Menag Yaqut Bikin Blunder, Perlu Dikoreksi

by Ubedillah Badrun

Jakarta FNN – Jum’at (25/12). Secara sosiologis politik, pernyataan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas saya kira perlu dikoreksi. Bila tidak, bisa menimbulkan kekeliruan tafsir, bahkan salah paham di masyarakat. Ada dua narasi pernyataan Menag Yaqut yang perlu dikoreksi.

Pertama, pernyataan Menag Yaqut bahwa agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Bahwa agama sebagai inspirasi, itu benar. Sebab agama telah memberi inspirasi kepada banyak umat manusia di muka bumi ini untuk berubah dalam membangun peradabanya. Peradaban yang semula jahiliyah (tidak beragama) berubah kepada peradaban Ilyahiyah (bersumber dari wahyu).

Namun ketika Menag Yaqut mengatakan bahwa agama jangan dijadikan sebagai aspirasi, maka itu muncul masalah baru. Sebab Menag Yaqut telah mengabaikan fakta sosiologis politik bahwa Indonesia pada titik tertentu, demi kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia, baik kini maupun di masa depan, agama perlu menjadi sandaran penting bagi pengusaha untuk membuat keputusan.

Nilai-nilai agama justru penting disampaikan sebagai aspirasi untuk para penguasa dalam mengambil keputusan terbaik demi kemajuan masyarakat. Itulah sebabnya bermunculan partai-partai politik nasional yang berbasis pada masyarakat Islam seperti Pertai Kebangkitan Bangsa (PKB), dengan basis Nahadatul Ulama dan Partai Amanat Nasional (PAN), dengan basis Muhammadiyah.

Tidak cukup sampai di situ saja. Ada juga partai-partai politik yang berbasis pada masa, dan sekaligus pemikiran pemikiran-pemikiran substantif Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Kedua aliran pertai politik yang berbasis pada masa Islam ini, sama-sama dalam bingkai ke-Indonesiaan.

Keputusan Presiden Jokowi untuk memilih dan mengangkat Gus Yaqut Cholil Qoumas menjadi Menteri Agama, itu menjadi bukti bahwa agama sebagai aspirasi. Mengapa bukan pendeta Jacob Nahuway atau Romo Magnis Susena yang dipercaya menjadi Menteri Agama? Atau mengapa Menteri Agama bukan dari Muhammadiyah, tetapi dari Nahdatul Ulama? Karena ini soal representasi agama. Dengan demikian, itu juga soal agama sebagai aspirasi.

Kedua, pernyataan bahwa Menag Yaqut akan melindungi minoritas Syiah dan Ahmadiyah. Jika maksud untuk melindungi itu dimaknai sebagai perlindungan atas hak-hak asasi sebagai warga negara, maka itu sudah menjadi kewajiban negara. Kontitusi UUD 1945 mewajibkan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan demikian, negara wajib untuk melindungi siapapun warga negara Indonesia. Tanpa ada pengcualian.

Tetapi jika yang dimaksud Menag Yaqut adalah membatalkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang aliran sesat yang dianut oleh Syiah dan Ahmadiyah, maka pernyataan Menag Yaqut adalah keliru. Bahkan bisa dibilang sangat keliru. Sebab itu berarti Menaq Yaqut sepertinya mulai menabuh genderang perang dengan Majelis Ulama Indonesia.

Menag Yaqut nampak sepertinya tidak bisa membedakan, bahkan tidak dapat melihat posisi individu sebagai warga negara dengan segala hak-hak politiknya yang harus dilindungi di satu sisi, dan posisi otoritas ulama dalam memutuskan perkara Islam dan aliran yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pokok dalam Islam di sisi lain.

Menag Yaqut tampak kabur dan buram membedakan dua masalah ini, yaitu hak warga negara dan posisi MUI sebagai lembaga resmi negara yang menafsir aliran sesat dalam Islam. Pernyataan Menag Yaqut ini berpotensi menimbulkan kegaduhan baru. Nampak terlalu cepat Menag Yakut membuat konfrontasi. Ini akan menimbulkan persoalan baru dalam hubungan umat Islam dengan pemerintah.

Semestinya hari-hari awal awal bertugas sebagai Menag ini, Gus Yaqut menampilkan keteduhan dan kesejukan dalam kepemimpinan dulu. Misalnya, merangkul semua golongan dalam masyarakat. Baik itu yang mayoritas, maupun yang minoritas. Bukan malah menabuh genderang konfrontasi. Ada baiknya Gus Yakut erlu belajar banyak dari kegagalan Menag sebelumnya Fakhrul Rozi.

Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta.

1183

Related Post