Memindahkan Papua Dari Bahu ke Mobil (Bagian-2)

by Luthfi Pattimura

Jakarta FNN – Rabu (01/11). Kebijakan pengembangan wilayah dalam upaya memotong rentang kendali di Papua dimulai dengan pembagian wilayah administratif (funsional region). Itu sesuai amanat Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1996 Tentang Pemekaran Provinsi Papua. Papua pun dibagi menjadi Papua, Papua Barat dan Papua Tengah.

Sampai saat ini baru terealisasi penambahan 1 (satu) propinsi, yaitu Papua Barat. Padahal selain membagi Papua dalam tipologi, pembagian wilayah juga diikuti dengan kelahiran UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Papua. Lahirnya regulasi itu sebagai atribusi kebijakan merespons tuntutan perhatian pemerintah terhadap persoalan sosial ekonomi dan politik yang terjadi di Papua.

Paling tidak, ada lima sasaran utamanya. Yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, infrastruktur dan afirmasi. Berkaitan dengan pembangunan infrastruktur dinyatakan tegas dalam Pasal 33 ayat 3 huruf C, bahwa dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan oleh pemerintah dan DPR didasarkan pada usulan provinsi pada setiap tahun anggaran.

Dana tambahan itu terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Selanjutnya pasal 33 ayat 3 huruf f menyebutkan, pembangunan infrastruktur dimaksudkan agar sekurang-kurangnya dalam dua puluh lima tahun seluruh kota-kota provinsi, kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas.

Dengan demikian, Papua sebagai salah satu provinsi di Indonesia dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik, serta menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dan global. Kita perlu memberikan apresiasi terhadap kerja keras atau boleh disebut kerja cerdas pemerintah dengan cap Nawacita. Ada empat agenda yang berkaitan langsung dengan tujuan pembangunan infrastruktur jalan yaitu agenda 3,5,6 dan 7.

Agenda tiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Agenda lima meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Agenda enam meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Agenda tujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Indikator capaian terhubungnya Propinsi Papua Barat dengan Propinsi Papua menjadi parameter output yang memastikan implementasi amanat Otsus tercapai. Lalu, apakah trans Papua efektif mendorong pergerakan arus orang. Juga pergerakan barang dan jasa sebagai penggerak utama (prime mover) terhadap multiplier effect yang akan dinikmati oleh penduduk Papua?

Perlu dicermati. Keberadaan jalan pastilah dinikmati penduduk, terutama yang selama ini terisolasi. Setidaknya, waktu perjalanan bisa lebih cepat. Biaya angkut lebih murah. Volume angkut bertambah, dan akan berujung pada penungkatan mobilitas. Itu berarti, pembangunan jalan seharusnya mampu menjawab pertanyaan esensialnya. Jalan di bangun untuk apa dan bagi siapa?

Indikator keberhasilan pembangunan jalan tidaklah cukup diukur dengan output melalui tersedianya atau terbangunnya jalan (performance indicator). Tetapi, seharusnya pada apakah jalan itu memberikan manfaat bagi masyarakat pengguna? Memberi dampak terhadap persoalan pembangunan manusia, terutama kesejahteraan (substantive goals). Laba jangka panjang dari sebuah investasi pemerintah.

Trans-Papua

Jumlah pengguna jalan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mungkin sudah lebih dari cukup. Tetapi bagaimana rasanya menggunakan jalan bagi mereka yang berada di pegunungan Papua? Yang membikin Janiver Manalu terenyuh?

Dengan mencoba mengurai pertanyaan semacam itu, maka kita bersepakat bahwa jalan merupakan salah satu prasarana yang vital. Jalan sebagai upaya meningkatkan pembangunan wilayah dan memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Tersedianya jaringan jalan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. Bibangun pada lokasi yang tepat, akan mampu meningkatkan aksesibilitas penduduk di wilayah yang bersangkutan terhadap prasarana dan sarana dasar, sosial, dan ekonomi yang dibutuhkan.

Anak-anak genereasi pewaris masa depan bisa bersekolah dengan baik. Terutama orang tua mereka dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apabila sakit, penduduk dapat dengan mudah menjangkau fasilitas dan layanan kesehatan yang tersedia.

Maka, aksesibilitas yang baik, akan mengurangi biaya transportasi. Sehingga produk-produk yang dihasilkan penduduk perdesaan, khususnya komoditas pertanian memiliki daya saing yang cukup baik. Sebaliknya, keterbatasan jaringan jalan akan menyebabkan keterisolasian. Sehingga menghambat penduduk untuk keluar dari berbagai persoalan pembangunan, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta tingginya kemiskinan.

Kalau boleh kami bercerita lagi. Gambaran teknis dari cerita Janiver juga kami dengar dari Ir. Osman H Marbun M.MT. yang menjabat Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) XVIII-Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga-Kementerian Pekerjaan Umum dan Parumahan Rakyat (PUPR), tentang Trans-Papua.

“Rencana pembangunan jalan Trans-Papua termasuk Papua Barat, yang panjangnya 4.330 kilometer (km), sudah 95% selesai. Tinggal 154 kilometer lagi di tahun 2019 kita tangani. Itu berada di 10 segmen untuk Papua, dan dua segmen di Papua Barat,” jelas Osman.

Suatu sore sepulang ngobrol dengan Omah Laduani Lasamai, Kepala Badan Litbang Provinsi Papua, kami duduk ngemper di lantai teras hotel. Terngiang pernyataannya, bahwa, infrastruktur di Papua adalah yang harus berbasis kearifan lokal. Baik alam maupun sosial budaya. “Kebutuhan paling mendesak orang Papua saat ini adalah kemandirian dan kesejahteraan. Jadi, masalah yang harus lebih didalami adalah kesejahteraan yang bisa didapat dari menggarap potensi kearifan lokal.”

Pernyataan Laduani seperti menepuk bahu kami yang memikul pernyataan Kuahaty bahwa, infrastruktur jalan di Papua secara sempit musti memprioritaskan komunitas dan komuditas. Bahkan kini saatnya orang Papua memindahkan komuditas dari bahu ke mobil.

Karena secara luas, kita masih melihat wilayah-wilayah dengan jaringan jalan yang terbatas. Ditandai dengan kondisi permukaan jalan yang buruk. Jembatan yang sempit, atau banyak belokan tajam, dan curam. Inilah bukti bahwa gagasan dan praktek memang kadang memiliki tenaga dan keterbatasan sendiri-sendiri. (bersambung).

395

Related Post