Risma dan Tuna Wisma
by Tony Rosyid
Jakarta FNN – Rabu (06/01). Mamik dan Khusnul adalah dua dari sekian warga tuna wisma di Surabaya. Puluhan tahun tinggal di kolong jembatan. Mereka tak tersentuh oleh program kesejahteraan Pmerintah Kota Surabaya.
Apakah Ibu Risma nggak pernah datang kesini? Tanya seorang wartawan Republika kepada Mamik. Tidak pernah, jawab Mimik. Jawabatan yang spontan, dan tanpa ragu.
Jawaban yang sama juga keluar dari mulut Khusnul, penghuni Kolong Jalan Tol Waru-Tanjung Perak. "Nggak onok mas. Kok ngarepno bantuan. Lak nggak nggolek rosokan ya nggak mangan (Nggak ada mas. Kok mengharapkan bantuan. Kalau nggak cari rongsokan ya nggak makan).
Di Surabaya, Kota dimana Risma pernah menjadi Walikota dua periode, ada 2.740 tuna wisma (2017). Angkanya hampir 0,1 persen dari jumlah penduduk Surabaya yang jumlahnya 2.808.306.
Publik jadi ramai ketika Risma blusukan dan memburu tuna wisma di Jakarta. Kali ini bukan sebagai Walikota, tapi sebagai Mensos. Tuna wisma di Kota Surabaya aja keleleran, kok mau ngurusin yang di Jakarta. Begitu kira-kira pertanyaan publik.
Sehari setelah dilantik, Risma langsung bekerja. Tak sabar. Pekerjaan pertama adalah mendatangi tuna wisma di sejumlah wilayah di Jakarta. Jitu, pas, dan langsung jumpa. Risma menemukan sejumlah tuna wisma itu. Entah tuna wisma dari mana. Isunya ada yang diimpor dari daerah tetangga. Kalau isu ini benar, siapa yang mengimpor?
Uniknya, seolah mensos yang baru dilantik ini tahu seluk beluk kota Jakarta. Atau memang ada tim khusus yang menjadi EO-nya. Selama ini, belum pernah ada Mensos menggunakan "jurus blusukan". Tetapi, Risma memang sangat kreatif!
Seandainya Risma tanya dulu ke dinas sosial Pemprov DKI, tentu akan dapat data yang lebih akurat. Sehingga tidak ketemu tuna wisma di Sudirman-Tamrin yang oleh publik dianggap aneh. "Sejak umur 4 tahun saya tinggal di Jakarta, baru dengar tuna wisma di Sudirman-Thamrin", kata Ariza Patria, Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Sayangnya, Risma sepertinya nggak sabar. Main turun ke lapangan tanpa berkoordinasi dengan pemilik wilayah. Publik bertanya-tanya, apakah ini memang disengaja untuk menyaingi Gubernur Jakarta?
Risma seorang politisi. Jika langkahnya dianggap politis, itu wajar-wajar saja. Sebab di depan mata ada Pilgub DKI 2022/2024. Juga Pilpres 2024. Hanya saja, perlu cara-cara yang lebih elegan. Bukan hanya virus yang mengalami mutasi. Ternyata pencitraan juga harus mengalami mutasi. Mesti disesuaikan dengan zaman dan adab setempat.
Blusukan dianggap sudah kuno. Publik sepertinya sudah muak dengan segala bungkus blusukan itu. Ada kerinduan rakyat terhadap program yang lebih substantif, jujur dan terukur. Terobosan out of the box. Loncat dari program-program yang lama dan usang. Karenanya, blusukan Risma mendapatkan banyak kritik dan bullyan. Artinya, respon publik negatif.
Apapun langkah politis Risma, itu sah dan halal-halan saja. Hanya saja, tugas sebagai Mensos tidak boleh dinomorduakan Bu Risma. Ada semakin banyak jumlah rakyat miskin di Indonesia sekarang ini. Ada kesenjangan yang luar biasa lebar. Bahkan di daerah seperti Papua, Papua Barat dan NTT, masih ada ancaman busung lapar di depan mata.
Daerah-daerah ini mesti mendapatkan perhatian yang lebih diprioritaskan oleh mensos. Bukan tuna wisma di Jakarta yang sesungguhnya sudah disiapin rusun oleh Pemprov DKI. Hanya ada sejumlah orang yang belum mau pindah, dan dalam proses pendekatan yang terus intens dilakukan.
Tuna wisma dan gelandangan adalah bagian dari pemandangan khas kota-kota besar. Mereka umumnya adalah pendatang yang mengadu keberuntungan di kota-kota metropolitan. Biarlah ini menjadi tugas para kepala daerah masing-masing untuk mengatasinya.
Jika Mensos ingin bantu, akan sangat efektif jika bersinergi dengan kepala-kepala daerah tersebut. Membangun program yang terkordinasi, bahkan terkolaborasi. Bukan malah berkompetisi!
Penulis Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.