OPINI
Aneh, Pemerintah Kok Beroposisi Kepada Rakyat?
by Anton Permana Jakarta FNN – Ahad (27/09). Praktek politik seperti ini mungkin baru terjadi di negeri ini. Pemerintah atau penguasa, yang seharusnya menjadi bahagian dari struktur bernegara dan entitas utama dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, justru lebih banyak menghabiskan energinya seolah "berseberangan" dengan rakyatnya sendiri. Ketika negara ini sudah disepakati bersama menjadi Negara berPancasila, ehh tiba-tiba mau diubah menjadi Tri Sila dan Eka Sila. Juga ketika negara ini hidup harmonis tenang dan damai karena mayoritas rakyatnya beragama Islam, ehh tiba-tiba pemerintah sibuk membangun narasi-narasi radikal-radikul, redikel, redikil dan radikol. Tak peduli hal itu menyakiti hati rakyatnya. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Palang Merah Indonesia (PMI), sebagai reseprentasi suara civil society, meminta Pilkada diundur atas nama nyawa, kemanusiaan dan keterpurukan ekonomi, ehh penguasa tetap bersikukuh memaksakan Pilkada tetap berjalan di tengah badai wabah corona yang mematikan ini. Ketika rakyat butuh pekerjaan, ekonomi sulit harga-harga semakin tinggi, dan minyak dunia turun, ehh pemerintah malah bombardir mendatangkan TKA China. Terlihat pemerintah tanpa rasa malu dan keberpihakan terhadap nasib rakyat yang banyak menganggur dan susah hidup. Belum lagi kenaikan iuran BPJS, tarif listrik dan tidak menurunkan harga pejualan BBM di dalam negeri sebagaimana negara lain, yang semakin mencekik kehidupan rakyat yang sekarat. Rakyat juga haus akan nilai keadilan dan penegakan hukum, ehh semua dikotori dengan kasus Tjoko Chandra, Harun Masiku. Malah teror penganiayaan kepada para ulama dan imam masjid yang seolah terjadi biasa-biasa saja. Hari ini harmonisasi kehidupan terasa pahit. Keadilan hukum semakin mahal. Rasa kebersamaan dan persatuan telah dicabik-cabik oleh prilaku penguasa yang semakin tak jelas arah tujuannya mau kemana? Yang jelas, negeri ini semakin rusak parah menuju titik kehancuran. Inilah out put dari kepemimpinan yang dikendalikan oligharki, korporasi dan konglomerasi. Yang dijiwai oleh paham liberalisme dan neo kolonialisme. Ditambah lagi dengan semakin "semena-menanya" para anak keturunan PKI yang menyusup dalam sendi-sendi negara, dan memproduksi aturan serta kebijakan yang menyakitkan hati rakyat. Tidak sedikit yang sebenarnya menabrak berbagai macam aturan hukum. Tapi begitulah. Rakyat hari ini merasa kecolongan. Rakyat hari ini seakan tertipu dengan bahasa manis reformasi. Ternyata, hari ini semua menjadi lebih buruk dan rusak parah. Yang namanya rakyat, pasti akan tetap setia dengan nilai-nilai kebenaran, sesuai yang telah diajarkan dan hidup berkembang dalam kehidupan. Disitulah ada norma, nilai, adat budaya, dan agama. Dimana semua terkristalisasi dengan indah dalam Pancasila dan UUD 1945. Cuma sayang, pondasi indah ini yang saat ini mereka rusak dan langkahi dengan semena-mena. Maka jadilah seolah pemerintah yang beroposisi terhadap rakyatnya. Karena tak pernah lagi bertindak dan bekerja untuk rakyatnya. Semua kalah dan tunduk di bawah ketiak politik kepentingan pribadi dan kelompok golongan. Konstitusi dan aturan hukum yang secara prinsip seharusnya jadi alat untuk mengekang kekuasaan, justru hari ini menjadi alat utamakekuasaan. Bahkan parahnya lagi, aturan hukum dan kekuasaan dijadikan alat untuk mengintimidasi rakyatnya sendiri. Kekuasaan digunakan untuk membunuh kebenaran. Lalu apa bedanya kita hari ini dengan masa penjajahan terdahulu??? Kita tidak tahu sampai kapan ini akan terjadi. Tetapi yakinlah, tidak ada kekuasaan yang bertahan lama kalau terus menekan, menindas, semena-mena dan beroposisi terhadap rakyatnya. Apalagi, kalau kekuasaan itu digunakan untuk merubah total tatanan nilai yang sudah hidup berurat dan berakar bersama rakyatnya turun temurun. Semoga, kondisi buruk hari ini menemukan titik cahaya kebaikan esok atau di kemudian hari. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Negeri ini lahir dan berdiri dari hasil perjuangan rakyat. Sekali khianati dan sakiti rakyat, yakinlah akan ada massanya rakyat bangkit untuk mengambil alih hak dan kedaulatannya kembali secara konstitusional. Ini hanya masalah waktu saja. InsyaAllah. Salam Indonesia Jaya! Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
Tak Peduli Covid-19, Yang Penting Gibran dan Bobby Menjadi Walikota
by Asyari Usman Jakarta FNN – Ahad (27/09).Banyak yang mungkin belum paham mengapa Jokowi tidak begitu perduli dengan amukan Covid-19 di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Itu semua disebabkan Gibran di Solo dan Bobby di Medan. Anak dan menantu Jokowi ini ikut Pilwalkot pada 9 Desember nanti. Inilah taruhan yang sangat besar bagi Jokowi. Bebannya tidak ringan. Kedua calon itu “wajibjadi”. Tidak ada kamus untuk kalah. Jadi, inilah yang membuat Jokowi lebih mementingkan Gibran dan Bobby dibandingkan amukan virus Corona. Hingga saat ini, Jokowi tak menggubris imbauan banyak pihak agar Pilkada serentak 2020 di 270 daerah ditunda dulu. Para pakar kesehatan dan epidemiologi sangat mengkhawatirkan kemunculan ribuan “cluster” baru dari kegiatan Pilkada nanti. Jabatan walikota untuk Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution jauh lebih penting di mata Jokowi. Ke sinilah perhatian penuh itu ditumpahkan. Sebanyak mungkin tokoh berkaliber dari semua parpol, dikerahkan. Siang dan malam. Non-stop 24 jam untuk anak dan menantu. Ancaman untuk dipermalukan di kedua Pilwalkot itu sangat tinggi. Rakyat Solo dan Medan akan menjadi “unpredictable” (tak terpetakan). Warga di kedua kota ini akan berjuang keras untuk menentang kesewenangan demokrasi. Di Medan, warga kelihatan tenang-tenang saja. Namun, mereka siap menolak Bobby. Ini yang saya simpulkan sesuai observasi dari dekat selama ini. Barangkali, itulah yang membuat Jokowi tak bisa tidur. Apalagi, cara Jokowi memuluskan pencalonan anak dan menantunya itu meninggalkan korban perasaan kelas berat. Di Solo, mantan Wakil Walikota Achmad Purnomo dipaksa menyingkir demi Gibran. Purnomo menunjukkan perlawanan gaya Solo. Dia tak sudi ikut dalam tim pemenangan Gibran. Tamparan keras bagi Jokowi dan PDIP. Sedanghkan di Medan, mantan Wakil Walikota Akhyar Nasution dipecat oleh pimpinan PDIP karena tidak mau memberikan jalan untuk Bobby Nasution. Melawan lebih keras dari Purnomo, Akhyar malah maju sebagai calon walikota dengan dukungan PKS dan Partai Demokrat. Dua tindakan “demokratis yang otoriter” ini, sekarang, menumbuhkan tekad perlawanan akar rumput di Solo dan Medan. Gerbong pendukung setia Achmad Purnomo sangat besar. Mereka kecewa habis. Marah melihat kesewenangan yang sangat melecehkan warga Solo itu. Begitu pula dengan penyingkiran Akhyar Nasution. Dengan cara sesuka hati oleh Megawati. Ini membulatkan tekad warga Medan untuk memenangkan Akhyar nanti. Tim Jokowi sudah melihat jelas gelagat kekalahan anak dan menantunya itu. Itulah sebabnya sekarang disusun satgas pemenangan yang seolah lebih penting dari Satgas Covid-19. Diturunkan nama-nama beken nasional. Semua ikut. Bahkan ada nama Megawati dan Puan di tim Gibran. Untuk Bobby di Medan, ada nama Sandiaga Uno. Mungkinkah itu efektif dan bisa membuat keduanya menang? Nanti dulu bung! Medan sangat labil bagi Bobby sejauh ini. Bobby memang sudah lama mencoba masuk ke akar rumput. Dia dibantu oleh semua orang penting di kota ini. Tetapi, warga kota Medan sangat piawai. So elegant! Warga kota Medan tidak ribut. Mereka akan menunjukkan perlawanan terhadap kesewenangan yang mengatasnamakan demokrasi itu di TPS, 9 Desember 2020. Djarot Saiful Hidayat (PDIP) pernah merasakan “humiliation” telak di Pilgub Sumut pada 2018. Warga Solo pun bermain cantik. Gibran bisa dipermalukan oleh Bagyo Wahyono yang maju dari jalur independen. Lihat saja reaksi publik Solo. Dalam waktu relatif singkat bisa terkumpul 38,000 dukungan untuk Bagyo Wahyono. Sangat militan. Akan tetapi, ada tapinya. Akhyar Nasution dan Bagyo Wahyono bisa gigit jari juga. Sebab, Bobby dan Gibran boleh jadi “sudah ditakdirkan menang” jauh sebelum pencoblosan berlangsung Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Revisi UU BI, Membuka Jalan Menuju Kehancuran Ekonomi
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Ahad (27/09). Pandemi corona membuat mata masyarakat terbuka. Betapa lemahnya keuangan negara kita. Pandemi membuat defisit anggaran Pemerintah Pusat meningkat tajam. Karena penerimaan negara yang anjlok. Sedangkan belanja negara naik pesat. Pandemi membuat keuangan negara dalam tekanan. Rasio pembayaran bunga mencapai 25 persen dari penerimaan perpajakan (penerimaan pajak ditambah bea dan cukai). Sedangkan penerimaan pajak hanya sekitar 8 persen dari Produk Domestik Bruto(PDB). Sangat rendah sekali. Defisit anggaran 2020 diperkirakan Rp 1.000 triliun lebih. Ditambah kebutuhan bailout korporasi, baik untuk swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), utang pemerintah diperkirakan akan membengkan sampai Rp 1.200 triliun di tahun pandemi ini. Faktanya ketahanan Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN) rapuh. Ketika menghadapi pandemi Corona, pemerintah harus menetapkan Peraturan Pemerinath Pengganti Undang-Undang (Perppu) Corona yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020. Isi Perppu itu intinya hanya minta bantuan kepada Bank Indonesia (BI). Pertama, BI diminta membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer. Yang sebelumnya sangat taboo untuk dilakukan BI karena melanggar konstitusi. Atau sebagai standby buyer kalau SBN tidak diminati. Kedua, BI diminta turut menanggung beban bunga. Melalui burden sharing dan diskon bunga. Burden sharing dengan bunga nol (0) persen pada hakekatnya sama dengan cetak uang. Rencananya, bantuan BI ini hanya untuk satu tahun. Tetapi sepertinya akan diperpanjang hingga 2022. Atau bisa juga lebih dari 2022? Bisa saja terjadi. Karena, menurut info, DPR sedang menggoreng-goreng (baca: membahas) revisi undang-undang tentang Bank Indonesia. Katanya sih gorengan ini inisiatif DPR. Atau sebenarnya DPR ditugaskan oleh pemerintah? Ah sama saja. Karena masyarakat melihat eksekutif dan legislatif sudah menjadi satu-kesatuan. DPR sudah menjadi Kantor Cabang Presiden, alias berkolaborasi. Yang seharusnya juga melanggar konstitusi dan TAP MPR. Menurut rumor, revisi ini akan mengubah beberapa butir penting terkait UU BI. Pertama, membentuk Dewan Moneter atau Dewan Kebijakan Ekonomi Makro. Katanya, Dewan terdiri dari 5 anggota dengan Ketua Menteri Keuangan. Anggota lainnya adalah Ketua Bappenas, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan(OJK). Pembentukan Dewan Moneter atau sejenisnya akan menempatkan BI di bawah eksekutif. Berarti struktur BI kembali ke struktur pemerintahan Orde Lama tahun 1953, yang kemudian berlanjut ke pemerintahan Orde Baru. Struktur ini membuat kebijakan moneter tidak terkendali. “Cetak uang berlebihan”. Mengakibatkan turbulensi dan krisis ekonomi. Akibatnya, pemerintah tumbang. Kedua, Bank Indonesia akan diizinkan membeli SBN di pasar primer secara permanen. Hal ini sebenarnya yang menjadi tujuan utama revisi UU BI. Agar pemerintah bisa menjalankan politik defisit anggaran tanpa memikirkan pendanaan atau pembiayaan. Bahkan BI boleh membeli SBN tanpa bunga. Alias “cetak uang”. Konsekuensinya kita sudah tahu, ekonomi terpuruk, terperosok ke jurang kehancuran. Ketiga, Bank Indonesia dibolehkan lagi memberi fasilitas pinjaman darurat kepada bank bermasalah. Dulu namanya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Revisi ini jelas akan mengembalikan status BI ke era primitif dulu, pada tahun 1953. Kalau rencana revisi dengan butir-butir utama itu terjadi, maka sama saja dengan bunuh diri. Ekonomi akan terpuruk. Karena investor asing akan menjauhi SBN pemerintah Indonesia. Karena revisi struktur BI seperti itu, akan menjadi ajang monetisasi utang (debt monetization) secara berlebihan. Bahasa awamnya “cetak uang”. Dampaknya, rupiah akan terpuruk. Inflasi naik tajam. Ekonomi terkontraksi. Yang juga tidak kalah penting, revisi UU yang menempatkan BI di bawah eksekutif, dan membolehkan BI membeli SBN di pasar primer, akan bertentangan dengan konstitusi. Akan bertentangan dengan UUD 1945.Juga bertentangan dengan Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 dan Tap MPR Nomor XVI/1998. Sehingga otomatis batal demi hukum. Pembentukan Dewan Moneter atau Dewan Kebijakan Ekonomi Makro untuk tujuan membawahi BI secara langsung bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/1998 yang berbunyi, “dalam rangka pengelolaan ekonomi keuangan nasional yang sehat, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya, dan kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, DPR sebaiknya minta pemerintah fokus pada pembenahan ekonomi sektor riil saja. Jangan merusak sektor moneter yang menyandang status independen. Yang sudah terbukti cukup handal selama dua puluh tahun belakangan ini. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Pengkhinatan Terhadap NKRI dan Pancasila
by Dr. Ahmad Yani SH. MH. Jakarta FNN – Ahad (27/09). Sejarah harus tetap ada, terutama dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat. Sejarah harus hidup dalam ruang-ruang pendidikan. Menjadi bahan diskusi maupun perdebatan. Sejarah harus tetap dipelajari, karenamengandung makna kebudayaan yang besar. Memotong atau menghilangkan sejarah, bisa dikatakan sebagai kejahatan terhadap bangsa dan negara. Karena di dalam sejarah, kita dapat mengetahui, siapa pengkhianat dan siapa pahlawan. Sebab di sana ada kearifan budaya, jejak peradaban, dan nilai luhur bangsa yang menjadi spirit dari generasi ke generasi. Maka sejarah sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki sejarah yang begitu kaya. Semenjak zaman perjuangan, zaman pergerakan, zaman revolusi dan zaman kemerdekaan, selalu menampilkan keunikan cerita. Dari cerita yang paling heroik, dramatis, hingga yang paling tragis. Maka sejarah menjadi penting bagi generasi muda untuk memahami karakter, sifat dan kepribadian bangsanya. Apabila sejarah dihilangkan maka identitas nasional kita akan didominasi oleh budaya-budaya luar yang menggempur budaya Indonesia. Bahkan sudah ada yang mengagumi budaya K-POP, seperti Wakil Presiden yang menyarankan generasi muda untuk membangkitkan spiritnya dengan belajar K-POP. Ini berbahaya. Sebab selain budaya generasi dari negeri Korea, K-POP juga dalam bahasa kritisnya "menciptakan generasi borjuis". Generasi yang tidak punya kepedulian pada jatidiri bangsanya sendiri. Sehingga sejarah perjuangan bangsanya sendiri bisa dilupakan. Begitu juga dengan keinginan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim untuk menghilangkan pelajaran sejarah dalam kurikulum pendidikan nasional kita. Ini menteri sangat ngawur dan ngoco. Sebab lebih berbahaya sekali. Bahkan bisa meruntuhkan bangsa dan negara. Keinginan Merubah Pancasila Dengan menghilangkan sejarah, maka sejarah perjuangan kemerdekaan dan perumusan falsafah bangsa Indonesia juga akan mulai dilupakan sedikit demi sedikit. Kenyataan itu dapat kita tangkap dari skenario RUU HIP dan RUU BPIP. Ada penyelundupan sejarah yang mencoba menghilangkan peran tokoh bangsa dalam merumuskan Pancasila. Ini juga ngoco dan ngawur. Pancasila yang dipahami oleh RUU tersebut adalah pancasila yang merupakan pidato Seorang Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Pidato itu berupa usulan seperti juga tokoh-tokoh Bangsa dalam BPUPK. Namun peran kolektif tokoh bangsa itu ingin dihilangkan dengan cara merumuskan Pancasila dalam pandangan seorang saja. Akhirnya sejarah Pancasila dirubah, dan isi Pancasila pun ikut dirubah pula. Pancasila yang dimaksud oleh RUU itu adalah Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Sebenarnya itu bukan Pancasila, itu hanya pidato Soekarno pada 1 Juni 1945. Tidak lebih, dan tidak kurang. Hari itu banyak tokoh bangsa yang berpidato tentang Pancasila. Bukan hanya Soekarno. Pancasila yang sesungguhnya itu lahir tanggal 22 Juni 1945 melalui Satu Panitia Kecil yang berisi 9 orang. Panitia itu berhasil merumuskan satu Staat fundamental Norm atau Filosofiche Groundslaag Indonesia Merdeka. Kemudian dokumen itu diberi Nama Piagaman Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Meski pada tanggal 18 Agustus 1945 terjadi perubahan dari Piagam Jakarta dengan mencoret 7 anak kalimat yaitu “Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun yang dimaksud adalah kesepakatan luhur bangsa Indonesia yang diwakili oleh pendiri bangsa. Tidak ada kesepakatan Ekasila dan Trisila. Melainkan kesepakatan Pancasila 18 Agustus 1945. Piagam Jakarta adalah Pancasila itu sendiri. Hal tersebut dirangkum dan ditegaskan kembali dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Artinya, Pancasila itu adalah lima dasar bangsa Indonesia. Jadi tidak ada tafsiran lain selain Pancasila sebagaimana yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Apabila yang ingin merubah Pancasila, berarti sedang merongrong NKRI. Hanya PKI dan faham Komunis yang ingin merubah Pancasila secara total. Ingin mengganti negara Indonesia menjadi negara komunis, dengan ideologi komunis. PKI Menghina NKRI dan Pancasila Tidak bisa dipungkiri bahwa Komunisme adalah musuh utama Pancasila. Peristiwa sejarah tahun 1948 dimana terjadi pemberontakan di Madiun yang menewaskan Ulama dan Santri adalah penghinatan PKI terhadap NKRI dan Pancasila. Ketika bangsa Ini berjuang melawan agresi militer Belanda, PKI justru memanfaatkan keadaan itu untuk memecah belah bangsa dari dalam. Pemberontakan Madiun menjadi bukti permulaan PKI yang anti terhadap NKRI dan Pancasila. Usaha PKI mendekat dan mempengaruhi Presiden Soekarno memanen keberhasilan, yaitu Soekarno memberikan jalan bagi ideologi komunis dengan NASAKOM. Tipu muslihat PKI dengan menghalalkan segala cara, hingga pada tahun 1959 setelah berhasil mempraktikkan demokrasi terpimpin. Soekarno justru menjadikan PKI sebagai Partai politik yang dekat dengan Soekarno. Sepanjang periode itu, umat Islam mengalami masa-masa kelam. Setelah Partai Masyumi dipaksa membubarkan diri pada tahun 1960. Sejak itu, PKI tidak lagi memiliki kekuatan tandingan, hingga bebas melakukan apa saja. Termasuk berhianat pada tahun 1965. Organisasi Islam seperti Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan mahasiswa Islam (HMI) menjadi bulan-bulanan PKI. Setiap saat organisasi-organisasi Islam itu mendapat ancaman, bahkan ancaman pembubaran akibat politik adu domba PKI. Sebab PKI berhasil mendapatkan kedudukan kuat di kekuasaan Demokrasi Terpimpin Soekarno. Dengan memanfaatkan kedekatan dengan Soekarno, dan keleluasaannya memainkan politik tanpa tandingan, maka pada Tahun 1965 tepatnya 30 September 1965, waktu dini hari, PKI melakukan pemberontakan. PKI menculik para Jenderal dan membunuhnya secara kejam. Peristiwa itu begitu tragis, yang terkenal dengan Kudeta PKI itu, hampir saja membuat bangsa Indonesia dikuasai oleh ideologi Komunis. Pancasila hampir saja hilang ditelan oleh pengkhianatan PKI itu. Sejarah kelam dan tragis itukah yang mau dihilangkan dari kurikulum pendidikan sejarah Indonesia? Gebleg… Atas pertolongan dan perlindungan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan PKI gagal total. Meski pemberontakan itu begitu kuat. Namun kekuatan pembela Pancasila bangkit. Rakyat mengambil bagian membantu ABRI untuk menumpas gerakan musuh Pancasila itu. Maka Gerakan 30 September 1965 adalah hari bersejarah yang menggambarkan penghinaan dan pengkhianatan terhadap NKRI dan Pancasila. Maka peristiwa tanggal 30 September itu adalah hari berkabung nasional. Hari dimana kita hampir saja tidak lagi menjadi NKRI yang berdasarkan Pancasila. Namun kita bersyukur. Pembela Pancasila lebih kuat dan banyak daripada musuh Pancasila itu. Ketika Pancasila dirongrong Rakyat bangkit untuk mempertahankannya. Itu dapat dibuktikan pada tahun 1965. Memperingati G30S PKI Untuk memperingati perakan pengkhianatan itu, maka Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menyerukan masyarakat untuk memutar kembali film G30SPKI. Kegiatan ini sebagai pelajaran bagi generasi muda untuk mengetahui kekejian kaum komunis terhadap bangsa Indonesia. Pemutaran film tersebut, tidak hanya untuk membuka kembali sejarah kelam itu. Tetapi juga menjadi pelajaran penting bagi generasi muda, bahwa meski beberapa kali PKI melakukan pemberontakan untuk merubah NKRI dan Pancasila, namun selalu saja gagal. Peristiwa berdarah itu kita rayakan dengan mengibarkan bendera setengah tiang pada tanggal terjadinya pemberontakan tanggal 30 September nanti. Dan tanggal 1 Oktober sebagai rasa syukur kita kepada Allah SWT, dan terima kasih dan penghormatan kita pada para pejuang yang menjadi korban keganasan PKI. Untuk mengingatkan peristiwa itu, kita kibarkan bendera satu ruang penuh. Selain rasa syukur dan terima kasih, pengibaran bendera satu ruang penuh sebagai bukti bahwa Pancasila tetap menjadi falsafah bangsa yang teruji oleh zaman. Maka KAMI mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk memutar film G 30S PKI dan mengibarkan bendera setengah tiang pada tanggal 30 September 2020. Pada tanggal 1 Oktober 2020 kita mengibarkan bendera satu ruang penuh. Demikian, semoga Allah menjadikan Indonesia sebagai negara Pancasila, yaitu negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Koordinator Komite Eksekutif KAMI dan Dosen FH dan FISIP UMJ.
Kalau Bukan PKI, Nyatakan Terbuka Kalau PKI Itu Penghianat
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (26/09). Banyak kalangan dari pejabat negara, bahkan Presiden yang meragukan keberadaan atau kebangkitan kembali Neo PKI dan faham Komunisme. Bahkan dengan sinis menyatakan bahwa itu hanyalah koar-koar untuk kepentingan politik semata. Namun ketika indikasi tuduhan mengarah padanya, maka semua cepat-cepat menyakal. Membantah bahwa dirinya bukan PKI dan faham komunisme, baik itu sebagai simpatisan ataupun keturunan. Keberadaan aturan tentang larangan pengembangan PKI dan faham Komunisme, sekarang dijadikan tameng untuk "bersih diri". Masyarakat pada sisi lain, khususnya umat Islam, merasakan adanya peningkatan pengaruh faham komunisme dalam kehidupan kemasyarakatan atau kenegaraan. Tercium aroma kemunculan gerakan Neo-PKI dan faham komunisme itu sangat kental. Anak tokoh sentral PKI DN Aidit saja sudah berani tampil mengecam Jndral TNI (Punr.) Gatot Nurmantyo dan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Memang "like father like son". Sama saja ayah dan anak. Kalau Gibran sama dengan Jokowi, ya Ilham Aidit juga pasti sama dengan DN Aidit. Kebangkinan PKI dan faham Komunisme itu tak bisa dianggap remeh. Ketika sulit untuk membantah adanya peningkatan eskalasi, namun pada saat itu juga bantahan tentu saja meningkat frekwensinya. Misalnya, mana itu PKI? Komunis kan sudah punah dan sudah mati. PKI dulu hanya sebagai korban. Film G 30 S PKI manipulatif dan seribu dalih lain dilemparkan. Semburan fitnah pun diarahkan pada elemen-elemen keagamaan. Dituduh sebagai kelompok yang radikal dan intoleran. Ini persis seperti gaya-gaya khas Komunis dulu yang dikenal dengan sebutan "firehose of falsehood". Nembak orang, lalu sembunyi diri. Sudahlah, sekarang ambil gampangnya saja. Nyatakan secara terbuka bahwa “PKI adalah penjahat dan penghianat bangsa”. Aapalagi kalau merasa diri bukan PKI dan faham komunisme. Bukan juga sebagai simpatisan. Bukan sebagai anak-cucu keturunan PKI dan faham komunis. Kalau Aada juga bukan sebagai penyebar faham komunisme, lalu sadar sebagai patriot yang cinta bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, maka sampaikanlah secara tegas dan nyatakan terbuka saja bahwa “PKI itu adalah penjahat dan penghianat bangsa. Ajak masyarakat waspada akan kejahatan dan penghianatannya. Nah itu kan gampang, atau gamang? Bila tak mau dan tak berani terbuka, berarti ada rasa simpati atau yakin akan kebenaran perjuangan PKI dan faham Komunisme. Masih "ada rasa" dalam dada. Jika iya, maka konsekuensinya tentu harus siap-siap untuk berhadap-hadapan dengan semangat kerakyatan yang telah muak dengan ulah PKI dan faham Komunisme di negeri ini. Penghianat yang pandai pura-pura sebagai membela Pancasila. Padahal dengan berbagai cara, masih punya keinginan untuk mengubah ideologi negara Pancasila. Sebagai contoh, adanya inisiator untuk membuat Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang disahkan menjadi RUU Hak Inisiatif DPR. Sekarang menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Jangan salahkan rakyat, khususnya umat islam jika punya tekad yang membara untuk membasmi PKI dan faham Komunisme sampai keakar-akarnya. Tak peduli dengan tuduhan intoleran atau radikal sekalipun. PKI dan Komunis adalah musuh TNI, musuh Polisi, musuh Rakyat, dan musuh umat beragama. Aparat TNI dan Polisi harusnya berpihak pada rakyat dan negara. Bukan pada Pemerintah yang Pro PKI dan faham Komunis. Dimana dan kapanpun itu. Penulsia adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Robohnya Hambatan Energi Ramah Lingkungan
by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Sabtu (26/09). Presiden Jokowi telah berjanji untuk menurunkan emisi hingga 26 persen pada tahun 2020, dan pemanfaatan Energi Baru Terbaharukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Janji tersebut, tampaknya tidak bisa ditarik mundur. Sebab Presiden telah menandatangani Perjanjian Conference of the Parties (COP) 21 Paris. Sebuah komitmen yang besar dalam mewujudkan dunia yang lebih bersih dari polusi gas rumah kaca. Berbagai organisasi internasional yang bergerak di bidang lingkungan hidup telah datang menagih janji Pemerintah Indonesia. Greenpeace, sebuah organisasi ternama yang sangat kredibel misalnya menyoal banyaknya Pembangkit Listrik Tenga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara yang tumbuh dan berkembang di tanah air. Greenpeace mengatakan, bahwa pemerintahan Jokowi bergerak ke arah yang salah dalam kaitan dengan mega proyek listrik 35.000 megawatt. Proyek yang justru menjauhkan pemerintah dari pencapaian komitmen pada perjanjian perubahan Ikllim CPO 21 di Paris. Sasaran tembak Greenpeace mengarah kepada pembangkit listtik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan anak perusahaannya. Mungkin ini adalah sasaran yang paling empuk. Sebab PLN merupakan BUMN yang seluruh rencana dan proyeknya berhubungan langsung dengan penguasa dan birokrasi. Meskipun sebetulnya mega proyek 35.000 megawatt sebagian besar yang dibangun adalah pembangkit listrik batubara. Juga sebagian besar milik swasta. Keberadaan pembangkit swasta atau Independent Power Producer (IPP) seringkali lepas dari pemantauan banyak pihak. Sebagian besar masyarkat umum masih beranggapan bahwa semua pembangkit listrik adalah milik PLN. Padahal tidak demikian. Sebagian listrik sekarang yang dihasilkan oleh 100 pembangkit PLTU batubara yang dikonsumsi masyarakat juga milik swasta. Jika proyek 35.000 megawatt selesai, maka sebagian besar PLTU nantinya adalah milik swasta. Sementara PLN sendiri telah berjuang keras mengembangkan pembangkit non batubara. Namun upaya ini tidak mudah karena harus berhadapan dengan kendala keuangan. Termasuk kendala regulasi dan birokrasi. Berbagai macam peraturan perundang undangan yang berlaku saat ini belum memberikan keleluasaan bagi tumbuh dan berkembangnya pembangkit non batubara. Akibatnya, pertumbuhan pembangkit batubara dua sampai tiga kali lebih cepat dari pembangkit pembangkit non batubara. Janji Jokowi Pada Dunia Presiden Jokowi memang berjanji yang besar pada perjanjian Paris COP 21. Dunia selalu memperhatikan komitmen Indonesia pada perjanjian perubahan iklim ini. Lagipula presiden Indonesia telah membuat komitmen yang kuat, yang mesti dilaksanakan semua pihak dengan sungguh sungguh. Jangan sampai mbah lelo. Sebab itu membuat Indonesia malu di mata masyarakat dunia. Perjanjian Paris COP 21 adalah perjanjian dibawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang diselenggarakan pada tanggal 30 November hingga 12 Desember 2015 di Paris. Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris ke dalam dokumen legal penyelenggaraan pemerintahan pada tahun 2016, dan berkomitmen untuk melakukan penurunan emisi sebelum tahun 2030. Komitmen untuk penurunan emisi Indonesia dalam Persetujuan Paris adalah sebesar 29 persen dengan usaha sendiri. Sedangkan penurunan sebesar 41 persen lagi dengan bantuan dari pihak eksternal, seperti organisasi internasional maupun dari negara anggota UNFCCC lain. Sebagai tindak lanjut dari komitmen selama COP 21, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris ke dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Dengan demikian perjanjian ini telah bersifat mengikat atau legally binding. Jika pemerintah mengabaikannya, maka berpotensi Melanggar UU yang berlaku. Untuk itu, sebagai upaya mitigasi dan adaptasi, pemerintah Jokowi telah berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan dari 17 persen menjadi 23 persen. Jumlah tersebut, dari total konsumsi energi pada tahun 2025, dan 29 persen tahun 2030. Permasalahnya, upaya pemerintah Jokowi ke arah pencapaian tersebut, hingga sekarang belum menunjukkan hasil yang berarti. Banyak sekali aral yang melintang yang justru datang dari regulasi yang ada. Birokrasi pemerintahan Jokowi sebagai penghambat utama. Gugatan Serikat Pekerja PLN Upaya untuk menerobos hambatan bagi pengembangan energi yang ramah lingkungan datang dari Serikat Pelerja PLN. Baru-baru ini mereka mengajukan Judicial Review (JR) terhadap UU No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU Ini adalah pengganti UU Sumber Daya Air sebelumnya yang dibatalkan secara keseluruhan oleh MK, karena bertentangan dengan konstitusi. UU yang lama tersebut digugat oleh PP Muhammadiyah. Keberadaan UU ini menyebabkan upaya untuk memanfaatkan air sebagai sumber energi yang murah dan ramah lingkungan kembali harus berhadapan dengan berbagai macam pungutan. Pemanfaatan setiap liter air untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik serta kegiatan pemanfaatan air lainnya “dipalak” oleh sebuah lembaga yang ditunjuk pemerintah sebagaimana termaktub dalam pasal 58 UU No 17 Tahun 2019 tersebut. Mengapa dikatakan dipalak? Karena ini pungutan bukan pajak dan tidak diterima langsung oleh negara. Namun oleh sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah untuk memungut. Pemanfaatan pungutan pun tidak jelas untuk apa, dan untuk siapa? Tampaknya pungutan itu tidak masuk di APBN. Pasal mengenai pungutan itu yang kini digugat oleh Serikat pekerja PLN. Alasan kunci pekerja, karena keberadaan pasal “pemalakan” ini telah menjadi beban keuangan bagi PLN yang saat ini tersandera berbagai macam pajak, pungutan dari berbagai lembaga hingga pemerintah daerah. Inilah yang semakin memberatkannya beban tarif listrik yang harus dibayar rakyat ditengah hantaman covid 19. Pungutan air ini merupakan kendala paling serius bagi pengembangan energi ramah lingkungan yang berbasis pada sumber daya lokal atau setempat. Akibatnya peluang bagi pengembangan energi ramah lingkungan hanya tersedia bagi pengembangan pembangkit yang seluruh bahan tehnologi dan SDM nya harus diimpor. Ini adalah bagian paling menyedihkan dalam urusan konsitensi pemerintah indonesia terhadap komitmen global dalam isue climate change. Langkah ke Depan Pemerintah memang tidak bisa apriori dengan tuntutan Greenpeace dan gerakan lingkungan lainya. Mereka berjuang atas landasan kepentingan publik internasional yang menginginkan lingkungan yang lebih baik. Mereka tidak mengurus Indonesia saja, atau menyerang penggunaan batubara yang ada di Indonesia saja, namun juga di seluruh dunia. Kebetulan saja Indonesia penghasil batubara dan eksportir terbesar di dunia saat ini. Sehingga menjadi fokus perhatian organisasi lingkungan tersebut. Namun tuntutan menutup pembangkit batubara yang telah dibangun oleh PLN karena desakan organisasi internasional sama sekali bukan merupakan jalan keluar. Apalagi alasan juga mereka belum cukup memadai. Pembangkit yang telah dibangun PLN selama ini adalah suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. PLN sebagai tulang punggung bangsa Indonesia dalam memperoleh energi listrik. Sehingga upaya untuk meluruskan kembali jalur yang ditempuh pemerintah dalam menjalankan COP 21 Paris, dan UU ratifikasinya adalah membenahi semua regulasi yang menghambat pemerintah memanfaatkan sumber daya lokal bagi pengembangan energi ramah lingkungan. Diharapkan urusan memenuhi Penjajian COP 21 Paris ini tidak membebani neraca perdagangan Indonesia. Bahkan bisa meningkatkan serapan sumber daya lokal. Mengingat ketersediaan sumber daya air yang melimpah di dalam negeri, dan PLN merupakan pioner dalam pengembangan PLTA. Dengan dihapuskan berbagai hambatan bagi pengembangan energi ramah lingkungan, maka tidak ada alasan bagi investor asing maupun nasional untuk tidak melakukan investasi. Karena penggunaan energi fosil ke depan akan berhadapan dengan dengan pajak karbon yang tinggi. komitmen seluruh perbankkan dan lembaga keuangan global untuk menghentikan pembiayaan energi fosil pada 2030 mendatang. Bagi PLN sebagai perusahaan penyelenggara ketenagalistrikan nasional, akan dapat meningkatkan komitmennya dalam penurunan emisi dengan mengurangi secara progres pembangkit batubara dan minyak. PLN juga dapat diberi kewenangan oleh pemerintah untuk merenegosiasi kembali pembelian listrik swasta dalam skema Take Or Pay (TOP) yang berlaku saat ini. Dengan strategi ini, dirahapkan dapat mengurangi, bahkan menghentikan sistem pembelian listrik wajib dari pembangkit swasta berbahan bakar batubara dan minyak. Semoga tercapai. Penulis dalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Jokowi For Next Sekjen PBB, Oh No?
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (26/09). Apa karir yang paling cocok bagi Presiden Jokowi pasca periode kedua masa jabatannya? “Jadi Sekjen PBB!” Jangan anggap ini hanya bercanda. Jangan pula buru-buru tertawa. Usulan serius ini datangnya dari pendukung garis keras Jokowi Ananda Sukarlan. Didukung oleh komposer kondang Addie MS. "Pidato Pakde Jokowi di Sidang Umum PBB keren banget. Berani, lugas, tegas, akurat. Jokowi for next Sekjen PBB," ujar Ananda Sukarlan. Cuitan Ananda di akun twitternya itu kemudian menjadi berita di sebuah media. Judulnya “Pidato Jokowi di PBB Dapat Pujian: Keren Banget, Jokowi For Next Sekjen PBB.” Addie MS kemudian membuat cuitan dengan melampirkan link berita tersebut. Cuitan Ananda dan Addie membuat dunia maya riuh rendah. Ada yang pro kontra. Jadi salah satu trending topic. Banyak yang mendukung, tapi banyak juga yang mengecamnya. Komentarnya cukup beragam. Ada yang lucu, dan pedas. Ada yang lucu-lucu pedas. Ada yang seolah mendukung dan menyatakan masih ada waktu empat tahun bagi Jokowi untuk belajar bahasa Inggris. Ada pula yang menganggap aneh dan memberi analogi. Ibarat anak sekolah yang sering bolos, sekali masuk, maunya jadi ketua kelas. Sebab Jokowi selama lima tahun terakhir selalu absen di Sidang Umum Majelis PBB. Biasanya diwakili oleh Wapres Jusuf Kalla. Baru kali ini dia hadir, itu pun hanya melalui pidato virtual yang sudah direkam lebih dahulu. Wajahnya tampil di SU PBB. Tapi raganya tetap ada di Jakarta. Bukan hanya medsos yang riuh. Media konvensional juga menyorotinya. Kornelius Purba, Editor senior media berbahasa Inggris The Jakarta Post membuat sebuah tulisan satire berjudul: Jokowi’s UN speech: Playing it safe on Palestine. Sebagai wartawan, Purba mengaku bingung bagaimana harus mengutip pernyataan Jokowi. Bagi Purba, hanya dua hal yang paling menonjol dalam pidato Jokowi. Pertama, janjinya yang berulang mendukung kemerdekaan Palestina. Kedua, nah ini yang unik, kalimat penutup Jokowi yang sangat simple dan lucu. “That is all from me!” Rasionalitas Pendukung Fenomena pendukung Jokowi seperti ditunjukkan oleh Ananda dan Addie MS mengingatkan kita pada sebuah syair lagu Gombloh. Penyanyi eksentrik asal Surabaya itu secara berkelakar bersenandung “Kalau cinta sudah melekat, tahi kucing terasa coklat.” Cinta berlebihan membutakan. Kehilangan rasionalitas. Too much love will kill you. Bahkan untuk seorang sekelas mereka berdua. Bayangkan bagaimana sikap para pendukung Jokowi yang secara intelektual jauh di bawah mereka. Para pendukung yang mau disuruh berbunyi apa saja. Gak pakai mikir. Dengan fakta bahwa Jokowi sangat menghindari persidangan PBB, hanya ada dua kemungkinan muncul usulan semacam itu. Pertama, dari pendukung bodoh. Tidak well informed. Tidak pernah baca dan nonton berita. Pendukung katrok dan culun. Kedua, dari orang yang ingin menjerumuskan dan mengolok-olok Jokowi. Dua-duanya tidak cocok dengan profil Ananda dan Addie. Mereka adalah maestro di bidang musik. Ananda adalah pianis dan komposer musik klasik. Punya reputasi dunia. Addie dikenal sebagai komposer dengan karya-karya yang menawan. Dia konduktor Twilite Orchestra yang sudah tampil di panggung-panggung Internasional. Keduanya pemuja Jokowi. Tidak mungkin mengolok-olok, apalagi sengaja menghinakan. Mereka sangat serius. Tidak sedang bercanda. Dengan fakta itu terpaksa kita harus membuka opsi ketiga. Pendukung yang cinta buta seperti digambarkan oleh Gombloh. Saking bingungnya, seorang netizen sampai membuat sebuah kesimpulan yang salah pula. Bunyi statusnya begini: Tidak benar musik klasik bisa membuat pintar. Buktinya Addie MS tambah bodoh! Ampyuuuunnnn…….End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Cicero, "Salus Populi Suprema Lex Esto"
by Zainal Bintang We know how to bring the economy back to life, What we do not know is how to bring people back to life. "Kami tahu cara untuk menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang yang mati", kata Presiden Ghana, Nana Akufo Addo di twitternya yang viral 28 Maret lalu, terkait sikap tegasnya melockdown negaranya menghadapi wabah Covid19. Jakarta FNN – Sabtu (26/09). Jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 9 Desember 2020 direcoki kebisingan suara pro dan kontra. Pemerintah dalam hal ini presiden Jokowi melalui juru bicaranya Fadjroel Rahman dengan tegas menolak Pilkada ditunda! Sementara sejumlah tokoh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta MUI (Majelis Ulama Indonesia) plus Jusuf Kalla(JK) meminta Pilkada Serentak ditunda. Pemerintah beralasan akan terjadi kekosongan pemerintahan di daerah apabila Pilkada ditunda karena banyak pejabat yang akan berakhir masa jabatannya. Berdasarkan Data Satuan Tugas Penanganan Covid 19, Jumat (25/09) jumlah pasien yang positif Covid-19 sudah menjadi 266.845 orang. Penambahan 4.823 kasus dalam sehari kemarin. Kesembuhan mencapai 196.196 orang. Yang meninggal dunia sebanyak 10.218 orang. Grafik korban pasien positif Covid-19 melaju setiap hari. Pada saat yang sama kualitas layanan petugas maupun fasilitas kesehatan sangat kewalahan. Inilah yang mendorong ungkapan filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM), “Salus Populi Suprema Lex Esto” (Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi) dikutip oleh siapa saja, ditulis dimana-mana dan viral kemana-mana. Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tidak hanya sebagai agenda rutin politik, tetapi juga berfungsi menjadi lokomotif penggerak ekonomi di tengah masyarakat. Tapi gawe Pilkada saat ini cukup dilematis. Terperangkap kasus pandemi Covid-19 yang meningkat setiap hari. Sesuai kodratnya sebagai pesta demokrasi lima tahunan, proses Pilkada sejak dari tahapan pendaftaran sampai pencoblosan memastikan adanya kerumunan massa pendukung para kontestan. Pahami kodratnya itu baik-baik. Pilkada serentak secara nasional pertama kali digelar 9 Desember 2015. Ironisnya perhelatan demokrasi itu sekaligus menjadi bursa transaksi jual-beli suara masyarakat kepada kandidat melalui jasa tim sukses atau relawan. Bukan rahasia umum terjadinya operasi “serangan fajar” praktik politik uang (money politics) untuk memastikan keterikatan suara calon pemilih. Praktek money politics itu bagian kecil dari skenario besar pragmatisme politik yang membudayakan percukongan. Politik yang menyandera kandidat terpilih memikul beban kewajiban, untuk memberikan kompensasi kemudahan perizinan dan lisensi kepada cukong yang mendanai biaya kandidat. Sejenis dengan “success fee”. Sebuah media cetak ibukota Kamis pagi (24/09) memuat berita berjudul “Kuasa Kapital Picu Regresi Demokrasi”, mengutip Prof. Emil Salim (90) yang mengakui, mencatat demokrasi di Indonesia memang mudur. Partai politik kehilangan legitimasinya. Kekritisan pers dan media yang dalam ancaman. Pelemahan institusi demokrasi dan negara hukum salah satunya KPK. Demokrasi yang berbasis kekuatan kapital, yang disebutnya sebagai “demokrasi cukong”. Mantan Menteri Perhubungan dan Lingkungan Hidup era Soeharto itu menjadi salah seorang pembicara di dalam suatu acara peluncuran buku. Istilah cukong itu sinonim dengan kata oligarki yang suka disebut oleh Jeffrey A.Winters (60). Ilmuwan politik Amerika di Northwestern University itu mengkhususkan diri dalam studi oligarki. Demokrasi di Indonesia, kata Winters, yang bertujuan untuk memeratakan kekuasaan dan ekonomi, nyatanya justru berjalan di arah yang sebaliknya. Winters menilai, demokrasi Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki, sehingga makin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat. Winters yang telah banyak menulis tentang Indonesia dan tentang oligarki di Amerika Serikat melanjutkan, demokrasi dikuasai kaum oligarki itu terlihat dengan makin dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin di Indonesia. Konsentrasi kekayaan meningkat dan ketimpangan juga meningkat. Indonesia jauh lebih merata antara yang kaya dan miskin pada 1945 daripada sekarang. Apa yang salah? Padahal partisipasi rakyat minimal harus membawa lebih banyak kemakmuran. Kenapa ini tidak terjadi? Yaa itu tadi, karena oligarki dan elite di Indonesia sudah menguasai sistem demokrasi dan mengontrol sehingga Indonesia punya “oligarki demokrasi”. Winters pengarang buku “Oligharcy” (2011) yang memenangkan Luebbert Award dari Asosiasi Ilmu Politik Amerika (2012) untuk “buku terbaik” dalam perbandingan politik. Kembali kepada “sengketa” jadwal Pilkada yang terjadi pada saat posisi demokrasi yang dilematis ini, state actor (pejabat negara) justru berkonfrontasi dengan non state actor (masyarakat sipil). Memperdebatkan model solusi mitigasi atas ancaman nyawa rakyat akibat transmisi pandemi di dalam proses tahapan Pilkada. Penyelenggara tetap ngotot Pilkada jalan terus. Hantu kekosongan pemerintahan di daerah jadi alasan tambahan. Dikarenakan banyak kandidat yang akan berakhir masa jabatannya. Itu memerlukan legitimasi baru. Sebagai Pjs (Pejabat Sementara) posisi itu tak memiliki kewenangan membuat kebijakan. Sehingga akan menghambat program pembangunan. Regulasi kampanye secara virtual (daring) dijanjikan disiapkan untuk mengganjal tradisi kerumunan. Kebutuhan belanja para kandidat untuk pernak-pernik seperti alat peraga, berbagai format sosialisasi, lembaga survei, operasional tim sukses dan relawan plus harga tiket rekomendasi beberapa partai politik termasuk dana “serangan fajar”, jumlahnya cukup besar. Merujuk informasi mutakhir KPU telah menerima pendaftaran sebanyak 741 paslon (pasangan calon) di seluruh Indonesia. Jumlah 741 pasangan calon itu meliputi 270 daerah. Dengan rincian 25 paslon 9 di propinsi, 224 di Kabupaten dan 37 di Kota. Dari jumlah tersebut, ada 25 kabupaten/kota yang menggelar pilkada dengan satu paslon calon. Melibatkan 105 juta orang pemilih yang akan mendatangi kurang lebih 312 ribu TPS (Tempat Pemungutan Suara). Sebuah asumsi obrolan warung kopi, jika itu memang benar , menyebutkan dana yang harus dikeluarkan setiap kandidat mencapai antara Rp 35 - Rp 50 miliar dikonversi 741 paslon, total uang yang berputar mencapai Rp 35 triliun - Rp 50 triliun. Jika merujuk teori ekonomi, angka itu dilipatkan dua kali jumlah dana yang akan beredar mendekati Rp 100 triliun. Katakanlah, hanya setengah dari jumlah itu yang kejadian, yaa tetap besar Rp 50 triliun! Merupakan mesin besar penggerak ekonomi di masa pandemi. Bagi pemerintah, anggaran tahapan Pilkada itu harus ditangkap untuk dijadikan agregator perputaran roda ekonomi rakyat yang mandek selama pandemi. Persolannya terpulang kepada kapasitas kemampuan dan kesiapan organisasi negara mengendalikan kerumunan orang, agar tidak terjadi ledakan klaster baru. Pemerintah harus cermat menghitung sebelum melangkah. Karena taruhannya keselamatan jiwa rakyat yang mutlak dilindungi sesuai amanat konstitusi. Banyak kalangan yang memperingatkan, bahwa mempertaruhkan nyawa rakyat untuk kepentingan politik sesaat adalah kejahatan atas kemanusiaan, “crimes against humanity”. Ingat dan fahami peringatan itu baik-baik. Sebab bisa saja menjadi persoalan kemanusiaan kelak. "Terima kasih atas pesan kuat untuk dunia saudaraku Nana Akufo Addo Presiden Ghana. Bersama untuk menciptakan dunia yang lebih sehat, aman, dan adil. Bersama untuk melawan Covid 19". Kata Dirjen WHO Ghebreyesus mengapresiasi ucapan presiden Ghana di twitternya. Ghana adalah negara kulit hitam Afrika pertama yang merdeka dari Britania Raya pada tahun 1957. Sebutan untuk negeri ini sebagai “Pesisir Emas” memang terpantul dari sikap Presiden Nana Akufo Addo yang memang berhati “emas” untuk melindungi rakyatnya. Pada layar WhatsApp saya ada tulisan cukup menggelitik, “di Ghana itu tidak ada hiruk pikuk kampanye soal Pancasila setiap hari lho”! Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Sosial Budaya.
Kesadaran Palsu Dan Budaya Politik Kekerasan
by Radhar Tribaskoro Bandung FNN – Sabtu (26/09). Ancaman Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Surabaya untuk membubarkan acara deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) adalah salah satu contoh mengapa Indonesia harus diselamatkan. Ancaman itu menunjukkan budaya politik yang mengandalkan kekerasan massa dan kedekatan kepada kekuasaan untuk memaksakan kemauan. Baru saja berlalu ketika sebuah organisasi massa menyerbu sebuah pesantren. Mereka melakukan tindak pemaksaan dan kekerasan verbal kepada pimpinan pesantren yang notabene seorang ulama. Kita ingat saat pilpres yang lalu, kekerasan yang sama menimpa Ahmad Dhani dan Bunda Neno Warisman. Dalam situasi seperti itu aparat penegak hukum malah mengabaikan kewajiban konstitusional. Apara abai untuk melindungi kebebasan berbicara dan berkumpul. Mereka arapat memilih mengabaikan panggilan konstitusional itu dengan dalih khawatir adanya bentrokan massa. Apa yang terjadi? Sebab di seluruh dunia aparat penegak hukum mempertahankan konstitusi sampai titik darah penghabisan. Namun di sini, aparat hukum memilih mendukung kepentingan penguasa. Sekalipun harus mengabaikan kewajiban konstitusi melindungi rakyat. Kejadian yang berulang menjadikan kebiasaan. Kebiasaan yang berlangsung lama membentuk budaya. Budaya politik yang dicirikan oleh kekerasan massa (bukan cara-cara demokrasi dan konstitusi) sebetulnya sudah pernah terjadi dulu, yaitu pada era Demokrasi Terpimpin. Pada ketika itu PKI membangun aksi massa untuk membubarkan Organisasi Politik (Orpol) dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), yang notabene adalah musuh politik mereka. PKI tahu bahwa keinginan mereka itu akan mudah dipenuhi oleh Presiden Soekarno, sebab Soekarno pada akhirnya menganggap Muhammad Natsir, Bung Syahrir, bahkan Bung Hatta sebagai musuhnya. Makanya hasilnya mudah saja untuk ditebak. Presiden Soekarno akhirnya memenuhi tuntutan PKI. Soerkarno berturut-turut membubarkan Partai Masyumi, PSI, dan partai Murba. Hampir saja Soekarno juga membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Budaya politik kekerasan massa hilang di era Orde Baru, karena Soeharto tidak membutuhkan massa untuk menindas musuh-musuhnya. Soeharto langsung menggunakan aparat untuk keperluan itu. Tentara dari Angkatan Darat, dan intelijen yang bekerja untuk menjaga kekuasaan Soeharto. Sementara di era reformasi muncul kekerasan massa yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) terhadap Ahamdiyah dan Syi’ah. Aparat malah seperti mengipasi karena praktis mengiyakan tuntutan FPI untuk membubarkan pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi. Alasan aparat penegak hukum sama, untuk menghindari bentrok massa. Namun pada saat yang sama aparat mengabaikan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi kebebasan berpendapat dan berkumpul. Sikap aparat yang tidak proper itu membakar kemarahan rakyat kepada FPI. Semakin sering FPI beraksi rakyat semakin marah. Rakyat kebanyakan tak menyadari bahwa banyaknya aksi FPI hanya bisa terjadi bila aparat membiarkan. Semakin membaranya kemarahan rakyat, besar kemungkinan adalah sebuah set-up atau sebuah cipta-kondisi dalam bahasa intelejen Indonesia. Dalam kenyataannya, kemarahan publik tersebut dimanfaatkan oleh suatu golongan politik. Mereka meniupkan isu kebangkitan politik identitas, radikalisme, anti-pluralisme dan sektarianisme. Pada awal pemerintahan Jokowi, isu itu semakin menguat terutama karena tidak ada tindakan kongkrit dari aparat untuk mencegah berulangnya kekerasan massa. Suatu elit politik dalam pemerintahan Jokowi membakar sentimen itu lebih hebat dengan menjadikan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai bukti adanya upaya mengganti Pancasila. HTI memang sering mengungkapkan, secara lisan maupun tulis, cita-cita mereka untuk membangun negeri khilafah di Indonesia. HTI adalah ormas damai, mereka tidak pernah melakukan kekerasan massa. Namun aksi damai HTI itu tidak mencegah pemerintah membubarkan HTI. Keberadaan HTI kemudian dijadikan prima causa bahwa ide-ide radikal dan anti-pancasila, telah merasuk ke dalam lembaga-lembaga negara, ormas, perguruan tinggi. Bahkan ke mesjid-mesjid. Semua itu dijadikan dalih untuk melakukan pembersihan orang-orang yang tidak mendukung penguasa, harus disingkirkan. Padahal sebetulnya hanya ada dua kasus. Pertama adalah kasus kekerasan massa FPI, dan kedua adalah kasus khilafah HTI. Kedua organisasi itu sangat kecil dalam perspektif Indonesia. Keduanya tidak mengangkat senjata. Keduanya juga tidak berhubungan satu sama lain. Tetapi keributan sosial-politik sengaja diciptakan begitu hebat. Seakan-akan Indonesia kini sedang berperang. Juga seakan-akan rakyat hanya dihadapkan kepada dua pilihan, menjadi negara Pancasila atau negara khilafah? Indonesia sudah seperti dalam keadaan darurat. Dalam situasi seperti itu, orang-orang yang tidak waspada didorong untuk mempercayai penguasa tanpa reserve. Orang-orang itu kemudian menjadi toleran terhadap kekerasan dan kecurangan penguasa. Mereka juga mengambil sikap tidak peduli terhadap tindakan pemerintah yang semakin otoriter dan mengkonsentrasikan kekuasaan dengan mengambil kewenangan legislatif maupun eksekutif. Mereka tidak peduli bahwa produk-produk hukum belakangan ini telah menimbulkan kerugian besar bagi generasi masa depan. Misalnya dari ekstraksi UU Minerba. Mereka masa bodoh terhadap potensi penjarahan yang mungkin terjadi akibat undang-undang yang menjadikan pemerintahan kebal hukum. Mereka juga tidak mau tahu bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnubus Law Cipta Kerja telah mengubah buruh dan tani menjadi budak. Tanah sepenuhnya dikomersialisasikan, sehingga jutaan petani hanya berpeluang menjadi buruh tani. Pesantren-pesantren berubah dari produk amal-ibadah menjadi produk pasar komersial, dan seterusnya dan sebagainya. Selian itu, realitas politik saat ini telah memperkuat cengkraman oligarki atas Indonesia. Dari RT/RW sampai presiden tidak ada tindakan yang bisa berjalan tanpa restu oligarki. Puncak dari semua kebobrokan yang berlangsung di tengah kesadaran palsu itu tercermin dalam kasus RUU HIP dan BPIP. Kedua RUU itu mau meletakkan kembali “Demokrasi Terpimpin”. RUU HIP dan BPIP menjadikan konsep “Demokrasi Terpimpin” yang dibangun Soekarno mau dihidupkan kembali. Mau menjadi pedoman kehidupan politik Indonesia. Dalam “Demokrasi Terpimpin”, demokrasi sebenarnya menjadi ambyar. Semua kekuasaan berada di tangan presiden. Trias Politica bubar jalan. Itulah agenda politik paling puncak saat ini. Untuk keberhasilan agenda tersebut, suatu kelompok elit di Istana memberi jalan bagi kaum oligarki merampok Indonesia. Juga menghancurkan martabat rakyat, sehingga sekadar menjadi budak kapitalis. Menjadikan Indonesia semakin tergantung kepada Cina dalam keuangan, ekonomi dan politik. Sekarang orang-orang yang tidak waspada, karena diliputi dengan kesadaran palsu, mau diperalat untuk menindas KAMI. Berbeda dengan mereka, KAMI adalah orang-orang yang waspada. KAMI membaca rencana dan perbuatan sampai jauh ke alam pikiran dan kebudayaan. KAMI tidak akan tertipu dan termakan kampanye kesadaran palsu tersebut. KAMI ingin menyelamatkan Indonesia. Pertama, menyelamatkan saudara-saudara kami dari kesadaran palsu. Demikian terjadi pada saudara-saudara kami dari FPI. Mereka telah membuang kesadaran palsu ketika melihat sendiri bahwa orang yang dulu memfasilitasi mereka sekarang justru menindas mereka. Mereka adalah pejuang Pancasila. Kedua, menunjukkan jalan kebenaran, yaitu jalan dimana tujuan tidak menghalalkan segala cara. Artinya, politik memang memiliki tujuan, tetapi tujuan itu hendaknya dicapai dengan basis moral. Kemenangan dalam politik bukan untuk kemenangan itu sendiri. Kemenangan, keberhasilan dan kemajuan harus juga berarti membawa seluruh rakyat ke tingkatan moral yang lebih tinggi. Itulah perilaku Pancasilais yang KAMI pahami. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Soal Pilkada, Mendagri Tito Jangan Ngaco & Ngawur
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Jum’at (25/09). Kerumunan orang dalam rangkain Pelihan Kepala Daerah (Pilkada) bukan hanya saat pendaftaran dan sosialisasi. Prakteknya kontestan juga lakukan distribusi "uang cendol". Para Tim Sukses (Timses) juga perlu mengamankan uang cendol agar dipastikan sampai ke pemilih. Jika saat normal saja praktek distribusi uang cendol selama ini terkesan dibiarkan oleh panitia Pilkada. Apalagi saat pandemi virus covid dan krisis ekonomi. Pemilih tentu saja berharap dapat uang cendol, yang meski sedikit sangat berarti di saat krisis ekonomi. Sedangkan siapa yg terpilih, saya yakin sebagian pemilih sudah tidak perduli lagi. Juga perlu dipertimbangkan berkumpulnya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara(KPPS) relawan atau saksi dari para kontestan. Pengumpulan dan pengelompokan relawan dan saksi ini sudah terjadi secara intensif sejak tahap sosialisasi hingga penghitungan suara. Jangan terulang lagi KPPS banyak meninggal (989 orang) saat bertugas seperti di Pemilu 2019 lalu. Jadinya, sangat sulit untuk menjamin protokol bisa dijalankan dengan disiplin penuh untuk masyarakat. Jangankan kita yang sudah dikenal sebagai bangsa yang kurang disiplin, masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat saja masih banyak yang tidak disiplin dalam memakai masker. Jika kita melihat kisah aturan tentang penggunaan helm pertama kali diterapkan, perlu berapa tahun masyarakat sadar mau pakai helm. Ini sebagai contoh saja. Sehingga mengharapkan masyarakat sadar dan disiplin dalam penggunaan masker, serta menjaga jarak dalam berinteraksi saat Pilkada nanti, sama dengan menyuruh masyarakat menyebarkan virus covid diantara sesama. Itulah yang harus dipikirkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Jangan asal negomong. Jangan juga ngawur kalau ngomong. Apalagi Mendagri mentakan bahwa “Pilkada bisa bangkitkan ekonomi”. Saya pikir itu pernyataan seperti itu bukan saja tidak tepat. Tetapi ngawur dan asal ngomong. Sebab omongan pejabat yang asal, bisa berakibat pada pemahaman yang keliru dan sesat. Supaya tidak gagal faham, Mendagri Tito sebaiknya baca lagi berulang-ulang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 01/2020 yang telah menjadi UU Nomor 02/2020. Sebab tidak ada satu pasalpun yang menjadikan alasan ekonomi sebagai dasar pelaksanaan Pilkada. Di luar rumah, ada virus corona yang bergentayangan. Masyarakat tidak bisa keluar rumah untuk bekerja, karena ada virus Corona yang bergentayangan. Banyak Pemerintah Daerah telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB) untuk mencegah penyebaran virus. Masyarakat tidak keluar rumah sebagian upaya mecegah dan memotong rantai penyebaran virus corona. Anehnya, Mendagri Tito malah terlihat ngaco dan ngawur ngomong mengenai alasan dilaksanakan Pilkada. Terlihat kalau Mendagri Tito tidak memahami tujuan kita bernegara, seperti diperintahkan oleh alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Sebab melindungi rakyat dari ancaman kematian (tumpah darah Indonesia) adalah hukum tertinggi kita dalam bernegara. Pahami itu baik Pak Tito. Daripada uang diedarkan ke daerah-daerah untuk Pilkada dengan alasan ekonomi bangkit, tetapi beresiko meningkatkan penyebadan pandemi corona, ya lebih baik dana Pilkada dibagikan kapada daerah untuk menaikkan daya beli masyarakat. Ini anggaran Pilkada ibarat pisau bermata dua. Satu sisi dianggap dapat bangkitkan ekonomi, sisi lain beresiko meningkatkan pandemi virus corona. Jadi pemerintah harus jelas, konsisten dan bijak. Jika ingin bangkitkan ekonomi di daerah, ya buatlah kebijakan yang tepat untuk itu. Yang didesign sedemikian rupa untuk tujuan ekonomi yang terukur. Bukan ditempel pada penyelenggaraan Pilkada. Seba Pilkada tujuannnya menjalankan demokrasi. Mana yang lebih pas dijalankan dalam kondisi normal? Yang terpenting adalah kejujuran dari pemerintah, DPR dan KPU. Sebenarnya separah apa masalahnya jika Pilkada ditunda tahun depan? Sampai pandemi virus corona mereda. Demi untuk kita semua dapat menjaga masyarakat dari penularan virus covid-19? Salah satu solusi yang paling tepat adalah Presiden segera menebitkan Perppu, yang memberikan kewenangan Pemerintah Daerah dijabat oleh Palksana Tugas (Plt) Kepala Daerah. Toh, itu sudah sering dilakukan, terutama untuk daerah-daerah yang baru dimekarkan dan kekosongan akibat Pilkada. Penulis adalah Anggota Komite Politik & Pemerintahan KAMI.