OPINI

Inklusif, Mencegah Negara Seperti Kapal Menuju Karam

Catatan Akhir Tahun dan Harapan 2021 Untuk Indonesia by Ikhsan Tualeka Ambon FNN – Selasa (29/12). Ada banyak tuntutan, ataupun gugatan yang dapat diajukan dalam melihat realitas berbangsa dan bernegara hari ini. Apa yang belakangan ini mengemuka di Papua, dan juga di Maluku menunjukan adanya kekecewaan politik di kedua daerah ini. Kekecewaan yang mesti dikelola dengan lebih arif dan responsif. Perspektif berkebangsaan yang hidup dalam setiap kepala generasi hari ini, mesti dapat disikapi dengan proporsional dan objektif. Karena semua itu terjadi tidak dengan serta-merta. Namun lahir dan tumbuh dari berbagai anomali dan ketimpangan yang terus terjadi. Dalam keadaan yang penuh ketidakpastian itu, memaksa untuk mengatakan bahwa situasi seolah-olah ada pada posisi normal atau on the right track adalah sikap tidak bijak. Apalagi dengan cara menindas, dan menggunakan kekerasan. Praktik ketidakadilan dan diskriminasi, serta minus kepekaan sosial dari elit penguasa harus segera dihentikan. Formula baru harus dirumuskan. Memahami gerakan protes yang saat ini tengah berkembang dan mengemuka dikawasan timur Indonesia, baik itu melalui gerakan politik bersenjata di Papua, maupun ekspresi politik menuntut dikembalikannya kedaulatan versi proklamasi tahun 1950 di Maluku, harus bisa dibaca sebagai interupsi level tinggi. Pasti ada yang kurang tepat dalam pengelolaan negara sejauh ini. Untuk itu, guna menjamin integrasi nasional dalam rentang waktu yang panjang, negara harus lebih inklusif. Yakni menempatkan negara ke dalam cara pandang orang atau kelompok lain untuk melihat dunia atau realitas. Dengan kata lain, negara mesti berusaha menggunakan sudut pandang orang atau kelompok lain dalam memahami masalah kekinian. Itu artinya, cara pandang atau perspektif yang sejauh ini mewakili aspirasi politik dan kepentingan ekonomi masyarakat, khususnya yang mengemuka di Papua dan Maluku harus ditanggapi dengan sikap inklusif oleh negara. Perspektif ini meminjam Daron Acemoglu dan James Robinson yang diungkap dalam buku ‘Mengapa Negara Gagal’. Menurut mereka, kegagalan sebuah bangsa menjadi maju dan berkembang karena absennya sistem ekonomi-politik yang inklusif. Tanpa inklusivisme, mustahil sebuah bangsa bisa beradaptasi, berinovasi menuju masyarakat yang egaliter. Dengan demikian negara dan pemerintah harus lebih cermat membaca situasi dan keinginan ekonomi-politik yang mengemuka. Tidak saja sebagai akibat perubahan global. Namun juga terkait dengan akumulasi kegagalan negara selama ini. Responsif dengan cara inklusif akan dapat mencegah reaksi publik yang kecewa terhadap pengelolaan negara yang tidak menghadirkan keadilan untuk semua. Inklusif dengan lebih memahami kepentingan dan kebutuhan daerah, terutama di kawasan timur yang tertinggal memang sulit terjadi atau dirumuskan dalam keadaan nagara. Penyebabnya karena tengah dipasung oleh oligarki. Bagi sebagian elit oligakri, mengumpulkan kekayaan adalah agenda utama dan jauh lebih penting ketimbang memikirkan integrasi nasional. Acemoglu dan Robinson menegaskan dalam buku mereka itu, sistem yang dikuasai tata kelola negara oleh segilintir elit, hanya akan membawa bangsa tersebut semakin terpuruk. Bang itu bahkan tidak kompetitif, dan menjadi bangsa yang gagal. Situasi yang saya lihat mulai menghinggapi bangsa ini. Masih menurut kedua ilmuan itu. Dengan gagalnya transformasi sistem ekonomi-politik yang inklusif, maka negara tersebut akan bergelimang dengan kemiskinan, ketimpangan sosial dan kekacauan politik. Seperti halnya situasi yang dialami oleh Korea Utara, Uganda dan Sierra Leon. Untuk menjadi inklusif, antara lain tata-kelola negara yang sangat Jawa sentris harus dapat dievaluasi. Termasuk di dalamnya bandul ekonomi-politik yang hanya pro pada segelintir orang. Itu artinya institusi ekonomi juga mesti dapat segera direkontruksi. Itu pasalnya, karena institusi ekonomi yang tidak inklusif, hanya akan menjadikan kelompok yang lemah semakin teralinasi atau terpinggirkan. Yang kaya semakin kaya. Itu artinya yang miskin semakin melarat atau setidaknya sulit untuk berkembang. Sistem ekonomi liberal kapitalis yang diadopsi mentah-mentah oleh Indonesia ternyata telah gagal total. Gagal untuk menjadi formula mensejahterakan sebagian besar rakyat. Alih-alih sejahtera, kemiskinan dan ketimpangan sosial justru kian lebar dan massif. Ketidakadilan semakin susah ditemukan. Sistem politik demikian pula adanya. Korupsi merajalela di semua level pemerintahan. Birokrasi yang tidak produktif. Krisis pelayanan publik merata dan telanjang mata. Sistem politik yang dianggap demokratis, tetapi dalam praktiknya sangat eksklusif. Bahkan hanya sekadar menjadi alat melegitimasi kekuasan hasil “dagang sapi” partai politik dan juga politisi busuk. Pada intinya, sistem ekonomi yang memungkinkan kekayaan negara yang dikuasai segelintir orang atau oligarki, serta sistem politik yang hanya menjadi mekanisme demokrasi yang prosedural untuk menegaskan kepemimpinan kompatriot oligakri dan dinasti politik dari pusat hingga daerah. Ini adalah potret sesungguhnya bahwa kapal besar Indonesia sedang berlayar menunju karam. Jika tidak segera berbenah, antara lain dengan mengakomudir berbagai tuntutan, terutama yang masih masuk dalam koridor konstisusi, seperti tuntutan Otonomi Khusus atau perlakuan khusus lainnya bagi Maluku Raya, sangat mungkin perlawanan politik akan makin mengemuka. Bila itu yang terjadi, dan ditambah pergolakan politik di Papua yang tensinya semakin tinggi, negara sejatinya sedang menuju fase gagal atau bubar. Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center (MCC).

Selamat Datang Kembali Gubernur Indonesia

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (28/12). Selama 27 hari Anies telah menjalani isolasi diri. Selama 25 hari lidah kehilangan rasa dan penciuman. Telah berulangkali tes swab, hasilnya tetap positif. Saat pertama kali positif terinveksi, Anies membuat video. Mengirimkan kabar sekaligus pesan agar setiap orang yang bertemu dengannya menjalani tes. Ini penting agar tidak ikut menjadi agen penularan ke yang lain. Anies adalah kepala daerah yang pertama kali membentuk tim penanganan Covid-19. Meski tak sedikit yang saat itu menganggap Anies sedang ngigau. Anies juga dituduh telah membuat kegaduhan dan kepanikan masyarakat. Dan macam-macam tuduhan lain lagi. Disisi lain, sejumlah pejabat tinggi sekelas menteri tak percaya Covid-19 bisa masuk ke Indonesia. Alasannya Indonesia daerah tropis. Covid-19 nggak bisa hidup di daerah tropis, katanya. Ada yang komentar bahwa Covid-19 mati dengan empon-empon. Macam-macam argumentasinya. Yakin penyebaran Covid-19 nggak akan meluas di Indonesia, tanggal 1 Maret presiden memberikan insentif di sektor pariwisata. Diskon pesawat 45-50%. Ini dilakukan agar kunjungan wisatawan ke Indonesia di saat pandemi tetap stabil. Ternyata? Meleset semua prediksi Presiden dan anggota kabinetnya. Di mata publik, program insentif ini terkesan konyol bin ngawur. Faktanya, Covid-19 masuk dan meyebar. Jumlah yang terinveksi terus bertambah. Sangat cepat penyebarannya. Tanggal 29 Maret 2020 Anies mengusulkan kepada pemerintah pusat agar dilakukan karantina wilayah. Khusus Jakarta. Usul Anies ditolak, bahkan dengan sangat tegas penolakannya. Covid-19 makin ganas. Pada bulan September, perhari lebih dari 4000 orang yang terinveksi. Di jakarta penambahan ya hampir 2000 orang per hari. Anies berencana ingin perketat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Juga diprotes. Tak tanggung-tanggung. yang memprotes adalah beberapa menteri. Dianggap mengacaukan upaya memulihkan ekonomi nasional. Ngawur bin ngaco kan? Sampai akhirnya, Habib Rizieq pulang ke Indonesia. Kerumunan terjadi, dan Habib Rizieq dianggap sebagai salah satu penyebab jumlah positif Covid-19 makin banyak. Sang Habib pun dijadikan tersangka dan ditahan. Kena pasal 160 KUHP, dianggap menghasut orang berkerumun dan melanggar aturan. Intinya, pasca Habib Rizieq pulang, ptotokol kesehatan (prokes) diperketat. Dan di pertengahan bulan Desember ini, Menko Meritim Luhut Binsar Panjaitan meminta kepada Anies untuk memperketat PSBB. Lah terus piye too? Kok berubah-ubah siiih? Mana yang bener niiih? Andai saja gagasan karantina eilayah yang diusulkan Anies di akhir bulan Maret diterima, mungkin penyebaran Covid-19 di Indonesia tidak separah seperti sekarang. Begitu juga dengan nasib ekonomi Indonesia. Relatif masih bisa diselamatkan. Tak perlu ada yang ditahan gara-gara kerumunan. Namun nasi sudah jadi bubur. Semua sudah jadi takdir sejarah. Dan Anies, tak hanya jadi orang pertama yang membentuk tim Covid-19, dan turun langsung menangani Covid-19. Anies pun ikut merasakan menjadi pasiennya. Anies juga tertular, dan harus menjalankan program isolasi mandiri sebagaimana pasien-pasien yang lain. Meski berada di rumah isolasi, Anies tak berhenti memimpin lokomotif Ibu Kota. Semua kegiatan tetap berjalan atas instruksi dan konsolidasinya. Jadi pasien Covid-19 tak menyurutkan Anies untuk tetap bekerja dan berkarya. Barangkali ini yang membuat proses penyembuhan Anies cukup lama. Karena tak rehat dan istirahat sebagaimana umumnya pasien yang lain. Begitulah risikonya menjadi seorang pemimpin. Nggak boleh istirahat! Terbukti, dimasa isolasi, DKI Jakarta masih meraih sejumlah penghargaan. DKI Jakarta diganjar dengan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ganjaran WTP ini bukan pertama kalinya. Namun sudah untuk yangketiga kalinya. Tiga tahun berturut-turut Jakarta mendapat ganjaran WTP dari BPK. Selain itu, provinsi DKI Jakarta meraih penghargaan Provinsi Terinovatif dari Kemendagri, dan penghargaan Kota Peduli HAM. Tidak hanya itu. Pemprov DKI juga mendapat penghargaan Top Digital Award 2020. Semua ini diterima saat Anies diisolasi karena Covid-19. Artinya, meski diisolasi, Anies tetap bekerja dan meraih prestasi. Yang dibutuhkan dari seorang pemimpin itu pertama, gagasannya. Seorang pemimpin mesti punya terobosan dan mampu berpikir out of teh box. Kedua, kemampuan menggerakkan bawahannya. Inilah fungsi leadership itu. Memastikan semuanya bekerja secara kolektif dan kolaboratif sesuai visi dan misi pemimpin. Ketiga, sikap bijaknya dalam menghadapi setiap dilema dan problematika. Di tangan seorang pemimpin, berbagai masalah bisa diselesaikan. Bukan malah menambah masalah baru. Intinya, pemimpin harus tangguh. Tidak menganggap setiap masalah sebagai keruwetan. Tetapi sebagai tantangan yang harus diselesaikan untuk memberi pengalaman dan kematangan. Tiga syarat itu, Anies memilikinya. Maka, di tangan Anies, Jakarta berjalan ke arah yang terukur sesuai dengan design visi yang direncanakan ketika berpasangan dengan Sandi Uno maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta 2017 dulu, yaitu "Maju Kotanya Bahagia Warganya". Jika hampir sebulan ini Anies memimpin by zoom dan mengandalkan jasa layanan Internet, maka setelah sehat, sudah saatnya Anies kembali turun langsung ke lapangan. Selamat datang kembali "Gubernur Indonesia" untuk memimpin Ibu Kota. Begitu rakyat menyapa dan memberi semangat kepada Anies Rasyid Baswedan, cucu pahlawan Indonesia Abdurrahman Baswedan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Urgensi Reformasi Polri

by Budiana Irmawan Jakarta FNN – Senin (28/12). Dugaan perbuatan Extrajudicial Killing terhadap 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) harus dimaknai bahwa ada problem serius di institusi kepolisian. Fungsi Polri sebagai aparatur penegak hukum masih rentan diintervensi kepentingan politik. Bahkan laporan KontraS sepanjang tahun 2020 terjadi 29 kasus pembunuhan oleh polisi di luar proses hukum. Tragis sekali. Penyelenggaraan tindakan kepolisian sebenarnya telah diatur dengan sangat jelas dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009. Namun kedua Perkap tersebut tampaknya tidak diindahkan dalam pelaksanaan di lapangan. Berangkat dari fakta-fakta ini, menunjukan urgensi reformasi di tubuh Polri. Paradigma Kepolisian sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002 memposisikan sistem sentralistik (Centralized System of Policing) perlu diubah kembali. Tujuannya agar ke depan polisi lebih relevan dan mengikuti asas keterbukaan dan profesionalitas. Tidak seperti sekarang. Sangat jauh dari profil polisi Indonesia yang Porfesional, Modern dan Terpercaya (Promoter). Jika kita menengok kembali tuntutan reformasi TNI dan Polri, pemisahan Polri dari TNI, sebetulnya baru langkah awal reformasi di Kepolisian. Polri berdiri sendiri lepas dari TNI baru langkah awal menandai Kepolisian adalah aparatur sipil yang dipersenjatai. Dipersenjatai untuk dapat menegakan hukum dengan benar dan Promoter. Bukan main tembak. Kendati memiliki kewenangan memegang senjata, tetapi senjata hanya digunakan untuk bertindak preventif dan preemtif. Bukan intensif untuk membunuh pihak musuh atau anak bangsa yang sedang diproses hukum oleh polisi. Sebab polisi jadi kehilangan fungsi pengamanan dan perlindungan masyarakat yang menjadi pondasi utama tugas-tugas polisi. Sejarah kelam dwi-fungsi ABRI di masa Orde Baru merupakan pelajaran berharga yang harus diingat-ingat oleh polisi. Kini TNI relatif sudah menjaga jarak terhadap kepentingan politik praktis sejalan perintah UU No. 34 Tahun 2004. Konsistensi TNI hendaknya diikuti oleh Polri. Karena itu, reformasi Polri fase berikutnya adalah menata kelembagaan kepolisian. Struktur kelembagaan Kepolisian yang sekarang ini sangat sentralistik. Padahal polisi bukan institusi kombatan. Berbeda dengan TNI yang memang bertugas menurut garis komando. Sementara polisi sebagai upaya menegakkan hukum, maka dasarnya adalah fakta hukum locus delicti. Mengkaji lebih jauh soal kelembagaan kepolisian, kita bisa membandingkan model Amerika Serikat yang terpisah (Fragmented System of Policing). Terpisah antara polisi federal dengan polisi negara bagian. Begitu juga dengan model Jepang yang membuka desentralisasi kepada prefektur yang merupakan sistem campuran (Integrated System of Policing). Memang model Amerika Serikat sulit untuk diterapkan, mengingat bentuk negara federal tidak kompatibel dengan negara kesatuan. Namun standar profesionalitas polisi di Amerika Serikat pantas untuk ditiru. Sebab di setiap kota besar mempunyai Kepolisian yang bergengsi. Misalnya New York Police Departement atau Los Angeles Police Departement. Begitu pula dengan polisi yang menangani kejahatan khusus seperti DEA, Badan Anti Narkotika di bawah Departemen Kehakiman. Selain itu, ada lagi FBI yang bertanggung jawab kepada Kejaksaan. Saya kira kelembagaan Kepolisian model Jepang sangat memungkinkan diadaptasi Indonesia. Di Jepang polisi prefektur lebih berdaya guna melaksanakan tugas kepolisian di masing-masing wilayah prefektur atau setingkat provinsi. Polisi Pusat (National Police Organization) terdiri dari NPSC (National Public Safety Commision) dan NPA (National Police Agency). NPSC suatu badan pemerintahan yang bertanggung jawab mengawasi NPA. Sementara tugas NPA adalah mengkoordinasikan polisi prefektur. Dengan demikian, tepat dibentuk kementrian keamanan yang bertanggung jawab mengendalikan kepolisian nasional. Juga memberi kewenangan luas kepada kepolisian daerah. Peran inspektorat/Irwasum Polri diperkuat menjadi badan supervisi penyelenggaraan kepolisian sejenis NPSC di Jepang. Poin penting adalah terjadi efektivitas tugas Polri. Kelakar beban bertumpuk dari urusan tilang motor bodong hingga menangkap teroris, bukan saja mengikis profesionalisme. Namun juga membawa moral hazard bagi anggota Polri. Tidak sampai di situ. Sistem kepolisian terpusat mengakibatkan Polri mudah tergelincir bias menjadi kepentingan politik rejim yang sedang berkuasa. Sama halnya dengan dugaan Extrajudicial Killing terhadap 6 anggota Laskar FPI. Penulis adalah Peneliti Lingkar Studi Transformasi Kebijakan Publik.

Pemurtadan Dan Penistaan Agama

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (27/12). Viral video dua orang, laki-laki dan wanita, di sebelah pohon natal sebuah gereja dalam acara "Natal Bersama Kultum 2020" membacakan ayat Qur'an dan terjemahannya. Akan tetapi ternyata ayat-ayat yang dibaca dan diterjemahkan tersebut bercampur dengan Bible dan merusak makna sebenarnya ayat Qur'an. Diragukan bahwa pembaca Qur'an berpeci adalah muslim. Awalnya yang dibaca adalah Qur’an Surat Maryam, ayat 19-21. Akan tetapi calaknya lagi, sambungannya seolah-olah ayat Qur'an. Padahal yang dibaca adalah ayat Bible Yohanes 14:6 yang diarabkan. Bunyi lengkapnya yang diarabkan adalah "Qaala lahu yasuu'u ana huwath thoriiqu wal haqqu wal hayaatu laisa ahadun ya'tii ilaal abi illa bii. Artinya, kata Yesus kepadanya, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku". Luar bisa pengecohannya. Dengan langgam membaca Qur'an mereka mensinkretiskan Qur'an dengan Bible. Seolah-olah hai ini merupakan wujud dari toleransi keagamaan. Padahal disadari atau tidak, ini adalah penodaan agama yang dapat dilaporkan sebagai nyata-nyata pelanggaran hukum. Pasal 156 a KUHP dapat dikenakan pada pelaku maupun pembuat skenarionya. Kasus demikian bisa terjadi akibat kekacauan yang dilakukan oleh sebagian komunitas umat Islam sendiri. Toleransi yang salah kaprah, yaitu mencampuradukan ajaran. Mulai dari ceramah natal oleh mubaligh, kolaborasi bernyanyi muslim dan kristiani di gereja, qashidah dengan joget sinterklas, adzan di gereja. Ada juga bagi-bagi tumpeng santri di acara gerejani, hingga Menteri Agama yang demonstratif memberi wejangan dan ucapan Natal. Bahkan ada film yang dinilai mengada-ada. Kader ormas yang sedang menjaga gereja mencurigai ada bom saat acara misa umat kristiani di gereja. Lalu heboh, dan secara "heroik dan demonstatif" ia membawa bom itu keluar dan meledaklah di tangannya. Duuar...lebaay. Harus ada rekonstruksi makna toleransi yang sebenarnya. Karena saat ini telah menciptakan kekacauan dalam pemahaman keagamaan. Toleransi seharusnya bukan untuk saling mencampuri dalam soal pelaksanaan ibadah keagamaan masing-masing agama. Toleransi adalah memahami dan menghargai perbedaan atas keyakinan masing-masing agama. Lebih dari itu, saling menghormati keyakinan masing-masing. Tidak lebih dari itu. Menghormati dan menghargai keyakinan masing-masing agama adalah wujud dari sikpa teloransi yang paling tinggi dan bergensi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita yang majemuk. Umat Islam selalu dipojokkan sebagai umat yang intoleran. Sehingga merasa perlu harus merendahkan diri pada umat lain dengan sikap yang bukan saja melanggar syariat, tetapi juga akidah. Pemerintah semestinya mengubah kebijakan keumatan. Kementerian Agama harus menjadi penanggungjawab untuk menstabilkan relasi keagamaan umat Islam. Hanya semakin skeptis dan pesimis saja melihatnya. Sebab ternyata Menteri Agama hasil reshuffle saat ini justru diduga menjadi bagian dari kekacauan faham dan relasi keagamaan ini. Semoga ada perubahan sikap, agar wajah umat mayoritas ini tidak semakin muram. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

Komnas HAM di Tengah Badai Hukum

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Ahad (27/12). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sejauh ini terlihat memasuki sudut-sudut eksplosif kematian 6 (enam) anak manusia di Kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek. Penyelidikan yang sejauh ini terlihat sangat kredibel dan hati-hati itu, sangat menarik. Mengapa? Pada saat yang sama Kepolisian juga sedang menyelidiki kasus ini. Dalam kerangka penyelidikan itu, Edy Mulyadi, Jurnalis FNN.co.id yang mempublikasi hasil investigasi jurnalistiknya, dimintai keterangan oleh penyelidik kepolisian. Apakah permintaan keterangan dari Edy Mulyadi merupakan realisasi dari sikap mereka bahwa siapa yang mengatakan enam orang mati itu tidak memiliki senjata akan diproses? Ini benar-benar menarik. Meta Etik Rule of Law Allah Subhanahu Wata’ala, Dia yang menciptakan langit dan bumi. Hidup dan kehidupan ini, sejauh pengetahuan saya yang serba sedikit, Allah sangat mengagungkan manusia, ciptaan-Nya ini. Bahkan lebih mulia dari malaikat. Dia, Sang Pencipta, mengagungkan manusia sedari dalam kandungan ibunya. Tidakkah sedari kandungan ibu, begitu penjelasan para ulama, manusia telah berikrar mengakui Allah Subhanahu Wata’ala sebagai Tuhannya, dan Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam sebagai Rasulnya. Memang dunia barat tidak terikat pada kaidah ini, tetapi tetap saja mengagumkan mengenali perdebatan mereka mengenai gagasan legalisasi aborsi. Manusialah, diandalkan Allah Subhanahu Wata’ala, mengenal dan menyampaikan perintah dan larangannya. Kata para ulama, manusia diciptakan tidak untuk berhianat kepada-Nya. Manusia diwajibkan mengormati nyawa manusia lainnya, juga menghormati hidup orang lain. Hal-hal itu memiliki sifat alamiah. Itulah, yang studi-studi filosofis barat konsepkan sebagai hak yang dimiliki setiap orang, karena mereka manusia. Dibekali dan melekat pada setiap manusia sedari lahir itulah, hak itu memiliki kapasitas sebagai asasi. Itulah basis terdalam etik rule of law, sebagai hak yang tidak bisa dikurangi, dengan alasan apapun. Cicero, ahli hukum yang gemilang dengan pernyataan “salus populi suprem lex esto”, yang dipakai rezim-rezim brutal untuk membentengi kebrutalannya, mengonsepkan kenyataan itu sebagai nature of human. Dengan dasar itu dignity bagi Cicero melekat pada setiap manusia. Ini alamiah bagi setiap orang. Hak-hak untuk hidup tidak diberikan oleh negara (sifat positif) menurut konsep Isaiah Berlin, Filosof Inggris ini. Menurut konsepnya, hak untuk hidup bersifat asasi. Karena telah terbekali hukum alam pada setiap manusia. Berlin mengkategorikan hak ini dengan hak yang bersifat negative. Rule of law menunjuk itu semua sebagai meta etiknya. Harus diselami, dimengerti dengan benar oleh setiap penguasa. Meta etik itulah mengalir gagasan rule of law. Meta etik ini meminta, dengan nada mendesak, aparatur politik dan hukum, tak memelihara kebencian dalam menegakan hukum. Meta etik itu pulalah yang mengalirkan keharusan kepada pemimpin politik dan hukum untuk menarik jarak sejauh mungkin dari kecongkakan dan keangkuhan ala Fir’aun, Musolini, Lenin, Hitler, Salazar, Juan Franco, dan lainnya. Begitu mendekat pada pandangan tiran-tiran iin, habislah human dignity. Hitler, ambil sebagai ilustrasi kecil. Menurut Mark Neocleous, dalam artikelnya “The Facist Moment, Security, Exclussion Extermination”, mengandalkan Secret State Police (Geheime Staatpolizie, Gestapo) polisi rahasia. Gestapo menjadi masin Hitler untuk menangkap orang sesuka-sukanya atas nama menjaga keamanan nasional (national security). Selain Gestapo, Hitler juga menggunakan Order Police (Ordnungspolizei). Polisi ini berfungsi menangani kasus kriminal. Polisi terakhir ini diciptakan Himler, yang kala itu mengepalai Gestapo. Hitler dengan organ Gestapo dan Ordnungspolizie boleh menangkap siapa saja mengkritiknya, atau tak disukainya. Rule of law konyol dan angkuh, yang Hitler sinonimkan dengan Rechstaat, tidak memberi tempat pada individu. Rechstaat khas Nazi Hitler mengagungkan kolektivisme. Dalam kenyataanya, Hitler menjadi “penentu” keamanan nasional itu negara. Neocleus menulis “He may well have said, at the end of security, there is Hitler”. Konsep ini dijustifikasi secara akademik oleh gagasan Gustav Rudbruch dan Carl J. Smith, dua ahli hukum Rusia itu. Gustav Rudbruch, pencipta teori tujuan hukum, keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Gustav dikenal terlepas dari spekulatif atau tidak, sebagai seorang nihilis. Tujuan hukum khasnya harus dimengerti dalam kerangka dirinya sebagai nihilis. Disisi Schimitian (Carl Schimith), yang poisisi filosofisnya membenarkan perang, tidak untuk alasan keadilan, melainkan untuk mengidentifikasi musuh dan kawan, jelas dalam semua aspeknya mengenai security. Baginya, security merupakan sifat alamiah dari politik. Berbeda seribu derajat dengan Hobbes. Bagi Schimid, perang semua melawan semua. Bukan individu melawan individu menurut konsep Hobbes, ilmuan Inggris ini. Bahaya eksis, setidaknya secara potensial, ketika terjadinya satu serangan kepada seseorang, sama dalam pandangannya, dengan seranggan kepada masyarakat secara keseluruhan. Satu keputusan untuk perjuangan berdarah, menurutnya, menjadi karakteristik politik. Juga merupakan cara politik mengidentifikasi kawan dan lawan. Baginya, dunia bisa dihindarkan dari perang. Tetapi baginya dunia tanpa perang, sama dengan dunia tanpa politik. Cara pandang ini, tentu tidak sedang melambung, mengukir jagat politik dan hukum Indonesia. Cara pandang ini konyol dalam semua sudutnya. Ini merendahkan kemuliaan manusia. Cara pandang ini tentu saja bertentangan tujuan bernegara kita “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah”. Itulah gagasan mulia dan bernilai tinggi yang diwariskan para pembuat konstitusi negara UUD 1945. Bentengi Dengan Kejujuran Rule of law mengariskan “kematian” sebagai peristiwa hukum yang menghapuskan tanggung jawab pidana dari orang yang disangka sebagai pelaku. Hak menuntut dari negara hapus dengan sendirinya. Ini rasional. Bagaimana cara meminta orang mati bicara? Tetapi justru disitulah menariknya. Mengapa kasus ini terus diselidiki? Kemana arah penyelidikan ini? Meminta tanggung jawab pidana pada orang-orang FPI yang ikut mengawal Habib, yang tidak mati? Bila ya, itu juga menarik. Apa saja yang membuatnya menarik? Asumsi penyelidikan itu yang menarik. Apa asumsinya? Petugas polisi yang bertugas itu benar dalam semua aspeknya. Sebaliknya, orang-orang Habib yang mengawal dirinya, salah pada semua aspeknya. Titik. Rasionalkah ini? Itulah soal terbesarnya. Mengapa ini menjadi soal terbesar? Fakta tercecer sajauh ini, mendesakan logika lain yang sangat rasional. Bagaimana mengonfirmasi keberadaan senjata itu kepada orang mati? Apakah penyelidik sedang menelurusi asal-usul senjata itu? Ini mutlak dilakukan, agar valid hukumnya. Jelas itu tidak akan tetrcapai, karena orang yang akan dikonfirmasi sudah mati. Sisi lain yang menantang datang dari keterangan orang tua salah satu almarhum di Komisi III DPR. Andai saja keterangan ini benar-benar tak tersanggah dengan fakta lain, baru yang berbeda, maka tentu saja konsekuensinya juga jelas. Tetapi sejenak tinggal dulu soal itu. Mari bicara rule of law dulu. Dalam konteks ini, harus diakui keangkuhan sekaliber apapun, sulit untuk menyangkal peristiwa kilometer 50 ini menusuk, dan merobek-robek kemanusiaan kita sebagai bangsa, dan sebagai manusia ber-Tuhan. Rule of law memang memungkinkan orang dihukum mati, tetapi rule of law juga mengharuskan adanya justifikasi hukuman mati itu yang rasional secara etik. Orang yang akan dihukum mati misalnya, harus, tanpa dapat ditangguhkan, diadili secara jujur di peradilan. Tidak itu saja, orang yang akan menjalani hukuman mati itu, diberi kesempatanm untuk menyampaikan permintaan atau pesan terakhir kepada ayah, ibu, istri atau anaknya, yang akan ditinggalkan. Begitulah adab etik rule of law. Begitulah etik rule of law menampilkan derajat penghormatannya terhadap nyawa manusia dan kemanusiaan. Adab itu juga akan bekerja dengan cara para penembak, yang akan menembak mati terpidana, tak diberi tahu senjata mana yang telah terisi peluru. Para penembak itu tak bakal tahu bahwa senjata yang digunakannya yang mematikan terpidana mati itu. Sebab penembak itu juga manusia. Cara itu dimaksudkan untuk tak melukai rasa etik para penembak. Komnas HAM telah bekerja. Tak usah ditawarkan aspek-aspek teknis invesitgasi dan apa yang harus didapat dalam investigasi mereka. Fakta parsial yang terekam dalam investigasi mereka, terlihat begitu meyakinkan di permukaan. Seberapa detil dan apakah setiap detilnya kredibel, masih harus dianalisis. Komnas HAM, harus diakui, tak punya apa-apa. Disisi lain medan kerja mereka berada ditengah rule of law yang telah keropos. Ketidakpastian, kata lain dari dinamika politik, yang selalu dapat menghasilkan “keadaan baru yang tak tertebak,” telah menjadi ikon rule of law mutakhir. Itu tantangan terbesar Komnas HAM. Bagaimana dan dengan apa Komnas HAM membimbing penyelidikan yang terus berlangsung ini? Komnas HAM hanya perlu membekali diri dengan keyakinan bahwa pekerjaan ini mulia dalam semua dimensinya. Jujurlah dalam semua aspek. Cukupkan saja investigasi ini dengan “jujur” sebagai jiwanya. Ukirlah dan bungkuslah seluruh temuan dengan itu kemuliaan yang tinggi. Semoga kemanusiaan yang selalu mulia dan agung itu, terus bersinar dihari-hari esok. Tuan-tuan Komnas HAM, jujur itu benteng tertangguh di dunia dan diakhirat, begitu pesan bijak Syech Abdul Kadir Jailani. Ungkaplah semua aspek peristiwa melayangnya enam nyawa manusia di kilometer 50 itu, dengan sejujur-jujur-jujurnya. Kaidah republik menggariskan kekuasaan hukum harus digunakan menurut kaidah rule of law. Sombong, angkuh, benci kelompok ini dan sayang kelompok itu, bukan kaidah republik dan rule of law. Selamat bekerja. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Tugas Negara Itu Melindungi Rakyatnya, Bukan Menangkap Pengkritiknya

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (27/12). Saat ini, Jokowi terlihat masih mampu mengendalikan stabilitas keamanan dalam negeri. Diantara indikatornya, pertama, Polri dan TNI yang menjadi organ penting dalam menjalankan tugas pengamanan berada dalam kendali penguasa. Kedua institusi ini terlihat kompak. Setidaknya dalam konsolidasi struktural. Kedua, di luar Polri dan TNI, ada sejumlah organisasi kemasyarakatran (ormas( besar seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang masih memberi dukungan kepada pemerintah. Walaupun dukungan itu dengan dinamikanya masing-masing. Ketiga, sejumlah tokoh dan aktifis yang teridentifikasi sebagai bagian dari kelompok oposisi yang krirltis seperti Kesatuan Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI), masyarakat yang tergabung dalam komunitas 212, dan sejumlah akademisi, tampak berhasil dibonsai melalui UU ITE. Begitu pula dengan penggunaan pasal ujaran kebencian (pasal 28 ayat 2 UU No 19 Tahun 2016 jo UU No 11 Tahun 2008) dan penghasutan (pasal 160 KUHP). Sebagian bahkan sudah ditangkap dan berada dalam tahanan. Beberapa mulai memasuki persidangan di pengadilan. Penguasa sepertinya berhasil meredam setiap kritik yang dilontarkan kelompok-kelompok oposisi. Penguasa sukses menggunakan pasal-pasal dalam undang-undang hukum pidana, dan terutama undang-undang ITE. Meski pasal-pasal yang ditersangkakan seringkali menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para ahli hukum. Pertama, ada kesan pasal-pasal yang dipaksakan. Kedua, pasal-pasal itu seringkali hanya berlaku untuk tokoh-tokoh yang menjadi pengkritik pemerintah. Sebaliknya ada kesan berbelit-belit jika menyangkut dengan para pendukung pemerintah. Tidak ada yang dijadikan tersangka. Namun kekhawatiran adanya ancaman pelengseran terhadap Jokowi itu juga terlalu berlebihan. Justru yang terjadi sebaliknya. Narasi ancaman dianggap publik seperti sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menggiring munculnya tuduhan kepada para tokoh oposisi itu. Orde Lama dan Orde Baru menggunakan pasal subversi untuk menghadapi para pengkritik penguasa. Kalau sekarang pintu masuknya seringkali melalui pelanggaran terhadap UU ITE. Hampir semuanya kena pasal ujaran kebencian dan penghasutan. Untuk saat ini, situasi keamanan nasional masih sangat kondusif. Hanya kasus seperti "Papua Merdeka" yang memang terjadi sejak dulu. Namun ke depan belum ada tanda-tanda bahwa stabilitas keamanan nasional terancam. Kecuali jika terjadi krisis ekonomi. Baik krisis moneter maupun krisis fiskal. Jika negara kekurangan anggaran untuk menggaji TNI-Polri dan para pegawai negeri, maka itu menjadi masalah serius dua rius dan tiga rius. Ini tentu akan menimbulkan gejolak. Faktor krisis ekonomi akan menjadi trigger yang paling kuat. Terutama dalam situasi rakyat dalam keadaan kecewa dan marah. Negara memang sedang kesulitan uang. Upaya untuk mendapatkan pinjaman sedang terus dilakukan. Baik melalui penjualan SBN (Surat Berharga Negara) atau SUN (Surat Utang Negara) maupun pinjaman luar negeri. Dalam situasi pandemi seperti sekarang, bukan hal mudah untuk mendapatkan pinjaman. Nopember bulan lalu, penjualan SBN/SUN jauh dari target. Jika upaya mencari pinjaman ini gagal, memang sangat berisiko ke depan. Hal yang paling tepat dan perlu dilakukan oleh pemerintahan Jokowi saat ini adalah pertama, tangani pandemi Covid-19 dengan strategi terukur, tegas dan konsisten. Agar pandemi Covid-19 segera bisa diatasi dan diakhiri. Tanpa penuntasan pandemi sebagai program serius dan prioritas, sulit bangsa ini keluar dari resesi ekonomi. Kedua, fokus atasi resesi ekonomi. Sebagai catatan, dalam mengambil setiap kebijakan ekonomi, pemerintah mesti mengutamakan kepentingan rakyat dan masa depan bangsa. Tidak semata-mata untuk menghindari krisis demi mempertahankan kekuasaan. Ketiga, tidak menghabiskan energi dan sibuk mengatur strategi konfliktual dengan kelompok oposisi. Pemerintah tak perlu berlebihan dan memanjakan rasa takut kepada kelompok-kelompok oposisi itu. Karena tak ada yang perlu ditakutkan. Nggak boleh alergi dengan kritik. Ini Indonesia, bukan Timur Tengah. Masyarakat Indonesia mudah diajak berkomunikasi dan kompromi. Secara umum, masyarakat Indonesia merindukan suasana damai. Sudah bosan dan jenuh dengan kegaduhan. Suasana tenang hanya akan terjadi di negeri ini jika negara sibuk bekerja untuk melindungi rakyatnya, bukan memusuhi dan menangkap para pengkritiknya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Prabowo-Sandi Dan Sejarah Hitam Demokrasi

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (26/12). Setelah Calon Presiden 2019 Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Jokowi, kini Calon Wakil Presiden Sandiaga Salahudin Uno juga masuk Kabinet. Komitmen awal untuk siap menjadi oposisi 5 tahun ke depan runtuh sudah sudah. Rekor Muri patut disematkan untuk sejarah demokrasi bangsa Indonesia. Dimana Prabowo-Sandi ternyata sangat senang hati untuk menjadi "pembantu"Jokowi. Keterlibatan mereka berdua sebagai Capres-Cawapres 2019 hanya dagelan belaka. Bohong-bohongan saja. Ujung-ujungnya hanya ingin punya jabatan di pemerintahan. Semua itu bisa dipahami, karena karier paling tinggi bagi Prabowo hanya bintang tiga di TNI Angkatan Darat. Belom pernah jadi menteri sejak pengisun dari dinas aktif militer. Hitung-hitung, dengan menjadi Menteri Pertahanan, ada penambahan jabatan di pemerintahan pada daftar curriculum vitae bahwa Probowo juga pernah menjadi menteri. Prabowo yang galak saat kampanye membuat pendukung bangga dan mengacungkan jempol. Soekarno baru telah muncul di bumi pertiwi ini. Para pendukung rela mengorbankan harta bendanya demi sukses perjuangan sang panutan menjadi Presiden. Pengorbanan pendukung disamping mengumpulkan dana kampanye juga dengan pengorbanan jiwa, tewas 6 atau bahkan 9 orang, dan luka luka 600 orang saat aksi protes di depan Bawaslu 21-22 Mei 2019 lalu. Rupanya bukan hanya Prebowo. Kini kejutan kembali terjadi. Setelah diumumkan oleh Jokowi bahwa Sandiaga Salahudin Uno menjadi salah satu Menteri hasil reshuffle, maka lengkaplah kekecewaan pendukung Prabowo-Sandi. Sumpah serapah pun bermunculan di kalangan para pendukung di media sosial. Ada yang karena sakit hati menyumpahi dengan predikat "dasar penghianat". Keduanya menjadi bahan olok-olok di media sosial sebagai performance manusia yang tidak istiqamah. Pertimbangan didominsi oleh kalkulasi untung rugi. Para pendukung jadi teringat dengan omongan aktivis 98 yang kini menjadi Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief, yang pernah menjuluki Prabowo sebagai “Jendral Kardus”. Omongan Andi Arief seperti menjadapatkan pembenaran hari ini. Sebagian lagi pendukung sudah tak peduli pada keduanya. Pendukung berkonklusi bahwa memang seperti itulah kualitas keduanya. Bahkan ada yang bersyukur untung katanya tidak menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Kalau menang, dan menjadi Presiden-Wakil Presiden, jangan-jangan mengelola pemerintahan bisa lebih parah dari yang sekarang. Tidah usah jauh-jauh ambil perbandingan. Lihat saja kader Gerindara, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait benur udang. Nah, Ketua Umum Gerindra tidak menjadi Presiden saja begitu. Bagaimana kalau Prabowo menjadi Presiden. Bisa lebih parah dong??? Ketika rakyat menghadapi masalah seperti tokoh yang dikriminalisasi. Gonjang-ganjing perundang-undangan yang merugikan rakyat. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh aparat, Prabowo yang Menteri Pertahanan itu diam seribu bahasa. Begitu pula dengan Sandi Uno. Tak muncul komentar sebagai rasa empati kepada korban, apalagi sampai pembelaan segala. Dalam kaitan kehidupan demokrasi, masuknya Prabowo-Sandi dalam Kabinet Presiden Jokowi menjadi catatan sejarah hitam. Baru kali ini terjadi di Indonesia, mungkin juga di dunia. Catatan hitam, karena buruk sebagai preseden. Bahasanya, jika cuma sekedar mau jadi Menteri, buat apa bertarung habis-habisan dalam Pilpres. Jadi pendukung lawan saja dari dahulu Choy. Catatan hitam lain adalah membunuh budaya pengawasan dan perimbangan kekuatan. Semestinya kontrol terhadap kekuasaan itu harus kuat. Prabowo-Sandi dapat memimpin kekuatan pengawasan dan perimbangan ini. Akan tetapi dengan masuknya Prabowo-Sandi dalam Kabinet Jokowi, maka hal itu sama saja dengan memperkokoh oligarkhi. Apa boleh buat. Catatan sejarah hitam demokrasi Indonesia itu telah ditorehkan oleh Prabowo-Sandi. Mereka berdua merusak sendi demokrasi bangsa. Secara tak disadari keduanya telah berkontribusi dalam membangun kultur otokrasi. Jokowi yang semakin jumawa. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Indonesia Butuh Sosok Abdul Mu'ti Yang Banyak

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (26/12). Siapa yang tidak suka jabatan? Dalam jabatan ada identitas dan status. Dalam jabatan ada curriculum vitae. Ini akan jadi catatan sejarah. Dalam jabatan, ada kehormatan sosial. Dalam jabatan ada akses kekuasaan. Dalam jabatan ada kebanggaan untuk mengangkat nama besar keluarga. Dan dalam jabatan juga ada kesejahteraan. Kata McClelland, ada tiga kebutuhan manusia. Need for achievement, kebutuhan akan prestasi. Need for affiliation, kebutuhan akan kasih sayang. Dan Need for power, kebutuhan untuk berkuasa. Salah satu kebutuhan alami manusia adalah kekuasaan. Makin tinggi jabatan seseorang, makin tinggi akses kekuasaan yang dimiliki. Disitu kesejahteraan dan sejenisnya bisa diakses. Disaat banyak orang berebut jabatan, Abdul Mu'ti, Sekjen Muhammadiyah ini menolak ditawari jadi salah satu Wakil Menteri Pendidikan. "Gak mampu" kata Abdul Mu’ti menolak. Tentu saja publik nggak percaya dengan alasan Abdul Mu’ti itu. Alasan yang terkesan dibuat-buat untuk meredam kegaduhan. Supaya yang memberi tawaran juga nggak tersinggung. Sosok Mu'ti adalah seorang guru besar. Aktifis dan lama berkarir di organisasi besar, yaitu Persyarikatan Muhammadiyah. Orang tahu, Muhammadiyah cukup rapi dan disiplin pola perkaderan. Muhammadiyah melahirkan sosok Hamka yang tegas. Sekarang ada Anwar Abbas, mantan Sekjen MUI dan Abdul Mu’ti, Sekjen Muhammadiyah. Dua sosok yang sangat tegas dan lugas. Nahdatul Ulama (NU) pada masa lalu juga melahirkan ulama tegas seperti KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahab Hasbullah. Lalu belakangan ada Gus Dur, yang karena berpegang pada prinsip dan ketegasannya rela meninggalkan istana dan melepaskan jabatannya sebagai presiden. Sosok-sosok tegas seperti ini sudah mulai langka kita temui hari ini. Kembali ke Abdul Mu'ti. Ia adalah Sekjen Muhammadiyah. Posisi sebagai Sekjen hanya akan diberikan kepada sosok yang matang, mampu menggerakkan organisasi, administrator, jago lobi, dan piawai dalam berkomunikasi. Abdul Mu'ti punya semua itu. Jadi, nggak mungkin nggak mampu untuk menjadi sekedar Wakil Menteri Pendidikan. Ketua Ansor bisa jadi Menteri. Masak Sekjen PP Muhammadiyah nggak mampu jadi Wakil Menteri Pendidikan? Nggak mungkin itu. Sedikit banyak saya tahu sosok Mu'ti. Kebetulan dia kakak kelas saya di salah satu universitas negeri di Semarang. Sama-sama lanjut pasca sarjana di universitas negeri yang sama di Jakarta. Mu'ti adalah sosok berintegritas dan punya kapasitas. Tidak hanya untuk menjadi Wakil Menteri Pendidikan. Untuk menjadi menteri pun Abdul Mu'ti sangat mampu. Dalam hal ini, pasti ada alasan lain mengapa ia menolak jabatan yang diberikan oleh Jokowi. Supaya jangan su’udzon, alasan itu hanya Abdul Mu’ti dan Allah Subhaanuhu Wata’ala yang tahu. Boleh jadi karena negara sedang berjalan ke arah yang salah, sehingga menjadi alasan bagi Abdul Mu'ti nggak ikut di kapal yang berisiko tinggi untuk tenggelam. Abdul Mu’ti ini anak muda yang cemerlang. Masih panjang kesempatan karirnya untuk mengabdi kepada umat dan bangsa di masa depan. Soal alasan yang sebenarnya, hanya Mu'ti dan Tuhan yang tahu persis mengapa ia menolak permintaan presiden itu. Namun ketegasan sikap Mu'ti bukan tanpa risiko. Sebab siapapun hari ini yang menolak untuk bergabung dengan penguasa, seringkali dianggap oposisi. Bahkan tak jarang diposisikan sebagai lawan. Malah ada yang dipolisikan. Mu'ti seorang pemberani. Tegas dalam mengambil keputusan dan menjaga prinsipnya. Sikap dan ketegasan ini layak diapresiasi. Jabatan yang umumnya menjadi lahan rebutan bagi partai, ormas, timses, donatur, kolega dan keluarga penguasa, dengan tegas ditolaknya. Sikap Mu'ti perlu jadi referensi. Pertama, tak boleh berebut jabatan sehingga peluang orang-orang profesional dan berkemampuan yang ingin mengabdi kepada bangsa dan negara jadi sempit. Kedua, jangan terima jabatan jika merasa situasi tak kondusif untuk produktif. Ketiga, jangan ambil jabatan jika tak betul-betul yakin bisa membenahi. Keempat, siap menghadapi segala bentuk risiko ketika anda menolak jabatan. Risiko usaha bagi pengusaha, risiko politik bagi politisi, dan bahkan risiko penjara bagi aktifis. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, dua imam mazhab yang sangat populer bagi umat muslim di Indonesia seringkali dijadikan rujukan ideal bagi mereka yang berani menolak jabatan. Mungkin Mu'ti mengikuti jejak kedua imam ini. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Membangun Kesadaran “Indonesian Lives Matter & ESG Investing”

by Farouk Abdullah Alwyni New York City – Jum’at (25/12). Baru-baru ini masyarakat dikejutkan oleh tewasnya 6 anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) ditangan aparat kepolisian. Pihak kepolisian tentunya mempunyai dalih tersendiri bahwa ada perlawanan dari laskar FPI yang membuat polisi perlu membela diri. Akhirnya dalam kerangka penegakan hukum, perlu membunuh laskar tersebut. Tentunya versi polisi ini dipertanyakan oleh divisi hukum FPI yang membantah keterangan polisi. FPI menyatakan bahwa mereka adalah korban penyiksaan dan pembunuhan polisi secara sewenang-wenang. Karena laskar FPI adalah relawan yang tidak bersenjata. Indonesia Police Watch (IPW) juga menganggap ada kejanggalaan dalam penembakan 4 laskar FPI (14/12). Menurut IPW Polri harus mau menyadari bahwa terjadi pelanggaran dalam kasus kematian anggota FPI. Pelanggaran tersebut, menurut IPW lagi, membuat personnel kepolisian melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Lepas dari pro-kon yang ada, faktanya jelas, ada 6 Warga Negara Indonesia (WNI) yang tewas ditangan aparat kepolisian. Bahkan dinyatakan oleh para saksi yang memandikan jenazah bahwa di badan mereka para korban, banyak bekas-bekas penyiksaan. Pembuhunan 6 warga yang dianggap bukan kriminal, bukan koruptor, dan bukan teroris oleh aparat kepolisian yang berpakaian preman (dan dikejar dengan bukan menggunakan mobil resmi kepolisian) tentunya layak untuk dikritisi lebih jauh. Permintaan untuk dibentuknya tim pencari fakta independen telah didengungkan oleh segenap komponen masyarakat, mulai dari beberapa anggota DPR dan banyak organisasi masyarakat lainnya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) juga telah mulai melakukan kerjanya untuk menginvestigasi persoalan tersebut. Bahkan telah memanggil Kapolda Metro Jaya pada hari Senin, 14 Desember 2020. Kita semua mengharapkan KOMNAS HAM dapat menjalankan pekerjaannya secara professional dan penuh integritas. Karena kekerasan yang ditimbulkan dalam bentuk yang berbeda juga pernah dilakukan oknum aparat kepolisian pada tanggal 21-23 Mei 2019, menyusul demo di depan Kantor Pusat Bawaslu, dimana pihak kepolisian dianggap telah melakukan excessive force. Amnesti Internasional Indonesia pada waktu itu membuat pernyataan bahwa Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius terhadap warga tak berdaya saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, usai kerusuhan 22 Mei. Sejauh ini kita tidak pernah mendengar sejauh mana para oknum polisi yang melakukan excessive force tersebut telah diadili dan diberikan hukuman yang setimpal. Dalam konteks diatas, kita bisa kembali melihat ke belakang terkait yang terjadi di Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu. Ketika warga kulit hitam yang bernama George Floyd terbunuh oleh aparat kepolisian di Minneapolis. Kematian ini sontak memicu demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di Amerika Serikat dalam waktu yang cukup lama dengan menampilkan slogan Black Lives Matter (BLM). Gerakan BLM ini bahkan menyebar ke banyak negara-negara lainnya di Eropa, Australia, bahkan Korea Selatan dan Jepang. Gerakan ini merupakan gerakan universal kemanusiaan melawan kesewenang-kewenangan yang ditunjukkan oleh oknum kepolisian. Pada kenyataannya banyak juga akhirnya aparat kepolisian di Amerika Serikat yang menunjukkan simpati terhadap kematian George Floyd tersebut. Aparat ke[polisian ada yang ikut membungkuk sebagai satu tanda solidaritas terhadap sang korban dalam berbagai kesempatan ketika mengawal demonstrasi masa. Lebih dari itu kematian George Floyd membangun kesadaran baru di banyak negara maju, khususnya kalangan muda untuk membedakan diri mereka dengan sebagian generasi sebelumnya terkait persoalan perbudakan dan penjajahan. Banyak patung yang merupakan simbolisasi dari perbudakan, perdagangan budak, dan penjajahan yang dirusak dan paling tidak divandalisasi oleh para demonstran. Bahkan patung Columbus pun dihilangkan kepalanya karena dianggap membawa penderitaan terhadap penduduk asli (Native Americans). Dampak dari demo-demo tersebut juga disambut oleh pihak-pihak terkait baik di dunia politik dan bisnis. Pertama, tentunya polisi yang terlibat dalam tindak kekerasan kepada warga dipecat, bahkan diproses hukum. Kedua, aturan-aturan yang lebih ketat dalam hal penindakan oleh aparat kepolisian mulai diberlakukan. Hal ini untuk mengurangi kesewenang-wenangansebagian oknum kepolisian. Terakhir, dan yang paling keras adalah gerakan untuk mengurangi anggaran kepolisian. Bahkan untuk menstop anggaran kepada aparat kepolisian mulai didengungkan (defund the police). Hal ini karena mereka melihat apa gunanya aparat kepolisian jika hanya merugikan masyarakat. Kita tentu perlu belajar dari apa yang terjadi dinegara-negara maju, khususnya di Amerika Serikat. Bahwa hilangnya nyawa manusia, khususnya masyarakat sipil adalah sebuah hal yang tidak main-main. Kepolisian dibentuk untuk melayani dan melindungi masyarakat. Bukan untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap warga sipil yang belum tentu bersalah. Ketika demo-demo besar terjadi di Amerika Serikat, Gubernur New York –Andrew Cuomo menyatakan bahwa “polisi harus menegakkan,bukan menyalahgunakan hukum” (Police officers must enforce –Not ABUSE- the law). Terlebih lagi jika hal-hal yang ada lebih bersifat politis. Walau bagaimanapun dalam konteks demeokrasi modern, hak politik warga perlu dijaga. Polisi harus berada dalam posisi yang netral. Tidak bisa menjadi instrument kepentingan politik tertentu di sebuah negara. Apalagi bertindak sewenang-wenang terhadap sekelompok orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintahan yang sedang berkuasa. Dalam konteks demokrasi modern, pemerintah yang berkuasa tidak boleh melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan birokrasi, kepolisian, dan militer untuk kepentingan politiknya saja. Apalagi melakukan penekanan terhadap pihak-pihak yang berseberangan. Instrumen-instrumen negara tersebut harus mengayomi seluruh warga negara. Terlepas dari afiliasi politik yang ada. Kita di Indonesia tentunya ingin melihat republik kita ini menjadi sebuah negara yang sejahtera dan maju. Tidak kalah dengan negara-negara yang maju sekarang ini. Untuk itu perlu dibangun kesadaran kemanusiaan yang lebih baik untuk seluruh aparat kepolisian yang ada. Kita perlu membangun kesadaran “Indonesian Lives Matter”, bahwa hidup orang Indonesia itu adalah sesuatu yang berarti. Kita harus membuang jauh-jauh sikap neo-feodal dan neo-kolonial dari bangsa dan negara ini. Sikap yang meremehkan warga-warga yang dianggap lemah. Yang seakan-akan tidak berarti. Sebab hanya karena dengan mentalitas sikap neo feodal dan neo kolonial yang seperti itu bangsa ini tidak akan pernah maju. Akan terus terbelakang dengan sifat primitif-nya. Lebih dari itu, ketika kita berusaha untuk menarik banyak investasi dari luar negeri, kita juga harus memahami kesadaran baru di dunia bisnis global. Investasi global yang lebih perduli terhadap HAM, lingkungan, dan tata kelola yang baik (Good Governance). Dewasa ini investasi yang mempunyai dampak kemasyarakatan atau bersifat berkelanjutan (impact and/or sustainable investing) produknya mempunyai peranan yang penting di pasar global . Berdasarkan laporan dari McKinsey (2019), sustainable investing di pasar global mengalami peningkatan yang luar biasa pesatnya. Sekarang sudah mencapai U$ 30 triliun dollar. Mengalami peningkatan sebanyak 10 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2004 lalu. Amerika Serikat saja, pada awal 2018, sustainable investing diperkirakan naik 26% dari total asset senilai U$ 13 triliun dollar. Dana-dana tersebut harus dikelola secara professional adalah menggunakan pendekatan sustainable, responsible, and impact investing. Pendekatan-pendekatan investasi yang seperti ini telah menjadi mainstream dalam indek-indeks saham internasional seperti Morgan Stanley Composite Index, Dow, dan Financial Times Stock Exchange (FTSE). Indek kelompok ini dikenal juga dengan pendekatan Economic, Social, and Governance (ESG) Investing. Berbagai dana-dana pensiun besar dalam skala global seperti misalnya Australian Super, Canada Pension Plan Investment Board, Stichting Pensioenfonds ABP (Belanda), Norway Government Pension Fund Global (Norwegia), Alecta (Swedia) dan masih banyak lagi juga menggunakan pendekatan ESG dalam melakukan keputusan-keputusan investasi di seluruh dunia. ESG Investing mempunyai prinsip bahwa melakukan bisnis adalah bukan hanya sekedar mencari keuntungan (not just making profit). Tetapi juga berbuat kebaikan (but also doing good). Pendekatan ini pada esensinya adalah pendekatan bisnis yang juga perduli dengan lingkungan, hak asasi manusia/harkat martabat kemanusiaan. Mempunyai standard tata kelola yang tinggi dalam artian tidak ingin membawa kemudharatan kepada masyarakat dan segenap pihak terkait. Poin penting di sini adalah perduli terhadap penegakan HAM (selain lingkungan) dewasa ini bukan hanya urusan politik. Tetapi juga mulai masuk ke urusan bisnis. Dampaknya adalah, jika kita sebagai sebuah negara tidak kunjung perduli terhadap HAM dan harkat martabat kemanusiaan, maka bangsa kita sendiri pada akhirnya akan mengalami apa yang disebut dengan “market discipline”, yakni disiplin pasar. Pada akhirnya kita pun akan dianggap sebagai negara yang tidak baik untuk melakukan bisnis. Stigma ini akan berdampak terhadap arus investasi yang masuk ke Indonesia. Jangan sampai bisnis dan investasi yang masuk ke Indonesia adalah bisnis dan investasi kotor. Yang tidak perduli terhadap harkat dan martabat bangsa ini (dan juga lingkungan). Hanya ingin memaksimalisasi keuntungan saja. Tanpa mau melihat dampak-dampak negatif yang akan dihasilkan. Pilihan ada ditangan kita semua, khususnya elite politik. Apakah kita ingin menjadi negara yang menghargai bangsanya dengan perduli terhadap nilai keadilan dan kemanusiaan? Yang justru akhirnya akan baik dalam perspektif bisnis internasional dan Insya Allah dapat berkontribusi dalam menghasilkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa? Sehingga lebih dihargai dalam percaturan internasional, atau tetap menjadi negara dunia ketiga yang terbelakang, dengan pola fikir sempit? Pola pikir yang sempit hanya akan menjadi objek kepentingan bisnis-bisnis kotor dari luar negeri semata. Kita semua tentu tidak akan menginginkan yang kedua ini. Oleh karena itu membangun kesadaran “Indonesian Lives Matter” dan pemahaman “ESG Investing” adalah sebuah hal penting bagi kita semua anak bangsa. Untuk membangun Indonesia yang lebih adil, beretika, sejahtera, dan maju. Amin,,, Penulis adalah Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED)

Menag Yaqut Bikin Blunder, Perlu Dikoreksi

by Ubedillah Badrun Jakarta FNN – Jum’at (25/12). Secara sosiologis politik, pernyataan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas saya kira perlu dikoreksi. Bila tidak, bisa menimbulkan kekeliruan tafsir, bahkan salah paham di masyarakat. Ada dua narasi pernyataan Menag Yaqut yang perlu dikoreksi. Pertama, pernyataan Menag Yaqut bahwa agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Bahwa agama sebagai inspirasi, itu benar. Sebab agama telah memberi inspirasi kepada banyak umat manusia di muka bumi ini untuk berubah dalam membangun peradabanya. Peradaban yang semula jahiliyah (tidak beragama) berubah kepada peradaban Ilyahiyah (bersumber dari wahyu). Namun ketika Menag Yaqut mengatakan bahwa agama jangan dijadikan sebagai aspirasi, maka itu muncul masalah baru. Sebab Menag Yaqut telah mengabaikan fakta sosiologis politik bahwa Indonesia pada titik tertentu, demi kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia, baik kini maupun di masa depan, agama perlu menjadi sandaran penting bagi pengusaha untuk membuat keputusan. Nilai-nilai agama justru penting disampaikan sebagai aspirasi untuk para penguasa dalam mengambil keputusan terbaik demi kemajuan masyarakat. Itulah sebabnya bermunculan partai-partai politik nasional yang berbasis pada masyarakat Islam seperti Pertai Kebangkitan Bangsa (PKB), dengan basis Nahadatul Ulama dan Partai Amanat Nasional (PAN), dengan basis Muhammadiyah. Tidak cukup sampai di situ saja. Ada juga partai-partai politik yang berbasis pada masa, dan sekaligus pemikiran pemikiran-pemikiran substantif Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Kedua aliran pertai politik yang berbasis pada masa Islam ini, sama-sama dalam bingkai ke-Indonesiaan. Keputusan Presiden Jokowi untuk memilih dan mengangkat Gus Yaqut Cholil Qoumas menjadi Menteri Agama, itu menjadi bukti bahwa agama sebagai aspirasi. Mengapa bukan pendeta Jacob Nahuway atau Romo Magnis Susena yang dipercaya menjadi Menteri Agama? Atau mengapa Menteri Agama bukan dari Muhammadiyah, tetapi dari Nahdatul Ulama? Karena ini soal representasi agama. Dengan demikian, itu juga soal agama sebagai aspirasi. Kedua, pernyataan bahwa Menag Yaqut akan melindungi minoritas Syiah dan Ahmadiyah. Jika maksud untuk melindungi itu dimaknai sebagai perlindungan atas hak-hak asasi sebagai warga negara, maka itu sudah menjadi kewajiban negara. Kontitusi UUD 1945 mewajibkan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan demikian, negara wajib untuk melindungi siapapun warga negara Indonesia. Tanpa ada pengcualian. Tetapi jika yang dimaksud Menag Yaqut adalah membatalkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang aliran sesat yang dianut oleh Syiah dan Ahmadiyah, maka pernyataan Menag Yaqut adalah keliru. Bahkan bisa dibilang sangat keliru. Sebab itu berarti Menaq Yaqut sepertinya mulai menabuh genderang perang dengan Majelis Ulama Indonesia. Menag Yaqut nampak sepertinya tidak bisa membedakan, bahkan tidak dapat melihat posisi individu sebagai warga negara dengan segala hak-hak politiknya yang harus dilindungi di satu sisi, dan posisi otoritas ulama dalam memutuskan perkara Islam dan aliran yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pokok dalam Islam di sisi lain. Menag Yaqut tampak kabur dan buram membedakan dua masalah ini, yaitu hak warga negara dan posisi MUI sebagai lembaga resmi negara yang menafsir aliran sesat dalam Islam. Pernyataan Menag Yaqut ini berpotensi menimbulkan kegaduhan baru. Nampak terlalu cepat Menag Yakut membuat konfrontasi. Ini akan menimbulkan persoalan baru dalam hubungan umat Islam dengan pemerintah. Semestinya hari-hari awal awal bertugas sebagai Menag ini, Gus Yaqut menampilkan keteduhan dan kesejukan dalam kepemimpinan dulu. Misalnya, merangkul semua golongan dalam masyarakat. Baik itu yang mayoritas, maupun yang minoritas. Bukan malah menabuh genderang konfrontasi. Ada baiknya Gus Yakut erlu belajar banyak dari kegagalan Menag sebelumnya Fakhrul Rozi. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta.