Penembakan di KM 50 Jangan Seperti Kasus Novel Baswedan

by M. Rizal Fadillah

Bandung FNN - Sejak hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait penembakan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) dilaporkan kepada Presiden dua minggu yang lalu hingga kini terlihat adama-yem saja. Tidak ada kebijakan atau perintah apapun yang diberikan Presiden untuk menuntaskan kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI tersebut.

Jika ada itikad baik dan serius, maka semestinya sudah ada langkah tindak lanjut dari pelaporan kepada Presiden. Kini bola berada di tangan Presiden. Mau diapakan hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah menghebokan jagad politik dan hukum Indonesia itu, terserah pada Presiden. Mau didiamkan saja hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut? Ataukah akan ditindaklanjuti dengan penyidikan yang menetapkan para pelaku penembakan sebagai tersangka?

Peristiwa yang dikenal dengan “kasus kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)” ini, memang sejak awal penanganan oleh Komnas HAM sudah dinilai "bermasalah". Karena banyak kejanggalan yang dilakukan Komnas HAM dalam menyimpulkan hasil penyelidikan dan narasi rekomendasi. Fakta yang disampaikan pun terpotong-potong dan kurang lengkap.

Komnas HAM membuat kesimpulan dengan loncat sana-loncat sini. Tidak runtun mengikuti temuan yang didapat di lapangan. Saking kecewanya, publik menginginkan adanya evaluasi dan pendalaman ulang kerja Komnas HAM yang tersksan sebagai hasil negoisiasi dan barter terhadap kematian orang. Kekecewaan itu sampai pada usul agar Komnas HAM dibubarkan saja.

Hingga kini tidak diumumkan siapa-siapa saja pelaku penembakan yang telah melakukan pelanggaran HAM tersebut? Komnas HAM hanya mengumumkan bahwa pelakukan penmabakan adalah anggota Kepolisian. Padahal untuk menemukan pelakukan penembakan adalah pekerjaan paling mudah dan gampang. Namun oleh Komnas HAM dibuat menjadi berbelit-belit.

Jadi teringat pada kasus penyidik sinior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dulu. Untuk menemukan siapa pelaku penyiram air keras ke mata Novel Baswedan, rupanya tidak gampang. Butuh waktu sampai tiga tahun lebih untuk menemukan pelakunya. Ternyata pelakunya adalah anggota Polisi sendiri. Sungguh sangat ironi.

Untuk menemukan pelaku kejahatan pidana yang dilakukan anggota polisi, seperti yang terjadi pada Novel Baswedan, rupanya tidak mudah. Sangat sulit, sebab butuh waktu seribu hari lebih atau bertahun-tahun. Namun andaikan pelanggaran hukum itu yang dilakukan oleh masyarakat sipil, polisi terlihat bekerja sangat hebat, cepat dan canggih untuk menemukan pelakunya.

Untuk kasus pidana teroris misalnya, polisi tampil sangat menghebokan. Namun berbeda antara langit dan bumi dengan kasus Novel Baswedan. Ujung dari cerita model Novel Baswedan ini adalah vonis hakim untuk pidana penjara selama 1,5 dan 2 tahun. Sementara aktor intelektual "bablas angine". Semoga kasus Novel Baswedan ini tidak terulah pada penembakan enam anggota Laskar FPI.

Semoga saja tidak membutuhkan waktu tiga tahun juga untuk mengumumkan nama-nama pelaku pembunuh enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Japek. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Novel Baswedan. Haruskah dibawa berputar-putar dahulu hingga masa pemerintahan Jokowi usai? Atau sedang disusun skenario ceritra novel yang menarik dan terlihat logis untuk menyelamatkan wajah Kepolisian, instansi lain, dan presiden sendiri?

Kejujuran itu lebih baik. Yang salah nyatakan salah, kalau ditutupi juga toh sejarah akan menjadi hakim kelak. Lebih baik buka saat ini, lalu selesailah masalah satu persatu. Jangan ditumpuk hingga berkarat. Sebab peristiwanya akan dicatat dengan tinta hitam nantinya sebagai rezim yang paling buruk dalam sejarah hukum Republik Indonesia. Tertunda, tetapi menyakitkan diri dan untuk anak cucu.

Pembunuhan terhadao enam anggota laskar FPI disebut Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM. Itu artinya bukan pembunuhan biasa. Harus cepat ditindaklanjuti dengan proses hukum. Jika mengambang tentu akan dikategorikan bahwa negara itu "unwilling" dan “unable". Artinya berlaku kepedulian universal yang menyebabkan lembaga peradilan internasional wajar dan harus ikut turun tangan.

Kasus yang terjadi di kilometer 50 tol Japek jangan seperti Novel Baswedan. Apakah Novel Baswedan atau ceritra Novel yang memang bertele-tele? Masyarakat dunia sudah membaca duduk perkaranya. Semua terhalang hanya oleh kemauan politik yang terkesan sedang ditutup-tutupi. Pembunuhan oleh aparat ini terlalu sarat dengan bahasa politik.

Political language is designed to make lies sound thruthful and murder respectable. Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan itu terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihargai (George Orwell). Untuk itu, kasus kilometer 50 tol Japek ini harus segera tuntas, jangan menjadi narasi konspirasi politik yang dibuat bertele-tele. Penjahat kemanusiaan harus segera dihukum berat !

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

411

Related Post