OPINI

Ironi Industri Nikel Nasional (Bagian-1)

Menggugat eksploitasi cadangan nikel yang hanya pro kepada para konglomerat dan asing. Kerugian negara mencapai rartusan trilun rupiah. by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Sabtu (12/12). Sesuai Pasal 170 UU Minerba No. 4/2009, larangan ekspor bijih mineral mestinya sudah berlaku sejak Januari 2014. Ketika saatnya tiba, muncul relaksasi melalui PP No. 1/2014 dan larangan ekspor mundur ke 2017. Pada 2017, kembali terjadi relaksasi melalui PP No.1 /2017, sehingga larangan baru akan efektif 2022. Maka, program hilirisasi minerba pun gagal. Ternyata, sesuai Permen ESDM No. 11/2019, larangan ekspor dipercepat khusus bijih nikel menjadi Januari 2020. Maka muncul apresiasi, karena akan diperoleh berbagai nilai tambah. Indonesia akan untung, penerimaan negara akan meningkat. Benarkah demikian? Merujuk data Ditjen Minerba (Juni 2020) cadangan bijih nikel nasional (status terbukti dan terkira) sekitar 4,59 miliar ton. Terdiri dari bijih kadar Ni>1,7% sekitat 930,10 juta ton dan bijih kadar Ni1,8%. Disebut saprolite yang harga FOB international November 2020 sekitar U$ 81/WMT. Sedang input untuk smelter HPAL dan MHP adalah bijih dengan kadar logam Ni1,7%), sementara smelter kadar rendah belum tersedia dan ekspor nikel kadar rendah dilarang, maka nikel kadar rendah sebagai “bijih ikutan” kegiatan eksploitasi, akan menjadi “waste” terbuang sia-sia. Hal ini tentu sangat merugikan dari sisi ketahanan mineral, penerimaan negara dan nilai tambah. Hingga 2026, berdasarkan data Kementerian ESDM akan beroperasi 29 smelter dan dimungkinkan akan beroperasi lebih dari 40 smelter berinput bijih kadar Ni>1,7% membutuhkan bijih yang terus meningkat. Cadangan bijih yang dimiliki Indonesia sekitar 930,10 juta ton. Kebutuhan bijih seluruh smelter pada 2020, 2021, 2022, 2023, 2024, 2025 dan 2026 masing-masing adalah 46,71 juta ton, 72,98 juta ton, 143,01 juta ton, 153,56 juta ton, 213,57 juta ton, 213,57 juta ton dan 213,57 juta ton. Maka pada 2026 smelter akan kekurangan pasokan bijih kadar Ni>1,7% sekitar 126,75 juta ton. Praktis cadangan bijih kadar Ni>1,7% hanya bertahan sekitar 6 tahun. Dimungkinkan kekurangan pasokan bijih nikel ini akan lebih cepat dari perkiraan apabila jumlah smelter melebihi dari yang diperkirakan. Jika cadangan bijih nikel berkadar rendah Ni

Kasus HRS, Politik Atau Hukum?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (12/12). Habib Rizieq Shihab (HRS) beserta lima orang lainnya termasuk Ketua Umum FPI KH. Shobri Lubis ditetapkan sebagai tersangka. Status tersangka di tengah tuntutan banyak pihak agar dibentuk Komisi Pencari Fakta Independen atas tewasnya enam orang anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di area jalan tol Jakarta Cikampek Kilometer 50. Status tersangka sebelum pemeriksaan pribadi HRS dan masih dalam tenggang waktu pemanggilan nampaknya dipaksakan. Tuduhannya melanggar Pasal 160 KUHP Jo Pasal 216 KUHP delik penghasutan melakukan perbuatan pidana. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubah frasa penghasutan dari delik formil menjadi delik materil. Harus ada perbuatan pidana ikutan. Harus nyata-nyata perbuatan perbuatannya. Bukan hanya dugaan dan tuduhan semata. Awalnya polisi menyatakan berhubungan dengan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan. Peristiwanya adalah kerumunan saat pernikahan puterinya Syarifah di Petamburan. HRS sendiri sudah membayar "denda kerumunan" sebesar Rp. 50.000.000. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ini kasus politik atau hukum? Jika kasus hukum maka banyak hal yang masih dapat diperdebatkan secara hukum. Soal kerumunan yang dikenakan sebagai sanksi pidana untuk kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bukan Karantina menjadi sangat aneh. Sebab sanksi dendanya sudah dibayar. Hukum kita tidak mengenal sanksi dua kali untuk satu jenis kesalahan. Begitu juga dengan masalah penguntitan kepada orang yang belum berstatus tersangka ataupun buron. Ada penembakan terhadap enam anggota laskar FPI hingga tewas. Ada juga sikap diskriminasi terhadap kerumunan lain yang diperlakukan berbeda. Kerumunan Pilkada Gibran dan Pilkada lain yang diabaikan begitu saja. Jika persoalan yang terjadi adalah politik, sebagaimana yang dikesankan selama ini, maka semangat untuk menghukum dengan "segala cara" itu justru melanggar prinsip dan asas negara hukum. Sebab hukum harus dibawa jauh ke ranah politik. HRS sebagai bagian dari tokoh publik telah ditempatkan sebagai lawan politik penguasa. Sehingga segala cara haris dilakukan untuk "menghabisinya". Jika kondisinya seperti itu, maka melencenglah arah kehidupan sehat dalam demokrasi berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sebaiknya segera kembalikan persoalan hukum ke jalur hukum. Hukum yang lebih humanis sesuai dengan prinsip negara yang bermoral berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hukum yang dianut bangsa Indonesia harusnya menjadi "tools of social engineering". Bukan hukum yang semata-mata menjadi alat pemaksa. Ketertiban itu memang perlu, akan tetapi keadilan jauh lebih perlu. Ketertiban yang mengabaikan keadilan, sama dengan menginjak-injak pondasi negara hukum. Merubah negara hukum menajadi negara kekuasaan. Mengeksplorasi habis-habisan peristiwa pernikahan puteri HRS agar bisa memenjarakan HRS, jelas dan nyata merupakan kasus politik. Menghancurkan dan menginjak-injak hukum agar kekuasaan politik bisa berdiri tegak dengan penuh arogansi, kesombongan, keangkuhan dan kepongahan. Membuat hukum menjadi terjajah, dipermainkan, dan dijadikan alat kekuasaan. Para pejuang hukum dan keadilan tidak boleh membiarkan keadaan seperti ini. Kedaulatan hukum harus tetap ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Detik-Detik Foto dan Video 6 Janazah FPI Dibuka

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (12/12). Pengakuan sejumlah saksi di Komisi III DPR benar-benar mengagetkan publik. Mereka mengaku melihat tubuh para jenazah ena anggota Laskar Fron Pembela Islam (FPI) itu tampak sangat mengerikan. Ada yang tertembak di mata sebelah kiri hingga tembus ke bagian belakang. Ada yang tertembak sekitar telinga satu tembus ke telinga yang sebelahnya. Hampir sebagian besar tembakan di dada bagian kiri. Tepat pada jantung janazah ditembus lebih dari satu peluru. Ada juga janazah yang tangannya tampak terkelupas seperti akibat terseret atau diseret. Ada luka memar yang diperkirakan bekas penganiayaan. Ada sebagian tubuh yang gosong seperti bekas pembakaran. Benar-benar sangat mengenaskan! Cerita para saksi di Komisi III itu membuat tubuh kita spontan bergetar dan menggigil. Emosi kita juga ikut tersentuh. Perasaan terasa seperti diaduk-aduk. Terbayang apa yang terjadi kepada enam pemuda itu. Sakit sekali. Setelah itu mereka mati. Ada sejumlah orang yang tak lagi segan-segan untuk mengungkapkan bahwa ini adalah pembantaian. Bukan tembak-menembak. Luar biasa mengenaskan. Sebab menanggapi pengakuan para saksi itu, ada yang langsung menangis. Mengekspresikan betapa pedih apa yang dialami oleh enam anak muda itu. Kebayang jika itu terjadi pada anak atau saudara mereka. Ada yang menunjukkan kekesalan dan kemarahannya. Sebagian mengupkannya melalui berbagai komentar dan video. Disisi lain, ada yang menganggap kesaksian itu hanya mengada-ada. Sepertinya bukan kejadian yang telah terjadi. Ada yang malah nyumpahin enam jenazah tersebut dengan kalimat "mampus kalian". Ada juga yang berseloroh, "kenapa sedih. Bukannya mereka sudah ketemu 72 bidadari". Kalimat nyindir, nyinyir dan bahkan seperti mengejek juga. Supaya tak terus jadi polemik di masyarakat, ada baiknya semua foto dan video yang menggambarkan kondisi fisik para janazah tersebut dibuka saja kepada publik. Diviralkan saja di media sosial. Ini untuk mengkroscek pengakuan dari para saksi itu adalah keluarga dan pengacara korban. Apakah atau salah. Sekaligus sebagai sebuah pertanggungjawaban hukum dan sosial atas kesaksian tersebut. Jangan sampai terlambat momentum. Keburu basi dan bergeser ke isu-isu yang lain. Mumpung sebelum ada intervensi dan intimidasi kepada keluarga korban dan para saksi. Tidak boleh ada celah untuk kompromi, sehingga foto dan video itu tidak jadi dibuka ke publik. Jangan jadikan jenazah-jenazah itu untuk bertransaksi. Jika ini terjadi, kebenaran akan selamanya terbungkam dan tenggelam. Fakta dan kebenaran akan mennadi kenangan pahit. Kapan saja peristiwa tersebut bisa saja terulang kembali. Karena nggak ada pertanggungjawaban kepada publik. Kalau dibuka kepada publik, kita semua berhadarap kejadian tersebut, tidak lagi terulang. Kalaupun sampai terjadi juga, maka jangan sampai yang kejadiannya menggigil dan mengerikan seperti ini. Jauh dari nilai-nilai kemanusian yang menjadi penduan kesepakatan berbangsa dan bernegara kita. Jika foto dan video enam jenazah tersebut dibuka ke publik, dan ternyata tidak sama dengan apa yang disampaikan para saksi dan keluarga korban itu, maka harus ada saksi pidananya. Namanya kesaksian bohong nggak boleh dibiarkan terjadi. Begitu seharusnya kita berhukum. Sebaliknya, jika kesaksian itu benar-benar adanya, maka ini akan mengungkap banyak kepalsuan yang harus juga harus dipidanakan. Kebohongan tak boleh dibiarkan dan leluasa merusak pikiran rakyat. Siapapun orangnya harus dihukum. Harus menerima saksinya. Tidak perduli pelakunya aparat atau rakyat jelata. Hukum harus berdiri tegak di atas kebenaran. Jika apa yang diungkapkan para saksi tersebut benar adanya. Ada foto dan videonya, lengkap dengan data forensiknya, juga video pengakuan para saksi yang berada di TKP KM 50, dan harus saksi beneran. Bukan saksi hasil rekayasa, maka masyarakat akan semakin sulit percaya bahwa ada peristiwa tembak menembak. Tuduhan kubu FPI bahwa ada penculikan, penganiayaan, bahkan pembantaian tentu saja akan memenangkan opini publik. Berbagai kejanggalan kasus ini sejak awal penguntitan sampai penembakan yang berujung kematian enam laskar FPI harus segera dibongkar. Fakta-fakta itu mesti dibuka ke publik, apa adanya. Setansparan mungkin. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Supaya semuanya terang benderang. Pertanyaannya, elokkah memposting foto dan video jenazah dalam kondisi fisik sebagaimana yang didiskripsikan oleh para saksi dan keluarga korban itu? Kebenaran punya jalan dan standarnya sendiri. Apapun yang diperlukan untuk membuka kebenaran, tidak boleh dihalangi karena alasan keelokan. Kasus penembakan enam anak muda FPI itu sudah jadi konsumsi publik. Masyarakat berhak untuk tahu dengan sejelas-jelasnya. Setransparan mungkin. Ini sekaligus nantinya akan menjadi alat kontrol bagi proses investigasi dan sidang di pengadilan. Jika foto atau video tidak dibuka, kasus ini hanya akan menjadi kegaduhan di media massa dan media sosial. Menambah deretan keganjilan dalam penegakan hukum di negeri ini. Opini liar yang justru akan terus bersaing. Fitnah akan terus bertebaran. Karena itu, masyarakat menuntut foto dan video janazah itu segera dibuka. Kasus harus segera dibongkar. Pembukaan foto dan video enam jenazah Laskar FPI menjadi penting saat ini. Supaya tak berkembang berbagai prasangka yang akan mengaburkan dan menenggelamkan kebenaran itu sendiri. Dan ini tidak boleh terjadi! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

6 Anggota FPI Yang Tewas, Martir Perubahan?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (08/12). Hampir setiap perubahan politik yang bukan berlandaskan proses demokrasi, pemilu misalnya, selalu didahului oleh adanya martir. Mereka yang gugur dalam proses perjuangan untuk perubahan dan perbaikan. Adanya martir ini membangun semangat dan solidaritas perjuangan. Juga memperkuat tuntutan agar rezim cepat turun. Setiap penguasa biasanya selalu waspada akan adanya martir yang dapat melengserkan dirinya. Sebab penguasa harus berhadap-hadapan dengan kekuatan perlawanan yang semakin membesar dan berani. Perjuangan yang tidak lagi mengingat pada apapun resiko yang bakal dihadapi. Pada masa orde lama, pembunuhan terhadap "Tujuh Jendral Pahlawan Revolusi" yang kemudian dikenal “Peristiwa Lubang Buaya” adalah titik kulminasi rezim Soekarno menuju kejatuhannya. Betapa besar kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan betapa berkuasanya Soekarno. Namun jatuh juga akibat dari jatuhnya martir para Jendral TNI Angkatan Darat. Soekarno boleh hebat dan digjaya. Menyebut namanya dengan Pemimpin Besar Revolusi. Namun dengan gerakan yasng tekenal dengan sebutan G-30S/PKI, yang membunuh para Jenderal TNI Angkatan darat, menjadi sebab dan momentum perubahan ambruknya kekuasaan Soekarno. Orde Lama ambruk dan jatuh. Tujuh Pahlawan Revolusi adalah martir untuk rezim Soekarno. Perubahan politik yang melahirkan gerakan reformasi, dan menumbangkan rezim Orde Baru ditengarai dengan penembakan mahasiswa. Empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas oleh tembakan peluru tajam. Mereka adalah Elang Maulana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka yang ditembak pada peristiwa tanggal 12 Mei 1998 ini dikenal dengan Tragedi Trisakti. Keempat mahasiswa ini adalah martir perjuangan reformasi. Pada bulan Mei 1998 itu pula Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan sebagai Presiden. Orde Baru dengan segala kebesaran dan kedigjayaan selama 32 tahun berkuasa akhirnya tumbang. Sementara di masa rezim Jokowi, sejak kemenangan Pemilu yang dinilai kontroversial, telah berulang kali protes terjadi. Tewasnya 6 pengunjuk rasa pada peristiwa 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu RI, baik akibat tembakan maupun penganiayaan adalah warna awal kekuasaan Jokowi Priode kedua. Selanjutnya penuh dengan kegaduhan. Aksi unjuk rasa berulang kali terjadi untuk menentang revisi UU KPK, RUU HIP/BPIP, serta RUU Omnibus Law. Aksi revisi UU KPK menewaskan pengunjuk rasa yang tertembak. Martir. Rezim Jokowi meskipun rapuh tetapi masih mampu bertahan. Program deradikalisasi mengarah pada kelompok Islam. Umat Islam berjarak dengan kekuasaan. Bukan itu saja. Tokoh dan aktivis sering merasa terpojokkan oleh agenda kriminalisasi. Habib Rizieq Shihab (HRS) adalah salah seorang tokoh Islam yang juga menjadi obyek kriminalisasi itu. Kepulangan ke tanah air dari "pengasingan" di Makkah, tidak mengurangi gangguan dan terus menjadi target. Senin dini hari tanggal 7 Desember 2020 di area Tol Jakarta-Cikampek terjadi penguntitan terhadap rombongan keluarga inti HRS oleh orang yang kemudian diakuinya sebagai Polisi. Mobil pengawal HRS kemudian terpisah atau hilang. Terjadi penembakan terhadap enam orang anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang menjadi pengawal HRS hingga tewas. Polisi melalui Kapolda Metro Jaya, Irjen Muhmmad Fadil Imron menyatakan baku tembak antara polisi dengan laskar FPI. Sementara DPP FPI merilis bahwa anggotanya tak memiliki senjata api maupun senjata tajam. Karenanya FPI menyebut penembakan tersebut sebagai sebuah pembantaian. Tewas atau syahidnya enam anggota Laskar FPI yaitu Fais, Ambon, Reza, Andi, Lutfil, dan Kadhavi adalah wujud kekerasan dari arogansi kekuasaan Pemerintahan Jokowi. Bila terbukti memang anggota Laskar FPI ini tidak bersenjata, sebagaimana yang disampaikan oleh pihak DPP FPI, maka penembakan keenam orang tersebut merupakan suatu tindak kejahatan dan pembunuhan. Siapapun mereka, baik pelaku di lapangan, penyuruh, atau pihak yang membiarkan tindakan tersebut patut dikenakan sanksi berat. Intitusi Polisi dan Pemerintah harus bertanggungjawab. Kejadian seperti tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja dengan penjelasan dari Kapolda Metro Jaya. Dari keinginan adanya perubahan secara konstitusional, maka tewasnya enam orang anggota pengawal rombongan HRS dapat menjadi martir. Simpati dan dukungan kepada HRS dan FPI serta pada semangat perubahan yang dikenal dengan "Revolusi Akhlak" akan bertambah besar. Martir selalu jadi pemicu. Perkembangan pengusutan dari kasus penembakan anggota Polisi Polda Metro Jaya akan menentukan sikap dan reaksi publik. Masalah pelanggaran HAM itu tidaklah semata menjadi perhatian bangsa dan negara saja. Tetapi juga menjadi perhatian dunia internasional. Jika memang terjadi pembantaian, maka kiamat akan dialami oleh Kepolisian dan Pemerintah Jokowi. Martir akan selalu hadir, datang membayang-bayangi dan menghantui kekuasaan yang zalim dan semena-mena. Dengan demikian, Presiden adalah muara dari semua pertanggungjawaban. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Nyawa Manusia Di Indonesia Tak Berharga?

Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan mencermati kematian enam anggota Laskar FPI by Ubedilah Badrun Saya cukup lama merenung atas peristiwa yang menimpa enam anggota Laskar Front Pembela Islam(FPI) yang sedang mengawal Habieb Riziq Shihab (HRS) menuju pengajian subuh keluarga inti. Mereka para korban enam orang itu relatif masih muda. Yang pasti mereka adalah warga negara Indonesia. Perenungan itu dimulai dengan pertanyaan mengapa itu terjadi? Bagaimana peristiwanya? Dapatkah peristiwa itu dibenarkan atau disalahkan secara hukum? Apa argumenya? Apa buktinya? Jika itu tugas pengintaian polisi apakah ada bukti rekaman videonya? Sebagai akademisi sosiologi politik, saya mesti hati-hati menganalisis dan mengomentari peristiwa ini. Sebab ini soal nyawa manusia. Apalagi peristiwa yang kematianya melalui peristiwa penembakan. Bukan kematian yang biasa-biasa saja. Beberapa peristiwa kematian warga negara di republik ini dalam beberapa tahun terakhir sering terjadi. Sebut saja misalnya kematian Patmi petani Kendeng yang protesnya tidak didengar pemerintah. Patmi protes terhadap pembangunan pabrik Semen di pegunungan Kendeng pada tahun 2017. Patmi protes di depan Istana dengan menyemen kakinya. Kematian warga yang ditembak saat menolak pengukuran tanah di pesisir Pantai Marosi, Desa Patijala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Seorang warga negara yang tertembak di bagian dada. Ini peristiwa terjadi pada April 2018. Kemudian kematian hampir 989 petugas KPPS pada pemilu 2019 lalu. Kematian sejumlah warga pada peristiwa demontrasi di depan kantor Bawaslu RI Mei 2019. Begitu juga dengan kematian dua mahasiswa di Kendari saat demonstrasi #reformasidikorupsi# menolak pelemahan KPK pada September 2019. Adalah sederet kematian yang masih misteri sampai saat ini. Sejumlah aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) menyebut itu pelanggaran HAM baru. Pelanggaran HAM yang lama saja belum ada yang dituntaskan, kini sudah ada pelanggaran HAM baru. Kasus-kasus lama pelanggaran HAM dari tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, hingga 2000-an seperti kasus Munir sampai saat ini belum terungkap. Kini sudah ada pelanggaran-pelanggaran HAM baru lagi. Sejauh ini sejumlah kematian warga negara episode pemerintahan Jokowi itu tak terungkap. Bahkan publik sampai saat ini masih bertanya-tanya tentang itu semua. Kini publik kembali dipertontonkan dengan kematian akibat penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI. Menggunakan perspektif sosiologi politik kewarganegaraan (sosiologi kewargnegaraan), akan membuka mata hati kita untuk menempatkan manusia sebagai subyek. Siapapun dia, dan dengan latar belakang apapun dia, bukan untuk ditempatkan semata sebagai obyek. Warga negara adalah subyek yang terpenting dari yang penting-penting dalam entitas negara. Dalam terminologi sosiologi kewarganegaraan, manusia memiliki dua hak azasi, yaitu hak pasif dan hak aktif. Hak pasif merupakan hak yang diperoleh karena ia adalah manusia. Artinya semua manusia memiliki hak pasif tersebut, diantaranya hak untuk hidup. Sementara hak aktif adalah hak-hak seseorang yang merupakan anggota dari kelompok dalam entitas negara. Tidak semua orang mampu untuk mengekspresikan hak ini. Misalnya, hak untuk berpendapat dan hak berserikat. Juga hak untuk berorganisaai. Dengan demikian, setiap manusia sesungguhnya memiliki jaminan atas semua hak itu sebagai hak asasi warga negara. Tentu itu berlaku untuk siapapun, termasuk didalamnya adalah anggota dan Lakasr FPI. Mereka memiliki hak hidup sekaligus hak berserikat berorganisasi. Saya khawatir penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI itu tidak menempatkan mereka sebagai subyek warga negara. Tetapi menempatkan mereka sebagai obyek konflik politik yang menyusup dalam cara berfikir operasi pengintaian yang dilakukan oleh negara. Giorgio Agamben dalam bukunya “Homo Sacer Sovereign Power and Bare Life” (Stanford University Press,1998) mengingatkan betapa pentingnya negara menempatkan warga negara sebagai subyek dengan seluruh hak azasinya. Bukan sekedar obyek administrasi, dimana negara boleh melakukan apapun terhadap warga negara. Ketika negara menempatkan warga negara semata-mata sebagai obyek, maka apa yang disebut Giorgio Agamben (1998) sebagai proses homo sacer bisa terjadi. Merasa menjadi manusia asing di negerinya sendiri bisa terjadi pada setiap warga negara. Saya mencermati, jika ini semua terjadi pada banyak kasus maka pelan tapi pasti ke-Indonesiaan kita terancam bubar. Cara kekuasaan negara merespon kritik, merespon oposisi dan menata keragaman dari masyarakat sipil (civil society) menjadi sangat menentukan keberadaan negara dimasa depan. Cara-cara yang represif dalam menempatkan warga negara sebagai obyek, harus segera diakhiri. Pertanyaannya, mengapa itu semua terjadi? Bisa saja dimungkinkan karena cara berfikir rezim dalam melihat warga negara hanya sebagai obyek bukan sebagai subyek. Secara sosiologi kewarganegaraan, posisi warga negara itu mestinya tidak hanya ditempatkan dalam ranah kewarganegaraan politik. Tetapi juga dalam ranah kewarganegaraan sosial dan kewarganegaraan sipil. Soal bagaimana peristiwa itu terjadi? Ada dua versi. Menurut versi Polda Metro Jaya penembakan itu dilakukan dalam situasi baku tembak sebagai bentuk perlindungan karena aparat terancam. Sementara menurut versi FPI itu dilakukan oleh aparat secara sepihak. Tanpa da baku tembak, karena anggota Laskar FPI tidak memiliki senjata api maupun senjata tajam lainnya. Penjelasan dari dua pihak yang berbeda memungkinkan adanya celah yang keliru. Pembentukan Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) adalah solusi terbaik. Inisiator dan motor utama TPFI mesti dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) sebagai institusi independen. TPFI biasanya akan mampu mengungkap secara detail kronologisnya. Besa kemungkinan akan ditemukan celah pelanggaranya dari sisi hukum dan hak azasi manusia. Pada titik ini kita semua berharap agar peristiwa tersebut terungkap secara terang benderang. Supaya kita semua tau bagaimana aparat penegak hukum polisi, Komnas HAM, Pengadilan HAM dan rezim pemerintah menempatkan hak azasi warga negara. Apakah menempatkan warga negara sebagai obyek kekuasaan semata, atau menempatkan warga negara sebagai subyek? Jika kasus ini tak terungkap sebagaimana kasus-kasus hak azasi manusia sebelumnya, maka kesimpulan bahwa nyawa manusia di Indonesia tidak berharga itu ada benarnya. Jika ini yang terjadi, ini adalah episode biadab hak azasi manusia di Indonesia. Episode gelap kemanusiaan negara republik. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Bentuk Komisi Pencari Fakta Independen

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (07/12). Penjelasan pihak Kepolisian Metro Jaya bahwa tewasnya 6 anggota Laskar Frot Pembela Islam (FPI) yang menjadi pengawal rombongan keluarga Habib Rizieq Shihab (HRS) menyerang aparat kepolisian berbeda dengan penjelasan resmi dari DPP FPI. Sekretaris jendral (Sekjen) DPP FPI Munarman menyatakan bahwa mobil pengawal HRS lah yang duluan diserang dan ditembakin oleh Orang Tak Kenal (OTK). Enam orang anggota Laskar FPI bersama mobil yang mereka tumpangi bahkan hilang. Karena mereka diculik. Setelah adanya penjelasan dari FPI, lalu ada konferensi pers dari Polda Metro Jaya yang menyatakan bahwa keenam orang pengawal HRS tersebut ternyata tewas. Mereka ditindak dengan tegas dan terukur olah aparat kepolisian. Begitu kata Kapolda Metro Jaya, Irjen Polisi Fadil Imron. Mengingat kaburnya peristiwa di atas, wajar saja muncul desakan harus segera dibentuk Komisi Pencari Fakta Independen (KPFI). Karena ini menyangkut nyawa anak bangsas enam orang yang mesti mendapat pertanggungjawaban politik maupun hukum. Bukan semata pertanggungjawaban aparat, tetapi juga Pemerintah. Penjelasan yang sepihak harus memperoleh pembuktian. Pengintaian terhadap gerak-gerik HRS yang intensif juga menunjukkan bahwa apara penegak hukum telah menempatkan HRS sebagai musuh negara. Tentu hal ini sangat tidak proporsional, mengingat persoalan yang dituduhkan hanya masalah kerumunan saat pernikahan puteri HRS di Petamburan. Kualifikasinya hanya sebatas pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Haruskah aparat kepolisian bertindak hingga penembakan yang menewaskan nyawa anak bangsa enam orang? Mengapa bukan penembakan untuk melumpuhkan? Bahwa HRS tidak hadir saat pemanggilan Polisi itu memiliki prosedur hukum yang dapat dilaluinya. Dimulai dari pemanggilan bertahap hingga panggilan paksa. Tetapi jika sampai pada pengintaian, penyerangan, dan penembakan tentu hal ini adalah di luar prosedur baku yang berlaku. Apakah proses penegakan hukum protokol kesehatan harus dilakaukan dengan pengintaian? Untuk itu, hanya dengan komisi fact finding semua persoalan bisa terungkap. Benarkah polisi diserang atau polisi yang duluan menyerang? Ini sangat penting dan mendesak, agar Indonesia sebagai negara hukum tidak bergeser menjadi negara kekuasaan. Jangan hanya perlakukan kesewenang-wenangan yang ditampilkan kepada masyarakat. Bila situasi ini diambangkan, maka akan menjadi bom waktu bagi instabilitas negeri. Kita harus menghindari terjadinya penghancuran atas negara demokrasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Di Era Jokowi, Kebobrokan Negara Terbongkar

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (07/12). Menteri Sosial, Julian Batubara kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) pada 5 Desember 2020 lalu. Juliari jadi tersangka dengan tuduhan korupsi Rp 17 miliar. Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga di-OTT KPK (25/11). Nggak usah kaget. Biasa saja. Entar juga akan ada yang tertangkap lagi. Menteri, ketua dan sekjen partai, anggota DPR, kepala daerah, atau pejabat lainnya, entah sudah berapa banyak dari mereka yang ditangkap KPK. Tak berarti yang tidak tertangkap itu bersih dari korupsi. Belum tentu juga. Ini hanya karena faktor apes dan bernasib sial. Korupsi di Indonesia bukan semata-mata karena bobroknya moral individu. Tetapi lebih karena faktor sistem, kultur dan mentalitas bangsa. Publik nggak usah berlebihan mengapresiasi KPK. Seolah KPK sudah siuman setelah sekian lama dikerangkeng oleh UU No 19 Tahun 2019. Para pejabat secara umum ditangkap karena pertama, dua alat bukti sudah ada. Kedua, tak ada perlindungan orang kuat. Tepatnya, kecolongan, sehingga tak sempat minta perlindungan. Ketiga, seringkali penangkapan pejabat sarat unsur politik. Meskipun dua alat bukti ada, tetapi pelindung anda orang kuat dan selalu menjaga anda, boleh jadi anda selamat. Asal tidak di-OTT. Belajar dari kasus Bank Century, dana BLBI, e-KTP sampai PAW anggota DPR yang melibatkan Harun Masiku. Kok menguap? Publik berpikir ada orang kuat di belakangnya. Koruptor kakap Djoko Djandra yang sembilan tahun jadi buronan dan menyeret sejumlah perwira berpangkat bintang hanya dituntut 2 tahun. Sementara yang dituduh melanggar UU ITE diancam 6 tahun. Sampai disini anda mesti paham bagaimana penegakan hukum di negeri ini. Banyak yang ganjil. Korupsi pejabat akan "sulit dikurangi" selama penegakan hukum dan sistem politik tidak berubah. Ini jadi kata kunci. Ketidakadilan hukum jadi warisan dari satu generasi ke generasi lain secara turun temurun. Dari Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi. Hanya saja, sekarang klimaks. Sepertinya, para pejabat sudah banyak belajar kepada generasi sebelunnya bagaimana melakukan korupsi secara efektif. Lihai! Meski kadang ada yang kepleset dan ditangkap KPK. Apes saja. Praktek penegakan hukum semakin rusak ketika aparat hukum ditarik di gelanggang politik. Tak jarang hukum justru dijadikan instrumen untuk menghabisi. Pertama, kepada mereka yang kritis terhadap penguasa. Kedua, lawan-lawan politik penguasa. Kriminalisasi adalah suatu keniscayaan ketika aparat hukum dilibatkan dalam politik. Di sisi lain, cost pemilu sangat besar. Para calon, baik caleg, capres maupun calon kepala daerah, mereka butuh modal besar. Umumnya, mereka tak mampu membiayai dengan dana pribadi. Dana cekak memaksa mereka harus melibatkan investor. Kalau umumnya anggota DPR tak mendengar lagi suara rakyat, ya wajar. Karena saham mayoritasnya bukan milik rakyat, tapi milik para pengusaha yang membiayai mereka. Suara rakyat sudah "dibeli putus" saat pemilu. Tepatnya ketika terjadi serangan fajar. Antara Rp 50.000-100.000 ribu per suara. Selesai sudah di kotak suara. Rakyat suaranya sudah dibeli putus. Ya nggak pantas kalau berteriak. Karena sudah nggak punya saham di gedung DPR. Ini juga berlaku bagi banyak kepala daerah, dan mungkin juga presiden. Jadi, kalau mereka nggak dengar rakyat, ya nggak salah. Karena sebagian besar rakyat sudah dibeli suaranya saat pemilu. Hukum yang tidak tegak lurus serta cost politik yang sedemikian tinggi, menyebabkan korupsi makin subur. Tradisi koruptif diwariskan turun temurun. Jadi, anda jangan hanya melihat case by case. Anda jangan terpukau dengan KPK menangkap Edhy Prabowo dan Julian Batubara. Dibalik kedua menteri itu, justru seringkali faktor yang lebih menarik untuk dibahas adalah tokoh di belakangnya, partainya, posisi jabatannya, atau sepak terjang KPK itu sendiri. Hukum seringkali nggak independen. Jadi, fenomena penangkapan tersangka tindak pidana korupsi jangan dilihat dari kasusnya. Tetapi lihatlah penyebabnya. Mengapa banyak diantara mereka yang korupsi? Lihat juga penegakan hukumnya. Kenapa hanya mereka yang ditangkap? Yidak yang lain. Partai anda punya kader yang jadi menteri berapa orang? Yang jadi direktur dan komisaris BUMN berapa orang? Yang jadi kepala daerah berapa orang? Dari situ parpol-parpol itu mencari logistik. Sebagian untuk memakmurkan pengurusnya. Jadi, kalau dalam dua pekan ini ada kader dari dua partai di-OTT KPK, yang harus kita lihat pertama, jabatan menteri itu bukan cek kosong. Kedua, kebutuhan operasional partai sangat besar. Kalau menteri itu dari partai, mosok nggak ada setoran? Ketiga, posisi menteri banyak peminatnya. Posisi menteri ini menjadi arena perebutan antar partai dan antar banyak pihak. Keempat, di setiap kementerian biasanya sudah ada mafianya. Para pemain lama tentu saja sangat berpengalaman. Kelima, mata hukum seringkali "juling". Yang juling paling parah di sebelah kiri. Namu yang dihajar di sebelah kanan. Jika kita bongkar, negara ini sesungguhnya sudah sedemikian rusak. Ibarat penyakit kanker, sudah stadium empat. Korupsi "boleh jadi" ada di semua kementerian, di semua lembaga dan institusi negara, di semua BUMN. Terjadi secara sistemik. Salah satunya penyebabnya karena kesalahan sistem melahirkan tradisi dan mental koruptif. Jargon #Revolusi mental# bukannya memperbaiki, tetapi faktanya, malah masif terjadi korupsi. Ini terjadi bukan hanya di era Jokowi, tapi turun temurun. Sudah lama, terutama sejak era reformasi. Di era Jokowi ini, seolah jadi puncak gunung es. Makin parah. Lalu, darimana memperbaikinya? Perbaiki penegakan hukum dan sistem politik yang high cost itu. Dan ini harus dilakukan dari atas, yaitu oleh pemimpin. Kalau yang di atas memble, yang lain, terutama yang di bawah pasti ikut memble juga. Banyak pihak yang meragukan kemampuan Jokowi. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Siapa Menteri Ketiga Diambil KPK?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (06/12). Setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Eddy Prabowo, salah satu kader terbaik Partai Gerindra terjerat korupsi benih lobster (benur), kini giliran Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, salah satu kader terbaik dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketam Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dikabarakan marah-marah atas kelakuan “anak selokan" terbaik binaannya. Entah dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Apakah juga ikut marah-marah atau seperti Prabowo terhadap Edhy Prabowo, atau tidak atas kerjaan dan kelakuan Wakil Bendahara Umum PDIP ini. Marah-marah itu bisa karena mencemarkan nama baik pribadi Ketum atau partai. Namun bisa juga karena cara kerja mencuri yang kok bisa ketahuan. Apapun itu, ketika awal ramai penyusunan Kabinet Pemerintahan Jokowi, partai-partai berlomba untuk menempatkan kadernya di posisi-posisi yang dianggap basah, penting dan strategis. Pertengkaran antar koalisi kadang hanya disebabkan memperebutkan posisi basah dan kering seperti ini. Setelah Menteri dari Gerindra dan PDIP terjerat korupsi, timbul pertanyaan kader partai mana lagi yang menjadi target berikutnya dari KPK. Pertanyaan aneh, tetapi wajar saja sebab semua juga tahu bahwa kader-kader partai yang ditempatkan pada jabatan-jabatan pemerintahan, baik di Kementrian maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak dapat dipisahkan dari misi partai, baik pengaruh maupun untuk pengisi kas partai. Presiden Jokowi tentu saja tidak tuli dan buta pada kepentingan partai. Terutama melalui pembagian jabatan di pemerintahan. Jadi, logisnya Presiden mampu memainkan ritme dan fluktuasi politik di lingkungan internal pemerintahan. Kejaksaan Agung atau KPK bukan barang yang steril. Toh, Dewan Pengawas KPK bisa menjadi jembatan komunikasi yang bagus dengan pusat kekuasaan. Maknya publik mungkin ragu, jika tertangkapnya dua menteri Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara adalah kejutan bagi Presiden Jokowi. Keraguan yang wajar-wajar saja. Dua partai yang juga potensial untuk diredam oleh aksi KPK berikutnya yaitu Partai Golkar dan Nasdem. Kedua partai ini mulai "nakal". Nasdem mulai aktif mendekati Anies Baswedan yang selama ini menjadi "musuh utama istana". Sedangkan Golkar, disamping tidak dukung prolegnas RUU HIP, juga memiliki tapak pada Jusuf Kalla (JK) yang membuat poros politik baru JK-Surya Paloh-Anies-HRS. JK adalah sesepuh dan mantan Ketum Partai Golkar. Untuk satu tahap, Jokowi dapat sukses menekan dan meredam KPK. Tetapi kondisi ini dapat menjadi api dalam sekam. Jika partai-partai pendukung mulai gerah karena kader-kadernya digoyang terus, maka pemerintahan Jokowi akan menjadi "tidak lagi berpartai". Kondisi akan rawan pula untuk digoyahkan ke depan. Secara politik terbuka ruang balas dendam. Dua Menteri dihajar korupsi suap. Apakah suap model seperti ini hanya dilakukan dua Menteri itu saja? Patut diduga tidak mungkin. Perlu dilakukan pengusutan yang menyeluruh. Pesiden harus meminta KPK, baik langsung maupun melalui Dewan Pengawas untuk bekerja keras seobyektif mungkin. Akan tetapi sebenarnya persoalan berat yang dihadapi adalah apakah Presiden juga bersih? Kini kita tunggu saja siapa menteri ketiga yang telah masuk agenda "permainan" bongkar-bongkar borok demi kepentingan politik ini? Satu catatan terpenting adalah bahwa pertarungan internal telah dimulai.Ke arah mana angin akan berhembus? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Enak Jamanku To?

by Basyir Al-Haddad Jakarta FNN – Ahad (06/12). Ketika dihadapkan pada kehidupan politik yang semerawut, masyarakat yang terbelah, hidup yang makin sulit, kita jadi teringat dengan Pak Harto. Lepas dengan semua kekurangan dan kelemahannya, di zaman Orde Baru, semuanya relatif stabil. Pada masa Orde Baru, nggak ada preman, atau ormas berbaju preman yang dipakai oleh penguasa untuk menggebuk lawan-lawan politik, atau kelompok sipil kritis (civil society). Keamanan relatif stabil, karena negara tidak menggunakan jasa preman. Baik preman darat maupun preman udara yang disebut buzzer medsos. Banyaknya preman yang diberi ruang bernarasi atas nama pancasila dan NKRI justru semakin membuat gaduh keadaan. Masa Orde Baru, ketahanan dan kedaulatan pangan betul-betul dijaga. Nasib petani selalu menjadi perhatian serius Presiden. Hampir setiap hari Presiden tanya ke bagian rumah tangganya, berapa harga beras, harga cabe, sampai harga bawang dan harga garam? Semua dikontrol agar petani tidak menjadi korban para tengkulak dan importir. Saat ini, impor kebutuhan pokok ugal-ugalan. Beras, gula, kedelai, bawang, cabe, bahkan garam dan sayuranpun diimpor. Ini tak masalah selama jumlah yang diimpor disesuaikan dengan kebutuhan rakyat setelah menghitung hasil panen petani. Berapa kebutuhan rakyat, lalu dikurangi hasil panen, di situlah penerintah impor. Kalau hasil panen petani sudah mencukupi kebutuhan dalam negeri, kenapa harus impor lagi? Kalau kebutuhan rakyat hanya 1 juta ton, kenapa harus impor sebanyak 150 juta ton? Petani akan mampus. Sebab, hasil panen petani nggak terbeli. Bisa dibeli, tetapi dengan harga sangat murah. Untuk mengembalikan modal saja gak cukup. Ketahanan pangan menjadi masalah ketika impor dijadikan project balas budi terhadap para donatur yang menyumbang logistik saat pemilu. Di situ para timses dan partai pendukung ikut ambil jatah. Korbannya adalah petani, petani dan petani. Soal demokrasi, Pak Harto distigmakan sebagai pemimpin yang otoriter. Menggunakan tentara untuk menjaga stabilitas keamanan dan politik pemerintah. Meski begitu, di zaman Orde Baru, tentara nggak masuk kampus, mengejar mahasiswa hanya sampai di pagar kampus saja. Apalagi polisi. Pak Harto berprinsip bahwa kampus adalah tempat bersemainya generasi penerus bangsa. Sebab di kampus inilah masa depan bangsa akan ditentukan. Kalau kampus sudah rusak, maka masa depan bangsa juga pasti akan rusak. Membonsai mahasiswa sama saja merusak benih yang disiapkan untuk masa depan bangsa. Dulu, satu mahasiswa terluka atau ditahan aparat, kampus ramai. Masyarakat sipil hingga dunia internasional bicara. Kematian sejumlah mahasiswa Trisakti berakibat Orde Baru tumbang. Saat ini, entah sudah berapa nyawa mahasiswa jadi korban. Yang terluka, ditahan dan hilang, entah berapa jumlahnya. Hampir 1.000 petugas pemilu yang mati pun sudah dilupakan. Saat ini, rektor dipilih dan ditentukan oleh menteri. Senat hanya mengusulkan sejumlah nama. Siapa yang akan jadi rektor, tangan menteri yang akan memilih. Nggak peduli seorang calon rektor itu mendapat dukungan paling sedikit di senat. Menteri mau, kepilihlah dia. Nah, menteri pasti akan memilih calon yang loyal dan bisa dikendalikan. Siapapun dia. Dan di tangan rektor, para dekan dipilih. Senat fakultas tak punya hak lagi. Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa kampus sangat terkendali. Mahasiswa dan semua sivitas akademika terkendali. Jangan heran kalau ada rektor meminta para mahasiswa baru menandatangani pakta integritas, yang salah satu isinya tentang kesediaan mahasiswa untuk tidak ikut berpolitik. Pers di zaman Orde Baru memang dibatasi. Tetapi tidak ditekan habis, sehingga harus seragam pemberitaannya. Media, terutama media mainstream, sekarang tiarap. Colak colek penguasa, ijin usahanya bisa dicabut. Kasus pajak bisa terungkap. Indonesia menganut politik bebas aktif. Pak Harto masih cukup berwibawa di setiap pertemuan dan panggung global. Indonesia punya identitas dan jati diri di mata dunia internasional. Ini bukti bahwa kedaulatan negara terjaga. Bandingkan dengan sekarang, seperti apa? Rasakan sendiri. Soal pembangunan infrastruktur, ada program repelita. Semua terencana dan terukur sesuai kebutuhan dan kemampuan. Tetap mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Tidak ugal-ugalan ngutang sana ngutang sini. Kebutuhan masyarakat dan efek pertumbuhan ekonominya di setiap perencanaan pembangunan. Tidak ngasal dan mengumbar nafsu. Kata temen saya yang pernah jadi menteri, "dua project yang potensi korupsinya paling gede dan relatif tidak ketahuan yaitu di migas dan di pembangunan infrastruktur". Ini yang terjadi sekarang. Korupsi? Jika di zaman Orde Baru korupsi terbatas di elit, sekarang korupsi dilakukan berjama'ah. Alias ramai-ramai dan kompak. Hampir di semua lini. Jika di masa Orde Baru korupsi sembunyi-sembunyi, saat ini korupsi terang-terangan. Nggak ada malu-malunya. Ada anekdot populer, "di masa Orde Baru korupsi hanya terjadi di bawah meja. Saat ini mejanya pun ikut dikorupsi". Anekdot ini seolah mengklarifikasi adanya regulasi yang sengaja disiapkan untuk memperlancar korupsi. KPK dimatikan melalui revisi Undang-undang No 19 Tahun 2019. UU Minerba makin membuka peluang korupsi di dunia tambang. UU Ciptaker memberi ruang bagi korporasi menindas buruh dan menguasai kekayaan negara. Situasi saat ini membuat rakyat dipaksa untuk membandingkan antara masa Orde Baru dengan masa sekarang. Sebagian menganggap di masa Orde Baru kehidupan berbangsa lebih stabil dan tenang. Enak jamanku To? Penulis adalah Pemerhati Indonesia

Korupsi Marak Saat Rakyat Menderita, Dimana Jokowi?

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Ahad (06/12). Hampir satu tahun lalu kita semua dibuat penasaran tentang penyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang menghilang tak tentu rimbanya. Sementara komisioner KPU-nya sudah dipenjara. Entah mengapa KPK sampai saat ini belum menemukan sosok yang dekat dengan petinggi partai berkuasa tersebut. Lalu kita dihebohkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Edhy Prabowo Menteri Kelautan dan Perikanan pada akhir November lalu. OTT ini membuat publik marah, dan sampai saat ini belum sirna dari ingatan publik. Diduga kuat Edhy Prabowo menerima suap sebesar Rp3,4 Milyar. Tiba-tiba awal Desember ini, publik kembali dihebohkan dengan berita OTT pejabat Kementerian Sosisl RI. KPK sudah menetapkan bahwa Juliari Peter Batubara (Menteri Sosial) sebagai tersangka. Publik tentu semakin marah, karena diduga kuat yang dikorupsi itu uang bantuan sosial untuk mereka yang terdampak pandemi Covid-19. Yang dikorupsi di Kemensos juga uang untuk mereka yang berpenghasilan kecil. Uang untuk mereka yang miskin dan menderita. Uang untuk mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Angka korupsinya cukup fantastis. Diduga mencapai Rp. 14,5 miliar Jika dicermati, dana untuk penanganan pandemi Covid-19 mencapai Rp 677,2 triliun. Ini dana yang sangat besar, tetapi rawan dan berpotensi dikorupsi karena lemahnya pengawasan publik dan lemahnya pengawasan internal akibat situasi pandemi covid-19. Pesan Jokowi & Maraknya Korupsi Masih lekat dalam ingatan publik bahwa satu tahun lalu lebih, pada 23 oktober 2019 lalu, saat melantik 34 menterinya, Presiden Jokowi mengingatkan, "Saya telah perintahkan seluruh kabinet yang sudah saya umumkan, yang pertama jangan korupsi. Supaya menciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi". Peringatan Jokowi kepada para menterinya itu dilakukan berkali-kali. Kalau begitu, pertanyaanya adalah mengapa masihg tetap saja terjadi korupsi? Mencermati kondisi tersebut, setidaknya menunjukkan terdapat lima hal penting. Pertama, peringatan Presiden Jokowi tidak didengar oleh para menterinya. Peringatan Presiden Jokowi hanya didengar sambil lalu saja. Tidak dianggap sebagai hal penting. Bahkan kemungkinan dinilai hanya sebagai pemanis bibir, dan bumbu citra rasa bagi seorang Presiden. Kedua, kepemimpinan Presiden dalam menjaga kabinetnya untuk tidak korupsi terlihat lemah. Presiden tidak mampu memanage, dan mengontrol menterinya untuk tidak korupsi. Bukankah setiap rapat kabinet ada update laporan dari para menterinya? Pada setiap laporan, mestinya Presiden mampu temukan celah potensi korupsi? Tetapi jika menemukan celah, potensi kemungkinam korupsi lalu dibiarkan dan tidak ditegur, ini berarti kemungkinan ada semacam pembiaran atau kepercayaan Presiden yang berlebih kepada para menterinya. Ketiga, itu menunjukkan saat proses pengangkatan Menteri cenderung mengabaikan sisi integritas calon menterinya. Lebih dominan faktor transaksional politisnya. Ini sudah diduga dari awal, karena proses pengangkatan para menteri diawal periode kedua Jokowi ini memang tidak melibatkan KPK dalam seleksinya. Berbeda dengan saat periode pertama yang meminta KPK. Ada semacam menseleksi dari sisi track record (rekam jejak) integritas nama nama calon menterinya. Keempat, menunjukkan bahwa sang menteri, sejak awal memang tidak memiliki integritas yang baik. Selain itu, perlu ditelusuri, apakah praktek korupsi tersebut sengaja dibiarkan, disetujui, atau diperintah oleh partai politiknya? Kelima, menunjukkan tidak jera nya para elit politik dalam melihat penangkapan OTT yang dilakukan KPK. Termasuk tidak takut untuk malukukan korupsi, karena hukuman bagi koruptor ternyata ringan. Bahkan boleh lagi menjadi caleg, atau calon kepala daerah setelah keluar dari penjara. Meminjam terminologi Inge Amundsen yang disebutkan dalam artikel yang berjudul Research on Corruption: A Policy Oriented Survey (2000) karakteristik koruptif bribery (suap), embezzlement (penggelapan), dan nepotism (kedekatan hubungan) tampaknya lebih dominan di Indonesia. Peristiwa dan analisis di atas adalah obyek empiriknya. Dimana Tuan Presiden? Pada titik inilah kita patut bertanya di mana integritas Presiden Jokowi di tengah masih maraknya korupsi? Di mana posisi Presiden Jokowi dalam mendorong hukuman berat bagi para koruptor? Di mana komitmen Presiden dalam upaya pencegahan praktek korupsi di Kementrian dan Lembaga di bawah kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan? Korupsi di tengah situasi bencana pandemi covid-19, dan situasi krisis ekonomi, bahkan dalam situasi resesi ekonomi menuntut penegakan hukuman yang sangat berat. Bila perlu hukuman mati sangat dimungkinkan menurut Undang-Undang. Lantas, di mana posisi dan komitmen Presiden Jokowi yang dulu berkampanye untuk hukum berat koruptor? Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Kemudian pada ayat berikutnya (2) disebutkan, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Di dalam aturan penjelasan ayat (1) diterangkan yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” di dalam pasal ini mencakup melawan hukum dalam arti formil maupun materiil. Artinya, meski perbuatan tersebut tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial di masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi dapat dimaknai sebagai delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan. Bukan dengan timbulnya akibat. Sedangkan pada ayat (2) dijelaskan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menetapkan Corona sebagai bencana nasional. Maka dari itu, jika terjadi tindak pidana korupsi terhadap dana anggaran untuk penanganan Corona, maka sesungguhnya bisa ditindak sesuai dengan Pasal 2 UU tindak pidana korupsi tersebut. Saat ini Indonesia sedang dalam kondisi bencana nasional pandemi covid-19. Kita dalam kondisi krisis ekonomi dan moneter. Lalu apakah hukuman mati akan diterapkan? Ini momentum penting bersejarah dalam penegakan hukuman bagi para koruptor agar semua elit politik yang berniat korupsi jera dan tidak akan melakukan tindakan korupsi lagi. Pertanyaanya, sampai saat ini, usai KPK menetapkan Mensos JPB sebagai tersangka korupsi bantuan sosial, apa suara Presiden Jokowi? Jokowi hanya mengatakan bahwa dirinya tidak akan melindungi menterinya yang korupsi. Itu benar Tuan Presiden. Tetapi ini situasi bencana nasional dan krisis ekonomi. Di mana suara lantangmu soal hukuman mati Tuan Presiden? Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).