Diskresi Menkopolhukam Ikut Menghasut Kerumunan Orang?

by Gde Siriana

Jakarta FNN – Ahad (20/12). Menarik perhatian publik ketika Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) memberikan menuding secara halus bahwa Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sebagai sumber kekisruhan. Persoalan kekisruhan yang berkaitan dengan kerumunan Habib Riziek Shihab (HRS) yang kini menjadi persolan hukum.

Tudingan langsung ini terkait diskresi Menkopolhukam yang membolehkan kerumunan orang saat penjemputan HRS di bandara Soekarno Hatta. Padahal sebelumnya pemerintahsudah mengingatkan masyarakat untuk tidak membuat kerumunan orang.

Keterusterangan Ridwa Kamil seperti puncak kekesalan Daerah kepada Pusat. Kekesalan yang sebelumnya seringkali menunjukkan inkonsistensi terkait penanganan pandemi covid 19. Satu sisi Pusat mengintruksikan Pemda untuk kerja serius dan extraordinary. Namun sisi lain, misalnya Pemerintah Pusat memaksakan Pilkada tetap berjalan meski masih pandemi.

Bagaimana mungkin Kepala Daerah (apalagi petahana) bisa fokus pada penanganan pandemi? Sebab di saat yang bersamaan petahana harus ikuti proses Pilkada minimal 3-6 bulan sebelum hari pencoblosan. Ucapan Ridwan Kamil ini mewakili Pemda lainnya yang punya pandangan sama tetapi mereka tidak berani menyampaikannya di depan publik.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tentu menghadapi situasi yang sulit untuk menyampaikan larangan kerumunan orang pada acara-acara HRS selanjutnya. Apalagi ketika Pusat yang diwakili Menkopolhukam sudah membolehkan kerumunan orang saat menjemput HRS di bandara. Tetapi setidaknyasecara administraif Anies Baswedan sudah mengenakan sanksi denda kepada HRS sebagi bentuk tanggung jawabnya secara proporsional.

Sekarang Pemda DKI dan Jawa Barat disalahkan terkait kerumunan yang dihadiri HRS. Sayangnya, alasan Menkopolhukan Mahfud MD bahwa diskresinya hanya terbatas pada kerumunan saat penjemputan HRS di bandara hingga diantar sampai petamburan. Ini bentuk diskresi yang mengundang bahaya dan menyulitkan kewenangan Pemda.

Bahwa kemudian Pemda harus bekerja keras untuk melarang terjadinya kerumunan berikutnya pasca penjemputan HRS di bandara itu bukan soal mudah. Bukan seperti halnya melakukan pekerjaaan mekanis. Akan lebih mudah bagi daerah untuk memperkuat konsistensi pusat dari pada menafsirkan batas-batas dari inkonsistensi pusat.

Seharusnya Menkopolhukam sudah menyadari kondisi kerumunan itu sebelum melakukan diskresi. Atau memang tidak mempertimbangkan psikologi massa pendukung HRS yg menganggap kerumunan lainnya pun sama derajatnya dengan kerumunan penjemputan HRS sepanjang mengikuti protokol kesehatan (prokes). Sama halnya dengan masyarakat memandang kerumunan orang pada pendaftaran Pilkada di berbagai daerah.

Jadi, bisa dipertimbangkan bahwa diskresi Menkopolhukam menjadi semacam faith accompli kepada Pemda DKI dan Jabar dalam menafsirkan diskresi Menko. Publik tentu saja kaget dengan pembelaan Menkopolhukam terkait batasan diskresinya. Sebab ini hanya mempertegas dualisme dan inkonsistensi kebijakan pemerintahan Jokowi dalam mengatasi pandemi covid 19.

Sebelumnya juga terjadi begitu. Saat tiket pesawat diskon dan promo liburan dibiarkan, meski ada tambahan pesan "ikuti prokes". Namun tetap saja ini membuat Pemda kewalahan menghadapi kerumunan massa di lokasi liburan. Juga soal Pilkada. Saat pendaftaran dibiarkan kerumunan orang, dan lagi-lagi cukup dengan pesan harus "ikuti prokes".

Alhasil Pemda pun makin berat kerjanya ketika banyak kerumunan terkait Pilkada. Bukan hanya saat pendaftaran. Tetapi juga terjadinya kerumunan kecil di kawasan pemukiman, dimana timses paslon bergerilya. Dan kerumunan kecil ini banyak tidak tersorot oleh media. Juga dilaporkan ketika petugas pilkada positif tertular. Ini pasti menambah pekerjaan Pemda dalam melakukan test dan tracing.

Kesimpulannya, setelah berbulan-bulan perilaku pemerintah seperti uraian di atas, wajar saja jika kemudian masyarakat menafsirkan kerumunan yang lain seperti di pasar, di cafe, di Pilkada, di obyek wisata, acara keagamaan, termasuk acara-acara yang dihadiri oleh HRS, diperbolehkan saja asal mengikuti aturan prokes.

Dalam situasi sudah kusut seperti ini, apakah diskresi Menkopolhukam ini dapat diperlakukan oleh penegak hukum (polisi) sama halnya seperti polisi mentersangkakan HRS dan lima orang pengurus FPI terkait kerumunan Petamburan? Juga ketika Polisi mengenakan tuduhan penghasutan aksi menentang OmnibusLaw pada Aktivis Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana?

Apakah diskresi Menkopolhukam ini juga bisa dianggap ikut mendorong dan membiarkan terjadinya kerumunan orang di Bandara? Tentunya jika para deklarator KAMI tersebut bisa dikenakan pasal penghasutan, diskresi Menkopolhukam juga bisa dianggap ikut mendorong, atau setidaknya membiarkan terjadinya kerumunan orang.

Semestinya Mahfud MD punya kewenangan untuk melarangnya. Tetapi sekali lagi, penafsiran hukum sangat dipengaruhi oleh posisi dan subyektifitas pihak yang menafsirkannya.

Penulis adalah Direktur Eksekutif INFUSS

1178

Related Post