Butir-Butir P-4, Cerita Untuk Anak-Cucuku (Bag-1)

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto

Jakarta FNN – Senin (04/01). Strategic Assessment. “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1, Tap MPR No.XVIII/MPR/1998).

Masa pandemi Covid-19 membuat anak-anak belajar secara virtual. Implikasinya, mereka banyak bergaul dengan internet. Anak-anak menjadi luas wawasannya dan cerdas. Banyak materi yang tidak diajarkan oleh guru mereka ketahui, baik berita-berita di dunia maya maupun televisi.

Orang tua dan eyang-eyang, banyak waktu ketemu anak dan cucu, bercerita macem-macem. Suatu saat, cucu kelas satu SMP bertanya. “Eyang,…. sekarang kok ada sikap radikal, intoleran dan tindakan semena-mena. Radikal dan intoleran itu kan jelek, ya Eyang.

Eyang kakung : “Iya. Jelek banget. Mas Abie tahu dari mana? Jangan ditiru ya”.

Cucu, Abie Putro: “Baca di internet. Seperti tidak ada dan tidak dihargainya Hak Azasi Manusia ya Eyang. Tindakan menyiksa dan membunuh seenaknya. KKN merajalela. Padahal, katanya kita punya Pancasila yang disarikan dari budi luhur bangsa? Tapi kok begini? Gimana nih Eyang?”

Suka tidak suka, pertanyaan inilah yang mendorong saya menulis artikel ini. Artikel pertama di tahun 2021. Cerita untuk anak dan cucu, generasi yang buta masa lalu. Tentu saya akan cerita sejarah masa lalu. Cerita bagaimana PKI ingin mengganti Pancasila dengan komunisme. Pemberontakan PKI Madiun 1948 dan G.30.S/PKI 1965 bukti yang berbicara.

Orde Baru (Orba) berusaha agar Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia bisa dihayati dan diamalkan untuk menjaga kelestarian dan keampuhannya. Disisi lain mencegah ideologi lain meracuni pikiran rakyat Indonesia. Ideologi yang sengaja disusupkan ke Indonesia oleh asing, atau nilai-nilai asing yang dibawa orang kita yang belajar atau tinggal lama di Eropa, Amerika, Asia, Australia, Timur Tengah dan lain-lain.

Maka diterbitkanlah Tap MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), sebagai penuntun dan pegangan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara bagi setiap WNI, penyelenggara Negara, lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan. Satu hal yang penting, P-4 ini bukan tafsir Pancasila. Tidak juga tidak bermaksud menafsirkan Pancasila.

“Strategic assessment” di atas tidak bermaksud memakai Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 yang sudah memiliki sifat einmalig (final), dan telah dicabut serta selesai dilaksanakan sebagai dasar. Saya hanya ingin bilang kepada anak-anak dan cucu-cucu saya, bahwa ketika mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4, kaum reformis juga menegaskan bahwa (a). Pancasila sebagai Dasar Negara. (b). Pancasila yang dimaksud ada di dalam Pembukaan UUD 1945. (c). Pancasila harus dilaksanakan secara konsisten dalam bernegara.

Hari gini ngomong Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) emang terasa aneh. Bagaimana tidak? Barangnya udah dicabut, dan materi muatannya udah dinyatakan tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Tetapi masih berani ngomongin. Apa nggak takut mati dicap orang Orba tulen?

Emang kalau ngomong P-4, jika ketemu generasi yang sejak awal menentang, pasti adu argumentasi. Bikin kedua belah pihak kupingnya panas. Lain hal, ketemu generasi yang hidupnya bisa memahami dan mengamalkan hasil penataran P-4 atau dari belajar sendiri. Tentu akan membahagiakan. Nostalgia yang manis.

Persoalan lain jika ketemu generasi yang lahir tahun 1998, saat P-4 dicabut, berarti saat ini usia 22 tahun atau mahasiswa. Lahir setelah tahun 1998 atau saat dicabut masih orok atau anak-anak. Mereka pasti buta tentang P-4. Sebab sekolah dan media tidak membahas buku pelajaran miskin materi Pancasila atau P-4. Maka sangat mungkin terjadi pertanyaan seperti cucu saya di atas.

Karena P-4 secara politis sudah dicabut, maka 36 (tiga puluh enam) atau 45 (empat puluh lima) butir P-4 untuk saat ini tidak mungkin disosialisasikan lagi sebagai P-4. Namun, jika anak-anak dan cucu-cucuku bingung mencari pegangan hidup, eyang akan nunjukin tuh, baca saja ketiga puluh enam atau keempat puluh lima butir P-4.

Eyang tidak akan bilang, dan kalian juga tidak perlu bilang sedang membaca dan mempelajari butir-butir pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila. Sebab P-4 itu sudah dicabut. Eyang hanya bilang; jika kamu butuh pegangan hidup agar hidupmu tenang dan pengabdianmu kepada bangsa dan negara lurus, bacalah butir-butir tersebut sebagai ‘petuah’ atau ‘tuntunan’ dan laksanakan.

Eyang berpendapat, dalam bahasa Jawanya, butir-butir itu sebagai “Pitutur kanggo lakuning urip” . Dalam bahasa Indonesia “Petuah untuk jalannya hidup”. Kalian mau nambahi sesuai dengan norma budaya yang hidup di masyarakat dan belum tercantum di dalam butir-butir tersebut, ya tidak masalah. Silakan saja.

Bila anak-anak dan cucu-cucuku paham dan melaksanakannya, apakah nantinya sebagai pejabat atau bukan, niscaya kalian akan menjadi sosok yang berperilaku baik. Jika kalian menjadi pejabat, tentu tidak akan KKN karena kalian memegang kejujuran dan keadilan. Kalian menjadi orang yang tidak sombong dan tidak semena-mena walau sedang berkuasa.

Mengamalkan pitutur tersebut, kalian akan menghormati dan saling mencintai sesama manusia tanpa memandang status sosial. Kalian akan jauh dari perilaku kejam, sadis, seenaknya menyiksa, membunuh, radikal dan intoleran. Kalian akan menyukai segala sesuatu untuk dikomunikasikan dan dimusyawarahkan demi persatuan.

Anak-anakku dan cucu-cuku, bila ingin tahu seperti apa "pitutur" tersebut, kalian bisa baca di artikel lanjutan, “Butir-Butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Cerita Untuk Anak dan Cucuku ke-2”. Selamat membaca, berkontemplasi, berpikir, bekerja dan berkarya untuk bangsa dan negara. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat dan hidayah kepada kalian. Insya Allah, Aamiin.

Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

460

Related Post