan bangsa Indonesia harus dan wajib memperdebatkan dengan sekeras-kerasnya. Sekali lagi sekeras-kerasnya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Penghakiman Yang Sangat Prematur

by Muhammad Haris Wijaya Jakarta FNN – Kamis (03/09). Saya tuliskan ini sebagai buah pikir dan perantara rasa resah saya atas “labelling” false dan misleading information yang diberikan oleh media Online bernama “Tirto.id” kepada sahabat saya Dharma Pongrekun berkenaan tentang “pendapat” nya mengenai candu gawai. Saya teringat petuah yang disampaikan oleh Bapak Proklamator Indonesia Ir. Soekarno yang begitu menggugah dalam konteks saat ini. “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun” ucap Bung Karno. Konsep pemahaman dasar inilah yang membimbing Bung Karno menjadi sosok pembeda di saat itu. Beliau berani menyuarakan gagasannya kepada dunia, hingga saat itu Indonesia menjadi salah satu negara yang disegani. Beliau berani untuk keluar dari ‘trek’, dimana dunia saat itu sedang dalam situasi perang dingin antara blok barat dengan blok timur. Dengan briliannya, Bung Karno menginisiasi Gerakan Non-Blok dan mengajak negara-negara dunia ketiga untuk ikut serta dengan Gerakan Non Partisan tersebut. Sikap heroik Bung Karno membuat nama beliau harum. Bahkan sampai sekarang banyak negara-negara yang masih menghormati beliau. Hal tersebut dapat terjadi karena beliau berani untuk mengambil pandangan soal kebenaran pada era itu. Tidak melulu soal mendukung Blok Barat ataupun berpihak ke Blok Timur. Bong Karno menerapkan kebenaran versinya sendiri, dimana perdamaian dunia dapat dicapai dengan tanpa harus memihak. Apa yang dapat dipetik? Sederhananya, there is no absolute truths. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan kebenaran menurut versinya sendiri. Saya bukan penganut aliran relativism. Namun saya meyakini bahwa setiap pendapat, setiap pemikiran, ataupun setiap pandangan adalah hak yang dimiliki oleh seseorang manusia sebagai sebuah entitas yang bebas. Kemelut dalam hidup tidak melulu dapat diselesaikan oleh ragam teori saat ini, sebab setiap ilmu pengetahuan akan selalu menyisakan ruang kosong dan menjadikannya itu sebagai sebuah misteri. Perlukah setiap manusia untuk menemukan jawaban atas kekosongan itu? Tentu perlu. Tetapi, apakah setiap manusia “mampu” menemukannya? Nah, jawabnya belum tentu. Dengan pembuka diatas, lantas saya ingin menuliskan tentang sebuah kegelisahan yang merundung lobus frontal otak saya atas sebuah artikel yang diterbitkan oleh media Tirto.id dalam kolom “periksa fakta”. Sudah ratusan artikel periksa fakta yang dimuat oleh Tirto.id. Sampai akhirnya seorang rekan saya mengirimkan link artikel dari Tirto.id yang menyematkan label false dan misleading terhadap sebuah postingan instagram seorang petinggi Polri, yakni Komjen Polisi Dharma Pongrekun. Saya kembali membaca postingan Dharma secara utuh dan mengesampingkan terlebih dahulu narasi yang dibangun oleh Tirto.id. Secara substansi, saya melihat kegelisahan seorang Dharma akan candu manusia pada gawai atau gadget yang sudah sedemikian rupa merusak susunan luhur tubuh kita, atau dalam konteks ini Dharma menyebutnya ‘manusia dijauhkan dari fitrahnya’. Keterikatan manusia dengan gadget memang tidak dilakukan secara sporadis. Semua bertahap dengan anak-anak tangga yang telah kita lewati bersama. Setiap pembaharuan fitur smartphone hari-hari ini, tanpa kita sadari memang membuat rasa candu itu mulai muncul dan berkembang didalam jiwa kita. Beragam surveyor melakukan penelitian tentang berapa jam dalam sehari manusia menghabiskan waktunya menggunakan smartphone? Ada yang menyebutkan bahwa kita habiskan waktu tiga jam, empat jam, lima jam, bahkan delapan jam dalam satu hari untuk memainkan gadget. Bukankah itu sebuah sinyalemen yang patut kita cemaskan? Sesungguhnya, poin terpenting yang ingin Dharma sampaikan adalah awareness kita harus dibangkitkan kembali untuk mengantisipasi sisi buruk penggunaan gadget yang berlebihan. Ditakutkan, apabila kita tenggelam dalam rasa candu yang pada akhirnya merusak body intelligent kita. Keliru Memahami Tujuan Terdapat setidaknya dua kesalahan fundamental yang dilakukan Tirto.id, dalam sebuah artikel berjudul “Komentar Dharma Soal Gawai, Candu dan Perusakan Sel, Hoaks atau Fakta? Kesalahan pertama adalah bagaimana penulis mencoba untuk menelaah satu persatu makna dari frasa yang dituliskan oleh Dharma dengan pemahaman penulis sendiri tanpa mencoba memahami alur pemikiran dari pemilik postingan. Padahal di akhir kalimat, Dharma menyampaikan tujuan dari alur pikir yang ingin disampaikan. Beliau memberikan nasihat “dengan hidupmu, taburlah kebaikan. Dengan gadget-mu, beritakan kebenaran”. Logika sederhananya mudah, untuk apa beliau memberikan sebuah nasihat soal memberitakan kebenaran jika informasi yang beliau sampaikan mengandung kebohongan. Dalam postingan, juga sangat jelas bahwa Dharma mengajak agar setiap orang untuk mengembalikan fokus kepada jati diri manusia sebagai ciptaan Tuhan. Artinya dengan postingan tersebut Dharma menyampaikan agar jangan sampai manusia tenggelam dalam menggunakan gadget. Aapalagi sampai melupakan esensi dirinya untuk hidup di muka bumi ini. Postingan yang disampaikan Dharma adalah sebuah refleksi untuk mengingatkan. Bukan untuk menakutkan apalagi menyesatkan. Tirto.id keliru untuk memahami hal tersebut dengan menyimpulkan sangat tergesa-gesa bahwa informasi yang disampaikan dalam Postingan Dharma sebagai informasi yang salah dan menyesatkan. Kesalahan yang kedua adalah Tirto.id dalam menuliskan artikel tersebut sama sekali tidak melakukan konfirmasi kepada Dharma. Padahal artikel yang dibuat berpotensi merugikan nama baik dari Dharma. Dharma Pongrekun adalah Pejabat Negara yang mengemban amanah sebagai Wakil Kepala Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN). Juga seorang Polisi dengan pangkat Komjen Polisi. Artikel yang menghakimi sebuah narasi dari Dharma adalah kebohongan. Dapat berdampak kepada kredibilitas dan integritas beliau. Sehingga Tirto.id seharusnya melakukan konfirmasi terlebih dahulu agar Dharma tidak merasa pribadinya dirugikan. Dharma dapat menjelaskan makna sesungguhnya dari postingan beliau tersebut. Menghakimi seseorang memang sangatlah mudah. Padahal hakim sendiri sebagai penegak hukum dalam melakukan tugasnya, harus mengkonfirmasi dahulu baik kepada terdakwa, tersangka dan saksi, untuk pada akhirnya menentukan seseorang bersalah atau tidak di mata hukum. Artikel yang ditulis oleh Tirto.id jelas telah melakukan penghakiman yang prematur terhadap postingan Dharma. Seharusnya ada konfirmasi ulang yang dilakukan oleh Tirto.id yang paham akan kode etik jurnalistik, dalam rangka menghormati Dharma sebagai seorang individu dan pejabat negara. Melakukan konfirmasi merupakan hal yang sangat penting dalam rangka menjaga keberimbangan karya jurnalistik. Sehingga setelah sebuah karya jurnalistik telah diterbitkan atau disebar ke publik. Dengan begitu, diharapkan tidak muncul apa yang disebut sebagai penghukuman media atau trial by the press. Sebagai sebuah media, Tirto.id seharusnya paham betul keidah tersebut. Sebuah karya jurnalistik yang memberitakan seseorang haruslah memiliki Cover Both Side, agar pemberitaan tersebut menjadi lebih kredibel dan tidak terkesan framing atau menjatuhkan pihak tertentu . Ah, rasanya saya percuma bercerita panjang tentang maksud dan tujuan ini, apabila batu pijak kita berbeda. Jika penulis artikel Tirto.id memiliki waktu yang cukup, mungkin ia tidak perlu berhenti pada satu postingan itu saja. Harus lebih memahami maksud dan tujuan terdalam sang pemilik informasi. Apakah dengan melakukan re-checking pada jurnal ilmiah, lantas artikel Tirto.id dapat dibenarkan untuk menancapkan bendera false dan misleading information pada postingan Dharma? Saya kembali mengajak pembaca untuk melakukan kontemplasi atas kehidupan ini. Ingatlah, bahwa sejak dulu manusia senantiasa berupaya untuk mencari kepastian ketika menghadapi atau bersentuhan dengan realitas hidup yang dijalani oleh masing-masing kita. Dharma sedang melakukan itu. Dharma tidak serta-merta menerima begitu saja tradisi historis yang telah terbangun kokoh hari ini. Jika kebiasaan seperti Tirto.id ini dipelihara, saya takut bahwa ke depan, tidak ada lagi pendobrak kredo teknologi. Pada akhirnya kita hanya menerima saja tanpa mengetahui maksud dan tujuan ragam ciptaan teknologi hari-hari ini. Ini yang mankutkan. Sangat berbahaya. Apakah kelak kita hanya akan menjadi entitas yang berpangku pada metode-metode periksa fakta seperti kasus diatas? Jika opini dan pemikiran kita selalu dibenturkan dengan textbook, yang secara turun-temurun menjadi asupan rutin dalam masa pendidikan, maka sejatinya iklim seperti ini sangat tidak baik. Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Buruk Muka Rezim, Pendapat Kritis Diberangus

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Kamis (03/09). Saya menduga ada intervensi dari rezim penguasa atas pencabutan tulisan Ubedilah Badrun, dari kolom opini Tempo.co. pada Kamis (3/9). Semula tulisan Ubedilah Badrun, dosen dan Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berjudul "Kejahatan Besar Sedang Terjadi di Indonesia" dimuat di Tempo.co, tapi kemudian dicabut dan dipindahkan ke Indonesiana, suatu blog jurnalisme publik yang telah diluncurkan Tempo tahun 2014. Blog jurnalisme warga ini sama dengan Kompasiana yang dipunyai Kompas dan Pasang Mata milik Detik. Kontennya sangat beragam berkaitan dengan semua aspek kehidupan masyarakat. Di blog Indonesiana tersebut, tulisan Ubedilah sudah mengalami perubahan signifikan. Judulnya berubah menjadi: "Persoalan Besar Sedang Terjadi di Indonesia". Diksi kalimat "Kejahatan" dan "Persoalan", sangat jauh berbeda. Rasa bahasanya pun tidak sama. Dalam tulisan aslinya, Ubedilah Badrun membeberkan empat kejahatan besar yang sekarang terjadi di Indonesia. Pertama, kejahatan sosial ekonomi. Kedua, kejahatan sumber daya alam. Ketiga, kejahatan politik dan keempat kejahatan hukum tata negara. Tulisan lengkapnya bisa dilihat di FNN.co.id Setiap media mainstream seperti halnya Tempo memiliki kolom opini yang dikhususkan bagi para penulis dari luar yang dianggap kredibel dan kompeten di bidangnya masing-masing. Berdasarkan pengalaman saya bekerja di media mainstream, artikel yang dimuat di kolom opini, biasanya ditulis atas permintaan redaksi atau sengaja dikirim oleh penulisnya. Konten tulisan di kolom opini biasanya membahas persoalan aktual atau tema tulisan yang sesuai dengan laporan utama yang diangkat media tersebut. Di samping itu, sebuah artikel yang dimuat di kolom opini, biasanya sudah melalui proses seleksi dan editing dari para penjaga gawang kolom opini. Artinya, kalau tulisan Ubedilah sudah dimuat di kolom opini Tempo.co berarti tulisan tersebut sudah lolos dari proses seleksi dan editing. Nah kalau kemudian artikel Bung Ubedilah Badrun tiba-tiba dicabut, tentu ada tanda tanya besar. Apakah itu terjadi karena ada intervensi dari unsur pimpinan Redaksi Tempo atau memang ada intervensi dari rezim penguasa ? Sejauh ini masyarakat luas hanya bisa berspekulasi. Namun saya menduga pencabutan artikel tersebut lebih dikarenakan adanya intimidasi dari rezim penguasa. Siapa rezim penguasa itu ? Bisa Menkominfo atau bisa juga pimpinan lembaga yang berada dibawah lingkar Istana kepresidenan yang membawahi para buzzer bayaran. Dan sangat boleh jadi adanya intervensi dari "Kaka Pembina" yang membawahi para ahli IT yang memiliki keahlian dalam meretas web (hacker). Dengan kondisi seperti itu, Tempo akhirnya harus lebih berhati-hati. Apalagi sebelumnya Tempo.co. pernah diretas beberapa kali oleh hacker. Proses peretasan maupun pencabutan artikel milik Ubedilah Badrun di kolom opini Tempo, tentu saja tidak berdiri sendiri. Tempo yang akhir-akhir ini kerap melancarkan berbagai kritik tajam kepada pemerintahan Jokowi, suka atau tidak kini harus berhadapan dengan serangan dari pasukan hacker. Oleh karena itu sekarang bisa jadi awak Redaksi Tempo bersikap lebih waspada dalam menghadapi serangan hacker. Mereka ini bisa saja merupakan kepanjangan tangan rezim penguasa atau kelompok kepentingan yang terkait dengan kekuasaan. Dengan demikian, pencabutan artikel keras yang ditulis Ubedilah Badrun, merupakan bagian dari strategi Tempo untuk mengurangi tekanan dari penguasa. Strategi tarik ulur seperti layaknya bermain layang-layang ini biasa dilakukan media mainstream agar bisa mengamankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, di saat-saat tertentu suatu media harus tiarap dan di lain kesempatan baru mengritik lagi. Biasanya, strategi semacam itu juga kerap menimbulkan pro kontra di internal media tersebut. Sebagian awak redaksi biasanya ada yang bersikukuh berpegang pada prinsip dasar kerja jurnalistik yakni berperan melakukan kritik kepada pemerintah. Tapi sebagian lagi ada pula yang berpandangan bahwa penyampaian kritik harus dikemas sedemikian rupa agar tidak terlalu keras alias kritik yang diperhalus. Sikap lunak dan kompromistis tersebut sering mendapat pembenaran, misalnya dengan kalimat: "....Apalagi kita hidup di Indonesia yang lebih mengutamakan adat ketimuran". Jika merujuk pada isi tulisan Ubedilah Badrun, narasinya memang keras tapi apa yang disampaikannya sesuai dengan fakta yang dirasakan masyarakat sekarang ini. Artinya kalau Tempo sempat menayangkan tulisan Ubedilah yang keras tersebut, bisa jadi sebagian awak redaksi Tempo juga ikut merasakan denyut masalah yang kini dialami masyarakat. Kalau falsh back ke belakang, gaya bahasa dan pilihan diksi kalimat yang biasa digunakan Tempo di dalam berita dan tulisan-tulisannya sudah lazim menggunakan kalimat yang lugas, to the point dan apa adanya. Semoga identifikasi saya pada ciri utama Tempo ini tidak salah. Jadi terasa aneh kalau proses editing di Tempo sekarang sampai pada merubah diksi dari kata "kejahatan" menjadi "persoalan". Memang perubahan diksi tersebut tidak sampai merubah (meaning) dari keseluruhan isi tulisan Ubedilah. Tapi berdasarkan pengalaman saya, beberapa penulis ternama biasanya mereka keberatan jika kalimat yang ditulisnya dirubah seenaknya oleh editor kolom opini. Seperti halnya wartawan, karakter seorang penulis selain bisa dilihat dari alur kalimat yang disusunnya juga tercermin dari pilihan kata dan diksi yang digunakannya. Walaupun pendapat kritis masyarakat sudah semakin dibatasi terutama di media mainstream, namun masih ada seribu satu cara bagi publik untuk bisa mengungkapkan pendapat dan kritiknya kepada rezim penguasa. Apalagi di era keterbukaan seperti sekarang, banyak platform media yang bisa dipakai untuk menyampaikan kritik kepada rezim penguasa yang menyimpang. Jàdi jangan takut, sampaikanlah kritik apa adanya. Tuhan bersama orang-orang yang terdzolimi. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Semakin Otoriter, Pemerintah Akan Rampas Independensi BI

by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (03/09). Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral yang independen mulai dilihat oleh penguasa sebagai penghalang kesewenangan. Tim ekonomi Presiden Jokowi, sedang membuat ancang-ancang untuk melucuti BI dari independensinya. UU tentang BI No. 3/2004 yang mencegah campur tangan dari pihak mana pun, kini sedang diutak-atik. Akan direvisi untuk merampas independensi BI itu. Inisiatifnya dari DPR. Pasal 9 UU ini menegaskan tentang posisi bebas BI. Tidak ada yang boleh campur tangan. BI berada di luar sistem politik. Bahkan, Presiden sebagai penguasa eksekutif tertinggi pun tidak bisa mengarahkan BI. Pemerintah sedang menghadapi defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sampai 853 T. Defisit ini diakibatkan wabah Covid-19. Pemerintah harus menambah pengeluaran hampir 700 T. Sebenarnya, yang murni untuk penanganan wabah ini hanya 75 T. Selebihnya untuk berbagai skema, termasuk porsi yang cukup besar untuk penyelamatan korporasi. Dimintalah perubahan APBN ke DPR. Tapi, sumber dana tidak ada. Mencari utang baru tidak mudah. Surat Berharga Negara (SBN) yang selama ini diandalkan untuk menjaring duit, tampaknya tidak mudah dijual. Bahkan, sejumlah investor non-residence (asing) dilaporkan melepas SBN senilai 130 T. Terdesak oleh sumber dana yang tidak ada itu, DPR meminta agar BI mencetak uang sebanyak 600 T. Gubernur BI menolak. Para penguasa merasa BI menjadi sandungan. BI menolak karena mencetak uang secara sembarangan bertentang dengan UU dan prinsip pengendalian inflasi. BI beralasan, inflasi tinggi (hyper inflation) akan melanda Indonesia jika pencetakan uang 600 T itu dilaksanakan. Kelihatannya, DPR dan pemerintah naik pitam. Melalui kolaborasi dengan DPR, pemerintah bisa melumpuhkan BI. Dan itulah yang sedang mereka lakukan lewat RUU perubahan UU No. 3/2004. Pasal 9 yang diandalkan BI, akan dicoret. Diganti dengan Pasal 9 huruf (a), (b), dan (c). Pasal 9 versi baru itu akan menjadi pedoman pembentukan semacam ‘superbody’ yang bakal menjadi ‘atasan’ BI. Lembaga super itu disebut Dewan Moneter (DM). Akan diketuai oleh Menteri Keuangan dengan anggota salah satu menteri bidang ekonomi, Gubernur BI dan Deputi Senior Guberbur BI, dan satu orang dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Pasal 9c sangat krusial. Gubernur BI memang diberi ruang untuk ‘melawan’ pemerintah. Tetapi, Gubernur diperkirakan sulit untuk tidak sejalan dengan keinginan mayoritas DM. Sebab, pemerintah bisa menggunakan ‘taktik khusus’ dengan kekuasaan politiknya. Ingat, ada pula usul untuk menambahkan beberapa menteri sebagai penasihat DM. Pimpinan BI akan terjepit. Bayangkan saja bagaimana nanti ‘nasihat’ dari para menteri kepada Gubernur BI yang ‘melawan’. Sebetulnya, untuk urusan stabilitas ekonomi-keuangan sudah ada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Di situ juga ada menteri keuangan. Cuma, wewenang KSSK tidak bisa sampai mendikte BI. Jika perubahan UU No. 3/2004 itu disahkan –dan tampaknya kecil kemungkinan tidak disahkan karena DPR praktis sudah menjadi stempel penguasa— maka selesailah riwayat BI sebagai lembaga moneter yang bebas dari intervensi politik. BI akan dikerangkeng dengan pembentukan DM seperti dijelaskan di atas. DM akan bertugas membantu pemerintah dan BI dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter. Tidak ada lagi cerita BI bekerja hanya untuk kepentingan ‘the best practice of monetary system’. BI tidak lagi hadir untuk praktik terbaik sistem moneter. Keberadaan para ahli moneter di bank sentral itu kemungkinan menjadi ‘redundant’ alias ‘mubazir’. Cerita cetak uang untuk defisit APBN, berawal dari usul ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah. Menurut Said, cetak uang itu perlu dilakukan karena pendapatan pemerintah menurun sedangkan pengeluaran bertambah. Defisit APBN melebar secara signifikan. Semua ini akibat Covid-19, kata para pejabat tinggi. Haruskah diterima ‘reasoning’ dari pemerintah yang mengkambinghitamkan wabah Corona? Sepintas tampak seperti itu. Jika hanya berdasarkan kalkulasi APBN Corona 2020 saja. Tetapi, kalau dicermati lebih jauh, akan terlihat berbagai penyebab lain. Bukan hanya Covid-19. Sebab, salah kelola keuangan negara telah berlangsung bertahun-tahun. Khususnya, sejak Jokowi memberikan penekanan berlebihan pada proyek-proyek infrastruktur yang menyedot banyak dana. Para ahli dan pengamat masalah ekonomi-keuangan menentang pembentukan Dewan Moneter. Mereka melihat langkah ini merupakan kemunduran bagi Indonesia. Kalau alasan utamanya adalah untuk membantu BI dan pemerintah. DM hanya ada di era Soekarno. Kalau di masa Soekarno, jangankan pembentukan Dewan Moneter, dirinya sendiri pun dia angkat menjadi presiden seumur hidup.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Revolusi Beludru

by Zainal Bintang Sejarawan Lord Acton dalam suratnya kepada Mandell Creighton, tertanggal April 188, menulis, "Power tends to corrupt, and absolute power to corrupt absolutely" - orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, maka kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi. Kejahatan paling buruk seorang pemimpin itu adalah apabila ia merasa sudah lebih dari orang lain. Menjadi manusia super, bahkan semidewa. Minta dipuja-puja, bahkan minta untuk dikultuskan. Jakarta FNN – Kamis (03/09). Pesan WhatsApp Denny JA masuk ke HP saya. Isinya rekaman video yang membahas topik “Penghianatan Kaum Intelektual”. Diberi pengantar teks dengan pertanyaan, “Apakah Intelektual Sudah Berkhianat? Salahkah Intelektual yang masuk ke dalam kekuasaan? Salahkah intelektual yang tak lagi peduli dengan riuh rendah ruang publik? 100 tahun setelah buku Julian Benda: Penghianatan Dunia Intelektual, kita menyaksikan perkembangan zaman yang berbeda”. Karya Benda yang dirujuk bung Denny JA judul aslinya dalam bahasa Perancis “La Trahison Des Clercs” (Penghianatan Kaum Intelektual). Terbit 1927. Diterjemahkan 1997. Drama pengkhianatan kaum intelektual atau cendekiawan adalah foto copy sejarah yang selalu terdaur ulang. Konsistensi komitmen intelektual dapat diukur ketika dirinya berani mengambil risiko mempertaruhkan nyawa untuk dan atas nama kepentingan (rakyat) yang lebih besar. Namun seiring dengan perjalanan waktu, daya tahan komitmen itu terus mengalami dinamika pasang surut manakala diuji oleh kemewahan dan kenyamanan yang ditawarkan kekuasaan. Tidak mudah melupakan sepotong kata magis dibaca Bung Karno dengan cepat mengguncang dunia abad ke 20. Teks proklamasi yang tertulis diatas sepotong kertas yang rada “kumal” : “….kami bangsa Indonesia, dengan ini….dan seterusnya dan seterusnya”. Kalimat pendek, tapi sakral itu dalam sekejap mengubah konstelasi kiblat kekuatan politik dunia internasional. Memori yang monumental ini muncul mendadak sesaat, ketika hari masih sangat pagi. Saya menjawab lewat hp seorang senior. Guru besar. Yang dikenal karena kepakarannya di bidang ekonomi. Mengeluhkan apa yang disebutnya “kondisi” tak menentu hari ini. Menyoal senyapnya suara anak muda kampus yang dinilainya tidak (lagi) sensitif dengan kondisi tanah air. Sang guru besar cemas dengan absennya kekuatan penggerak perubahan, kaum intelektual yang lagi tidak bunyi. Lewat proklamasi itu 75 tahun yang lalu, Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Bung Karno yang didampingi Bung Hatta dengan mantap penuh khidmat membaca teks itu di Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, 17 Agustus 1945. Didahului drama “penculikan” Soekarno-Hatta yang dikenal sebagai “Peristiwa Rengasdengklok”. Dilakukan oleh sejumlah pemuda. Diantaranya Soekarni, Wikana, Aidit dan Chaerul Saleh dari perkumpulan "Menteng 31". “Penculikan” itu berujung menjadi pendorong proklamasi kemerdekaan. Peristiwa bersejarah itu adalah fragmen konsistensi kaum intelektual terhadap komitmen pembebasan bangsanya dari belenggu penjajahan. Akan tetapi ketegaran keintelektualan tokoh proklamator itu berkelindan dan serap menyerap dengan gejolak darah generasi muda “sang penculik.” Seandainya tidak ada anak-anak muda itu yang nekat melakukan tindakan “penculikan”, tentu jalannya sejarah akan berbeda hari ini. Memang ada kekecewaan dari masyarakat setelah menyaksikan dan merasakan perjalanan sejarah keintelektualan dimana-mana , termasuk di Indonesia. Mencemaskan terkooptasinya independensi intelektual atau cendekiawan di dalam kekuatan kekuasaan. Mengulik pepatah lama yang menyebutkan, “honores mutant mores”, saat manusia mulai berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya. Maka itu, sejarawan Lord Acton dalam suratnya kepada Mandell Creighton, tertanggal April 188, menulis, "Power tends to corrupt, and absolute power to corrupt absolutely" - orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, maka kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi. Kejahatan paling buruk seorang pemimpin itu adalah apabila ia merasa sudah lebih dari orang lain. Menjadi manusia super, bahkan semidewa. Juga minta dipuja-puja, bahkan minta untuk dikultuskan. Pada galibnya logika publik menjabarkan, kaum intelektual harus balik badan mengambil jarak untuk memelihara kemurnian cita-cita “clean government”. Suatu sikap yang ditujukan untuk mencegah praktik penyimpangan kekuasaan yang berselempang jubah konstitusi, mengatasnamakan bangsa dan negara. Jika diukur dari sisi jarak waktu terjadinya drama “Rengasdengklok” sampai kepada pembacaan Proklamasi di Pegangsaan Timur, itu memakan waktu kurang dari dua puluh empat jam. Jauh lebih cepat daripada waktu yang digunakan Vaclav Havel ketika memerdekakan Cekoslawakia tahun 1989. Melalui gerakan “Revolusi Beludru” (Velvet Revolution) kurang lebih empat puluh dua hari (17 November - 29 Desember 1989). Meskipun harus diakui, terbukanya ruang kemerdekaan bagi Indonesia disebabkan ada pengaruh eskalasi politik internasional, karena Jepang bertekuk lutut kepada sekutu setelah negerinya dibombardir bom atom di Hiroshima. Demikian juga yang dialami Cekoslawakia, pengaruh perang dingin dan perubahan kebijakan politik dalam negeri Uni Soviet oleh presiden barunya Gorbachev dengan memperkenalkan konsep glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi). Menelusuri sejumlah kajian terkait dengan kiprah Vaclac Havel, harus diakui namanya sampai hari ini selalu dikenang sebagai salah seorang tokoh intelektual yang terjun dalam pergerakan yang berhasil membebaskan negaranya dari penindasan kekuasaan pemerintahan Uni Soviet yang mencaplok Cekoslawakia sebagai Komandan Pakta Warsawa tahun 1968. Revolusi Beludru (Velvet Revolution) atau Revolusi Tenang yang digerakkan Havel adalah revolusi tanpa kekerasan. Sebuah jalan intelektual yang bersemangat revolusi (perlawanan) yang mendasari fikiran di dalam esai atau berbagai karya filsafat, maupun melalui jalan kesenian. Sesuai kodratnya sebagai seorang seniman, jalan intelektual yang substansial bertujuan menentang pemerintahan otoriter itulah yang dipilih dan berhasil. Keberhasilan revolusi (beludru) itu menjadikan Havel sebagai Presiden Cekoslovakia (1989-1992) yang ke-10 dan Presiden Republik Ceko yang pertama (1993-2003). Havel adalah penulis, politikus, dan dramawan Ceko. Ia menjadi sangat terkenal setelah menulis sebuah esai yang diberi judul “The Power Of The Powerless (Kekuatan Mereka yang Tidak Berdaya) Melukiskan rezim "normalisasi" Cekoslawakia paska 1968 sebagai sistem yang bangkrut yang bertumpu pada kebohongan yang menyeluruh. Memang menarik membahas topik “pengkhianatan intelektual” hari ini. Banyak yang menyebutkan jalan intelektual sebagai media perlawanan kritis terhadap kesewenang – wenangan pemerintah di era ini dirasakan telah mengalami distrosi nilai. Di era pemerintahan SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) tahun 2005 pernah juga terjadi “geger inetelektual”. Pro kontra yang tajam antara intelektual non pemerintahan dengan intelektual pendukung kekuasaan terkait adanya iklan kebijakan pemerintah soal pencabutan subsisdi BBM. Kalangan intelektual “bebas” kekuasaan menganggap kebijakan itu merugikan rakyat. Apalah arti sebuah nama. Seperti kata William Shakesepeare What’s in a name? “That which we call a rose. By any other name would smell as sweet”. Dalam cerita love story yang melegenda “Romeo & Juliet”, Shakespeare mengatakan : “bunga mawar itu kalaupun diberi nama selain mawar, bau wanginya akan tetap sama”. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Membedah Dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 (Bagian-2)

by Mayjen TNI (Purn) Prijanto Jakarta FNN – Kamis (03/09). Pembatasan. Untuk membedakan dan mempermudah, maka dalam artikel berseri ini, hasil amandemen UUD 1945, kita sebut dengan UUD 2002. Baca membedah dan memetik buah amandemen UUD 1945 (1) : “Veteran Komisi Konstitusi Turun Gunung” (Google). Setelah Veteran Komisi Konstitusi Prof. Dr. Tjipta Lesmana, Prof. Dr. Maria Farida Indrati, dan Dr. Laode Ida bicara dalam Webinar Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI)-Panji Masyarakat, 18/8/2020, tak ketinggalan generasi muda ikut bicara. “Generasi muda seperti Anton Permana cs Turun Gunung”. Apa kata mereka? Dr. H. Anton Permana, S.IP, MH, Ketua FKPPI Batam, Alumni Lemhannas RI PPRA 58 Th. 2018. Anton Permana, melecutkan pikirannya atas situasi negara selepas kursus Lemhannas. Tulisannya aktual, tajam, menggelitik dan mengena. Namanya melejit, favorit nitizen bak selebriti. Sampai-sampai ada satu artikel, sehingga Biro Humas Settama Lemhannas membuat penjelasan, bahwa tulisannya tidak ada hubungannya dengan Lemhannas. Anton menyampaikan masalah : (1) Kedaulatan rakyat (2) Presiden orang Indonesia asli, dan (3) Kesejahteraan sosial, khususnya pengelolaan sumber kekayaan alam. Identifikasi persoalannya tepat. Pokok bahasannya sama dengan pembicara sebelumnya, para Veteran Komisi Konstitusi. Apakah Anton membebek pembicara terdahulu? Tidak mungkin, sebab Anton menjelaskan menggunakan slide yang sudah disiapkan. Artinya, tiga pokok bahasan itulah yang di mata para pembicara sebagai masalah bangsa yang penting untuk dibahas. Masalah kedaulatan rakyat Anton Permana berpendapat saat ini : (1) Rakyat sudah kehilangan kedaulatannya. (2) Demokrasi seharusnya sesuai nilai Pancasila berubah menjadi demokrasi liberal (3) Kedaulatan rakyat cenderung berubah menjadi kedaulatan partai politik, sehingga terbentuklah oligarki. (4) Indonesia dari negara hukum cenderung menjadi negara kekuasaan. (5) Negara berdasarkan Pancasila cenderung menjadi negara individualistis, kapitalis dan liberalis (6) Negara kesatuan cenderung menjadi semi federal, sistem presidensial menjadi semi parlementer dan negara kebangsaan cenderung menjadi negara korporasi. Masalah Presiden orang Indonesia asli (pribumi), Anton sependapat, Presiden harus orang Indonesia asli. Sebab dalam konstruksi konstitusi negara, kita kita kenal adanya suku bangsa, negara dan pemerintah. Sedang pribumi atau orang Indonesia asli inilah identitas kebangsaan negara kita. Jati diri kita sebagai bangsa. Pendapat Anton sangat beralasan. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) saja mengakui hak-hak pribumi, tentang hak kedaulatan politik, ekonomi dan kebudayaan. Mengapa kita mesti alergi dengan pribumi? Apabila tidak kita kunci dari sekarang, maka anasir asing akan langkah tegap menguasai Indonesia tanpa harus menduduki. Masalah kesejahteraan sosial, terkait Pasal 33 ayat (4) UUD 2002, Anton sejalan dengan Prof. Tjipta Lesmana dan Dr. Laode Ida. Ayat ini telah membuat liberalisasi ekonomi, ketidakmandirian dalam pengelolaan sumber kekayaan alam dan pemiskinan negara kita. Perubahan UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan rakyat, Pasal 6 tentang Presiden orang Indonesia asli dan Pasal 33 ayat (4), akan membawa Indonesia menuju neo leberalisme, neo kolonialisme dan neo komunisme. Penekanan dan pentingnya kewaspadaan terhadap bahaya neo komunisme, sebagai penutup pendapat Anton. Ir. Heppy Trenggono, President of Indonesian Islamic Business Forum, Inisiator Gerakan Beli Indonesia. Sejak awal, Heppy Trenggono mengaku betapa sulit mengajak kembali ke UUD 1945. Amien Rais pernah menyampaikan kepada dirinya, bahwa kita itu dijajah tanpa senjata karena Undang-undang Dasar dan sebagainya. Amien mengutip sebuah buku, yang menurut Heppy seperti penyesalan. Setelah sekian tahun, menjelang Pilpres 2019 bertemu lagi, Heppy berbicara perlunya tokoh yang bisa membawa kembali ke UUD 1945, tetapi, Amien Rais mengatakan, “mas, kalau itu saya bertahan”. Jadi Amien Rais masih meyakini amandemen itu benar. Heppy berpendapat, Undang-undang Dasar itu cara mencapai cita-cita sebagai bangsa. Kita itu akan dan mau kemana? Sejak reformasi, dengan UUD 2002, kita semakin jauh dari cita-cita, kata Heppy. Ada 3 (tiga) hambatan yang disorotinya. Pertama, semakin jauh dari cita-cita untuk adil dan makmur. Masyarakat tersingkir dari partisipasi ekonomi. Petani tidak tahu apa yang harus ditanam. Sentra ekonomi mati. Jualan di pasar tergusur. Tukang ojek pun tergusur ojek online yang berbasis kapitalisme. Kedua, figur pemimpin di semua tingkat, kualitasnya memprihatinkan, akibat kapitalisme dalam proses rekrutmen pemimpin dengan biaya tinggi. Pembangunan karakter nyaris tidak terjadi. “One man, one vote” walau nabrak nilai-nilai Pancasila tetap dipertahankan. Ketiga, kepemimpin tidak berkualitas, berakibat tidak sensitif terhadap ancaman kedaulatan. Tidak ngerti ancaman komunisme, ancaman China dan dari luar lainnya karena ledakan penduduk dan pencari sumber daya alam. Semua bangsa di dunia itu tahu “Red Peril” dan “Yellow Peril” itu apa? Balik kita, tanya Heppy menutup pendapatnya. Samuel Lengkey, SH, MH, Advokat & Konsultan Hukum. Samuel Lengkey yang menggeluti filsafat, hukum, politik dan lintas agama. Pikirannya cenderung akademis dan realistis. Kata Samuel, perdebatan kembali ke UUD 1945, sulit dicerna masyarakat. Masyarakat menjadi paranoid, seolah-olah kembali ke masa lalu. Padahal, selama ini UUD 1945 belum pernah dilaksanakan secara benar. Lalu bagaimana caranya? Kita harus masuk ruang pemikiran “the founding fathers” untuk memahami pengalaman dan pengetahuan yang dipaparkan dalam sidang BPUPKI-PPKI. Karena Bapak Bangsa Indonesia itu lebih tahu bagaimana membentuk negara ini, yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Dengan membaca risalah sidang BPUPKI-PPKI, kita gali pemikiran Bapak Bangsa Indonesia. Kita bisa melihat historinya, cakrawala peradaban, kekayaan intelektual dan kekhawatiran di masa depan “the founding fathers”, sehingga kita bisa merasakannya. Melalui proses kontekstualisasi dan rasionalisasi, kita bisa menyempurnakan UUD 1945 dengan cara adendum, untuk menyongsong masa depan. Sehingga nilai-nilai, cita-cita dan tujuan didirikannya Indonesia Merdeka tetap lestari. Tetap abadi ke depan. Buah amandemen ini bak buah terlarang yang dimakan Siti Hawa, sehingga Adam dan Siti Hawa keluar dari sorga. Buah amandemen dengan pemilihan presiden secara langsung telah memecah belah bangsa. Ditambah Pilkada langsung yang bikin cerai-berai. Apakah masih kita pertahankan? tanya Samuel Lengkey menutup pendapatnya. Tidak hanya Veteran Komisi Konstitusi dan Genersi Muda yang bicara amandemen UUD 1945. Senior Pejuang pun ikut bicara. Apa kata mereka, silakan baca “Membedah dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 (3) : “Apa Kata Senior Pejuang?”. Semoga bermanfaat, amin. (bersambung). Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Kebebasan Pers Kian Terancam

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Kamis (03/08). Tanpa pers yang bebas, negara tidak bisa disebut sebagai demokratis. Itu prasyarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar. Kebebasan pers dan demokrasi adalah dua sisi mata uang. Tidak bisa dipisahkan. Tanpa itu, sebuah negara jelas bukanlah negara demokratis. Kalau toh tetap mengklaim, ngaku-ngaku sebagai negara demokratis, kualifikasinya adalah pseudo democracy. Demokrasi semu. Dari sisi itu tanda-tanda Indonesia menjadi demokrasi semu, kian kuat. Tim Lindsay, seorang akademisi dan peneliti dari Universitas Melbourne, Australia malah menilai Indonesia di bawah rezim Jokowi telah berubah menjadi “Neo New Order.” Penilaian semacam itu merupakan sebuah ironi. Neo Orde Baru, mengacu pada pemerintahan otoriter Indonesia di bawah rezim Soeharto selama 32 tahun. Sementara Indonesia harusnya jauh lebih maju dalam praktik demokrasi. Era Reformasi sudah memasuki dua dasa warsa (21 tahun). Harus lebih mapan dan dewasa secara demokrasi. Rabu (2/9) malam di sejumlah platform pertemanan heboh. Tulisan akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun di tempo.co tiba-tiba menghilang. Tak bisa dibuka. Tulisan tersebut semula tampil di kolom opini dengan judul “Kejahatan Besar Sedang terjadi di Indonesia.” Ubed, begitu biasa dipanggil menyoroti secara tajam dan keras berbagai praktik penyimpangan dalam kepemimpinan Jokowi. Namun ketika tautan kolom itu dibuka, opini Ubed menghilang. Tidak bisa dibuka. Keterangan yang muncul : Page Not found. Sorry you have accesed a page that does not exist or was moved. Halaman tidak ditemukan. Akses halaman sudah tidak ada, atau dipindahkan. Beberapa saat kemudian artikel tersebut muncul kembali di kolom “Indonesiana.” Judulnya sudah berubah menjadi “Persoalan Besar Sedang Terjadi di Indonesia.” Tempo Ditekan? Menghilangnya dan kemudian dipindahkan artikel Ubed dari Kolom Opini ke kolom Indonesiana, menimbulkan tanda tanya. Pasti sedang terjadi “apa-apa” pada Tempo.co Kolom opini adalah halaman resmi dari media. Diisi oleh para penulis opini yang kredibel. Memenuhi standar, value media yang bersangkutan. Tulisan bisa datang dari si penulis, atau atas permintaan redaksi. Secara hukum media ikut bertanggung jawab atas publikasi opini tersebut. Sementara kolom Indonesiana masuk dalam kategori user generated content. Sebuah platform yang disediakan oleh media online untuk menarik dan menampung tulisan pembaca. Mereka bebas menulis, memilih topik apapun dan mengunggahnya. Ada yang melalui moderasi redaksi. Tapi banyak pula yang bebas tanpa moderasi. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konsekuensi hukum dari konten tersebut. Sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengunggah. Tulisan-tulisan tersebut juga bisa dimuat di berbagai media lain, tanpa hak eksklusif. Jadi bebas merdeka! Satu catatan lagi. Pada kolom opini, si penulis mendapat honorarium dari media. Pada user generated content tidak disediakan honor. Gratis! Biasanya para penulis pemula banyak memanfaatkan fitur ini. Namun banyak juga penulis senior yang memanfaatkannya, sebagai outlet untuk menyebarkan pikiran dan pendapatnya tentang berbagai hal. Dengan muncul di kolom opini, sesungguhnya tulisan Ubed tidak masuk dalam kategori user generated content. Bahwa kemudian artikel tersebut dipindahkan ke tempat yang “lebih aman” menunjukkan tempo.co dalam tekanan. Penjelasan redaksi tempo.co bahwa artikel tersebut “lebih cocok di sana” tidak cukup memadai. Spekulasi semacam itu tidak bisa dihindari. Publik pasti tidak percaya. Cukup diterima dengan senyum, sembari mencoba memakluminya. tempo.co bersama tirto.id beberapa pekan lalu menjadi pembicaraan publik . Situsnya diretas dan tampilannya diubah oleh hacker. Serangan terhadap tempo.co dan tirto.id diduga erat kaitannya dengan sikap kritis kedua media terhadap berbagai kebijakan pemerintah di masa pandemi. Tempo Group belakangan sangat kritis menyoroti kegagalan pemerintahan Jokowi menangani pandemi Covid-19. Mereka juga menyoroti penggunaan influencer dan buzzer yang menghabiskan anggaran negara. Sementara tirto.id menyoroti langkah TNI AD dan BIN yang bekerjasama dengan Universitas Airlangga menemukan “obat” Covid-19. Apakah diubah dan digesernya kolom Ubed di tempo.co karena tekanan pemerintah? Atau karena self censorship dari internal redaksi? Dua-duanya menunjukkan semakin tidak bebasnya pers di Indonesia. Masih mau mengklaim pers Indonesia bebas? Masih mau menepuk dada bahwa Indonesia adalah negara demokratis? End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO

Ruhut Tuduh Umat Islam Merongrong Pemerintah?

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (03/09). Ruhut Sutompul muncul lagi, horeee. Cuma saja kali ini Ruhut tidak lagi minta atau menantang bertarung dengan jaminan potong kupingnya kalau kalah bertarung. Seperti yang diumbar-umbar Ruhut ketika ingin mempertahankan sipenista Agama Islam Ahok bertarung di Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu. Kemunculan Ruhut kali ini hanya untuk menggambarkan kondisi dan peta politik nasional kekinian. Huebat kan Ruhut? Menurut gambaran politik Ruhut, tiga kelompok yang sekarang merongrong pemerintahan Jokowi. Ada kelompok Din Syamsuddin, kelompok 212, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Wuiiiih, huebat sekali analisanya Ruhut, he he he. Ruhut menyatakan siap berjuang untuk Jokowi habis habisan. Tunggu perintah dari bossnya, Megawati. Jadinya sekarang tiga kelompok lawan tiga Ruhut. Rehut pertama adalah Ruhut PDIP, Ruhut kedua adalah Ruhut Demokrat, dan Ruhut ketiga adalah Ruhut Golkar. Mati-matian sekarang Ruhut membela PDIP, serasa kader "aseli". Ruhut bukan lagi kader PDIP indekost atau imigran. Sama seperti dulu ketiks Rhut menjadi kader paling Demokrat dan paling Golkar. Walaupun demikian, wajarlah memang, kondisi bangsa ini sedang dilanda “politik angin anginan, politik jilat-menjilat dan politik mencari selamat kepada kekuasaan". Kemana angin bergerak ke situ sang oknum berpijak eh berpihak. Lagi musimnya mencari sandaran untuk merapat ke penguasa. Kebetulan penguasa juga lagi membutuhkan pelampung penyelamat untuk menyelamatkan kapal yang hampir tenggelam di tengah badai dan ombak besar. Mengerikan budaya politik menjilat yang tengah melanda bangsa ini dengan dahsyatnya. Seperti serasan para demang yang sedang membela penguasa kumpeni. Tidak peduli tingkat kejahatannya seperti apa? Termasuk menindas bangsanya sendiri. Persetan dengan harga diri, karena yang penting adalah “diri ada harga". Mau menjadi "buzzer" atau "influencer" sama saja. Yang jelas semua ada pembina yang mengorder. Sentimen kepada oposisi atau Islam kah tuan Ruhut sekarang ini ? Sebab Ruhut sebut Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) kelompok Din Syamsuddin yang tokoh Islam. Ruhut juga menyebut 212 juga aksi umat Islam terhadap penista agama Ahok. Lalu HTI juga pergerakan Islam. Apakah Ruhut mau bicara dan menyatakan bahwa yang merongrong pemerintahan Jokowi-Ma'ruf itu adalah umat Islam? Kalau itu yang hendak dimaui oleh Ruhut, maka mungkin saja umat Islam akan memberikan predikat kepada Ruhut sebagai "musuh besar umat" hari ini. Jika demikian adanya, maka umat Islam tentu saja sangat siap untuk menghadapi apa saja yang dimaui oleh Ruhut. Bertarung di semua lini pun boleh. Toh, cuma sekedar menghadapi seorang Ruhut ini. Sebagai orang yang mengerti hukum, tentu Ruhut faham bahwa menyebut Din Syamsudin dan kelompoknya sebagai perongrong Pemerintah itu harus dibuktikan. Jika tidak, maka berbalik menjadi delik yang menjerat Ruhut. Delik fitnah dan pencemaran. Lalu benarkah Pemerintah merasa terongrong ? Mahfudz, Luhut, Moeldoko atau "tokoh" Pemerintah lainnya pada diam, dan tidak ada ungkapan merasa terongrong. Lagi pula apakah agar tidak terongrong, maka Pemerintah tidak boleh dikritik ? Suara beda dibungkam dan semua harus menurut patuh pada Pemerintah? Of course, no. Pemimpin yang tidak kompeten tidak boleh dibiarkan. Apalagi sewenang-wenang menguras kekayaan negara dan memeras warga negara. Hancur bangsa jika tidak ada pengawasan dan koreksi. Ruhut mesti sadar bahwa negara ini sedang sakit. Mungkin juga sekarat. Kondisi ini terjadi sekarang disebabkan oleh merajalelanya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Juga tingginya tingkat kesenjangan sosial, serta negara yang dikuasai kepentingan asing dan aseng. Benar bahwa "covid 19" merupakan ancaman bagi semua, baik pemimpin maupun rakyat. Tetapi pemimpin "stupid" adalah penyakit yang jauh lebih berbahaya. Ruhut boleh saja memetakan berdasarkan asumsi sendiri tentang kelompok yang merongrong pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, tetapi rakyat, khususnya umat Islam juga dapat memetakan dan mencatat dimana Ruhut Sitompul berada. Tak ada kekuasaan yang abadi. Kita lihat saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pencari Fakta Semu di Dunia Maya

by Tony Hasyim Jakarta FNN - Kamis (03/09). Kemarin sore seorang kawan wartawan yang juga pegiat di media sosial menelpon saya bahwa telah terjadi keanehan di dunia “permedsosan”. Mereka heboh lantaran ada sebuah postingan Instagram seorang pejabat tinggi yang kebetulan berasal dari korps Polri ditandai “false information”. Setahu saya penandaan seperti ini merupakan peringatan dari admin Instagram agar postingan tersebut dihapus oleh sang pemilik akun. Jika dalam batas waktu tertentu tidak dilakukan maka admin Instagram akan men-takedown secara sepihak. Bagi pegiat media sosial kejadian seperti ini sudah biasa. Kawan-kawan saya yang main di Facebook juga sering “disetrap” dengan hukuman penonaktifan akun selama sepekan atau harus mengisi formulir kesanggupan mentaati etika bermedso lebih dulu agar akunya diaktifkan kembali. Menurut pemahaman banyak kalangan wartawan, lebih-lebih bagi mereka yang berseberangan dengan pemerintah, yang punya wewenang mencopot sebuah postingan atau menonatifkan sebuah akun medsos adalah pihak aparat pemerintah. Selama ini yang mereka curigai kalau bukan Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), Polri (melalui direktorat tindak pidana siber) atau Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Menariknya, kali ini yang diberi bendera “false informartion” oleh adalah akun “pongrekundharma88”. Saya terkejut. Wow! Pasalnya pemilik akun tersebut tidak lain adalah Komjen Polisi Dharma Pongrekun, seorang perwira tinggi Polri aktif yang kini menjabat sebagai Wakil Kepala BSSN. Dharma adalah seorang perwira polisi yang memiliki jam terbang tinggi di satuan reserse kepolisian. Usianya masih 54 tahun dan merupakan lulusan Akademi Kepolisian tahun 1988. Sebab itulah pada nama akun Instagramnya ada angka “88’. Instagram saat ini sedang booming di Indonesia. Aplikasi medsos ini dulu milik segmen kaum milenial. Tapi sekarang ini banyak pejabat sipil, militer maupun polisi di Indonesia yang memiliki akun Instagram. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pun ikut main di Instagram. Akun ini ia gunakan untuk menyampaikan informasi langsung ke masyarakat dan menjadi wahana berinteraksi langsung dengan masyarakat maupun para prajuritnya di seluruh tanah air Tapi sepengetahuan saya, baru pertama kali ini terjadi di Indonesia ada sebuah postingan seorang pejabat tinggi negara diberi peringatan keras oleh “admin” Instagram. Selain memberi peringatan “false information”, Instagram juga sering menandai sebuah postingan sebagai “sensitive content”. Saya sebut ini peringatan ringan, karena sekedar mengingatkan kepada netizen bahwa postingan tersebut memuat foto atau video yang tidak usah dilihat, karena memuat konten kekerasan secara verbal atau fisik. Saya lalu teringat, sebulan yang lalu, sebuah postingan dari diva musik pop dunia Madonna di Instagram diberi peringatan “false information” lantaran dia mengunggah sebuah video yang menyatakan pandemiK Covid-19 sebagai sebuah “konspirasi”. Tapi bukan celebritis kelas dunia saja yang dihukum oleh admin medsos. Saya teringat postingan dari akun resmi Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dan anak tertuanya, Donald Trump Jr., pernah dicekal oleh penguasa medsos karena karena dianggap mengandung konten “kontroversial” tentang covid-19. Dari kejadian-kejadian di dunia permedsosan itu, saya langsung berpikir siapa sebenarnya “penguasa” di dunia ini? Saya sendiri sudah mengkonfirmasi kejadia pencekalan di medsos ini langsung ke Dharma Pongrekun. “Benar. Sebuah postingan saya di Instagram dinyatakan false information. Padahal saya berniat baik. Hanya menghimbau seluruh generasi muda untuk mewaspadai fenomena kecanduan gadget,” katanya. Postingan seperti apa itu? Dharma kemudian mengirim screenshoot dari postingan yang diberi peringatan keras oleh Instagram berupa foto dan narasi (dalam huruf italic) seperti di bawah ini. Di era digitalisasi saat ini, teknologi informasi dan komunikasi yang berbentuk gadget berkembang begitu cepat untuk mencari informasi dan komunikasi dalam segala urusan, bahkan sarana hiburan bagi semua kalangan mulai dari kalangan atas sampai kalangan bawah, mulai dari orang tua, remaja, bahkan sampai anak-anak kecil pun sudah dibiasakan bermain dengan gadget. Sayangnya kemajuan teknologi ini tidak didukung dengan kesiapan pemahaman yang benar dan memadai bagi para penggunanya, sehingga tidak disadari telah terjebak dalam manipulasi si pembuatnya. Gadget merupakan jebakan candu narkoba gaya baru, tapi dilegalkan. Mereka ini sedang mengulangi keberhasilan opium, perang opium/candu terjadi pada tahun 1839-1860 M antara Inggris dan Cina yang berakhir dengan jatuhnya Cina, yang tujuannya untuk menguasai Negara dengan cara menguasai orang-orang elit, karena orang-orang elit itu lebih mementingkan gengsi dan gengsi itu terkait dengan harga mahal, jadi harga opium dibuat sangat mahal. Tidak beda dengan harga gadget yang harganya puluhan juta pada awalnya. Itu kan suatu gengsi tersendiri! Pengguna gadget akan digempur oleh konten yang merangsang hormon kebahagiaan, sehingga mereka akan terikat dan kecanduan. Kenapa dibikin terikat? Agar tidak bisa melepaskan diri, karena gadget telah dibekali radiasi yang merusak, namun tubuh kita cerdas bukan hanya radiasi dari mesinnya saja yang merusak, tapi juga dari niatnya (motivasi) si pembuatnya. Badan kita sangat cerdas dan sangat tahu kalau kita dijauhkan dari fitrah. Segala sesuatu yang menjauhkan kita dari fitrah, sel tubuh kita akan mengantisipasinya dengan melemahkan tubuh kita supaya kita tidak bisa mengejarnya, tetapi itu pun sudah diantipasi oleh pembuatnya dengan cara menggempur sel tubuh terus-menerus dengan gelombang yang dapat melemahkan tubuh, sehingga sel-sel tubuh manusia kehilangan kemampuan untuk memproteksi dirinya. Sel akan jadi bloon dan bila sel sudah bloon, maka tubuh akan kehilangan kecerdasan tubuh (body intelligent), dan akhirnya benar-benar akan menjadi kecanduan gadget. #selamatkangenerasibangsa. Menurut Dharma beberapa saat setelah mengunggah postingan tersebut ia mendapat mendapat pemberitahuan dari Instagram bahwa postingannya adalah “False Information - Reviewed by independent fact checkers”. Saya sendiri langsung memeriksa postingan tersebut. Sampai saat saya menulis ini, postingan tersebut masih ada dan masih ditandai dengan bendera “False Information’. Di bawah peringatan tersebut ada keterangan tambahan “False : independent fact-chekers say this information has no basic in fact”. Kemudian ada keterangan lagi ; Fact-chekers : Tirto. Conclusion : False (dengan huruf merah). More Information: Komentar Dharma Soal Gawai, Candu & Perusakan Sel, Hoaks/Fakta? - Tirto.ID Ada Agen Lokal Diangkat Jadi Detektif Medsos Instagram adalah aplikasi media sosial yang dimiliki oleh grup Facebook . Selain Instagram, pengembang media sosial terbesar di dunia ini juga menjadi pemilik aplikasi messenger Whatsaap. Ketiga aplikasi jejaring sosial ini beroperasi bebas dan sangat populer di Indonesia. Sampai sekarang masih terjadi perdebatan di kalangan pengambil kebijakan hampir di semua negara, bagaimana caranya agar otoritas lokal bisa “mengendalikan”, mengawasi dan menangkal konten-konten negatif yang disebarkan melalui aplikasi-aplikasi tersebut, termasuk tentunya bagaimana cara memungut pajak dari aktivitas kapitalisasi yang mereka lakukan. Di Indonesia sudah lama Facebook punya kantor dan punya kepada perwakilan di Jakarta yang disebut Facebook Country Director. Sampai saat ini memang tidak ada pemerintahan di dunia ini yang bisa mengendalikan konten di medsos, kecuali dengan melarang ketiga aplikasi tersebut beroperasi di negaranya. Karena keberadaan medsos sejauh ini sifatnya masih “abu-abu’, disebut eksis tapi beroperasinya di dunia maya (virtual). Mau disebut Badan Usaha Tetap (BTU) tapi cara memungut pajaknya juga masih membingungkan aparat pajak. Tapi dalam ranka pengawasan postingan warga negara dunia Facebook mendirikan sebuah lembaga bernama IFCN (International Fact-checking Network) yang anggotanya mereka rekrut dari kalangan apa saja, termasuk media massa, lembaga swadaya masyarakat, atau perorangan. Mereka inilah yang dilatih dan diberi sertifikat sebagai fact-chekers (pemeriksa fakta) dan kerap mengadakan workshop internasional. Sejauh ini grup Facebook mengklaim telah bekerja sama dengan 45 pemeriksa fakta di seluruh dunia yang tersertifikasi. Mereka inilah yang membantu mengidentifikasi, meninjau, dan melabeli informasi palsu. Katanya, mereka adalah “non-partisan”. Tapi menurut saya ini sekedar modus agar mereka tidak dituduh berpihak. Oleh Facebook mereka ini disebut sebagai “third party” atau pihak ketiga. Kalau ada pihak ketiga, berarti ada pihak pertama dan kedua. Dalam hal ini pihak pertama (“penguasa”) adalah pengembang aplikasi. Lalu pihak kedua adalah pengguna atau pemilik akun yang lazim disebut warganet atau netizen. Pihak ketiga tak lain adalah fact-cherkers yaitu mereka yang diberi kewenangan untuk mereka mengawasi dan menilai postingan-postingan netizen di Facebook dan Instagram. Jadi dalam dunia permedsosan ini ada semacam “negara dalam negara” di mana penguasa negara yang sesungguhnya atau pemerintahan di dunia yang lazim kita kenal selama ini tidak dianggap sebagai “pihak”. Praktis dalam dunia jejaring media sosial ini sebetulnya tidak ada ruang bagi sebuah pemerintahan negara di dunia untuk mengintervensi konten di media sosial. Di negara-negara Arab, keberadaan medsos ini pernah bikin kelabakan para penguasa setempat. Waktu terjadi fenomena “Arab Spring” satu dekade lalu, para pengusasa di negeri-negeri Arab dibikin babak belur akibat postingan-postingan di medsos yang memicu pemberontakan warga negaranya. Beberapa penguasa tumbang akibat pemberontakan yang digerakan melalui medsos. Suriah terpuruk dalam perang saudara berkepanjangan akibat pemerintahnya lalai mengontrol penyebaran informasi melalui medsos. Presiden Donald Trump sendiri pernah protes ke pengembang medsos lantaran postingannya ditake-down. Tapi sampai sekarang dia tidak kapok “main” di medsos untuk berinteraksi langsung dengan rakyatnya. Bahwa ada banyak netizen yang memaki-makinya melalui medsos, dia tidak peduli. Karena di sisi lain banyak pula follower yang menyanjungnya. Kondisi seperti itu juga kita rasakan di Indonesia. Tapi postingan Presiden Jokowi tidak pernah diganggu oleh penguasa medsos. Setahu saya pemeritah sebetulnya tidak berdaya mengontrol konten-konten netizen bermuatan negatif yang berseliweran di media sosial. Sebab itu jangan kaget kalau pemerintah memelihara influencer dan buzzer yang ditugaskan membalas serangan dari lawan-lawan politiknya. Konsekwensinya, dunia permedosan di Indonesia sekarang ini dipenuhi oleh ujaran kebencian, penghasutan, penyesatan dan segala macam sumpah serapah yang dilakukan oleh para netizen baik dari kubu oposisi maupun incumbent. Kondisi percakapan antar warga negara kita di medsos sebetulnya sudah sangat mengkhawatirkan. Tapi apa daya, yang memiliki kewenangan mengontrol konten di media sosial sekarang ini adalah pengembang dari media sosial itu sendiri, dengan program yang disebut fact-checkers. Pemerintah dalam hal pihak kepolisian sejauh ini hanya bisa mengambil tindakan kepada netizen yang melanggar etika bermedsos berdasarkan laporan dari masyarakat. Sudah cukup banyak warga negara kita yang dijerat pasal-pasal pidana. Tapi banyak komplain karena yang dipidana hanya dari kalangan oposisi saja. Dari sinilah lahir anggapan bahwa pemeritah mengontrol konten di medsos. Padahal sejatinya pemerintah sendiri tidak berdaya mengontrol medsos dalam arti mengantisipasi atau mencegah penyebaran konten-konten bernuansa negatif. Dan konyolnya, aplikasi medsos memungkinan orang menggunakan nama samaran. Saya pernah dengar wacana dari seorang pejabat agar pemerintah menerapkan kebijakan “one gate system” untuk pengendalian lalu lintas informasi di medsos maupun di internet secara keseluruhan. Kalau tak salah ingin meniru kebijakan di Tiongkok, Iran, dan Korea Utara. Tapi wacana ini dikesampingkan dengan alasan “demi demokrasi”. Alhasil, satu-satunya cara efektif mengendalikan penyebaran konten negatif di medsos memang hanya admin medsos itu sendiri. Itu pun mereka harus menggunakan bantuan tenaga dari pihak ketiga yang disebut fact-checkers. Nah, salah satu pihak di Indonesia yang diangkat menjadi fact-chekers oleh grup Facebook adalah portal berita online bernama Tirto.ID. Media yang dimiliki oleh bekas awak detik.com bernama Sapto Anggoro ini dalam sebuah artikelnya menyatakan telah diangkat menjadi fact-chekers oleh Facebook. “Facebook Gandeng Tirto.id untuk Program Third Party Fact Checking”. Demikian sebuah judul artikel di Tirto.ID yang ditayangkan pada 2 April 2018. Selain Tirto.ID sebetulnya ada beberapa media massa dan LSM di Indonesia yang sudah diangkat menjadi third party oleh Facebook dalam beberapa tahun terakhir. Kita bisa googling mereka dengan kata kunci facebook-indonesia-fact chekers. Tapi kali ini yang saya bahas hanya Tirto.ID. Karena Tirto.ID inilah yang menjadi penilai postingan Dharma di Instagram dan berakibat dinyatakan “false information”. Masalahnya sekarang apakah benar postingan Dharma Pongrekun yang notabene adalah seorang petinggi negara di sebuah lembaga yang memiliki fungsi mengamankan jagat siber nasional, berisi informasi palsu? Di sisi lain, apakah Tirto.ID sudah melakukan pengecekan fakta secara benar hingga mengambil kesimpulan postingan tersebut berisi informasi palsu? Review Tirto.id Terhadap Postingan Waka BSSN Pada 26 Agustus 2020, Tirto.ID menurunkan artikel berjudul “Periksa Fakta : Komentar Dharma Soal Gawai, Candu & Perusakan Sel, Hoaks/Fakta?” Isi artikel tersebut secara saya copy paste dalam format italic di bawah ini. Pada 12 Agustus 2020, akun Instagram @pongrekundharma88 (arsip) mengunggah sebuah foto Wakil Kepala BSSN Komjen Pol. Dharma Pongrekun dengan tulisan: DHARMA SAYS, Gawai adalah alat (gadget) yang disiapkan oleh “mereka” untuk menjerat kita bekerja (network) melalui jaring “mereka” (internet), dengan cara merusak sel-sel tubuh (cellular phone) melalui gelombangnya (bad vibes) yang menggempur (attack) sel biologi terus-menerus (automation) menjadi bloon (slow response), agar “mereka” mudah dan cepat (smartphone) memperdaya pikiran (mindset manipulation) kita, sehingga melemahkan (malware) kecerdasan tubuh (body intelligence) yang membuat kita tidak sadar telah kehilangan jati diri (refocusing) sebagai insan NUSWANTARA (Makhluk mandiri menuju Tuhan). Kemudian, pada deskripsi foto, akun Dharma menuliskan deskripsi panjang yang, jika disimpulkan, menyatakan bahwa gawai menyebabkan candu. Ia mengaitkan candu yang disebabkan gawai dengan Perang Candu/Opium yang terjadi pada 1839-1860 M antara Inggris dan Cina yang berakhir dengan jatuhnya Cina. Menurut akun Dharma, perang tersebut bertujuan menguasai orang-orang elit karena orang-orang elit lebih mementingkan gengsi, dan gengsi itu terkait dengan harga mahal, jadi harga opium dibuat sangat mahal. Tidak beda dengan harga gadget yang harganya puluhan juta pada awalnya. Menurut akun Dharma pula, gadget telah dibekali radiasi yang merusak. Selain itu, pembuat gawai juga memasukkan gelombang yang dapat melemahkan sel-sel tubuh sehingga kita benar-benar kecanduan. Unggahan akun Dharma ini mendapat sekitar 4.700 Likes di Instagram. Selain itu, unggahan ini mengundang orang-orang mengomentari kaitan antara menara Base Transceiver Station (BTS), jaringan 5G, dan bahayanya terhadap tubuh, salah satunya akun @kesadaranmimpi. Penelusuran Fakta : Tirto melakukan penelusuran terhadap sejumlah istilah yang digunakan oleh akun Dharma dalam unggahannya untuk menemukan koherensi antara sejumlah istilah tersebut dengan narasi dalam unggahan di akun Dharma. Berikut pengertian sejumlah istilah yang digunakan oleh akun tersebut: Cellular phone atau smartphone adalah telepon yang dapat digunakan di mana saja karena beroperasi melalui signal radio. Gadget atau gawai merupakan peranti elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis. Network atau jaringan adalah sebuah sistem besar yang terdiri dari banyak bagian serupa yang dihubungkan untuk memungkinkan pergerakan atau komunikasi antara, atau sepanjang bagian, atau antara bagian dan pusat kendali. Bad vibes adalah semua perasaan tidak nyaman, gelisah, dan tidak aman. Attack adalah mencoba menyakiti atau mengalahkan menggunakan kekerasan. Automation adalah penggunaan mesin dan komputer yang dapat beroperasi tanpa memerlukan kendali manusia. Slow response berarti lamban. Mindset manipulation bisa disebut juga mental manipulation yang berarti mengerahkan pengaruh yang cerdik atau licik terutama untuk keuntungan diri sendiri. Malware adalah perangkat lunak komputer yang dirancang untuk merusak cara kerja komputer. Body intelligence adalah kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan tantangan baru dari lingkungan dalam / luar dengan memahami dan menyadari sinyal tubuh dan dengan modalitas respons khusus. Refocusing adalah mengembalikan fokus. Jika ditelisik satu-persatu, istilah-istilah yang digunakan akun Dharma tampak kurang tepat penggunaannya. Sel-sel tubuh, misalnya, tidak sama dengan cellular phone, gelombang tidak sama dengan bad vibes, sementara sel biologi bukanlah automation, dan melemahkan tidak sama dengan malware. Lebih lanjut, efek yang ditimbulkan candu/opium memiliki efek berbeda dengan efek "candu" yang ditimbulkan gawai. Dharma juga tidak menyebutkan referensi tertentu dalam unggahannya terkait efek "candu" pada gawai ini sehingga sulit membuktikan kebenaran unggahan akun Dharma tersebut. Selain itu, kami juga menemukan komentar (maksudnya komentar dari follower akun Dharma) terkait isu konspirasi mengenai menara 5G yang dianggap membahayakan dalam kolom komentar di unggahan akun Dharma tersebut. Di tengah pandemi COVID-19 ini, memang muncul isu mengenai teknologi 5G yang dianggap dapat menyebarkan virus corona baru SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, radiasi 5G yang melemahkan imunitas seseorang, hingga tuduhan 5G yang secara langsung menularkan virus. Padahal, virus corona baru ini tidak dapat disebarkan oleh benda mati, apalagi radiasi 5G. Teori konspirasi terkait menara 5G ini telah menyebabkan sejumlah insiden berbahaya, seperti terbakarnya menara 5G di Britania Raya, tepatnya di Birmingham, Liverpool, dan Melling di Merseyside. Awal mula kejadian ini, seperti dilansir BBC, disebabkan oleh video yang mengaitkan antara teknologi mobile dengan COVID-19. Kementerian Digital, Kebudayaan, Media, dan Olahraga (DCMS) Britania Raya telah menyanggah disinformasi ini melalui akun Twitter mereka. Pakar teknologi informasi Onno W. Purbo mengatakan bahwa secara umum, penggunaan sebuah teknologi secara berlebihan memang bisa membahayakan. "Contoh microwave oven menggunakan frekuensi yang tidak jauh beda dengan 4G, 5G, dan di microwave oven, daging bisa matang karena microwave oven menggunakan daya ratusan Watt," kata Onno kepada Tirto lewat email, Selasa (18/08/2020). Namun, lanjut Onno, peralatan 3G, 4G, 5G menggunakan daya yang jauh lebih kecil dibandingkan oven microwave. "BTS biasanya menggunakan daya pancar sekitar 1-5 Watt. Handphone biasanya menggunakan daya 0.1-0.5 watt," jelasnya. "Jadi, peralatan ini jauh lebih aman daripada microwave oven." Terlepas dari isu disinformasi 5G dan virus corona, Onno memberikan sejumlah saran yang dapat dilakukan terkait bahaya radiasi pemancar. Pertama, bagi orang yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap gelombang pancaran radio, disarankan untuk tidak terlalu dekat dengan ponsel dan terlalu lama menggunakan ponsel yang ditempelkan ke kepala. Kedua, akan lebih aman menggunakan headset agar letak ponsel lebih jauh dari tubuh. Ketiga, jika berada pada lokasi yang cukup jauh dari sinyal pemancara atau BTS, seperti di kereta api, disarankan agar tidak melakukan sambungan telepon terlebih dahulu karena ponsel cenderung menaikkan daya pancar agar dapat tersambung dengan lokasi BTS yang jauh tersebut. Sejumlah informasi salah yang berbahaya terkait COVID-19 memang banyak menyebar. Salah satu informasi ini, misalnya, pernah disampaikan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 24 April 2020. Ia mengatakan bahwa virus corona dapat dicegah dengan menyuntikkan disinfektan ke tubuh. Namun, Trump menyatakan tidak bertanggung jawab terhadap orang-orang yang benar-benar menggunakan disinfektan untuk tubuh. Ia menyatakan bahwa pernyataan sebelumnya hanyalah sarkasme. Kesimpulan: Narasi yang disebarkan oleh akun Instagram @pongrekundharma88 tidak memiliki bukti yang kuat terkait hubungan antara gawai yang dapat menyebabkan candu dan kerusakan sel. Informasi tersebut bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading). Sementara itu, teori-teori konspirasi yang melibatkan tower BTS sama sekali tidak memiliki bukti ilmiah yang jelas. Tirto Tidak Melakukan Klarifikasi Fakta Ke Dharma Di luar perannya sebagai fact-chekers dari Facebook, Tirto.ID sejatinya adalah portal berita online yang seharusnya tunduk kepada etika jurnalistik. Salah satu prinsip mendasar dalam dunia kewartawanan, sebelum menurunkan sebuah berita seharusnya sudah melakukan cek dan ricek kepada pihak-pihak terkait dalam pemberitaan tersebut. Semua wartawan pasti paham dengan prinsip cover bothside. Hal itulah yang tidak dilakukan oleh Tirto.ID dalam artikel yang mereview postingan Dharma. Dalam artikel itu juga tidak ada kesan si penulisnya sudah berupaya melakukan konfirmasi kepada Dharma. Padahal dalam artikel tersebut jelas si penulis penyembut postingan Dharma tayang di Instagram tanggal 12 Agustus 2020. Kemudian si penulis meminta tanggapan atas postingan tersebut kepada seorang pakar bernama Onno S Purbo dan mendapat jawaban via email tanggal 18 Agustus 2020. Sedangkan Tirto.ID menurunkan artikel tersebut tanggal 26 Agustus 2020. Artinya, si penulis sebetulnya memiliki waktu cukup panjang untuk melakukan pemeriksaan fakta dan meminta referensi yang dimaksud dalam artikel itu langsung kepada Dharma. Tapi hal ini tidak dilakukan. Dharma sendiri mengaku tidak pernah dihubungi awak Tirto.ID. “Padahal saya dengan senang hati jika diundang mereka untuk membuktikan apa yang saya sampaikan dalam postingan tersebut,” kata Dharma. Selain itu artikel Tirto.ID nampaknya dibuat berdasarkan metode investigasi yang sangat dangkal dan sudah diframing sedemikian rupa. Si penulis memberi penilaian bahwa pernyataan dan istilah-istilah yang dipakai Dharma dengan kategori “tidak tepat”, “tidak ada referensi” dan atau “tidak ada bukti ilmiahnya”. Padahal, dalam dunia kewartawanan, apalagi bagi mereka yang memiliki kualifikasi wartawan investigasi, sebuah penilaian terhadap fakta harus dicari sebanyak-banyaknya. Saya sendiri dulu sering meminta kelonggaran waktu deadline kepada atasan saya agar reportase saya bisa menjadi fakta yang lebih utuh terhadap suatu peristiwa. Nah, sekarang setelah jadi atasan, saya sekarang sering marah kepada reporter saya karena kerap laporannya lebih banyak hasil googling dari pada hasil liputan di lapangan. Inilah kondisi yang dihadapi dunia jurnalistik sekarang. Akibat ada internet, ada google dan mesin pencarian informasi lain, wartawan muda kita sekarang jadi malas berangkat lapangan karena menganggap faktanya sama dengan yang sudah ada di internet. Saya tidak tahu persis apakah wartawan Tirto.ID yang menulis artikel tersebut mengalami kondisi ketergantungan mencari informasi dari internet atau tidak. Sebagai wartawan idealnya kita hanya bisa menurunkan berita atau artikel berdasarkan apa yang kita lihat, kita alami atau kita rasakan sendiri di lapangan. Bahwa hasil reportase kita berbeda “tone” atau “angle” dengan media lain, itu masalah persepsi yang memang sulit dihindari. Tapi kalau kita ikut hadir, melihat, dan membuktikan sendiri suatu keadaan dalam sebuah peristiwa, hasil reportase kita sulit disanggah oleh yang tidak hadir dalam peristiwa tersebut. Dalam banyak peristiwa, karena keterbatasan awak redaksi atau jaringan, sebuah media massa memang dibenarkan mengutip informasi atau keterangan dari media lain, termasuk mengutip jurnal atau kajian dari berbagai pakar atau pengamat. Tapi dengan syarat kita harus menyebut dengan jelas nama media, jurnal, kajian, pakar dan pengamat tersebut. Ini menyangkut masalah kejujuran dan kredibilitas jurnalistik. Di sisi lain, tidak semua referensi atau jurnal-jurnal ilmiah yang ditulis berbagai kalangan pakar di dunia ini bisa ditemukan melalui mesin pencari di internet. Kalau pun ada mungkin tidak dijadikan referensi oleh para fact-chekers yang ditunjuk oleh pihak Facebook dengan berbagai alasan. Ini yang jadi pertanyaan saya, apakah sudah melakukan riset referensi atau kajian ilmiah dengan cara selain googling? Dalam dua dekade terakhir sudah banyak kalangan cendekiawan atau pakar menulis jurnal atau buku tentang bahaya dari ‘globalisasi” - di mana teknologi informasi dan komunikasi, internet, medsos, gadget dan smartphone sebagai produk turunan dari globalisasi - dinilai sebagai ancaman bagi kehidupan manusia. Tapi jurnal-jurnal yang skeptis terhadap globalisasi ini memang sulit ditemukan via googling. Karena selain kajian mereka diproduksi dalam bentuk barang cetakan berupa buku atau kajian ilmiah, bisa jadi apa yang mereka unggah sudah dihilangkan dari internet. Siapa Penguasa Informasi di Dunia Maya? Meskipun internet beroperasi dunia maya, sudah pasti penguasanya hidup di dunia nyata. Mereka inilah yang berwenang mengontrol segala informasi yang diposting warga dunia melalui jaringan internet yang sudah menjangkau hampir seluruh permukaan bumi. Siapa penguasa internet? Memang tidak tunggal. Pasti ada beberapa dan mereka inilah yang membangun oligarki lintas negara melalui dunia maya sehingga lahir kesepakatan global bahwa pembatasan-pembatasan di dunia harus ditembus oleh internet. Bahasa keren mereka, internet bertujuan membentuk dunia tanpa batas alias borderless. Sekarang coba kita googling satu kalimat “who owns internet?” Paling-paling kita menemukan jawaban diplomatis dari mereka, “Its owner is humanity itself.” Memang ada beberapa media yang menyebut di A, B, C dan seterusnya sebagai pemilik internet di berbagai negara. Tapi umumnya mereka menyebut dengan kata konon atau kabarnya. Karena penguasa internet di dunia ini memang misterius. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa penguasa di internet adalah elite global, di mana pemilik Facebook adalah salah satu anggota dari oligarki tersebut. Secara kasat mata, mereka hanyalah pebisnis. Tapi apakah mereka cuma punya kepentingan bisnis? Kalau cuma mau berbisnis, mengapa mereka membiarkan konten-konten tentang kekerasan, pornografi, hedonisme, materialime dan semua konten-konten yang bertentangan dengan moral kehidupan begitu masih berserakan di dunia maya, termasuk di medsos? Memahami Cara Berfikir Dharma Dharma Pongrekun sendiri sebenarnya sudah menulis buku berjudil “Indonesa Dalam Rekayasa Kehidupan - Sebuah Perenungan Anak Bangsa Dalam Menghadapi Globalisasi”. Buku ini diterbitkan pada Oktober 2019 melalui jaringan Gramedia dan sekarang sudah sulit ditemukan di pasaran. Dalam buku tersebut ia menulis paniang lebar tentang globaliasi dari asal usulnya, ancaman-ancaman yang ditimbulkan sampai pada solusi bahwa rakyat Indonesia harus mendekatkan diri kepada rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam buku tersebut, Dharma menyatakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi - yang mana gadget dan smartphone sebagai produk turunannya - adalah alat yang didesain oleh dari elite global untuk memanipulasi pola pikir manusia agar menjadi atheis. Makna atheis dalam konteks ini adalah ketika manusia lebih mendewakan teknologi dan informasi sebagai sumber kebenaran dan di sisi lain meninggalkan wahyu-wahyu Tuhan sebagai sumber kebenaran. Dalam buku tersebut Dharma mengatakan akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang didorong oleh para globalis itulah menusia sekarang cenderung mencari kebenaran dan mencari eksistensi diri di dunia maya. Keadaan ini mengakibatkan munculnya Tuhan baru di dunia maya. Padahal, sejatinya Tuhan hanya ada satu. Kalau ada Tuhan di dunia maya, menurut pandangan Dharma berarti dia adalah iblis yang sejak diturunkan ke dunia ini kerjanya memang memanipulasi pola pikir manusia agar menjauh dari rasa keimanan kepada Tuhan. Karena sudah membaca buku ini saya sendiri memahami apa latar belakang Dharma memposting gambar dan narasi yang dinyatakan “false information” oleh onwner Instagram itu. Buku itu memang tidak memakai referensi dari apa pun melainkan dari hasil perenungan pribadi ia tulis sendiri dan kemudian dibukukan. Jadi memang banyak istilah dan argumentasi dalam buku tersebut yang tidak bisa kita temukan via googling. Dharma sendiri menyebut dunia maya adalah dunia manipulasi. Jadi dia tidak mau mencari istilah atau referensi dari internet untuk bukunya tersebut. Tapi jangan lupa, Dharma bukan orang tidak berpendidikan. Dia master di bidang hukum dan punya jam terbang tinggi dalam reserse kriminal. Anggota reserse yang sering melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) sudah terlatih membangun instingnya untuk mengambil kesimpulan cepat terhadap suatu keadaan yang dia lihat dan dengar dengan mata dan telinganya sendiri. Mereka tahu apakah seseorang berbohong hanya dengan melihat sorot mata atau kerutan di dahi seseorang. Seorang Dharma berpikiran kristis dan sering berbeda pandangan dengan kebanyakan orang awam tentang sesuatu keadaan, harusnya menjadi satu pertimbangan bagi Tirto.Id untuk memberi penilaian terhadap postingannya. Tapi hal ini ternyata tidak dilakukan sama sekali. Fact-Chekers Yang Ideal Apa itu review? Review adalah suatu penilaian terhadap suatu fakta yang memungkinkan untuk dinilai kembali jika ditemukan fakta baru. Sedangkan fakta adalah sesuatu yang tertangkap oleh indera manusia atau suatu keadaan yang sudah terbukti kebenarannya secara umum. Jadi penilaian dari seorang atau lembaga pemeriksa fakta, adalah sebuah laporan berdasarkan pengamatan langsung atau berdasarkan pembuktian yang sudah teruji kebenarannya dan memungkinkan dilakukan penilaian baru jika ditemukan fakta baru. Artinya seseorang fact-checkers sejati tidak boleh berhenti pada suatu fakta yang baru pertama kali dia temukan. Dia harus menggali dan terus menggali sedalam-dalamnya hingga menemukan fakta-fakta baru. Dalam dunia jurnalistik kita harus melakukan updating news. Ini memang melelahkan tapi ini adalah bentuk pertanggungjawaban kita dalam peran penyebaran informasi publik. Dalam sebuah kolom di iNews.id yang terbit 31 Agustus 2020, seorang staf pengajar dan peneliti dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Bob Hardian, PhD., menulis sebuah artikel menarik berjudul “Beyond Scientific” yang menggugah bagaimana kita seharusnya mencari kebenaran yang hakiki. Berikut artikelnya yang saya copy paste di bawah ini dalam huruf italic. Kemanusiaan secara fundamental dan tidak sengaja telah memengaruhi pergeseran alam. Tetapi para ilmuwan yang paling memahami pergeseran ini biasanya hanya menggunakan bahasa sains dan penalaran (reasoning) dengan menggunakan data serta model untuk menjelaskannya. Kadang ketergantungan yang berlebihan pada sains dan penalaran membuat sulit untuk berkomunikasi dengan masyarakat umum. Hal itu juga membutakan kita terhadap cakupan penuh masalah yang kita hadapi sekarang, yang hanya dapat dipahami sepenuhnya melalui perspektif emosional, budaya, etika, dan spiritual di dunia. Menyisakan Ruang untuk yang Misterius dan Tidak Bisa Dijelaskan Fisikawan teoretis terkenal Albert Einstein pernah berkata, “Logika akan membawa Anda dari A ke Z; imajinasi akan membawamu kemana-mana." Memang, misteri memberi kita kesempatan untuk membayangkan hal-hal yang tidak realistis atau konyol dalam kehidupan kita sehari-hari. Seringkali, anak-anak suka mendengar cerita imajinatif dan bermain pura-pura dalam rangka melatih imajinasi mereka. Manusia dan alam merupakan hal yang banyak mengandung misteri yang belum bisa semuanya dibahas secara scientific. Banyak hal yang susah untuk dijelaskan secara sains dan textbook. Penalaran ilmiah bergantung pada data dan analisis, namun ada banyak hal di dunia ini yang tidak dapat diukur. Misalnya, seseorang tidak dapat memberikan data yang membuktikan besaran cinta terhadap manusia lain, hubungan spiritual dengan alam, rasa panggilan atau kehadiran Tuhan itu ada. Namun, banyak sekali orang yang percaya atau bahkan tahu bahwa itu ada. Seringkali pembahasan melalui sudut pandang spiritual dan supranatural sepertinya kelihatan bertentangan dengan padangan scienctific dan textbook. Orang sering melakukan pembahasan dalam ranah misteri menggunakan istilah-istilah teknikal atau istilah yang sudah dipahami dalam sains sebelumnya. Penggunaan istilah-istilah teknikal ini sering membuat rancu yang kelihatannya seperti berusaha meredefinisi istilah-istilah yang sudah terdefinisi dengan baik. Seringkali penggunaan istilah tersebut hanya sebatas analogi dalam menjelaskan konteks spiritual dan supranatural. Terkadang sulit untuk mencari padanan teknikal di ruang bahas spritual dan supranatural. Ruang bahas spiritual dan supranatural seringkali kelihatannya tidak nyambung (disconnected) dengan ruang bahas sains. Penalaran ilmiah berusaha menjelaskan semua fenomena melalui kata-kata dan angka-angka. Namun ada banyak pengalaman yang menentang artikulasi, sebagai contoh, pianis klasik atau atlet profesional sering kali mengalami kesulitan besar untuk mengungkapkan esensi pengalaman mereka saat menyempurnakan keahlian mereka. Jadi, sementara sains dapat terus maju dalam mengeksplorasi yang rasional di manusia dan alam, dengan menganalisis sistem alam melalui model "big data" menggunakan feedback loop, dan ketidak-linier-an yang beroperasi di dalamnya, ia juga harus menyisakan ruang untuk hal-hal yang misterius dan tidak dapat dijelaskan. Kita juga melatih kerendahan hati terhadap yang tidak dan mungkin tidak pernah tahu kerumitan (complexity) penuh dari semuanya itu. Artikel dari Bob Hardian tersebut dalam sekali maknanya. Intinya manusia dan alam merupakan hal yang banyak mengandung misteri yang belum bisa semuanya dijelaskan secara sains dan textbook. Padahal banyak kebenaran yang justru kita dapatkan dari sumber yang bersifat non-fisik, yaitu dari perspektif emosional, budaya, etika, dan spiritual. Saya sendiri melihat metode pemeriksaan fakta yang dilakukan Tirto.ID terhadap istilah dan penyataan yang digunakan Dharma dalam postingannya itu semata-mata masih mengantungkan pencarian kebenaran berdasarkan kajian sains, textbook, dan sepertinya melalui mesin pencarian informasi di internet. Ada memang seorang pakar yang dimintai keterangan oleh Tirto.ID. Tapi bukankah pakar lain belum tentu berpendapat sama dengan pakar tersebut. Apakah Dharma dengan track-recordnya di dunia kepolisian dan jabatannya sekarang ini bukan tergolong pakar? Saya amati Tirto.ID melulu mempertanyakan bukti ilmiah dan referensi yang digunakan Dharma. Tapi di sisi lain saya melihat Dharma adalah pemikir yang yang tidak suka mengutip referensi dari sumber manapun bahkan saya tidak menemukan catatan-catata kaki (footnote) dalam bukunya itu. Menurut Dharma apa yang ia tulis dalam bukunya maupun narasi yang dia sampaikan dalam postingan-postingan di akun instagramnya itu merujuk pada wahyu-wahyu Ilahi dalam kitab suci dan berdasarkan hikmat yang ia peroleh sebagai mahluk yang berinteraksi langsung dengan Tuhan. Dari situlah Dharma mengenal “ilmu melihat udang di balik batu”. Yaitu bagaimana mencari kebenaran secara out of the box atau melihat kebenaran dengan mata rohani, bukan mata jasmani. Dari situlah menjadi jelas pangkalnya mengapa Tirto.ID sampai memberi penilaian bahwa postingan Dharma berisi konten Informasi Palsu dan Dharma bersikukuh bahwa informasinya adalah yang benar. Tirto mencari kebenaran secara fisik, sedangkan Dharma mencari kebenaran secara non-fisik. Dua metode menemukan fakta yang berbeda ini sudah tentu bisa menemukan hasil yang kontradiktif. Sekarang tergantung kita mau menganut metode yang mana. Menurut saya kebenaran berdasarkan sains atau text book adalah suatu kebenaran semu karena hanya mengandalkan kecerdasan manusia. Padahal kita tahu pikiran setiap setiap manusia bisa ter-framing oleh kondisi-kondisi lingkungan atau latar belakang primordialnya. Dalam kenyataannya banyak kita temukan sebuah kajian ilmiah dibuat oleh sebuah kelompok atas rezim dengan niat menutupi suatu fakta yang sebenarnya alias berbohong agar dapat menyesatkan pikiran orang banyak. Salah satunya yang paling kontroversial saat ini adalah sebuah kajian ilmiah yang melahirkan suatu teori yang masih kontroversial hingga saat ini yang menyatakan manusia berasal dari simpanse (kera). Secara fisik memang betul manusia mirip dengan kera. Bahkan berdasarkan berbagai kajian ilmiah paling terbaru manusia memiliki kesamaan DNA antara 98 hingga 99,6 dengan beberapa jenis kera. Tapi menurut Al-Quran dan Alkitab, manusia adalah keturuan Adam dan Hawa, yaitu dua manusia yang diciptakan Tuhan di surga dan kemudian diturunan ke bumi hingga baranak cucu hingga sekarang. Sekarang tergantung manusianya sendiri, mau mempercayai hasil olah pikir manusia atau wahyu dari Tuhan? Penjelasan Istilah-Istilah Dalam kolom komentar di postingan Dharma itu saya melihat ada komentar dari seorang followernya.”Postingan ini dikasih label palsu oleh tirto.id pak jenderal.” Dharma menjawab,”Tenang saja menghadapi hal ini seperti itu. Kan semua aplikasi yang ada hanya digunakan memaksakan, bahwa kebenaran absolut hanya monopoli pemiliknya. Kita semua hanya menjadi objek saja untuk kepentingan agendanya kok. Salam hormat untuk anak bangsa yang cinta bangsa. Tetaplah berjalan dalam kebenaran walau sendiri! Kita bangsa mandiri kok!’ Artinya Dharma bersikukuh postingannya itu tidak salah dan dia tidak akan menghapus postingannya tersebut. Sekarang saya mencoba membikin perbandingan tentang istilah teknis yang dipersoalkan Tirto.ID dengan penjelasan langsung Dharma kepada saya. Menurut Tirto.ID, cellular phone atau smartphone adalah telepon yang dapat digunakan di mana saja karena beroperasi melalui signal radio. Sedangkan menurut Dharma, cellular phone adalah alat yang tanpa disadari akan meruskan sel-sel tubuh manusia. Sedangkan smartphone artinya bukan alat yang membuat manusia pintar tetapi justru mengendalikan manusia dengan mudah dan cepat. Menurut Tirto.ID, gadget atau gawai merupakan peranti elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis. Menurut Dharma, gawai berasal dari bahasa Melayu yang artinya alat dan orang yang menggunakannya disebut pegawai. Menurut Tirto.ID, network atau jaringan adalah sebuah sistem besar yang terdiri dari banyak bagian serupa yang dihubungkan untuk memungkinkan pergerakan atau komunikasi antara, atau sepanjang bagian, atau antara bagian dan pusat kendali. Menurut Dharma, network adalah jaringan untuk menjerat manusia yang menggunakannya. Dalam hal ini ia mengingatkan istilah “www’ atau world wide web yang membawa kita berimajinasi kepada struktur jaringan yang dibuat laba-laba untuk menjerat mangsanya. Menurut Tirto.ID, bad vibes adalah semua perasaan tidak nyaman, gelisah, dan tidak aman. Menurut Dharma, bad vibes ada gelombang yang memancarkan efek buruk kepada sel tubuh manusia. Menurut Tirto.ID, attack adalah mencoba menyakiti atau mengalahkan menggunakan kekerasan. Menurut Dharma, attack adalah serangan yang diprogram untuk menggempur sel-sel tubuh manusia. Menurut Tirto.ID, automation adalah penggunaan mesin dan komputer yang dapat beroperasi tanpa memerlukan kendali manusia. Menurut Dharma, automation adalah bagi yang menggunakan gawai terus menerus akan menjadi blo’on sel-sel tubuhnya. Menurut Tirto.ID, slow response berarti lamban. Menurut Dharma, slow response artinya akibat dari gempuran terus menerus dari gelombang pada cellular phone terhadap tubuh manusia, sel-sel tersebut menjadi blo’on. Menurut Tirto.ID, mindset manipulation bisa disebut juga mental manipulation yang berarti mengerahkan pengaruh yang cerdik atau licik terutama untuk keuntungan diri sendiri. Menurut Dharma, mindset manipulation adalah aplikasi dan konten di dalam gadget yang didesain untuk mempermudah memanipulasi pola pikir manusia. Menurut Tirto.ID, malware adalah perangkat lunak komputer yang dirancang untuk merusak cara kerja komputer. Menurut Dharma, malware adalah virus yang digunakan untuk melemahkan. Menurut Tirto.ID, body intelligence adalah kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan tantangan baru dari lingkungan dalam/luar dengan memahami dan menyadari sinyal tubuh dan dengan modalitas respons khusus. Menurut Dharma, body intelligence adalah kecerdasan tubuh. Menurut Tirto refocusing adalah mengembalikan fokus. Menurut Dharma, refocusing adalah manusia seharusnya fokus kepada Tuhan, tapi akibat adanya gadget atau smartphone, fokus manusia terpusat kepada alat tersebut yang menyibukan kehidupan sehari-hari manusia. Jadi memang ada perbedaan definisi sangat mendasar antara Tirto.ID dan Dharma terhadap istilah-istilah teknis tersebut. Dalam hal ini Tirto.ID menilai alat yang disebut gagdet atau cellular phone atau smartphone tidak berbahaya atau berdampak terhadap tubuh manusia. Sedangkan Dharma menilai sebaliknya. Untuk mengatasi perbedaan ini menurut saya Tirto.ID dan Dharma bertemu langsung untuk saling membuktikan argumentasi masing-masing. Ada kesan kuat Tirto.ID dalam memberi penilaian terhadap pernyataan dan istilah yang dipakai Dharma hanya berdasarkan referensi via googling. Sebagai contoh, Tirto.ID menyatakan “jika ditelisik satu-persatu, istilah-istilah yang digunakan akun Dharma tampak kurang tepat penggunaannya. Sel-sel tubuh, misalnya, tidak sama dengan cellular phone.” Nah, pertanyaan saya, apakah Tirto.ID sudah menelisik asal usul mengapa alat tersebut dinamakan cellular phone? Istilah celluler sudah jelas asal-usulnya dari kata cell (sel) yang terminiloginya bersumber dari ilmu biologi yang menjelaskan tentang sistem satuan-satuan terkecil pada tubuh mahluk hidup. Pada tubuh manusia ada sel-sel berupa hormon atau zat yang dibentuk oleh bagian tubuh tertentu serta memiliki pengaruh terhadap aktivitas sel-sel tubuh yang lain. Hormon-hormon ini dihasilkan baik oleh otak maupun di luar otak (pankreas, kelenjar tiroid, adrenal, dan organ reproduksi). Kajian ilmiah yang membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara gelombang electromagnetik yang dipancarkan oleh cellular phone terhadap tubuh manusia sebetulnya sudah banyak dibuat oleh para pakar di seluruh dunia. Tapi sebetulnya kita juga bisa melakukan pembuktikan sendiri. Sebagai contoh, anak balita yang sedang menangis bisa langsung tenang begitu diberikan mainan smartphone oleh orang tuanya. Tapi begitu smartphone tersebut diambil, anak tersebut menangis lagi. Bagaimana kita menjelaskan fenomena ajaib ini kalau bukan mencurigai adanya gelombang tertentu yang memiliki efek mirip candu di dalam smarphone tersebut? Menurut hemat saya, pencipta cellular phone siapa pun dia, sejak awal sengaja memberi nama alat itu dengan istilah cellular dengan maksud mengingatkan para penggunanya bahwa alat ini berpengaruh terhadap sel-sel pada tubuh manusia. Tapi kita abai dan langsung menerima kehadiran alat ini dengan suka cita tanpa memperhitungkan dampaknya. Lalu istilah smartphone. Mengapa disebut telepon cerdas? Menurut saya, alat ini sengaja didesain dan diberi nama begitu oleh penciptanya untuk dapat mengantikan kecerdasan manusia. Dalam kenyataannya sekarang kita begitu bergantung dengan alat ini. Mau tidak mau dalam beraktivitas apa saja kita begitu mengandalkan alat ini. Buktinya kalau alat ini hilang kita mencar-carinya setengah mati. Kalau ketinggalan di rumah, kita pasti pulang untuk mengambilnya. Kita seperti mahluk yang merasa tidak punya kemampuan apa apa lagi tanpa memiliki alat ini. Hal-hal diluar nalar itulah yang tidak dijadikan bahan referensi oleh Tirto.ID. Dengan kata lain, Tirto.ID hanya melihat batunya saja, sementara Dharma berusaha melihat udang di balik batu tersebut. Saya bisa memahami mengapa dia sampai pada kesimpulan gadget atau cellular phone atau smarphone, berbahaya bagi tubuh manusia tak lain karena dia menggunakan ilmu melihat udang di balik batu itu. Coba saja googling asal usul penggunaan kata cellular phone, pasti kita tidak akan menemukan satupun referensi yang mengaitkannya alat ini dengan sistem sel pada tubuh manusia. Karena memang banyak fakta yang disembunyikan di dunia maya. Pada akhirnya kita sesungguhnya bisa mencari kebenaran sejati dengan mengandalkan kecerdasan spiritual. Saya sendiri sekarang sedang berlatih berhikmat agar bisa memahami “perkara-perkara” misterius yang semakin banyak terjadi di dunia sekarang ini. Tentang pandemi covid-19 misalnya. Banyak orang ketakutan setengah mati karena termakan propaganda bahwa virus ini sangat mematikan. Menurut pemahaman saya sebagai mahluk ciptaan Tuhan, tanpa kehadiran virus ini pun semua orang akan mati sesuai takdirnya. Penulis adalah Pemimpin Redaksi FNN.co.id