OPINI

Sikap Tegas Jenderal Gatot

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (13/09). Salah satu Presidium Nasional Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menghadiri Deklarasi KAMI Jawa Barat bersama Presidium lainnya Prof. Dr. Din Syamsuddin dan Prof. Dr. Rochmat Wahhab. "Triumvirate" ini menyampaikan pidato "Menyelamatkan Indonesia" dalam acara tersebut. Yang menarik dari pidato Jend. TNI (Purn) Gatot Nurmantyo adalah sikap tegasnya terhadap gejala terjadinya perongrongan ideologi Pancasila serta pembelaan terhadap "penistaan" hafidz Qur'an. Dua dimensi yang terintegrasi antara aspek kebangsaan dan keumatan. Meski tidak menunjuk siapa perongrong Pancasila itu. Tetapi arahnya jelas kepada pihak-pihak yang meragukan Pancasila dengan rumusan yang telah ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Tentu sebagaimana selalu diingatkan Gatot saat menjadi Panglima TNI, maka pergerakan anasir PKI atau kelompok Komunis patut untuk semakin diwaspadai. Dengan merujuk pada peristiwa perlawanan TNI terhadap perintah dari Komandan Pengawal Presiden Soekarno Cakrabirawa (PKI) Kolonel Untung, maka bawahan boleh saja melawan atasan. Apalagi atasan yang berniat mengganggu, bahkan mengganti dasar negara Pancasila. Bahasanya adalah "membunuh atasan" yang berkaitan dengan pembelaan terhadap ideologi negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Sikap itu sebagai wujud dari Sumpah Prajurit. Meskipun resikonya adalah harus dengan mengorbankan nyawa sendiri. Aspek keumatan yang disentuh Jenderal Gatot adalah bentuk kekesalannya terhadap ungkapan Menteri Agama (Menag) Fachrul Rozi yang dinilai menistakan para hafidz Qur'an. Menurut Menag, ciri dari radikalisme diawali dengan penampilan yang "good looking". Apakah itu mereka yang hafidz atau menguasai penggunaan Bahasa Arab. Kecurigaan yang berlebihan dari Menag Fachrul Rozi ini yang mengingatkan Gatot pada saat menjadi Panglima TNI dulu. Ketika itu Gaot pernah mengadakan muroja'ah 1.000 hafidz Qur’an di Markas Besar (Mabes) TNI Cilangkap. Gatot sangat Menghormati dan memuliakan para hafridz tersebut. Untuk ini Gatot siap membela para hafidz Qur’an itu. Di tengah krisis kepemimpinan yang tidak berkarakter, kemunculan dan ketegasan sikap Jendral TNI Purnawirawan benaran (bukan jenderal kehormatan) Gatot Nurmantyo menjadi fenomena. Tanpa harus dicurigai punya keinginan untuk menjadi pemimpin, Jenderal Gatot memang seorang pemimpin sejati. Pemimpin khas militer yang memahami masalah krusial bangsa secara komperhensip dan menyeluruh. Pemahaman yang tidak asal ngomong. Juga pemahaman yang tidak hanya sepoting-sepotong. Jendral yang sangat faham dengan apa itu “proxy war”. Faham dengan hakekat ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara ke depan. Juga sangat faham bagaimana cara menghadapi dan mensikapi semua ancaman, tantangan dan hambatan tersebut. Menjadi barisan KAMI, Gatot mengajak anak bangsa untuk menyelamatkan Indonesia. Jendral Gatot didaulat untuk memimpin KAMI bersama Prof. Din Syamsuddin dari Muhammadiyah dan Prof. Rochmat Wahhab dari Nahdlatul Ulama menjadi Presidium. Jika konsistensi untuk "menyelamatkan" bangsa dapat terjaga, maka gelindingan KAMI akan menjadi gumpalan bola salju. KAMI menjadi yang sangat efektif bagi perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan secara moral hal ini adalah suatu keniscayaan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Melawan Anies, Itu Malapetaka

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Ahad 913/09). Lockdown itu apa sih? Karena (pemahamannya) harus sama," kata Presiden Jokowi setelah meninjau rumah sakit darurat di Pulau Galang, Kepulauan Riau, Rabu (01/04). Jokowi menjelaskan bahwa istilah lockdown dipakai apabila semua warga benar-benar tidak boleh keluar rumah. Hanya beraktivitas di rumah. Kebijakan lockdown juga otomatis membuat seluruh layanan transportasi seperti bus, kereta api, dan pesawat pun berhenti. "Nah, ini yang kita tidak ambil jalan yang itu. Kita tetap aktivitas ekonomi ada. Tetapi semua masyarakat harus menjaga jarak. Jaga jarak aman yang paling penting kita sampaikan sejak awal. Social physicial distancing, itu terpenting," katanya (lihat Republika.co.id 1/4/2020). Postur Inkonsistensi Diberitakan oleh CNBC Indonesia, Presiden Jokowi pada akhir Maret, menyatakan "kita harus belajar dari pengalaman negara lain. Kita tidak bisa menirunya begitu saja," kata Jokowi usai Ratas Kabinet. Jokowi juga mengatakan setiap negara memiliki ciri khas masing-masing. Baik itu luas wilayah, jumlah penduduk, kedisiplinan, hingga kondisi geografis. Presiden lebih jauh menyatakan kita juga harus memperhatikan kemampuan fiskal. Oleh karena itu, kata Jokowi kita tidak boleh gegabah dalam merumuskan strategi. Semua harus dihitung dikalkulasi dengan cermat. Dan inti kebijakan kita sangat jelas. yakni pertama adalah kesehatan masyarakat (lihat CNBC Indonesia, 31/03/2020). Tiga bulan yang hebat selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun menemui akhir. Jokowi muncul dengan gagasan pelonggaran PSBB. Gagasan itu dilukiskan oleh Wata Ekonomi dalam judul berita “Jokowi Mau Terapkan New Normal.” Kata Jokowi "Yang penting, masyarakat produktif dan aman dari Covid-19. Berdampingan itu justru tidak menyerah, tapi menyesuaikan diri. Kita lawan keberadaan Covid-19 dengan mewajibkan protokol kesehatan yang ketat” (lihat Warta Ekonomi.co.id, 1/6/2020). PSBB dipilih dan dilaksanakan. Tiga bulan yang menjanjikan itu, akhirnya tersingikir.Takanan pada ekonomi yang berlebihan menjadi trade mark pemerintahan Jokowi. Menariknya segera terbukti kebijakan new normal, sebuah istilah yang akrab dilidah Jokowi, merangsang membesarnya bara corona. Entah bara ini teridentifikasi dapat membakar pemerintahannya, atau hal lainnya, Presiden memberi respon. Dalam rapat paripurna kabinetnya pada tanggal 7 September 2020, Presiden menyatakan fokus utama pemerintah yaitu mengutamakan kesehatan. Pernyataan itu disambut Windhu Purnomo, epidemoplog Universitas Airlangga. Kata Windhu, sekarang ini pemerintah bilang fokus pada kesehatan. Dan itu Alhamdulillah. “Jadi, kalau bahasanya orang itu, Pak Presiden mulai siuman. Mulai sadar," kata Windhu Purnomo, epidemolog Universitas Airlangga saat dihubungi CNN Indonesia.com, Selasa (8/9). Siuman? Tunggu dulu. Akhir Maret yang lalu Presiden juga menyatakan hal yang sama. Fokus pada kesehatan, kata Presiden kala itu. Tetapi dalam kenyataannya tekanan kebijakannya terletak pada ekonomi. Ada inkonsistensi yang nyata. Akankah inkonsistensi ini berlanjut lagi? Inkonsistensi itu terlihat dari data realisasi anggaran yang dikemukakan Kementerian Keuangan. Pemerintah, begitu data Kemenkeu bicara, telah menganggarkan total biaya Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp. 695,20 triliun yang dialokasikan untuk enam sektor, dimana total realisasi hingga minggu pertama Agustus adalah Rp. 151,25 triliun sudah dilaksanakan atau 21,8% dari pagu program Pemulihan Ekonomi Nasional. Lebih rinci, realisasi di sektor kesehatan Rp7,1 triliun, sektor perlindungan sosial Rp86,5 triliun, sektoral Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemda Rp8,6 triliun, sektor dukungan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) Rp. 32,5 triliun, dan sektor insentif usaha sudah mencapai Rp. 16,6 triliun dan sektor pembiayaan korporasi masih belum terdapat realisasi. Dari total anggaran Rp. 695,20 triliun, realisasi untuk program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi dari DIPA sudah dikeluarkan sebesar Rp. 313,2 trilliun dan yang belum dimasukkan ke DIPA sebanyak Rp. 226,1 triliun dan anggaran yang tanpa DIPA sebesar Rp. 155,9 triliun dalam bentuk berbagai insentif pajak (http://www.kemenkeu.go.id. 10/08/2020). Realisasi anggaran, bukan pernyataan Presiden. Suka atau tidak menjadi parameter politik dan tata negara tentang postur pemerintahan. Apalagi data itu disajikan oleh Kemenkeu. Tidak ada kementerian, bahkan Presiden yang tahu detail realisasi anggaran, selain Kemenkeu, suka atau tidak. Ini Berbagaya Corona membara di Jakarta. Bisa sangat mengkhwatirkan. Kapasitas rumah sakit, kata Gubernur Anies Baswedan bakal tak mampu menampung orang terinfeksi corona. Hebatnya, Anies mengerti tanggung konstitusional yang disandangnya dan tanggung jawab moral sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak berwacana seperti Presiden. Tetapi lebih banyak bertindak. Itulah Anies, dan itulah pemimpin. Begitulah pemerintahan yang efektif. Rakyat tidak bisa dibiarkan terjatuh semakin dalam pada keadaan yang lebih parah. Mereka tidak bisa dibiarkan sakit dan mati konyol akibat salah kelola pemerintahan. Anies memperlihatkan pemerintahan yang dipimpinnya tidak berwatak korporatis yang selalu totaliter. Bergairah menyepelekan aspirasi. Setelah mengidentifikasi masalah dan memproyeksinya secara ternalar, Anies bertindak. PSBB total hasilnya. Pasar saham terguncang seketika. Airlangga Hartarto, Menko Ekonomi segera mengarahkan rasio kejatuhan pasar saham itu pada putusan Anies. Kejatuhan pasar saham memang acap berakibat fatal. Tetapi para ilmuan tahu kejatuhan pasar saham tidak pernah jadi faktor tunggal kekacauan ekonomi. Itu ditunjukan pada depresi ekonomi tahun 1929-1933. Kejatuhan pasar saham itu hanya melengkapi resesi ekonomi yang telah terjadi setahun sebelumnya. Presiden Herbert Hoveer yang ogah-ogahan mengambil tindakan radikal menangani ekonomi adalah penyebab utamanya. Apakah Jokowi akan mengirim menteri lagi untuk menekan Anies? Itu urusan Presiden. Apakah Presiden akan memaksa Anies melakukan PSBB Komunitas, mikro, sebuah gagasan yang muncul tiba-tiba? Itu juga urusan Presiden. Tetapi secara tata negara status Jakarta sebagai daerah yang diberlakukan PSBB, sampai sekarang belum dicabut. Presiden harus tahu itu. Pelonggaran PSBB, tidak sama hukumnya dengan mencabut PSBB. Pelonggaran tidak lebih dari sekadar menurunkan level PSBB. Bukan pencabutan PSBB. Itu hukumnya. Anies dengan demikian sah mengambil tindakan menghidupkan lagi PSBB seperti sedia kala. Presiden boleh punya mesin kekuasaan. Boleh dihidupkan mesin itu untuk melawan Anies. Tetapi Anies terlalu pintar untuk dipukul. Anies tahu bara corona saat ini merupakan buah pelonggaran PSBB. Anies juga pasti memiliki imajinasi politik tak terlihat. Dia tahu pelonggaran PSBB itu kebijaan Presiden. Sekarang Anies mencegah membesarnya bara itu. Lalu Prersiden mau melarang? Presiden jangan panggil bara politik dan tata negara. Presiden jangan terus-terusan memperlihatkan kekeliruan dalam mengelola negara. Sebab bisa menimbulkan masalah yang belum sempat diperkirakan sebelumnya. Mengutamakan kesehatan, melarang orang berkerumun, menunjuk Pilkada sebagai klaster corona, tetapi membiarkannya tetap berlangsung Pilkada, juga jelas tidak masuk akal sehat Pak Presiden. Tidakkah tabiat pilkada adalah orang berkerumun? Itu inkonsisten yang nya-nyata inkonsistensi. Melawan Anies itu akan terlihat masuk akal, kalau Presiden membungkus pemerintahannya dengan konsistensi. Sayangnya itu tidak terlihat Pak Presiden. Pada saat yang sama faksin anti coronanya tidak oke. Obat yang efektif juga tidak oke. Sekalipun telah berpartner dengan China, vaksinnya belum jelas. Vaksin merah putih, vaksin nasionalisme ini juga baru 50%. Tes Swap juga mahal. Itu karena watak korporatis yang menonjol pada pemerintahan ini. Dalam Raker dengan DPR, Pelaksana Tugas Badan Nasional Penggulangan Bencana (BNPB) menyatakan mahalnya biaya Test Swap karena rumah sakit swasta terlalu mencari untung. Ada yang mengenakan tarif sampai Rp. 2,2 juta, bahkan ada juga yang Rp. 5 juta (CNN Insdonesia, 9/9/2020). Awan panas RUU HIP belum mereda. Pemerintah sedang memanaskan langit politik dengan sertifikasi penceramah Agama Islam. Harga jual minyak pertamina di dalam negeri juga sama. Masih tidak bisa dimengerti orang. UU Corona dan RUU Omnibus, masih terus menyimpang antipati ke pemerintah. Kombinasi tampak tak beraturan. Semua faktor diatas menjadi alasan mendekatnya malapetaka bila Presiden memindahkan gigi kekuasaan menghentikan kebijakan Anies. Semua inkonsistensi Presiden akan silih berganti disajikan. Dan itu sama dengan memanggil malapetaka politik dan tata negara atas pemerintahan Presiden Jokowi. Ingat itu baik-baik. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Ruhut Situmpul Kelilipan Lagi

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (12/09). Ruhut Sitompul dengan "gagah" menyalahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Penyebabnya adalah tertolaknya warga Indonesia untuk memasuki ke 59 negara di dunia. Sebagai akibat dari masih naiknya angka penularan Covid 19 di Indonesia. Jakarta menjadi kambing hitam. Begilah model kelilipan nyata dari mantan anggota Partai Golkar dan Partai Demokrat yang sekarang sudah pindah lagi ke PDIP Ruhut Sitompul. Masa sih Gubernur yang harus disalahkan? Kalau itu urusan negara, ya Presiden dong. Kalau yang dilarang masuk ke 59 negara itu berasal dari warga Jakarta saja, bolehlah Gubernur Anies disalahkan. Ruhut Situmpul ini selalu saja sinis kepada Gubernur Anies. Apa saja yang dilakukan Anies pasti salah di mata Ruhut. Padahal Anies adalah Gubernur yang super serius menangani pandemi Covid 19. Jika kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang jadi alasan, maka Gubernur Jawa Barat juga memperpanjang PSBB untuk wilayah Bogor, Depok, dan Bekasi tuh. Tetapi kenapa Gubenur Jawa Barat tidak dikritisi oleh Ruhut Sitompul? Jawabnya mudah sekali, ya lagi kelilipan itu Ruhut Sitompul. Apalagi kepada bossnya, Jokowi tentu saja lebih tidak kelihatan lagi. Nah yang begini namanya "blind spot". Pukulan telak atas karut-marutnya penanganan Covid 19 oleh Pemerintahan Jokowi adalah larangan masuk ke 59 Negara di dunia. Di medsos ada sindiran, “Indonesia ini negara hebat. Karena sekarang menjadi negara yang disegani eh ditakuti oleh dunia. Ini memprihatinkan sekali. Padahal soal pendanaan sudah menggunakan Perppu, yang sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. UU ini dapat dikategorikan "merampok" APBN. Karena aturan tentang kebebasan memakai dana APBN tanpa harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Ditambah lag dengan kontroversi "percobaan" vaksin Cina yang ada kegagalan tersebut. Sudah mahal harga vaksinnya, sehingga kemungkinan susah untuk dijangkau oleh masyarakat lapisan bahwa. Vaksinya bermasalah pula. Jika Ruhut bersikeras bahwa Anies adalah penyebab 59 negara di dunia menolak masuk warga negara Indonesia, maka baiknya dilakukan saja pengusutan secara terbuka. Siapa yang menjadi penyebab, maka dialah penanggungjawab yang sesungguhnya. Apakah Anies, Menteri Kesehatan, Gugus Tugas Covid-19 atau memang Presiden Jokowi sendiri? Untuk itu Komisi "fact finding" harus segera dibentuk. Ini penting, supaya hasilnya juga akurat. Dapat dijadikan sebagai alasan pembenaran untuk mendesak mundur kepada pejabat yang dinilai gagal untuk bertanggungjawab. Sehingga tidak perlu saling tuduh sana-sini. Ruhut Sitompul sepertinya sangat tendensius dalam mengemukakan tuduhannya kepada Gubernur Anies. Meskipun tidak berpengaruh kepada kedudukan Anies saat ini sebagai Gubernur DKI, namun “sikap pandangan kebencian" Ruhut Sitompul ini dinilai tidaklah patut. Adalah hak Ruhut Sitompul untuk berpendapat tentang Gubernur Anies. Tetapi hak orang lain juga untuk menilai mengenai siapa Ruhut Sitompul? Politisi yang hanya bisa menyandar kepada kekuasaan. Tanpa sandar kepada partai yang sedang berkuasa, Ruhut Sitompul bukan siapa. Mudah-mudahan saja tidak ada yang melabel Ruhut Sitompul “politisi kutu loncat kepada yang sedang berkuasa”. Jika Ruhut mendesak Mendagri untuk mem-Plt kan Gubernur Anies, maka boleh juga orang lain mendesak agar Presiden juga di "Plt" kan. Artinya dimundurkan. Toh, itu sah-sah saja. Namanya juga usulan. Bisa diterima, namun bisa juga tidak. Mari kita kuat-kuatan argumen. Bukan kuat-kuatan kekuasaan atau kekayaan. Siapa yang lebih patut mundur, Gubernur DKI atau Presiden RI? Sebaiknya jawab sendiri saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Demokrasi: Dari Cukong, Oleh Cukong, Untuk Cukong!

Kredo demokrasi, "Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat, tampaknya perlu segera direvisi lagi". by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (12/09). Khusus untuk Indonesia, harus segera diubah. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Yang lebih tepat: Dari Cukong, Oleh Cukong, Untuk Cukong! Kredo itu lebih sesuai, pas dengan realitas, fakta, dan data praktik rezim pemilu langsung yang kini tengah diterapkan di Indonesia. Menko Polhukam Mahfud MD dalam Webinar dengan pusat studi Pusako FH Universitas Andalas, Padang (11/9) mengungkapkan 92 persen calon kepala daerah dibiayai cukong. Akibatnya sudah bisa diduga. Ketika terpilih muncullah korupsi kebijakan. Sebuah modus korupsi yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan korupsi uang. "Korupsi kebijakan itu lebih berbahaya dari korupsi uang. Kalau uang bisa dihitung, tapi kalau kebijakan dalam bentuk lisensi penguasaan hutan, lisensi-lisensi penguasaan tambang yang sesudah saya periksa itu tumpang-tindih," kata Mahfud. Dari sisi UU, pemberian lisensi itu legal. Karena seorang kepala daerah boleh memberi konsensi tambang kepada pengusaha dengan memperhitungkan prosentase luas wilayah. Pada praktiknya, kata Mahfud, lisensi itu diberikan lebih luas dari yang seharusnya. Bahkan tak sedikit kepala daerah juga berinisiatif membuka izin baru bagi para cukong yang pernah membantu membiayai masa kampanye ketika Pilkada sebelumnya. Entah mendapat data dari mana, sehingga Mahfud MD bisa menyebut angka pasti 92 persen? Tetapi apa yang disampaikan Mahfud dijamin sahih. Mungkin kalau ada yang meleset, hanya pada jumlah presentasenya. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah mengungkapkan data yang tak jauh berbeda. Dari sebuah riset yang dilakukan oleh KPK, 82 calon kepala daerah dibiayai oleh cukong dan sponsor. Dari situlah korupsi berpangkal. Para cukong ini tidak memberikan dana secara gratis. Seperti perjanjian dengan setan. Perjanjian orang yang mencari pesugihan, kekayaan di tempat-tempat keramat! Untuk daerah yang memiliki potensi tambang, atau hutan mereka meminta imbal balik konsesi. Mulailah mereka menjarah habis tambang dan hutan. Untuk daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam (SDA) mereka mengincar berbagai kebijakan berupa kemudahan dan proteksi bisnis. Sementara daerah yang tidak punya SDA, secara bisnis juga tidak potensial, para cukong ini mengincar proyek-proyek APBD. Ini level korupsi yang paling kere. Tapi tetap saja setimpal hasilnya. Para cukong inilah yang akan membiayai semua keperluan kandidat. Mulai dari membayar tiket ke parpol, membayar lembaga survei, media dan iklan media, buzzer, pembuatan atribut, pengerahan massa, membayar aparat negara, sampai money politics. Dalam banyak kasus, para cukong ini membentuk konsorsium. Mereka menjadi investor politik. Sebuah bisnis dengan keuntungan berkali lipat! Biasanya tahapanya dimulai dengan menyewa lembaga survei untuk mendeteksi siapa kandidat yang paling potensial. Dengan berbekal peta kekuatan kandidat, para cukong mulai mendekati kandidat. Terciptalah kerjasama saling menguntungkan, berbuntut memainkan kebijakan. Menguras, menghancurkan SDA dan menggarong anggaran negara. Berapa besar dana yang dikeluarkan untuk seorang kandidat kepala daerah? Berdasarkan data dari Kemendagri untuk bupati paling sedikit Rp 25 miliar. Itu untuk daerah miskin. Semakin besar wilayah dan jumlah penduduknya, semakin besar biayanya. Angkanya mencapai ratusan miliar. “Untuk pemilihan gubernur bisa sampai triliunan,” kata Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar (03/12/2019). Pilpres jauh lebih besar Kalau untuk maju sebagai kanidat kepala daerah saja butuh dana sampai triliunan, berapa besar dana untuk capres? Angkanya jelas berkali lipat. Dipastikan tidak ada seorang caprespun yang bisa membiayai dirinya sendiri. Seorang peneliti dari sebuah lembaga survei pernah menyebutkan, setidaknya dibutuhkan Rp 7 triliun. Jumlah itu sangat kecil. Sangat konservatif. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Sebagai gambaran saja, pada pilpres 2019 jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebanyak 10.329. Kalau rata-rata ada dua saksi, dengan biaya saksi plus makan minum Rp 500 ribu, maka setidaknya membutuhkan dana Rp 405 miliar. Belum lagi biaya untuk parpol, membeli media dan iklan, pengerahan masa, transport keliling Indonesia, pengerahan massa, money politics, dan biaya-biaya lain yang lebih kompleks, ruwet dan mahal dibanding pilkada. Jangan pernah percaya dengan biaya kampanye yang dilaporkan tim sukses ke KPU. Kendati katanya sudah melalui audit akuntan publik, tapi semua itu hanya boong-boongan. Bayar mahar ke parpol, money politics, pengerahan aparat keamanan dll, pasti tidak pernah dilaporkan. Apakah kandidat membiayai sendiri? Tentu saja TIDAK! Pada Pilpres 2019 Tim Kampanye Prabowo-Sandi melaporkan jumlah penerimaan dana kampanye sebesar Rp 191,5 miliar. Dana Kampanye Prabowo-Sandi sebagian besar berasal dari Cawapres Sandiaga Uno. Total sumbangan Sandi Rp116 miliar atau 61 persen dari angka keseluruhan dana kampanye. Sedangkan Prabowo memberi sumbangan Rp71,4 miliar atau 34 persen dari total keseluruhan. Sementara Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf pada 5 Maret 2019 melaporkan penerimaan dana kampanye sebesar Rp 130, 45 miliar. Dana itu berasal dari sumbangan perorangan, badan usaha, sumbangan dari parpol Dll. Tidak disebutkan adanya sumbangan dari Jokowi dan Ma’ruf. Itu hanya laporan di atas kertas. Biaya kandidat jauh lebih besar. Puluhan triliun. Di situlah para cukong berperan. Mereka membentuk konsorsium dari kalangan taipan yang telah menjelma menjadi oligarki. Mereka kemudian mengendalikan kebijakan politik, ekonomi dan hukum negara. Jejaring dan kuku tajam mereka telah menancap kuat tidak hanya di kalangan eksekutif, yudikatif, para penegak hukum, dan eksekutif. Ketua MPR Bambang Soesatyo secara terbuka pernah mengakui. Dengan bermodal Rp 1 triliun, cukong bisa menguasai Parpol. Artinya mereka bisa menguasai parlemen dan pemerintahan. Kalau begitu dengan menggunakan pisau analisa Mahfud MD, berapa persen kandidat capres yang dibiayai cukong? Jawabannya 100 persen! Tapi kalau mau konservatif, dengan asumsi hanya ada dua pasang capres seperti pada Pilpres 2019, maka setidaknya 50 persen! Cuma harus dicatat. Di kalangan pebisnis, apalagi investor politik ada adagium “Jangan pernah menaruh semua telur dalam satu keranjang.” Dengan kandidat hanya dua calon, buat mereka lebih mudah membagi telurnya dalam dua keranjang. Hanya jumlah dan besarnya saja yang berbeda-beda. Tinggal baku atur. Siapapun yang menang, para cukong akan tetap berkuasa. Demokrasi Indonesia: DARI CUKONG, OLEH CUKONG, UNTUK CUKONG! MERDEKAAAAA!! End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Kenangan Bersama Jacob Oetama

by Zainal Bintang Jakarta FNN – Sabtu (12/09). Hari Rabu siang (09/09/20) mata saya tertancap berita penting di Kompas Tv. Berita duka : Jacob Oetama dalam usia 88 tahun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun. Lahir di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 27 September 1931. Delapan belas hari lagi akan berulang tahun yang ke 89. Tidak akan saya nambah lagi komentar tentang keistimewaan sosok almarhum. Kiprahnya di dunia jurnalistik, di pergaulan sosial, wartawan yang sangat berintegritas, maupun sebagai pengusaha media yang piawai. Semuanya sudah diberitakan. Yang saya mau paparkan sisi “human interest” (kemanusiaan) almarhum. Sisinya yang bersahaja. Sesungguhnya disitulah tersembunyi kekuatannya. Persentuhan saya yang mengesankan dengan pak Jacob, terjadi tahun 1987. Kalau saya tidak salah ingat, waktu itu ada acara “Pertemuan Akbar Pemimpin Redaksi dan Pengurus PWI Se- Indonesia” bertempat di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Entah ini, sudah acara PWI se-Indonesia yang ketiga atau keempat. Hanya boleh diikuti kurang lebih 257 media cetak yang punya izin. Di era Orba (Orde Baru) kehidupan pers, khususnya media cetak dikontrol ketat oleh pemerintah melalui Deppen (Departemen Penerangan) dengan Menteri Penerangannya adalah Harmoko (1983 – 1993). Tampil sebagai pembicara di hari terakhir (hari kelima) acara itu adalah Penglima ABRI/Pengkopkamtib Benny Moerdani. Saya mendapat giliran sebagai penanya pertama. Malam itu Benny tampak malas dan suntuk. Mungkin kurang tidur, karena baru tiba di Jakarta beberapa jam yang lalu, selesai mendampingi Presiden Soeharto dalam kunjungan kerja ke luar negeri. Jendral bintang empat yang anti senyum itu kurang semangat. Benny bertanya dengan ketus kepada peserta yang datang dari seluruh Indonesia, “ngapain saudara-saudara ada disini? Ini kan malam minggu. Mestinya anda ada di tengah keluarga”. Suasana langsung kaku dan tegang. Pimpinan sidang Zulharmans Said yang Ketua Umum PWI Pusat, segera membuka acara tanya jawab. Dia menyebut nama saya sebagai penanya pertama. Itupun setelah saya angkat tangan tinggi-tinggi dan setengah menjulurkan kepala ke depan. Maklum, mungkin koran saya “Barata Minggu” tergolong koran kecil (oplag), jadi kurang “diwongke”. Maklum baru delapan tahun di tangan saya. Tanpa sponsor pemodal pula. Juga tanpa kredit bank. Biaya pribadi pula. Hidupnya sangat susah, karena harus bersaing koran raksasa harian seperti “Kompas” dan “Sinar Harapan”. Saya pertanyakan kepada Benny Moerdani, mengapa isi ceramahnya yang hampir sejam lebih itu banyak mengeritik pemberitaan di media cetak yang dianggapnya sering free kick? Mengapa bapak Jendral tidak menyinggung juga belakangan ini banyaknya acara di televisi yang bertentangan kepribadian dan nilai luhur budaya Indonesia? kata saya. Waktu itu satu-satunya televisi yang ada hanya TVRI. Punya pemerintah dan masih hitam putih. Serial di televisi yang saya gugat itu berjudul “Return To Eden” produksi Australia. Apakah pak Jendral tidak menonton acara itu di televisi? kata saya mantap. “Tidak! Saya tidak nonton yang begituan. Saya cuma nonton “Losmen”, jawab Benny tangkas. “Losmen” adalah film seri Indonesia tahun 1980-an yang menceritakan tentang kehidupan sehari-hari keluarga Broto yang mengelola sebuah losmen. Ditulis dan disutradarai pasangan Tatiek Maliyati dan Wahyu Sihombing. Bintangnya Mieke Widjaja, Mang Udel, Mathias Muchus, Ida Lemandan Dewi Yull. “Return To Eden” ditayangkan serial tiap minggu beberapa tahun oleh TVRI. Dibintangi artis seksi Rebecca Giling. Menampilkan gambar nyaris tanpa sensor. Intrik, free seks, adegan porno dan kekerasan serta aneka ragam adegan pembunuhan hingga adegan panas di ranjang pun tidak disensor. Mengaku hal itu bukan kompetensinya, Benny kemudian meminta penanggung jawab televisi untuk menjelaskan. Harmoko malam itu tidak ada. Yang diminta maju adalah Dirjen PPG (Penerbitan, Pers Dan Grafika) Soekarno SH. Dengan tergopoh-gopoh menuju meja sidang. Dia terlihat seperti baru bangun tidur. Mungkin tertidur duduk karena kelelahan sebagai panitia inti. “Maaf, tolong pak Zainal Bintang mengulangi pertanyaannya”, katanya. Pejabat yang satu ini terkenal sangat santun dan lembut. Ketika itu suara peserta menjadi gaduh dan bergantian berteriak, “nah awas lo Bintang, izin kamu dicabut”. Ada juga yang bilang “mampus deh kamu kawan. Izin kamu pasti dicabutlah. Ke laut lah koran kau Bintang “, suara rekan wartawan dari Medan itu pastinya. Teriakan itu sebenarnya adalah sindiran terhadap banyaknya pembreidelan ataupun teguran lewat “sensor” telipon pejabat Deppen (Departemen Penerangan) terhadap beberapa media karena merugikan citra pemerintah. Bahkan masih banyak koran yang izinnya belum dikeluarkan seiring adanya keharusan mengurus izin baru sebagai pengganti izin lama SIT (Surat Izin Terbit) menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) berdasarkan UU Pokok Pers Tahun 1985. Koran saya Barata Minggu izinnya masih ditahan oleh Departemen Penerangan. Karena beritanya dianggap sering “offside” menyindir pemerintah. Dengan tenang saya menjawab, “maaf pak Dirjen dan Pak Benny. Atas nama keselamatan saya, maka pertanyaan saya tarik”. Suasana dalam ruangan tiba-tiba bergemuruh. Heboh. Tidak terduga. Dan mungkin terasa lucu. Sesungguhnya suasana malah menjadi cair karenanya. Itu membuat Benny Moerdani dan rombongan punya alasan untuk segera mengundurkan diri dari acara. Malam itu berlalu tanpa tanya jawab lagi. Sebagian besar peserta menuduh saya “pengacau”. Tapi, nyatanya ada juga yang memuji. Diantara yang memuji adalah Jacob Oetama. Hal itu baru saya ketahui keesokan harinya menjelang penutupan acara. Pak Jacob memanggil saya. Kami bicara sebelum acara dimulai. “Bung Zainal”, katanya memulai pembicaraan dengan dentuman huruf “B” yang “njawani” ketika mengucapkan kata “Bung”. Medok betul. Dan itulah ciri khas Pak Jacob. “Saya mau tahu bung, apa yang ada di fikiran anda, maka tiba-tiba memilih sebuah jawaban yang singkat dan cerdas begitu”. Haahh…?? Saya kaget dan heran dalam hati. Saya tatap wajah Pak Jacob yang terlihat serius, tapi tetap dengan senyum lembutnya. Terlihat butuh jawaban yang jujur. Entah, substansi apa yang ditangkapnya dengan dalam perkataan saya ketika memutuskan membatalkan pertanyaan. “Pak Jacob, maaf saya ini kan pemain teater dan juga film pak. Jadi sebagai seniman, saya memutuskan cepat memberi jawaban yang teateral”, kata saya merendah. Setengah bercanda. Ternyata Pak Jacob ikut tertawa tergelak-gelak, tapi berusaha mengendalikannya. “Oh ya yaa. Saya mengerti. Saya mengerti. Pemain teater sih yaa”, katanya sambil mengangguk-angguk. Humoris juga orang ini yaa. Saya membatin. Agenda tahunan “Pertemuan Akbar Pemred & Pengurus PWI se-Indonesia” itu adalah sebuah tradisi yang digagas Harmoko setelah beberapa kali menjabat Ketua Umum PWI, integrasi hasil kongres pengurus “kembar” di Tretes, Malang, Jawa Timur (1971). Dimulai akhir 1979 dan berakhir setelah beberapa tahun Harmoko diangkat menjadi Menteri Penerangan oleh Soeharto (1983 – 1993). Kongres PWI di Tretes berlangsung kurang dari setahun setelah kasus pengurus “kembar” di Palembang. Kongres itu dilabel dengan frasa “integarsi” untuk menyatukan pengurus PWI yang terbelah dua pada saat kongres ke XIV di Palembang (1970) yang melahirkan dua pengurus, yakni PWI Diah dan PWI Rosihan. Kedua kubu dedengkot wartawan itu berbeda pilihan. Yang satu mendukung BM Diah (Harian Merdeka) yang lainnya memihak Rosihan Anwar (Harian Pedoman) Saya salah satu anggota delegasi dari PWI Sulawesi Selatan bersama beberapa senior, antara lain almarhum Rahman Arge tokoh wartawan dan seniman terkenal ke Tretes waktu itu. Dalam usia 24 tahun. Disitulah saya berkenalan dengan banyak tokoh pers nasional, termasuk Jacob Utama. Beberapa tahun kemudian(1992), saya bertemu lagi pak Jacob di kantor PWI Pusat di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Waktu itu saya pengurus Bidang Hukum PWI Jaya. Karena suatu keperluan organisasi, saya ke kantor PWI Pusat. Pak Jacob mengajak masuk ke ruangannya. ”Bung Zainal, anda ini bahagia sekali yaa. Anda bebas, anda hiasi korannya dengan foto berwarna dan layout huruf-hurufnyapun berwarna juga”. Saya kaget lagi. Ternyata Pak Jacob sangat detil sekali pencermatannya. Sebagai generasi muda, dalam hati saya salut pada kerendahan hati pemilik koran besar yang mau memperhatikan dengan saksama koran “kecil”. Almarhum menjelaskan dengan mimik sedikit “sedih” mengatakan koran “Kompas” agak “cemburu”. Karena tidak bisa seenaknya merubah layout. Terikat secara kebatinan dengan pembaca tradisionalnya yang masih “konservatif”. Mayoritas pembaca “Kompas” adalah eksekutif papan atas. Termasuk presiden Soeharto dan jajarannya. Almarhum merasa terikat secara moralitas untuk tetap bertahan dengan wajah “Kompas” yang hitam putih. Yang klasik. Era perkembangan teknologi modern beberapa tahun kemudian, memaksakan kompetisi pembaharuan perwajahan media cetak. “Kompas”pun terpicu menjawab permintaan pasar pembaca yang berubah. Generasi muda pembaca yang lebih modis dan trendi mendorong “Kompas” mulai terlihat “agresif”. Kompas mulai berimprovisasi menggunakan tata warna pada perwajahannya. Meski masih terkesan “malu-malu” . “Ohh…Ok..Ok pak Jacob, akhirnya tercapai jugalah cita-citamu”, kata saya dalam hati ketika setiap hari menemukan wajah “Kompas” sudah mulai “berani” warna-warni. Saya “mendekati” sosok seorang Jacob Oetama lebih menggunakan teori teater atau ilmu peran. Saya lebih suka menangkap dimensi lain yang disebut sebagai “gesture” (gerak – gerak kecil) kecil. Gerak-gerak kecil almarhum yang saya ungkapkan itu justru adalah pertanda kekuatan besar yang sejatinya ada pada semua manusia. Tapi tidak banyak yang mampu mengelolanya menjadi energi positif. Dan Pak Jacob ada disitu. Beliau mampu mengelolanya. Menatap upacara pemakaman almarhum di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata di layar televisi, wajah pak Jacob berkelebat dalam ingatan saya ketika mendengarkan ratapan lirih lirik lagu “Ibu Pertiwi”. Lagu sedih yang patriotik favorit Pak Jacob. “Kulihat wajah Pak Jacob. Menekan hatinya yang sedih. Tapi tetap senyum. Air matanya tertahan. Pesan moralnya tergenang”. Selamat jalan pak Jacob. Kehadiran dan kepergianmu dikenang. Pesan moralmu terkenang. Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Jokowi Sudah Tak Efektif Sebagai Pemimpin

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Sabtu (12/09). Indonesia dihebohkan oleh pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) seketika rontok. Kamis 10 September kemarin, IHSG anjlok 5% ke level 4.891. Otoritas bursa sampai menghentikan sementara perdagangan saham, karena anjloknya bursa tergolong parah. Menariknya, selevel Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto langsung merespon. Namun Airlangga mengatakan, rontoknya IHSG disebabkan karena announcement Gubernur DKI Jakarta terkait akan kembali memberlakukan PSBB. Bagaimana perspektif politik membaca fenomena ini. Saya narasikan secara sederhana saja dalam artikel singkat ini. Ini semacam membenarkan tesisnya Berry Clark dalam Political economy : A Comparative Approach (2016) yang meyakini pendekatan interdisipliner dalam praktik tata kelola negara. Bahwa ada relasi kuat antara politik dan ekonomi, atau sebaliknya. Dalam konteks itu, justru narasi Airlangga Hartarto semakin memperkeruh relasi antara politik dan ekonomi Indonesia saat ini. Saya termasuk yang meyakini bahwa Anies Baswedan sebagai Gubernur membuat kebijakan kembali terapkan PSBB itu pasti berbasis data. Tidak mungkin Gubernur buat kebijakan tanpa data. Nah yang paham data terakhir Jakarta terkait Covid-19 tentu saja Anies Baswedan. Pasti bukan Airlangga Hartarto. Anies Baswedan menyampaikan data sebenarnya. Apa yang disampaikan kepada publik pada 9 September malam tersebut sudah cukup untuk menggambarkan situasi covid-19 di Jakarta saat ini. Bahwa situasi wabah di Jakarta saat ini berada dalam kondisi darurat. Ambang batas kapasitas rumah sakit untuk ruang isolasi dan Intensive Care Unit (ICU) sudah melampaui angka batas aman. Sehingga diperkirakan akan mencapai kapasitas maksimal di 17 September 2020, dan setelah itu fasilitas kesehatan di DKI Jakarta akan kolaps. Selama 6 bulan terakhir, kasus Covid-19 di Jakarta didominasi 50% kasus Orang Tanpa Gejala (OTG). Sekitar 35% lagi adalah kasus gejala ringan-sedang. Demikian data yang disampaikan dalam pernyataan Gubernur DKI tersebut untuk mengambil langkah kembali melakukan PSBB. Pernyataan Gubernur Anies Baswedan di atas dalam perspektif politik sebenarnya itu pernyataan yang biasa-biasa saja. Bukan pernyataan yang luar biasa. Pernyataan yang menunjukan tanggungjawab seorang Gubernur kepada publik. Memang seharusnya begitu Gubernur bekerja. Untuk mengingatkan publik, dan mengambil langkah yang tepat dalam beberapa hari ke depan. Dalam perspektif politik yang dilakukan Anies Baswedan juga menunjukan cara kerja dalam prinsip-prinsip Open Government. Diantaranya prinsip transparansi. Jadi saya justru heran, ko respon menteri-menteri Jokowi tidak support upaya transparansi data dan sikap Gubernur DKI tersebut. Bukankah Jokowi terakhir meski terlambat mengatakan bahwa kesehatan rakyat harus diutamakan daripada ekonomi? Yang dilakukan Anies Baswedan itu tidak bertentangan dengan Jokowi. Ada apa ini justru para menterinya yang nyinyir? Apakah sikap menteri tersebut atas perintah Jokowi? Fenomena respon dari Menko Perekonomian tersebut sesungguhnya adalah suatu pintu untuk membuka, bahwa kekacauan tata kelola pemerintah dalam menangani pandemi covid-19 sedang benar-benar terjadi. Tidak ada kepemimpinan yang solid dalam menangani covid-19. Upaya jujur dan langkah cepat Gubernur DKI terlihat sangat tidak didukung Pemerintah Pusat. Sikap Pemerintah Pusat ini terlihat karena terjadi beberapa kali sejak awal kasus positif covid-19 ditemukan. Beberapa kali langkah cepat DKI Jakarta dibatalkan Presiden Jokowi. Misalnya dalam soal publikasi data, soal keinginan lockdown, dan kini soal rencana kembali berlakukan PSBB. Saat Presiden Jokowi tidak menyetujui langkah Gubernur DKI saat itu, saya berasumsi bahwa Presiden Jokowi mungkin punya kapasitas lebih untuk mengelola situasi pandemi covid ini. Tetapi setelah 6 bulan berlalu, Jokowi ternyata lebih sibuk mengeluarkan aturan yang ternyata tidak efektif dilaksanakan. Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang saling bertabrakan. Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang dikeluarkan Jokowi, dan kemudian menjadi UU Nomor 2 tahun 2020 terlihat dominan untuk memenuhi kepentingan oligarki ekonomi. Namun tidak efektif di lapangan. Jokowi juga terlihat sibuk mendorong RUU Omnibus Law Cipta Kerja agar disahkan DPR, padahal ditolak rakyat. Juga mengesahkan UU Minerba yang juga ditolak rakyat. Sibuk merevisi UU Bank Indonesia yang juga diolak rakyat. Semuanya dilakukan saat rakyat lapar akibat covid-19. Saat seratusan dokter berguguran. Saat rakyat makin susah. Saat ekonomi makin memburuk dengan angka pertumbuhan minus -5 % lebih. Jokowi sibuk marah-marah nggak karuan. Semua menterinya dimarahi karena daya serap APBN-nya yang rendah. Jokowi juga memarahi para Gubernur yang daya serapnya rendah. Tragisnya, ternyata perintah Jokowi sudah tidak bisa ditaati para menterinya. Fenomena regulasi yang ditolak rakyat. Daya serap APBN yang rendah. Angka pertumbuhan ekonomi yang sudah minus -5% lebih. Sering marah-marah kepada para menteri. Para menterinya makin lama makin sering membuat gaduh dengan kebijakan yang aneh-aneh. Para menteri juga sibuk dengan urusan masing-masing. Lebih taat pada Ketua Umum partainya. Koordinasi juga mulai terlihat berantakan. Pembagian kerja dengan Wakil Presiden juga sering tidak sinkron. Bahkan terlihat kalau wapres cenderung untuk diabaikan. Itu semua adalah indikator paling nyata bahwa kepemimpinan Jokowi sudah tidak lagi efektif. Kepemimpinan Jokowi tidak lagi mampu untuk mencapai tujuan bernegara yang telah ditetapkan di Pembukaan UUD 1945. Tetapi justru semakin terlihat kacau balau. Apakah itu semua harus dibiarkan berlanjut dan terus berlanjut? Rakyat dan pemimpin yang otentik sudah waktunya hadir? Negara harus diselamatkan dengan menghadirkan pemimpin yang otentik. Bukan pemimpinan yang suka lupa dengan omongannya sendiri. Penulis adalah Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Pertempuran Tiada Henti Anies Vs Jokowi

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Jumat (12/09). Setelah beberapa saat tiarap dihajar publik dan media, BuzzeRp menggeliat kembali. Mereka ramai-ramai menghajar Gubernur DKI Anies Baswedan. Suara mereka bersahut-sahutan, seperti kodok bernyanyi menyambut musim penghujan. Kebijakan Anies menarik rem darurat, akan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta diserang habis. Jumat (11/9) #4niesDanCovidBerbahaya menjadi salah satu trending topik. Sejumlah artis alias influencer juga turut mempersoalkan kebijakan Anies. Cuma caranya lebih halus. Tidak langsung membully. Orkestra nada menyerang Anies di medsos, bersamaan dengan serangan secara sporadis para menteri kabinet Jokowi. Tak tanggung-tanggung. Pasukan tempur menggeruduk Anies dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Airlangga menuding rencana Anies menarik rem darurat sebagai biang keladi nyungsepnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bursa saham Jakarta. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yang selama ini tak pernah jelas rimbanya, tiba-tiba juga muncul. Dia mengingatkan PSBB di DKI Jakarta jangan sampai menghalangi distribusi logistik. Dampaknya bisa menghancurkan Produk Domestik Bruto (PDB). Menteri Perindustrian Agus Gurmiwang Kartasasmita mengingatkan PSBB jangan sampai menghancurkan industri manufaktur yang kini tengah menggeliat. Di luar ketiga menteri yang membidangi ekonomi, yang paling menarik adalah pernyataan Wamenlu Mahendra Siregar. Dia mengingatkan, jika PSBB dipukul rata, termasuk industri manufaktur, dampaknya ekonomi akan kolaps. Sebagai Wamenlu tidak pada tempatnya Mahendra bicara semacam itu. Benar dia pernah menjadi Mendag pada era SBY. Dia punya kompetensi bicara. Namun dengan posisinya sekarang, sungguh tak elok. Akan lebih baik bila Mahendra bicara bagaimana upaya pemerintah membuka “lockdown” dari lebih 60 negara terhadap Indonesia. Itu tugas pokok dan fungsi dia yang tidak kalah seriusnya. Nabok nyilih tangan Fenomena pengeroyokan rame-rame atas Anies, dalam khasanah budaya Jawa disebut sebagai “nabok nyilih tangan.” Alias memukul dengan meminjam tangan orang lain. Jokowi tak mau tangannya kotor dengan menyerang Anies. Dia meminjam tangan para menterinya, bahkan para buzzer untuk menghajar Anies. Tangannya tetap bersih. Bersamaan dengan itu Jokowi agaknya berharap, publik lupa atau setidaknya tidak sadar bahwa apa yang dilakukan Anies merupakan tindak lanjut instruksinya. Dalam rapat kabinet Senin (7/9) Jokowi mewanti-wanti agar penanganan kesehatan lebih didahulukan ketimbang ekonomi. Logika yang sesungguhnya sangat benar. Media menyebutnya Jokowi siuman. Selama ini berbagai kebijakan Jokowi selalu lebih mengutamakan ekonomi ketimbang kesehatan. Kebijakan inilah yang menjadi arena pertempuran antara Anies Vs Jokowi selama pandemi. Anies menginginkan lockdown untuk Jakarta. Pemerintahan Jokowi menolaknya. Jokowi sampai harus mengutus Mendagri Tito Karnavian menemui Anies di Balaikota DKI. Tito mengingatkan bahwa kewenangan lockdown berada di pemerintah pusat. Pemda tidak boleh mengambil kebijakan sendiri. Sepanjang pademi ketegangan antara pemerintah pusat dan Anies terus berlangsung. Menkeu Sri Mulyani pernah menyebut Pemprov DKI tak punya dana Bansos. Mensos Juliari Batubara menyebut penyaluran Bansos di DKI tumpang tindih. Sementara Menko PPM Muhadjir Effendi mengaku menegur Anies karena data dan penyaluran Bansos di DKI acakadut. Belakangan justru terungkap pemerintah pusat dalam hal ini Depkeu berutang besar kepada DKI. Dana perimbangan yang belum dibayarkan sebesar Rp 6,39 triliun. Anies sudah sempat menagih dan mengeluhkannya ke Wapres Ma’ruf Amin. Perseteruan kali ini setidaknya menjadi arena pertempuran babak ketiga antara Anies Vs Jokowi. Hanya saja kali ini Anies harus ekstra hati-hati. Kendati opini publik berpihak kepadanya, namun kondisi psikologis masyarakat sudah sangat berbeda. Secara ekonomi daya tahan publik kian melemah. Mereka terpaksa melakukan pelanggaran pembatasan karena tuntutan perut tidak bisa dikompromikan. Dampak penarikan rem darurat akan membuat kontraksi besar. Apalagi bila tidak dibarengi kompensasi bagi rakyat. Rakyat bisa ngamuk. Anies akan menjadi sasaran. Sudah menjadi rahasia umum keuangan DKI memburuk dan menyusut hampir separoh. Pemerintah pusat sejak awal tidak mau bertanggungjawab atas beban anggaran akibat kebijakan yang diambil. Jokowi mati-matian menolak lockdown karena tidak mau bertanggung jawab atas beban anggaran yang harus dipikul. Anies juga dihadapkan pada penolakan kepala daerah di sekitar DKI yang bakal terkena dampak kebijakan tersebut. Walikota Bogor Bima Arya Sugianto tegas menolak rencana PSBB total. Dia minta Anies berkonsultasi dengan pemerintah pusat. Dilihat dari paduan suara para menteri dan serangan para buzzer, sudah jelas menunjukkan kemana arah kebijakan Jokowi. Jokowi menegaskan penanganan kesehatan harus diutamakan, eh ketika Anies mau menjalankan, malah diserang habis-habisan. Anies pasti tahu belaka bahwa pernyataan Jokowi tidak bisa diartikan secara harfiah. Linier. Jokowi selalu melakukan hal-hal yang berbanding terbalik dengan apa yang dia katakan. Dia menyatakan akan reshufle, tapi ternyata tidak. Dia menyatakan ekonomi akan meroket, itu artinya ekonomi akan nyungsep. Kalau sekarang dia menyatakan kesehatan harus diutamakan, maka harus diartikan tetap ekonomi lah yang diutamakan. Masalahnya Anies saat ini tidak punya pilihan lain. Rem darurat harus ditarik. Bila tidak akan terjadi crash. Korban jatuh lebih besar. Terus meningkatnya pasien terinfeksi. Membludaknya pasien di rumah sakit rujukan, serta jumlah kematian yang terus bertambah, menunjukkan situasi sudah darurat tingkat tinggi. Anies harus pandai-pandai mengatur siasat. Di satu medan tempur harus melawan Covid-19 yang tidak kasat mata. Di medan tempur lain harus menghadapi pemerintah pusat yang berada di depan mata. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Menteri Agama Ngawur, Presiden Kok Diam?

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (11/09). Ketika Menteri Agama Fachrul Razi direaksi karena ngomong tentang radikalisme melulu, Presiden diam seribu bahasa. Apakah Presiden sengaja membiarkan Menteri Agama babak belur dihajar oleh kebijakan penghapusan "ajaran radikal" dari buku pelajaran agama Islam? Begitu juga dengan omongan Menteri Fachrul Rozi soal celana cadar dan celana cingkrang. Rencana pendaftaran majelis ta'lim, serta hafidz dan mahir bahasa arab sebagai pintu radikalisme. Sehingga diduga sampai akhir jabatan Menteri Agama hanya akan berkhidmah pada "radikalisme". Dengan bekal ilmu agama Pak Menteri Fachrul sangat yang sangat minim, pas-pasan, atau nyaris kosong, tetapi berani dan bangga bicara tentang radikalisme. Hanya dengan berbekal modal dasar sebagai Menteri Agama, ngomongnya seperti orang sudah menjadi mufassir dan muhaddits. Padahal semakin banyak ngomong, Menteri Agama semakin menelajangi diri sendiri soal pengetahuan agamanya. Menteri diangkat dan diberhentikan Presiden. Oleh karenanya menteri dalam sistem ketata negaraan yang berlaku disebut menjadi pembantu Presiden. Menteri bertanggungjawab kepada Presiden, dan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan. Satu, sebagian atau seluruhnya. Reshuffle adalah kewenangan ketatanegaraan Presiden. Makanya menteri itu menjadi "wajahnya" Presiden pada tataran pelaksanaan. Ketika Menteri Agama gonjang-ganjing dengan kebijakan kontroversi, mulai celana cingkrang hingga "otak cingkrang" bahwa hafidz atau penguasaan bahasa arab menjadi pintu radikalisme, semestinya Presiden bersuara atau bersikap. Presiden seharusnya mengoreksi, meluruskan atau mungkin menegur setiap perbuatan yang menyakiti perasaan rakyatnya. Khususnya rakyat yang beragama Islam sebagai mayoritas di negeri ini. Lebih tegas lagi Presiden harus menggantikannya dengan pejabat yang lain. Diganti dengan pejabat yang tidak punya hobby memproduksi kegaduhan di tenagh menguatnya dua jenis tekanan kepada masyarakat. Pertama adalah tekanan pandemi covid-19, dan kedua adalah tekanan ekonomi yang semakin meberatkan. Jika Presiden diam saja maka rakyat berhak memberikan penilaian kepada Presiden. Pertama, Presiden tidak mengerti apa yang dinyatakan oleh sang Menterinya. Ini artinya kualitas Presiden berada di bawah menteri. Kecuali Presiden bersikap lain. Misalnya, dengan mengoreksi, meluruskan atau menegur menterinya. Kedua, Presiden mengerti tetapi tak bisa mengendalikan menterinya. Maka nyatalah bahwa menteri tersebut jalan sendiri. Menteri tak lagi menjadi pembantu Presiden. Apa saja yang mau diomongin suka-suka hati pada menterinya. Tidak lagi perduli dengan apa kata Presiden. Ketiga, kebijakan menteri adalah suara dan isi hati dari Presiden. Maka tuntutan agar menteri diganti sama saja dengan meminta Presiden yang diganti. Salah sebesar apapun yang dilakukan oleh menteri, presiden bakal diam saja. Bahkan bisa saja disuruh oleh Presiden secara diam-diam. Hampir semua Menteri Jokowi tidak ada yang berprestasi. Pilihannya hanya dua, yaitu diam atau berprilaku aneh-aneh dengan membuat pernyataan yang kontroversi. Jika di era parlementer, semestinya kondisi ini menyebabkan bubarnya Kabinet. Mungkin untuk yang kelima kali. Presiden yang hanya bisa diam saja disaat menterinya salah, menggambarkan dan mengkonfirmasi kepada masyarakat bahwa Pemerintahan sudah kehilangan wibawa. Kepercayaan kepada pemerintah sudah runtuh. Pemerintah mendeklarasi dirinya tentang ketidakmampuan mengelola pemerintahan. Lalu apa yang bisa diharapkan oleh rakyat lagi? Pilihan konstitusional hanya dua, yaitu mundur atau dimundurkan. UUD 1945 mengatur cara melakukan penyegaran dalam pemerintahan, demi kebaikan besama dalam berbangsa dan bernegara. Bukan mengada-ada. Apalagi makar atau kudeta. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Berlakukan PSBB Lagi, Anies Diserang Buzzer

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (11/09). Baru-baru ini, presiden menyatakan "bahwa fokus utama pemerintah adalah kesehatan". Sepertinya, pernyataan presiden ini sebagai respon atas makin meluasnya penyebaran covid-19. Perhari di atas 3.000 orang terinveksi virus corona. Presiden siuman, kata epidemiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Windhu Purnomo. Boleh jadi betul. Yang pasti, selama ini langkah pemerintah dalam menangani pandemi covid-19 zig zag. Sporadis dan tak terukur. Bahkan bisa dibilang suka-suka hati. Semula pemerintah nggak yakin covid-19 masuk ke Indonesia. Sangat meremehkan. Macam-macam guyonanya. Ternyata salah prediksi. Ini fatal sekali. Urusan nyawa rakyat diibuat jadi main-main. Setelah covid-19 masuk, pemerintah pusat panik dan gagap. Yang muncul berikutnya justru kegaduhan akibat ulah pasukan buzzer. Buzzer komersial yang makan anggaran Rp 90,45 miliar. Setelah beberapa bulan, pemerintah menemukan solusi, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini memang ide jitu. Meski semula terlihat malu-malu. Karena secara substansi, usulan ini jauh-jauh hari sudah diajukan gubernur DKI. Tetapi malah ditolak. Katrok kan? Seandainya karantina wilayah diterapkan dari awal di Jakarta seperti usulan Anies, pemerintah cukup kasih makan 3,6 juta Kepala Keuarga (KK). Dua pekan sekali habis anggaran Rp 900 miliar. Sebulan Rp 1,8 triliun . Genapkan jadi Rp 2 triliun. Karantina enam bulan, cukup anggarkan Rp 12 triliun. Mungkin corona nggak nyebar kemana-kemana. Inilah yang diterapkan di Wuhan. Juga di beberapa negara. Nasi sudah jadi bubur. Kalau sukses tangani covid-19 dari awal, mungkin Perppu dan UU Corona nggak lahir. UU Mineral dan Batubara (Minerba) juga belum tentu diketuk palu. RUU Omnibus Law bisa mangkrak. RUU HIP boleh jadi akan layu sebelum diusulkan. Sejak PSBB dilaksanakan, penyebaran covid-19 mulai terkendali. Sayangnya, hanya beberapa saat saja. Ambyar setelah pemerintah mewacanakan New Normal. Rupa-rupanya, pemerintah setengah hati juga dalam memberlakukan PSPB. Sejak muncul wacana New Normal, masyarakat hilang kedisiplinan. Aturan PSBB tidak lagi efektif. Disana sini terjadi pelanggaran. Eforia berkerumun muncul kembali. Akibatnya, penyebaran covid-19 semakin meluas. Bahkan lebih gila dari awal pandemi masuk ke Indonesia. Lalu, presiden bilang kepada para menteri di sidang kabinet “kesehatan harus diutamakan”. Apakah pernyataan presiden ini murni karena keprihatinan terhadap mengganasnya penyebaran covid-19? Sebab, prioritas dan fokus pemerintah selama ini masih pada ekonomi. Pemerintah cenderung meremehkan angka kematian. Kok mendadak banting setir. Bicara kesehatan di saat dampak ekonomi betul-betul nyata dan mulai dirasakan oleh rakyat. Saat Indonesia dihajar resesi ekonomi. Dua kuartal pertumbuhan ekonomi minus, dan kehidupan rakyat makin susah. Mendadak fokus ke kesehatan. Halllooo... selama ini kemana? Wajar jika kemudian ada yang menduga pernyataan presiden hanya pengalihan isu. Dari isu ekonomi yang sudah mencapai "ngeri-ngeri sedap" ke isu kesehatan. Seolah ada kesan pemerintah pusat sayang terhadap nyawa rakyatnya. Yang bener aja boosss? Situasi menggilanya penyebaran covid-19 mau tidak mau juga harus dihadapi oleh para kepala daerah. Terutama Jakarta. Mobilitas sosial akibat tuntutan ekonomi di Ibu kota tak terkendali. Kerja keras para kepala daerah, termasuk gubernur DKI untuk menerapkan transisi PSBB, tak lagi mampu menghadang eforia New Normal yang digaungkan sendiri oleh Presiden Jokowi. Data di Ibu Kota, tentu juga sejumlah daerah lain, menyebutkan bahwa penyebaran covid-19 menghawatirkan. Kekhawatiran ini mendorong Anies, gubernur ibu kota Jakarta, mengambil sikap tegas. Anies memberlakukan kembali PSBB secara ketat. Anies meyakinkan publik bahwa kebijakannya ini berbasis pada data dan kajian. Anies konsisten pada prinsip yang selama ini dipegang. Yaitu, mengutamakan keselamatan nyawa dan kesehatan rakyat di atas segalanya, termasuk ekonomi. Kebijakan ini tentu nggak populer. Sebab, hadir di saat rakyat sudah merasa merdeka dari covid-19. Akibat kebijakan yang nggak populer, Anies harus siap hadapi kritik. Ini sudah risiko jabatan. Buat lawan politik dan para buzzer, isu ini cukup menggairahkan. Mereka seolah dapat lahan kering untuk bakar kegaduhan. Begitulah yang selama ini terjadi. Sebuah konsekuensi demokrasi di era digital. Menko perekonomian, Airlangga Hartarto teriak. Anies dianggap menjadi penyebab IHSG anjlok. Bahkan ada yang bilang bahwa keputusan Anies menerapkan PSBB membuat 59 negara mengeluarkan travel warning. Yang lebih gila lagi, ada yang minta Anies dibebastugaskan. Ngeri bro! Hebat sekali Gubernur Anies ini. Selain menteri yang selalu menjadi oposisi, kebijakan Anies mendapat respon dari 68 negara, yang membuat kebijakan lockdown terhadap Indonesia. Ini artinya, masyarakat internasional lebih percaya pada data Anies tentang Indonesia, dari pada data dari pihak yang lain. Disinilah pentingnya kejujuran bila menyangkut data. Sebab, akurasi data menjadi bagian penting dari kredibilitas sebuah bangsa ketika bicara di hadapan dunia internasional. Untuk sebuah kejujuran, seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan tidak populer. Meski punya risiko politik. Itulah yang dulu dilakukan Habibi dan Gus Dur. Hanya orang yang pintar, jujur, tegas dan berani ambil risiko yang layak menjadi seorang pemimpin. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Khurafat Filsafat (Bagian-2)

by Irawan Santoso Shiddiq Jakarta FNN – Jum’at (11/09). Manusia menjadi sentral. Manusia menjadi objek yang mengamati. Bukan lagi objek yang diamati. Manusia pun mendefeniskkan Tuhan. Menteorikan segala sesuatunya. Termasuk alam. Itu yang disebut dengan saintifik. Maka yang mencuat adalah kebenaran ala metafisika. Era itu yang kemudian memunculkan modernisme. Era modern, eranya filsafat. Segala sesuatunya harus melewati rasio manusia. Immanuel Kant makin membuat akrobat. Kant meluncurkan teori empirisme. Hasil penyelidikan akal sekalipun, kata Kant, tak bisa diterima sebelum terbukti secara empiris. Maka, cara berpikir manusia pun makin terjerambab. Tapi manusia, sekali lagi, seolah-olah menjadi objek. Hingga Voltaire pun menelorkan kesombongannya, “Jika Tuhan menuntut ketundukan penuh, maka Tuhan adalah diktator, karenanya tak wajib dipatuhi.” Mindset inilah yang mengundang Eropa tak lagi mematuhi “Vox Rei Vox Dei” tadi. Mereka melakukan perlawanan. Dogma seolah menjadi musuh bersama. Puncaknya berlangsung Revolusi Perancis, 1789. Ini anti klimaks dari kejadian “Masacre de Paris” abad 16 lalu. Jika dulu, kaum Huguenot yang dibantai. Revolusi Perancis berbalik. Huguenot yang membantai pengikuti Gereja Roma. Raja Louis XVI digantung didepan Bastille. Gereja Roma disingkirkan. Alhasil muncul-lah teori baru soal kekuasaan. Merujuk dari teorinya Rosseau, le contract sociale. Hukum lahir berlandaskan kesepakatan manusia. Kontrak bersama. Hukum bukan lahir dari pemaksaan Tuhan. Maka, sejak revolusi Perancis, manusia seolah berhak membuat hukum sendiri. Lahirlah konstitusi yang disebut “modern state”. Tentu merujuk pada filsafat. Bahwa seolah, manusia menjadi sentral. Dengan “akal bawaan”, manusia wajib melakukan penilaian “akal bawaan” seolah menjadi sentral “kebenaran”. Makanya memunculkan rasionalitas, sebagai ajang “pembenaran”. Masa rennaisance, aqli masih disejajarkan dengan naqli. Tapi modernitas, naqli dieliminasi. Filsafat tak lagi mengakui kebenaran ala naqli. Inilah ajaran Dercartes sampai Kant. Yang kemudian diikuti Bohr, Newton sampai Marx. Maka disitulah era “segala sesuatunya adalah materi” menjadi dogma baru. Filsafat berubah menjadi “dogma” yang wajib dipatuhi dan harus diakui. Masa mu’tazilah dulu, filsafat melahirkan dogma bahwa Al Quran adalah makhluk. Sesiapa yang tak mempercayainya, maka dihukum. Maka para Khalifah, yang terjerumus mutazilah pun melaksanakan hukuman. Modernitas melahirkan “dogma” teknikal state. Ini wajib dipatuhi. Sesiapa yang menentang, dianggap ekstrimis. Jadi ini menjadi karakteristik filsafat. Pemaksaan. Filsafat bukanlah ajang berpikir. Melainkan ajang pemaksaan kehendak. Karena filsafat memaksa, bahwa kehendak seolah berada di tangan manusia. Ini yang dulu digambarkan Imam Al Ghazali, ketika menyerang filsafat-nya kaum mu’tazilah. Imam Ghazali mengatakan, qudrah dan iradah itulah berada di area Tuhan. Bukan manusia. Sementara filsafat, dengan “akal bawaan” atau “ide bawaan”, manusia seolah yang memiliki daya dan kehendak. Disinilah, yang menurut Imam Ghazali, kesesatan dari filsafat dan filosof itu. Filsafat meyakini bahwa segala sesuatunya memiliki permulaan. Itu yang disebut teori kausalitas. Sebab akibat. Imam Ghazali memberi contoh, ketika air bertemu api, maka menjadi panas. Filsafat yang “berpikir”, bahwa yang memanaskan air menjadi uap itu adalah api. Sehingga seolah daya dan kehendak itu berada di tangan manusia. Yang memantik api dan memanaskan air. Hingga uap pun terjadi. Padahal bukan. Air, api, uap, itu merupakan ciptaan Allah Subhanahuwataala. Ghazali menggambarkan, Allah Subhanahuwataala menciptakan air, api, dan uap, berikut dengan sifat-sifatnya. Bukan sekedar materinya belaka. Sifat air, tentu mengalir dan jika bertemu dengan sifat api yang panas, akan memunculkan uap. Ini bagian dari ‘kehendak dan daya-Nya Allah Subhanahuwataala. Manusia hanya menjalankan semata. Bukan “menemukan” kehendak dan daya itu. Jadi, panasnya air karena api itu, bukan disebabkan oleh api yang membakar. Melainkan sifat air dan sifat api yang saling bertemu. Dan semua benda, Allah Subhanahuwataala yang menciptakan berikut dengan sifat-sifatnya. Dan itu tak dipisahkan dari benda tersebut. Jadi keliru jika manusia “dengan akalnya” seolah yang berhasil menciptakan air yang panas. Disebabkan oleh api yang membakar. Padahal kehendak dan daya itu tetap berada pada Qudrah dan Iradah-Nya Allah Subahanhuwataala. Dan Allah Subhanahuwataala bisa dengan mudah mengubah sifat api. Tak selamanya api panas. Ketika Ibrahim Allaihisalam dibakar, Allah memerintahkan Malaikat untuk mengubah sifat api. Alhasil api menjadi dingin. Jadi yang menjaga pengaturan alam semesta ini, tentu Malaikat yang bertugas atas perintah Allah Subhanahuwataala. Nah, “cogito ergo sum” seolah mengajarkan bahwa manusia harus memikirkan segala sesuatu dalam rasionya, baru bisa dianggap sebagai “kebenaran.” Inilah yang disebut Martin Heidegger sebagai kekeliruan. “Sains tidak berpikir,” katanya dalam “Being and Time”. Modernisme bikin manusia terjerambak pada sistem. Dengan rasionalitas tadi, seolah alam merupakan sebuah sistem. Ini yang ditampik Goethe. Dan Nietszche pun menampik Socrates. “Bagaimana mungkin bahagia itu bersumber dari berpikir,” katanya. Karena memang filosof memaksa, bahwa sumber “bahagia” bagi diri manusia, adalah memenuhi fakultas akal. Fakultas rasio. Disinilah problematikanya. Modernitas membuat manusia terjebak pada “teknikal state”, yang muncul dari saintisme kekuasaan. Manusia terjerambab pada konstitusionalisme, yang seolah menjadi panduan. Itulah modernis Islam. Yang meletakkan Al Quran sebagai konstitusi. Sebuah kegilaan tersendiri. Modernitas melahirkan manusia seolah bisa mencipta dan membuat. Graham Bell seolah sebagai “pencipta” telepon. Makanya dia layak diberi materi. James Watt dianggap “pencipta” mesin uap. Dari sinilah muncul copy right. Manusia pun terjerambab pada halusinasi qudrah dan iradah yang seolah berasal dari manusia. Bukan Tuhan. Alhasil yang muncul adalah peradaban “teknikal state”. Ini yang disebut Ernst Junger sebagai “gestalt”. Manusia berubah menjadi buruh bagi yang lainnya. Karena “pencipta” terdahulu berubah menjadi majikan. Mereka-lah pemegang copy right. Yang seolah tak boleh digeser. Inilah dogma baru yang menyesatkan. Dan puncak dari pemegang copy right teratas, itulah para bankir. Mereka mencap seolah sebagai pemegang tunggal pencetak uang. Uang kertas. Selain mereka para bankir, tidak diijinkan mencetak uang, alat tukar bagi manusia di seluruh dunia. Bahkan, Presiden suatu negara, tidak diperkenankan mencetak uangnya sendiri. Inilah sihir rasionalitas. Yang membuat manusia terjerambab pada penjara khurafat. Karena filsafat membuat manusia seolah tak lagi percaya pada fitrah. Suatu aturan yang datang dari Allah Subhanahuwataala. Filsafat mengubah manusia menjadi khurafat. “Filsafat tak bisa menemukan kebenaran,” kata Heidegger. “Ma’rifatullah itulah berpikir,” ujar Shaykh Umar Vadillo, ulama Spanyol. Disinilah kita menemukan sumber kebahagiaan sejati. Plato mengajarkan, tiga unsur dalam manusia itu akal (kepala), kehendak (dada) dan nafsu (perut). Akal itulah puncak yang mengatur. Dari situlah filsafat. Kehendak lahir dari buah pikiran akal. Itulah teori filosof illahiyyun. Shaykh Abdalqadir as sufi menggambarkan, modernitas ini telah melahirkan peradaban yang menghilangkan rasionalitas. Tak bernilainya segala sesuatu yang penting, telah mendominasi pemikiran, pengajaran dan perilaku.” Ini menggambarkan bahwa modernitas tak lagi melahirkan “kebenaran” ala akal sekalipun. Kehendak, bukan lagi datang dari akal, seperti gambaran Plato. Post modernitas, melahirkan “kehendak” yang disetir oleh nafsu. Nafsu manusia berada pada puncak. Bukan lagi akal sebagai puncak. Alhasil melahirkan perabadan syahwati. Dalam bidang hukum, Lawrence Freidmann menggambarkan, hukum masa abad 20 ke atas, tidak lagi dibuat oleh para pemikir hukum, agamawan dan lainnya. Hukum abad 20 dibuat oleh praktisi hukum. Inilah hukum demi kepentingan syahwati. Hukum yang melahirkan kepentingan nafsu belaka. Alhasil tak lagi tercipta “kebenaran materil”. Pengadilan ala rechstaat, yang teorinya merupakan wadah untuk mencari kebenaran materil, kini tak lagi terjadi. Karena pencari keadilan memiliki target baru, “mencari kemenangan materil”. Bukan lagi kebenaran materil.’ Inilah buah dari khurafatnya filsafat. Karena memang Imam Ghazali telah mengingatkan, “sesungguhnya akal tak dijamin dari kesalahan. Maka tak dibenarkan mengambil hakekat ajaran agama darinya.” Inilah yang dijawab Nietszche, “Filsafat itulah berhala.” Jalan tassawuf itulah jawaban atas kesesatan filsafat. Tubuh manusia bukan terdiri dari akal, kehendak dan nafsu. Melainkan dari qalbu, akal dan nafsu. Qalbu itulah sebagai raja. Kepala pengendali atas tubuh. Dan qalbu ini akan tersingkap dengan ma’rifatullah. Pemahaman tentang Allah Subhanahuwataala dengan benar. Inilah jalan tassawuf. Disitulah akan tersingkap syariat (jalan besar) dan tariqah (jalan kecil). Inilah jalur menuju kebenaran. Kebahagiaan, kata Imam Ghazali adalah dengan memenuhi asupan pada fakultas qalbu. Bukan fakultas nafsu. Metode itu tersimpan rapi dalam pengajaran tassawuf. Dari guru-guru yang memiliki sanad sahih, sebagaimana turun temurun dari pengajaran Rasulullah Shallahuallaihiwassalam. Inilah jalan selamat dari gerusan “teknikal state” yang melahirkan “gestalt” seperti kata Junger tadi. (habis). Penulis adalah Wartawan Senior dan Direktur Eksekutif Mahkamah Institute.