OPINI

Bangsa Terbelah, Ini Sangat Menyedihkan

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Kalah menang, itu biasa. Termasuk kalah menang dalam pemilu. Kalau yang kalah itu kecewa, wajar. Secara psikologis, ini manusiawi. Sebagian ada yang belum move on, harus juga dimaklumi sebagai wajar juga. Tugas kita, terutama pemenang, menyadarkan mereka yang belum move on itu. Menyapa dan merangkulnya. Jumlah mereka nggak banyak, dan mudah untuk dipulihkan. Yang menjadi masalah, dan soal ini cukup serius adalah, orang-orang yang melakukan kritik kepada pemerintah dituduh sebagai bagian dari kelompok yang belum move on. Dianggap sebaga kelompok mencari-cari kesalahan dan mau menjatuhkan wibawa pemerintah. Disini letak kesalahannya. Di tengah gendutnya koalisi penguasa, posisi pemerintah saat ini sangat kuat. Nyaris tidak terkontrol. Partai-partai nyaman dengan berbagai posisi dan bagiannya. DPR menjadi lumpuh. Tidak lagi punya gigih, kecuali hanya menjadi legitimator bagi keputusan dan kerja eksekutif. Ini sangat menyedihkan. DPR terburuk dalam sejarah demokrasi negeri ini. Pers dan mahasiswa juga tiarap. Disini, penguasa cenderung berprilaku semaunya. Banyak kebijakan yang tak aspiratif dan tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Kebjakan yang dibuat pemerintah lebih utama untuk menampung kepentingan oligarki dan konglomerasi licik, picik, culas, tamak dan rakus. Rakyat hanya menonton main pemerintah bersama oligarki dan konglomerasi. Dalam situasi seperti ini, pemerintah perlu diingatkan. Disini, perlu orang-orang yang kritis yang mau mengontrol kinerja dan memberi peringatan ketika ada kebijakan pemerintah yang keliru. Supaya ada check and balances. Supaya pemerintah tau kalau rakyat itu kritis. Sehingga pemerintah tidak asal-asalan dalam membuat kebijakan negara. Setiap rezim, selalu muncul orang-orang dan kelompok idealis. Mereka lahir untuk meluruskan arah kebijakan penguasa yang salah. Menembalikan penguasa kepada tujuan bernegara yang digariskan oleh para pendiri bangsa. Ini terjadi dari zaman awal kemerdekaan, hingga era reformasi. Dan saat ini, kita sedang menghadapi era neo-reformasi. Era yang berbeda sama sekali dari pra dan pasca reformasi. Sayangnya, munculnya kritik seringkali dianggap sebagai upaya menjatuhkan penguasa. Ini yang keliru. Jika kritik itu datang bukan dari kelompok pendukung, dituduh belum move on. Jika kritik berasal dari pendukung, dianggap sakit hati karena tak mendapat posisi. Gak ada yang bener. Parahnya, ada petugas khusus yang disiapkan untuk menghadapi para pengkritik ini. Mulai dari buzzer rupiah, hingga yang bertugas sebagai pelapor ke polisi. Mereka seperti "kebal hukum". Diduga kuat ada pihak yang melindungi mereka. Mereka bisa dengan leluasa mempolisikan siapa saja yang dianggap sebagai oposisi kepada kekuasan. Hebat sekali mereka. Sampai disini, keterbelahan yang sudah muncul saat pemilu, sekarang makin parah. Penguasa tidak terlihat merangkul pendukung yang kalah. Sementara kerja buzzer rupiah bekerja semakin masif untuk merusak tatanan persatuan dan kesatuan. Pancasila dan NKRI seringkali menjadi mainan narasi melawan kelompok pengeritik. Media dan medsos isinya penuh provokasi. Aksi dan reaksi kedua belah pihak terus mengambil sejarah kegaduhan bangsa ini. Istilah dan nama "binatang" sudah jadi identitas kebanggaan masing-masing kelompok. Sopan santun dan sikap saling menghargai sebagai ciri khas dan karakter bangsa mendadak hilang dari kehidupan kita. Mendadak dan cepat giganti dengan cacian dan kebencian. Sekedar analogi, jika di dalam rumah anda selalu terjadi keributan, jangan salahkan anak-anak. Tetapi, itu salah ayah dan ibunya. Mereka adalah orang tua yang diberi kepercayaan mengelola rumah tangga. Artinya, kalau ribut terus, berarti bapak-ibunya nggak becus urus itu rumah tangga. Negara adalah rumah tangga dalam bentuk yang lebih besar. Saat ini, setiap orang seolah dipaksa untuk memilih. Anda berada disini, atau berada disana? Kalau nggak disini, berarti anda musuh kami. Stigma ini membuat banyak intelektual kehilangan jati diri dan akal sehatnya. Agamawan telah dihadap-hadapkan dalam arena pro dan kontra. Yang pro dapat uang, yang kontra seringkali diancam. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE) serta Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 7/2021 tentang "Ektrimisme" yang dipikir bisa diharapkan jadi solusi, ternyata malah banyak kontradiksi. Bukannya mendamaikan atau menyatukan. Tetapi malah semakin menambah ketakutan dan keterbelahan anak bangsa. Lalu apa solusinya? Pertama, rangkul para pengkritik dengan cara mendengarkan mereka. Negara akan sehat jika kritik didengarkan. Jangan anggap mereka sebagai musuh. Kedua, hentikan buzzer rupiah yang terus membuat kegaduhan. Stop anggarannya, mereka akan berhenti. Sebab, operasional buzzer rupiah itu cukup besar. Tanpa biaya operasional, mereka nggak bisa beroperasi. Stop itu. Ketiga, hadirkan hukum untuk memberi rasa keadilan kepada semua rakyat. Jika demokrasi berjalan normal dan wajar, tidak ada lagi orang-orang sewaan yang bekerja untuk memproduksi kegaduhan di masyarakat. Hukum ditegakan di atas semua golongan, maka Indonesia akan menyuguhkan kenyamanan dan selamat dari keterbelahan. Sampai disini, kita bisa teriak bersama bahwa "NKRI Harga Mati". Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Merespon Krisis Ulama (Bacaan Ringan Akhir Pekan)

by Imam Shamsi Ali New York City FNN - Tanggal 29 Januari kemarin saya berkesempatan menjadi narasumber di webinar ke 12 LP2PPM (Lembaga Pengembangan Pondok Pesantren PP Muhammadiyah). Acara yang dihadiri oleh tokoh pendidik dan pimpinan Pondok pesantren Muhammadiyah se-Indonesia itu mengambil tema “Pesantren Muhammadiyah sebagai pusat kaderisasi ulama, antara realita, harapan dan tantangan”. Dalam presentasi yang bersifat spontan itu, saya menyampaikan beberapa hal. Antara lain, menekankan kembali bahwa Pondok pesantren adalah pusat pendidikan yang unik dan sejatinya menjadi institusi pendidikan alternatif disaat dunia mengalami kebingungan dan kegoncangan. Di pesantren para siswa atau siswi tidak saja menimba ilmu. Mereka juga belajar tentang kehidupan dan menjalani hidup. Saya juga kembali mengulangi hal yang selama ini sering saya sampaikan di banyak kesempatan. Bahwa sebagai putra bangsa, bagian dari negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia yang telah lama tinggal di luar negeri, saya cukup kalau dengan kenyataan bahwa Muslim Indonesia kurang dikenal dan dipertimbangkan oleh dunia internasional. Termasuk dalam hal keilmuan dan Keulamaan. Pondok pesantren harus tampil untuk merespon kegalauan dari putra-putri bangsa seperti saya. Dalam rangka merespon itulah, saatnya Pondok pesantren ditampilkan secara “exceptional” (istimewa). Saatnya stigma pesantren sebagai sekolah orang-orang rendahan, pembuangan anak-anak nakal dan tidak mampu, harus dirubah. Untuk terwujudnya Pondok pesantren yang exceptional tersebut, beberapa hal harus menjadi perhatian. Pertama, Pondok pesantren abad kini harus mampu membangun wawasan global. Bahwa dunia kita saat ini adalah dunia global yang memiliki berbagai karakter di antaranya: 1) kecepatan yang dahsyat. Dengan kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang informasi segala sesuatu bersifat instant. Di sinilah pesantren harus mampu mempersiapkan SDM yang jeli, cermat dan cekatan menangkap peluang yang ditawarkan oleh dunia. 2) dunia mengalami pengecilan. Semua manusia berada dalam satu rumah di bawah atap yang sama. Dan karenanya pilihan yang ada hanya damai dan kerjasama atau saling mengusur dari rumah yang menjadi milik bersama itu. 3) dunia global juga melahirkan kompetisi yang ekstra ketat. Di sinilah Pondok harus mempersiapkan SDM yang kompetitif (unggulan). Kedua, Pondok Pesantren tidak boleh kehilangan fondasi ruhiyahnya. Karena bagaimanapun juga pesantren adalah pusat pengokohan iman dan karakter. Iman dalam Al-Quran itu digambarkan bagaikan pohon yang baik. Akarnya kuat menghunjam ke dalam tanah, rantingnya tinggi menjulang langit, dan memberikan buah-buah setiap saat dengan izin Tuhannya. Sebuah penggambaran bahwa iman yang kokoh tidak mudah goyah. Apalagi tercabut oleh keadaan apapun. Ketinggiannya menggambarkan bahwa Iman itu harus “visible” (terlihat) dengan karya dan inovasi (amal saleh). Dan buah-buahnya memberi manfaat luas bagi manusia. Intinya, di pesantren itu harus terbentuk Iman yang kuat dan sehat, yang dapat dirasakan oleh orang banyak. Bahkan Iman tersebut pada akhirnya menjadi fondasi terbentuknya peradaban manusia. Ketiga, di Pondok itu terbangun “aqliyah” (akal, pemikiran, logika, rasionalitas”) yang tajam dan luas. Dunia kita adalah dunia yang rasional. Dunia yang semakin menjadikan Ilmu dan rasionalitas sebagai bahan pertimbangan dalam menjalani kehidupan. Dan Islam sendiri adalah agama yang sangat menjunjung tinggi rasioanalitas itu. Tentu dengan catatan bahwa rasionalitas itu adalah pertimbangan akal yang tidak liar (wild thinking). Rasionalitas liar itu maksudnya adalah pemikiran yang terlepas kendali, sehingga melanglang buana tanpa arah. Itu akan terjadi ketika pemikiran manusia tidak dikendalikan oleh wahyu Samawi. Selama pemikiran itu terkait dan terikat oleh wahyu Samawi, Al-Quran dan as-Sunnah, maka apapun bentuknya akan diapresiasi Islam. Inilah bentuk rasionalitas yang harus dibangun dan dikembangkan di Pondok Pesantren. Sehingga pendekatan-pendekatandogmatis yang seolah dipaksakan telah usang. Kaum Muslim millennial, apalagi di dunia Barat akan semakin terpental dengan pendekatan keagamaan yang bersifat dogmatis yang serasa dipaksakan. Keempat, Pesantren harus mampu melahirkan ulama yang memiliki kemampuan komunikasi yang handal. Selain komunikasi dalam arti luas, termasuk “cultural adjustment” (penyesuaian budaya) yang kadang berbeda, juga kemampuan bahasa yang handal. Diakui atau tidak, salah satu kekurangan (handicap) Ulama Indonesia adalah kemampuan komunikasi. Khususnya penguasa bahasa asing, yang lemah. Bahkan mereka yang pernah belajar di luar negeri sekalipun, anggaplah Timur Tengah, bahasa Arabnya rata-rata bersifat bahasa pasif. Dalam dunia global, peranan ulama Indonesia sangat terbatas. Hal itu terlihat ketika sebagian Ulama keluar negeri, rata-rata dimanfaatkan oleh warga Indonesia. Itupun terbatas para orang tua. Anak-anak remaja tidak tertarik dengan pendekatan dalam bahasa dan kultur yang kental dengan negara asal. Padahal keperluan yang paling mendasar dihadirkannya guru ke sebuah negara, ambillah Amerika misalnya, salah satunya untuk membantu menjaga keilmuan dan keimanan generasi yang hampir hilang (lihat tulisan saya: American Muslim and the Lost Generation). Kelima, Pondok Pesantren perlu mempersiapkan keilmuan yang bersifat inovatif dan proaktif. Bukan keilmuan yang bersembunyi dibalik titel akademis yang banyak. Tetapi keilmuan yang produktif dan inovatif. Keilmuan yang dapat merespon kepada kebutuhan dunia. Hal ini tentunya akan banyak ditentukan oleh “mindset” yang terbangun dalam memahami keilmuan, termasuk keilmuan Islam. Bahwa ilmu bukan sekedar tahu. Tetapi yang terpenting adalah bahwa pengetahuan itu melahirkan kemanfaatan yang luas bagi manusia. Inilah yang dikenal dengan “ilmun naafi’” sebagai dalam doa yang dipinta. Sebagai contoh saja. Bagaimana seharusnya ulama memahami ayat Al-Quran, “sesungguhnya pada kesulitan itu ada kemudahan”? Pemahaman yang inovatif dan proaktif dari ayat ini adalah bahwa orang-orang Islam itu harus mampu menghadirkan kemudahan di saat manusia menghadapi kesulitan. Bukan sekedar percaya bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan. Dengan Covid 19 misalnya, apa kemudahan yang orang Islam hadirkan? Atau justeru orang menunggu kemudahan dari orang lain? Menunggu vaksin dari Amerika atau China misalnya? Lalu dimana makna yang kita fahami dari “inna ma’al ‘usri yusra?”. Keenam, Pondok Pesantren harus membangun lingkungan yang mampu mengembangkan pemikiran yang berkemajuan. Pemikiran yang berkemajuan itu akan terlihat pada kemampuan dan keberanian untuk berijtihad, termasuk dalam keilmuan Islam. Sebab ada masa-masa dimana Umat ini menjadikan ijtihad sebagai sesuatu yang tabu, bahkan dianggap membawa dosa. Biasanya dengan mamakai dalil, “siapa yang berdusta terhadapku maka diapkan tempatnya di neraka” (hadits). Padaha hadits ini lebih sebagai peringatan dan ancaman kepada mereka yang mencipta-cipta hadits dan mengaitkannya dengan Rasulullah SAW. Tetapi kalau berusaha memahami ayat atau hadits dengan akal dan Ilmu alat yang cukup (termasuk bahasa) maka itu adalah ijtihad. Dan ijtihad akan selalu diapresiasi. Jika benar dapat dua pahala. Dan jika salah juga masih dapat satu pahala. Ketujuh, Pondok Pesantren harus membangun suasan, dimana santri-santriyah mampu membangun “self confidence” (rasa percaya diri) yang tinggi. Self confidence itu bukan keangkuhan. Self confidence itu berarti ada potensi sekaligus keberanian untuk mendaya gunakannya untuk kemaslahatan umum. Angkuh itu merasa lebih dari orang lain, justeru terkadang realitanya tidak ada potensi. Untuk Indonesia mampu memainkan peranan signifikan dan diakui oleh dunia global, rasa minder (inferioritàs) yang sejak lama menjangkiti bangsa ini harus dirubah. Masanya membangun percaya diri bahwa bangsa ini adalah bangsa besar yang potensial dan mampu sebagaimana bangsa besar lainnya. Hal ini juga sangat diperlukan oleh para ilmuan dan Ulama Indonesia untuk tampil di dunia global. Kekurangan para Ulama kita terkadang kurang percaya diri. Apalagi ketika berhadapan dengan ulama dari Timur Tengah.Padahal sejarah keislaman tidak selalu didominasi oleh Ulama Arab. Begitu banyak muhaddits (ahli hadits) maupun fuqaha (ahli fiqhi) dari kalangan ‘ajam (non Arab). Masanya bangsa ini, termasuk Ulamanya untuk bangkit dan berada di garis depan untuk menampilkan Islam yang saat ini dirindukan dunia. Islam itu harusnya memang ditampilkan bangsa yang berkarakter “rahmatan lil-alamin”. Bangsa yang mampu menyatukan niai-nilai universal Islam dengan kehidupan dunia masa kita. Termasuk di dalamnya syura, sopan-santun dan keramahan, penghormatan pada wanita, HAM, serta komitmen keagamaan dalam tatanan kerukunan dan toleransi. Semua itu di Indonesia bukan sekedar teori. Tetapi telah dan tetap mampu dibuktikan di tengah dinamika sosial yang ada. Tentunya disinilah kemudian Pondok Pesantren memiliki peranan krusial dan signifikan untuk mewujudkan semua itu. Semoga! Penulis adalah Imam di Kota New York & Presiden Nusantara Foundation.

Memori 13 Tahun Wafatnya Jendral Besar Soeharto

by Irjen Pol. (Purn.) Anton Tebah Digdoyo Jakarta FNN - Tanggal 27 Januari 2021 ini, insya Allah baik untuk kita membuka memori hari wafatnya Bapak Pembangunan Indonesia Jendral Besar TNI (Purn.) Soeharto. Pak Harto wafat tanggal 27 Januari 2008, pada 13 tahun silam. Bersyukur, saya yang hanya alumni Sekolah Calon Perwira (SECAPA) Polri pernah ditugaskan menjadi Sekretaris Pribadi (Spri) wong agung Jendral Besar Soeharto. Mendampingi Pak harto di hari-hari yang sulit. Karena tiada hari tanpa demo. Bahkan terpaksa sering ikut menghalau demonstran yang merangsek ke kediaman beliau di Jalan Cendana Menteng. Namun menjelang akhir hayatnya, beliau banyak difitnah terutama oleh keluarga ex Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kelompok-kelompok yang pro dengan PPKI. Majalah TIME bahkan ikut-ikutan memfitnah Pak Harto. TIME memberitakan kalau Pak Harto nyimpan uang triliyunan rupiah di bank-bank Swis. Dengan pemberitaan ini, Pak Harto yang balik menantang semua orang atau pihak yang telah memfinahnya. Jika ada uangnya sepeserpun di bank-bank Swis, maka silakan saja diambil atau disita untuk negara. Untuk membiayai kegiatan pembangunan nasional. Tragisnya, Presiden Gus Dur ketika itu ikut-ikutan percaya juga. Sehingga Gus Dur perintahkan Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk melakukan penyelidikan ke bank-bank di Swis dan negara-negara lain. Saya dan Kapolri dipanggil Jaksa Agung untuk ikut membuat perencanaan penyelidikan. Walhasil Jaksa Agung tidak menemukan simpanan apapun dari Pak Harto di bank-bank Swis. Akhirnya Pak Harto yang balik menuntut secara hukum terhadap Majalah TIME. Hakim memvonis Majalah TIME bersalah, dan harus membayar denda akibat berita fitnah. Tdak cukup sampai di situ. Di dalam negeri, Pak Harto juga difitnah sebagai Pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi penuduh tak bisa buktikan tuduhannya. Bahkan berkat Bapak Pembangunan Indonesia inilah, tidak ada perang antar suku. Tidak ada penistaan kepada agama, nggak ada pembantaian. Tidak juga ada pembakaran masjid dan lain-lain. Dikau disebut kejam. Tetapi berkat Pak harto juga Indonesia nggak ada teroris, nggak ada itu bom Bali, nggak ada kriminalisasi ulama, nggak ada pembakaran mesjid dan pasantren. Dikau disebut koruptor. Tetapi berkat pembangunan yang pesat digalakan di segala bidang, bisa nyaur utang peninggalan dari presiden sebelumnya. Dikai difitnah sebagai penindas rakyat. Tetapi berkat bapak, petani menjadi subur, dan hidup makmur. Bisa Swasembada Pangan. Bisa membantu beras ke negara-negara lain. Diberikan pengahargaan oleh FAO, organ PBB sebagai negara yang sukses mencapai Swasembada Pangan. Kalau difitnah sebagai koruptor hebat, maka selama 33 tahun berkuasa, seharusnya Pak Harto menjadi orang terkaya di dunia. Tetapi nyatanya pak harto hidup sangat sederhana. Makan pun seadanya dengan makanan kesukaannya sayur lodeh dan tempe garit. Pak Harto dituduh Dalang PKI. Tetapi berkat Pak Harto juga PKI tidak bisa berkutik. Bila tuduhan itu benar, maka Pah harto pasti sudah dihabisi Jendral Nasution waktu itu . Selama 33 tahun berkuasa, Indonesia di tangan Pak harto seharusnya sudah menjadi negara komunis. Dikau disebut tak bermoral. Tetapi era bapak Indonesia nggak menjadi sarang narkoba. Nggak ada LGBT yang berani buka suara. Nggak ada yang berani sebut pesantren sebagai sarang teroris. Ngga ada bisa menyebut Hafidz Quran dan masjid sumber radikal. Nggak ada yang berani rendahkan tenaga Kerja Indonesia (TKI), lalu diganti dengan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Republik rakyat Cina (RRC). Nggak ada yang rasisme. Nggak ada juga tuh BuzerRp! Dikau disebut pengkhianat bangsa. Tetapi sejengkal tanah pun negara lain nggak ada yg berani ganggu. Nggak ada kapal-kapal asing yang bebas masuk ke laut perairan kita. Timor Timor tak akan lepas. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Kapal Tanker, Indosat, pulau nggak akan dijual. Faktanya ratusan juta rakyat mencintaimu. Berjuta rakyat mengantar ke pemakamanmu. Kini hampir semua rakyat Indonesia merindukanmu. Selalu mengenang sesanti Pak Harto dengan yang senyum sumringah. Para kepala negara dunia menyebutnya dengan “The Smiling General”. Enak Jamanku To!!! Bagiku dikau adalah “Macan Asia”. Sampai saat ini belum ada yang bisa mejadi sepertimu. Kini yang ada hanya silih hujat, silih dengki, silih caci. Sehingga apapun masalahnya, selalu saja radikalisme, intoleransi dan ekstrimisme yang menjadii kambing hitamnya. Fitnah bertebaran sana-sini. Ruwet, Ruwet, Ruwet, dan Ruwet.. Nggak bisa membangun, malah utang yang menggunung. Mengenang hari wafatnya Bapak Pembangunan Indonesia pada 27 Januari 2008 - 27 Januari 2021. Semoga bapak bahagia di alam baka. Terima kasih untuk semua karya bapak dalam membangun bangsa, termasuk 999 masjid dan infrastruktur beribu-ribu kilometer yang tersebar di seluruh NKRI sebagai amal jariyyah yang pahalanya terus ngalir deras hingga yaumil kiyamah. Alfatihah untuk Bapak Pembangunan Jendral Besar TNI (Purn.) Soeharto. Aaamien ...... Penulis adalah Sekretaris Pribadi Bapak Soeharto Setelah Turun Dari Presiden.

Menunggu Langkah Polisi Atas Kegilaan Abu Janda

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Apakah Abu Janda itu aset negara? Hueeeek...! Sudah pasti bukan. Tetapi anehnya Abu Janda dengan kegilaannya ini seperti dipelihara oleh negara. Apakah negara mendapatkan value dari kegialaan Abu Janda? Juga tidak. Paling-paling yang mendapatkan keuntungan adalah kekuasaan dan mereka yang mencari perlindungan di sekitar kekuasaan. Selebihnya tidak ada manfaat apa-apa dari Abu Janda, selain kegaduhan dan perpecahan diantara sesama anak bangsa yang sengaja dilalukan Abu Janda. Walau diserang habis-habisan, bahkan dilapor-laporkan. Namun terkesan Abu Janda tetap saja diproteksi. Kini dengan dibela Denny Siregar, Abu Janda terus bekoar-koar seperti orang paling benar sendiri di republik ini. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Haris Pratama pun diancam-ancam Abu Janda. Badut istana berjoget-joget dengan sesumbar bahwa dirinya kebal hukum. Semakin membuktikan bahwa hukam hanya tegak kepada mereka yang menjadi opisisi kepada penguasa. Tidak kepada mereka yang mendukung penguasa. Kapolri Jendral Listyo Sigit diuji, apakah bisa membawa Polri menjadi penegak hukum yang sebenarnya? Atau hanya penegak kepentingan kekuasaan. Fakta hukum yang ada adalah Abu Janda sangat layak untuk diproses secara hukum, dan harusnya ditahan. Menghina agama, melecehkan aktivis, rasis dan menantang opini dengan akting bersama zionis. Membiarkan bebas Abu Janda, sama saja menjadikan Polri sebagai cerminan dari kegilaan seorang pembual, peleceh dan pemecah-belah anak bangsa. Bukan persatuan yang bakal ditemukan dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai tekanan permasalahan bangsa hari ini seperti ekonomi, kesehatan dan sosial. Karena Abu Janda terus dan terus memproduksi perpecahan. Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (PW NU) DKI Jakarta merasa gerah oleh ulah Abu Janda. Banyak prilakuknya yang merugikan NU. Gerakan Pemuda (GP) Ansor diminta oleh NU memanggil Abu Janda untuk mengklarifikasi keanggotaannya sebagai anggota Banser. Perlu dilakukan klarifikasi atas status sebagai anggota Banser. Jika iya, Abu Janda diminta untuk segera dinonaktifkan. Katib Syuriah PB NU sudah menilai Abu Janda banyak merugikan NU. Kulminasi dari pernyataan Abu Janda yang nyeleneh adalah soal rasis "evolusi" yang ditujukan kepada pegiat Hak Asasi Manusia (HAK) dan Keadilan Natalius Pigai. Dia juga menyebut sebutan "Islam arogan". Partai-partai politik sudah mendesak penegakkan hukum atas kasus Abu Janda, demikian juga dengan suara DPR. Ternyata dukungan pelaporan oleh KNPI soal rasis dan penistaan agama semakin meluas. Pemuda Muhammadiyah, Hima Persis, terakhir Ikatan Pemuda Tionghoa pun ikut mengecam perilaku rasis Abu Janda, dan mendukung pelaporan yang dilakukan Ketua Umum DPP KNPI Haris Pratama. Tinggal menunggu sikap tegas dari Bareskrim Polri saja. Nampaknya dengan penahanan Ambroncius Nababan untuk kasus rasis yang sama, menimbulkan harapan bahwa Abu Janda bisa jadi abu-abuan sekarang ini. Kena batunya karena mencoba-coba untuk bermain dan berurusan dengan Natalius Pigai, tokoh Papua yang menjadi aktivis ’98 sejak kuliah di Yagyakarta. Apalagi ikut menyerang agama. Jika Abu Janda akhirnya "dilepas" negara dengan diproses hukum, maka akan berdampak psikologis kepada para rekan-rekannya "se-ideologis". Membuat gemetar sedikit. Umat Islam Tasikmalaya akan lebih gencar menagih hutang laporan polisi terhadap Denny Siregar yang menghina santri Hafidz Qur’an. Ade Armando juga memiliki banyak tabungan kasus keumatan. Abu Janda dengan segala kegilaan gaya dan ucapannya, semoga saja segera terhenti. Negara memang perlu menamatkan riwayat Abu Janda. Biarkan saja dia menikmati status baru sebagai "janda yang terpenjara". Agar sadar bahwa dirinya tidak kebal hukum negeri ini. Hukum pun sebal padanya. Apalagi manusia yang ber-Pancasila dengan konsensus 18 Agustus 1945. Ada pepatah "bermain api hangus, bermain air basah". Risiko penjara adalah akibat ulah sendiri dari sang badut istana yang bernama Abu Janda alias Permadi Arya. Rakyat menunggu untuk menyaksikan langkah Kapolri bari Jendral Listyo Sigit yang masih merangkap sebagai Kabareskrim Polri. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Korban Yang Terus Berjatuhan (#2 serial derita rakyat)

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN - Setelah menulis artikel “Luka Hati Rakyat Yang Semakin Dalam” (#1), saya lanjutkan dengan serial derita rakyat ini. Sebelum menulis artikel ini saya membayangkan wajah sepupu dan ponakan saya yang positif covid. Mereka harus dibantu ventilator di Rumah Sakit. Ada juga saudara yang melakukan karantina mandiri sendirian dirumah berhari-hari. Juga tetangga satu keluarga berlima semuanya diboyong dalam penanganan Rumah Sakit. Membayangkan juga wajah dua teman seangkatan dan satu kolega yang sudah lebih dulu dipanggil Allah pekan lalu. Juga terngiang wajah tetangga dan anak muda yang lebih dulu dipanggil sang Maha Pencipta beberapa hari lalu. Teriring do'a untuk semuanya yang telah wafat semoga husnul khotimah. Semoga dilapangkan kuburnya dan ditempatkan di Surga-Nya. Aamiin. Peristiwanya terasa begitu cepat. Hanya berselang beberapa hari saja, kemudian Allah Subhaanahu Wata'ala memutuskan, kami berpisah untuk selamanya. Mereka berada di alam kubur dan menuju akhirat kelak. Cerita diatas sengaja saya narasikan untuk mengingatkan kita semua khususnya penguasa rezim ini, bahwa situasi Covid-19 di Indonesia memasuki episode berbahaya. Positivity rate-nya lebih dari 20%. Empat kali lipat lebih dari standar WHO yang 5%. Bagi yang tinggal di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Banten,Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Papua, Riau, Sumatra Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan serta mungkin provinsi lainya, suasana yang saya rasakan kemungkinan dialami juga di wilayah tersebut. Kalau bukan kita sendiri, keluarga, tetangga, saudara, mungkin teman kantor, atau teman seangkatan ada yang positif covid atau bahkan ada yang meninggal dunia. Saat tulisan ini dibuat, update positif Covid-19 terkonfirmasi lebih dari 1 juta, dan yang meninggal dunia sudah mencapai 29.518 jiwa. Angka yang tentunya mencengangkan kita semua, sambil bertanya-tanya, apa saja ya kerja pemerintah untuk mengatasi Covid-19 ini? Ko semakin bertambah? Tidak ada tanda-tanda bakal menurun angka harian yang positif tertular. Menteri Kesehatan yang baru sempat berkata "saya sudah kapok, saya tidak mau lagi memakai data Kemenkes". Pada respon berikutnya Menkes mengatakan "cara testingnya salah. Testingnya banyak, tetapi kok naik terus". Kemudian Menteri Kesehatan juga mengatakan "600 tenaga kesehatan yang wafat, jangan sampai mereka wafat sia-sia". Narasi diatas ada kesan Menkes berfikir keras berpadu dengan cemas. Bahkan mengarah ada semacam kekhawatiran yang besar. Bagaimana mungkin data kementrian yang tidak dipercaya oleh menterinya sendiri? Kejadian seperti ini baru pernah terjadi. Mencermati fenomena itu, saya tiba-tiba saja teringat respon pemerintah pusat hampir setahun lalu, yang menolak menerapkan lockdown wilayah Ibukota Jakarta. Alasannya pemerintah ketika itu karena lebih mengutamakan nasib ekonomi dibanding nyawa rakyat. Sesumbar bahwa tak mungkin ada yang terjangkit virus Corona di Indonesia. Dengan keyakinan itu, pemerintah memberi diskon 30% kepada para wisatawan yang berkunjung ke Indonesia saat pandemi. Pemerintah bahkan membiayai influencer puluhan milyaran rupiah untuk ajak wisatawan datang ke Indonesia. Tetapi ekonomi terus memburuk hingga saat ini, padahal ratusan triliun rupiah sudah dikucurkan untuk atasi ekonomi. Ada juga pejabat penting yang berkelakar waktu itu dengan mengatakan izinya berbelit-belit virus Corona tidak masuk Indonesia, juga berkelakar COVID-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing jadi kebal, dan lain-lain. Kelakar yang tidak sensitif pada derita publik. Begitu kasus terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai angka 1 juta orang lebih, dan yang meninggal lebih dari 29.000 orang, penguasa justru bersyukur. Katanya pemerintah bisa mengendalikan Covid-19. Ironi cara berkomunikasi penguasa. Faktanya penanganan masih sengkarut. Baik pelaksanaan testing (pengetesan), tracing (pelacakan), treatment (perawatan) masih rendah dan belum merata. Pelaksanaan protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) juga kian longgar, karena sejak awal rezim tidak mau tegas, masih membolehkan lalu lintas sosial dari dan ke Jakarta dan ke tempat-tempat lain. Kabar terbaru 153 Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Republik Rakyat Cina (RRC) beberapa hari lalu masuk Indonesia melalui bandara Sekarno Hatta. Penjangkitan Covid-19 terus meningkat. Sementara dari sisi fasilitas juga kekurangan ruang isolasi dan tenaga kesehatan (nakes) yang makin berkurang karena menjadi korban. Realisasi insentif nakes yang belum tuntas, sengkarut data vaksinasi, hingga buruknya komunikasi publik menunjukan pemerintah semakin tidak berwibawa di mata rakyat. Baru-baru ini Lowy Institute (28/1/2021), sebuah lembaga independen terkemuka yang berkedudukan di Sydney Australia merilis indeks kinerja penanganan Covid-19. Indonesia menduduki posisi ke 85 dari 98 negara di dunia. Posisi Indonesia jauh dibawah Vietnam (2), Thailand (4), Singapura (13), Malaysia (16), Myanmar(24) dan Filipina (79). Bukankah itu bukti bahwa tata kelola penanganan Covid-19 sangat buruk. Bahkan terlihat sporadis dan makin dikacaukan oleh komunikasi penguasa yang buruk atau memang menunjukan buruknya manajemen penanganan Covid. Keburukan yang bukan semata-mata dari satgas, tetapi dari orang nomor satu di republik ini? Pertanyaan publik seperti itu sering muncul dalam diskursus biopolitic diberbagai forum diskusi. Sebab faktanya korban terus berjatuhan dan seringkali aspirasi solutif yang berbeda tidak didengar. Maka, secara rasional wajar jika ada yang bertanya apakah korban yang berjatuhan itu karena perilaku korban atau karena leadership penanganan yang salah? Yang jelas korban terus berjatuhan! Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Mau Jadi Presiden?

by Tony Rosyid Jakarta FNN- Pemimpin itu soal nasib. Betul itu. Banyak orang yang tak layak, tetapi jadi pemimpin. Inilah yang disebut "holders of exceptional positions". Orang bodoh yang mengambil porsinya orang pintar. Dia bisa menjadi kepala daerah atau presiden karena nasib saja. Meski tak memenuhi syarat, baik itu integritas dan kapasitas. Sistem pemilu di Indonesia memberi ruang bagi mereka yang tak memenuhi "syarat substansial" untuk menjadi pemimpin. Sebab, untuk menjadi pemimpin di negeri ini hanya butuh popularitas dan akses ke pendanaan. Kalau syarat subtansial ini sudah dipenuhi, maka jalan untuk menjadi pemimpin terbuka. Soal popularitas, pelajari saja apa yang diminati media. Semua sikap dan tindakan disesuaikan dengan kebutuhan media, pasti populer. Blusukan, masuk gorong-gorong, datangi gelandangan, nyebur ke comberan, ikut becek-becek bersama petani, itu yang disukai media. Dengan modal popularitas dan akses dana, anda bisa beli tiket partai dan menghipnotis pemilih. Cukup itu saja. Simple kan? Bicara "syarat substansial", pemimpin idealnya adalah orang yang banyak membaca. Ini bukan hanya soal pengetahuan dan wawasan saja. Tetapi yang terutama soal mental. Orang yang banyak baca, setidaknya dia pertama, mau mendengar banyak ide dan gagasan. Kedua, peduli pada data. Ketiga, menganggap penting analisis dan kajian. Pemimpin yang tak suka, atau miskin bacaan, sulit mendengar pendapat orang lain. Cenderung tak peduli pada data. Tidak menyaring banyak pandangan, dan abai terhadap kajian. Yang penting kerja dan kerja. Tidak sabar, dan ingin serba cepat. Instan dan spontan. Pokoknya, dengar atau lihat masalah, langsung selesaikan. Tak berpikir tingkat efektifitas dan dampaknya. Yang penting, selesaikan. Lihat orang gak bisa nyebrang, bikin pelabuhan. Beli kapal-kapal, agar masyarakat bisa nyebrang. Nggak berpikir kemampuan biayanya. Berapa besar manfaatnya, dan bagaimana cost kedepannya? Pokoknya dermaga harus dibuat. Ya, banyak sepidan mangkrak. Kenapa? Karena tidak berbasis pada kajian. Lihat itu bandar udara Kertajati Jawa Barat. Ingin setiap daerah tumbuh ekonominya, bikin jalan tol. Bahkan bila perlu, di semua provinsi ada tol. Pertanyaanya, apakah masyarakat di wilayah itu butuh jalan tol? Kalau nggak butuh, tol pastui sepi. Nggak mampu biaya perawatan. Bangkrut, dijual. Semua ini karena program tak berbasis kajian. Ada juga yang nggak tahan lihat gelandangan. Main kasih rekomendasi kerja di BUMN. Nggak melihat dulu apa masalah mereka? Berapa banyak jumlahnya? dan dimana sebaran wilayahnya? Nggak mengkaji lebih dulu program menteri sebelumnya, mana yang belum efektif? Apa yang salah dan perlu dibenahi dari program sebelumnya? Pokoknya, kasih kerjaan. Emang mereka lagi cari kerja? Selain memperlebar telinga, menajamkan mata, dan membuat peka syaraf otak, membaca memberi wawasan dan kekayaan pandangan. Dengan membaca, seorang pemimpin punya banyak alternatif dalam membuat keputusan. Ini akan mempengaruhi kematangannya dalam membuat setiap kebijakan. Selain membaca, seorang pemimpin mesti gaul. Maksudnya, banyak relasi. Ketika dia jadi pemimpin, kenal banyak orang dengan latar belakang profesi dan kemampuannya. Lalu menyiapkan orang-orang yang layak untuk diajak berkolaborasi mengelola negara. Tahu integritas dan kapasitas mereka. Bukan hanya berpikir bagaimana menang, tetapi juga bagaimana mengisi kemenangan itu. Nah, disini seorang pemimpin butuh teknokrat handal dan berintegritas. Idealnya, seorang pemimpin punya latar belakang aktifis yang akrab dengan persoalan-persoalan bangsa. Aktifis di dalam atau di luar pemerintahan. Lepas apapun profesinya, keakraban dengan problem bangsa akan membantunya untuk memahami dan memetakan persoalan. Aktifis itu terlatih berpikir cerdas, bertindak cepat dan terukur. Tidak seperti akademisi tulen yang terkungkung oleh teori-teori dan muter-muter dalam wacana. Aktifis itu paham masalah, tahu teorinya, cepat keputusannya. Poinnya, sebelum jadi pemimpin, ia mesti paham apa masalah yang dihadapi bangsa ini. Ada gagasan di otaknya bagaimana menyelesaikan masalah itu. Bayangkan, jika seorang pemimpin nggak punya data. Nggak paham masalah. Nggak tahu apa-apa soal bangsa. Bagaimana dia punya gagasan dan program. Akibatnya, banyak pemimpin yang nggak paham apa yang diucapkan dan dijanjikan saat kampanye. Sebab, yang membuat janji itu timsesnya, bukan dirinya. Dia nggak paham janji yang disampaikan itu. Paham saja enggak, bagaimana melaksanakan? Model-model man of contradictions di negeri ini banyak. Karena tak memenuhi "syarat substansial" sebagai pemimpin. Ngaco jadinya. Asal kerja saja. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

American Muslim & a Lost Generation

by Imam Shamsi Ali New York City FNN- Sengaja saya memakai bahasa Inggris pada judul tulisan ini. Hal itu karena tulisan ini sangat dekat dengan generasi Muslim Amerika yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris. Tentu harapannya juga kiranya judul ini “eye catchy” atau menarik perhatian pembacanya. Amerika sesungguhnya adalah sebuah negara yang menjanjikan (promising land). Karenanya Amerika tetap dianggap sebagai negara yang penuh dengan peluang atau kesempatan (land of opportunities). Bahkan sebagian menjulukinya sebagai “a land of dreams” (negara impian). Sesungguhnya tidak salah jika Amerika dijuluki demikian. Karena memang Amerika dengan segala kekurangannya masih menjadi impian banyak orang. Kata Amerika memiliki daya tarik tersendiri yang menjadikan banyak yang ingin berimigrasi ke negara ini. Wajar saja kalau Amerika kemudian memang dikenal sebagai bangsa atau negara imigran. Kenyataan ini menjadikan isu imigrasi (immigration issue) menjadi isu politik yang sering memanas. Pelarangan Muslim masuk Amerika dari negara mayoritas Muslim di zaman Trump (Muslim Ban) adalah satu diantara banyak isu imigrasi yang menjadi perdebatan politik di Amerika. Keinginan untuk berimigrasi ke Amerika ini juga termasuk warga Muslim. Tentu karena ragam alasan dan latar belakang. Ada yang karena mencari suaka politik akibat refresi kekuasaan di negara masing-masing. Apa pula karena alasan pendidikan, ekonomi, dan berbagai alasan lainnya. Semua itu tentu sah-sah saja. Mencari kebebasan dari tirani kekuasaan untuk ketenangan hidup boleh. Mencari kesempatan pendidikan yang lebih baik juga diperbolehkan. Demikian pula mencari kesempatan hidup yang lebih layak (ekonomi) juga sangat dibolehkan. Amerika dan Dakwah Opportunity Bagi mereka yang sadar Islam, dari semua “opportunities” (ragam kesempatan) itu, kesempatan untuk mendakwahkan agama ini seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam berimigrasi ke Amerika. Amerika adalah “Daar ad-da’wah” atau negeri yang subur untuk mengembangkan dakwah Islam. Tentu dakwah dalam arti yang luas. Termasuk di dalamnya menjadi bagian dari masyarakat Amerika untuk membawa perubahan sosial kepada negara ini. Bahwa dengan keberadaan Umat Islam di Amerika berbagai “krisis moral” yang mengancam negara ini dapat diminimalkan. Amerika adalah negara dengan masyarakat yang sangat terbuka (open society). Artinya, di Amerika itu segala sesuatu dapat tumbuh dan berkembang. Pada akhirnya kesuksesan atau keberhasilan setiap orang atau kelompok orang ditentukan oleh semangat “kompetisi” yang dimilikinya. Kita lihat misalnya bagaimana masyarakat Yahudi, dengan kwantitas yang kecil (minoritas) mampu membangun kekuatan atau pengaruh (influence) dalam kehidupan publik Amerika. Termasuk dalam mempengaruhi berbagai kebijakan pemerintahan Amerika. Disinilah sesungguhnya Islam dapat tampil sebagai kekuatan alternatif. Secara konseptual (ajaran) Islam memang dahsyat. Tidak perlu dan memang tidak ada keraguan padanya (laa raeba fiih). Islam mampu menandingi ajaran mana saja (liyudzhirahu alad diini kullih). Pertanyaannya kemudian, mampukah Islam itu ditampilkan sebagai kekuatan alternatif di tengah-tengah bangsa Amerika? Penampilan Islam ini tentunya banyak ditentukan oleh pemeluknya yang datang ke negara ini. Dan ini pulalah yang saya maksudkan dengan Amerika sebagai peluang dakwah (dakwah opportunity) yang sangat luas. America and The Lost Generation Dengan segala hal yang indah dan manis tentang Amerika itu, di sisi lain juga penuh dengan wajah yang buruk dan menyeramkan. Tidak selalu seindah yang seperti yang dibayangkan sebagian orang. Selain masih tingginya diskriminasi dan rasisme putih akibat mentalitas Amerika yang merasa istimewa (exceptional). Juga hidup di Amerika itu penuh dengan goncangan yang dahsyat. Termasuk di dalamnya goncangan materialisme, individualisme, kapitalisme dan hedonisme. Kesemua “isme” (faham atau ideologi) itu jika tidak dibarengi mentalitas yang solid (firm mentality), maka akan menimbulkan kegoncangan yang dahsyat dalam hidup manusia. Mental yang solid itulah iman manusia. Kerapuhan mental (iman) sebagian warga Muslim, khususnya kaum pendatang (imigran) di Amerika melahirkan banyak masalah yang serius. Termasuk di dalamnya kerapuhan generasi Islam itu sendiri. Bahkan tidak berlebihan jika kerapuhan tersebut pada tingkatan tertentu telah menimbulkan generasi yang hilang (lost generation). Terjadinya lost generation ini disebabkan banyak faktor. Tetapi beberapa faktor dominan dapat disebutkan di antaranya sebagai berikut: Pertama, visi hidup yang salah. Dalam bahasa sederhana, visi hidup itu artinya niat kita dalam menjalani kehidupan ini. Ini berarti bagi masyarakat Muslim yang bermigrasi ke Amerika, niat imigrasi akan banyak menentukan gaya hidupnya di negara ini. Jika niatnya memang untuk dunia, maka dunia itu akan didapat (walau tidak pasti). Tetapi pada akhirnya orang dengan visi keduniaan semata akan mengalami kerugian yang besar (khasarah). kerugian terbesar itu ketika Iman dan Islam menjadi tidak lagi sesuatu yang mendasar dalam hidup. Kedua, visi hidup yang salah tadi menjadikan gaya hidup yang tidak lagi peduli dengan agama. Agama bagi sebagian warga Muslim seolah seremoni musiman. Beragama di saat Idul Fitri atau Idul Adha. Atau seringkali agama sekedar hiburan dan/atau pelampiasan. Hadir di pengajian atau kajian karena ajang kumpul dengan sesaman teman yang disukai. Gaya hidup seperti ini melahirkan kelalaian dalam beragama. Salah satu dampak terbesar dari kelalaian itu adalah hilangnya perhatian kepada anak-anak (generasi). Generasi yang tidak mendapat perhatian yang cukup, lambat laun namun pasti semakin tidak peduli dengan agamanya. Ketiga, gaya hidup yang tidak peduli dengan agama itu akan semakin memperbudak. Sehingga manusia semakin hanyut dalam rutinitas kesibukan mencari dunia yang tiada ujung. Kerja, kerja dan kerja, menjadi motto hidup. Tetapi kerja dengan visi yang salah berakibat fatal. Betapa banyak orang tua imigran yang bekerja keras. Membanting tulang siang-malam untuk mencari dunia. Bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun menghabiskan umur memburu dunia. Tetapi anak (generasi) tak mendapat perhatian yang cukup. Mengakibatkan hilangnya jatidiri (identity) generasi itu. Keempat, perhatian agama yang cenderung bersifat seremonial sesaat. Agama ibaratnya obat instan yang sesaat. Jika sedang sakit kepala, maka minum panadol niscaya kepala akan menjadi ringan. Para kelompok pengajian atau masjid-masjid sering fokus mendatangkan guru-guru mengaji yang bisa untuk mengajarkan dzikir-dzikir. Para orang tua kemudian diajari dzikir berjamaah. Tetapi anak-anak dan generasi mudah tertelantarkan. Apalagi jika guru-guru yang didatangkan itu, tidak saja secara bahasa inkapabel. Tetapi juga ada wawasan budaya yang berbeda (cultural gap) dengan generais muda. Situasi seperti itu, generasi pertama imigran Muslim harusnya berimajinasi 10, 20 atau 30 tahun mendatang. Kira-kira siapa yang akan meramaikan majelis-majelis dzikir dan kajian-kajian agama itu? Kelima, kegagalan melakukan perubahan (adjustment) dengan keadaan yang berbeda. Amerika adalah Amerika. Bukan lagi negara asal. Barangkali kelompok pengajian atau masjid dikelolah secara kelompok nasinalitas (asal negara). Tetapi satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah kenyataan bahwa kita telah hidup di sebuah negara dan bangsa yang punya karakter dan kecenderungan tersendiri. Mengelolah pengajian dan masjid dengan pemahaman kesukuan dan kebangsaan (tribal mindset) akan menjadikan generasi kita merasa tersudutkan. Pergaulan dan dunia mereka jauh lebih luas dari dinding-dinding kabilah dan kebangsaan. Generasi muda akan melihat bahwa kegiatan pengajian atau masjid bukan rumah mereka (they don’t belong to). Ada gap kejiwaan antara mereka dan pengajian (masjid) yang dikelolah secara tribal itu. Apalagi dengan wawasan dan kultur yang tidak lagi menjadi bagian diri mereka secara dominan. Itulah beberapa faktor kenapa Komunitas Muslim di Amerika terancam. Bukan oleh ancaman Islamophobia atau rasisme White Supremacy. Tetapi ancaman terbesar itu adalah kenyataan bahwa Komunitas Muslim Amerika menghadapi ancaman hilangnya generasi atau “lost generation”. Ingatkah kita kalau Borris Johson, Perdana Menteri Inggris, adalah keturunan Muslim? Bagaimana nasib anak cucu kita ke depan? Semoga Allah menjaga! Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation.

Berkhianat, Sandiaga Uno Tidak Laku Jualan Wakaf

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Soal wakaf uang sebagai gerakan nasional yang ikut diserukan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno ternyata mendapat respon yang negatif dari publik. Netizen menyatakan keengganan untuk mengikuti ajakan Uno. Karena Sandiaga Uno sudah dianggap sebagai penghianat berat kepada para pendukung setianya. Sandiaga Uno bukan lagi orang yang berpengaruh di mata para pendukungnya seperti dulu. Tidak lagi hebat seperti saat mengikuti Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang berpasangan dengan Anies Baswedan, maupun Pilpres 2019 ketika berpasangan dengan Prabowo. Sandiaga Uno sudah seperti barang rongsokan di mata pendukungnya. Begitulah resikonya kalau menjadi penghianat. Biasanya tidak ada ampun dan maaf untuk penghianat. Namun ada maaf untuk musuh. Penolakan kepada Sandiga Uno ini menyangkut kredibilitas Sandiaga yang merosot setelah menjabat sebagai menteri di kabinet Jokowi-Amin . Berberbeda Sandiga Uno saat menjadi Cawapres, yang begitu dielu-elukan, dengan setelah menjadi Menteri yang disesalkan banyak orang. Memang tidak ada penghianat disenangi oleh pendukungnya setelah berhianat. Begitulah hukum alam. Sandiaga Uno menyatu dengan citra kabinet yang sangat buruk. Bahkan dbilang bobrok. Sandiaga tidak akan mampu berkreasi sendiri untuk meningkatkan daya dukung publik kepada pemerintahan Jokowi. Aapalagi untuk kampanye wakaf uang. Publik, terutama mantan pendukung setia tetap saja menilai Sandiaga Uno akan mati, karena berada di jajaran Kabinet Jokowi. Tidak value yang bisa dibuat oleh Sandiaga jika berada di dalam kabinet. Nasib Sandiga Uno tidak bakalan berbeda jauh dengan senior dan pasangan Capresnya yaitu Prabowo Subianto. Keberadaan lawan tanding Jokowi-Amin di Pilpres 2019 ini memberi pelajaran tentang kematian itu. Sandiaga Uno muda dan bermasa depan itu hanya diolok-olok saat mendapat tugas mulai dari Menteri Kordinator Kemaritiman dan Investasi (Menkomarinvest) Luhut Panjaitan untuk memperbaiki toilet. Kalau Prabowo sudah duluan mendapatkan tugas dari mulia Prasiden Jokowi untuk menanam singkong dan mengembangkan pertanian. Kini giliran Sandiaga Uno mendapat tugas dari Luhut untuk mengurus , memperbaiki dan membersihkan WC. Sungguh hebat, dan sangat luar biasa tugas yang diberikan Jokowi kepada Prabowo, dan tugas dari Luhut Panjaitan kepada Sandiaga Uno. Tinggal dilaksanakan dengan baik, dan penuh tanggaung jawab saja. Semoga saja berhasil. Profil kesalehan diri Sandiaga Uno tidak mampu mendongkrak kharisma untuk berbicara dengan wibawa soal gerakan wakaf. Sebagian rakyat, khususnya umat Islam menilai bahwa gerakan wakaf uang yang dicanangkan Pemerintah Jokowi merupakan program ambivalen atau sikap munafik. Bahkan menyebut mengemis-ngemis untuk menarik dana umat. Sindirannya kencleng. Masjid pun sedang dilirik. Makanya mesjid-mesjid harus mulai dijaga ketat. Sebab di satu sisi umat Islam dicoba untuk dilumpuhkan dengan isu-isu radikalisme, intoleransi, terorisme dan ekstrimisme. Begitu juga dengan kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis oposisi kritis yang terlihat masif. Ulama dan aktivis dijebloskan ke dalam penjara oleh penguasa. Eh, sekarang sumber-sumber dana umat Islam via zakat, haji dan wakaf justru mau diambil pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Sementara para perampok uang negara banyak terlihat berlindung di sekeliling Istana. Pekerjaaan untuk meyakinkan umat Islam dan para man pendunngnya inilah yang sekarang dicoba untuk dikerjakan oleh Sandiaga Uno. Sayangnya, mendapat rospon negatif. Sandiaga Uno pasti juga dapat membaca bagaimana potensial, anak muda, dan kreatifnya Menteri Pendidikan (Mendikbud) Nadiem makarim. Nadiem yang sangat dipercaya Jokowi, namun nyatanya tak berkutik juga di dalam Kabinet. Kualifikasinya biasa-biasa saja. Bahkan boleh dibilang tanpa prestasi. Banyak membuat kebijakan yang bertabrakan dengan kalangan kampus dan dunia pendidikan. Air di dalam kolam kabinet pemerintahan tidak jernih. Airnya kabur dan berbau. Kurang layak untuk dikonsumsi. Makanya kalau masuk ke dalamnya, pasti ikut tercemar. Jadi, sebaiknya Sandiga Uno fokus saja pada pilihan untuk mengurus masalah pariwisata dan ekonomi kreatif. Masalah wakaf biarlah para ulama dan ormas Islam yang jauh lebih paham dan kompeten. Setelah menyasar dana wakaf, disamping menyesalkan Sandiaga Uno, publik juga banyak menyindir Jokowi dan Sri Mulyani dengan diksi "mendadak mnjadi kadrun-kadrun". Padahal kadrun-kadrun menjadi sumber cemoohan dari “yang ono”. Kadrun-kadrun disetarakan “yang ono” dengan radikalisme, intoleransi, terorisme dan ekstrimisme. Pemerintah itu rupanya mulai sadar bahwa yang kearab-araban itu diperlukan juga, hi hi hi. Makanya jangan sok anti Islam, ya boss. Giliran urusan duit umat Islam, mata loe membelalak, heheheheheee. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Guru Bukan Ban Serep di Bidang Pendidikan

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Langkah pemerintah meniadakan rekrutmen formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk guru, dan diganti dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), perlu ditinjau kembali. Selain memperpanjang status yang terkatung-katung kepada para tenaga pendidik, keputusan tersebut juga mencederai rasa keadilan. Bagaimana tidak, nyaris satu juta tenaga honorer telah berdiri dalam antrean penantian panjang untuk meraih kesejahteraan. Bahkan ada yang tiga puluh tahun menekuni profesi, mendidik generasi penerus negeri ini. Mengabdi dengan ikhlas. Namun statusnya tidak berubah. Masih tetap sebagai tenaga honorer yang minim perhatian negara. Bukan status itu yang digugat. Tetapi apresiasi dan keberpihakan negara. Bayangkan, para guru honorer ada yang gajian pertiga bulan. Jumlahnya pun sangat kurang memadai. Bahkan cenderung tidak manusiawi. Bagaimana mungkin, sosok-sosok yang terdepan dalam membangun bangsa ini, digaji Rp. 100.000 per bulan? Dengan desakan kebutuhan dan harga-harga yang semakin melambung, nominal tersebut sangat jauh dari kata layak. Data dan fakta tersebut dapat dengan mudah kita temukan di lapangan. Bahkan menjadi satu aspirasi yang disampaikan oleh forum guru yang tergabung dalam Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non Kategori Usia 35 ke Atas (GTKHNK 35+) yang baru-baru ini beraudiensi dengan saya selaku Senator dan Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang membidani sektor pendidikan. Padahal aspirasi soal penetapan status dan kesejahteraan ini sudah puluhan tahun disampaikan. Pergantian menteri dan pergantian pejabat di lingkup Kemendikbud, hingga pemerintah pusat, belum ada satupun yang bertindak konkret. Sebaliknya, harapan demi harapan terus ditumpuk. Gimik kebijakan seolah menunjukkan keberpihakan. Faktanya, masih jauh panggang dari api. Adapun soal kualitas yang selalu dipertanyakan oleh pemerintah, apakah memang sudah ada upaya untuk meningkatkan kualitas para tenaga pendidik honorer kita? Apa langkah konkret negara dalam hal ini? Sementara persoalan mendasar seperti pemenuhan standar gaji yang layak saja, tidak dipenuhi. Tak ayal, keputusan yang ditetapkan pemerintah untuk tidak menerima PNS bagi guru pada tahun 2021 ini, bagai mimpi buruk di siang hari. Harapan menikmati kesejahteraan semakin jauh dari kenyataan. Padahal pada kesempatan yang sama, pemerintah juga mengakui membutuhkan satu juta guru baru. Namun ada kesan seolah menghindari para guru honorer ini untuk diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Misalnya terlihat dari peralihan menjadi rekrutmen PPPK atau abdi negara berstatus kontrak. Lagi-lagi, ini hanya menjadi semacam fatamorgana dari aspirasi yang sudah jelas-jelas disampaikan oleh para guru dan berbagai elemen pendidikan soal dorongan untuk mengangkat para tenaga honorer sebagai ASN. Argumentasi yang sayup-sayup kita dengar, juga dirasakan oleh para tenaga honorer adalah mereka dipandang tidak relevan. Para guru yang umumnya senior dan sudah lama mengabdi ini, semacam dianggap tidak qualified untuk menjadi tenaga pendidik di era kekinian. Era teknologi informasi dimana kebutuhan tenaga pendidik dituntut untuk adaptif dengan perkembangan zaman. Pandangan itu, seolah mengubur akumulasi jasa dan kontribusi yang sudah lama jadi sumbangsih mereka. Padahal, para guru honorer ini bisa dilatih untuk kemudian melalui proses assesment agar kualifikasinya tetap relevan. Memberikan pelatihan bagi insan pendidik yang sudah punya dasar yang matang ditambah pengalaman panjang berkecimpung di kelas-kelas, tentu jauh lebih efektif. Berbeda misalnya dengan rekrutmen tenaga pendidik yang betul-betul baru. Proses ini yang tampaknya coba dilompati oleh pemerintah dengan legitimasi berbagai keputusan dan kebijakan yang ditempuh. Termasuk meniadakan rekrutmen ASN guru yang digantikan dengan PPPK, dengan dalih ini bagian dari proses mensejahterakan guru. Pertanyaanya, jika bisa dilakukan secara langsung, kenapa harus dibuat proses berbelit-belit yang terkesan diada-adakan? Lagi pula, tuntutan mengangkat tenaga honorer sebagai ASN merupakan aspirasi yang sudah disuarakan puluhan tahun. Pada saat yang sama, sekali lagi, pemerintah memang membutuhkan satu juta tenaga pendidik baru. Lantas mengapa para guru honorer ini tidak langsung ditetapkan saja sebagai ASN sebagaimana tuntutan rekan-rekan guru tersebut? Perlu dicatat, bahwa Guru bukan ban serep. Para tenaga pendidik bukan komponen cadangan di bidang pendidikan. Tetapi merupakan organ elementer dalam sistem pendidikan kita. Guru adalah bagian dari proses pendidikan yang berjalan berkesinambungan. Memperlakukan para guru seperti tenaga kerja sebagai faktor produksi dengan status kontrak, mencederai rasa kemanusiaan. Demikian juga membatasi usia guru untuk diberi peluang sebagai ASN, sama perihnya. Menegasi apresiasi yang mestinya diterima oleh para guru. Lalu bagaimana mungkin bangsa ini bisa maju, jika muncul pikiran-pikiran dan kebijakan diskirminatif seperti itu kepada guru? Saya selaku anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, mendorong DPD secara kelembagaan agar mendesak pemerintah untuk segera ada pengangkatan para tenaga honorer sebagai ASN. Diikuti proses assesment untuk meningkatkan kompetensi para tenaga pendidik kita. Selain itu, proses apresiasi kepada para honorer ini, juga tidak boleh diklasifikasi dan diskriminatif. Termasuk menolak adanya pembatasan usia. Penulis adalah Senator Komite III Bidang Pendidikan DPD RI.

Pak Jendral Idham Azis, Mau Ditulis Sejarah Sebagai Apa?

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN – Assalamualaikum Pak Jendral Polisi Polisi Drs. Idham Aziz Msi. Apa kabar? Hampir pasti hari-hari ini menjadi hari yang dilalui Pak Idham sebagai hari yang menyenangkan. Pak jendral tidak lagi harus menggunakan setiap menit untuk berbagai urusan, baik Kepolisian maupun negara. Oh ya, ketika hari perpisahan Pak Idham dengan jabatan, tiba tepat tanggal 27 Januari 2021, sontak saja ucapan bismillahirrahmanirrahim dan hasbunallah wani’mal wakil, ni’mal maula wani’man nasir, yang pernah Pak Idham ucapkan kala fit and proper test tanggal 30 Oktober 2019, begitu saja menyapa benak ini. Itu karena ucapan ini sangat bekelas dan mengagumkan. Ucapan ini mengingatkan saya pada Salahuddin Al-Ayubi, panglima perang Islam, yang dikagumi Richard si raja gurun dari Inggris, yang menjadi lawannya. Salahuddin, pria hebat yang sangat bergantung pada Al-qur’an al-Karim, memperlakukan Richard dengan penuh hormat, kala si Raja gurun menderita sakit. Ucapan-ucapan Pak Idham bergelayut di alam pikir ini. Karena merangsang lahirnya sebuah pertanyaan, apakah Pak Idham juga mengucapkan alhamdulillah pada hari perpisahan dengan pangkat dan jabatan yang begitu hebat? Saya jelas tak dapat menemukan jawabannya. Yang pasti Pak Idham telah berpisah dengan jabatan dan pangkat yang sangat spesial itu. Kala awal mulai eksis, akhir dengan kodratnya menanti di ujungnya. Itu karena semua hal yang memiliki awal, pasti memiliki akhir. Tidak ada akhir kalau tidak ada awal. Ya pasangan abadi awal adalah tidak pernah lain selain ada akhir. Begitulah alam menyajikan hikmahnya. Tidak ada kepulangan, kalau tidak ada kedatangan. Tidak ada kematian, kalau tidak ada kehidupan. Tidak mati, kalau tidak pernah hidup. Tidak hidup kalau tidak punya roh. Setiap yang memiliki roh, akan menemui kematian. Hanya batu yang tak mati. Jangan pernah menghina orang, siapapun dia, kalau anda tidak ingin dihina kelak. Jangan juga susahkan orang, kalau tidak cukup kuat menahan gempuran kesusahan untukmu. Kalau ingin dikenang sebagai orang baik, maka berbuat baiklah selalu disepanjang relung-relung nafas yang ada. Begitu sabda alam bicara kepada mahluk yang berakal. Ustad Das’at, suatu hari memberi pesan kecil dan berbobot kepada Pak Kapolri Idham Azis. Pesan itu, kalau tak salah terlontar dari mulut ustad, usai ceramah Rapimnas Kepolisian, di Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Kalau tak salah, pesan terlontar setelah Pak Idham, kala itu masih Jendral aktif dan memegang jabatan Kapolri meminta ustad memberi Pesan. Jangan pukul kepala orang, kata ustad Da’ad kala itu. Menurut ustad ini, di kepala itu tersimpang memori huruf demi huruf al’qur’an dan hadist, yang dihafal si empunya kepala. Kalau kepalanya di pukul, ustad Das’ad khawatir hafalan al’qurannya melayang entah kemana. Padahal di alam kecil itulah, panduan agung setiap orang mengenal diri, menimbang napas, mengenal Penciptanya tersimpan. Masuk akal. Top ustad Das’ad. Pesan itu akan ditemukan sebagai sejarah. Apakah pesan itu diikuti oleh Pak Kapolri, Pak jendral Idham Aziz atau tidak? Percayalah pesan itu telah tertulis rapi dalam sejarah. Entah di daerah, di Jakarta hampir tak terdengar. Apalagi tercatat rapi dalam administrasi hukum di Kepolisian peristiwa Polisi memukul kepala orang. Di Jakarta, sekali lagi tidak ada. Entah di daerah-daerah. Pertanyaannya, apakah tidak ada mahasiswa yang bocor kepalanya, berdarah-darah, karena terkena benda tumpul yang salah digunakan oleh anggota Polisi? Tidak ada mahasiswa, bahkan buruh yang bocor kepalanya disaat demonstrasi, karena terhantam benda tumpul yang dimiliki Polisi? Dunia tahu, rumput pun tahu, pada tangal 7 Desember 2020 lalu ada anak bangsa ini yang mati ditembak oleh polisi di dada lebih dari satu tembakan. Kadafi, yang Babang Dula Hehamuhua pernah datangi kediamannya mengikuti tahlilan adalah salah satunya. Teman-temannya juga mati tertebak. Juga di dada juga, bukan di kepala. Kepala sih aman. Mereka yang tertembak adalah para pengawal Habib Rizieq Sihab, dalam perjalanannya dari Sentul ke suatu tempat di Karawang. “Mereka dibuntuti, lalu terjadi kejar-kejaran dan berakhir dengan baku- tembak”, kata Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran. Baku-tembak ini atau tertembak di kilometer 49, dan mayatnya diturunkan di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek), itu ada dua orang. Sisanya empat orang lain ditembak Petugas Polisi di dalam mobil, empat orang itu diangkut untuk dibawa ke Polda Metro Jaya. Di dalam mobil inilah orang-orang itu ditembak. Katanya mereka berusaha merebut senjata, sehingga mereka ditembak. Jelas penjelasan yang tak masuk akal. Tetapi lebih tak masuk akal lagi, setelah itu polisi di bawah kepemimpinan Pak Idham menyelidiki kasus ini. Parahnya lagi, penyidik terlihat menyidik kasus itu menurut versi Irjen Pol. Fadhil Imran, Kapolda Metro Jaya. Skema itu terlihat nyata pada rekonstruksi kasus ini. Untungnya Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM), yang melakuka penyelidikan dengan segala kelemahannya, menyajikan fakta yang sebagian besar sudutnya berbeda dengan data polisi. Bila tidak ada data dari Komnas Ham, kiamatlah dunia hukum negeri ini sesuai kerja polisi yang dipimpin Pak Idham Azis. Orang-orang itu mati karena melawan petugas. Polisi benar total, dan FPI jadi salah total. Entah dibawah kendali atau tidak, yang pasti Bareskrim dalam kepemimpinan Pak Idham Azis ini juga yang menangkap Jumhur Hidayat, Sahganda Nainggolan dan Anton Permana dan kawan-kawan aktivis. Drama penangkapan Jumhur hidayat, terus terang, memukul nurani rule of law dalam semua aspeknya. Terlihat Pak Idham Azis seperti miskin dalam pemahaman terhadap hukum dan HAM. Apakah penangkapan itu sepenuhnya diarahkan oleh Kabareskrim, Komjen Listyo Sigit, yang sekarang ini telah menjadi Kapolri? Tak ada yang tahu pasti. Apakah Pak Idham kala itu tidak memberi arahan kepada Kabareskrimnya? Juga wallau a’alam bishawab. Ruh-ruh mereka, entah bagaimana prosesnya, mungkin kelak di padang Mahsyar akan bercerita di hadapan penciptanya tentang, peluru yang membuat mereka melayang. Ruh-ruh itu, mungkin bilang bahwa “kami terlepas dari jasasd kala itu oleh peluru dari petugas polisi”. Ruh-ruh itu mungkin juga akan berkata kala itu, pimpinan tertinggi Kepolisian saat itu adalah Pak Jendral Idham Aziz. Dibawah beliau ada Kabareskrim, dan Irjen Pol. Fadhil Imran, Kapolda Metro Jaya. Polisi-polisi dibawah kendali mereka itulah yang melepaskan tembakan, dan pelurunya mengenai dada jasad kami, sehingga mengakibatkan kami kembali kepada-Mu ya Rabbii. Apapun itu Pak Idham adalah Kapolri kala itu. Suka atau tidak, itulah yang dicatat sejarah. Sejarah juga akan menyuguhkan kenyataan lain, yang untuk alasan apapun, tidak enak. Kenyataan lain itu adalah Maklumat Kapolri kepada jajarannya dalam menangani konten berita yang terkait Front Pembela Islam (FPI), yang telah dilarang pemerintah untuk berkegiatan. Maklumat yang tidak enak ditulis lagi itu, entah dibayangkan atau tidak oleh Pak Idham, terlihat oleh dunia pers bagai halilintar. Paling tidak maklumat, yang terlihat amburadul itu, bagai hantu di siang bolong memasuki dan mengacak-acak, bukan saja meja redaksi, tetapi ruh pers semua. Ketua Dewan Pers, Profesor M. Nuh, dan jajarannya, serta tidak sedikit komunitas pers bereaksi sangat keras. Maklumat Pak Idham itu disambut kalangan pers sebagai instrument baru pengekangan kebebasan pers. Lebih dahsyat dari rezim otoriter. Itu sebabnya maklumat ini serta membangunkan kalangan pers untuk bereaksi. Mereka menyambutnya dengan kritik bernada olok-olok, yang has, dan penuh gairah. Akhirnya semua itu membekas, tertulis disepanjang panggung kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai sejarah. Tidak enak memang, tetapi harus diterima. Sejarah memang bisa dikendalikan, dan diarahkan. Tetapi seperti biasanya, itu hanya bisa untuk waktu tertentu. Tidak bisa untuk setiap waktu. Bagaimana Pak Idham mengenang semuanya? Entahlah. Apakah Pak Idham mau dikenang sebagai Kapolri yang sukses? Entahlah. Jelas, Pak Idham tidak dapat mengarahkan apalagi mengendalikan sejarahnya yang telah tertulis. Apakah Pak Idham akan bilang Alhamdulillah, saya telah berhasil mengawal, dan mengemudikan Kepolisian demi bangsa dan negara ini atau hanya demi Presiden Jokowi? Entahlah. Hanya Pak Idham yang tahu itu. Apapun itu, hari-hari sesudah melepas pangkat dan jabatannya, mungkin menjadi hari yang indah buat Pak Idham. Hari yang indah dihiasi bacaan al’quran siang dan malam, dzikir pada setiap detik nafas berdetak, kiamullail di sepertiga malam, dan hal baik lainnya. Insya Allah. Melepas jabatan dan pangkat hanyalah akhir untuk urusan dunia. Akhir yang abadi itu pasti akan datang juga, entah kapan. Itu rahasia Allah subhanahu wata’ala. Semua yang tak terlihat, akan terlihat pada waktunya. Semua yang tak mampu bicara hari ini, akan bicara pada waktunya. Kelak di pengadilan itu, semua bicara apa adanya. Mulut terkunci, tangan bicara, kaki bicara, semua bicara memberi kesaksian. Tak ada kepalsuan sekecil atom sekalipun. Semuanya otentik. Begitu sabda alam memandu ummat manusia. Pak Idham, selamat menikmati hari-hari indah. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.