Kemewahan Terakhir Rakyat

by Tamsil Linrung

Jakarta FNN – Jum’at (01/01). Demokrasi, dengan berbagai instrumen yang melekat di dalamnya adalah kemewahan tunggal. Juga kemewahan terakhir yang dimiliki oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia. Demokrasi tak melihat stratifikasi dan kelas ekonomi.

Pandangan politik, juga tak bisa jadi argumentasi untuk menegasi hak-hak berdemokrasi. Bahkan, dalam pergumulan dan dinamika politik itulah, demokrasi dituntut merefleksikan nilai dan esensi.

Demokrasi adalah satu-satunya mahkota yang secara sah diwariskan, dan bebas digunakan oleh setiap anak bangsa yang telah merdeka ini. Terdistribusi merata. Tidak timpang, seperti terjadi di sektor ekonomi akibat kegagalan kebijakan. Semua punya hak yang sama atas demokrasi.

Tak ada yang bisa mengklaim sebagai pemilik tunggal. Apalagi merasa paling otoritatif mengangkangi demokrasi. Bahkan kekuasaan itu sendiri, harus taat dan tunduk pada rambu-rambu demokrasi. Bila ada unsur di dalam suatu negara hukum yang merasa paling punya kewenangan menafsir dan menghegemoni demokrasi, maka pada saat itu demokrasi kita sesungguhnya sudah roboh.

Demokrasi tidak memberikan pedang kepada pranata kekuasaan untuk mengamputasi kelompok, atau organisasi yang secara sepihak ditafsir “berbahaya”. Ada proses pengadilan yang harus ditempuh. Ada rambu-rambu hukum yang jelas mengatur.

Penggunaan kekuasaan dengan serampangan, justru amat berbahaya bagi bangsa ini ke depan. Siapapun, jadi punya argumentasi untuk membubarkan kelompok-kelompok yang secara subyektif divonis berbahaya. Kita akan disibukkan saling melabeli. Ini tidak sehat.

Semestinya, nafas demokrasi bergemuruh dengan dialog. Demokrasi Pancasila, mengajak kita duduk bersama. Menuntun bermufakat dalam hal-hal yang kita sepakati. Bertoleransi dalam silang pendapat. Bukan malah menggebuk mereka yang tidak sepakat.

Lagipula, sikap over protective justru mencerminkan rasa rendah diri. Negara jangan dijebak seolah mengidap inferiority complex. Gamang atas keyakinan sendiri. Tidak percaya, bahwa ideologi yang dianut jauh lebih baik dibanding ideologi yang dilabeli “berbahaya”. Kalau sudah seperti ini, lantas siapa sebetulnya yang secara praktik memosisikan negara, bangsa, dan ideologinya lemah?

Terus terang, kita merasa cemas. Kebatinan kita sebagai anak bangsa terganggu. Ketika anasir-anasir yang mendegradasi demokrasi terus difestivalisasi. Diglorifikasi sebagai kemenangan atas sebuah perang akbar. Lalu disambut dengan sorak sorai semu dari para buzzer politik. Tanpa punya pijakan aspirasi yang lahir dari kesadaran.

Partai politik koalisi tambun, seharusnya lebih dari cukup sebagai modal membangun rasa percaya diri. Modal politik itu, mestinya mampu menopang konfidensi. Tak resah. Apalagi sampai terus meniupkan propaganda bahwa bangsa terancam karena dengung vokal kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam beraspirasi.

Ancaman laten yang sesungguhya mendera bangsa ini adalah kemiskinan, ketimpangan ekonomi antar kelas yang parah, dan krisis multi dimensi akibat kegagalan menangani pandemi Covid-19. Mempersempit ruang kebebasan sipil, apalagi ada wacana mengaktivasi patroli siber. Justru kian jauh menyeret bangsa ini ke periode gelap otoritarianisme yang telah kita kubur di masa lalu.

Jalan mundur kehidupan demokrasi bangsa Indonesia bukan sebatas isu. Tapi telah jadi fakta empirik. Disoroti berbagai lembaga global pemerhati demokrasi. The Economist Intelligence Unit’s Democracy Index yang dirilis Januari 2020 misalnya, menempatkan demokrasi Indonesia di urutan 64 dari 167 negara yang diteliti. Bandingkan dengan negeri jiran, Malaysia yang kerap disebut-sebut “belajar berdemokrasi” dari kita, situasinya justru lebih baik. Jauh di atas Indonesia, yaitu di posisi 43.

Indeks demokrasi EIU itu, tidak asal-asalan disusun. Namun mengacu pada 60 indikator yang kemudian dikluster ke dalam lima isu utama. Termasuk tingkat partisipasi dalam politik. Yang dalam beberapa studi empiris, ditemukan, jika partisipasi dan pilihan politik masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau melek politik, serta kondisi ekonomi.

Artinya, indeks demokrasi tersebut, merefleksikan situasi kehidupan masyarakat di bawah. Penilaian The Economist itu, melengkapi berbagai alat ukur terhadap progres atau langkah suatu bangsa. Termasuk Human Development Index yang secara reguler dirilis oleh United Nations Development Programme. Indeks Pembangunan Manusia dari PBB.

Yang sama mencemaskan, rendahnya mutu demokrasi dan pembangunan bangsa Indonesia yang disajikan tersebut, terjadi sebelum krisis multidimensi terjadi. Sementara pandemi Covid-19, telah mengoyak tatanan kehidupan bangsa. Artinya, bila ada studi baru yang menyigi kehidupan kebangsaan kita hari ini, hampir bisa dipastikan semua indikator mendapatkan nilai merah.

Kembali ke soal isu demokrasi, HAM dan kebebasan. Pandemi Covid-19 betul-betul dimanfaatkan untuk memuluskan berbagai agenda, yang dalam situasi normal sulit diimplementasikan. Covid-19 seolah dianggap sebagai alat legitimasi. Paling baru adalah UU Omnibus Law yang disahkan atas nama investasi dan pemulihan krisis ekonomi.

RUU Omnibus Law itu, kita saksikan mendapat badai protes yang bergelombang. Berbagai elemen masyarakat tumpah ruah di jalan. Menuntut penolakan dan pembatalan. Namun aspirasi yang mestinya diserap dalam proses legislasi negara demokrasi yang sehat, justru dikesampingkan. Ada apa ini?

Yang menyedihkan, gelombang aspirasi itu bahkan memakan banyak tumbal. Menurut Amnesty Internasional Indonesia, 402 orang jadi korban kekerasan aparat dalam demo penolakan UU Omnibus Law.

Ini persis yang diingatkan oleh Harvard University. Sebuah artikel yang terbit di laman resmi kampus terkemuka itu menyebut, pemerintahan otoriter di berbagai negara, yang hampir bisa dipastikan secara ekonomi disetir oleh oligarki dan konglomerasi, tampak terburu-buru mengesahkan banyak aturan. Aji mumpung. Selagi perhatian rakyatnya tersedot ke persoalan Covid-19.

Situasi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari satu tahun ini saja, telah jauh mendegradasi kehidupan bangsa ini. Indonesia, seperti nada khawatir yang ditulis oleh Harvard University terhadap praktik otoriter di tengah-tengah bencana, ditengarai akan mengalami kehidupan demokrasi yang berbeda yakni semakin jauh dari harapan setelah pasca Covid-19.

Dengan kata lain, Indonesia semakin dekat dengan apa yang disebut oleh The Economist sebagai hybrid regime. Rezim hibrida. Dimana penguasa menganut politik campuran sebagai akibat dari transisi yang tidak selesai dari rezim otoriter ke rezim demokratis.

Rezim hibrida menggabungkan fitur-fitur otokrasi berdasarkan kekuasaan otoritarian dengan fitur demokrasi. Anasir-anasir demokrasi tampak digunakan. Namun justru untuk melanggengkan praktik otokrasi. Misalnya memakai stempel legislatif untuk mengesahkan UU, meski ditolak oleh rakyat.

Dalam bahasa lain, hal ini merupakan refleksi menguatnya oligarki. Ruling oligarchy. Seperti istilah yang diintrodusir oleh Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University, Amerika Serikat.

Penulis adalah Senator Dewan Perwakilan Daerah.

529

Related Post