OPINI

Tolak Wamen Pendidikan, Top Markotop Mas Mu'thi

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (24/12). Pengumuman enam menteri baru usai. Meski ada sedikit keraguan soal Menteri Agama keliru atau tidak, Yaqut atau Staquf, karena keduanya sama-sama Khalil. Soalnya awal yang ramai adalah nama Yahya Khalil Staquf, tetapi kemudian yang diumumkan dan dilantik keesokan harinya justru Yaqut Khalil Qoumas, sang adik. Di tengah komentar dan kritik keras terhadap kepatutan Yaqut untuk menjadi Menteri Agama, juga Sandiaga Uno "paket pilpres" Prabowo yang dinilai "ambruk dua-duanya", serta Budi Gunadi Sadikin alumni Institut Teknologi Bandung (ITB), yang bukan dokter, namun memimpin Kementrian Kesehatan, maka satu figur yang dicanangkan menjadi Wakil Menteri Pendidikan ternyata menolak untuk diangkat. Dialah Prof. Abdul Mu'thi. Mantap dan hebat patut diberikan kepada Mas Mu’thi. Bagaimana tidak, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu beralasan tentang ketidakmampuan dia untuk mengemban amanah sebagai Wamen. Wah, wah dan wah. Berdasarkan pertimbangan yang matang” ujarnya. Akhirnya Mas Mu’thi menjadin satu-satunya kandidat yang tidak bersedia dilantik. Sikap Mas Mu’thi ini aneh tapi nyata. Sebab pada eranya orang yang lagi gila kehotmatan dan jabatan ini, masih ada yang menolak jabatan sekelas Wamen. Berbeda dengan Sandiaga Uno, yang sejak awal-awal terdengar tak bersedia. Namun akhirnya bersedia juga. Pilihan Mas Mu'thi tentu disikapi beragam. Namun bagfi warga Persyarikatan Muhammadiyah, dapat menilai bahwa sikap ketidaksediaan untuk menjadi Wakil Menteri itu sangat difahami dan patut diapresiasi. Dua hal penting yang mendasarinya. Pertama, sebagai Wamen ruang gerak untuk mengambil kebijakan sangat terbatas. Bukankah Presiden pernah menyatakan bahwa “tidak ada visi menteri ,yang ada adalah visi Presiden”. Nah visi Menteri saja tak ada, apalagi visi Wakil Menteri. Menteri dan Wakil Menteri yang bekerja tanpa visi adalah mesin, boneka, atau robot. Kedua, dalam budaya kepemimpinan di Muhammadiyah yang "kolektif kolegial". Artinya kerja bersama yang diutamakan. Semua elemen harus saling mendukung dengan tingkat keterbukaan dan kejujuran yang tinggi. Anggota kabinet Jokowi kini sudah terbaca oleh publik suka berjalan sendiri-sendiri. Bahkan tanpa visi yang jelas. Presiden tak memiliki kemampuan sebagai dirijen yang mumpuni. Mas Mu'thi yang masuk di pertengahan jalan. Akan berat untuk dapat berselancar mengarungi dua kondisi atau kultur di atas. Karenanya dengan bahasa halus ia menyatakan "tidak memiliki kemampuan untuk mengemban amanah sebagai Wamen". Meskipun sebenarnya semua orang tahu bahwa "pendidikan" adalah bidang yang sangat dikuasai dan menjadi keahlian Mas Mu’thi. Pemerintahan Jokowi kini sedang rapuh karena menghadapi banyak masalah yang tidak pernah tuntas. Korupsi di lingkaran istana pelan-pelan terus terkuak. Sementara penanganan pandemi Covid 19 tidak konsisten. Pembuatan aturan hukum dipaksa-paksakan. Kepentingan asing yang diutamakan. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dilakukan dengan kasat mata. Hutang luar negeri terus digali. Sekarang mencapai U$ 402,08 miliar dollar (Kompas.com edisi 14 Oktober 2020). Nah, silahkan kalikan sendiri dengan kurs tengah yang berlaku sekarang. Kurva pengelolaan negara tidak sedang menaik. Justru malah menurun, dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat rendah. Mengatasi aspirasi yang berbeda, kurang akomodatif dan dialogis. Malah semakin respresivitas dan eksploitative tinggi. Terkesan kehilangan rasa malu. Mas Mu'thi sudah tepat bersikap. Menolak jabatan adalah "counter culture" yang konstruktif untuk pembangunan karakter bangsa ke depan. Padanannya adalah budaya siap mundur jika gagal. Hal demikian merupakan barang langka di era kehidupan sosial politik yang hedonis dan pragmatis. Selamat dan mantap Mas Mu'thi. Matahari memiliki cahaya sendiri. Jabatan Wakil Menteri atau Menteri sekalipun harus didasarkan pada keyakinan. Perwujudan dari iman dan amal shaleh. Menjadi agenda untuk mengajak kebenaran dan mencegah kemungkaran. Penolakan jabatan adalah bagian dari mencegah kemungkaran itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Hukum dan Senjata, Dua Alat Utama Rezim Otoriter

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Kamis (24/12). Sejarah kekuasaan tirani menyajikan banyak hal yang seluruh aspeknya menarik. Monopoli kebenaran, dan mobilisasi pendapat umum, hanyalah dua aspek kecil menarik menandai rezim barbarian ini. Berbahaya, itu jelas. Tetapi sebahaya-bahanya monopoli kebenaran dan mobilisasi pendapat umum, masih tidak lebih berbahaya dibandingkan penggunaan hukum dan senjata. Hukum dan senjata, tersaji begitu telanjang dalam sejarah kekuasaan tirani. Sebagai dua alat utama penopang kekuasaan. Hukum dan senjata menjadi dua pilar penyangga terhebat di sepanjang garis eksistensinya yang dapat diperiksa. Kedua senjata mematikan itu sepenuhnya merupakan will of the ruler’s. Tyran, yang menurut Benedikt Forchner dalam artikelnya “Law’s Nature: Philosophy Argument in Cicero’s Writing” oleh Cicero disebut “belua” that is, as a wild animal. Penilian menjadi alasan tepat menyatakan Cicero tidak hendak menjadi “salus populi supreme lex esto” menghabisi individu. Rules by rulers, bukan rule of law, teridentifikasi sejarah sebagai inti penegakan hukum dan politik pada rezim-rezim tiran. Law adalah titah, decree, sang tiran. Law, dalam semua aspeknya, pembentukan dan penegakannya, sepenuhnya merupakan ekspresi kehendak sang tiran. Dalam beberapa kasus, khususnya Jerman, tipikal itu ditunjukan dengan sangat jelas melalui apa yang dikenal dengan Enabling Act 1933. Anabling Act ini yang memungkinkan Hitler menjadi Fuhrer. Yang mengakhiri semua prilege krule of law yang digaris dalam Wimar Constitution 1919. Konstitusi demokratis ini dicampakan secara kasar, khas politik rezim binasa. Freedom from illegal arrest, and from search and seizure, inviolable secrecy of all communication by mail, telegraph or telephon, freedom of speech freedom of the press, freedom of assembly, and freedom to organized club and association, tulis Fredercik Hoefer, semuanya diberangus. Hitler sejak saat itu, segera memanfaatkan polisi yang berada dibawah kendali Frcik dan Hermann Goring, Menteri Dalam Negeri, memenjarakan para oposan. Frcik secara terbuka menyatakan don’t worry, when we are in power we shal putt of you guys in cenocentration camp. Tidak lama setelah itu, 40.000 political opponent melarikan diri keluar negeri, dan 45.000 orang ditempatkan di komp konsentrasi. Agar terlihat sebagai rechstaat, pemerintahan teroro ini mendirikan special court untuk mengadili mereka. Enabling Act 1933, membenarkan hukum yang bersifat ex post facto. Hukum ini mengalihkan legislative power dari parlemen ke tangan Hitler. Judiciary independent, oleh Enabling Act juga dihapus. Judiciary independent hanya bisa indah dalam mimpi hakim-hakim merdeka. Mengerikan hukum ini juga menjungkalkan apa yang dalam ilmu hukum pidana kenal dengan nulla siene poena sine lege. Dua tahun kemudian, tepatnya tangal 15 September 1935, ketika berpidato di Nuremberg, Hitler mendekritkan (decree), apa yang dikenal dengan nurember law atau The Reich Citizen law. Diskriminasi rasial, teridentifikasi sebagai gagasan dasar The reich Citizen law ini. Tetapi harus diakui tidak seorangpun dihukum karena bermimpi. Mimpi tidak dikualifikasi sebagai kejahatan yang dapat dihukum. Padahal tipikal totalitarian, rezim ini telah menyediakan tatanan ganda untuk hukum. Benar-benar rezim teror, totalitarian, extra judicial arrest, extra murder and extra punishment, dilembagakan di dalam hukum pidana substantifnya. Pada saat yang sama rezim ini juga melembagakan judicial arrest. Khusus untuk extra judicial arrest and murders, disajikan sertas dilembagakan dalam tatanan politik dan hukumnya untuk justifikasi kehadiran concentration camp. Kajian-kajian hukum terhadap pemerintahan teror memang tidak menemukan kenyataan penggunaan “mobilisasi rakyat” dalam mempropagandakan pernyataan Marcus Tulius Cicero “salus populi suprema lex esto”. Sama sekali tidak begitu. Tidak juga seperti itu. Tetapi mobilisasi pendapat rakyat atas tindak tanduk pemerintah, menjadi tipikal rezim teror ini. Rezim ini, tentu dengan alasan yang khasnya, melembagaan “penghianatan tingkat tinggi “high treason” dalam hukum pidana. Sesuai tipikalnya, defenisi kejahatan ditentukan oleh sang tiran melalui decree. Hukum ini lalu dipertalikan dengan keamanan nasional. Apa yang dihiananti? Nazi, yang dipuncaknya bertengger sang Fuhrer. Demi keamanan, sisi esensial dari “salus populi suprema lex esto” itulah, rezim totalitarian ini menyatakan “hight and low treason” sebagai kejahatan. Populi yang beroposisi menemukan diri berada dalam titik bidik brutal, norak dan konyol rezim teror ini. Yang suprema bukan populi, tetapi elit rezim. Bahaya, tidak hanya disebabkan rezim ini memiliki aparatur bersejnata dalam menegakan hukum. Namun juga hukuman mati disediakan untuk mereka yang berhianat. Sebut untuk kaum opisisi, tetapi lebih dari itu. Aparatur hukum bersenjata, yang juga menyandang aparatur politik ini mendefenisikan hukum dalam praktek kekuasaanya. Aparatur hukum, termasuk hakim identik dengan kaki tangan Nazi. Mereka inilah yang mengenergizer hukum dan kamp konsentrasi. Untuk apa kamp konsentrasi itu? Extra judicial punishment atau illegal punishment atau unlawfull punishment. Hakim-hakim yang mengabdi pada nuraninya, dan dengan itu menjaga judiciary independency, juga dihukum. Otto Weis, anggota parlemen dari Social Democratic Party, terlempar karena mengeritik Anabling Act. Pejabat berotak waras, tak mau jadi domba pemerintahan Hitler, yang mengeritik Nazi, ambil misalnya Hans von Dohnanyi, juga dihukum. Hans von Dohnanyi, anak muda ahli hukum ini, diidentifikasi Hans Peter Graver dalam artikelnya yang dimuat di German Law Journal Vol. 19 No.04, tahun 2018, memegang jabatan tinggi di Kementerian Kehakiman dihukum. Dohnanyi dihukum atas tuduhan berkonspirasi dengan Canaris melawan Nazi. Latza dan Kanter’s, sekalipun tidak seheroik Hans von Dohnanyi, juga dihukum untuk hal yang sama. Kalau mau mati, setidaknya masuk penjara, silakan beroposisi. Rezim ini tidak memiliki kemampuan untuk sekadar senyum kepada orang yang mencetak Koran, yang memberitakan kritik terhadap pemerintahan ini. Rezim ini juga tak mampu senyum terhadap berita radio yang kritis. Rezim totaliter ini menyediakan hukuman penjara lima tahun untuk mereka yang sekadar bersuara kritis terhadap rezim. Sungguhpun begitu, tidak logis membayangkan orang-orang tidak bisa bicara politik sama sekali. Selalu bisa, bahkan perlu. Rezim ini malah membutuhkan para penggembira, tukang tepuk tangan, terlatih menyanyikan lagu berlirik puji-pujian konyol terhadap rezim. Bagaimanapun rezim tiran selalu picik dan kerdil dalam banyak aspek. Itu sebabnya rezim-rezim tiranis memerlukan polesan yang khas. Polesan itu berbentuk propaganda atas hal-hal, yang dengannya kelangsungannya menemukan pijakannya. Itu yang dikerjakan Joseph Goeble, propagandis kawakan andalan Hitler. Apakah hukum totalitarian memenuhi persyaratan ontologi dan epistemologi sebagai hukum? Ilmu hukum barat, jelas mengagungkan positivisme. Esensinya positivisme barat mengesampingkan penyatuan moralitas dan etika dengan hukum. Keduanya, dalam pandangan positivisme khas H. A.L Hart, harus dipisahkan. Ini jelas berbeda, dengan ontologi dan epistemologi hukum alam. Hukum alam tidak memisahkan, apalagi rigid antara norma hukum buatan, yang diciptakan manusia, dengan etika atau moralitas. Tetapi apapun itu, bagaimana menemukan justifikasi rasional terhadap pelembagaan, tidak hanya diskriminasi ras, termasuk agama minoritas, dan kebebasan berbicara, berorganisasi atau berkumpul? Rasio macam apa yang dapat disodorkan untuk menjustifikasi norma hukum yang melarang orang berserikat dan berbicara? Mau disebut apa orang mati di Kamp konsesentrasi, tanpa dapat membela diri? Logiskah extra court punishment, bahkan extra court killing dilembagakan? Stephen Riley, yang pandangannya dikutip Simon Lavis dan dimuat dalam disertasinya, menilai Nazi law is not law. Penilaiannya memang berbeda dengan H.A.L Hart, positivist tulen dalam khasanah ilmu hukum. Hart tetap menganggap Nazi law is law. Baginya, law harus dibedakan dengan moralitas. Penilaian Hart ternyata disanggah oleh Llon Fuller. Penyangkalannya didasarkan serangkaian fakta, terutama extra judicial killing di kamp konsentrasi. Bagi Fuller penghukuman jenis ini tidak dapat dibenarkan, dengan semua alasan yang mungkin. Baginya nazi law is not positive law. Llon Fuller memang tidak sezaman dengan Cicero. Memang itu jelas. Tetapi kenyataan itu tidak menjadi alasan Fuller, tidak menjustifikasi pernyataan Cicero “salus populi suprema lex esto” yang disukai oleh rezim-rezim teror dan otoriter. Fuller, yang memperlakukan etika ditempat terhormat semua hukum, tahu Cicero menolak hukum yang berwatak terror, dan merendahkan human dignity. Itu menjadi alasan valid Fuller “salus populi suprema lex esto” tidak dimaksudkan Cicero untuk membenarkan tindakan teror demi keamanan masyarakat. Bagi Fuller, Cicero memperlakukan hukum sebagai cara masyarakat menjaga keamanannya. Fuller tahu Cicero memahami hukum sebagai refleksi human nature. Hukum diapresiasi tinggi sebagai sarana untuk memelihara human dignity. Pandangan Cicero tentang hukum itu juga terlihat jelas pada kajian Yasmina Benferhat. Dalam artikel berjudul Cicero and the Small World of Roman Jurist, diedit Paul J. du Plessis, yang dimuat dalam buku berjudul Cicero’s Law, Rethingking Roman Law of the Late Republic, Cicero menempatkan “populous was the prime sources of legitimacy for all form of government and constitution. Hukum tidak dibuat untuk menyangkal sifat bawaan alamiah manusia. Dalam konteks filsafat, menurutnya hukum dipertalikan dengan kondisi manusia dalam eksistesinya hidup berdampingan satu dengan lainnya secara alamiah. Hukum dibuat untuk memastikan eksistensi alamiah itu. Dalam konteks itu, hukum, menurutnya harus dimengerti sebagai sesuatu yang ideal secara alamiah untuk kehidupan bersama. Cicero memang mengawali diskurusnya dengan bicara masyarakat, tetapi hal itu tidak dapat dimengerti bahwa Cicero menempatkan masyarakat secara kolektif pada jantung pandangannya. Kombinasi semua pandangan Cicero itu, menjadi alasan siapapun untuk menyanggah “salus populi suprema lex esto” digunakan di luar kerangka hukum berspirit human nature, untuk menghasilkan terpeliaranya human dignity. Apalagi Cicero juga menyatakan just as law contradiction nature, must not be called law. Tidak ada human dignity yang menjustifikasi extra court murder dan extra judicial killing. Tidakkah Allah Subhanauhu Wata’ala, yang menciptakan hamba-hambanya, menghukum orang yang membunuh orang lain? Semoga tatanan hukum Indonesia tidak bergeser. Tidak masuk ke dalam tatanan polititik dan hukum totaliter yang fasis. Semoga.* Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Gurihnya Dana Bansos

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (23/12). Anggaran bansos per paket seharga 300 ribu rupiah. Ini angka resminya. Untuk apa saja? Beras 10 kg harga Rp. 129.390 (Rp. 12.939/kg). Minyak goreng 2 liter harga Rp. 27.800 (Rp.13.900/lt). Sarden 9 kaleng harga Rp. 71.550 (Rp. 7.950/kaleng) Mie instan 12 bungkus harga Rp. 34.260 (2.855/bks). Sambel kecap harga Rp. 7.000. Goodie bag Rp. 15.000. Keuntungan rekanan Rp. 15.000.Total: Rp. 299.990 (Genapin jadi Rp. 300.000). Coba anda lihat harga barang-barang itu di super market, mini market, agen, atau warung biasa. Jauh lebih murah. Apalagi kalau belinya glosiran. Murah banget! Kenapa untuk bansos lebih mahal? Satu alasan, buat bagi-bagi! Untuk bisa berbagi, harus ada selisih. Makin besar selisihnya, makin banyak yang dapat bagian. Caranya? Pertama, dimark up harganya. Otak-atik cocok, sikat. Kedua, volume barang dikurangi. Dengan cara ini, selisih jadi besar, dan bagi-baginya menjadi semakin besar. Ini lagu lama bro! Lagu Korupsi jaman bahula dulu. Dipakai lagi sekarang. Coba cek ke penerima bantuan. Kadang berasnya bulukan, kadang 5 kg, sarden dan mie instan cuma 5 biji. Kasus seperti ini, kabarnya banyak sekali ditemukan di masyarakat penerima bantuan. Anda bisa cek ke lapangan. Dari selisih harga saja, sudah untung besar. Kok masih nggak puas? Barang dikurangi pula. Taksiran harga beras 10 kg Rp. 82.000. Minyak goreng 2 liter Rp. 25.000. Sarden 10 kaleng Rp. 22.500. Mie instan 12 Rp. 7.200. Sambel kecap Rp. 4.100. Goodie bag Rp. 9.000. Jadi totalnya Rp. 149.000 Dengan begitu, ada selisih sekitar Rp. 150.000. Kemana saja selisih ini? Beberapa sumber mengatakan bahwa Rp. 25.000 untuk rekanan. Rp. 25.000 untuk oknum-oknum di Kementerian Sosial (Kemensos). Yang Rp.100.000 kemana? Ini tugas KPK menelusuri aliran dana Rp.100.000 itu? Adakah dana itu nyasar ke partai dan ke lingkaran istana? Dengan skema seperti ini, para pengusaha berebut. 1 SPK (Surat Perintah Kerja) minimal dapat 200.000 paket. Silahkan kalikan keuntungan dan bagi-baginya. Gede banget. Itu baru 1 SPK. Kalau sekian SPK? Karena itu, para pengusaha nggak segan-segan keluarin uang di muka untuk si A, si B, si C, sampai si Z. Bagi-bagi di awal. Uang pelicin! Bansos jelas dikorup. Dilakukan dengan telanjang mata dan terang-terangan. Nggak perlu kepandaian KPK untuk mengungkap ini. Karena jenis korupsinya sangat transparan. Dan praktek ini terjadi sejak dari awal. Jadi gosip di warung kopi dan cafe-cafe. Kenapa perampok uang negara ini terkesan dibiarkan? Anda jangan berpikir KPK hebat telah menangkap Mensos Julian Batubara. Tidak. Kalau lihat kasus ini dari awal, KPK justru dianggap telat. Mestinya nangkap dari awal. Katanya UU KPK yang baru lebih berorientasi pada pencegahan? Ini harus dibuktikan. Tugas KPK adalah membongkar kasus ini sampai ke seakar-akarnya. Julian Batubara tidak sendiri. Korupsi uang gede, kecil kemungkinan sendirian. Pasti berjama'ah. Lalu, siapa anggota jama'ahnya? KPK harus kejar siapa saja yang terlibat. Semua rekanan harus diusut. Tanpa terkecuali. Jangan pakai random smpling. Ini bukan survei! Penyedia kantongnya harus juga diinvestigasi. Dalam hal ini adalah PT. Sritex. Plus siapa yang saja yang merekomendasukan PT. Sritex jadi rekanan. Adakah uang gratifikasi yang mengalir ke orang itu. Nggak usah pedulikan siapa dan anak siapa dia. Kalau terlibat, usut! Semua pihak ketiga yang menjadi mediator dan ikut menikmati bagi-bagi dana bansos juga harus diusut. Jangan berhenti di Julian Batubara saja. Bawahan, bahkan partai Julian Batubara berasal, semua harus ditelusuri terkait aliran dana bansos ini. Kasus ini mesti dituntaskan. Adakah kemauan KPK untuk menuntaskan kasus bansos ini sebagai tanda bahwa KPK masih ada dan sudah siuman dari tidur panjangnya? Kita tunggu! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Hukuman Mati Menanti Juliardi Batubara, KPK Macan Ompong?

by Furqan Jurdi Jakarta FNN – Rabu (23/12). Kita sedang menghadapi krisis ekonomi dan krisis Kesehatan Akibat Pandemi Covid~19. Pada tanggal 13 April Presiden menetapkan Covid 19 sebagai bencana nasional. Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran corona virus disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional. Artinya sampai saat ini kita masih menghadapi bencana. Untuk mengatasi dampak dari bencana itu, presiden telah mengeluarkan beberapa paket kebijakan yang untuk menstimulasi dampak Covid di berbagai sektor. Salah satunya adalah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 yang namanya sangat panjang itu. Lalu kemudian di sahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Dalam Pasal 27 UU a quo, terdapat imunitas bagi pejabat dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya selama itu berkaitan dengan covid~19. Namun dalam hal imunitas, menurut Prof. Eddy Oemar Syarif Hiariej, ada dua postulat. Pertama, impunitas continuum affectum tribuit delinquendi. Berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang itu untuk melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper ad deteriora invitat. Yang berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar. Berdasarkan kedua postulat itu, imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya tidak dikenal. Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya. Berdasarkan Pasal 50 KUHP “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Bahwa seorang pejabat memiliki imunitas, hal tersebut tidak berlaku apabila ada perbuatan yang memenuhi pasal-pasal pidana. Jadi, imunitas dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah imunitas bersyarat. Pertama, diterapkannya prinsip iktikad baik dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam UU Nomor 2/2020. Kedua, tugas pokok dan fungsi aquo dilaksanakan sesuai ketentuan dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu tidak ada kekebalan hukum apabila ditemukan itikad jahat (mensrea) dan menyalahi peraturan perundang-undangan. Setiap tindakan pejabat negara yang menyalahi ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak memiliki itikad baik dalam mengeluarkan keputusan, entah itu ada pasal imunitas atau tidak, tetap akan dipertanggungjawabkan dihadapan hukum. Jadi, dalam konteks apapun, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, kapan saja dapat dihukum. Ada atau tanpa imunitas. Hukum Mati Koruptor Korupsi adalah kejahatan extra ordinary crime. Sehingga tingkat kerusakannya demikian besar. Ada beberapa kerusakan akibat dampak korupsi ini. Berdasarkan Background Paper Declaratioan of 8 International Conference Against Corruption di Lima, Peru 2002, ada tujuh dampak korupsi yang melatarbelakangi internasionalisasi kejahatan korupsi. Pertama, korupsi dianggap merusak demokrasi. Kedua, sambung najih, korupsi dianggap merusak aturan hukum, teristimewa pembuatan undang-undang yang sarat dengan praktik suap-menyuap dan dalam penegakan hukum. Ketiga, korupsi menghambat pembangunan berkelanjutan. Keempat dari korupsi adalah merusak pasar. Kelima, korupsi merusak kualitas hidup, khususnya korupsi di sektor pendidikan dan kesehatan. Keenam, korupsi dapat membahayakan keamanan manusia. Terakhir, korupsi melanggar hak asasi manusia. Melihat dampak Korupsi yang sedemikian besar tersebut di atas, jelas bahwa korupsi bukanlah kejahatan biasa. Melainkan kejahatan yang luar biasa. Sehingga dalam melakukan upaya pemberantasannya harus dengan cara-cara yang luar biasa juga. Karena itu, di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kita mengenal istilah hukuman mati bagi koruptor. Hal itu terbaca dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Sedangkan, di dalam ayat (2) disebutkan “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Keadaan tertentu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) tercantum, bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Korupsi di Kemensos Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa anggaran penanganan covid sudah mencapai Rp. 677 triliun. Dengan pembagian struktur PEN menjadi sebanyak Rp.87,55 triliun untuk kesehatan, perlindungan sosial Rp. 203,9 triliun, insentif usaha Rp. 120,61 triliun, UMKM Rp. 123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp. 53,57 trilun dan sektoral/pemerintah daerah Rp. 106,11 triliun. Melihat data tersebut, anggaran perlindungan sosial yang dikelola oleh Kementrian Sosial sangat besar, yaitu senilai Rp. 203,9 triliun. Sedangkan realisasi anggaran sudah mencapai Rp 144,4 triliun. Namun dibalik anggaran besar, dan realisasi anggaran tersebut, ternyata ada praktek korupsi yang masif terjadi di Kementerian Sosial. Hal ini sangat melukai perasaan masyarakat. Oleh karena itu, dalam situasi bencana nasional sebagaimana yang telah di tetapkan oleh presiden dalam Kepres Nomor 12 Tahun 2020, sampai saat ini masih berlaku, maka sesuai dengan rumusan Pasal dalam UU Tipikor di atas, terbuka peluang hukuman mati bagi para koruptor yang melakukan korupsi dana bantuan sosial terkait bencana nasional yang sedang dihadapi negara saat ini. Apalagi anggaran tersebut diperuntukan untuk pemulihan ekonomi nasional akibat krisis ekonomi dan moneter yang sedang menimpa Indonesia saat ini. Karena itu, dalam perspektif hukum pidana, tersangka korupsi di Kementrian Sosial dapat di dakwah melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu dan dapat dijatuhi hukuman mati. Wallahualam Bis shawab. Penulis adalah Ketua Presidium Nasional Pemuda Madani & Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM

Nasib Rule of Law dan Rule by Ruler’s

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Rabu (23/12). Negara hukum yang demokratis itu selalu dirindukan orang. Karena menjanjikan keagumngan setiap individu. Sesuai konteks historisnya, konseop ini menandai naiknya moralitas baru tentang hakikat manusia dan kemanusiaan. Rindu itu yang terus bergerak. Mengurung dan memukau kaum reformasi Indonesia di tahun 1998. Kaum reformasi ini lelah melihat keangkuhan dan kesewenang-wwenangan kekuasaan ketika itu. Lelah melihat law and guns digunakan secara serampangan atas nama keamanan nasional. Keamanan yang didefenisikan secara suka-suka hati oleh penguasa. Ambisi kaum reformasi itu berhasil didesakan dan ditulis dalam UUD 1945 yang diuba sebanyak empat kali. Perubahan secara berturut-turut sejak 1999-2002. Tetapi seperti terekam dalam sejarah hukum, menulis konsep itu dalam UUD adalah satu soal. Sementara merealisasikannya dalam kehidupan bernegara adalah soal lain. Pelik memang. Mengapa? Penuh Dengan Manipulatif Kepelikan ini, sebagian disebabkan konsep yang berinduk pada liberalisme klasik itu. Konsep yang sama sekali tak bicara, sekalipun hanya sedikit, tentang pemimpin dan kepemimpinan politik. Konsep itu juga tak bicara, sekalipun hanya sekelumit, derajat tertib sosial dan politik macam apa yang berkerangka rule of law, yang pantas untuk dikreasikan. Itu peliknya konsep yang berinduk pada liberalism klasik ini. Ihwal tertib sosial dan politik, liberalisme klasik hanya menyodorkan, dalam makna mengandalkan toleransi dan saling menghormati yang berbasis saling memahami antar setiap individu merdeka sebagai kuncinya. Hanya itu titik. Tak lebih. Maxim itu terlihat cukup jelas dalam pandangan Adam Smith, filosof dan ekonom liberal kawakan itu. Smith yang menaruh kepercayaan kuat terhadap rasio, menunjuk cara itu sebagai metode terbaik. Pijakan itu membawanya pada konsep pemerintahan minimum. Pemerintahan jenis ini digambarkan Smith sebagai night watchman state, negara penjaga malam. Libealisme memang begitu skeptik terhadap pemerintah. Dalam mazim liberalisme klasik, pemerintah dibayangkan selalu menjadi faktor. Setidaknya memiliki potensi membahayakan kemerdekaan individu. Semakin besar pemerintah terlibat dalam kehidupan masyarakat, semakin besar potensi terjadinya kerusakan pada masyarakat itu. Seminimum itu sekalipun peranan pemerintah, rule of law tetap diandalkan untuk, pada level konseptual, sebagai cara terbaik menjaga kemerdekaan individu. Dala esensinya, rule of law diandalkan untuk menjinakan tindakan-tindakan sewenang-wenang pemerintah. Untuk tujuan itu, rule of law mengikatkan pemerintah pada hukum. Di Inggris misalnya, cara itu diusahakan secara bergelombang. Diawali, ambisi misalnya dengan pembentukan Petition of Right 1828, yang diprakarsai pembentukannya oleh Sir Edward Choke, ahli hukum paling cemerlang dengan konsistensinya menantang absolutisme raja, disusul Habes Corpus Act 1679. Habes Corpus Act itu dapat diparalelkan dengan KUHAP, yang dibuat tahun 1981. Menariknya sekalipun rule or law sedari awal mencurigai pemerintah, dan bukan rakyat sebagai kekuatan politik yang berpotensi besar merusak kemerdekaan individu, ternyata tersedia celah, yang memungkinkan konsep hebat itu diperkuda oleh penguasa kerdil. Pergeseran rule of law ke rule by ruler’s, tersaji baik dalam alam politik fasistik dan totalitarian maupun demokratis. Penguasa-penguasa itu, dengan kecerdasan piciknya, menemukan dan mengambil “keamanan nasional” sebagai justifikasinya. Salus Populi Suprema Lex Esto yang merupakan pernyataan dari Markus Tulius Cicero, dala dialognya dengan anaknya diambil dan dijadikan justifikasi begitu saja. Salus, yang bermakna etimologis sebagai security atau savety bagi populous, bukan roman noblemen adalah inti konteks pernyataan itu. Struktur masyarakat Romawi yang menjadi latar sosialnya kala itu, tersusun secara hirearkis. Plebian, patrician dan optimate juga slave, merupakan struktur masyarakat Romawi kala itu. Aristokrat, faksi khusus pada patrician, pada masanya teridentifikasi sebagai entitas utama yang menikmati kebijakan republik. Ini dicemaskan, bahkan ditolak Cicero. Itu sebabnya Cicero, dalam bukunya De Legibus atau Hukum, membayangkan seharusnya keamanan dinikmati oleh seluruh rakyat, bukan hanya sekelompok orang saja. Sangat Berbahaya Lenin, Musolini, Hitler dan Agusto Pinoche, untuk menyebut beberapa saja, menjaga pemerintahannya dengan doktrin Cicero Salus Populi Suprema Lex Esto itu. Berbeda dengan masyarakat demokratis, pemerintahan-pemerintahan fasis, yang otomatis totalitarian mengambil kolektifisme sebagai basis sistem sosial politiknya. Konsep ini mereduksi eksistensi individu. Individualisme diganti dengan kolektivisme sebagai basis sosial politik idiologisnya. Kolektivisime, bukan indivudalisme, yang supreme dalam negara itu. Dalam tampilan praktisnya, konsep kolektivisme itu ditransformasi pada personal pemimpin. Pemimpin tersaji dalam politik itu sebagai personifikasi negara. Dan negara menjadi personifikasi masyarakat secara kolektif. Pemimpin, sebagai konsekuensi lanjutannya dalam tampilan praktis bernegara, muncul menjadi integrator seluruh unsur dalam negara. Integrator, sebagaimana diperlihatkan sejarah, selalu berada di puncak piramida seluruh pranata sosial politik negara. Persis seperti sumber air, integrator tersaji menjadi pendefenisi utama seluruh asek kehidupan bernegara. Sehebat itu sekalipun, rezim-rezim itu tidak mampu memberi tolerasi pada keragaman pendapat. Keragaman, oleh rezim-rezim ini dilihat sebagai pantulan liar individualisme, sesuatu yang bertolak belakang secara mendasar dengan konsep kolektivisme. Tertib sosial diseragamkan pada semua aspeknya. Rezim ini, sebagai akibatnya memonopoli kebenaran dalam bernegara, ya hanya kebenaran tunggal. Pemerintah yang memegan monopoli itu. Salus Populi Suprema Lex Esto pun akhirnya menemukan pijakan idiologis untuk eksis. Eksistensinya dipertalikan dengan tujuan nasional negara itu. Dan tujuan nasional, dalam kenyataannya, didefenisikan secara monopoli oleh penguasa. Tidak di luar penguasa. Demi tujuan nasional, kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat, harus dibatasi, praktek yang menjadi tipikal politik selurh rezim fasis dan totalitarian. Tetapi menariknya, fasisme dan totalitarian itu juga digerakan dengan hukum sebagai alat utamanya. Tidak seperti di negara demokratis, hukum yang mengambil bentuk decree, keputusan-keputusan ad hod penguasa. Tidak benar-benar sama dalam substansi dengan postur republik Romawi yang Cicero hidup di dalamnya. Tetapi apa yang dilakukan Pompey Magnus, menarik disajikan. Tidak bicara kolektivisme pada kekonsulannya, tetapi Eric S. Gruen, dalam bukunya The Last Generation of The Roman Republic, diterbitkan oleh University of California Press 1974, mengidentifikasi pembatasan kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat tipikal pemerintahan Pompey. Organisasi yang didalamnya terhimpun banyak orang, oleh Pompey, konsul pada waktu itu, dinilai berbahaya. Penilaian itu menjadi alasan Pompey merancang kriteria untuk mengasingkan orang-orang dan kelompok-kelompok yang dicurigai itu. Untuk tujuan itu, Pompey mentransformasi ke dalam dan rujukan utamanya. Hukum ini dikenal dengan Lex Gabina. Lex ini melarang perkumpulan-perkumpulan bawah tanah, clandestein, berkumpul di kota. Lex Gabina, melengkapi Lex Lutatio, yang telah lebih dahlu ada, yang esensinya melarang tindakan menghasut, seditio atau sedition. Cakupannya meliputi larangan terhadap tindakan menyerang public figure dan isu-isu publik. Kebenaran, jelas dalam semua aspeknya, hanya bertumpu pada apa yang dinyatakan oleh pemimpin dan aparatur negara. Suara-suara di luar yang disetujui negara, menemukan kenyataan tragis. Suara-suara itu, seperti biasa, segera ditunjuk sebagai suara subversif, dalam makna berkualifikasi melanggar hukum pidana. Rule of law ala Pompey inilah yang dengan sedikit modifikasi dipraktekan oleh, ambil misalnya Lenin dan Breznev di Uni Soviet, Musolini di Italia dan Hitler di Jerman. Modifikasi hanya sebatas menambah unsur kolektif sebagai basis idiologisnya, sesuatu yang tidak digunakan Pompey Magnus di Romawi kuno. Pola Pompey ini pulalah, untuk beberapa alasan, terlihat sedang bekerja di Hongkong. Masyarakat demokratis itu, kini terkekang oleh Salus Populi Suprema Lex Esto, yang ditransformasi ke dalam UU Keamanan Nasional, yang pembentukannya didukung pemerintahan China. UU yang baru disahkan itu, dalam kenyataan memberi justifikasi kepada pemerintah menghentikan setiap suara rakyat yang berbeda, kritis pada kebijakan pemerintah. UU Keamanan Nasional inilah, sejauh dapat diverifikasi, digunakan Polisi Hongkong untuk menangkap Jimmy Lai dan Agnes Chou, dua tokoh produktif pro demokrasi Hongkong. Apakah Indonesia mutakhir sedang bergerak mendekat ke praktek itu itu? Apakah kematian tragis petugas pemungutan suara pada pemilu lalu, ditersangkakannya demonstran UU Cipta Kerja, ditersangkakannya Sahganda Nasinggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Habib Rizieq, dan peristiwa Kilometer 50” yang mengakhiri 6 (enam) nyawa pengawal Habib Rizieq, memiliki resonansi itu? Itu soal menarik yang memerlukan analisis tersendiri nanti di tulisan berikutnya. Beralasankah menimbang pembedaan perlakuan hukum untuk kasus kerumunan, diletakan pada perspektif di atas? Penggunaan hukum “hasutan” atau yang pada pemerintahan Pompey disebut “seditio” itu terlihat mulai mudah dijumpai dalam kehidupan mutakhir sekarang. Hukum “penyebaran berita bohong, yang membuat onar” yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1946, terlihat yang semakin sering untuk digunakan. Sembari menanti munculnya keberanian orang untuk menganalisisnya, terasa masuk akal bila kenyataan empirik itu menggoda orang mempertanyakan derajat validitas konstitusional atas tampilan rule of law mutakhir. Rule of law atau rule of ruler? Menarik dianalisis pada waktunya. Konsep rule of law dalam alam demokrasi, mengharuskan siapapun menerima rule as a law. Bukan ruler’s as a law. Norma-norma UUD 1945 memaksa siapapun untuk mengerjakan rule of law dalam karangka itu. Begitulah para pendiri bangsa yang hebat-hebat itu berharap. Salus Populi Suprema Lex Esto, karena itu, mutlak dipertalikan dengan rule of law dalam kerangka norma-norma UUD 1945. Salus Populi Suprema Lex Esto, yang tak ada seorang waras pun menyangkal urgensinya itu, tidak bisa dianggap justifikatif hanya penilaian ad hoc semata. Tiba saat, tiba akal. Berkerangka kerja konstitusional seperti itu, mengakibatkan identifikasi “keamanan nasional” atau keamanan individu atau masyarakat, harus dipertalikan dengan norma hak asasi manusia yang didefenisikan dalam UUD 1945. Yang ini absolut dalam semua aspeknya. Norma-norma itu, terlepas dari apakah mewakili pandangan liberal klasik atau tidak, merefleksikan klaim moral, yang Eamon Butler, dalam bukunya Clasical Liberalism, diterbitkan pertama kali oleh Institute of Economic Affair (IEA), tahun 2015, menggambarkan justice require force, but force requires justification. Tidak bisa sewenang-wenang. Begitu esensinya. Justifikasi sosiologis atau hukum? Justifikasi sosiologis memungkinkan terjadinya reduksi atas objektifitas. Pilihan konstitusionalnya adalah justifikasi hukum. Mengapa? Rule of law mengharuskan siapapun menerima hukum sebagai hal objektif, dan melarang pertimbangan-pertimbangan subjektif. Hanya begitu pilihannya. Bukan selain itu. Bentuk empirik dari subjektif itu terefleksi dari sikap anti kelompok ini, pro kelompok itu. Kelompok ini begini dan kelompok itu begitu, persis yang dipraktekan Nazi pada Hitler. Rule of law dan ilmu hukum jelas dalam soal itu. Subjektifitas tidak diberi tempat dalam penegakan hukum. Pahami itu baik-baik. Rule of law secara absolute mengharuskan aparatur memelihara pikiran dan tindakannya dengan objektifitas. Penegakan hukum, harus, tanpa alasan, memenuhi prinsip-prinsip due process of law atau due process clause. Prinsip-prinsip ini tersebar dalam UUD 1945, KUHAP dan peraturan lainnya. Mengesampingkan prinsip-prinsip itu, sama dengan membawa bangsa ini terjatuh ke dalam kubangan fasisme dan totalitarianism. Seluruh aspek kehidupan ditentukan oleh pemimpin. Bukan soal rule of law akan tergantikan dengan rule by ruler’s. Tetapi penyankalan terhadap hakikat alamiah manusialah yang menjadi masalah besar. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Gibran Terperosok Dalam Tas Kantong Bansos

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (21/12). Berbeda dengan Habib Rizieq Shihab (HRS). Gibran Bin Jokowi bisa "tertolong" soal pandemi dan kerumunan pasca kemenangan di Solo. Namun tiba-tiba saja Majalah Tempo mengaitkan Gibran Bin Jokowi dengan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Pak Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Putera Presiden Jokowi ini terseret opini yang sedang menunggu pembuktian. Diberitakan Gibran Bin Jokowi "menolong" PT Sritex untuk mendapatkan proyek pengadaan tas kantong bansos. Akibatnya, "Anak Pak Lurah" ini sontak saja menjadi perbincangan hangat di media informasi. Menteri Sosial Juliari Peter Batubara tersandung korupsi dana bansos sebesar Rp 17 triliun. Sang Menteri menarik potongan hingga Rp. 100.000 untuk setiap paket. Tentu saja Pak Menteri Jualiari tidak sendirian dalam soal ini. Kemungkinan banyak juga pejabat Kemensos yang terlibat. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengingatka bahwa Juliari dapat terancam hukuman mati berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman bagi mereka yang korupsi dana bencana. Uang dari negara yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat yang sedang susah dan menderita. Majalah Tempo edisi terbaru memberi judul cover "Korupsi Bansos Kubu Banteng" dengan gambar kantong bansos bertuliskan "Dana bansos yang disunat Menteri Juliari Batubara diduga mengalir sampai ke tim pemenangan kepala daerah PDIP. Elit partai banteng disebut-sebut terlibat". Entah karena PDIP tersudutkan dalam kasus korupsi ini, dengan adanya pernyataan Presiden yang menegaskan tidak akan melindungi pelaku korupsi, maka tiba tiba Gibran putera Presiden ikut disebut-sebut. Konflik Jokowi dengan Mega dimulai? Dimulai dari dua staf Kementrian Sosial (Kemensos) yang menceritakan bahwa keduanya diperintahkan untuk menghentikan pencarian vendor penyedia tas bansos karena "itu bagiannya anak pak lurah" katanya. Semula pencarian diarahkan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Namun atas rekomendasi Gibran Rakabuming Raka Bin Jokowi, maka penyedia tas bansos yang berjumlah 10 Juta unit itu diberikan kepada PT Sritex. KPK akan memanggil dan memeriksa Direktur PT Sritex dan Gibran. Pemeriksaan keduanya untuk membuktikan keterlibatan mereka dalam kasus korupsi yang menimpa Mensos Juliari dari PDIP dan pejabat lainnya. Hal ini menjadi sangat menarik karena dapat menjadi momen pengujian atas ketegasan Presiden dalam pemberantasan korupsi. Anak yang disayangi, dan awal tidak didorong untuk berkiprah dalam bidang politik itu kini disebut-sebut terlibat skandal. Selama ini majunya Gibran di Pilkada Solo telah disorot habis-habisan sebagai bagian dari nepotisme yang dahulu populer dengan sebutan KKN. Kini Gibran terjebak. Bukan saja terjebak dalam pusaran nepotisme. Tetapi juga dugaan korupsi dan kolusi. Masyarakat menilai Jokowi memaksakan sang putera untuk menempuh karier yang sama, yaitu mulai dengan jabatan Walikota Solo. Jika sang ayah awal sebagai pengusaha meubeul, maka sang anak adalah pengusaha martabak. Dua duanya sebenarnya diragukan kemampuannya di bidang pengelolaan negara. Ada faktor keberuntungan dan kepentingan dukungan. Jokowi dan Gibran seharusnya membaca puisi Kahlil Gibran. Bagian puisi Kahlil Gibran, sang penyair cerdas asal Lebanon yang berjudul "Anakmu bukan milikmu" cukup menarik. "Anakmu bukan milikmu Tetapi anak kehidupan Yang rindu akan dirinya Bisa saja mereka mirip dirimu Tapi jangan menuntut agar menjadi sepertimu Sebab kehidupan itu bergerak ke depan Bukan tenggelam di masa lampau" Pak Jokowi rupanya tidak membaca puisi Kahlil Gibran ini, atau mungkin membaca tetapi tidak peduli dengan urusan puisi. Karena puisi Kahlil Gibran ini pasti tidak berhubungan dengan investasi dan hutang luar negeri. Menjadikan Gibran sang putera sebagai kegiatan investasi justru membawa dirinya akan dekat dengan korupsi. Kini Gibran terperosok ke dalam tas kantong bansos. Tindak pidana korupsi sang Menteri Juliari Peter Batubara. Menterinya Pak Jokowi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Diskresi Menkopolhukam Ikut Menghasut Kerumunan Orang?

by Gde Siriana Jakarta FNN – Ahad (20/12). Menarik perhatian publik ketika Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) memberikan menuding secara halus bahwa Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sebagai sumber kekisruhan. Persoalan kekisruhan yang berkaitan dengan kerumunan Habib Riziek Shihab (HRS) yang kini menjadi persolan hukum. Tudingan langsung ini terkait diskresi Menkopolhukam yang membolehkan kerumunan orang saat penjemputan HRS di bandara Soekarno Hatta. Padahal sebelumnya pemerintahsudah mengingatkan masyarakat untuk tidak membuat kerumunan orang. Keterusterangan Ridwa Kamil seperti puncak kekesalan Daerah kepada Pusat. Kekesalan yang sebelumnya seringkali menunjukkan inkonsistensi terkait penanganan pandemi covid 19. Satu sisi Pusat mengintruksikan Pemda untuk kerja serius dan extraordinary. Namun sisi lain, misalnya Pemerintah Pusat memaksakan Pilkada tetap berjalan meski masih pandemi. Bagaimana mungkin Kepala Daerah (apalagi petahana) bisa fokus pada penanganan pandemi? Sebab di saat yang bersamaan petahana harus ikuti proses Pilkada minimal 3-6 bulan sebelum hari pencoblosan. Ucapan Ridwan Kamil ini mewakili Pemda lainnya yang punya pandangan sama tetapi mereka tidak berani menyampaikannya di depan publik. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tentu menghadapi situasi yang sulit untuk menyampaikan larangan kerumunan orang pada acara-acara HRS selanjutnya. Apalagi ketika Pusat yang diwakili Menkopolhukam sudah membolehkan kerumunan orang saat menjemput HRS di bandara. Tetapi setidaknyasecara administraif Anies Baswedan sudah mengenakan sanksi denda kepada HRS sebagi bentuk tanggung jawabnya secara proporsional. Sekarang Pemda DKI dan Jawa Barat disalahkan terkait kerumunan yang dihadiri HRS. Sayangnya, alasan Menkopolhukan Mahfud MD bahwa diskresinya hanya terbatas pada kerumunan saat penjemputan HRS di bandara hingga diantar sampai petamburan. Ini bentuk diskresi yang mengundang bahaya dan menyulitkan kewenangan Pemda. Bahwa kemudian Pemda harus bekerja keras untuk melarang terjadinya kerumunan berikutnya pasca penjemputan HRS di bandara itu bukan soal mudah. Bukan seperti halnya melakukan pekerjaaan mekanis. Akan lebih mudah bagi daerah untuk memperkuat konsistensi pusat dari pada menafsirkan batas-batas dari inkonsistensi pusat. Seharusnya Menkopolhukam sudah menyadari kondisi kerumunan itu sebelum melakukan diskresi. Atau memang tidak mempertimbangkan psikologi massa pendukung HRS yg menganggap kerumunan lainnya pun sama derajatnya dengan kerumunan penjemputan HRS sepanjang mengikuti protokol kesehatan (prokes). Sama halnya dengan masyarakat memandang kerumunan orang pada pendaftaran Pilkada di berbagai daerah. Jadi, bisa dipertimbangkan bahwa diskresi Menkopolhukam menjadi semacam faith accompli kepada Pemda DKI dan Jabar dalam menafsirkan diskresi Menko. Publik tentu saja kaget dengan pembelaan Menkopolhukam terkait batasan diskresinya. Sebab ini hanya mempertegas dualisme dan inkonsistensi kebijakan pemerintahan Jokowi dalam mengatasi pandemi covid 19. Sebelumnya juga terjadi begitu. Saat tiket pesawat diskon dan promo liburan dibiarkan, meski ada tambahan pesan "ikuti prokes". Namun tetap saja ini membuat Pemda kewalahan menghadapi kerumunan massa di lokasi liburan. Juga soal Pilkada. Saat pendaftaran dibiarkan kerumunan orang, dan lagi-lagi cukup dengan pesan harus "ikuti prokes". Alhasil Pemda pun makin berat kerjanya ketika banyak kerumunan terkait Pilkada. Bukan hanya saat pendaftaran. Tetapi juga terjadinya kerumunan kecil di kawasan pemukiman, dimana timses paslon bergerilya. Dan kerumunan kecil ini banyak tidak tersorot oleh media. Juga dilaporkan ketika petugas pilkada positif tertular. Ini pasti menambah pekerjaan Pemda dalam melakukan test dan tracing. Kesimpulannya, setelah berbulan-bulan perilaku pemerintah seperti uraian di atas, wajar saja jika kemudian masyarakat menafsirkan kerumunan yang lain seperti di pasar, di cafe, di Pilkada, di obyek wisata, acara keagamaan, termasuk acara-acara yang dihadiri oleh HRS, diperbolehkan saja asal mengikuti aturan prokes. Dalam situasi sudah kusut seperti ini, apakah diskresi Menkopolhukam ini dapat diperlakukan oleh penegak hukum (polisi) sama halnya seperti polisi mentersangkakan HRS dan lima orang pengurus FPI terkait kerumunan Petamburan? Juga ketika Polisi mengenakan tuduhan penghasutan aksi menentang OmnibusLaw pada Aktivis Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana? Apakah diskresi Menkopolhukam ini juga bisa dianggap ikut mendorong dan membiarkan terjadinya kerumunan orang di Bandara? Tentunya jika para deklarator KAMI tersebut bisa dikenakan pasal penghasutan, diskresi Menkopolhukam juga bisa dianggap ikut mendorong, atau setidaknya membiarkan terjadinya kerumunan orang. Semestinya Mahfud MD punya kewenangan untuk melarangnya. Tetapi sekali lagi, penafsiran hukum sangat dipengaruhi oleh posisi dan subyektifitas pihak yang menafsirkannya. Penulis adalah Direktur Eksekutif INFUSS

Telegram dari Langit: Teguhlah dalam Kesabaran dan Siap-siagalah

by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (15/12). Perjuangan para nabi dan Rasulullah selalu bersandar pada kesabaran. Mereka, para nabi, teguh dalam kesabaran. Dengan modal kesabaran dan teguh dalam kesabaran itulah mereka memperoleh keberhasilan. Hampir semua nabi mengalami persekusi dalam menegakkan kebenaran. Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup. Inilah puncak perskusi yang Beliau alami. Namun, sebelum ‘alaihissalam dibakar oleh kaumnya sendiri, Ibrahim tidak pernah berhenti mengingatkan orangtua dan saudara sekaum tentang Tauhid. Dan tentang amal baik. Ibrahim mengutamakan kesabaran dan teguh di dalam kesabaran itu. Akhirnya, Ibrahim sukses dan api yang membakar tubuhnya berubah menjadi dingin. Begitu juga Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ditolak oleh kaumnya. Bahkan ditolak juga oleh keluarganya. Namun, Nuh tidak surut. Tak kenal lelah, Beliau diberikan waktu 950 tahun untuk mendakwahkan kebenaran. Dahsyatnya, sepanjang sembilan abad itu hanya 83 orang yang menerima dakwah ‘alaihissalam. Namun, Nuh sabar dan teguh di dalam kesabaran. Pun sama halnya dengan Nabi Luth. Dikejar-kejar oleh umatnya yang mempraktikkan gaya hidup sejenis. Laki-laki berpasangan dengan laki-laki. Luth ‘alaihissalam memperingatkan mereka tentang kemurkaan Allah. Tapi, mereka melawan. Mereka usir Nabi dan manantang agar diturunkan azab kepada mereka jika Luth memang benar. Akhirnya mereka punah dihujani bala besar. Sebelum bencana itu diturunkan, Luth berdakwah dengan sabar dan teguh di dalam kesabaran. Nabi Musa ‘alaihissalam disiapkan Allah SWT untuk menghancurkan Fir’aun yang begitu kuat dan mengaku sebagai tuhan. Musa dibesarkan Fir’aun di istananya. Dia harus bersabar dan teguh dalam kesabaran menunggu sampai usia dewasa. Ketika itulah Musa ‘alaihissalam memulai perlawanan frontal terhadap Fir’aun. Musa dikejar sampai ke pinggir Laut Merah. Nyaris saja Nabi dan pengikutnya dihabisi balatentara Fir’aun. Namun, kesabaran Musa dan keteguhannya di dalam kesabaran membuahkan pertolongan Allah. Laut terbelah. Musa dan pengikutnya bisa menyeberang selamat. Sedangkan Fir’aun dan pasukannya tenggelam. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga berdakwah penuh tantangan dan tentangan. Beliau menghadapi resistensi keras dari kaum musyrik di Mekah. Di Taif, Rasulullah dilempari sampai berdarah-darah. Nabi terpaksa pindah ke Madinah di tengah berbagai kesulitan hidup, termasuk kesulitan logistik. Tetapi, Beliau tetap sabar dan teguh di dalam kesabaran. Sabar dan teguh di dalam kesabaran sangat krusial dalam perjuangan. Allah menukilkan ini sebagai penutup surat Ali Imran, ayat 200: “Yaa ayyuhalazina amanu, ishbiru wa shabiru wa rabithu. Wattaqullaha la’allakum tuflihuun.” “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah (ishbiru); dan teguhlah dalam kesabaran (wa shabiru), serta siap-siagalah (wa rabithu). Dan, bertaqwalah kepada Allah agar kalian berjaya.” Lebih-kurang, “telegram” dari Langit ini mengarahkan agar Anda bersabar. Tapi, tak cukup hanya itu. Anda harus teguh di dalam kesabaran. Di tengah meneguhkan kesabaran yang tidak mudah dijalani itu, Anda disuruh pula bersiap-siaga. Dan masih belum cukup juga, Anda diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah al-Qawiyyun al-‘Aziz. Setelah itu, barulah dibukakan pintu kejayaan untuk Anda. Nah, bisakah kita semua senantiasa bersabar dan teguh di dalam kesabaran? Tentulah sangat berat. Orang bilang, kesabaran ada batasnya. Tapi, Allah mengisyaratkan agar kita menumpuk kesabaran itu sebanyak mungkin sampai jumlahnya ‘tidak bernomor seri lagi’. Hanya saja, sambil menumpuk kesabaran, Anda haruslah senantiasa waspada dan siap menghadapi semua kemungkinan yang bisa terjadi. Wallahu a’lam. Mohon ampun kepada Allah jika ini salah, dan mohon maaf kepada teman-teman semua bila ini tak berkenan. Tidak ada maksud untuk berceramah.[] Penulis wartawan senior FNN.co.id

Tetapkan Gibran & Bobby Sebagai Tersangka

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (13/12). Penetapan tersangka kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) dan lima orang lainnya adalah preseden buruk penegakan hukum negeri ini. Pada kekuasaan Jokowi inilah hukum ditegakkan suka-suka seleranya penguasa saja. Persoalan keadilan dan kezaliman, itu urusan nanti. Yang penting, tangkap saja dulu. Salah atau benar, juga itu urusan belakangan. Model kegiatan serupa yang berfokus pada adanya kerumunan oarang dalam jumlah banyak harusnya juga dapat ditetapkan sebagai tersangka. Pilkada sangat potensial untuk menetapkan banyak orang menjadi tersangka. Salah satunya adalah Pilkada Solo dimana Gibran bin Jokowi telah melakukan unjuk massa pendukung untuk berkerumun. Begitu juga yang terjadi dengan Bobby Nasution, suaminya Kahiyang Ayu Siregar bin Jokowi. Bobby juga mengumpulkan orang dalam jumlah banyak. Mulai dari rangkaian kegiatan pra pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU), sampaing dengan pendaftaran di KPU dan kampanye-kapmpanye pasangan Bobby di pemilihan Walikota Medan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa semua warga negara berkedudukan sama dalam hukum. Tidak boleh ada diskriminasi, termasuk kepada putera dan anak mantu Presiden Gibran dan Bobby. Asas "equality before the law" itu berlaku universal untuk semua warga negara. Karenanya tidak berbeda antara HRS dengan Gibran dan Bobby Nasution. Proses hukum juga harus diberlakukan kepada Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution dengan tuduhan sama kepada HRS. Tersangkakan Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, serta orang-orang sekitarnya yang ikut menentukan terjadinya kerumunan dalam melanggar protokol kesehatan. Masyarakat berhak bertanya, mengapa urusan Pilkada dibenarkan untuk berkerumun? Apakah karena dilakukan oleh pendukung dari kalangan partai politik penguasa? Mengapa kerumunan di pasar-pasar tradisional masih dibolehkan, mengapa acara pernikahan di tempat lain, meski dengan anjuran mengikuti protokol kesehatan tetap berkerumun juga tidak ditersangkakan? Maksimum hanya ditegur. Memang persoalan HRS dilihat penguasa bukan lagi masalah hukum. Tetapi persoalan stabilitas politik . Masalah represivitas penguasa dan keangkuhan politik terasa sangat dominan. Nah kini dalam kasus proses politik, maka hal yang membahayakan kesehatan masyarakat harus diberi sanksi pula. Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, mantu Jokowi termasuk di dalamnya. Kegiatan dan proses politik yang nyata-nyata membahayakan keselamatan masyarakat. Karena itu harus ada pertanggungjawaban atas kerumunan para pendukung dalam kemenangannya. Apakah memang polisi mennganggap bahwa tidak ada pelanggaran protokol kesehatan pada kumpulan banyak orang yang dilakukan Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution? Ketika ada pejabat beralasan bahwa kasus Gibran dan Bobby Nasution berada di bawah aturan UU Pilkada, sehingga jadinya berbeda dengan perlakukan kepada HRS. Jika demikian yang menjadi alasan, maka ini nyata-nyata pembodohan publik namanya. Sebab keduanya berada dalam kondisi yang sama, yaitu sedang musim pandemi Covid 19. Bahwa yang satu diatur dengan UU Pilkada, maka yang lainnya juga diatur oleh UU Perkawinan. Jika diberlakukan UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai "Lex Specialis", maka keduanya sama-sama dalam mendapatkan perlakuan hukum. Kalau HRS ditersangkakan, maka layak untuk Gibran dan Bobby juga jadi tersangka. Sebagai anak Presiden tentu tidak bisa dibedakan dan diringankan hukumannya. Malah seharusnya menjadi teladan, sehingga perlu diberatkan hukumannya. Pelanggaran atas asas "equality before the law" adalah pelanggaran juga terhadap UUD 1945. Artinya Presiden telah melanggar konstitusi negara. Hanya satu pilihan opsional untuk keadaan ini, yaitu bebaskan HRS dari tuduhan pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan dan penghasutan berdasarkan Pasal 160 KUHP atau segera tersangkakan dan proses hukum Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, suami Kahiyang Ayu Siregar bin Jokowi. Apapun yang ditimpakan kepada HRS, berlaku pula untuk Gibran daqn Bobby. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

HRS Diborgol, Lalu?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (13/12). Dua kali panggilan penyidik Polda Metro Jaya, Habib Rizieq Shihab (HRS) berniat hadir. Namun karena alasan kesehatan, pengacara memberi pertimbangan agar HRS tidak hadir dulu dan diwakili oleh pengacaranya. Pengacara minta kepada penyidik Polda Metro Jaya agar ada penundaan atau penjadwalan ulang panggilan. Panggilan ketiga, HRS tidak hadir karena sedang mengurus enam pengawalnya yang ditembak mati dalam peristiwa Tol KM 50. Sedang dalam masa berkabung. Karena tak hadir, rencananya HRS akan dijemput paksa oleh Polda Metro Jaya. Sebelum dijemput paksa, HRS mengutus pengacaranya untuk memberi tahu kepada Polda Metro Jaya agar tidak perlu mengeluarkan biaya dan uang negara hanya untuk mengerahkan pasukan, baik Polri maupun TNI untuk menjemput dirinya. HRS rencananya akan datang sendiri ke Polda Metro Jaya pada hari sabtu, 12 Desember 2020. Sebelum datang ke Polda Metro Jaya, HRS memberi pesan kepada Umat, bahwa dirinya telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala risiko. Apapun itu, termasuk ditahan maupun dibunuh. Apapun yang akan terjadi pada dirinya, perjuangan tidak boleh berhenti, katanya. Perjuangan harus terus berlanjut dan berlanjut. HRS selama ini dikenal dengan "Tiga Tuntutan" yang telah menjadi garis perjuangannya. Pertama, tetap dan teguh pertahankan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 Tentang Larangan Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Kedua, keadilan ekonomi, khususnya untuk pribumi. Pemerintah agar tidak rajin menjual aset negara kepada asing maupun aseng. Ketiga, menjaga toleransi beragama, dengan menindak tegas para penista agama. Siapapun mereka dan agama apapun yang dihinanya. Tawaran Untuk Tidak Hadir Saat HRS datang ke Polda Metro Jaya pukul 08.45, Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus menyambut dengan menyatakan bahwa "jadi, MRS itu takut ditangkap sehingga dia menyerah dan datang ke Polda Metro Jaya" (12/12). Pernyataan ini kemudian menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Pertanyaanya, apakah betul HRS itu takut ditangkap? Beredar info, bahwa sebelum datang ke Polda Metro Jaya, banyak pihak yang menawarkan HRS untuk tidak hadir. Seperti Harun Masiku (kader PDIP saat itu). HRS bisa bersembunyi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Tapi, HRS tegas menolak. "Saya akan hadapi akan haddapi semuanya. Saya tidak akan lari", begitu katanya. Nah, poin inilah membikin banyak yang demen. HRS tidak Pengecut! Sehari sebelum HRS pulang ke Indonesia, otoritas keamanan tertinggi Arab Saudi (Amir Daulah) kabarnya telah memberi tahu jika ia pulang ke Indonesia, banyak pihak yang akan ngerjain. Disarankan HRS agar tinggal dulu beberapa bulan. Tiga bulan, enam bulan atau setahun dulu di Arab Saudi dengan jaminan keamanan dan fasilitas dari pemerintah Arab Saudi. Bahkan HRS dan keluarga boleh tinggal berapapun lamanya, Arab Saudi akan memberikan jaminan keamanan dan fasilitas. Tetapi, jika HRS pulang ke Indonesia, Arab Saudi tidak punya otoritas untuk menjamin keamanan itu. Dan jika karena situasi tertentu HRS ingin balik ke Saudi, 24 jam On Call, visa bisa disiapkan untuk HRS dan keluarga balik lagi ke Arab Saudi. Dasar bukan pengecut, HRS putuskan untuk pulang kampong. "Indonesia itu negaraku. Aku akan pulang. Saat ini, Indonesia butuh orang-orang untuk memperjuangkannya. Untuk menyelamatkannya. Bersama rakyat, saya akan berjuang untuk ikut bertanggung jawab menyelamatkan Indonesia", begitu jawab HRS kepada otoritas keamanan tertinggi Arab Saudi. Jika HRS takut hadapi risiko, takut ditangkap, bahkan takut dibunuh, tentu HRS akan memilih berdiam diri di Arab Saudi sampai menunggu situasi politik nasional stabil dan kondusif. Tetapi, HRS memang lain dari yang lain. Dia punya nyali di atas umumnya orang. Soal kalkulasi dan kirka, tak ada orang tahu apa yang ada di pikiran HRS saat ini. Apa Langkah Bereikutnya? Setelah sekitar 15 jam diperiksa penyidik, HRS ditahan dengan kedua tangan diborgol. Imam besar FPI diborgol. Penggerak demo 212 itu diborgol. Tampak HRS keluar dari ruang penyidik dengan baju tahanan berwarna khas “orange”. Lalu bagaimana kelanjutan perjuangan HRS? Terus atau ikut diborgol? Melanjutkan perjuangan atau menyerah pasrah? Bagaimana pula reaksi dari para pendukung HRS? Hanya prihatin, menangis dan membuat pernyataan di medsos? Atau mereka akan ikut menyerahkan diri untuk ditahan bersama HRS? Sebagaimana berbagai pernyataan di video yang banyak beredar sejak dua hari lalu? Apakah para pendukung HRS, atas nama keadilan dan kesamaan di depan hukum, akan melaporkan kasus-kasus kerumunan yang terjadi di berbagai tempat? Termasuk melaporkan kerumunan yang melibatkan Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, putra dan menantu Jokowi yang diduga juga telah menciptakan kerumunan? Apakah para pendukung HRS bakal melaporkan Jokowi dan mendagri yang mengizinkan pilkada 2020 lalu? Pilkada yang terbukti menyebabkan 79.241 petugas KPPS reaktif Covid-19? Sebagian malah ada yang meninggal dunia. Atau para pendukung HRS akan memilih berkumpul dengan massa dalam jumlah besar dan melakukan protes ke Polda Metro Jaya? Kabarnya, anggota FPI di seluruh Indonesia ada lima juta orang. Benarkah angka itu? Kalau benar, jumlah itu belum termasuk simpatisan dan pendukung. Apakah mereka kompak, terkonsolidasi, lalu secara serempak bisa berkumpul di satu tempat dan melakukan protes? Dan siapa yang akan pegang komando dan mengkonsolidasikan massa pendukung setelah HRS diborgol? Diborgolnya HRS kali ini (13/12) akan menguji tingkat militansi para pengikut dan pendukung HRS, serta kemampuan konsolidasi para tokoh yang berada di sekitar HRS. Publik akan melihat dan mengukurnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.