OPINI
Trump Bisa Menang Kalau Minta Bantuan KPU dan LSI Denny JA Cs
by Asyari Usman Jakarta FNN - Selasa (03/11). Pemilihan presiden di Amerika Serikat (AS) selalu menarik. Terutama bila pertarungan antara dua capres ‘nect to nect’ (ketat). Dan pertarungan Donald Trump vs Joseph “Joe” Biden yang hari ini (3 November 2020) sampai ke TPS, termasuk cukup mendebarkan. Meskipun Biden unggul nyaman dalam jajak pendapat (polling). Nah, bicara soal polling di AS, aspek ini dalam setiap perhelatan pemilihan umum di sana selalu menarik. Semua orang percaya 100 persen pada angka-angka jajak pendapat. Orang partai Republik percaya, orang partai Demokrat pun tak curiga. Mengapa publik AS tidak ada yang mempersoalkan hasil polling? Karena tidak ada satu lembaga pun yang selama ini terdeteksi merekayasa angka-angka. Baik dengan motif finansial maupun motif politik. Di pilpres 2020 ini, Donald Trump sebagai petahana seharusnya bisa “mengatur” hasil jajak pendapat agar massa Republik bersemangat. Trump juga dengan mudah bisa membayar pasukan buzzer untuk mempengaruhi publik. Trump tampaknya punya banyak duit untuk membayar “pollster” (pelaksana polling). Dia juga punya recehan untuk menyewa buzzer. Tapi, itu tidak dilakukan oleh Trump –dan juga Biden. Mengapa? Karena kedua capres ini akan merasa sangat hina kalau mereka menyewa pollster untuk menipu publik. Dan sebaliknya, pollster-pollster di Amerika akan merasa sangat jijik jika ada pihak yang mencoba mendekati mereka untuk tujuan rekayasa hasil jajak pendapat. Bahkan, pollster di Fox News (stasiun TV ekstrem kanan) tidak mau berbohong untuk membela Trump. Mereka tetap menyajikan angka-angka yang menunjukkan Trump di bawah Biden. Tetap jujur. Jajak pendapat nasional yang dilaksanakan Fox News pekan lalu menunjukkan Biden unggul 8 poin atas Trump 52%-44%. Angka rata-rata polling terakhir sehari menjelang pemungutan suara hari ini (3/11) yang disunting oleh Real Clear Politics menempatkan Biden unggul 6.8%. Keunggulan itu menurun sedikit dari 8.9% dua pekan lalu. Sedangkan sepekan lalu Biden unggul 7.8%. Fox News yang sangat anti-Biden (anti-Demokrat) itu juga tetap jujur dalam penyajian berita-berita tentang pilpres yang sangat seru ini. Fox masih mau meberitakan kampanye Biden dan menuliskan hasil polling NBC News/Wall Srett Journal yang menyebutkan Biden unggul 10% atas Trump (52%-46%). Fox juga memberitakan jajak Quinnpiac University yang menyebutkan Biden unggul 11 poin (50%-39%). Kita lihat apa kata jajak pendapat Investor’s Business Daily (IBD). Media bisnis ini, sekiranya berada di Indonesia, hampir pasti akan mengunggulkan capres yang procukong. Alias capres Republik. Tapi, IBD juga jujur. Tidak mencoba menggunggulkan Trump. Meskipun Biden dikatakan unggul 3 poin saja yaitu 49%-46%. Trump juga tidak menyewa buzzerUS$. Begitu pula Biden. Bukan hanya mereka, capres-capres terdahulu pun tidak pernah menyewa buzzerUS$. Kalau sekiranya Trump ingin supaya angka polling dia tetap tinggi, tentu dia bisa minta bantuan LSI Danny JA dan lembaga-lembaga survey lain yang konon selalu sukses memenangkan calon-calon di pemilu. Tidak tanggung-tanggung. Ada belasan lembaga survey di Indonesia yang bisa membahagiakan para capres dan caleg. Ada Indo Barometer, ada SMRC, Poltracking Indonesia, dlsb. Jangan lupa, ada Charta Politika Indonesia, Cyrus Network, Indikator Politik Indonesia. Banyak lagi dan banyak sekali. Di satu sisi, agak ‘bodoh’ juga Trump tidak menggunakan LSI Denny JA atau yang lain-lain itu. Sayang sekali. Sekarang sudah terlambat. Tetapi, belum tentu juga terlambat. Sebab, LSI Denny JA, SMRC, Indo Barometer, dsb, bisa saja diminta untuk melakukan ‘quick count’ (QC) alias hitung cepat. Hari ini pemilih mendatangi TPS di Amerika. Besok (4/11/220), LSI Denny dan yang lain-lain bisa langsung tampilkan hasil QC untuk Trump di MetroTV milik Surya Paloh. Kalau Biden unggul di QC televisi-televisi Amerika, maka Trump bisa protes. Trump bisa bilang, “Di QC MetroTV oleh lembaga-lemabag survey Indonesia, khususnya LSI Denny JA Cs, saya unggul 54%-46%. Saya protes.” Setelah itu, Trump minta bantuan KPU. Dia bisa telefon langsung Arief Budiman. Tak seberapalah itu bagi Trump. Yang penting, sistem input KPU yang canggih itu bisa menyelamatkan muka Donald. KPU bisa mengumumkan hasil final QC dan hitung manual Biden vs Trump di tengah malam, seperti hasil pilpres 2019 tempohari.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Awas Hoax Penghargaan Transportasi Jakarta
by Asyari Usman Jakarta FNN - Selasa (03/11). awan-kawan netizen harus berhati-hati membagikan berita tentang penghargaan transportasi terbaik di dunia untuk Jakarta. Kalau Anda mau membagikan berita tentang prestasi Gubernur Anies Baswedan itu harus menyertakan kalimat “dirintis oleh Jokowi-Ahok”. Kalau tidak mencantumkan itu maka yang Anda bagikan berpotensi masuk kategori hoax. Mengapa hoax kalau tidak menyebut “rintisan Jokowi-Ahok”? Karena jurubicara presiden, Tuan Fadjroel Rahman, mengatakan bahwa prestasi bidang transportasi di DKI yang mendapat penghargaan dari International Transportation and Development Policy (ITPD) adalah hasil rintisan Jokowi-Ahok ketika mereka memimpin Jakarta. Salah satu prestasi mereka adalah ratusan bus busway mangkrak menjadi bangkai. Nah, kalau jubir presiden sudah mengatakan begitu, itu tegas bermakna bahwa berita atau postingan tanpa menyertakan “rintisan Jokowi-Ahok” adalah hoax. Anda tentu sadar ancaman penyebaran hoax, bukan? Jika postingan Anda hanya menyebutkan prestasi Anies, bersiaplah Anda dilaporkan Fadjroel ke Badan Pelaksana Penjilatan Nasional (BPPN). Badan ini bertugas menggalakkan jilatan untuk orang-orang tertentu. Badan ini akan mengamati berita-berita tentang prestasi Gubernur Anies yang tidak mencantumkan label “rintisan Jokowi-Ahok”. Para pengguna medsos yang melanggar ketentuan tentang label itu paling rendah dihukum dengan penghangusan akun mereka. Jadi, berhati-hatilah membagikan berita tentang prestasi Anies Baswedan. Harus tanya dulu Tuan Fadjreol Rahman. Selalulah konfirmasi ke beliau. Atau tanya ke Menkominfo Johnny Plate. Kalau dia bilang hoax, maka hoax-lah itu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Fenomena Prof. DR. M. Din Syamsuddin
by Muhammad Chirzin Demi waktu sepanjang sejarah. Sungguh manusia benar-benar rugi. Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan kebaikan. Saling mengingatkan pada kebenaran. Saling mengingatkan pada kesabaran.(QS Al-'Ashr) Yogyakarta FNN – Selasa (03/11). Pak Din, demikian sapaan masyarakat kepada Guru Besar Politik Islam Global Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univresitas Islam Negeri (FISIP UIN) Jakarta ini. Pak Din muda yang lahir pada 31 Agustus 1958 ini telah aktif berkecimpung di organisasi. Ketika masih di kampung halaman Sumbawa, dia menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama. Merantau ke pulau Jawa Pak Din nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur, tempat Dr (HC) KH Idham Kholid, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Dr (HC) KH Hasyim Muzadi, Cak Nun, Dr. Hidayat Nur Wahid, Kiai Lukman Hakim Saifuddin, dan Dr. Yudi Latif menuntut ilmu. Pak Din kakak kelas penulis tiga tahun. Wajar bila alumni Gontor ada yang menjadi Ketua PB NU, Ketua PP Muhammadiyah. Ada juga Ketua Umum Partai Politik berbasis Islam, maupun menjadi Menteri Agama dan tokoh masyarakat. Karena mereka dididik untuk menjadi perekat umat, dengan semboyan mau dipimpin dan siap memimpin. Disamping itu, Pondok Gontor memiliki semboyan, "di atas dan untuk semua golongan". Pondok Gontor tidak berafiliasi pada salah satu organisasi sosial keagamaan tertentu. Prof. Din Syamsuddin tercatat pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah selama dua periode setelah periode M. Habib Chirzin, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia(MUI) Pusat, sebelum periode Prof. Dr. (HC) Ma'ruf Amin. Prof. M. Din Syamsuddin adalah konseptor dari Negara Pancasila sebagai “Darul Ahdi was Syahadah” (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Konsep tersebut disampaikan Pak Din pada Pidato Kebangsaan 18 Agustus 2011 di PP Muhammadiyah, dan Pidato 1 Juni 2012 di MPR. Prof. M. Din Syamsuddin adalah penggagas Khilafah Peradaban. Bukan Khilafah Politik, dalam konteks keislaman, kekinian, dan keindonesiaan. Pak Din Syamsuddin menjadi Ketua Dewan Penasihat MUI Pusat sejak 2015, dan Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC) sejak 2007. Pak Din juga aktif di berbagai organisasi tingkat internasional, antara lain sebagai Ketua World Peace Forum (2006-sekarang), Co-President of World Conference of Religions for Peace (WCRP) USA (2006-sekarang), President Moderator of Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) Japan (2007-sekarang), dan Advisory Forum of King Abdul Aziz Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KACIID) Austria (2015-sekarang). Bersama Jenderal Gatot Nurmantyo dan Prof. Dr. Rochmat Wahab, Pak Din menjadi Trio Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Bersama mereka para deklarator terdiri atas tokoh-tokoh nasonal yang berasal dari berbagai latar belakang profesi, pendidikan, sosial, politik, maupun keagamaan yang mempunyai kepentingan dan kepedulian sama, yaitu menyelamatkan Indonesia dengan meluruskan Kiblat Bangsa. Masyarakat yang peduli telah mendeklarasikan KAMI di berbagai propinsi, kabupaten maupun kota, bahkan di Amerika dan Australia. Atas gerak dan langkah KAMI sebagai gerakan moral, berbagai pihak merasa tidak nyaman dan terganggu kepentingannya. Terbukti, usaha deklarasi KAMI di beberapa daerah dirintangi dan digagalkan. Deklarasi KAMI terakhir yang dibubarkan oleh aparat keamanan adalah di Jambi (Jum'at, 30/10/2020) setelah Prof. Dr. Rchmat Wahab menyampaikan orasi. Jenderal Gatot batal menyampaikan orasi sebagai salah seorang dari Tiga Serangkai Presidium KAMI, sekalipun beliau telah tiba di lokasi. KAMI juga dituduh sebagai gerakan politik berbaju moralitas yang berkepentingan dengan jabatan dan kekuasaan. Siapa pun yang menyimak naskah piagam deklarasi KAMI dengan saksama, tidak akan menemukan orientasi politik, jabatan, dan kekuasaan yang dituduhkan. Atas segala tuduhan miring tersebut, Pak Din tak segan-segan menyatakan pandangannya secara tegas dan lugas kepada siapa saja, termasuk kepada Jenderal Moeldoko. Belakangan beredar info di media sosial bahwa Pak Din dilaporkan oleh pihak yang mengatasnamakan Alumni ITB kepada yang berwajib dengan tuduhan melakukan enam pelanggaran. Masyarakat luas patut bertanya. Pertama, mengapa mereka segelintir Alumni ITB begitu getol ingin menggusur Prof. M. Din Syamsuddin? Setelah gagal menggusurnya dari keanggotaan Majelis Wali Amanat (MWA) ITB, karena ditolak mayoritas alumni lain, mereka kini melaporkan Pak Din ke BKN dan KASN dengan tuduhan melanggar Kode Etik Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka menamakan diri Gerakan Anti Radikalisme, tetapi sikapnya justru radikal dan ekstrem (melampaui batas). Kedua, tentang keanggotaannya di MWA ITB. Sebenarnya sejak Ramadhan/Mei 2020 lalu Prof. M. Din Syamsuddin sudah mengembalikan amanat ke Senat Akademi ITB yang mengundang dan memilihnya menjadi Anggota MWA. Baginya, di tengah jabatan yang banyak di tingkat nasional maupun internasional, jabatan di MWA ITB dianggap mulia, namun kalau tidak efektif dan kondusif, lebih baik dikembalikan kepada pemberi amanat, yakni Senat Akademik ITB. Ketiga, kalau sekarang kaum radikal itu mau menggusurnya dari status ASN (Prof. Din adalah Dosen/Guru Besar ASN di UIN Jakarta), maka jika dipecat Prof. Din tak akan rugi dan kariernya pun tak akan berhenti. Banyak universitas di luar negeri yang mau menerimanya sebagai Visiting Professor. Bahkan 170-an Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia insya Allah siap menampungnya. Tetapi jelas, UIN Jakarta akan kehilangan seorang Guru Besar satu-satunya di Prodi Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta. Keempat, apa yang dicari oleh kaum radikal itu? Apakah mereka membawa kepentingan rejim yang merasa terganggu dengan kritisisme Prof. Din selama ini? Ataukah ada kepentingan yang lain dari pertarungan ideologis di ITB antara yang pro kepentingan Islam dan kelompok yang anti? Demokrasi tentu saja membutuhkan dialog. Pemerintah memerlukan oposisi sebagai pengontrol aksi dan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Demokrasi juga memberikan ruang ekspresi dan kebebasan akademik yang bertanggung jawab. Penulis adalah Alumni Pondok Modern Gontor.
Partai Ummat Untuk Siapa?
by Agung Mozin Jakarta FNN – Selasa (03/11). Selama pendemi covid-19 ini, banyak waktu luas yang digunakan untuk membaca kembali buku-buku lama yang sudah mulai kusam termakan waktu. Diantaranya dari buku kumpulan tulisan Mohamad Sobari sebelum tahun 1998 yang mengkritik kekuasaan orde baru, menarik perhatian saya. Kebetulan saya sepakat dengan beberapa pemikirannya Mohmad Sobari, karena mempunyai relevansi dengan kehadiran Partai Ummat saat ini yang dibidai oleh Amien Rais. Bahwa gagasan pendirian Partai Ummat mengembangkan rumusan politik “Islam Rahmatan Lil Alamin” adalah sebutan lain dari politik berwawasan kemanusiaan. Mengapa demikian, karena semaraknya berbagai tindakan kekerasan belakangan ini. Pemaksaan hak-hak politik dan ekonomi. Kehidupan budaya di kalangan rakyat, dan kerusuhan-kerusuhan massal sejak menjelang pemilu dan hingga sesudah pemilu berlangsung-sudah kita pahami bersama. Kondisi ini sama seperti yang terjadi ketika rezim orde baru. Yang memimpin dengan tangan besi. Kita akhirnya mungkin tiba pada kesepakatan, bahwa semua itu merupakan manifestasi dari kebangkrutan struktural kita. Khususnya karena tidak berfungsinya hukum sebagai mekanisme terbaik untuk mengatur tata kehidupan sosial dan politik kita. Pertanyaannya, kepada siapakah gagasan Islam Rahmatan Lil Alamin ini diperuntukan? Apakah ditujukan kepada mereka yang memegang kendali dan menentukan merah dan hijaunya seluruh bangsa dan negara berkode +62 ini? .......Tentu jawabannya tidak mungkin. Karena dianggap lahirnya Partai Ummat sebagai sikap kritis terhadap penyelenggara negara yang telah memilih jalan politik sangat liberal, dan menjauhkan ummat dari nilai-nilai langitan Malahan saat ini, sikap kritis langsung dicurigai sebagai gerakan radikal. Sikap kritis juga dianggap sebagai intoleran yang tidak sesuai dengan format Pancasila yang diklaim secara sepihak. Sikap rezim antikritik akan melembaga dalam politik kita. Sehingga tanpa kita sadari diam-diam politk kita semakin menjauh dan tertutup dari jangkauan rakyat. Rakyat dijauhkan dari proses pengambilan keputusan politik penting. Lembaga politik di parlemen yang semestinya menjadi perwakilan suara rakyat telah berubah menjadi tukang stempel maumaunya rezim. Parlemen kini telah terbentuk dinding tebal yang memisahkan rakyat dengan pemerintah atau rezim. Jika begini persoalannya, maka kita sudah bisa menarik sebuah kesimpulan awal bahwa gagasan untuk mendirikan Partai Ummat berasaskan Islam Rahmatan Lil Alamin bukan barang yang mereka perlukan sebagai balance of power. Bahkan mungkin saja yang tidak diperlukan, karena di mata mereka, hanya untuk menghambat dan mengganggu mereka. Seindah dan sebagus apapun konsep anti kezhaliman, dan menegakan keadilan yang datangnya dari langit sekalipun, akan menjadi barang aneh dan beban untuk penguasa. Kebenaran apapun yang kita sampaikan untuk keselamatan ummat manusia di negeri zone +62 ini, sungguh sangat tidak menarik mereka mata dan telingan yang berkuasa. Apakah kemudian kita kecewa dan pesimis? Atau kehilangan gairah untuk mengembangkan Partai Ummat dengan gerakan politik yang berwawasan kemanusian? Yang secara lugas dicantumkan sebagai azas Partai Ummat adalah Islam Rahmatan Lil Alimin? Jawabanya tentu tidak, karena gagasan Islam Rahmatan Lil Alamin lebih relavan dan sangat dibutuhkan rakyat saat ini. Islam Rahmatan Lil Alimin dibutuhkan sebagai tata perpolitikan yang memberikan pilihan lain atas tata kelola politik yang sangat liberal dan kapitalistik alias. Tata kelola yang menghalalkan segala cara. Artinya rakyat lebih terpanggil memberikan sumbangan dalam pengaturan ulang tata perpolitikan dit ingkat bawah. Katakan di desa-desa atau diruang-ruang terbatas diluar teropong radar kekuasaan yang arogan Inilah mungkin makna membangun politik berazaskan Islam Rahmatan Lil Alamin. Karena real politik kita telah ditinggalkan oleh nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran. Politik kita berjalan tanpa landasan, pijakan. Pelindungnya juga mungkin rapuh. Hanya pada tingkat individu atau khususnya di lapisan bawah, nilai-nilai dari langitan masih dipertahankan hidup, sehingga kemanusiaan, keadilan dan kebenaran tadi masih memberi energi budaya yang diperlukan Partai Ummat. Partai Ummat dengan azas Islam Rahamatan Lil Alamin sebenarnya sebagai upaya penyelamatan struktur bawah anak bangsa. Sekaligus wajud pemihakan lebih kuat kepada rakyat, dan bukan pada pemerintah yang telah membangun tembok tebal yang dijaga aparat yang buta mata dan buta hatinya dari jeritan ummatnya. Politik kita sekarang sangat keras, dan galak. Karena dibangun diatas logika kekuasaan. Kekuatan akan cenderung beroperasi demi kekuasaan itu sendiri, sama seperti status quo kita saat itu. Apalagi jika pemegangngnya makin lama makin takut kehilangan kekuasaan. Dalam situasi seperti itu, partai-partai politik yang diharapkan memperjuangkan politik yang adil, jujur dan berwawasan kemanusiaan tak mungkin tampil terbuka. Tidak juga memihak kepada kebutuhan rakyat. Malah sebaliknya, lebih tunduk dan melayani selera kekuasaan semata. Namun kita tidak boleh lupa. Saya pastikan bahwa kecenderungan macam itu akan otomatis lenyap bersama dengan terjadinya pergantian kekuasaan. Dalam jangka pendek, terutama di masa hangat-hangatnya semangat kebersamaan ummat melakukan perubahan. Jika kekuasaan abai dan lalai, maka makin lama kita tergiring dalam putaran yang sama. Ketika penguasa makin mapan, kita bakal dipaksa menjadi orang yang bersifat konservatif, anti perubahan dan gandrung kemapanan. Apalagi bila kemapanan itu lebih membenarkan rasa takut kita kepada kekerasan negara. Kehadiran Partai Ummat dapat dijadikan sebagai momentum politik kebangkitan rakyat. Didorong oleh segala kekuatan orang-orang biasa. Dari pojok-pojok perkampungan dan desa-desa yang jauh di sana. Mereka juga sebagian besar orang-orang kota yang merindukan Islam Rahmatan Lil Alimin tanpa diskriminasi kepada etnis dan agama apapun sebagai etalase politik baru. Kanal politik yang bisa menghadirkan pemerintah yang adil, tanpa kezhaliman. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kemasyarakatan.
Abu Janda Versus Pak Jokowi
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN - Selasa (03/11). Abu Janda baru saja "acting" di Cafe Paris makan-makan sambil menyalahkan umat Islam bahkan dunia yang marah atas penghinaan Nabi Muhammad SAW melalui karikatur Charli Hebdo. Janda sok manusiawi menyatakan umat Islam harus memaafkan penghina Nabi. Ini ajaran Nabi, katanya asbun. Tidak lama kemudian Presiden Jokowi bersama pemuka agama menyatakan kecaman kepada Pemerintah Prancis atas karikatur penistaan Nabi Muhammad SAW itu. Abu Janda penjilat dan penggoreng umat kena skak mat oleh pernyataan tersebut. Terbayang wajah ruwetnya. Blepotan. Sebelumnya, Abu Janda pernah mengungkapkan hal yang menghebohkan bahwa agama teroris adalah Islam. Ucapan yang berujung pada pelaporan Kepolisian ini dapat dikualifikasikan penistaan. Namun Janda memang "mainan" dan "peliharaan" sehingga kasusnya tidak jelas. Lagi-lagi Presiden menyatakan bahwa mengaitkan agama dengan terorisme adalah kesalahan besar. Ini berkaitan dengan kecaman pada Presiden Prancis Emmanuel Macron. Artinya Abu Janda ikut terpukul soal agama teroris adalah Islam. Rupanya ada fenomena menarik yakni pertarungan Abu Janda versus Pak Jokowi. Entah ini pertarungan antar kelas atau sekelas, tapi keduanya memang dari satu kubu atau satu sasana. Kubu status quo.Oleh karena kini ada beda visi soal Macron dan terorisme, maka semestinya Pak Jokowi melaporkan Abu Janda agar diproses hukum. Abu Janda menentang dan mengganggu Presiden. Kemarin umat Islam melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Prancis. Kegiatan yang semestinya mendapat dukungan Presiden karena sejalan dengan pernyataannya. Umat Islam mengutuk sikap Presiden Emmanuel Macron yang membiarkan karikatur penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW. Jika Abu Janda tidak mencabut ocehan yang mengejek para pengecam Macron maka ia harus ciut mengkerut dan lari blingsatan seperti tikus cerurut karena yang ia ocehkan dan ejek itu adalah Presiden idola dan kecintaannya sendiri. Rakyat sedang melihat episode lanjutan dari pertarungan antara Abu Janda versus Jokowi. Moga jab, hook, upper cut membuat Abu Janda sempoyongan. Meskipun biasanya ditolong oleh bel akhir ronde. Tapi "acting" Abu Janda juga sering membuat Presiden sempoyongan. Nah hasil pertarungan Abu Janda versus Pak Jokowi baiknya seri-seri saja lah agar adil. Lagi pula mereka kan sama-sama satu boxing camp ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Analisis Yuridis Pemanggilan Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H.
by Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. Jakarta FNN - Selasa (03/11). Pemanggilan seseorang sebagai saksi dalam proses penyidikan tentu sebelumnya telah ada suatu peristiwa yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam tahap penyelidikan (Pasal 1 angka 5 KUHAP). Keberadaan saksi diperlukan dalam hal pengumpulan alat bukti yang dengan alat bukti itu membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP). Dalam hal membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi, maka keterangan saksi harus sesuai dengan kondisi yang dialaminya, baik ia mendengar secara langsung atau melihat secara langsung. Seorang saksi juga harus menyebutkan alasan dari pengetahuan yang ia alami tersebut. Seorang saksi yang dihadirkan dalam proses penyidikan dan persidangan sejatinya yang bersangkutan tidaklah mewakili kepentingan siapapun, melainkan ia mewakili suatu kondisi ketika terjadinya suatu tindak pidana. Tegasnya, saksi mewakili kenyataan konrit dan dengannya ia memberikan keterangan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Dapat dikatakan, saksi tersebut seolah-olah dihadirkan seperti dalam keadaan sebelumnya, ketika ia mengetahui adanya suatu perkara pidana baik yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dengan demikian, keberadaan seorang saksi sebagai salah satu alat bukti (Pasal 184 KUHAP) bersifat fakultatif. Sepanjang memenuhi kriteria tersebut, maka keterangannya dapat menjadi alat bukti. Terhadap pemanggilan Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H., sebagai saksi oleh pihak Bareskrim Polri, diketahui terdapat beberapa tindak pidana, namun tidak disebutkan dalam kepentingan pada perkara siapa. Sementara itu, Laporan Polisi dan Sprindik diketahui pada tanggal yang sama yakni 18 Oktober 2020. Tindak pidana yang dimaksudkan adalah Pasal 45 Ayat (2) jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 14 Ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (UU PHP) dan/atau Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 KUHP. Konstruksi tindak pidana tersebut perlu dikritisi, mengingat masing-masingnya terdapat perbedaan yang signifikan. Selain itu masuknya delik penyertaan (deelneming) memiliki implikasi tersendiri bagi penerapan pasal yang disebutkan. Oleh karena itu, disini dipertanyakan adakah persintuhan diantara pasal tersebut, dan tentunya persintuhan tersebut tidak sampai pada perbarengan (concursus). Pasal 28 Ayat (2) UU ITE mempersyaratkan harus adanya (timbul) rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Jadi, apakah sudah ada timbulnya kebencian atau permusuhan sebagaimana dimaksudkan? Siapakah individu dan/atau kelompok masyarakat yang merasakan kebencian atau permusuhan? Suku yang mana, agama yang mana, ras yang mana dan antargolongan yang mana. Pengertian antargolongan tidak dapat diartikan sebagai Pemerintah, Ormas, Partai Politik dan badan hukum lainnya. Pada Pasal 14 Ayat (1) dan (2) UU PHP tentang berita atau pemberitahuan bohong, maka harus ada relevansinya dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE dalam hal timbulnya rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Terlebih lagi, Pasal 14 Ayat (1) mempersyaratkan harus timbulnya keonaran di kalangan rakyat. Pertanyaannya, apakah telah nyata ada keonaran tersebut? Begitu pun Pasal 15 juga harus ada keterhubungannya dengan Pasal 28 Ayat (2) ITE. Apakah ada kaitan antara penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dengan timbulnya rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Di sisi lain keberlakuan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) UU PHP berpasangan, masing-masingnya tidak berdiri sendiri. Kemudian, dalam delik penghasutan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 160 KUHP juga patut dipertanyakan. Keberadaannya sama dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE dan Pasal 14 Ayat (1) UU PHP, yakni sama-sama delik materiil. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil. Oleh karena itu, apakah telah ada akibat sebagaimana dimaksudkan. Lebih lanjut, adakah korelasi antara Pasal 160 KUHP dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE? Dimana letak keterhubungannya? Perihal permasalahan keterhubungan selanjutnya juga menunjuk Pasal 14 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 15 UU PHP dengan Pasal 160 KUHP. Tegasnya, kesemua pasal tersebut harus memiliki hubungan ‘emosional’. Hubungan itu mencerminkan sikap batin (men rea) seseorang pembuat delik terhadap perbuatan yang dilakukan. Terlebih lagi disebutkan adanya penyertaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Keberlakuan delik penyertaan adalah sebagai bentuk perluasan pertanggungjawaban pidana, bukan dimaksudkan sebagai perluasan perbuatan pidana. Dengan demikian, sifatnya alternatif sebagaimana disebutkan dalam angka ke-1 dan angka ke-2. Dalam Surat Pemanggilan tersebut tidak disebutkan klasifikasi penyertaan, apakah termasuk angka ke-1 atau angka ke-2. Angka ke-1 menunjuk orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) atau orang yang turut melakukan (medepleger). Pada angka ke-2 adalah orang yang dengan pemberian, perjanjian, memberi kesempatan dan lain sebagainya (uitlokker). Dalam kaitannya dengan pemanggilan tersebut, maka dipertanyakan urgensi pemanggilan dengan klasifikasi delik penyertaan tersebut. Pemanggilan yang demikian cepat, tidaklah lazim dan tidak equal dengan perkara yang lainnya. Banyak perkara yang dilaporkan, namun hingga kini tidak jelas kelanjutannya. Dapat disebutkan disini yakni; Cornelis (eks Gubernur Kalbar), Viktor Laiskodat, Abu Janda, Denny Siregar, Guntur Romli, Budi Djarot dan Ade Armando. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pemanggilan terhadap Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H., sebagai saksi masih belum jelas objek perkaranya. Seseorang yang dimintakan keterangan sebagai saksi, maka harus ada pengetahuan yang ia alami sendiri. Pengetahuan tersebut pastinya berkorespondensi dengan objek perkara. Bagaimana mungkin seorang saksi dapat memberikan keterangan dan bernilai alat bukti tanpa ada kejelasan objek perkara yang dirinya tidak ada pengetahuan sama sekali. Patut untuk dicermati, UU ITE - sebagai dasar pemanggilan - apakah akan berkorespondensi dengan para aktivis KAMI lainnya yang telah berstatus Tersangka? Berdasarkan kajian ilmiah penulis, UU ITE berlaku seperti ‘sangkar besi’ dengan ‘silogisme’ yang cenderung dipaksakan. Pemenuhan unsur delik demikian subjektif, pada akhirnya Penuntut Umum tidak mampu mengkonstruksikan Surat Dakwaan secara cermat dan lagi objektif. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Direktur HRS Center
Bu Mega Tak Perlu Gelisah
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (02/100. Membela diri dengan membantah dirinya Partai Komunis Indonesia (PKI), kemudian melabrak milenial yang berdemo, lalu menuduh pendemo sebagai pembakar halte adalah berlebihan. Kasihan juga mbak Mega. Selalu saja sewot dan marah-marah. PDIP adalah partai penguasa tetapi seperti oposisi sikap politiknya. Lalu sebenarnya ada masalah serius apa? Empat alasan mengapa Megawati dan PDIP perlu disorot. Pertama, tuduhan PKI dan bantahan muncul saat Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat Michael Pompeo datang ke Indonesia. Apalagi Pompeo mengingatkan tentang peran Partai Komunis Cina (PKC) di Indonesia serta bahayanya. Mega terlihat bersinggunggan dengan tuduhan PKI wajar, karena PDIP memiliki kader elemen kiri sebagaimana terindikasi dan pengakuan kader PDIP Arteria Dahlan. Masih banyak lagi seperti Ribka Tjiptaning yang terang-terangan menyatakan bangga menjadi anak PKI. Kedua, kuatnya nuansa Orde Lama dalam rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Wajar pula karena RUU HIP diinisiasi oleh kader-kader PDIP. Sebagaimana publik berargumen dalam berbagai aksinya telah mengaitkan isi RUU ini dengan faham komunisme. Meskipun telah berganti nama menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasaila (BPIP). Namun posisi RUU HIP kini tetap mengambang. Memperpanjang tuduhan tersebut. Jadi tidak perlu semot-semotan. Ini hanya reaksi terhadap siapa buarat apa? Lalu akan mendapatkan apa? Ketiga, mempertanyakan prestasi milenial. Dengan menuduh milenial sama saja dengan menohok siswa atau mahasiswa yang berunjuk rasa. Pasti ada serangan balik dengan mempertanyakan adakah prestasi Megawati selama jadi Presiden maupun Ketum partai "wong cilik"? Biasa-biasa saja tuh. Malah nyata-nyata miskin prestasi, jika tidak ingin disebut dengan wanprestasi. Keempat bakar-bakar halte. Sudah viral kalau yang membakar halte itu bukan pengunjuk rasa, baik buruh ataupun mahasiswa. Tetapi gerombolan peliharaan. Nah mereka itu peliharaan siapa? Disitulah masalahnya. PDIP harus teriak agar segara diusut tuntas siapa saja aktor dibalik gerombolan para pemfitnah jahat tersebut. Aksi penyelundupan aksi harus dihentikan oleh seruan Megawati sebagai tokoh yang berpengaruh. Kini Megawati gelisah, apakah karena Jokowi sudah tak bisa menjadi petugas partai lagi? Utaukah karena PDIP yang terus diserang atau dibully, sementara Jokowi hanya bisa diam saja? Nampaknya tidak ada pembelaan sama sekali dari Jokowi. Ada tendensi munculnya partai atau kekuatan lain yang lebih mampu mengendalikan Jokowi ketimbang Megawati sebagai komandan dari "the ruling party". Mudah-mudahan saja ini bukan yang menjadi penyebab utana Megawati marah-marah. Ujungnya memang persoalan Pilpres 2024 yang memang mulai menggelisahkan. Disamping popularitas Anies dan Gatot terus meningkat tidak terbendung, sementara di internal PDIP Puan Maharani atau Budi Gunawan yang digadang-gadang, ternyata sulit merangkak naik. Kejutan justru nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang lebih berkibar. Mega memang sedang dirundung malang. Tiga hal yang dapat dilakukan untuk memulihkan dan merekonstruksi . Pertama bersihkan PDIP dari kader atau anasir kiri yang sudah terbaca publik. Kedua revisi platform kekiri-kirian dari perjuangan partai yang tertuang dalam AD/ART dan prinsip perjuangan lainnya. Ketiga, jangan tempatkan kelompok agama sebagai musuh. Sebab disamping kontra-produktif, juga patut disadari bahwa bangsa Indonesia adalah masyarakat yang relijius dan anti sekularisme. Selamat merenung, tak perlu tergantung pada daya dukung otoritas Presiden yang fakta politiknya kini berada dalam keadaan yang tidak terlalu ajeg. Tingkat kepercayaan yang semakin merosot. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Dr. Ahmad Yani Dipanggil Penyidik, Apa Konsekuensinya?
by Dr. Margarito Kamis SH. MHum Barang siapa bisa menguasai nafsunya, ia menjadi lebih mulia daripada malaikat. Namun barang siapa nafsunya mengalahkan akalnya, ia sungguh lebih rendah dari binatang (Jalaludin Arumi, 1207-1273). Jakarta FNN – Sanin (02/11). Dr. Ahmad Yani, SH.MH, dipanggil penyidik. Yani akan diperiksa sebagai saksi. Pemanggilan tersebut terkait dengan dugaan perkara tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan/atau kelompok berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) melalui media sosial. Kata Ahmad Yani, saksi itu kan orang yang mengetahui dan melihat peristiwa pidana. Tetapi sayangnya di surat itu tidak dijelaskan siapa tersangkanya? Dimana lokasinya? Cukup membingungkan memang, tetapi sebagai warga negara wajib hadir," jelasnya ((RMol, 1/11/2020). Pemeriksaan ini, normatifnya, merupakan kebutuhan penyidikan. Pasti dikerangkakan pada kebutuhan membuat kasus yang sedang disidik, bukan diselidiki, menjadi terang. Terang untuk dua hal, peristiwa pidananya dan pelakunya. Ini menarik untuk dianalisis. Kasus Hipotetik Menjadi saksi untuk tersangka siapa? Oleh karena tidak jelas, maka peristiwa “percobaan penangkapan” atau “ngobrol-ngobrol” beberapa waktu lalu di kantor Dr. Ahmad Yani beralasan untuk dipakai membuat kasus hipotesis. Yani menjadi saksi pada kasus ini. Perbuatan apa yang mengakibatkan Anton Permana ditetapkan jadi tersangka? Beritanya cukup beragam. Tidak ada penjelasan spesifik. Tetapi dari berita itu dapat dibuat hipotesis tentang kasusnya. Kasus hipotetiknya, Anton disuruh, atau mengambil sendiri atau diberikan pernyataan tertulis resmi KAMI dari personil KAMI, siapapun itu. Pernyataan itu dibuatkan narasi lalu dimuat di media elektronik, video atau apapun itu, miliknya. Setelah itu disebarkan. Begitulah kurang lebih kasus hipotetiknya. Bila dalam pemeriksaan atas dirinya atau saksi fakta lain, diperoleh fakta bahwa Yani mengetahuinya, pemanggilan ini beralasan. Kenyataan inilah yang dapat dipastikann diminta penyidik untuk diterangkan. Namun adakah saksi lain yang menerangkan hal yang sama? Setidaknya sebagiannya mirip? Bagaimana bila tidak ada, dan Yani punya alibi? Menarik. Bagaimana Juris memeriksa kasus hipotetik ini? Juris pasti memulai penalarannya dengan mengidentifikasi, mengorganisasikan, dan mengkategorisasi perbuatan itu, lalu memeriksa hukumnya. Ini sangat standar. Ini konsekuensi ajaran negara hukum, dan norma hukum selalu bersifat hipotetik. Tidak ada peristiwa, apapun itu, yang dapat dikualifikasi pidana, bila tak ada hukum positif mengkualifikasi peristiwa itu sebagai peristiwa pidana. Ingat itu baik-baik. Juris juga akan menginferensi kasus itu dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan primer. Pertama, apakah pernyataan KAMI yang dibuatkan narasi, entah oleh Anton sendiri atau orang lain, sebagian atau seluruhnya melawan hukum? Lalu disebarkan oleh Anton? Kedua, siapa yang membuat pernyataan tertulis itu? Dan siapa yang menandatanganinya? Serta siapa yang menyebarkan pernyataan itu untuk pertama kalinya? Nalar serendah apapun, tidak mungkin menyatakan bahwa sifat melawan hukum atau kualitas pidana serta-merta disandang pada peristiwa penyebaran pernyataan KAMI itu, hanya karena media elektronik. Tidak begitu. Tidak ada nalar hukumnya. Isi, sekali lagi isi materi pernyataan pada media elektronik you tube atau instagram itulah penentu determinatif kualifikasi hukum atas peristiwa itu. Tidak lebih dari itu. Hanya Itu saja. Konsekuensinya isi pernyataan-di dalam you tube atau instagram itulah yang pertama-tama harus dianalisis hukumnya. Apa saja isi pernyataan tertulis KAMI itu? Apakah pernyataan itu berisi seruan kepada buruh untuk melakukan mogok nasional? Bagaimana hukumnya bila pernyataan itu tidak berisi seruan, melainkan menyatakan dukungan verbal kepada buruh yang akan melakukan mogok nasional? Apakah pemogokan benar-benar terjadi? Bila terjadi, apakah berskala nasional? Bagaimana bila pemogokan itu terjadi secara parsial? Diatas semua itu, apakah hukum positif mengekategorikan pemogokan nasional atau parsial sebagai peristiwa melawan hukum, dan sifatnya pidana? Hukum positif mengakui mogok sebagai hak dasar pekerja atau buruh. Itu sebabnya hukum positif memberi kategori atas mogok itu. Kategorinya mogok yang sah dan mogok yang tidak sah. Untuk mogok yang tidak sah, ditentukan syaratnya untuk dapat dikategorikan sebagai peristiwa pidana. Itulah esensi pasal 186 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 186 ini menunjuk mogok pada pasal 137 dan 138 ayat (1) sebagai tindak pidana “sejauh” sekali lagi “sejauh” mogok itu tidak memenuhi keadaan-keadaan yang disyaratkan pada pasal 137 dan 138 itu. Hipotesiskan saja bahwa mogok itu benar-benar terjadi. Itu untuk sekadar menjaga nalar analisis. Dititik ini muncul masalah hukum sederhana yang sangat menarik. Masalahnya siapa yang mogok? Buruh atau pekerja? Siapa mereka, serta dimana peristiwa mogok itu? Bila ada buruh atau pekerja yang mogok, siapa tersangka dalam peristiwa mogok itu? Adakah itu? Bila ada, maka masalah melawan hukum pernyataan KAMI menjadi mudah dikonstruksi. Sebaliknya, bila tidak ada buruh atau pekerja yang ditersangkakan oleh penyidik, maka muncul soal hukum yang tidak sederhana. Mengapa? Untuk alasan apapun, kenyataan itu harus dianggap secara hukum pemogokan, sekalipun benar-benar terjadi, tidak dapat dikategori sebagai mogok yang tidak sah, yang memiliki kapasitas sebagai peristiwa pidana. Kenyataan itu menimbulkan konsekuensi yang sangat elementer. Apa konsekuensinya? Pertama, pernyataan tertulis KAMI tidak memiliki kapasitas sebagai pernyataan yang menyandang sifat melawan hukum. Apalagi melawan hukum pidana. Sekali lagi tidak. Kedua, karena pernyataan KAMI tidak memiliki kapasitas atau sifat melawan hukum, maka berlakulah prinsip “cesante causa cessat efectus” (dari penyebabnya, dapat ditetapkan akibatnya. Kalau penyebabnya berhenti, akibatnya juga berhenti). Oleh karena penyebabnya tidak melawan hukum, maka tindakan memberi dukungan itu, demi hukum, harus dianggap tidak melawan hukum. Karena tidak melawan hukum, maka isi pernyataan yang dinarasikan, lalu disebarkan secara elektronik itu, demi hukum tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum. Begitu nalar hukum berbicara. Titik. Bisa Buntu Hipotesiskan saja pernyataan tertulis KAMI itu memiliki sifat melawan hukum. Apa konsekuensinya? Cukupkah Dr. Ahmad Yani seorang diminta keterangannya sebagai saksi? Jelas tidak, apapun alasannya. Tidak ada ilmu hukum pidana yang dapat dipakai untuk membenarkannya. Konsekuensinya? Pertama, keterangan Dr. Ahmad Yani akan jadi titik tolak pengembangan menuju saksi lain. Kemana arahnya? Pemeriksaan ini bisa saja berkerangka mencari dan menemukan tersangka baru. Begitu nalar normatifnya. Konsekuensi teknisnya? Penyidikan ini harus menemukan kenyataan-kenyataan berupa bagaimana pernyataan itu dirancang? Siapa konseptornya? Pernyataan KAMI itu dikonsep oleh seorang saja, atau dikonsepkan oleh beberapa orang? Setelah lebih dahulu dirapatkan dan diputuskan dalam rapat KAMI? Siapa saja yang bicara dalam rapat itu, dan siapa bicara apa? Semua harus dijadikan materi pemeriksaan. Kedua, siapa yang mengetiknya, siapa mengeditnya, hingga siapa yang menyodorkan pernyataan itu kepada presidium KAMI untuk ditandatangani. Bahkan siapa yang memfasilitasi press conference atau menyebarkan pernyataan itu ke media massa. Semuanya harus diperiksa. Sungguh menarik menganalisisnya dari sudut hukum. Terlihat jelas adanya masalah yang tak sederhana. Apa masalahnya? Sejauh ini tidak ada satu pun buruh atau pekerja yang ditersangkakan karena melakukan perbuatan mogok. Ini vocal pointnya. Tidak ada orang ditersangkakan atas perbuatan yang didukung, tetapi ada orang ditetapkan jadi tersangka karena memberi dukungan? Tidak ada perbuatan yang dikualifikasi pidana, dan tidak orang yang ditersangkakan, tetapi ada orang turut serta menjadi pelaku tindak pidana? Kecermatan profesional benar-benar harus bicara. Tetapi lupakan dulu keadilan, lupakan dulu prinsip minimum negara hukum, yang diputuskan pada International Commission of Juris dalam kongresnya di Athena, Yunani tahun 1968. Menurut Profesor Ismail Suny, salah satu sayarat esensial minimum Rule of Law yang diputuskan dalam kongres itu adalah keamanan pribadi harus dijamin. Profesor Suny menyatakan tak seorang pun dapat ditahan atau dipenjarakan tanpa satu keputusan hakim atau untuk maksud-maksud prefentif (Ismail Sunyi, 1981). Esensi syarat ini dilembagakan dalam KUHAP, dan belakangan dalam UUD 1945. Apabila rute ini ditempuh secara profesional, due process of law, maka kasus ini pasti, bahkan mutlak bergeser dari tindak pidana ITE, ke tindak pidana biasa. Konstruksi tentang pelaku dan turut serta berubah secara fundamental. Anggap saja eksponen KAMI kelak dituduh menghasut. Soal hukumnya, siapa yang dihasut? Untuk memastikan siapa yang dihasut, mau tidak mau, orang yang dihasut itu telah ditetapkan jadi tersangka. Suka atau tidak. Begitulah hukumnya. Siapa dia? Sejauh ini tidak tersaji fakta adanya buruh atau pekerja, atau siapapun itu yang ditetapkan menjadi tersangka, karena melakukan perbuatan yang diangap dihasut. Bila mogok dianggap sebagai hal yang dihasut, maka tanpa adanya tersangka karena pemogokan itu, demi hukum, harus dianggap hal yang dihasut tidak terjadi. Bagaimana bila dikerangkakan pada pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946? Terlihat dari rumusannya, elemen penentu dalam pasal ini adalah kabar bohong dan keonaran. Pembaca FNN yang budiman. Mau kabar bohong sehebat apapun, tetapi kabar bohong itu tidak mengakibatkan hal yang dilarang yaitu keonaran, maka tidak ada tindak pidana. Keonaran adalah hal (keadaan) yang diakibatkan dari kabar bohong. Keonaran menjadi hal inti larangan. Kalau akibatnya tidak terjadi, maka tidak ada, sekali lagi, tidak ada tindak pidana. Apa hukumnya bila pernyataan itu dikualifikasi menyebarkan kebencian atau fitnah kepada individu, golongan masyarakat, suku atau agama? Menggunakan pendekatan “isolasionis” atau “pragmatic encrichment” atau “purposivstis” dalam ilmu interpretasi, yang dikenal sebagai pendekatan terlonggar sekalipun, tidak bisa. Mengapa? Terminologi menguntungkan buruh asing, atau oligarki misalnya, tidak dapat diberi kapasitas dan sifat kebencian. Mengapa? Sifat itu dihilangkan sendiri oleh UU Omnibus Cipta Kerja. Dari data tersaji UU itu dibicarakan sebagai UU yang akan mengakselerasi investasi. Investor, dimana pun, selalu dapat membawa tenaga kerjanya, terlepas dari expert atau tidak. Menggunakan pendekatan itupun, tidak dapat mengubah kata-kata tertulis KAMI tentang dukungan verbal itu sebagai kebencian. Termasuk tidak dapat mengubah pengertiannya menjadi kabar bohong, yang mengakibatkan terjadinya keonaran. Bisakah unjuk rasa diinterpretasi menjadi bentuk ekspresif kebencian? Bisakah unjuk rasa diinterpretasi menjadi keonaran? Tidak bisa. Hukum membenarkan unjuk rasa di negeri ini. Disisi lain, kenyataannya RUU Omnibus Cipta Kerja telah disahkan menjadi UU. Tindakan pengesahan, tidak dapat diinterpretasi, sekalipun dengan pendekatan terlonggar di atas, sehingga pengertiannya berubah dari disahkan menjadi tidak disahkan. Pembuat UU, DPR dan Presiden tidak bisa diinterpretasi menjadi satu golongan masyarakat atau individu. Benar-benar menghancurkan UUD 1945, bila pembuat UU diberi kapasitas dan sifat hukum sebagai satu golongan atau individu. Diatas semua itu, menarik memang menantikan ujung proses kasus ini. Bisa saja buntu. Namu bisa juga berkembang. Akankah penghentian penyidikan segera datang? Atau justru terus bergerak sampai ke pengadilan? Kalau pakai ilmu hukum positif, maka nampaknya penghentian penyidikan yang paling mungkin segera datang. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Anies Selamatkan Wajah Indonesia di Mata Dunia
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (02/11). Annoucement: Jakarta, Indonesia has won the 2021 Sustainable Transport Award! Congrutalations to the city for the exemplary achievement in public transportation, particularly with transjakarta. Begitu ungkap Institut For Transportation and Developnent Policy (ITDP) sebuah organisasi yang berbasis di New York. Jakarta oleh ITDP dinobatkan sebagai kota terbaik dunia untuk managemen transportasi. Jakarta menyabet juara pertama Sustainable Transport Award (STA). Ini untuk pertama kalinya negara di Asia Tenggara mampu menjuarai ajang STA. Tahun 2019 lalu, Jakarta hanya berada pada posisi runner up (nomor dua). Namun tahun 2020 ini Jakarta meraih juara pertama. Artinya apa? Ada progres perbaikan-perbaikan. Ini menunjukkan Jakarta terus mengalami perbaikan dan perkembangan dari hari ke hari. Atas penghargaan ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah berhasil menyelamatkan wajah Indonesia di mata dunia internasional, kata Andi Arief, politisi Demokrat. Benar kata Andi, di tengah-tengah krisis ekonomi dan rusaknya demokrasi Indonesia di mata dunia, Anies berhasil membawa Jakarta sebagai kota terbaik dunia. Selamat ya Anies. Anda telah berhasil menyelamatkan wajah bangsa Indonesia di mata komunitas internasional. Begitu ucapan yang disampaikan sejumlah kalangan kepada Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta. “Alhamdulillah, ini untuk Pemprov DKI. Ini untuk warga Jakarta”, tegas Anies. Ada rasa syukur. Namun ada juga kerendahan hati. Anies sadar bahwa ini semua bukan semata-mata hasil kerja dirinya. Tetapi kolaborasi pegawai di Pemprov DKI bersama seluruh warga DKI. Sekali lagi, seluruh warga Jakarta. Tentu saja termasuk yang sering mendemo dan meminta Anies mundur. Bahkan Anies pun tak keberatan kalau prestasi ini lalu dikait-kaitkan dengan dua gubernur sebelumnya. Mungkinkah memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan tiga piala dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan berbagai kategori akan juga diklaim oleh pihak-pihak sebelumnya menjabat Gubernur DKI? Memang di mata publik, terasa tak adil. Aapalagi kalau terkait kasus ratusan miliar untuk Rumah Sakit Sumber Waras, pembelian tanah Cingkareng, tanah BMW, hasil reklamasi, dan kasus mangkraknya ratusan bus transjakarta, Anies harus menghadapi dan menyelesaikannya sendirian. Seolah-olah tidak ada keterlibatan pihak-pihak sebelumnya. Tetapi jika menyangkut prestasi yang diraih DKI Jakarta, ada saja banyak pihak yang sepertinya tak rela. Bahkan ingin mengambil hak paten tersebut dari Anies. Oke saja, tak apalah. Itu bagian dari dinamika. Kembali soal transportasi, Jakarta dianggap sangat ambisius untuk membenahi transportasi kota, begitu komentar ITDP. Ini wajar mengingat Jakarta adalah kota yang secara turun-temurun macet ddan semrawut. Ini jadi PR prioritas yang harus segera diselesaikan. Melalui program Jaklingko, Anies berupaya mengurangi tingkat kemacetan. Langkah Anies cukup berhasil. Dengan program Jaklingko, pengguna transportasi umum naik signifikan. Dari 360 ribuan orang di tahun 2017, naik menjadi lebih dari 1 juta orang di tahun 2020. Jakarta yang sebelumnya menduduki peringkat empat besar kota termacet dunia, sekarang telah naik menjadi peringkat ke 10 (Tom Tom Traffic Index) Tak hanya Jaklingko. Pembangunan trotoar dan jalur bersepeda di jalan protokol juga bagian dari sinergi langkah Pemprov DKI untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Apalagi di masa pandemi corona, warga Jakarta yang beralih ke sepeda naik sepuluh kali lipat. Program Jaklingko tidak saja menyatukan seluruh moda transportasi Jakarta secara fisik. Tetapi juga persoalan biaya. Uang senilai Rp. 5.000 adalah biaya yang cukup murah, hemat dan ekonomis untuk ukuran kota metropolitan seperti Jakarta. Jadi teringat ucapan Anies, "saya tak akan jawab dengan kata-kata, tetapi saya akan jawab dengan kerja dan karya". Anies nampaknya berhasil membuktikan ucapannya itu. Warga Jakarta, juga rakyat Indonesia akan menunggu bukti-bukti berikutnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Memindahkan Papua Dari Bahu ke Mobil (Bagian-2)
by Luthfi Pattimura Jakarta FNN – Rabu (01/11). Kebijakan pengembangan wilayah dalam upaya memotong rentang kendali di Papua dimulai dengan pembagian wilayah administratif (funsional region). Itu sesuai amanat Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1996 Tentang Pemekaran Provinsi Papua. Papua pun dibagi menjadi Papua, Papua Barat dan Papua Tengah. Sampai saat ini baru terealisasi penambahan 1 (satu) propinsi, yaitu Papua Barat. Padahal selain membagi Papua dalam tipologi, pembagian wilayah juga diikuti dengan kelahiran UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Papua. Lahirnya regulasi itu sebagai atribusi kebijakan merespons tuntutan perhatian pemerintah terhadap persoalan sosial ekonomi dan politik yang terjadi di Papua. Paling tidak, ada lima sasaran utamanya. Yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, infrastruktur dan afirmasi. Berkaitan dengan pembangunan infrastruktur dinyatakan tegas dalam Pasal 33 ayat 3 huruf C, bahwa dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan oleh pemerintah dan DPR didasarkan pada usulan provinsi pada setiap tahun anggaran. Dana tambahan itu terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Selanjutnya pasal 33 ayat 3 huruf f menyebutkan, pembangunan infrastruktur dimaksudkan agar sekurang-kurangnya dalam dua puluh lima tahun seluruh kota-kota provinsi, kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas. Dengan demikian, Papua sebagai salah satu provinsi di Indonesia dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik, serta menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dan global. Kita perlu memberikan apresiasi terhadap kerja keras atau boleh disebut kerja cerdas pemerintah dengan cap Nawacita. Ada empat agenda yang berkaitan langsung dengan tujuan pembangunan infrastruktur jalan yaitu agenda 3,5,6 dan 7. Agenda tiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Agenda lima meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Agenda enam meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Agenda tujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Indikator capaian terhubungnya Propinsi Papua Barat dengan Propinsi Papua menjadi parameter output yang memastikan implementasi amanat Otsus tercapai. Lalu, apakah trans Papua efektif mendorong pergerakan arus orang. Juga pergerakan barang dan jasa sebagai penggerak utama (prime mover) terhadap multiplier effect yang akan dinikmati oleh penduduk Papua? Perlu dicermati. Keberadaan jalan pastilah dinikmati penduduk, terutama yang selama ini terisolasi. Setidaknya, waktu perjalanan bisa lebih cepat. Biaya angkut lebih murah. Volume angkut bertambah, dan akan berujung pada penungkatan mobilitas. Itu berarti, pembangunan jalan seharusnya mampu menjawab pertanyaan esensialnya. Jalan di bangun untuk apa dan bagi siapa? Indikator keberhasilan pembangunan jalan tidaklah cukup diukur dengan output melalui tersedianya atau terbangunnya jalan (performance indicator). Tetapi, seharusnya pada apakah jalan itu memberikan manfaat bagi masyarakat pengguna? Memberi dampak terhadap persoalan pembangunan manusia, terutama kesejahteraan (substantive goals). Laba jangka panjang dari sebuah investasi pemerintah. Trans-Papua Jumlah pengguna jalan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mungkin sudah lebih dari cukup. Tetapi bagaimana rasanya menggunakan jalan bagi mereka yang berada di pegunungan Papua? Yang membikin Janiver Manalu terenyuh? Dengan mencoba mengurai pertanyaan semacam itu, maka kita bersepakat bahwa jalan merupakan salah satu prasarana yang vital. Jalan sebagai upaya meningkatkan pembangunan wilayah dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Tersedianya jaringan jalan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. Bibangun pada lokasi yang tepat, akan mampu meningkatkan aksesibilitas penduduk di wilayah yang bersangkutan terhadap prasarana dan sarana dasar, sosial, dan ekonomi yang dibutuhkan. Anak-anak genereasi pewaris masa depan bisa bersekolah dengan baik. Terutama orang tua mereka dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apabila sakit, penduduk dapat dengan mudah menjangkau fasilitas dan layanan kesehatan yang tersedia. Maka, aksesibilitas yang baik, akan mengurangi biaya transportasi. Sehingga produk-produk yang dihasilkan penduduk perdesaan, khususnya komoditas pertanian memiliki daya saing yang cukup baik. Sebaliknya, keterbatasan jaringan jalan akan menyebabkan keterisolasian. Sehingga menghambat penduduk untuk keluar dari berbagai persoalan pembangunan, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta tingginya kemiskinan. Kalau boleh kami bercerita lagi. Gambaran teknis dari cerita Janiver juga kami dengar dari Ir. Osman H Marbun M.MT. yang menjabat Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) XVIII-Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga-Kementerian Pekerjaan Umum dan Parumahan Rakyat (PUPR), tentang Trans-Papua. “Rencana pembangunan jalan Trans-Papua termasuk Papua Barat, yang panjangnya 4.330 kilometer (km), sudah 95% selesai. Tinggal 154 kilometer lagi di tahun 2019 kita tangani. Itu berada di 10 segmen untuk Papua, dan dua segmen di Papua Barat,” jelas Osman. Suatu sore sepulang ngobrol dengan Omah Laduani Lasamai, Kepala Badan Litbang Provinsi Papua, kami duduk ngemper di lantai teras hotel. Terngiang pernyataannya, bahwa, infrastruktur di Papua adalah yang harus berbasis kearifan lokal. Baik alam maupun sosial budaya. “Kebutuhan paling mendesak orang Papua saat ini adalah kemandirian dan kesejahteraan. Jadi, masalah yang harus lebih didalami adalah kesejahteraan yang bisa didapat dari menggarap potensi kearifan lokal.” Pernyataan Laduani seperti menepuk bahu kami yang memikul pernyataan Kuahaty bahwa, infrastruktur jalan di Papua secara sempit musti memprioritaskan komunitas dan komuditas. Bahkan kini saatnya orang Papua memindahkan komuditas dari bahu ke mobil. Karena secara luas, kita masih melihat wilayah-wilayah dengan jaringan jalan yang terbatas. Ditandai dengan kondisi permukaan jalan yang buruk. Jembatan yang sempit, atau banyak belokan tajam, dan curam. Inilah bukti bahwa gagasan dan praktek memang kadang memiliki tenaga dan keterbatasan sendiri-sendiri. (bersambung).