FPI & Keluarga Korban Boleh ke ICC Den Haag

by M Rizal Fadillah

Bandung FNN – Sabtu (09/01). Telah dirilis hasil penyelidikan Tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam kasus pembunuhan terhadap enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta Cikampek (Japek) yang dikenal dengan peristiwa Kilometer 50.

Nampaknya rilis tanggal 8 Januari 2021 ini hasil final. Karena ada butir-butir narasinya, akan dilaporkan kepada Presiden, Menkopolhukam dan Kapolri. Adapun Rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM dari penyelidikan tersebut ada empat butir.

Pertama, tewasnya empat anggota Laskar FPI di tangan atau kekuasaan aparat negara merupakan kategori pelanggaran HAM. Untuk itu, Komnas HAM merekomendasikan agar dilakukan proses penegakan hukum lanjutan melalui mekanisme pengadilan pidana.

Kedua, mendalami dan penegakan hukum orang-rang yang berada dalam dua mobil petugas di laur anggota Polda Metra Jaya. Kedua mobil tersebut adalah Avansa Hitam B 1739 PWQ dan Avansa silver B 1278 KJD. Karena kedua mobil yang bukan dari Polda Metro Jaya ini melakukan pembuntutan sejaka dari Megamendung, Setntul sampai Cikampek.

Ketiga, mengusut kepemilikan senjata api milik Laskar FPI. Keempat, dilakukan proses penegakan hukum yang akuntabel, obyektif, dan transparan sesuai standar HAM.

Meski meragukan dan belum jelas dalam kaitan kepemilikan senjata api milik Laskar FPI, yang menyebabkan kematian dua anggota Laskar FPI tersebut, tidak terungkap soal tanda-tanda penyiksaan. Tidak terungkapoleh Komnas HAM telah terjadi terjadi penyiksaan terhadap empat anggota Laskar FPI yang meninggal di tangan anggota Polda Metro Jaya.

Catatan penting yang didapat dari rilis Komnas HAM ini adalah keyakinan bahwa telah terjadinya perbuatan yang dikategorikan pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh anggota Polda Metro Jaya. Karenanya harus berlanjut pada proses peradilan.

Empat orang yang tewas ditembak pada tahap kedua, yang dikategorikan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM dapat menjadi pintu masuk. Pintu untuk menguak lebih lanjut kebenaran dari kasus yang menghebohkan ini. Apalagi terkait dengan adanya keterlibatan pihak yang bukan aparat kepolisian.

Begitu juga dengan pembuntutan yang intensif dan masif terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS). Apa dasar hukumnya? Padahal HRS ketika itu bukan bestatus tersangka. HRS juga tidak berstatus sebagai buronan. Sehingga keterlibatan atasan aparat pelaku pembuntutan dan penembakan patut digali dan didalami lebih lanjut. Jika tidak, maka bisa muncul dugaan adanya kebijakan target "pembunuhan politik" terhadap HRS.

Mengapa sejak dari awal keluarnya surat penugasan, petugas dari Polda Metro Jaya tidak meperkenalkan diri atau memperlihatkan surat tugas kepada HRS? Bahwa mereka sedang melakukan penyelidikan terkait dengan dugaan pengerahan massa besar-besaran? Sehingga tidak perlu terjadi pepet-pepetan dengan Laskar FPI yang mengawal HRS selama di jalan tol.

Dengan memperlihatkan surat tugas resmi, maka petugas Polda Metro Jaya juga tidak perlu memaksakan diri untuk masuk dalam barisan atau konvoi rombongan keluarga HRS selama di jalan tol. Sebab antara petugas Polda Metro Jaya dengan pihak HRS sudah saling kenal dan mengetahi posisi masing-masing.

Kalau sudah saling tau dan kenal, kemungkinan malah petugas Polda Metro Jaya dibiarkan saja untuk bergabung dalam rombongan HRS selama di tol. Sebab petugas tidak lagi dicurigai oleh pengawal HRS sebagai maling atau penjahat lainya. Sehingga harus dijauhkan dari rombongan keluarga HRS.

Pelaku Belum Terungkap

Dua hal yang disayangkan, dan tidak terungkap secara transparan dari penyelidikan Komnas HAH. Pertama, soal eksplanasi tanda-tanda penyiksaan yang menyertai pembunuhan. Kedua, siapa atau berapa orang pelaku penembakan terhadp enam anggota Laskar FPI?

Pengungkapan terhadap jumlah dan identitas pelaku ini penting. Mengingat pembunuhan di kiloeter 50 ini kategorinya adalah perbuatan adalah pelanggaran HAM. Komnas HAM semestinya menemukan identitas pelaku personal perbuatan kriminal tersebut.

Hasil penyelidikan Komnas HAM sebenarnya inkonsisten. Karena setelah meyakini bahwa telah terjadi pelanggaran HAM. Tetapi tidak merekomendasi ke arah penegakan hukum melalui pengadilan HAM. Ini bukan semata pembunuhan. Namun pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran HAM berat.

Dasarnya adalah UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini agar kasus serupa tidak terulang dan menjadi pelajaran berharga bagi para pelanggar HAM. Konsekuensinya, jika tidak melalui Pengadilan HAM, maka masyarakat masih dapat mendorong dan mengajukan agar proses peradilan dilakukan melalui Internasional Criminal Court (ICC) di Den Haag Belanda.

Alasan untuk membawa masalah ini ICC adalah Pemerintah Indonesia tidak sungguh-sungguh mengadili pelaku kejahatan HAM. Pembunuhan dan penyiksaan dengan kategori pelanggaran HAM masuk dalam kompetensi peradilan ICC. Tinggal masyarakat mendorong saja.

Bahwa Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma tidak menjadi alasan kemungkinan tidak diproses oleh ICC. Kasus Myanmar, Amerika, dan Israel adalah contoh negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma. Tetapi terbukti menjadi obyek peradilan ICC. Apalagi legal standing untuk proses ICC bukankah negara tetapi individu dan masyarakat.

Sebentar lagi bola berada di tangan Presiden. Akan diuji komitmen dan keseriusannya sebagai Kepala Negara dalam penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi. Jika tidak serius dan bermain-main dalam kasus ini, maka Presiden dapat dikategorikan sebagai bagian dan terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

773

Related Post