OPINI
KAMI Gerakan Moral, Dihalangi “Gerakan Tidak Bermoral”
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (07/09). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) memang fenomenal. Sambutan masyarakat luas cukup besar. Dukungan juga sangat luar biasa. Mungkin karena menaruh harapan ada gerakan moral yang diusung oleh KAMI. Situasi politik, ekonomi, budaya hingga ideologi yang sedang bergoyang-goyang mungkin sekali segara goyah. Penegakan hukum juga amburadul. Makelar Kasus (Markus) bermunculan di kantor-kantor yang menjadi simbol penegakan hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Terakhir asus Joko Tjandra sebagai contoh paling telanjang. Hukum hanya tajam ke bawah, dan tumpul ke atas. Masyarakat khawatir terhadap resesi ekonomi, budaya atau politik di kalangan penyelenggara negara. Baik itu yang di Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Teta kelola negara kacau-balau, matiran dan amburadul. Baca tulisan Margarito Kamis, “Politik Setan Dalam Pembentukan UU” (FNN.co. edisi 06/09). Untuk itu, harus ada koreksi kepada penyelenggara negara. KAMI yang mau deklarasi di Jawa Barat ternyata tidak mudah. Rencana akan dilaksanakan deklarasi di Gedung Bikasoga sudah "clear". Tapi entah tekanan dari mana "ujug-ujug" melakukan pembatalan sepihak. Begitu juga dengan pemindahan ke Hotel Grand Pasundan, pada H-1 tiba tiba juga dibatalkan sepihak dengan alasan adanya Surat Satgas Covid 19 Provinsi Jawa Barat. KAMI Jawa Barat mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan hukum. Rupanya ada hambatan dan penghalangan dari pelaksanaan asas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Polanya mempersulit kegiatan yang dinilai tidak sejalan dengan pandangan dan kebijakan Pemerintah. Demo-demo murahan juga dimunculkan. Covid 19 selalu menjadi alasan bahkan tunggangan dari kepentingan. KAMI sebagai gerakan moral tidak boleh menyerah. Kebenaran dan keadilan harus terus diperjuangkan walaupun menghadapi seribu kesulitan. Tekanan politik biasa dilakukan oleh penguasa yang takut terusik akan kemapanannya. Penguasa yang mengalami sindroma berat penyakit takut diturunkan dari singgasana. Menghantui siang dan malam. KAMI sebagai Gerekan Moral dipastikan bakal dihalang-halangi oleh “Gerakan Yang Tidak Bermoral”. KAMI di daerah-daerah terus bermunculan. Tumbuh sebagai kekuatan yang ingin meluruskan arah kiblat berbangsa dan bernegara. Buzzer, influencer, maupun "covider" (mereka yang menunggangi pandemi covid) boleh berusaha untuk mengotak-atik dan melemahkan. Sayangnya, dimana dan kapanpun gerakan moral itu sulit untuk ditangkal. Karena suara langit yang ikut menggemakan. KAMI memang dipersulit, tetapi tidak akan lari terbirit-birit. Apalagi hanya didasarkan pada alasan covid. Walaupun protokol sudah dinyatakan siap dijalankan dengan tertib. Masih saja dicari-cari alasan untuk mempersempit. Makin dipersulit, makan betrsemangat KAMI. KAMI berjuang untuk agama, bangsa, dan negara bukan untuk menduduki kursi kekuasaan. Bukan pula untuk menjatuhkan siapapun. Meski kursi kekuasaan yang diduduki itu semakin lapuk atau tak terawat. Keyakinan KAMI adalah penguasa itu akan jatuh disebabkan oleh perbuatannya sendiri, oleh kebodohannya sendiri, dan oleh penghianatannya sendiri kepada rakyat. Sekali lagi KAMI memang terpisah dari KAMU. Apalagi KALIAN yang bukan saja beda nama, tetapi beda haluan perjuangan. KAMI Jawa Barat yang dizalimi tidak dendam pada siapapun. Tetapi secara ksatria mengajak untuk bertarung gagasan, konsep, maupun program dengan siapapun. Mari beradu gagasan, konsep dan program untuk menyelamatkan Indonesia. Marilah kita memulai langkah itu dengan berkoalisi dalam aksi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Narasi Islamphobia, Instrumen Pemecah Belah Bangsa
by Anton Permana Jakarta FNN – Senin (07/09). Berhentilah menuduhkan hal yang sangat tidak baik kepada ummat Islam Indonesia. Apalagi dengan narasi basi seperti isu radikalisme, khilafah, dan intoleransi. Tak ada gunanya. Hasilnya pasti akan mengecewakan. Lambat laun, ummat Islam akhirnya tahu juga ada apa dibalik semua narasi itu. Semua tak lain hanyalah agenda Islamphobia. Agenda membangun kebencian dan ketakutan terhadap agama Islam. Ummat Islam semua sudah tahu, bahwa agenda Islamphobia ini adalah "pesanan" asing para globalis yang ingin secepatnya menguasai negeri ini. Stigma Islamphobia ini sudah terjadi berulang kali sejak fase zaman kolonial dulu. Hanya corak dan polanya saja yang berbeda. Kenapa pentingnya agenda Islamphobia ini semakin menjadi-jadi belakangan ini ? Jawabannya adalah : Pertama, sejak masa penjajahan, kelompok yang paling terdepan melawan dan mengusir penjajahan adalah ummat Islam. Mayoritas pejuang tangguh, pemberani, pahlawan, dan konseptor negara ini dari dari dulu adalah ummat Islam. Kedua, dari masa ke masa, dari orde ke orde, yang selalu terdepan menentang setiap penyelewengan terhadap negara ini adalah ummat Islam. Baik itu orde lama dalam melawan PKI, orde baru menentang azas tunggal dan KKN, maupun orde reformasi hari ini dalam menentang upaya mengganti Pancasila dan upaya menjadikan negeri ini berhaluan komunis. Ketiga, ummat Islam selalu sensitif terhadap nilai ketidakadilan, penjajahan, dan kesewenang-wenangan hingga menjaga kedaulatan bangsa. Ummat Islam juga sangat peduli terhadap pembangunan akhlak generasi bangsa agar jauh dari segala perbuatan maksiat yang dapat melemahkan bangsa dari dalam. Artinya, Ummat Islam sebagai mayoritas 88 persen di negeri ini mempunyai tanggung jawab moral dan peran penting secara kolektif untuk menjaga negeri tetap berjalan dengan baik menggapai tujuan bernegara. Islam adalah sejatinya benteng utama dan terakhir negeri ini. Namun ternyata, hal ini menjadi masalah besar bagi kelompok yang ingin sekali mengusai secara total negeri ini. Ternyata ada kelompok orang yang menganggap Islam adalah "benteng utama" yang menjadi penghalang untuk agenda mereka menjajah dan menjarah negeri kaya raya ini. Karena, secara ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dan Hankam, kelompok ini hampir total dikuasai. Melalui kekuasaan politik yang secara halus sistematis sudah mereka ambil alih. Ini adalah fakta buruk hari ini. Sejenak, mari kita lihat secara logika jernih dan akal sehat. Yang menjadi permasalahan utama di negeri ini adalah korupsi, ketidak adilan hukum, narkoba, LGBT, penjarahan terhadap sumber kekayaan alam oleh negara asing. Juga hilangnya identitas dan karakter asli bangsa Indonesia menjadi latah tidak berjati diri. Belum lagi rusaknya tata kelola dalam pemerintahan. Betul bukan? Tak terhitung hasil kekayaan alam negeri ini disedot keluar, baik lewat udara, darat, dan lautan. Tak terhitung triliunan dolar Amerika uang negara menguap untuk kepentingan para elit oligharki, korporasi dan konglomerasi bersama cukong-cukongnya. Akibat semua itu, hari ini negara bangkrut. Hutang menggunung. Kemiskinan menjadi-jadi. Lapangan kerja sulit, harga sembako melambung, keharmonisan antar masyarakat terpecah belah. BUMN tergadai dan terancam lepas. Kedaulatan negara hilang di bawah dikte negara asing. Sarana prasarana kehidupan rakyat lebih banyak di kuasai asing dari pada negara dengan kedok investasi. Namun anehnya, semua permasalahan itu seolah diabaikan saja. Jarang dijadikan isu untuk sebuah perbaikan agar negeri ini menjadi lebih baik. Bagaimana bayar hutang yang menembus angka Rp 6.000 triliun ini? Kemana hasil sumber kekayaan alam kita yang luar biasa ini? Kemana uang hasil hutang Rp. 1.000 triliun UU Corona, karena faktanya rakyat tetap mesti bayar rapid-swab test dan beli masker? Kemana Harun Masiku? Apa penyebab terjadinya kebakaran kantor Kejagung? Siapa dalang di balik kasus memalukan Tjoko Chandra? Siapa aktor kuat di balik banjir narkoba di negeri ini? Kenapa pesta sex gay LGBT bisa leluasa? Kenapa semakin banyak TKA China masuk? Banyak lagi permasalahan kritis negeri ini kalau mau kita urai. Namun faktanya. Penguasa justru berupaya sebaliknya. Penguasa menyeret permasalahan agama seolah yang menjadi penyebab segala kerusakan bangsa hari ini. Apa hubungannya? Sangat aneh bukan? Jauh panggang dari api. Agama seolah dipaksa jadi sasaran kondikte otentik yang wajib dipersalahkan untuk menutupi semua kebusukan yang terjadi. Kenapa ini mereka melakukan? Ini jawaban dan analisanya Pertama, narasi Islamphobia sangat ampuh untuk mengalihkan perhatian publik dari "kejahatan" yang mereka lakukan terhadap negara. Sekalian membungkam duluan para kelompok agama khususnya Islam yang mau protes (melawan). Kedua, untuk menguasai negeri ini, berarti harus menaklukan Islam terlebih dahulu. Caranya? buatlah ummat Islam itu benci, takut, jijik, dan meninggalkan ajaran agamanya. Buat opini seolah Islam itu sumber segala sumber masalah di negeri ini. Bukan menjadi sumber segala nilai kebaikan lagi. Balikan semua persepsi itu dengan sihir media dan kekuasaan. Strateginya? Agenda Islamphobia dengan isu narasi radikalisme, khilafah, dan intoleransi. Termasuk pembunuhan karakter terhadap para tokoh bangsa yang beragama Islam di buat seburuk-buruknya. Congkel dan publish segala keburukan tokoh Islam. Kalau tidak ada keburukan, ciptakan fitnah atau jebak dengan berbagai cara. Tujuannya apa? Agar terbentuk opini tak ada satupun tokoh bangsa yang beragama Islam yang baik di negeri ini. Semua rusak dan bermasalah. Ada saja salah dan buruknya. Hanya tokoh dari kelompok mereka saja yang baik. Dilakukan melalui bombardir media, buzze rupiah, dan influencer yang di biayai. Ketiga, kuasai politik, ekonomi dan pemerintahannya. Ketika Islam mayoritas, jual dengan indah bahasa toleransi dan buat agama itu sakral agar jauh dari politik. Agar ummat Islam terbuai dan tidak peduli akan politik dan ekonomi. Namun setelah kekuasaan di tangan, baru buat aturan untuk menghabisi setiap sendi-sendi ajaran Islam tanpa basa-basi. Keempat, angkat dan jadikan para pejabat yang lemah iman, korup dan bisa diatur. Sebagai jagal (pelayan) untuk menghabisi sesama ummat Islam sendiri. Yang patuh diberi uang, fasilitas dan jabatan. Yang tidak patuh diisolasi dan dihabisi kariernya. Kalau perlu dipenjarakan apapun alasannya. Kelima, sudah terbukti bahwa yang selalu terdepan menentang setiap kezaliman dan ketidak adilan itu adalah tipikal ummat Islam yang taat ibadah, berilmu pengetahuan dan dekat dengan Al Quran. Untuk itu, identifikasi tipikal seperti ini harus dibalik seolah ummat Islam yang taat dan sholeh ini adalah bayangan penjahat dan berbahaya. Caranya beri stigma negatif bahwa identifikasi ummat Islam yang rajin ibadah, hafiz Qur'an, berilmu pengetahuan itu punya motivasi ke-Islaman tinggi adalah para calon teroris radikal dan berbahaya. Tetapi bagi ummat Islam yang sekuler, liberal, opportunis, suka maksiat, bahkan penjahat, dipelihara dan berikan fasilitas jabatan dan uang. Agar terdepan mengisi pos-pos strategis dalam kemasyarakatan. Sebagai corong kekuasaan. Keenam, pecah belah ummat Islam dengan cara merebut jabatan penting organisasi dan lembaga-lembaga ke-Islaman. Pecahkan mereka menjadi banyak kubu, dan selalu provokasi dengan adu domba sesama Ummat Islam agar kemudian saling cakar, saling habisi, dan saling bunuh (devide at ampera). Setelah semua kelompok ini hancur dalam pertikaian, baru terakhir ketika mereka sudah lemah terpecah belah dihabisi sampai ke akar-akarnya. Agenda Islamphobia di negeri ini semakin sporadis dan sistematis. Melalui regulasi dan lembaga negara (kementrian) mereka membuat aturan regulasi yang mempreteli dan memporak-porandakan tatanan keagamaan Islam. Mulai dari pendidikan, pesantren, kurikulum, sejarah, dan politik ekonomi. Pokoknya, mereka selalu berupaya dengan gigih bagaimana membuang sejauh-jauhnya agama Islam dari kehidupan bernegara hari ini. Pengaruh Islam tidak boleh ada dalam pusaran kekuasaan. Yang ujungnya tentu kita semua sudah tahu, yaitu menjadikan negara ini menuju berhaluan komunis dan super liberalis (tanpa agama lagi). Lalu apakah semua ini akan berhasil mulus seperti Andalusia, Singapura dan Manila? Dimana dulunya negeri itu semua adalah negeri Islam. Lihatlah hari ini. Islam menjadi minoritas dan tertindas. Menjadi penonton, bahkan babu di negerinya sendiri? Apakah kondisi ini bisa terjadi di Indonesia? Jawabannya pada diri kita semua. Apakah tetap diam? Tetap jadi pengecut? Atau bangkit dan berjuang membela Negara, Pancasila, dan Agama? Semua kembali kepada diri kita masing-masing. Yang jelas negeri ini sudah sekarat dan selangkah lagi menjadi negara super otoriter berhaluan komunis. Arah dan langkahnya sudah semakin jelas dan nyata. Sudah terang benderang bak matahari di siang bolong. Dan jawaban terakhinya adalah, "Bangkit berjuang, atau punah!". Wallahu'alam. Penulis adalah Dikrektur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
Republik Buzzer
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (07/09). Dunia medsos meniscayakan tumbuh suburnya infuencer atau buzzer. Dua kata yang nggak perlu dibedakan. Karena kerja dan fungsinya sama. Jauh sebelum era medsos, influincer atau buzzer itu dipakai di dunia usaha. Untuk iklan produk. Sebagai alat pemasaran. Di era medsos, buzzer lebih banyak dimanfaatkan jasanya untuk iklan politik. Buzzer saat ini jadi lahan pekerjaan baru yang cukup menggoda. Di sini, ada anggaran besar. Baik untuk buzzer asal-asalan, hingga buzzer kelas profesional. Terutama di tengah angka pengangguran yang semakin besar jumlahnya di masa pandemi, buzzer menjadi salah satu alternatif lapangan kerja yang menggiurkan. Tak semua buzzer itu negatif dan destruktif. Banyak orang yang "secara suka rela" menjadi buzzer atas nama keprihatinan dan moral. Tentu saja, gratisan. Namanya juga relawan. Aktifitas buzzer oleh para relawan dijadikan sebagai alat perjuangan. Buzzer 212 misalnya. Motifnya adalah menuntut keadilan. Ini, tentu positif. Selama tetap menjaga obyektifitas. Kalau kelompok buzzer diklasifikasi, setidaknya ada tiga jenis buzzer. Pertama, buzzer moral. Tidak terikat kecuali pada obyektifitas moral. Pembelaannya hanya pada kebenaran yang dianggapnya rasional. Kalau harus membela dan mendukung seseorang, itu karena secara moral orang tersebut layak dan perlu dibela. Baca, cocok, lalu share. Ini buzzer moral. Pembelaan dilakukan bukan karena faktor kedekatan, juga tidak ada motif uang dan jabatan. Tidak ada ikatan sosiologis karena satu etnis atau organisasi. Tidak pula ada ikatan psikologis, karena teman atau pernah mendapat bantuan. Murni karena yang bersangkutan itu tepat dan rasional untuk dibela. Fenomena dukungan masif terhadap Anies-Sandi di pilgub DKI 2017 menggambarkan hadirnya buzzer moral. Para buzzer tidak membela Anies-Sandi, tetapi melawan ketidakadilan penguasa yang dianggap terlalu jauh intervensinya di Pilgub DKI. Bukan semata-mata faktor Ahok, tapi kekhawatiran sejumlah pihak jika Anies nyapres 2019. Secara teoritis, semakin banyak model buzzer moral, negara akan menjadi lebih baik. Sebab, proses pengelolaan negara akan secara ketat mendapatkan kontrol atau pengawasan. Disinilah terjadi check and balances. Dengan begitu, negara "relatif" bisa diselamatkan dari segala bentuk penyalahgunaan. Buzzer model seperti ini diperlukan untuk menjaga moralitas bangsa. Kedua, buzzer fanatik. Buzzer macam ini sangat militan. Faktor psikologis dan sosiologis seringkali menjadi dasar bagi lahirnya buzzer fanatik. Karena satu kampung, sesama etnis, berada dalam satu partai atau organisasi, simpati berlebihan terhadap performence tokoh, terhipnotis oleh pencitraan, karena faktor "kegantengan" membuat para buzzer itu seringkali bersikap tidak rasional. Bahkan ada yang nggak peduli benar salah. Mereka militan dan membela mati-matian. Bahkan buzzer model ini rela berkorban dan siap mati untuk para tokoh yang dibela. Para buzzer fanatik ini lahir diantaranya karena kekagumannya terhadap kharisma seorang tokoh. Seperti Habib Rizieq di kalangan FPI, Megawati di mata kader PDIP, para tokoh agama bagi para jemaatnya. Tokoh-tokoh kharismatik umumnya berlimpah dukungan buzzer fanatik. Tidak berarti bahwa para pendukung tokoh kharismatik itu hanya dari kalangan orang-orang yang abai terhadap rasionalitas. Tidak juga. Jangan salah paham. Hanya saja, secara teoritis, orang yang tingkat rasionalitasnya tinggi biasanya tidak terlalu fanatik. Ketiga, buzzer komersial. Orang menyebutnya sebagai buzzerRp. Menjadi buzzer adalah profesi. Disini, mereka numpang hidup dan cari nafkah. Sistem kerjanya bervariasi. Mulai ngoceh di medsos, bikin akun palsu, produksi video dan meme, kerahkan demo, sampai menulis artikel. Tugas mereka hanya dua. Pertama membuat iklan untuk pihak yang mensponsori. Namanya juga iklan, pasti bagus-bagus. Mana ada kecap nomor dua. Kedua, melakukan counter attack, atau serangan balik. Untuk menjalankan tugas yang kedua, mereka bersikap reaktif. Muncul hanya ketika ada yang menyerang pihak pembayar. Ciri utama mereka, menyerang orang atau kelompok. Seringkali membabi buta. Kalau ada sedikit otak, mereka menggunakan data. Data yang digunakan kadang ngawur. Dipaksakan supaya analisisnya meyakinkan. Dan di dalam narasinya sering ada kebohongan, bahkan fitnah. Pokoknya, bebas moral. Yang penting dapat bayaran. Biasanya, buzzer komersial ini tidak banyak jumlahnya. Ini berkaitan dengan keterbatasan anggaran. Tapi, mereka profesional. Ini bisa dilihat pada buzzer penguasa sebagai samplenya. Yang bicara di tv, nge-vlog, bikin video, buat tulisan, komen di medsos, ya orang-orang itu aja. Yang pakai blankon, udeng-udeng, kaca mata, nulisnya keinggris-inggrisan. Jumlahnya nggak lebih dari 10 orang. Karena gencar, masif, terlatih dan ada fasilitas, akibatnya berisik juga. Seolah isi medsos hanya mereka. Mereka hanya muncul saat ada kritik pada kebijakan pemerintah. Sekali lagi, ini hanya sekedar sample. Sample yang lain adalah munculnya para konsultan politik berbungkus survei saat pemilu. Kalangan ini lebih banyak iklan. Dan mereka dibayar untuk terus beriklan. Ngecap, maksudnya. Sesekali bikin meme. Namanya juga lagi nyari duit. Inilah buzzer komersial juga. Maraknya dunia per-buzzer-an di Indonesia ini cukup menghawatirkan. Sebab, dunia persepsi rakyat akan dikendalikan oleh iklan. Tepatnya, pencitraan. Jadi, banyak pemimpin daerah, anggota DPR, boleh jadi juga presiden yang terpilih bukan karena integritas dan kemampuannya. Bukan pula karena track record kerjanya, tapi karena iklan. Ini bahaya. Dan inilah yang terjadi selama ini. Maka muncullah istilah "petruk dadi ratu". Jika banyak Bupati, Walikota, Gubernur, anggota DPR dan presiden lahir karena iklan buzzer, maka negeri ini sudah jadi "Republik Buzzer". Sungguh ini telah jadi petaka! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Tak Perlu Diluruskan, Memang Begitulah Puan Melihat Orang Minang
by Asyari Usman Medan FNN- Senin (07/09). Nasi sudah menjadi bubur. Tak perlulah diolah-olah lagi supaya kembali menjadi nasi. Percuma saja. Toh di mata Puan, orang Minang tidak menerapkan Pancasila. Itulah thesis asli Puan Maharani tentang orang Minang yang selama ini kosisten menolak PDIP. Itulah pandangan Puan. Begitulah yang ada di pikiran dia. Jadi, tidak perlu diusahakan untuk memoles-moles ucapan asli tersebut. Biarkan saja. Puan mengatakan, “…Semoga Sumbar mendukung negara Pancasila”. Mau ditafsirkan oleh ahli bahasa mana pun, kalimat ini mengandung arti tunggal bahwa orang Minang tidak berpancasila. Untuk apalagi dilurus-luruskan. Ditafsir-tafsirkan. Memang itulah yang dimaksudkan Puan. Dan harap diingat. Puan mengucapkan itu dalam konteks yang khusus. Yaitu, ketika dia memberikan sambutan melepas para calon kepala daerah dari PDIP untuk pilkada 2020 di Sumatera Barat (Sumbar). Dari sini, sangat “valid” disimpulkan bahwa, bagi Puan, hanya orang PDIP-lah yang memahami dan menerapkan Pancasila. Orang lain tidak. Apalagi orang Sumbar. Padahal, kalau dicermati langkah-langkah PDIP untuk mengubah Pancasila menjadi Trisila dan kemudian Ekasila, jelas sekali bahwa Partai Banteng ini sudah lama ingin melenyapkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Yaitu, sila yang paling kental mewarnai sikap dan tindak-tanduk orang Minang selama ini. Sekarang, orang-orang PDIP sibuk menukangi ucapan Puan yang sangat berbisa tersebut. Mereka mencari-carikan alasan, mengklarifikasi, dan sebagainya. Sia-sia saja hasilnya. Damage has been done. Sudah terlanjur perasaan orang Minang luka parah. Semakin berusaha untuk dilurus-luruskan, bertambah meruyak nanti luka perasaan itu. Lebih baik Puan tampil ke depan. Minta maaf secara terbuka. Akui saja kesilapan. Selesai barang itu. Perkara nanti orang Minang melestarikan thesis Puan itu, apa boleh buat. Itulah risiko PDIP mencurigai orang lain. Itulah akibat keinginan pimpinan PDIP agar partai mereka itu unggul di mana-mana. Termasuk di Sumatera Barat (Sumbar). Keinginan itu menyebabkan pimpinan Banteng menganggap orang Minang yang tidak menerima PDIP sebagai musuh. Tidak hanya musuh partai, tetapi sekaligus mereka anggap sebagai musuh negara. Musuh negara itu antara lain adalah orang-orang yang tidak berpancasila. Cocok dengan ucapan Puan. Tidak ada salahnya orang PDIP ramai-ramai turun tangan untuk menyelamatkan Puan. Boleh-boleh saja barisan politisi senior PDIP mencoba meluruskan ucapan Puan itu. Silakan saja. Cuma, semakin Anda belok-belokkan peristiwa naas ini ke mana-mana, akan semakin parah. Anda terlihat arogan. Angkuh. Tidak mau meminta maaf. Merasa diri sempurna. Bisa juga nanti publik melihat PDIP sok kuasa. Mentang-mentang lagi punya kekuasaan besar. Seenaknya saja terhadap orang lain yang tidak mendukung PDIP. Kalu Anda tetap merasa tak bersalah, merasa Puan tidak melukai orang Minang, terserah saja. Tidak ada masalah. Sebab, catatan sejarah tentang peranan orang Minang cukup lengkap. Tak bisa dihapus. Mereka ikut merumuskan Pancasila, mereka mengamalkan dan merawatnya.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Politik “Setan” Dalam Pembentukan UU
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Sejak era 1660-an industri kain wol Inggris sudah menyiapkan segala langkah untuk memproteksi bisnisnya. Sebagai contoh, mereka berhasil memengaruhi parlemen untuk meratifikasi UU yang terkenal dengan nama Sumptuary Act. UU ini pada intinya melarang rakyat Ingris memakai pakaian dari bahan tekstil ringan. Pada tahun 1666-1678 mereka melobi parlemen untuk meloloskan sebuah UU. UU yang dilobi pembentukannya ini mewajibkan semua warga Inggris yang meninggal dunia untuk dibungkus dengan kain kafan dari wool (lihat Daron Acemoglu dan James A Robinson,2014). Jakarta FNN – Ahad (06/08). Politik oligarkis, korporasi dan konglomerasi khas abad ke-17 itu, terus menjadi model politik pembentukan hukum hingga kini. Postur politik itu membentang di sepanjang rute sejarah pembentukan hukum negara. Inggris, Prancis dan Amerika, negara tukang khutbah demokrasi ini menggungguli semua negara lain di dunia. Di Amerika politk itu telah bekerja sejak abad 18 lalu. Tepatnya pada awal pemerintahan George Washington. Melalui Alexander Hamilton, kelompok oligarkis itu bekerja meloloskan UU American First Bank pada tahun 1791. Sesudahnya, praktik ini menjadi tipikal politik pembentukan UU di Amerika. Tangan setan oligarki bekerja pada hampir semua UU di bidang keuangan dan ekonomi (tarif). Postur bobrok ini menyempurnakan panorama dunia hukum. Jangkauan tangan-tangan setan itu melebar hingga dunia penegakan hukum. Alhasil pembentukan dan penegakan tidak bisa lepas dari tangan-tangan setan itu. Akuntabilitas, transparansi dan responsibilitas yang menjadi kekuatan inti struktural demokrasi pun, mati konyol. Kaum oligarkis, korporasi,konglomerasi dan cukong-cukong tahu lebih dari sarjana hukum tahu tentang hukum. Berkat bantuan ahli, kalangan oligarki, korporasi dan konglomerasi tahu hukum adalah sumber hak. Hukum juga sumber wewenang. Hak, wewenang, kewajiban dan semua tindakan pemerintahan, mengalir dari dan berdasarkan hukum. Konsep semua tindakan manusia dan pemerintah harus berdasarkan hukum, merupakan cara demokrasi bekerja mewujudkan impian tentang kesamaan derajat. Status civilian setiap orang sama. Equality Before the Law, dalam ajaran ngara hukum demokratis hanya dapat diwujudkan dengan dan melalui aturan hukum. Oligarki, korporasi dan korporasi dalam operasinya tak terlihat. Kekuatannya terasa mengangkangi Indonesia yang tahu cara berpikir itu. Kuncinya kuasai dunia hukum. Sesuai sejarahnya hukum adalah uang besar. Oligarki, korporasi dan konglomerasi yang memegang kunci itu. Bukan politisi. Sialnya dunia politik Indsonesia terlanjur menjadi pusat gravitasi relatifitas nilai. Dunia menegatur hukum itu menyediakan ruang kompromi tanpa ujung. Bekerja dengan teknik tinggi, mengakibatkan tampilan praktis cara kerja oligarkis, korporasi dan konglomerasi sulit didentifikasi. Bukti telanjang tentang eksistensinya tak berceceran. Itu sebabnya sulit menerangkan lolosnya politisi ke senayan, termasuk lolosnya UU Minerba yang baru dalam konteks kerja oligarki, korporasi dan konglomerasi. Panorama kecepatan proses pembentukan UU Minerba, UU Nomor 3 Tahun 2020, memanggil siapapun untuk mempertimbangkan sindrom oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Tetapi secepat kilatnya pembentukan UU MK yang baru saja diubah, tak cukup beralasan untuk dikerangkakan pada kekuatan kerja setan oligarki, korporasi dan konglomerasi. Paradoksnya saat ini UU Minerba dan Perpu Corona sedang diuji di MK. Mungkinkah kedua hal yang saling menyangkal ini menyulitkan MK menari secara mandiri? Tak ada jawaban yang otoritatif. Bukti telanjang tentang tangan oligarkis, korporasi dan konglomerasi bekerja dibalik Perpu Nomor 1 Tahun 2020, juga tak ada. Tak ada juga bukti telanjang tentang tangan oligarkis, korporasi, konglomerasi dan cukong bekerja dibalik DPR, sehingga menerima Perpu parah itu. Perpu ini mengalihkan hak budget DPR. Menabrak nyata-nyata dan telanjang bulat Konstitusi Negara UUD 1945. Pengalihan ini bermakna terjadi penyatuan eksistensi konstitusional DPR pada Presiden. Hebatnya soal fundamental ini tak mengusik cita rasa republikanisme DPR. Entah bagaimana rasionya, DPR malah mengonstitusionalitas imunitas hukum khas abad ke-17 tersebut kepada aparatur pemerintah. Legalisasi itu diatur dengan sangat jelas dalam pasal 27 Perpu Corona. Celakanya DPR mlah setuju saja. Tragis konstitusi bangsa ini. Hanya dengan satu pukulan kecil yang bernama “keadaan genting” konstitusi terpelanting. Konstitusi tersudut lalu jatuh tersungkur dalam keangkuhan interpretasi urakan tentang keadaan genting. Konsep konstitusi tentang “keadaan genting” diterima begitu saja. Ini disajikan sebagai mahkota konyol untuk dipakaikan kepada aparatur pelaksana APBN. Menariknya aparatur pemerintah yang diberi imunitas konyol itu, tidak percaya. Mereka tetap takut untuk dipenjara setelah kekuasaan ini berganti kelak. Kenyataan itu jelas menunjukan bahwa proses pemahkotaannya tak berkerangka pemetaan masalah primer. Padahal itu telah menjadi prosedur kerja standar dalam ilmu pembentukan UU. Menyedihkan sekali. Para pejabat Pengguna Anggaran (PPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tidak mau masuk penjara. Mereka tak tergoda dengan pandangan fungsional ala Robert K. Merton, sosiolog kenamaan tentang hukum itu. Pandangan fungsional ala Merton ini, khas oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Kekhasan itu telah menjadi energi terbesar bekerjanya mesin politik pembentukan UU. Energi ini terlihat samar-samar dibalik kampanye konyol, yang cenderung manipulatif habis-habisan agar RUU Omnibus Cipta Kerja disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat. Padahal RUU ini begitu membahayakan petani dan rakyat kecil disatu sisi. Disisi lain RUU ini terlalu jelas memihak oligarki, korporasi dan konglomerasi. Itu terlihat menajdi alasan meyakinkan Profesor Din Sjamsudin, Presidium KAMI, meminta Presiden dan DPR mencabutnya. Pembaca FNN yang budiman. Apakah Presiden dan DPR akan mengapresiasi permintaan Prof Din Syamsudin dan teman-temanya? Atau malah sebaliknya menyepelekan? Apakah Presiden dan DPR akan mengidentifikasi permintaan itu sebagai hal yang beralasan? Permintaan ini, hemat saya, begitu bening. Esensi permintaan itu, hemat saya, mencegah petani Indonesia semakin jauh terjatuh ke dalam penderitaan. Juga agar sumberdaya ekonomi semakin tak terakumulasi dan terkonsentrasi pada kaum oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Presiden dan DPR, idealnya dapat segera mereorientasi energi politik pembentukan hukumnya. Energinya harus direorientasi mengikuti pandangan Profesor Din. Sekali lagi pandangan itu sejalan pengetahuan akademik tentang demokrasi yang telah begitu canggih memapipulasi hukum. Dengan cara yang rumit, demokrasi menyodorkan mahkotanya yang bernama Equality Before the Law, sebagai justifikasi folosofis UU diskriminatif. Justifikasi ini dibalut dengan justifikasi sosiologis acak kadut. Semuanya hanya bermuara pada satu hal, membenarkan produk hukum-hukum yang memihak pada oligarki, korporasdi dan konglomerasi. Bukan hukum yang memihak kepada rakyat. Balutan sosiologis khas Robert K. Merton, sosiolog kenamaan Amerika itu, membuat Syed Husen Alatas, profesor dan sosiolog kawakan, tak bisa mengerti. Dalam penilaian berkelas Syed Husen Alatas, perspektif sosiologis khas Merton itu korup pada semua aspeknya. Malah merupakan korupsi dalam watak aslinya yang sangat sangat dan sangat sempurna. Korupsi jenis ini memang tidak berakhir di penjara. Itu tidak. Tetapi tetap saja korupsi. Memang korupsi jenis itu tidak dapat dikualifikasi sebagai korupsi tipikal UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 199 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi, sekali lagi, tetap saja korupsi. Malah korupsi jenis ini jauh lebih berbahaya. Mengapa? Korupsi ini dilegalisasi, dibenarkan oleh hukum. Hukum yang dipakai untuk melegalkan struktur korup dalam bernegara. Malah melestarikan penyebab institusional timbulnya korupsi. Menyenangkan bila Presiden dan DPR memiliki energinya republik ini untuk mencegah hukum berfungsi di luar fungsi asasinya. Energi Presiden dan DPR harusnya dipakai untuk menghasilkan hukum yang tak jadi alat perusak negara. Jelas itulah yang dirindukan. Republik punya alaram untuk hukum yang digunakan sebagai instrumen ketidakadilan. Mesin dan energi politik republik Presiden, harus memastikan proses pembentukan UU berjarak sejauh mungkin dari cara-cara setan oligarki, korporasi dan konglomerasi. Mudah-mudahan saja dapat diwujudkan. Sebab Presiden hanya perlu memiliki keberanian bertindak mandiri. Itu saja. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Khurafat Filsafat (Bagian-1)
by Irawan Santoso Shiddiq Jakarta FNN – Ahad (06/09). Frederich Nietzsche berkata, “saya sejak lama ingin hidup di kalangan kaum Muslim, khususnya ketika iman mereka kuat. Dengan ini saya berharap bisa mengasah penilaian saya dan pandangan saya untuk menilai hal-hal kebaratan.” Nietszche memberi pesan tentang indahnya kehidupan berada dalam lingkupan kaum muslimin. Tapi ketika masa keimanan kaum muslimin sangat kuat. Bukan di era modernis Islam kini. Karena kini aqidah muslimin, jamak dikooptasi kaum modernis dan wahabbi. Mereka menggelontorkan aqidah, yang menurut Shaykh Abdalqadir as sufi, “Tauhid yang mengerikan”. Tentu dengan dalih pemurnian Tauhid. Nietszche terkagum dengan Goethe. Pujangg Jerman, yang lebih dulu menyatakan ke-Islamannya. Shaykh Abdalqadir as sufi, ulama besar dari Eropa, berfatwa, Goethe meninggal sebagai muslim. Karena Goethe jamak terkagum dengan Muhammad Shallahu Allaihi Wassalam. Ian Dallas menyebut, pandangan spiritualitas Nietszche, jamak dipengaruhi oleh Goethe. Dan satu kalimat Goethe yang sangat penting untuk manusia modern. Goethe berkata, “mustahil alam dipikirkan sebagai sebuah sistem, karena alam adalah kehidupan”. Dari Goethe menuju Nietszche. Kita akan mendapati Martin Heidegger. Filosof Jerman pada abad 21. Heidegger menggambarkan kesesatan cara berpikir ala filsafat. “Filsafat tidak menemukan Kebenaran”, katanya. Karena Nietszche sebelumnya telah berkata, “Filsafat itulah berhala”. Gambaran mereka menarik. Hingga kemudian kita mendapati ulama kesohor dari Eropa, Ian Dallas. Darinya kaum barat bisa menemukan jawaban. Dallas menggambarkan tentang Islam-nya Goethe, sampai pentingnya Heidegger bagi kaum muslimin. Terutama kaum modernis Islam, yang jamak sibuk membebek pada barat. Karena mereka telah membuat “Filsafat telah mati”. Karena Nietszche lebih dulu mengatakan, “Tuhan telah mati”. Yang membunuh Tuhan, sejatinya adalah “filsafat”. Karena buah pikiran manusia itu. Dari Dallas, “Filsafat telah mati” menemukan jawaban, yaitu kembalinya “tassawuf”. Ini pertanda matinya filsafat, kembalinya Islam. Ini pula yang disebut Nieszche sebagai “ketika keimanan muslimin menguat”. Karena dalam tassawuf itulah terjamin tentang aqidah Islam yang mumpuni. Bukan “Tauhid yang mengerikan” ala modernis Islam dan kaum wahabbi. Dari kalimat Goethe, “mustahil alam dipikirkan sebagai sebuah sistem...” menunjuk bantahan akan filsafat. Goethe hidup kala filsafat tengah menggeliat di Eropa. Kala barat keranjingan filsafat. Goethe hidup seabad setelah Rene Descartes menebar virus “cogito ergo sum” di barat. Jaman ketika Eropa berada dalam kungkungan dogma Gereja Roma. Adagium berkembang kala itu menggeliat “vox Rei vox Dei” (suara Raja suara Tuhan). Eropa terperangah dengan aqidah “jabarriya”-nya Gereja Roma. Gereja Roma tampil menjadi penafsir tunggal ajaran Nasrani, yang wajib dipatuhi. Gereja dan Raja menjadi seperti “ulama dan umara” yang memangku Eropa. Disitulah mencuat perlawanan akan kondisi kekuasaan. Karena pemaksaan “Vox Rei Vox Dei” tadi. Karena satu sisi, Raja jamak menyalahgunakan kekuasaan. Seolah memang itu segala-galanya datang dari Tuhan. Peristiwa pembantaian 2000 orang Huguenot di istana Raja Charles IX, Raja Perancis abad 16, makin memantik perlawanan terhadap “Vox Rei Vox Dei”. Christopher Marlowe, dramawan Perancis, menggambarkan apik kejadian “genosida” karena perang agama masa itu. Dallas mengutipnya dalam kitabnya kesohor, “The Entire City” (telah terbit dalam bahasa Indonesia oleh penerbit MAHKAMAH). Peristiwa “Massacre de Paris”, pembantaian 2000 orang lebih pengikut Protestan, yang dituduh bid’ah. Memunculkan semangat filsafat. Karena beragam pertanyaan mencuat, “benarkah raja tak pernah salah? Benarkah raja itu wakil Tuhan? Apakah perbuatan raja itu dianggap ‘perbuatan Tuhan? Nah, tragedi itulah yang memantik kaum Eropa untuk “berpikir” ala filsafat. Copernicus memberikan bukti. Betapa dogma seolah tak boleh digeser. Pertarungan kebenaran ala Gereja, dan kebenaran sains pun terjadi. Galileo memberikan lagi. Dan Bruno makin memantiknya. Tapi pembakaran dirinya di depan umum, makin membuat kaum Eropa jengah akan dogma. Ini terjadi ketika masa “Eropa Springs”. Ketika kaum Eropa sibuk berperang internal. Sementara jaman itulah muslimin tengah dalam “keimanan yang kuat”, seperti kata Nietszche tadi. Itulah masa Daulah Utsmaniyya tengah dalam kejayaan. Tassawuf langgeng pesat di sana. Francis Bacon lebih dulu mendobrak. Dia menteorikan dengan “being”. “Aku Ada (being), maka aku berpikir (thingking)”. Segala sesuatu, harus bertitik tolak pada manusia. Dan inilah memang filsafat. Karena memang Socrates, Plato, Aristoteles mewariskannya. Masa rennaisance itulah, filsafat di-Kristen-kan. Sementara masa mu’tazilah, filsafat seolah di-Islam-kan. Rennaisance meluncurkan karena ekspor filsafat dari kaum mu’tazilah. Masa ketika Islam dirundung kejayaan sains sebagai anak kandung filsafat. Tapi runtuh secara kekuasaan. Karena jaman mu’tazilah itulah muslimin kehilangan A- Quds sampai runtuhnya Andalusia. Di tengahnya, masa itu pula Khalifah Al Mu’tashim Billah ditangkap oleh Hulagu Khan. Itulah periode muslimin tanpa Khalifah. Masa interagnum pertama. Tapi untungnya aqidah berhasil terselamatkan. Karena ulama-ulama kembali bersuara. Paham filsafat dicegat mutakallimun, Imam Asy’ari, Imam Mathuridi dan ulama besar lainnya. Mereka membantai kesesatan filsafat dalam memahami Tuhan. Dan Imam Ghazali menyerang habis filsafat, “Tahafut al Falasifah”. Serangan Imam Ghazali itu, hingga kemudian memunculkan Shaykh Abdalqadir Al-Jilani, yang membawa kembali muslimin pada tassawuf. Inilah jalan aman untuk memahami Tuhan dan kehidupan dengan benar. Dari situlah lahir Sultan Salahuddin al Ayyubi sampai Daulah Utsmaniyya. Buah dari pengajaran tassawuf, dan menyingkirkan filsafat. Tapi filsafat kemudian menyeberang ke Eropa. Dikutip rennaisance. Thomas Aquinas memulainya. Dia mengutip ajaran Ibnu Rusyd. Aquinas menelorkan perlawanan atas dogma. Kitabnya, “Tweez Warden Theorie” (teori dua belah pedang). Dia mengutip kebenaran ganda. Dulu masa Mu’tazilah, Al Farabi, guru kedua setelah Aristoteles, menelorkan tentang teori emanasi. Kebenaran ganda. Kebenaran ala filsafat dan kebenaran ala Wahyu. Aquinas mengenalkan teori emanasi itu pada Eropa. Maka seolah filsafat juga bisa menemukan “kebenaran”. Dengan teori ala Plato, “ide bawaan” atau ala Aristoteles, “akal bawaan”. Itulah seolah-olah yang kemudian dianggap sebagai “kebenaran”. Padahal Plato mengajarkan, segalanya tak bisa diterima begitu saja, sebelum diteorikan oleh akal manusia. Itu yang disebut dengan “teori”. Masa rennaisance, sama seperti era mu’tazilah. Aqli didudukkan sejajar dengan naqli. Tapi Descartes kemudian mengubahnya. Dia mengajar teori filsafat murni. Cartesius memaksa bahwa segala sesuatunya bisa dianggap kebenaran, jika telah melewati dengan proses saringan akal manusia. “Filsafat adalah dimana manusia, Tuhan, dan alam semesta menjadi ajang penyelidikan manusia,” kata Descartes. Disinilah racun itu kemudian mewabah. (Bersambung) Penulis adalah Wartawab Senior dan Direktur Eksekutif Mahkamah Institute.
Jaksa Agung ST. Burhanuddin Sebaiknya Mundur (Bagian-1)
by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Ahad (06/09). Skandal pengurusan Fatwa Mahkamah Agung senilia U$ 100 juta dollar untuk menunda eksekusi Joko Tjandra telah sangat merusak wajah penegakan hukum Indonesia. Kondisi ini ditambah lagi dengan rencana pengajuan Peninjuan Kembali (PK) untuk membebaskan Tjoko Tjandra dari hukuman dua tahun penjara, entah berapa besar nilainya proposalnya? Joko Tjandra pasti ingin diperlakukan sama adilnya dengan kasus Sudjiono Timan (Yujin) yang bisa mendapatkan pembebasan murni melalui pengajuan PK. Padahal dalam putusan kasasi dan PK sebelumnya menghukum Sudjiono Timan 15 tahun dalam kasus BLBI di PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia senilai U$ 120 juta, setara Rp 1,2 triliun. Skandal Joko Tjandra melibatkan tiga kementrian, dan dua institusi negara setingkat kementerian. Kabarnya, Presiden Jokowi sudah menyampaikan sikapnya. Presiden marah berat atas kasus yang memalukan penegakan wajah hukum di era Jokowi ini. Tiga kemeneterian yang terlibat itu adalah Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Sedangkan dua institusi nergara adalah Kepolisian Negara dan Kejaksaan Agung. Korban pun sudah berjatuhan. Tiga jendral polisi dicopot dari jabatannya, yaitu Irjen Pol. Napoleon Bonaparte dari Kepala NCB Interpol, Brigjen Pol. Nugroho Prabowo dari Sekretaris NCB Interpol dan Brigjen Pol. Prasetyo Oetomo dari Kepala Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri. Bahkan Napoleon Bonaparte dan Prasetyo Oetomo telah ditetapkan oleh Bareskrim Polri sebagai tersangka dugaan gratifikasi, dan terima suap. Selama kenal dengan tiga jendral polisi tersbut, sejak Perwira Menengah (pamen) sampai menjadi Perwira Tinggi (Pati) polisi, tidak ditemukan hal-hal yang aneh dari ketiganya. Mereka bertiga juga bukan masuk katagori polisi lingkangan utama yang bisa dipromisikan dengan cepat. Jalur yang dilalui mereka bertiga normal-normal saja. Bisa mendapatkan jendral, karena pengabdian dan profesional dalam tugas dan jabatan. Keterlibatan tiga jendral polisi itu dalam skandal Joko Tjandara hanya akibat Kejaksaan tidak memperpanjang Red Notice atas terhukum Joko Tjandra. Padahal yang punya kewenangan untuk memantau dan mengawasi sepak terjang Joko Tjandra adalah Kejaksaan selaku ekosekutor. Begitu juga yang punya kewenangan untuk memperpanjang atau tidaknya Red Notice adalah Kejaksaan. Bukan Polisi. Begitulah aturannya. Polisi hanya melaksanakan permintaan dari Kejaksaan. Kalau diperpanjang Red Notice, maka Polisi tidak dapat mencabut nama Joko Tjandra dari daftar buruan Interpol. Namun kalau tidak diperpanjang oleh Kejaksaan, maka tidak ada alasan hukum bagi Polisi memperpanjang Red Notice di Interpol. Pinangki Dekat Petinggi Nasdem Dari jajajaran Kejaksaan, Jan Maringka yang dicopit dari Jaksa Agung Muda Intelejen (Jemdatun), dan Pingaki Sirna Malasari yang ditetapkan sebagai tersangka. Pinangki adalah oknum jaksa yang berkali-kali menemui terhukum Joko Tjandra di Kualalumpur Malaysia. Duagaan sementara Pinangki memberikan jaminan kepada Tjoko Tjandra, kalau semua urusan hukumya di Indonesia bakal aman dan beres di bawah kerja timnya. Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas (Ratas) Bidang Polhukam belum lama ini, yang di dihadiri Menkopolhukam Mahfuz MD, Kapolri Jendral Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Mendagri Tito Karnavian, Menkumham Yasona Laoly, Kepala BIN Budi Gunawan telah menyatakan sikapnya. Presiden memerintahkan agar kasus Joko Tjandra ini diusut tuntas sampai ke akar-akarnya. Siapa saja yang terlibat, harus diproses secara hukum. Sikap Presiden Jokowi yang keras dan tegas atas kasus yang sangat memalukan ini kemungkinan bakal menemui hambatan. Apalagi kalau Jaksa Agung masih dijabat Sanitiar Burhanuddin, atau yang biasa disapa dengan ST. Burhanuddin. Untuk itu, Presiden Jokowi sebaiknya memberhentikan dulu Jaksa Agung ST Burhanuddin. Atau paling kurang ST. Burhanudin yang mengundurkan diri atas kemaun atau kesadaran sendiri. Untuk melaksanakan tugas pengamanan segala urusan hukum Joko Tjandra ini, Pinangki tidak bekerja sendirian. Pinangki melibatkan Anita Kolopaking, teman kuliah di Bandung sebagai Pengacara Joko Tjandra. Dalam tim dengan proposal senilai U$ 100 juta ini, ada juga nama Rahmat dan Andi Irfan Jaya. Nama terakhir ini adalah Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Sulawesi Selatan. Andi Irfan Jaya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Pidsus Kejaksaan. Hubungan Pinangki dengan Andi Irfan Jaya sudah terjalin sejak Jaksa Agung masih dijabat mantan politisi Partai Nasdem HM. Prasetyo. Dari sinilah awal mula Pinangki menjalin komunikasi, dan punya hubungan erat dengan sejumlah petinggi DPP Partai Nasdem yang berasal dari Pulau Sulawesi. Meskipun belom dibuktikan secara otoritatif, namun dugaan sementara, yang mempertemukan Pinangki dengan Joko Tjandra adalah petinggi DPP Nasdem dari Pulau Sulawesi. Kader Partai Nasdem yang ditugaskan sebagai pelaksana lapangan di dalam tim dengan proposal senilai U$ 100 adalah Andi Irfan Jaya. Rencananya sekitar U$ 10 juta dari dana U$ 100 juta itu, bakal dialokasikan untuk pembangunan pengbangkit listrik (Power Pland) di Kalimantan Barat. Dari proyek Power Pland di Kalimantan Barat inilah muncul juga nama baru “Pujianto Gondokusumo”. Nama yang terakhir ini belom pernah diungkap ke publik. Tidak jelas juga institusi mana yang belum mau untuk menungkapkan keterlibatan Pujianto Gondokusumo. Apakah dari Polri atau Kejaksaan? Yang jelas, Pujianto Gondokusumo mempunyai kaitan dengan prosposal U$ 100 untuk minta Fatwa Mahkamah Agung. (bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Pemerintah Piara Buzzer
by Zeng Wei Jian Jakarta FNN – Ahad (05/09). Tempo panen caci-maki. Dua kontroversi. Nggak mutu. Soal buzzer pemerintah dan kartun garuda Pancasila. Ade Armando berulang kali menyebut reportase Tempo nggak jelas. Report soal buzzer banyak kata "diduga" dan sumber anonim. Jurnalisme katro. Punggawa PRD masa lalu, Mr Web "Kingkong" Warouw mensinyalir Tempo punya dua kemungkinan motif. Pertama, mau gabung dengan moduz ngencet dulu. Kedua, Tempo memang proxy yang anti-pemerintah. "When one says 'terrorism' in a democratic society, one also says 'media'," kata Paul Wilkinson dalam makalah "The media and terrorism: a reassessment". Kemungkinan ketiga, Tempo sebagai traditional-media berusaha survive dari digital revolution wave. Turunkan mutu. Tulis sesuatu yang disukai targeted group. Tulisan yang membuat "glorified chimps" bersorak. Konsolidasi digital crowds sebagai basis advertisement iklan. Tempo mengap-mengap. Hidup susah. Mati segan. Old fashion. Zadul. Readers males baca. Revolusi digital nggak bisa distop. "Dulu penting belajar dari masa lalu. Tapi saat ini, penting bisa belajar dari masa depan," kata Alm. Aristides Katoppo. Viral, buzz, memes, stickiness, dan form factor menjadi "lingua franca" today's e-political branding. Reportase "Kakak Pembina di Tengku Umar" menyerupai click-bait headlines. Moduz mengeksploitasi "curiosity gap" pembaca. The fourth Probability, Tempo mengorbankan diri menjadi "influencer" yang memback-up buzzer malu-malu macam Rocky Gerung dan Direktur YLBHI Asfinawati. Asfinawati klenger kena online harassment, virtual social flogging dan stoning. Nggak tahan serangan trolls dan keyboard warriors pro pemerintah. Nangis-nangis. Lalu tuding pemerintah pelihara buzzer. No hard-evidence. Nggak ada bukti. Validitas tudingan masuk kategori hoax. Tudingan adanya buzzer-peliharaan adalah defence mechanism dari defeated groupings. Strategi orang kalah. Mereka ciptakan "The Common Enemy" for the audiences. Tempo sebagai old media membantu mereka dengan berusaha membentuk social realities adanya "buzzer peliharaan pemerintah". Moduz ini disebut Gamson dan Modigliani dengan istilah "social constructivism". Divided society masuk cyber space. Pro-kontra pemerintah. E-politics marak di social media. Netizens dua kubu. Ketika mendengung, mereka adalah buzzer. Di zaman lekra ada adagium "Semua orang adalah seniman". Sekarang kenyataannya “semua orang adalah jurnalist”. Serangan buzzer anti-pemerintah trigger netizens bersuara di ruang open democracy. Dua kubu sama-sama punya trolls dan keyboard warriors. Fungsinya adalah down-grade orang dan denigrasi sebuah issue menjadi kekacauan anarkistik. Mereka suka membuat marah, pull your strings until you are pist. Beberapa trolls melihat aktivitas mereka sebagai "an art form". Para trolls dua kubu aktif di arena "Swinging Dick Contest". Nggak pake nalar. No intent of proving reasoning or logic to any debate. Code of conduct para trolls tingkat tinggi atau "witty troll" adalah never angry, never swear, be vulgar dan never overly obnoxious. Troll Pro Pemerintah seringkali menang. Yang kalah jangan cengeng dan tuding-tuding Pemerintah Piara Buzzer. Mereka itu netizens. Dasar Pecundang. What a nasty loosers… Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Budaya.
Jurus Mabuk Corona Potret Pemerintahan Gagal
by Jusman Dalle Jakarta FNN - Sabtu (5/9). Maret, Corona baru mendarat di Jakarta. Dari Wuhan, China. Diduga via jalur turis Jepang. Begitu hipotesa dari hasil riset whole genome sequencing SARS-CoV-2 oleh para ilmuwan. Kebatinan Indonesia ketika itu? Menegangkan. Para kepala daerah memblokir perbatasan. Diamini rakyat. Berbagai pelosok heboh. Masyarakat swadaya pasang barikade. Melarang orang baru masuk. Demi mengerem laju pergerakan manusia. Aura lockdown menyelimuti negeri ketika itu. Sesuai perintah UU karantina wilayah. Apalagi Lockdown yang dilakukan masif di berbagai belahan dunia, terbukti berhasil. Seperti Italia, Malaysia & beberapa negara lainnya. Eeeh, tiba-tiba muncul istilah oplosan. Lockdown tapi tidak lockdown : PSBB. Pembatasan Sosial Berskala Besar. Kedengarannya sangar. Tapi ambyar! Pemerintah pusat, melalui Mendagri Tito Karnavian bahkan mendatangi Pemprov DKI untuk menegaskan tidak ada lockdown. Arsip beritanya masih tersimpan rapi di internet. Di kanal-kanal media sosial, netizen menilai sikap pemerintah pusat itu sangat politis. Memang begitu adanya. Pandemi dijadikan panggung politik. Seolah ada yang ingin tampil jadi pahlawan. Sementara situasi sedang gawat darurat. Sejak awal, para ahli juga sudah mewanti-wanti pemerintah pusat. Pakar epidemiologi teriak di berbagai media dan forum. Agar pemerintah tegas melakukan lockdown. Tapi berdalih ekonomi, tidak ada lockdown. Hasilnya? Corona meroket. Ekonomi merosot. Jika saja ada visi kepemimpinan, punya skala prioritas, lockdown dilakukan sejak awal. Corona terkendali. Ini sudah terbukti di negara lain. Ketakutan terbesar pemerintah pusat ketika itu, karena mandat UU Karantina Wilayah yang mewajibkan pemerintah menyuplai kebutuhan warga selama masa lockdown. Padahal, jika dikalkulasi, ongkos lockdown tidak lebih dari Rp10 Triliun untuk mengunci Covid19. Tidak separah saat ini. Menurut data, di DKI Jakarta ada 3,6 juta kepala keluarga. Sebelum krisis 1,1 juta KK dapat bantuan. Kini 2,4 juta KK dapat bantuan dari Pemprov. Artinya, 1,2 juta KK dianggap masyarakat mampu. Jika dikasih bantuan lockdown, kemungkinan besar bantuan itu diteruskan ke orang tidak mampu. Sembako bantuan pemerintah, menurut data, habis dikonsumsi satu KK selama 14 hari. Dalam sekali menggelontorkan sembako, Pemprov DKI menganggarkan Rp900 miliar. Kita bulatkan Rp 1 trilun. Dengan simulasi itu, dalam sebulan pemerintah cuma mengeluarkan Rp2 triliun. Tapi hasilnya, covid19 terkunci di Jabodetabek. Ini kita berimajinasi bulan Maret. Ketika covid19 cuma ada di DKI. Bicara skenario lockdown ketika kasus pertama ditemukan. Sebelum ada drama mudik dan pulang kampung. Sebelum para pejabat teras Istana saling sanggah di media. Maka bila lockdown dua bulan, artinya pemerintah cuma perlu mengeluarkan anggaran Rp4 triliun. Dan saya yakin, jika skenario itu ditempuh covid19 pasti akan terkendali. Energi tidak terkuras membereskan satu negara. Lalu ekonomi Jabodetabek yang “dikorbankan” bisa lekas pulih. Tidak seperti sekarang. Keduanya tandas. Covid19 menginfeksi se Indonesia. Rakyat berguguran. Ini yang paling menyedihkan. Di penghujung bulan Kemerdekaan kemarin kita disergap ketakutan. Soal kabar bahwa kapasitas rumah sakit se Indonesia diprediksi tidak akan sanggup lagi menyanggah pasien. Bukan cuma pasien Corona. Tapi pasien jenis penyakit lain. Prediksi itu diutarakan Prof. Dicky Budiman. Epidemiologi Indonesia dan akademisi Griffith University, Australia. Sembari jogging, saya menyimak penjelasan sang pakar pada tanggal 31 Agustus. Di siaran podcast BBC Indonesia. Di hari yang sama, beredar poster jika dokter yang gugur sudah 100 orang. Tertinggi di dunia. Layanan kesehatan kita, bak digencet dari berbagai sisi. Rumah sakit meniti jalan menuju over kapasitas. Tenaga medis tumbang. Energi terkuras. Kewalahan. Namun pasien terus bertambah. Bahkan bikin rekor anyar. Lagi! 3.308 positif dalam sehari. Tidak ada lagi yang bisa merepresentasikan fakta-fakta itu kecuali frasa : pemerintahan ini terbukti gagal! Penulis adalah Praktisi Ekonomi Digital.
Jangan Menjadi Bangsa Kodok
by M. Rizal Fadillah Dalam artikel "A Nation of Frogs" , William A. Borst, Ph.D. menulis dengan pas tentang komunis yang "memasak" bangsa kodok. "The fact is Communism is still very much alive and thriving in this country. It has taken on a more subtle, destructive guise. The situation is analogous to the frog that is put into a pot of tepid water. If the cook were to quickly increase the temperature of the water, the frog would quickly jump out to safety. But the smart cook increases the temperature, only gradually, so that the poor frog does not realize it is being slowly but surely boiled to death. Jakarta FNN – Ahad (05/09). Hewan sering diajdikan sebagai perumpamaan. Manusia yang sering beriringan dan bertegur sapa, dan saling silaturahim dimisalkan seperti komunitas semut. Mereka yang selalu menjaga masukan dan bagus keluaran itulah lebah. Sedangkan anjing adalah tipe penista. Anjing kalau diusir menjulurkan lidah. Dipanggil juga menjulurkan lidah. Sementara babi itu hewan yang tak pedulian dan jorok. Bebek "ikhlas" untuk digiring giring. Macan ditakuti dan disegani. Macan Asia adalah gelar untuk pertumbuhan ekonomi negara di Asia yang dikagumi. Kodok hidupnya di dua alam, di air dan darat. Kalau kerenang di air dengan cara menendang, dan berjalan di darat dengan melompat sana-sini. Bersuara ramai tak berirama. Umumnya menjijikkan. Manusia dinilai aneh jika punya hobby memelihara kodok. Dimakan oleh orang-orang aneh pula. Anak kodok hanya kepala dan ekor Kodok berubah bentuknya saat dewasa. Cebong adalah sebutan anak kodok. Cebong hanya bisa hidup di air. Mati di jika berada di darat. Untuk itu, anak kodok harus selalu "berbasah-basahan" kalau mau hidup. Bangsa Indonesia yang beragama dan berbudaya jangan menjadi bangsa kodok. Bangsa inkonsisten yang diombang-ambing oleh "alam". Mudah berubah tergantung pada koloni atau hegemoni. Selalu maju ke depan tak bisa mundur. Aib rasanya untuk mundur. Ketika maju di tempat yang basah, perlu menendang sana-sini. Sedangkan di tempat kering, juga melompat-lompat cari makan dan keamanan. Kalau tidak nendang sana-sini. Lompat sana-sini, maka kematian telah menunggu bangsa kodok di depan mata. Bangsa kodok adalah bangsa yang nyaman dibodohi dan dininabobokan. Dibunuh pelan-pelan dengan "kehangatan". Dimakan ideologi asing secara halus dan sistematis tanpa terasa. Adapun yang mahir untuk membunuh tanpa belas kasihan adalah Komunis. Dalam artikel "A Nation of Frogs" , William A. Borst, Ph.D. menulis dengan pas tentang komunis yang "memasak" bangsa kodok. "The fact is Communism is still very much alive and thriving in this country. It has taken on a more subtle, destructive guise. The situation is analogous to the frog that is put into a pot of tepid water. If the cook were to quickly increase the temperature of the water, the frog would quickly jump out to safety. But the smart cook increases the temperature, only gradually, so that the poor frog does not realize it is being slowly but surely boiled to death. Nah begitulah cara Komunis untuk membuat nyaman. Namun secara pelan-pelan dan bertahap membunuh bangsa kodok. Indonesia harus waspada pada negara Komunis RRC yang mampu menghangatkan secara gradual hingga panas yang mematikan. Investasi dan debt trap adalah jalan "the poor frog doesn't realize it is being slowly but surely boiled to death". Sekali lagi penyelenggara negara jangan berupaya menciptakan kondisi rakyat menjadi bangsa kodok. Sadarlah bahwa sikap yang seperti itu sama saja dengan menjerumuskan rakyat dan bangsa Indonesia ke dalam panci besar "perebusan" kematian. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.