Omong Kosong Dwi Fungsi ABRI Rebound

by Haris Rusly Moti/Eksponen Mahasiswa 1998 Yohyakarta

“…Revisi UU TNI Tidak Menyalahi Semangat Reformasi karena Hanya Mengatur Penugasan TNI di Wilayah Jabatan Operasional Profesional Kementerian/Lembaga…”

Pertama, pada prinsipnya kami tetap menghormati partisipasi publik dalam mengkritisi dan memberi masukan untuk menyempurnakan revisi UU TNI dan Polri. Sikap kritis ini mesti diletakan dalam pijakan dan arah yang sejalan dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan 1945, Pancasila dan UUD 1945.

Kedua, saya menilai salah satu ciri supremasi sipil yang tampak di depan dengkul dan jidat kita adalah ketika revisi UU TNI dilakukan oleh lembaga tinggi negara DPR. Padahal merupakan representasi kehendak masyarakat sipil. Anggota DPR-nya berasal dari banyak Parpol dan Parpol adalah organisasi politik masyarakat sipil.

TNI hari ini tidak lagi mempunyai fungsi sosial dan politik. TNI tidak lagi mempunyai kewenangan untuk terlibat langsung dalam membuat peraturan yang mengatur dirinya sendiri. Seperti yang terjadi di era Orde Baru dulu. TNI hanya dimintai masukan sebagai bahan pertimbangan terkait revisi dengan UU yang mengatur dirinya. TNI sekarang hanya menjadi pelaksana dari UU yang dibuat dan diputuskan oleh lembaga tinggi negara seperti DPR. Hanya itu saja. Tidak lebih dari itu.

Sepanjang era reformasi, TNI membuktikan dirinya tunduk pada keputusan lembaga negara yang dikendalikan oleh politis sipil. Kenyataan itu menunjukan bahwa supremasi sipil bahkan tampak nyata di depan jidat dan dengkul kita. Dibuktikan ketika sedang berlangsung revisi UU TNI.

Ketiga, jika kita perhatikan, berbeda dengan era Orde Baru. Melalui peran Sosial Politik (Sospol) ABRI, ada jabatan Kasospol ABRI dan Fraksi ABRI di DPR dan MPR. Ketika itu disebut Dwi Fungsi ABRI lantaran selain berfungsi sebagai institusi pertahanan negara. ABRI juga berfungsi sebagai kekuatan sosial dan politik. Menjadi dinamisator dan stabilisator politik

ABRI menjadi konduktor dan terlibat langsung membuat keputusan politik kenegaraan di lembaga tinggi dan tertinggi negar. Termasuk keputusan yang mengatur tugas pokok dan fungsi ABRI. Begitulah era supremasi militer. Dimana kekuatan sipil tunduk diatur secara sosial dan politik oleh militer. Sementara saat ini ada Pilkada, Pilpres dan Pileg langsung. Dimana institusi sipil seperti Parpol yang memainkan peran sentral.

Keempat, jadi menurut barisan gagal paham dan salah kaprah, jika revisi UU TNI ini dikaitkan dengan Dwi Fungsi ABRI rebound. Padahal revisi UU TNI sama sekali tidak bertentangan dengan semangat reformasi. Tidak juga mengembalikan peran Sospol TNI. Omong kosong tuduhan militerisme rebound yang hari ini distempel ke dalam naskah revisi UU TNI.

Oleh karena itu, mereka yang mengobarkan ketakutan dan trauma terkait ancaman militerisme atau Dwi Fungsi rebound tidak memiliki alas teori yang kuat. Persis sibolang yang ngelantur di siang bolong. Barisan dan gerombolan menghayal ditkom saja.

Kelima, jika kita perhatikan revisi UU TNI, maka hanya mengatur terkait penugasan perwira TNI di wilayah operasional kementerian dan lembaga negara. Banyak institusi  negara, khususnya kementerian dan lembaga yang membutuhkan profesionalitas dan keahlian khusus perwira TNI. Untuk itu harus dibuat undang-undangnya.

Penugasan itu justru mengikuti semangat meritokrasi di tubuh TNI. Prajurit TNI  yang ditugaskan adalah perwira profesional yang mempunyai kapasitas dan keahlian yang dibutuhkan oleh kementerian dan lembaga. Perlu dicatat perwira-perwira TNI tersebut disekolahkan dengan biaya oleh negara. Mestinya negara dapat memaksimalkan keahlian mereka untuk terlibat memajukan kesejahteraan rakyat.

Perlu juga diperhatikan jabatan-jabatan operasional di kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh perwira TNI. Tidak mutlak juga diisi oleh perwira TNI. Semua sangat tergantung pimpinan yang menggunakannya. Apakah dari TNI, Polri atau sipil, yang kewenangan pengangkatannya ada pada pimpinan yang menggunaknnya.

Malah ketika menugaskan prajurit TNI di wilayah operasional atau penugasan pada kementerian dan lembaga tersebut juga dilakukan oleh lembaga negara non militer. Artinya tetap dalam pengawasan institusi sipil. Lalu ditemukan dimana anggapan Dwi Fungsi TNI yang dibilang mau rebound lagi itu?

Kelima, jika diperhatikan sebelum dilakukan revisi UU TNI, banyal perwira TNI sudah sering kali ditugaskan di jabatan prifesional operasional kementerian dan Lembaga. Tujuannya untuk membantu pelaksanaan program pembangunanan. Untuk itu, sekarang sisiapkan payung peraturan perundang-undangannya.

Sebagai contoh disaat pandemi Covid, Letnan Jendral TNI Doni Monardo (almarhum) yang saat itu menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ditunjuk jadi Kepala Satgas Covid. Jenderal Doni adalah tentara aktif yang memimpin dan menggerakan seluruh jajaran TNI dan Polri dalam penangan Covid.

Seluruh rakyat negeri ini diperintah Jendral Doni Monardo untuk mengunci diri di dalam rumah. Bikin kegiatan dan pekerjaan kantor dikerjakan dari rumah. Hanya prajurit TNI, Polri dan petugas kesehatan yang ditugaskan menantang maut. Kalau melihat itu baik kalau pakai mata dan hati. Jangan hanya pakai dengkul dan jidat saja.

Jenderal Doni Monardo diangkat dan tunduk pada keputusan Presiden RI, yang pejabat sipil. Revisi UU TNI dilakukan agar penempatan perwira TNI yang dibutuhkan kapasitas dan keahliannya, terutama yang terkait dengan pertahanan negara, mempunyai landasan hokum. Tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Publik patut menudukung pengisian jabatan profesional dan operasional di kementerian dan lembaga oleh perwira profesional TNI.

Keenam, kita memaklumi penyakit bawaan aktivis LSM yang cara berpikirnya cenderung dikotomis. Parsial dalam melihat tata kelola negara. Padahal negara itu sebuah sistem yang berdiri di atas banyak aspek dan unsur. Aada banyak sekali elemen yang saling menopang secara kompatibel antara satu dengan yang lainya. Mestinya kita mulai belajar mempertimbangkan multi aspek.

Selain persoalan demokrasi dan hak-hak masyarakat sipil, ada aspek pertahanan dan keamanan negara yang juga perlu untuk dipertimbangkan. Pertahanan dan keamanan negara sangat berperan menopang sebuah negara dapat bertahan. Jadi patut untuk menjadi pertimbangan dalam mengkritisi tata kelola negara.

Revolusi digital mengajarkan pada kita apa yang disebut sebagai kolaborasi. Kita butuh kolaborasi sipil dan militer. Prilaku dikotomisasi, bahkan otonomisasi yang dibangga-banggakan selam ini sudah gagal dan kehilangan relevansinya. Kita butuh adanya kolaborasi, integrasi dan kosentrasi dari dan oleh semua kekuatan bangsa.

Kolaborasi, integrasi dan konsentrasi dibutuhkan untuk mewujudkan sebuah gagasan Bersama. Gagasan untuk membangun Indonesia menjadi negara maju. Negara yang tidak lagi terus-menerus menjadi bangsa inlander. Negara yang dicucuk hidungnya persis kebo oleh Lembaga-lembaga donor asing.

Go ahed revisi UU TNI. Lanjut terus, dan jangan pernah berhenti. Publik pasti mendukung revisi UU TNI yang menempatkan perwira TNI di jabatan profesional dan operasional kementerian dan Lembaga, karena tidak mengancam supremasi sipil. Tidak juga bertentangan demokrasi dan semangat reformasi.

85

Related Post