Guruku Mas Tom, Pendiri PII Priangan Timur
by Hasan Syukur
Jakarta FNN – Rabu (06/01). Berpakaian jas tutup warna biru tua. Berkemeja panjang warna putih, dengan kancing bagian atas terbuka. Bercelana blue jeans merk levis. Itulah guruku Utomo Dananjaya. "Panggil saya aku Tom atau Mas Tom", kata guru nyentrik berbadan tinggi krempeng itu kepada murid- muridnya di SMP Negeri I Garut, Jawa Barat.
Guruku Mas Tom, lahir di Kuningan, Jawa Barat tahun 1936. Anak seorang Kepala Desa itu merupakan sosok yang sangat populer. Guruku itu seorang komunikator piwai. Juga seorang liberal yang berani keluar dari pakem-pakem yang tradisional.
Sikapnya yang egaliter disaat guru-guru lain berprilaku feodal. Akibatnya itu tadi, Mas Tom tidak mau dipanggil "Pak Guru" oleh murid-muridnya. Panggilan terhadap dirinya tidak mau dirubah-rubah. Tetap saja dengan panggilan paling nyentrik “Mas Tom”.
Toh, meskipun penampilannya "ngoboy" Mas Tom terkendali oleh religi. Mas Tom tinggal di asrama Muhammadiyah Garut. Kesehariannya, sangat taat mendirikan shalat lima waktu. Tetapi dengan penampilan yang "gaul" abis itu, membuat Utomo bagaikan magnet.
Mas Tom berhasil menarik anak-anak muda Garut yang tadinya suka berkelahi menjadi anggota Pelajar Islam Indonesia(PII), sebuah organisasi pelajar yang dipimpinanya. Gaos Syamdani misalnya, masih sempat berkelahi beberapa menit menjelang dilantiknya menjadi Ketua Komisaris Daerah (Komda) PII Priangan Timur di Pendopo Kabupaten Garut.
Geng-geng pemuda pelajar inilah yang dimanfaatkan Utomo. Mereka dengan cerdik didekati satu per satu. Sikapnya yang sangat "gaul" itu yang menyebabkan Utomo diterima di kalangan anak-anak muda Garut, dan Priangan Timur khususnya. Kebanyakan dari mereka adalah murid-muridnya.
Salah seorang muridnya, Sukarna ND biasa memanggil gurunya ini dengan panggilan "Tom"saja . Sukarna siswa "bengal" paling yang disayanginya. Bertubuh gempal dan kekar, Sukarna dikenal petarung tulen. Pak Sueb, guru bahasa Indonesia, ditinju Sukarna. Utomolah yang menyelamatkan dari ancaman dikeluarkan dari sekolah. Apa komentarnya? "Mas Tom, guru yang tak pernah memvonis", kata Karna.
Uniknya, Utomo yang tak kelihatan bersarung dan berkopiah itu diterima juga di kalangan pesantren. Contohnya, KH. Yusuf Taujiri. Pimpinan Pondok Pasantren Darussalam Wanaraja Garut, yang legendaris itu. Beliau tak mudah dipengaruhi kekuatan manapun. Ia dikenal kiai yang independen.
- Yusuf Taujiri pernah bertahan di menara masjid Darussalam, berdua dengan KH. Anwar Musadad (belakangan pendiri perguruan Tinggi Almusadadiyah Garut), hanya dengan modal senjata mesin otomatis tatkala sepasukan DI/TII mengepungnya. Pasalnya, KH. Yusuf Taujiri menolak untuk bergabung dengan DI/ TII Kartosuwiryo. Anehnya, kepada Utomo KH. Yusuf Taujiri "menyerah".
Setelah KH. Yusuf Taujiri memberikan "greenlight", maka penduduk wilayah pengaruhnya se-Kabupaten Garut blek tumplek menjadi anggota PII. Bagitulah gaya Mas Tom yang sangat berjasa membesarkan PII di wilayah Garut dan Priangan Timur. Bahkan Jawa Barat.
Ketika mengajar, kebiasaan Mas Tom terlebih dulu mendesain meja belajar menjadi leter "U". Tujuannya, agar semua murid bisa berpartisipasi dalam menyimak pelajarannya. Waktu itu aku terpilih jadi ketua KMU (Ketua Murid Umum) SMP Negeri I Garut. Semacam ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSI)S saat ini.
Aku biasa diharuskan oleh Mas Tom berpidato dalam berbagai upacara sekolah. Suatu ketika, Mas Tom mendekati saya mengajak untuk belajar bersama di asramanya. Pesan beliau, "ajak teman-temanmu untuk belajar bersama pada hari Ahad nanti. Ajakannya gratis", tambahnya.
Anehnya, Mas Tom tak membahas pelajaran sekolah. Kami diberinya naskah dari koran atau majalah. Disuruhnya membaca artikel itu lalu mendiskusikannya sampai habis waktu belajar bersama. Diam-diam ternyata Mas Tom tengah mentraining kami untuk menjadi anggota dan aktipis PII. Maka sejak itulah kami resmi menjadi aktivis PII.
Utomo rupanya tak melupakan muridnya. Sebab ketika Jimly Assidiqie, Dikdik J.Rachbini, Sudirman Said menerbitkan buku untuk memperingati 70 tahun usia Mas Tom, saya diminta menulis sebuah artikel dalam bukunya berjudul, "Mas Tom The Living Bridge". Buku setebal 450 halaman.
Artikel yang saya sumbangkan itu bejudul, "Jejak Utomo Dananjaya di Garut". Mas Tom kini sudah tiada. Mas Tom wafat sekitar tiga tahun silam. Semoga iman Islam dan amal shalehnya diterima Allah Subhanahuwata'ala. Aamiin.