6 Anggota FPI Yang Tewas, Martir Perubahan?

by M Rizal Fadillah

Bandung FNN – Selasa (08/12). Hampir setiap perubahan politik yang bukan berlandaskan proses demokrasi, pemilu misalnya, selalu didahului oleh adanya martir. Mereka yang gugur dalam proses perjuangan untuk perubahan dan perbaikan. Adanya martir ini membangun semangat dan solidaritas perjuangan. Juga memperkuat tuntutan agar rezim cepat turun.

Setiap penguasa biasanya selalu waspada akan adanya martir yang dapat melengserkan dirinya. Sebab penguasa harus berhadap-hadapan dengan kekuatan perlawanan yang semakin membesar dan berani. Perjuangan yang tidak lagi mengingat pada apapun resiko yang bakal dihadapi.

Pada masa orde lama, pembunuhan terhadap "Tujuh Jendral Pahlawan Revolusi" yang kemudian dikenal “Peristiwa Lubang Buaya” adalah titik kulminasi rezim Soekarno menuju kejatuhannya. Betapa besar kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan betapa berkuasanya Soekarno. Namun jatuh juga akibat dari jatuhnya martir para Jendral TNI Angkatan Darat.

Soekarno boleh hebat dan digjaya. Menyebut namanya dengan Pemimpin Besar Revolusi. Namun dengan gerakan yasng tekenal dengan sebutan G-30S/PKI, yang membunuh para Jenderal TNI Angkatan darat, menjadi sebab dan momentum perubahan ambruknya kekuasaan Soekarno. Orde Lama ambruk dan jatuh. Tujuh Pahlawan Revolusi adalah martir untuk rezim Soekarno.

Perubahan politik yang melahirkan gerakan reformasi, dan menumbangkan rezim Orde Baru ditengarai dengan penembakan mahasiswa. Empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas oleh tembakan peluru tajam. Mereka adalah Elang Maulana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka yang ditembak pada peristiwa tanggal 12 Mei 1998 ini dikenal dengan Tragedi Trisakti.

Keempat mahasiswa ini adalah martir perjuangan reformasi. Pada bulan Mei 1998 itu pula Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan sebagai Presiden. Orde Baru dengan segala kebesaran dan kedigjayaan selama 32 tahun berkuasa akhirnya tumbang.

Sementara di masa rezim Jokowi, sejak kemenangan Pemilu yang dinilai kontroversial, telah berulang kali protes terjadi. Tewasnya 6 pengunjuk rasa pada peristiwa 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu RI, baik akibat tembakan maupun penganiayaan adalah warna awal kekuasaan Jokowi Priode kedua. Selanjutnya penuh dengan kegaduhan.

Aksi unjuk rasa berulang kali terjadi untuk menentang revisi UU KPK, RUU HIP/BPIP, serta RUU Omnibus Law. Aksi revisi UU KPK menewaskan pengunjuk rasa yang tertembak. Martir. Rezim Jokowi meskipun rapuh tetapi masih mampu bertahan. Program deradikalisasi mengarah pada kelompok Islam. Umat Islam berjarak dengan kekuasaan.

Bukan itu saja. Tokoh dan aktivis sering merasa terpojokkan oleh agenda kriminalisasi. Habib Rizieq Shihab (HRS) adalah salah seorang tokoh Islam yang juga menjadi obyek kriminalisasi itu. Kepulangan ke tanah air dari "pengasingan" di Makkah, tidak mengurangi gangguan dan terus menjadi target.

Senin dini hari tanggal 7 Desember 2020 di area Tol Jakarta-Cikampek terjadi penguntitan terhadap rombongan keluarga inti HRS oleh orang yang kemudian diakuinya sebagai Polisi. Mobil pengawal HRS kemudian terpisah atau hilang. Terjadi penembakan terhadap enam orang anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang menjadi pengawal HRS hingga tewas.

Polisi melalui Kapolda Metro Jaya, Irjen Muhmmad Fadil Imron menyatakan baku tembak antara polisi dengan laskar FPI. Sementara DPP FPI merilis bahwa anggotanya tak memiliki senjata api maupun senjata tajam. Karenanya FPI menyebut penembakan tersebut sebagai sebuah pembantaian.

Tewas atau syahidnya enam anggota Laskar FPI yaitu Fais, Ambon, Reza, Andi, Lutfil, dan Kadhavi adalah wujud kekerasan dari arogansi kekuasaan Pemerintahan Jokowi. Bila terbukti memang anggota Laskar FPI ini tidak bersenjata, sebagaimana yang disampaikan oleh pihak DPP FPI, maka penembakan keenam orang tersebut merupakan suatu tindak kejahatan dan pembunuhan.

Siapapun mereka, baik pelaku di lapangan, penyuruh, atau pihak yang membiarkan tindakan tersebut patut dikenakan sanksi berat. Intitusi Polisi dan Pemerintah harus bertanggungjawab. Kejadian seperti tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja dengan penjelasan dari Kapolda Metro Jaya.

Dari keinginan adanya perubahan secara konstitusional, maka tewasnya enam orang anggota pengawal rombongan HRS dapat menjadi martir. Simpati dan dukungan kepada HRS dan FPI serta pada semangat perubahan yang dikenal dengan "Revolusi Akhlak" akan bertambah besar. Martir selalu jadi pemicu.

Perkembangan pengusutan dari kasus penembakan anggota Polisi Polda Metro Jaya akan menentukan sikap dan reaksi publik. Masalah pelanggaran HAM itu tidaklah semata menjadi perhatian bangsa dan negara saja. Tetapi juga menjadi perhatian dunia internasional. Jika memang terjadi pembantaian, maka kiamat akan dialami oleh Kepolisian dan Pemerintah Jokowi.

Martir akan selalu hadir, datang membayang-bayangi dan menghantui kekuasaan yang zalim dan semena-mena. Dengan demikian, Presiden adalah muara dari semua pertanggungjawaban.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

768

Related Post