OPINI
Apologi Itu Bernama "Out of The Box"
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN- Senin (28/09). Ketika mengkritisi atau mengoreksi suatu kebijakan atau sikap politik pejabat publik yang dinilai secara kepatutan, bahkan aturan dianggap keliru, maka semestinya diterima dan direnungkan. Bila tak sesuai dapat diklarifikasi ataupun diabaikan. Anehnya, tak sedikit pendukung membuat pembelaan apologetik bahwa kebijakan atau sikap politik yang tak layaknya itu sebagai kebenaran yang "out of the box". Sampai ada pandangan bahwa keberanian Luhut Binsar Panjaitan menjadi garda depan kerjasama dengan China termasuk Partai Komunis Cina (PKC) adalah inovasi yang "out of the box". Tak perlu kuatir soal komunisme. Prabowo menanam singkong juga "out of the box". Hueeebat kan Mneteri Pertahanan (Menhan) menjadi Menteri Pertanian (Mentan). Jokowi juga mensupport anak, mantu, besan untuk maju Pilkada, dan itu bukan sebagai nepotisme atau politik dinasti. Tetapi langkah brilyan "out of the box". Sampai-sampai pengumumannya disampaikan di istana negara. Ketika Peraturan Pemerintah Penggabti Undang-Undang (Perppu) Corona dibuat dengan memporak-porandakan hukum dan perundang-undangan, dianggap bukan merampok dana APBN. Tetapi langkah terobosan yang "out of the box". Begitu juga Pemerintah yang ngotot untuk melaksanakan Pilkada di tengah meningkatnya korban pandemi Covid 19 adalah "out of the box". Jika nanti saat Pelikada berlangsung, korban berjatuhan maka itupun lumrah sebagai korban yang "out of the box". Sekarang "out of the box" menjadi seolah terobosan padahal itu adalah kenekadan. Bahkan nyata-nyata penyimpangan dari nilai kebenaran dan keadilan. Siapapun oranngnya yang sudah berada dalam "box” yang benar maka ia tidak boleh "out". Begitu yang seharusnya. Namun kepentingan politik mampu membingkai seribu alasan untuk melakukan perbuatan di luar kebiasaan atau kewajaran teta kelola pemerintahan yang benar, menjadi "out of the box". Dengan alasan bahwa Orde Baru lah yang anti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Komunis, maka ketika muncul sikap perlunya mewaspadai bahaya bangkitnya Neo PKI dan Komunisme, dituduhlah itu sebagai anasir Orde Baru. Lalu dibuatlah argumen Pemerintah harus membuat langkah "out of the box" dengan rekonsialisasi, rehabilitasi, dan meminta maaf kepada pengikut atau keluarga PKI. "Out of the box" dalam makna kreatif harus berbasis aturan. Bukan menginjak-injak atau memperalat aturan untuk kepentingan kelompok dan keluarga. Apalagi mengeliminasi Tap. MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 itu bukan "out of the box". Berkreasi tentang Pasal Trisila dan Ekasila atau mengecilkan porsi Agama di Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) bukan pula "out of the box". Begitu juga dengan Pancasila berbasis tanggal 1 Juni 1945. Membuka celah bangkit Neo PKI dan Komunisme absolut bukan "out of the box". Aspek-aspek yang menginjak-injak atau memperalat aturan bukanlah "out of the box". Melainkan kunci pembuka dari "Pandora's box" yang membuka sebaran penyakit virus PKI dan Komunisme. RUU HIP dan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasil (BPIP) adalah "Pandora's box". Zeus menghadiahi puterinya Pandora kotak yang tak boleh dibuka. Tapi perempuan ini melanggarnya. Akibatnya tersebarlah penyakit di muka bumi. Makanya PKI dan Komunisme akan tersebar menjadi penyakit di bumi Pertiwi, hanya karena sang Puteri melanggar amanat. Kotak Pandora berusaha untuk dibuka. Maka RUU HIP dan RUU BPIP yang seharusnya ditutup rapat, masih terus saja dicari-cari celah agar dapat terkuak. Seolah pekerjaan itu bagus "out of the box". Padahal yang bakal terjadi adalah "out from the box". Penyakit yang tersebar lalu merusak dan membahayakan rakyat, bangsa, dan negara memlalui faham komunisme. Penghianat telah mencoba membuka "Pandora's box". Virus Komunisme akan disebarkan. Karenanya sebelum tersebar maka cegah dan basmi sampai ke akar-akarnya. Apapun resikonya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Kebangkitan PKI Itu Keniscayaan
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (28/09). Kita bisa lihat Partai Komunis Indonesia (PKI) dari dua hal. Pertama, dilihat secara ideologis. PKI itu berideologi komunis. Komunis anti Tuhan. Berarti anti Pancasila. Sebab itu, nggak layak hidup di negara Pancasila. Karena dipaksakan, lahirlah banyak benturan. Terutama benturan terhadap masyarakat yang beragama dan ber-Tuhan. Bubarkan Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pembantaian terhadap para kiai dan ulama, pembakaran masjid, madrasah serta pesantren itu bagian niscaya dari tuntutan revolusi PKI. Kalau tidak begitu, itu bukan komunis. Lahirnya NASAKOM yang berupaya menyatukan kelompok nasionalis, agama dan komunis boleh jadi karena ketiga kelompok ini merupakan fakta sosial dan politik di Indonesia saat itu. Namun, Soekarno tidak menyadari bahwa NASAKOM pada kenyataannya absurd, ambigu dan kontradiktif. Sebab, komunis tidak mungkin bisa hidup dalam masyarakat yang mayoritas beragama, terutama Islam. Sampai disini, gagasan NASAKOM dan kedekatan Soekarno dengan PKI menyisakan sejumlah pertanyaan. Apakah NASAKOM itu bagian dari bentuk idealisme Soekarno dalam menyatukan semua kelompok bangsa? Atau sekedar pencitraan Soekarno di mata dunia? Dimana kapitalisme dan komunisme tidak pernah akur, bahkan terjadi perang dingin saat itu? Atau ada skenario lain? Kalau urusan skenario itu, hanya Soekarno dan Tuhan yang tahu. Pembantaian terhadap para Jenderal terjadi, karena para Jenderal dianggap sebagai penghalang revolusi yang menjadi ciri khas perjuangan komunisme. Peristiwa ini, lebih bersifat politis. Walaupun demikian, sesungguhnya, para Jenderal yang dihabisi itu juga sangat ideologis dan Pancasilais. Bagaimanapun, menghabisi Dewan Jenderal secara struktural telah mewariskan luka sejarah yang sangat mendalam, terutama bagi TNI AD. Jadi, jika sepanjang sejarah TNI AD marah terhadap PKI, itu wajar dan natural saja. Jika para tokoh, senior dan pimpinan organisasi anda dibantai secara terstruktur, luka di hati anda dan semua kader organisasi tidak akan pernah sembuh. Ini juga yang dialami oleh NU ketika tahun 1948 para Kiai NU dibantai PKI di Jawa Timur. Jadi, isu kebangkitan PKI bukan hanya menyinggung emosi Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo, Jenderal TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu dan Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zen saja. Ini bagian dari perasaan dan emosi seluruh anggota TNI, terutama TNI-AD. Jendral TNI Kehormatan (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan dan Jendral TNI Kehormatan (Purn.) Abdullah Mahmyud Hendropriyono juga bagian dari TNI AD. Dua Jenderal Kehormatan ini adalah prajurit Komando Kopassus. Barangkali perlu juga untuk diminta mengungkapkan perasaannya soal pemberontakan PKI tersebut Dilihat dari sisi historis. Setidaknya ada dua protes dari eks PKI dan anak-anak biologisnya. Pertama, protes terhadap film G 30 S PKI. Dianggap manipulatif. Penuh rekayasa. Mereka minta kepada pemerintah untuk tidak lagi ditayangkan. Dihapus semua file-nya. Mendesak presiden Jokowi buat film G 30 S PKI versi baru. Terkait usul tersebut, sempat ada wacana dari istana. Tapi, sampai sekarang belum terealisasi. Kedua, menuntut kepada presiden Jokowi atas nama bangsa Indonesia agar meminta maaf secara resmi kepada PKI. Jika ini dilakukan, maka akan mengubah jalannya sejarah bangsa Indonesia. Poinnya, PKI korban, bukan pelaku. Setelah itu, akan ada project besar untuk menulis buku sejarah PKI yang akan menjadi referensi dalam kurikulum sekolah. Kedua tuntutan ini, tidak atau belum mampu dipenuhi Jokowi. Sebab, ini akan sangat berisiko secara politik. Jokowi tidak, bukan hanya akan berhadapan dengan TNI, tetapi juga dengan umat Islam. Muncul pertanyaan publik, apakah lahirnya RUU HIP adalah bagian dari alternatif perjuangan PKI setelah gagal mendesak Jokowi meminta maaf kepada PKI dan menghapus film G 30 S PKI? Atau itu bagian yang menyatu dan menjadi satu kesatuan strategi? Menjawab ini perlu sedikit riset dan diskusi lebih panjang. Tak seperti biasanya, tahun ini dinamika ke-PKI-an ramai, jauh sebelum bulan september. Bulan dimana PKI selalu jadi tema utama. Bulan dimana keluarga para Jenderal revolusi itu menahan emosi. Dan bulan dimana para eks PKI dan anak-anak biologisnya sedang dapat panggung untuk branding diri di media. Hal ini telah memunculkan tanda tanya, bahkan kecurigaan publik, apakah PKI akan bangkit kembali? Setelah era reformasi membuka ruang bagi eks dan anak-anak biologis PKI untuk memdapatkan hak politik dan sosialnya, "wajar jika" kemudian mereka menggunakan kesempatan itu untuk bangkit. Hidup dalam tekanan dan dendam biasanya akan memicu lahirnya perlawanan. Secara psikologis, masyarakat yang lama tertekan karena hak-hak politik dan sosialnya dicabut akan bangkit dan melakukan perlawanan saat kesempatan datang. Mereka tak ingin semua penderitaannya selama ini sia-sia. Tak ubahnya dengan apa yang dilakukan para eks tahanan politik (tapol). Mereka terus berusaha untuk berdiri, bangkit dan mengisi sejumlah posisi strategis. Hanya saja, sebelum TAP MPRS No 25 Tahun 1966 yang melarang PKI dicabut, siapapun yang ingin bengkitkan PKI harus melakukannya dengan pola gerakan bawah tanah. Jangan coba-coba terang-terangan. Sebab pastinya akan berhadap-hadapan dengan TNI dan umta Islam. Sulit membayangkan mereka bisa terima semua penderitaan selama 32 tahun itu, lalu pasrah saja. Sementara kesempatan untuk melakukan konsolidasi dan memulai perlawanan sudah sangat terbuka saat ini. Mereka bisa membangun gerakan bawah tanah, menyusupkan para anggotanya di partai dan berbagai kelembagaan/institusi negara. Sekali lagi, ini hanya cara berpikir dan pemahaman logis. Menarik jika dicari dan diinvestigasi datanya. Anggap saja ini hipotesis. Perlu pembuktian. Namun jika kita memahaminya dengan pendekatan teori marxisme dan gerakan leninisme, maka akan semakin sulit menyimpulkan bahwa PKI mati. Maaf! Jadi agak berat diskusinya. Munculnya kecurigaan dan kewaspadaan terhadap kebangkitan PKI sesungguhnya berbasis pada pengetahuan ilmiah yang diambil dari teori komunisme ala marxis itu sendiri. Juga gerakan revolusioner komunisme di berbagai negara, serta trauma sejarah pemberontakan PKI di Indonesia. Jika Marx berani bilang bahwa hukum sejarahnya itu ilmiah, maka kecurigaan terhadap kebangkitan PKI di Indonesia itu juga ilmiah. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Pluralisme Represif Pemerintahan Jokowi
Pengantar: Sejak Ahok kalah pada Pilkada DKI 2017, pemerintahan Jokowi sangat represif terhadap gerakan Islam. Mengapa Profesor dari Australia Greg Fealy menyebut ada kepentingan PDIP dan NU di balik kebijakan represif dan tidak demokratis itu? Oleh Greg Fealy, Australian National University Jakarta FNN - Senin (28/09). Selama empat tahun terakhir, pemerintahan Presiden Indonesia Joko Widodo telah melakukan kampanye penindasan yang terpadu dan sistematis terhadap kaum Islamis. Ini mungkin kabar baik bagi mitra Barat Indonesia —terutama Australia— di mana survei berulang kali menunjukkan bahwa banyak yang takut akan meningkatnya konservatisme dan militansi Islam Indonesia. Tetapi Australia dan negara-negara lain harus prihatin dengan kebijakan anti-Islamis Indonesia, karena itu mengikis hak asasi manusia, merusak nilai-nilai demokrasi, dan dapat dengan baik menyebabkan reaksi radikal terhadap apa yang dilihat sebagai antipati negara yang berkembang terhadap Islam. Beberapa penjelasan diperlukan tentang siapa para Islamis ini dan tindakan apa yang diambil terhadap mereka. Umumnya, istilah 'Islamist' digunakan untuk menggambarkan Muslim yang berusaha menjadikan hukum dan nilai-nilai Islam sebagai bagian sentral dari kehidupan publik dan struktur negara. Ini bisa merujuk pada berbagai kelompok, dari mereka yang membentuk partai dan mengikuti pemilu dalam sistem demokrasi, hingga jihadis militan yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. Pemerintah Indonesia sering melihat Islamis sebagai 'ekstremis', termasuk dalam kategori ini tidak hanya teroris dan pendukung ISIS, tetapi juga anggota atau simpatisan partai-partai Islam dan organisasi masyarakat yang tidak melanggar hukum. Apa yang disebut kelompok 'Islamis trans-nasional' secara khusus dianggap dengan kecurigaan - ini berasal dari atau menarik inspirasi dari gerakan Timur Tengah atau Asia Selatan, dan dipandang membawa pengaruh 'asing' dan fundamentalis ke Indonesia. Contoh bagusnya adalah Partai Keadilan Sejahtera yang diilhami oleh Ikhwanul Muslimin (PKS), yang telah terdaftar sejak 1998 dan menjadi bagian dari koalisi pemerintahan selama 11 dari 22 tahun terakhir. PKS memiliki catatan sempurna dalam bermain sesuai aturan permainan demokrasi, namun banyak dari anggotanya yang menjadi sasaran tindakan represif dan diskriminatif oleh negara. Represi negara dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Pegawai negeri, akademisi dan guru yang dianggap oleh badan keamanan negara aktif dalam kelompok-kelompok yang dicurigai sebagai kelompok Islam dapat dimasukkan dalam 'daftar pantauan' dan diperingatkan oleh atasan mereka, bahwa kegiatan keagamaan atau politik mereka tidak dapat diterima. Karirnya akan tersendat dan mentok, jika tidak mengubah perilaku mereka. Proses serupa terjadi di badan usaha milik negara dan perusahaan swasta. Beberapa Islamis telah disingkirkan dari posisi strategis atau ditolak promosinya. Banyak kementerian telah memperkenalkan semacam skrening dalam perekrutan pegawai baru untuk menyaring mereka yang dicurigai mempunyai pandangan Islamis. Ribuan, mungkin puluhan ribu, Islamis telah menjadi sasaran kampanye ini. Tujuannya tampaknya untuk menekan kaum Islamis agar melepaskan keyakinan mereka, atau berhenti mengungkapkan pandangan mereka secara terbuka di tempat kerja. Mengapa pemerintah Jokowi yang mengaku memegang teguh prinsip toleransi dan pluralisme melakukan tindakan tersebut? Sebagian besar partai dalam koalisi yang berkuasa Jokowi, dan terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), telah melihat Islamisme sebagai ancaman eksistensial bagi Indonesia dan tradisi netralitas agama konstitusional dan inklusivitas sosial. Mereka menganggap para Islamis sebagai pemecah belah karena mereka berusaha untuk mengistimewakan Muslim dan hukum Islam di dalam negara dan masyarakat. Dengan demikian menyangkal prinsip-prinsip yang mendasari negara itu. Pandangan ini juga dianut oleh organisasi Islam arus utama seperti Nahdlatul Ulama dan partai politik sekutunya (PKB) yang merupakan bagian dari koalisi yang berkuasa. Jokowi dan partai-partai pemerintah sangat khawatir pada tahun 2016-2017 ketika kelompok-kelompok Islamis memobilisasi ratusan ribu Muslim di jalan-jalan Jakarta untuk memprotes pernyataan Gubernur Ahok, Kristen Cina yang diduga menghujat Al-Qur'an. Gubernur, yang tampaknya akan meraih kemenangan besar sebelum tuduhan penistaan agama, dikalahkan dalam pemilihan gubernur April 2017 dan kemudian dipenjara selama dua tahun. Peristiwa ini meyakinkan banyak orang di pemerintahan, bahwa tindakan bersama diperlukan untuk menghentikan gelombang pasang Islamisme. Memang, lebih dari beberapa menteri percaya bahwa jika Islamisme tidak dibendung dan dinegasikan selama sisa tahun kepresidenan Jokowi, maka Islamisme akan menjadi terlalu kuat untuk dikendalikan. Validitas pandangan ini dipertanyakan. Tentu saja, ekspresi konservatif Islam sedang berkembang di Indonesia, seperti halnya religiusitas konservatif yang meningkat di banyak negara Asia dan negara Barat lainnya. Tapi ini belum mengambil manifestasi politik yang koheren. Banyak Muslim konservatif menghindari politik praktis dan tidak ada partai Islam yang mampu memenangkan lebih dari 8 persen suara dalam empat pemilihan terakhir. Ya, Islamis memang menjatuhkan mantan gubernur Jakarta non-Muslim, tapi kasus itu melibatkan penistaan, yang selalu menimbulkan emosi dan semangat yang intens - tapi biasanya berumur pendek - di jalanan. Sejak saat itu, gerakan Islamis terus berjuang namun gagal mengulangi kesuksesan tahun 2016-2017. Lebih buruk lagi bagi kaum Islamis, kandidat presiden yang mereka dukung dalam pemilu 2014 dan 2019, Prabowo Subianto, tiba-tiba berubah setelah pemilu tahun lalu, bergabung dengan pemerintahan baru Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. Hal ini membuat kaum Islamis putus asa dan kacau. Jadi, sulit untuk mengatakan bahwa Islamisme membahayakan sistem politik Indonesia. Jika Indonesia memang menghargai toleransi dan keragaman, ia harus menerima legitimasi wacana Islam dan kegiatan asosiasi. Kebanyakan pandangan Islamis tidak bertentangan dengan hukum atau peraturan. Menekan Islamisme justru menekan ruang sipil dan membuat Indonesia kurang demokratis. Pemerintah Australia, mengingat telah lama mempromosikan Islam 'moderat' di Indonesia, seharusnya khawatir dengan kampanye anti-Islam. Pada saat banyak orang yang memiliki hak politik di Australia mencela apa yang mereka anggap meremehkan atau membatasi hak-hak orang Kristen konservatif di negara mereka sendiri, mereka juga harus mengadvokasi agar hak serupa diberikan kepada komunitas agama konservatif lainnya di Indonesia sebagai baik, termasuk Islamis. Toleransi keragaman agama harus menjadi penanda demokrasi yang matang dan kokoh. *) Greg Fealy adalah Profesor Madya Politik Indonesia di Departemen Perubahan Sosial dan Politik, Universitas Nasional Australia. Sumber : https://www.eastasiaforum.org/2020/09/27/jokowis-repressive-pluralism/
Komunisme Dan Liberalisme Menjepit Pancasila
by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto “Maafkan, Lord Russell. Saya kira tuan melupakan adanya lebih daripada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence”. (Bung Karno, 1960, Sidang Majelis Umum PBB). Jakarta FNN – Senin (28/09). Cuplikan pidato Bung Karno di atas, ketika mengenalkan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia. Bung Karno dengan gamblang dan berani mengatakan Indonesia tidak dipimpin oleh konsep komunis ataupun liberalis. Indonesia dipimpin oleh nila-nilai, gagasan, cita-cita yang terkandung dalam kehidupan bangsa Indonesia, dengan nama Pancasila. Genderang “beda ideologi” ditabuh Bung Karno dalam sidang bergengsi negara-negara dunia (Sidang Majelis Umum PBB). Walaupun sesungguhnya mereka atau asing sudah tahu sejak kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Negara Indonesia berdasarkan Pancasila. Komunisme Versus Pancasila Komunisme dibawa ke Hindia-Belanda (Indonesia) oleh J.F Marie Sneevliet, 1913. Mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), anggota 85 (delapan puluh lima) orang Belanda totok, dengan propaganda komunisme, pada 23/5/1914. Semaun, Darsono dan Alimin, anggota Sarikat Islam masuk ISDV. Pada 23 Mei 1920, ISDV berubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH) dengan Ketua Semaun dan Darsono sebagai Wakil. PKH berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1924. Pemberontakan PKI terhadap kolonial Belanda, 1926/1927, terkait perjuangan Komunisme Internasional. Setelah Indonesia merdeka, Peristiwa Madiun, pimpinan Muso, 18/9/1948, menghendaki satu kelas buruh aliran Marxisme-Leninisme dan mendirikan pemerintahan “Komite Front Nasional”, bekerjasama dengan Uni Soviet. Satu bukti pemberontakan PKI untuk mengganti Pancasila. Keterdekatan Bung Karno dengan Presiden Mao Zedong dan PM Chou Enlai tahun 1960-an, membentuk poros Jakarta-Peking. Hubungan PKI pimpinan DN. Aidit dengan Partai Komunis China, menambah catatan kegiatan menjelang G.30.S/PKI. PKI meniupkan isu Dewan Jenderal yang akan menculik Bung Karno. Tetapi didahului Komandan G.30.S/PKI Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden. Pasukan Letkol Untung menculik dan membunuh 7 (tujuh) Perwira AD, pada 30 September 1965 dan membuangnya ke dalam sumur secara biadab, di Lubang Buaya Halim. Korban penculikan itu kita kenal sebagai 7 (tujuh) Pahlawan Revolusi. Persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mengadili pentolan G.30.S/PKI secara terbuka, dokumen di Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional, Museum dan Monumen, yang berserakan di tanah air adalah bukti dan saksi. Tragedi 1965, jelas pemberontakan PKI, yang ingin mengganti Pancasila dengan faham komunisme adalah fakta sejarah. Tuntutan rakyat dan keputusan pembubaran PKI sebagai organisasi terlarang, dan larangan penyebaran ajaran komunisme/marxisme-Leninisme, langkah yang benar dan tepat. Tidak mungkin dalam satu negara ada dua ideologi yang bertentangan. (Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966). Peringatan Hari Kesaktian Pancasila Gerakan 30 September PKI gagal. Tanggal 1 Oktober 1965 adalah tonggak Hari Kesaktian Pancasila. Isu kelasik seputar G30S/PKI selalu muncul menjelang peringatan, terasa membosankan. Namun, bagi generasi muda, menjadi isu menarik, penting dan perlu agar generasi muda tidak termakan propaganda. Tidak termakan provokasi dan agitasi yang dibangun ideolog komunis dan simpatisannya. Film G30S/PKI tidak perlu diputar. Lho, kenapa? Itu film sejarah, seperti film 10 November. Film G30S/PKI itu rekayasa dan mengkultuskan orang. Siapa bilang? Kalau rekayasa, cocokkan saja dengan dokumen sejarah, sebut adegan apa, menit berapa yang tidak benar. Kalau kultuskan tokoh? Apa memang ada film tanpa tokoh dan peran utama? Film 10 November misalnya, tokoh dan peran uatamaya adalah Bung Tomo. Begitu juga dengan Film Tunggul Ametung, yang tokohnya ya Tunggul Ametung, Ken Dedes dan Ken Arok. Memanya ada yang aneh? Gaduh nasional dari tahun ke tahun terjadi. Satu pihak ingin melarang film G30S/PKI. Ingin menghapus sejarah G30S/PKI, dengan bilang PKI korban. Sedangkan Soeharto dalang PKI, dan lain sebagainya. Pihak lain, memperingati untuk mengingatkan bahaya laten PKI terhadap Pancasila. Gaduh nasional yang tak percaya sejarah, menunjukkan kekerdilan dalam memaknai sejarah. Bagaimana tidak? Negara pasti punya dokumen sebagai bukti sejarah. Tidak tepat jika kita bilang “sejarah itu milik penguasa atau pemenang”. Inilah contoh kekerdilan dalam berpikir dan penghargaan kepada pahlawan. Liberalisme Versus Pancasila Dalam pertarungan kepentingan politik global, mendemokratisasikan negara tidak hanya oleh aktor dalam negeri. Keikutcampuran aktor internasional negara-negara liberal kapitalis, melalui organisasi internasional seperti United Nations Develepment Program (UNDP) dan United State Agency for International Develepment (USAID) bisa saja terjadi. LSM asing seperti Institute of Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Internasional Foundation for Election System (IFES), National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institution (IRI) dan LSM domestik Centre for Electoral Reform (Cetro) terlibat dalam amandemen UUD 1945. (Valina Singka Subekti, 2007, Menyusun Konstitusi Transisi). Pilpres secara langsung ala Amerika, adalah hasil amandemen yang paling memprihatinkan. Demokrasi “one man, one vote” bukan demokrasi bangsa Indonesia. Bukan demokrasi dalam nilai-nilai Pancasila. Bung Karno saja, tahun 1960 sudah berani mengatakan kepada dunia, sila ke-4 Pancasila adalah dasar demokrasi bangsa Indonesia. Banyak pasal-pasal hasil amandemen UUD 1945 bertentangan dengan Pancasila. Bahkan cenderung ke liberal. Pilpres langsung yang membuat disharmoni kehidupan, robeknya persatuan dan konflik sepanjang masa, melahirkan pertanyaan kritis. Apakah itu semua bertujuan memecah belah, agar mereka bisa menguasai Indonesia tanpa menduduki untuk hidupnya? Ideologi Untuk Mencari Hidup Komunisme di dunia itu sudah mati. Begitu celoteh orang tertentu, bahkan dia pejabat yang intelektual. Ada apa dibalik celotehnya? Padahal dia yang tahu, namun yang pasti itu pernyataan ngawur dan nagco. Banyak negara-negara di dunia yang komunisnya masih hidup. Republik Rakyat China (RRC) dalam anatomi negaranya saja, ada yang disebut Communist Party of China (CPC), Central Military Commission (CMC), State Council (SC) dan National People Congres (NPC). Konon untuk militernya saja, sumpah kesetian yang pertama adalah kepada partai, baru kepada negara. Ideologi akan memberikan dasar paradigma, apa yang harus dilakukan negara. Kebutuhaan hidup papan, pangan, air, energi dan sumber kakayaan alam untuk rakyatnya menjadi lebih dominan dibanding sekedar mencari pengikut agar negara lain mengikuti ideologinya. Teritorial Indonesia yang luas dengan pantai yang landai, menggiurkan untuk direklamasi, menjadi incaran negara yang memiliki ledakan penduduk tinggi. Bagi negara yang miskin sumber daya alam, miskin sumber energi, akan tergiur dengan kekayaan Indonesia. Artinya, tidak berlebihan jika Indonesia menjadi incaran negara-negara dunia. Berpegang teguh kepada Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, akan mampu mencegah, agar tidak menjadi pengkhianat dan kompradornya asing yang mencari hidup di Indonesia. Mari kita bangkit, bersatu, bergerak, berubah agar kita tidak punah. Semoga Tuhan YME memberikan kejayaan bagi Indonesia. Amin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2006-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Melawan Komunisme (Bagian-1)
by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Senin (28/09). Komunisme itu paham. Bukan organisasi dan bukan pula nasab. Orang bisa saja menjadi komunis tanpa harus terdaftar sebagai anggota organisasi komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Bukan pula dari keturunan atau anak komunis. Jadi, jangan salah sangka. Orang berfaham, lebih tepat lagi ideologi komunis bisa berada di organisasi apa saja. Mulai dari organisasi sosial kemasyarakatan, propesi , keagamaan sampai organisasi partai politik. Begitu juga soal nasab, anak yang lahir dari seorang alim pun bisa jadi terjangkit faham komunis. Sebaliknya, anak seorang komunis belum tentu juga sepaham dengan komunis. “Dik Gaffar, kamu ajari saya agama. Nanti kamu saya ajari Marxisme,” kata Sukarno satu ketika. Yang dipanggilnya “dik Gaffar” adalah A. Gaffar Ismail, ayah dari Taufiq Ismail, dokter hewan yang lebih dikenal sebagai penyair itu. Taufiq Ismail menceritakan kisah persahabatan Sokarno dengan ayahnya itu dalam “Katastrofi Mendunia” (2004). Sukarno, yang begitu menghargai ilmu, lebih dahulu dipenuhi oleh ajaran Karl Marx, “nabi” -nya orang-orang Sosialis-komunis. Dia bangga menguasai Marxisme, sehingga berani menawarkan barter dengan pengajaran”ilmu-ilmu” Islam. Boleh jadi, sebagai muslim yang belum “terisi” dengan hakikat islam, Soekarno memandang Islam sebagai sebuah cabang Ilmu yang setara degan Marxisme. Ya, hanya sebuah ilmu dalam tumpukan ilmu-ilmu sosial dan budaya. Maka, Soekarno yang rajin bertanya soal-soal Islam kepada Gaffar dan Hasan Bandung. Itu pun Soekarno tetap sebagai seorang nasionalis sekuler, dan memimpin Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Pemikiran Soekarno tentang ke-Islaman dan sosial kemasyarakatan tidak lepas dalam perspektif ilmu-ilmu sekuler itu, sehingga tulisan-tulisannya sering mengundang tanggapan kritis dari Mohammad Natsir, tokoh Partai Islam Masyumi. Begitu pun dalam langkah selanjutnya. Ketika menjadi Presiden Indonesia, Soekarno menggabungkan ideologi nasionalisme, agama dan komunisme yang dikenal dengan Nasakom. Masyumi menolak ideologi gabungan itu, sehingga Masyumi diultimatum untuk dibubarkan oleh Presiden Soekarno atas desakan PKI. Itulah Soekarno, lebih dekat ke komunis dari pada Islam. Bagaimana dengan ayah sang Penyair Taufiq Ismail? Meski pun di -coach langsung oleh mentor besar Marxisme, Soekarno, tetapi Gaffar tidak lantas jadi Komunis. Ikut Soekarno di Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pun tidak. Ia justeru aktif di Partai Islam Masyumi yang anti Komunis. Itu karena sikap dan pandangan hidupnya telah dibentuk oleh Islam terlebih dahulu. Putra Minang ini tamatan Sumatera Thawalib Parabek dan pernah nyantri di Padang Panjang. Sikap dan pandangan hidup seseorang itu sangat ditentukan oleh pengajaran. Ajaran apa yang lebih awal atau lebih intens diterima, lebih kuat mempengaruhi dan memenuhi pikirannya. Jadi, jangan main-main dengan pangajaran. Ia adalah mesin cetak keperibadian dan pandangan hidup seseorang. Semaoen, Darsono, Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo (orang-orang Indonesia pertama yang jadi komunis) awalnya adalah pengikut H.O.S Tjokroaminoto, sebagai anggota Sarekat Islam (SI). Bahkan pernah menduduki jabatan penting di SI. Semaoen misalnya, menjadi Ketua SI Semarang. Tetapi mereka kemudian menjadi tokoh penting pula di Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang pernah beberapa kali menorehkan sejarah kelam bangsa ini, dan di pecat dari SI. Semaoen menjadi anggota SI pada 1914 di afdeeling Surabaya. Usianya terbilang masih terlalu muda, 14 tahun. Setahun kemudian, 1915, Samaoen berkenalan dan akrab dengan seorang sosialis Belanda, Sneevliet, ketua Indische Sosial Democratische Vereniging (ISDV) dan Persatuan Buruh Kereta Api dan Trem Vereniging van Spoor en Tramweg Personcel (VSTP) di Semarang. Semaoen bersimpati berat kepada Sneevliet dan menyapa orang Belanda itu sebagai “guru”. Tidak salah juga. Karena di tengah orang-orang Belanda bermental kolonial dan merasa superior, Sneevliet justeru menawarkan persamaan dan semangat revolusiner. Maka, Semaoen pun ikut aktif di dua organisasi beraliran komunisi itu. Alimin dan Darsono ikut pula di ISDV. Penguasaan bahasa Belanda yang baik, minat belajar yang sangat kuat dan hubungan dekatnya dengan Sneevliet membuat Semaoen dipercaya sebagai ketua propagandis VSTP dan mendapat gaji. Jabatan ini membuat Semaoen harus intens mempelajari ideologi Marxis, dan harus pindah pula ke Semarang, tempat kedudukan Pengurus besar VSTP, Juli 1916. Setahun kemudian, tepatnya 6 Mei 1917, dia terpilih pula menjadi ketua SI Semarang. Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia, 23 Mei 1920. Ia menduduki posisi ketua dan Darsono sebagai Wakil Ketua. Belakangan organisasi ini menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Semaoen adalah ketua pertama, sementara Alimin memimpin Wilayah Jakarta sejak 1918. Pada akhir tahun 1921, Semaoen meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow. Kedudukannya di PKI digantikan olehTan Malaka. Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum PKI dan mengganti nama SI yang dipimpinnya menjadi Sarekat Rakyat, bagian dari PKI, di tahun 1924. Dari sekilas perjalanan Semaoen dan kawan-kawannya, terbukti bahwa meski pun mereka aktivis SI, tetapi lebih intens mendapat asupan dan bergulat dengan pemikikiran Sosialisme-komunisme Marxis, dari pada Islam. Namun begitu, pada saat itu, Semaoen dan juga orang-orang SI lainnya, kemudian menjadi PKI tidak mengetahui bahwa di dalam ajaran sosialisme Marxisme itu terkandung prinsip-prinsip ateisme yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sukendar, Ketua Perwakilan PKI dalam Kongres SI tahun 1922, misalnya, ketika diminta tanggapannya terkait SI yang akan menjadi Partai Sarekat Islam, menyatakan bahwa menjadi komunis bukan berarti tidak percaya adanya Tuhan. Tetapi ia mengakui gerakan mereka netral dalam urusan agama. Orang-orang PKI tak ingin Islam di bawa-bawa ke ranah politik. Hal ini mengagetkan para peserta kongres. Betapa tidak, ada orang yang percaya kepada Allah tetapi netral agama! Jadi, ada yang tidak beres pada diri Semaoen dan kawan-kawannya. Kata Mohammad Hatta, “kalau ada orang komunis yang mengatakan ia percaya pada Tuhan, atau seorang muslim mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak beres padanya.” Maka, “tidak sedikit orang yang tersinggung karena merasa banyak yang tak beres pada dirinya. Tetapi yang tak tersinggung karena tak tahu, lebih banyak lagi .”, kata Tufiq Ismail. Kalimat terakhir Taufiq Ismail itu justeru menjadi kekhawatiran terbesar kita sekarang ini. Lebih banyak yang tidak tersinggung karena tidak tahu. Betapa banyak orang tidak tahu kalau “netral dalam urusan agama” atau “mengharamkan agama dibawa ke ranah politik” berarti sudah kerasukan bibit faham komunis. Malah, mereka yang tidak tahu itu justeru banyak pula aktivis oraganisasi Islam. Banyak juga yang tidak tahu kemudian terhasut. Misalnya, seperti pemberontakan PKI tahun 1927 di Sumatera Barat. Taufiq Ismail mengutip Brackman menggambarkan pemberontakan itu sebagai, “more in the nature of a ‘holy war’ by Islamic zealots than Communist rebellion”. Pemberontakannya malah berciri Islami ketimbang komunis. Karena komunis adalah faham yang berasal dari pengajaran, maka ajaran yang berbau komunis dalam segala bentuknya memang wajib diharamkan. Yang paling dasar, misalnya ajaran yang merendahkan nilai agama atau ketuhanan. Memisahkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, atau ajaran netral agama. Sebab, anggapan ini adalah bagian dari ajaran komunis untuk tumbuh berkembangnya komunis lebih lanjut. Adalah tugas dan kewajiban negara mencerdaskan bangsa. Bukan menjadi kewajiban individu dan keluarga. Melalui pendidikan, baik formal mau pun non formal, pemerintah berkewajiban membangun anak bangsa menjadi insan cerdas. Cerdas yang dimaksud adalah cerdas berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan cita-cita pendirian negara ini. Oleh karena itu, semua materi ajar dan metode yang digunakan harus mampu mengarahkan anak didik pada pembentukan insan yang cerdas ber-Ketuhahan Yang Maha Esa. Secara khusus, mata pelajaran agama harus mendapat perhatian utama untuk senantiasa ditingkatkan kulitasnya. Mengurangi atau bahkan menghilangkan mata peajaran agama di sekolah, dan menyerahkan pendidikan agama kepada keluarga adalah ide yang sangat keliru. Ini dapat dilihat sebagai langkah melepaskan tanggungjawab negara/pemerintah terhadap pembangunan manusia Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, manusia yang bertaqwa. Upaya untuk melepaskan tanggungjawab negara/pemerintah dalam mencerdaskan bangsa berdasarkan Pancasila. Ini sebagai ide buruk mengingkari Pembukaan UUD 1945. Ide menumbuhkan generasi sekuler, generasi yang menjadi lahan subur tumbuh berkembangnya faham komunisme. Selanjutnya, paham komunis harus dilawan. Secara khusus, pendidikan Islam (Dakwah Islamiyah) harus membekali jemaah untuk mampu mematahkan argumentasi kaum komunis. Konstruksi berpikir Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Salallaahu Alaihi Wasallam yang demikian kuat harus dimiliki jemaah, sehingga mampu dengan mudah mematahkan dan membongkar habis pemikiran komunis. Faham dan pemikirankomunis dibangun berdasarkan “Madilog” (material-dialektika- logika). Demikian juga karakter pribadi jemaah harus sampai pada “Inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillah Rabbil ‘alamin”. Sehingga tak adalagi jemaah yang berpikir-laku sukuler dan netral agama. Dakwah Islamiyah harus segera keluar dari lingkup kamar mandi (bersuci) dan menakar pahala dan dosa. Dakwah Islamiyah harus segera memenuhi fungsinya memuaskan intelektualitas dan rohani manusia sekaligus. Jangan biarkan ada ruang kosong dalam kehidupan manusia ini, tanpa terisi oleh Islam. Sehingga faham apa pun tidak akan bisa masuk lagi. Wallah a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn & Ketua Komisi di MUI Medan.
Kaum Neo-Komunis dan Neo-PKI Akan Fokus Lenyapkan Agama
by Asyari Usman Jakarta FNN - Minggu (27/09). Prof Salim Said boleh jadi benar bahwa komunisme sudah bangkrut. Tapi, paham komunis itu bangkrut hanya untuk urusan ekonomi. Benar, bahwa sebagai ideologi ekonomi, komunisme itu sudah ringsek total dalam tabrakan ‘laga kambing’ dengan kapistalisme. Betul, bahwa hari ini tidak ada lagi negara komunis yang mampu mempertahankan ajaran ekonomi marxisme-leninisme. Kalaupun bisa disebut sebagai pengecualian, maka Korea Utara (Korut) dan Kuba mungkin satu-satunya yang masih melestarikan ajaran ekonomi sosialis-komunis. Itu pun, Korut dan dan Kuba tetap saja masuk ke dalam perangkap ‘internet’ sebagai simbol baru kapitalisme. Meskipun simbol itu diatur ketat oleh kedua negara itu. Jadi, sekarang ini tidak ada lagi ajaran ekonomi komunis yang bertahan. Hanya tersisa teori-teori dan jejak pemaksaan ekonomi ala komunisme. Itulah kebangkrutan komunisme seperti yang disampaikan oleh Prof Salim Said dan banyak lagi pakar ideologi lainnya. Akan tetapi, itu tidak berarti para penganut ajaran komunis berhenti bergerak. Kebangkrutan di bidang ekonomi bukan bermakna mereka tidak punya basis perjuangan lain. Khususnya di Indonesia. Para penganut paham itu, baik yang mewakili keturunan PKI maupun kader baru komunisme di Indonesia, mengerahkan tenaga, pikiran, dan segala sumberdaya mereka untuk melenyapkan agama –khususnya Islam. Minimal mereka ingin sekali menajuhkan umat, terutama generasi muda, dari agama. Para penganut komunisme, tak diragukan lagi, sangat ingin menghapuskan prinsip Ketuhanan. Terlebih-lebih, ketuhanan yang bersumber dari Islam. Itulah yang sedang mereka perjuangkan saat ini. Dan itu pula yang telah menjadi jejak sejarah ketika PKI melancarkan pemberontakan pada 1948 dan 1965. Mereka menyasar para ulama dan santri. Pesantren-pesantren mereka serang. Ulama, kiyai, dan santri mereka bunuh. Hari ini, pengikut dan simpatisan neo-komunisme dan neo-PKI fokus pada upaya untuk melenyapkan agama. Dengan cara yang kasar maupun dengan cara yang ‘sangat milenial’. Melalui cara yang kasar, mereka bercita-cita untuk menghilangkan Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila. Itulah yang mereka tunjukkan secara terang-terangan lewat pengajuan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Ketika kedok HIP itu terbongkar, kemudian diubah menjadi RUU BPIP. Saking kasarnya cara mereka, mereka tak peduli diprotes rakyat. Tidak mau mundur dari RUU anti-Pancasila itu. Melalui cara yang ‘sangat milenial’, neo-komunis dan neo-PKI bercita-cita melenyapkan agama (Ketuhanan Yang Maha Esa) lewat perombakan kurikulum pendidikan. Pendidikan agama Islam menjadi sasaran utama. Dengan berlindung di balik tuduhan radikalisme, pelajaran agama akan ‘disterilkan’ dari elemen-elemen yang mereka cap ‘berbahaya’ menurut pikiran mereka. Kegiatan pendidikan di lingkungan pesantren, diawasi ketat. Tujuan mereka bisa dibaca. Yaitu, ingin menjauhkan generasi muda Islam dari kedekatan dengan Tauhid (Ketuhanan). Mereka berencana akan menumbuhsuburkan budaya Islam tanpa sholat. Tidak perlu membaca atau menghafal al-Quran. Entah berdasarkan apa, akhir-akhir ini dimunculkan kembali gagasan sertifikasi para da’i. MUI menolak itu. Dan memang gagasan ini berlebihan. Begitulah hebatnya neo-komunis dan neo-PKI. Mereka tampaknya berhasil menyeludupkan konsep untuk melemahkan umat Islam ke jajaran legislatif dan eksekutif. Dengan cara yang ‘sangat milenial’. Cara yang sesuai dengan tampilan kekinian, yang bercirikan celana sempit baju ketat. Bersamaan dengan pengacak-acakan pendidikan agama Islam, kaum neo-komunisme dan neo-PKI berusaha pula memutihkan diri mereka dari kejahatan kejam dan brutal di masa lalu. Mereka mencoba membalikkan seolah PKI adalah korban pembantaian. Padahal, PKI adalah pelaku pembantaian 1948 (pemberontakan Madiun) dan pelaku pembantaian 1965 (pemberontakan G30S/PKI). Jadi, rakyat harus terus waspada. Umat Islam, khususnya, tidak boleh lengah. Cara-cara kaum neo-komunisme dan neo-PKI tidak akan pernah berhenti. Umat tidak punya banyak waktu. Apalagi, musuh-musuh lain juga terus mengincar setiap hari. Ada bahaya Narkoba yang sebagian besar korbannya adalah generasi muda Islam. Ada pula sejumlah ajaran sesat dalam bentuk Syiah dan ajaran liberal. Ada juga proses pemiskinan dan pembodohan umat yang kelihatannya bersinergi dengan kaum neo-komunis dan neo-PKI.[] Penulisadalah Wartawan Senior FNN.co.id
IN MEMORIAM, Jakob Oetama, Presiden Indonesia Mini - 1
by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Minggu (27/09). Hari ini, Minggu 27 September 2020, seharusnya Jakob Oetama merayakan ulang tahunnya yang ke 89 tàhun. Namun dia harus menerima takdir Tuhan Yang Maha Esa. Pak JO, meninggal sebelum sempat merayakan hari jadinya. Beliau wafat Hari Rabu 9 September 2020 di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta pukul 13.05 WIB. Pada pagi harinya, saya mendapat informasi dari seorang sahabat yang masih bekerja di Grup Usaha Kompas Gramedia. "Pa JO kritis, sudah dengar kang ?," demikian isi WA dari sahabat saya tersebut. Kemudian beberapa jam kemudian saya dikabari bahwa Pendiri Kompas Gramedia tersebut wafat. Saya segera berkirim ucapan bela sungkawa kepada Irwan Oetama, anak pertama Pa JO. Saya justru kenal lebih dekat dengan Pak Irwan karena kebetulan memiliki hoby yang sama yakni sepedaan. Saya kerap melihat sosok Pa JO pada pribadi Pa Irwan, terutama dalam hal kebaikannya. Sifat dasarnya selalu ingin menyenangkan semua orang sehingga tidak heran kalau teman-teman Pa Irwan sangat banyak walaupun mungkin ada satu dua orang yang berusaha memanfaatkannya. Demikian pula Pa JO, dikenal sekaligus disegani banyak orang dan termasuk orang yang ringan tangan. Misalnya, ketika ada mantan wartawan Kompas yang mengirim lukisan kepadanya, Pa JO seolah paham dengan kode tersebut dan segera mengirim sejumlah uang ke sang wartawan tersebut. Juga banyak cerita lain dari pengalaman beberapa wartawan Kompas yang sedang bertugas ke luar negeri yang secara kebetulan bertemu dengan Pa JO. Lalu otomatis Pa JO memberikan "uang jajan". Tidak hanya itu, sejumlah penulis muda Kompas juga ada yang pernah mendapat biaya sekolah ke luar negeri. Dalam suatu rapat pagi di Redaksi Kompas, Pa JO menyebut seseorang yang pernah dibantunya. Saya sendiri mendengar dari orang lain, ada bekas aktivis mahasiswa sekaligus kolumnis Kompas yang sekarang memimpin sebuah lembaga survey, pernah mendapat bantuan dari Jakob Oetama. Nampaknya Pa JO kalau sudah kagum dengan orang muda yang cerdas dan memiliki visi maka dia akan mudah memberikan bantuan pada anak muda tersebut tanpa syarat apapun. Respek dengan Jusuf Kalla Kemudian dalam percaturan politik, walaupun Pa JO bukan seorang politisi tapi adakalanya dia memberikan endorsement kepada orang tertentu untuk memimpin negeri ini. Tentu orang yang diendorse tersebut memiliki kapabilitas, kompetensi dan pengalaman serta visi untuk memajukan Indonesia. Misalnya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Pa JO terlihat senang ketika SBY berduet bersama Jusuf Kalla memimpin Indonesia pada tàhun 2004. Oleh karena itu, pada periode kedua, Pa JO sebenarnya masih menginginkan SBY berpasangan dengan JK untuk melanjutkan pembangunan. Tapi realitas politik ternyata tidak seperti yang diharapkan Pa JO. Pada periode kedua sebagai Presiden RI, Pa SBY lebih memilih berpasangan dengan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono. Kembali kepada tradisi ulang tàhun Pa JO di lingkungan Kompas, biasanya selalu dirayakan secara sederhana di Kantor Kompas Jl Palmerah Selatan Jakarta. Kalau jatuh pada hari libur seperti sekarang, maka perayaan ulang tàhun Pa JO dilaksanakan sehari kemudian di hari kerja. Yang hadir biasanya bukan hanya unsur pimpinan, karyawan dan sejumlah wartawan di lingkungan Kompas, tapi sejumlah sahabat Pa JO biasanya juga ikut merayakan ulang tàhun Pa JO di Kantor Kompas. Diantara "out sider" yang selalu hadir pada setiap ulang tàhun Pa JO adalah tokoh pertelevisian Ishadi SK dan pendidik sekaligus pakar soal etika Mien Uno. Bu Mien merasa kehilangan dengan wafatnya Pa Jakob. "Saya sangat sedih dan kehilangan dengan sosok orang yang sederhana. Pa JO merupakan sosok guru yang terus mendidik bangsa. Beliau selalu menginspirasi saya dan tidak pernah lelah memotivasi saya untuk terus menjadi pendidik," kata Bu Mien Uno. Saat berbincang dengan penulis di rumahnya yang asri dan kebetulan bertetangga dengan Pa JO di Kawasan Kebayoran Baru, Bu Mien juga mengoleksi buku-buku tentang Pa Jakob Oetama. Pada perayaan ulang tàhun Pa JO tàhun lalu, Bu Mien Uno juga menyempatkan diri untuk datang ke Kantor Kompas ikut merayakan ulang tàhun Pa JO. Walaupun Jakob Oetama dikenal sebagai wartawan, tapi Bu Mien merasa memiliki chemistry dengan beliau sebagai sesama guru. Mien Uno tidak salah karena Jakob Oetama memang mengawali karirnya pertama kali menjadi seorang guru. Namun, dia kemudian memilih jalan sebagai wartawan hingga kemudian mendirikan jaringan media terbesar, Kompas Gramedia bersama rekannya, PK Ojong. Meski demikian, Jakob Oetama lebih senang disebut sebagai wartawan ketimbang sebagai pengusaha. Masyarakat pada umumnya mengenal Jakob Oetama sebagai pribadi yang santun dan bersahaja. Dalam suatu kesempatan rapat redaksi Kompas pagi, Pa JO pernah bercerita sepintas tentang pengalamannya menjadi guru sejarah di kawasan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. "Waktu itu, saya sering naik sepeda kalau ngajar sejarah," kata Pa JO singkat. Saya yang waktu itu kebetulan ikut rapat pagi, langsung membayangkan kontur jalan di Cipanas yang menanjak. Dalam hati saya hanya bisa bergumam, ternyata masa mudanya Pa JO ini cukup tangguh juga fisiknya. Dalam hal menjaga kesehatan, Pa JO memang sangat disiplin. Di saat masih sehat, dia termasuk salah satu orang yang rutin menjalani joging di Kawasan Gelora Bung Karno (GBK). Salah satu teman joggingnya adalah mantan Menkeu alamarhum Mar'ie Muhammad. Pernah pada tàhun 2009, Harian Kompas menyelenggarakan acara Fun Bike. Sebagai Ketua Panitia, waktu itu saya memang meminta Pa JO melalui sekretarisnya Mbak Ety, untuk datang membuka acara goes yang pertamakali diadakan tersebut. Namun sebenarnya saya tidak terlalu berharap Pa Jakob datang karena acaranya pagi jam 6. Namun pada saat pelaksanaannya, Pa JO ternyata datang lebih awal bahkan bersedia menunggu beberapa saat. Kejutan Hadiah Pa JO Momen ulang tàhun Pa JO juga sering ditunggu-tunggu para wartawan dan karyawan Kompas karena disana ada harapan mendapat hadiah kejutan dari Pa JO berupa tambahan gaji sebulan penuh. Namun, uang kejutan itu biasanya diberikan pada hari ulang tàhun Pa JO di angka-angka yang genap. Misalnya ulang tàhun ke 80 atau 85. Bahkan hadiah kejutan tersebut tidak hanya diberikan kepada seluruh wartawan dan karyawan Kompas tetapi juga diberikan kepada seluruh karyawan Kompas Gramedia. Sifat altruistik yang dipunyai Pa JO tersebut juga tercermin pada salah satu putranya, Irwan Oetama. Setiap buka puasa menjelang Lebaran, beliau kerap mengundang teman-temannya yang punya hoby sama di dunia sepedaan. Lalu dibuat acara di tempat khusus dengan mengundang da'i yang memberikan ceramah menjalang buka puasa. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemberian santunan kepada anak-anak yatim yang juga diundang secara khusus ke acara tersebut. Kebiasaan berbagi dengan orang lain adalah warisan nilai kehidulan dari Pa JO yang sangat berharga disamping pemikiran dan idei-denya soal kebangsaan dan kemanusiaan. Nilai-nilai kehidupan yang diwariskan Pa JO menjadi relevan di zaman seperti sekarang ketika masyarakat dan para pemimpin serta elite politik kita sedang berada di persimpangan jalan. Pa Jakob sendiri menurut saya adalah pribadi yang selalu gelisah dengan persoalan kebangsaan dan masa depan Indonesia. Dia termasuk salah satu tokoh masyarakat yang kerap diminta pendapatnya oleh para elite politik khususnya para pemimpin di negeri ini. Meski begitu, JO termasuk sosok yang rendah hati, santun dan bijaksana. Pasca tumbangnya Orde Baru tàhun 1998 terutama setiap menjelang Pemilu terutama Pilpres, setiap elite politik yang akan berkompetisi dalam Pemilu senantiasa sowan ke Pa JO, bersilaturahmi sekaligus bertukar pikiran dan gagasan untuk Indonesia yang lebih baik. Begitulah Pa JO, dia mampu berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Serta bisa merangkul semua kalangan yang berbeda latar belakang agama dan budaya. Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan Pa JO selalu mengibaratkan lingkungan Kompas termasuk di dalamnya Grup Usaha Kompas Gramedia seperti Indonesia Mini. Dia selalu berpesan kepada para pimpinan dan para karyawan di lingkungan Kompas Gramedia agar bisa menjaga keberagaman dan kebhinekaan. Sebagai pendiri Kompas Gramedia bersama PK Ojong, tentu tidak mudah untuk bisa mewujudkan Indonesia Mini. Apalagi jika melihat sejarahnya, Kompas didirikan tàhun 1965 oleh Partai Katolik dengan Ketuanya Frans Seda. Namun dalam perjalanannya, Kompas mampu timbuh dan berkembang dengan menitikberatkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Rasanya tidak berlebihan kalau Jakob Oetama saya juluki sebagai Presiden Indonesia Mini. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id & Mantan Wartawan Kompas 1990-2016.
Kasihan Pak Prabowo, “Macan Yang Menjadi Beruang Sirkus”
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (27/09). Menteri Pertahanan (Menhan) boleh saja menjadi penting dan bergengsi. Apalagi diisi oleh eks puncak lawan politik. Cocok pula dengan latar belakang profesi sebagai mantan prajurit ketentaraan. Bahasa kerennya profesional, karena sesuai dengan keahlian. Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap, Menhan menjadi salah satu dari triumvirat yang menggantikannya. Juga tentu, terlepas dari kekecewaan para pendukung atas kesiapan Prabowo untuk menjadi menterinya Jokowi. Tetapi yang namanya jabatan, pendukung silahkan saja kecewa. Walaupun demikian, ada rasa kasihan ditinggalkan pendukung. Akan tetapi itu hak politik yang memang tidak bisa dihalangi. Toh segala risikonya sudah dikalkulasi. Apalagi Prabowo dengan surat wasiat yang terbang, dan gebrak-gebrak podium, yang tinggal hanya kenangan seperti macan yang sudah terkurung dalam kandang. Macan yang sudah terkurung di dalam kandang, andai mengaum pun, sekadar lucu-lucuan saja untuk membuat anak-anak tertawa. Sebab tidak juga bisa bebuat apa-apa. Kesangarannya sebagai macan hanya tinggal kenangan. Bahkan bisa menjadi catatan dan tontonan lucu-lucuan. Kini, dengan tidak bermaksud mengecilkan arti pangan bagi kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, namun ada rasa sedih dan duka yang mendalam melihat Pak Prabowo yang tadinya ibarat macan yang ditakuti, ternyata semakin menjadi macan yang dipermainkan. Bahkan berubah menjadi “Beruang Sirkus”. Beruang yang hanya mengikuti atraksi dan maunya tukang sirkus. Tersiar kabar, ada perintah Presiden agar Menhan Prabowo memperkuat ketahanan pangan. Salah satu program utama ketahanan pangan adalah menanam singkong. Akibatnya, masayarakat terpaksa harus menepuk jidat. Tanam singkong dan ketahanan pangan ini tugasnya Menhan atau Menteri Pertanian? Ada yang menjawab, “Oh tidak, pangan itu menjadi bagian penting dari benteng pertahanan lho, sehingga masih dalam ruang lingkup Menhan”. Nah, kalau begitu semua juga masuk dalam ruang lingkup, dan menjadi benteng pertahanan, termasuk urusan sandang dan pangan. Dengan demikian, nantinya Pak Prabowo juga bisa mengurus perumahan, pakaian, dan mungkin juga jalan tol dan pengolahan limbah produksi. Weleh, benar-benar menjadi anggota baru Luhut Binsar Panjaitan dong? Menteri Superman. Ada juga yang menyebut Luhut dengan Menteri Segala Urusan. Inilah kabinet "acak kadut" Menhan ngurus pertanian dan Menko Maritim urus kesehatan. Tetapi nggak aneh juga sih, karena ahli meubel juga ngurus negara ini. Lebih tidak aneh adalah tukang "taik" menjadi Komisaris Utama Pertamina. Negara memang diurus secara asal-asalan. Kasihan Pak Prabowo. Saat masyarakat memprotes rencana pemindahan ibukota, Prabowo diam saja. Reaksi ramai-ramai masyarakat soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Corona dan RUU Omnibus Law juga tak ada komentar. Nah, yang paling ironi ketika penolakan masif terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasil (RUU HIP) Prabowo "not clearly comment" dan "no action". Malah ikut "ngabring" mengantarkan RUU Badan Pembinaan Idewologi Pancasila (BPIP) ke Mbak Puan Maharani. Yang lebih tragis dan mengenaskan lagi, ketika Fraksi Partai Gerindra di Badan Legislasi (Baleg) DPR menjadi salah satu fraksi yang ikut menyetujui draf usulan agar RUU HIP diterima menjadi Hak Usul Inisiatif DPR. Fraksi DPR di Baleg yang menolak hanya PKS dan Demokrat. Sekarang betapa mandul dan tercengkeramnya Pak Menhan. Mulut yang bungkam mungkin "taktik" atau "strategi". Walaupun masyarakat, khususnya eks pendukung, hanya dapat mengurut dada. Tetapi ketika Prabowo menerima penugasan untuk tanam singkong, masyarakat terpaksa tepuk-tepuk jidat. Kata orang Sunda "kieu-kieu teuing" atau kata orang Betawi "gini-gini amat". "Dignity" itu barang mahal yang sulit untuk dilepas. Namun justru ini yang dikhawatirkan telah diserahkan demi kekuasaan. Juga demi jabatan Menhan. Hampir semua Menteri Jokowi menjadi ocehan publik. Ocehan yang menjadi goresan hitam untuk kabinet dan masa depan pribadi. Prabowo tampaknya sudah tak perlu berpikir karier politik. Kini bertekad saja untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat dengan membuat tapak. Mau menjadi Presiden dengan berlindung di bawah ketiak Pak Jokowi adalah keliru. Bagai berada di ruang tipu-tipu. Warisan dari cara dan pola curang dalam menggapai kekuasaan adalah kehinaan yang tiada akhir. Kekuasaan yang didapat dari hasil curang, hanya akan menempatkan diri menjadi musuh rakyat ke depannya. Hal ini sama saja dengan mengejar bayang-bayang kuasa yang sia-sia belaka. Kasihan memang Pak Prabowo. Macan yang berubah berprilaku menjdi “Beruang Sirkus”. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Sekulerisasi di Kampus Yes, Islamisasi No?
by Nuim Hidayat Jakarta FNN- Minggu (27/09). Ade Armando dan kawan-kawannya kini gencar melakukan sekulerisasi Kampus besar-besaran. Didahului dengan penelitian lembaga Setara terhadap radikalisme Islam di 10 PTN ternana di Indonesia tahun 2018. Hasilnya menurut mereka ada radikalisme Islam di kampus-kampus. Maka mereka -kelompok abangan dan non Muslim- ini melancarkan aksinya setelah stigma negatif terhadap kelompok Islam sukses mereka lancarkan. Di ITB mereka membentuk Gerakan Anti Radikal ITB. Salah satu gerakannya adalah mendesak agar Prof Din Syamsuddin dicopot dari keanggotaan Wali Amanat ITB. Di UGM mereka berhasil melobi rektor agar melarang Ustadz Abdul Shomad ceramah di kampus UGM. Di UI kelompok Ade Armando dan Setara lebih ganas lagi. Mereka membungkus penjegalan Islamisasi di UI dengan penjegalan PKS. Mereka menyatakan bahwa PKS sejak reformasi menguasai lembaga kemahasiswaan, birokrasi penting kampus hingga penyaluran beasiswa. Akibat ini, maka Lembaga Dakwah Kampus mahasiswa UI dipindahkan sekretariatnya dari masjid UI ke Pusat Kegiatan Mahasiswa. Aneh memang. Kalau Rasulullah menyuruh agar mahasiswa dekat sama masjid, kelompok Ade malah membujuk UI agar mahasiswa jauh dari masjid. Mereka kini puas karena langkah mereka mendapat dukungan dari petinggi kampus. Bahkan mungkin mereka dapat aliran dana besar dari pemerintah, karena program radikalisme mereka sejalan dengan pemerintah. Upaya penghadangan Islamisasi di kampus (juga di masyarakat) dengan kedok radikalisme mengingatkan kita pada kondisi Orba tahun 80an. Atau kondisi Orla ketika Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin. Kini umat Islam mesti hati-hati. Berapa banyak ustadz yang hanya salah omong, videonya menjadi bukti untuk memasukkannya di hotel prodeo. Sementara kelompok mereka meski melanggar hukum dan sudah dilaporkan ke polisi, tidak diapa-apakan. Tapi jangan kuatir. Islam ibarat air. Meski dibendung dengan berbagai cara -batu atau beton sekalipun- ia akan sanggup cari jalan keluar. Arus Islam itu akan makin membesar dan menjebol beton itu. Islam adalah fitrah manusia. Sekulerisme yang terbukti gagal dalam sejarah di dunia Islam, adalah jalan menyimpang dari fitrah manusia. Mahasiswa atau dosen-dosen di kampus negeri tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat yang dibuat Ade cs. Dunia virtual menyambungkan mereka dengan saudara-saudaranya dari seluruh tanah air bahkan dunia. Teruslah bergerak wahai saudaraku. Meski lawan terus menghadangmu. Ujian ini saya yakin justru akan memperkuat jiwamu untuk terus berdakwah menyebarkan Islam (Islamisasi). Langkah-langkah yang dibuat Ade cs hanyalah kerikil yang tidak akan membahayakan kakimu. Ade bukanlah Muslim yang baik. Bahkan saya sendiri pernah menyaksikan dalam sebuah acara di Hotel Jakarta, Ade tidak melaksanakan Sholat Ashar dan Maghrib. Dalam Islam, orang yang tidak melaksanakan prinsip-prinsip Islam jangan dipercaya... Penulis adalah Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok.
PBSI Versus Istana Berebut Posisi Ketua Umum
by Rahmi Aries Nova Jakarta FNN – Ahad (27/09). Bursa Ketua Umum Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) mulai memanas. Beberapa pihak mulai memunculkan nama yang akan digadang menjadi kandidat pengganti Wiranto yang masa jabatannya berakhir Oktober ini. Perlu Ketua Umum baru untuk memimpin PBSI hingga 2024 mendatang. Menurut informasi yang didapat, pihak Istana menginginkan Kepala Staf Kepresiden, Moeldoko yang mengambil alih tongkat estafet dari Wiranto. Indikasinya sejumlah mantan atlet asal Klub Djarum Kudus sudah menghadap dan meminta kesediaan mantan Panglima TNI tersebut sejak awal September lalu. Bahkan kabarnya, Istana juga melarang Kapolri Idham Aziz ikut untuk bersaing di bursa Ketua Umum PBSI. Padahal yang bersangkutan dikenal mencintai bulutangkis. Idham Azis adalah pecinta dan pemain bulutangkis sampai sekarang. Setiap minggu, dua sampai tiga kali Idham Azis bermain bulutangkis. Tapi, tentu saja, PBSI bukan hanya milik Djarum, sehingga mutalak-mutlakan Djarum yang menetukan siapa yang layak menjadi Ketua Umum PDSI. Meski tidak dapat dipungkiri kontribusinya sebagai klub dan perusahaan bagi bulutangkis Indonesia sangat besar. Sebaliknya, beberapa pihak justru ingin PBSI bisa melepaskan diri dari ketergantungan kepada Djarum. Istilah halusnya mandiri, seperti di era sebelum kepemimpinan Gita Wirjawan dulu. Kelompok yang ingin mandiri ini, tampaknya dimotori Ketua Harian PP PBSI yang juga Ketua Pengurus Provinsi (Pengrov) PBSI DKI Jakarta, Alex Tirta. Alex mengklaim sebanyak 26 Pengprov PBSI, dari 34 Pengprov yang punya hak suara justru mendukung Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Agung Firman Sampurna sebagai Ketua Umum PBSI yang menggantikan Wiranto untuk priode 2020-2024. Alex menjelaskan, sesuai aturan organisasi yang tertuang di AD/ART, Ketua Umum PBSI dipilih oleh Pengprov. "Ini murni aturan organisasi yang sudah ada sejak dahulu," katanya. Sebaiknya ikuti saja aturan yang sudah baku. Jangan sampai dirubah-rubah lagi. Menurut Alex, para pengurus Pengprov mengaku membutuhkan sosok yang kuat untuk meneruskan kepemimpinan Wiranto yang sudah membuahkan prestasi. Juga untuk menertibkan masalah pencurian umur dan membuat perbaikan di internal, terutama dalam pembibitan pemain muda. Dibutuhkan Ketua Umum yang menciptakan keadilan dalam persaingan untuk menjadi pemain nasional. "Kami melihat ada kesinambungan, jika tongkat kepemimpinan dari Pak Wiranto, antinya diteruskan kepada Pak Agung Firman. Sejauh ini sudah ada 26 dari 34 Pengprov yang menyatakan dukungan secara tertulis untuk memilih Pak Agung Firman," ungkap Alex di Jakarta, Rabu (23/9). Alex pun menambahkan, Pengprov sangat berharap Agung Firman bisa membawa PBSI mandiri secara keuangan. Sosoknya sebagai ketua BPK RI dianggap pas dalam membenahi keuangan PBSI. Saat ini PBSI masih ada masalah di sektor pendanaan karena kurangnya minat sponsor. Kami berharap agar PBSI ke depan dapat mengundang perusahaan-perusahaan lain untuk ikut menjadi sponsor di PBSI. Hal ini untuk menggairahkan kegiatan bulutangkis di daerah, terutama daerah yang masih tertinggal fasilitas dan pembibitan pemain mudanya. “Diharapkan ke depan, PBSI butuh turnamen-turnamen di daerah. Untuk itu, harus ada sponsor yang membantu mendanai Pengprov dalam mewujudkan kegiatan PBSI di daerah," katanya lagi. Mampukah PBSI melawan'keinginan istana? Apakah Moeldoko akan bersaing dengan Agung Firman? Mungkinkah pemilihan Ketua Umum PBSI kali berlangsung dengan sistem voting ? Haruskah melanggar tradisi aklamasi di PBSI selama ini? Moeldoko sendiri punya pengalaman buruk saat bersaing di ajang pemilihan Ketua Umum PSSI pada 2016 lalu. Moledoko kalah bersaing dari Edy Rahmayadi yang mendapat 76 suara. Sementara Moledoko hanya kebagian 23 suara dari 107 pemilik suara. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.