Bravo Jenderal Gatot

by M Rizal Fadillah

Bandung FNN – Kamis (12/11). Akhirnya Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo tidak datang menghadiri penganugerahan Bintang Mahaputera oleh Presiden Republik Indonesia di Istana Negara. Sebagai Pemerintah tentu sudah memenuhi kewajibannya. Sementara di lain pihak, Pak Gatot juga memiliki prinsip kuat untuk menolaknya.

Terlepas dari narasi surat yang dikirim Pak Gatot kepada Presiden Jokowi, tetapi sikap untuk tidak menghadiri dalam situasi keprihatinan kesehatan dan politik seperti ini cukup memberi pesan yang aspiratif. Publik bisa menilai konten pesan tersebut dari lima aspek.

Pertama, dengan menolak hadir pada penganugerahan yang bukan tanggal 17 Agustus adalah kritik atas pengubahan budaya yang selama ini berlaku. Hari Pahlawan sebaiknya khusus untuk penghormatan dan penghargaan kepada para pahlawan. Waktu yang spesial untuk para pahlawan.

Kedua, Bintang Mahaputera untuk purna tugas setingkat Menteri tidak baik dipecah-pecah. Sebagian diberikan pada Hari Pahlawan. Sebab dengan protokol kesehatan semuanya dapat diberikan pada tanggal 17 Agustus sebagaimana biasanya. Seperti yang diberikan kepada mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan Fadli Zon.

Ketiga, sikap solidaritas seorang prajurit yang luar biasa. Tidak mau "makan tulang kawan". Begitu juga dengan solidaritas terhadap teman-teman seperjuangan di Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang sedang menghadapi kesulitan berupa penahanan di tahanan Bareskrim.

Tidak bagus menerima penghargaan dari pemerintah di tengah "korps" menghadapi kesulitan. Harus senasib sepenanggungan. Apalagi pada pada waktu yang bersamaan, teman-teman seperjuanga juga ditahan oleh pemerintah hanya karena berbeda pendapat dengan pemerintah.

Padahal substansi yang dijadikan alasan bagi pemerintah menanahan teman-teman KAMI nyata-nyata terjadi. Yaitu tata kelola negara yang kacau-balau dan amburadul. Hanya berdasarkan pendekataan kekuasaan sematar. Akibatnya, negara terancam keluar dari tujuan bernegara seperimana yang diamantkan oleh Pembukaan UUD 1945.

Keempat, penunjukan menjadi salah seorang Presidium KAMI adalah amanah untuk memimpin upaya-upaya menyelamatkan bangsa. KAMI menilai bangsa dapat tidak selamat di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Tidak baik untuk menerima kalungan penghargaan dari Presiden yang nyata-nyata mesti diluruskan berbagai kebijakannya.

Kelima, Pak Gatot Nurmantyo itu adalah contoh pemimpin bangsa dalam arti yang sebenarnya. Bukan pemimpin yang abal-abal, odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-belekang. Pemimpin yang diharapkan konsisten berjuang terus bersama dengan rakyat. Dalam situasi normal, maka 2024 adalah peluang untuk amanah kepemimpinan nasional.

Dalam situasi darurat, dengan tetap bersama rakyat, maka menjadi lebih kuat dan solid. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Apa saja yang terjadi ke depan tidak ada yang bisa memprediksi. Yang terpenting adalah selalu bersama-sama dengan rakyat. Pak Gatot sebaiknya jangan mau untuk dijauhkan dengan denyut nadi rakyat seincipun.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) tidak jelas menyatakan bahwa penghargaan telah diterima. Sayangnya, suara Pemerintah lain menyatakan lain. Penghargaan Bintang Mahaputra yang disediakan untuk Pak Gatot justru kembali ke negara.

Apapun itu, Pak Gatot Nurmantyo telah menunjukkan kualitas dan sikap yang sangat konsisten. Ciri dari pemimpin yang punya karakter. Pemimpinan yang sangat dirindukan oleh rakyat sekarang, di tengah krisisi pemimpin pandai menjilat untuk mendapat jabatan dan penghargaan.

Sikap Pak Gatot merupakan sesuatu yang patut untuk diapresiasi. Sudah sesuai dengan apa yang memang sedang diharapkan oleh rakyat. Bravo, Pak Jenderal Gatot!

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

600

Related Post