Presiden Segera Non Aktifkan Kapolda Metro Jaya

by M. Rizal Fadillah

Bandung FNN – Senin (11/01). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah merilis hasil kerja penyelidikan tewasnya 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang dikenal dengan “Tragedi Penembakan kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek).

Komnas HAM merekomendasi empat hal, yaitu soal pelanggaran HAM dan proses peradilan, penegakan hukum orang yang berada di dua mobil avansa yang bukan dari petugas Polda Metro Jaya, pengusutan senjata api, serta penegakan hukum yang akuntabel, obyektif dan transparan. Hasil kerja dan rekomendasi Komnas HAM disampaikan kepada Presiden untuk ditindaklanjuti.

Presiden kini memegang bola panas itu. Rakyat menunggu sikap politik dan kepatuhan Presiden kepada hukum. Apalagi Presiden berulang-kali menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu, Presidem segera berpidato untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

Gunakan segala fasilitas yang disediakan oleh negara. Pakai itu podium dan mimbar di Istana Negara untuk berbicara kepada rakyat negeri ini. Bicara untuk didengar oleh masyarakat dan komunis pegiat HAM di muka bumi ini. Bicara, apresiasi dan tindak lanjuti itu hasil kerja Komnas HAM.

Meski dengan kesadaran bahwa masih banyak pihak yang kecewa atas kerja Komnas HAM tersebut. Namun sekurangnya masih ada tiga pertanyaan krusial dan keingintahuan publik berkenaan dengan temuan Komnas HAM yang butuh penyelidikan lebih lanjut tersebut.

Pertama, benarkah terjadi tembak-menembak sebelum sampai di kilometer 50 tol Japek? Atau baru terjadi tembak-menembak baru terjadi persis di kilometer 50 tol Japek seperti keterangan warga kepada wartawan FNN.co.id Edy Mulyadi? Pertanyaan ini penting mengingat sampai dengan rilis Komnas HAM itu disampaikan kepada masyarakat, tidak ada keterangan atau penjelasan sedikitpun "goresan" pada para petugas yang juga ditembak itu?

Apakah kemungkinan dua anggota Laskar FPI yang sudah meninggal lebih dulu itu ditembak secara sepihak oleh "petugas misterius" dari dua mobil Avanza yang ikut membuntuti rombongan keluarga Habib Rizieq Shihab (HRS) sejak dari sentul? Sebab Komnas HAM dengan sangat jelas telah merekomendasi penegakan hukum kepada mereka-mereka di dua mobil Avanza tersebut.

Kedua, mengusut senjata api rakitan. Apakah benar senjata rakitan tersebut adalah milik anggota Laskar FPI? Ataukah juga milik petugas yang kemudian dinyatakan seolah-olah merupakan milik anggota Laskar sehingga tersimpulkan terjadi "tembak-menembak" tersebut? Apalagi FPI telah menyatakan bahwa tidak ada anggotanya yang dibekali dengan senjata api atau senjata tajam lainnya.

Pengusutan atas kepemilikan senjata rakitan ini menjadi penting mengingat adanya perubahan pada keterangan Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Dr. Fadil Imron. Semula ketika memberikan keterangan dengan didampingi Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurrachman, Kapolda Mtero Jaya menyatakan pistol tersebut asli jenis revolver. Kemudian pernyataan itu berubah menjadi hanya pistol rakitan.

Ketiga, kesimpulan tidak ada penyiksaan perlu dilakun pendalaman oleh tim forensik yang independen dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Bukan tim forensik dari Rumah Sakit Polri mengingat adalanya jenazah yang lebam-lebam. Terjadi pembengkakan organ pada jenazah, serta melepuh dan mengelupas.

Benarkah jenazah yang lebam-lebam, pembengkakan organ tubuh, melupuh dan mengelupas tersebut, semua hanya efek dari penembakan atau kolestrol? Sebab jarak waktu antara penembakan dengan otopsi, serta pemulasaraan jenazah relatif pendek. Perlu pendalaman yang lebih terperinci lagi.

Keempat, atas rekomendasi bahwa terjadi pelanggaran HAM, maka harus ditindaklanjuti pada tingkat pengadilan. Dengan sendirinya petugas kepolisian akan segera menjadi tersangka. Kemungkinan sebagai atasan, Kapolda Metro Jaya Fadil Imron juga akan menjadi terperiksa.

Demi berlanjutnya kasus "pelanggaran HAM" ini, maka dua hal menjadi mutlak adanya. Pertama, segera non aktifkan Kapolda Metro Jaya Irjan Pol. Dr. Fadil Imran. Kedua, Presiden harus segera memerintahkan Kapolri untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM tersebut.

Bila Presiden merasa tidak terkait, dan memiliki tanggung jawab besar kepada rakyat, maka segera perintahkan pula pembentukan Peradilan HAM atas peristiwa ini. Pembentukan pengadilan HAM menjadi penting, untuk menghindari keterlibatan lembaga HAM, atau bahkan Peradilan HAM internasional untuk ikut menangani kasus pelanggaran HAM kilometer 50 tol Japek ini.

Presiden jangan diam saja. Jangan pula serahkan respon Pemerintah kepada keterangan atau pidato Menkopolhukam. Karena sudah terlalu banyak blunder yang dibuat Pak Menteri ini yang suka membuat rakyat kurang percaya kepada pemerintah. Ataukah memang Pak Presiden juga merasa sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat ?

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

16375

Related Post