OPINI
Menjegal Anies Baswedan & Menguatnya Posisi Tito Karnavian
by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Sebenarnya tulisan ini merupakan dua tulisan saya yang dirilis setahun yang lalu. Prediksi dan analisis yang disajikan banyak bersesuaian dengan kondisi objektif politik hari ini. Pertama, tulisan tentang “Anies Baswedan Dihadang Skenario 2022 Tidak Ada Pilgub DKI”. Penulis rilis 19 November 2021. Kedua, tulisan penulis, 25 Januari 2020 tentang Posisi Strategis Tito Karnavian dan Upaya Menjatuhkan Anies Baswedan Menjelang 2024. Dua tulisan tersebut sengaja saya angkat lagi. Sehubungan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang sedang hangat dibahas DPR. Melihat peta politik DPR hari ini, termasuk prediksi pecah kongsinya Anies Baswedan dan Gerindra di tahun 2024. Kemungkinan tahun 2022 dan 2023 tidak ada Pilkada serentak termasuk DKI Jakarta. Menurut Undang-Undang No 10/2016, Pilkada serentak dilakukan pada 2015, 2017, dan 2018. Kemudian akan dilakukan lagi pada 2020 sebagai lanjutan Pilkada 2015. Pilkada 2022 adalah lanjutan dari Pilkada 2017, dan 2023 lanjutan Pilkada 2018. Pada Pilkada 2024, akan diikuti seluruh daerah yang melakukan Pilkada pada 2020, 2022, dan 2023. Konsekuensinya, pemenang Pilkada 2020 hanya akan menjabat selama empat tahun. Sementara untuk Pilkada 2022, dan 2023 akan dipilih pejabat kepala daerah (jika UU Pemilu tidak direvisi) untuk mengisi kekosongan, sambil menunggu Pilkada 2024. Hal ini merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua atas UU Nomor 1/2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pilgub DKI Jakarta akan digelar pada 2022. Merujuk pada UU No 10/2016 ada kemungkinan Pilgub DKI Jakarta tahun 2022 ditiadakan. Akan digelar serentak pada tahun 2024 berbarengan dengan Pilpres. Artinya, selama 2 tahun hingga 2024 DKI Jakarta akan dijabat oleh Pejabat Gubernur. Untuk pertama kalinya, Indonesia berencana menyerentakkan pilkada, pileg, dan pilpres pada 2024. Tercatat ada 541 daerah yang akan menggelar pilkada selanjutnya. Selama tidak ada revisi UU Pemilu Nomoe 10 tahun 2016, klausul kepemimpinan pejabat kepala daerah sampai tahun 2024 berlaku. Posisi Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri dinilai sangat strategis untuk maju pada Pilpres 2024. Bila UU Pemilu tidak direvisi, ada sekitar 25 Pejabat Gubernur diangkat oleh Mendagri Tito Karnavian. Tito Karnavian atas restu Jokowi bisa membangun 'kekuatan politik' melalui penunjukan sekitar 25 Pejabat Gubernur termasuk DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tiga propinsi lumbung suara Pilpres 2024. Membangun kekuatan politik diluar jalur partai, karena keduanya tidak punya posisi strategis di partai dan Tito Karnavian bukan orang partai. Tidak menutup kemungkinan bakal ada skenario beberapa jenderal polisi aktif turun gunung. Ditunjuk sebagai pejabat gubernur di ketiga propinsi yang paling potensial untuk mengantarkan Tito Karnavian ke kursi Presidenan. Selain jenderal polisi aktif bisa juga pejabat sipil loyalis Tito Karnavian ditunjuk sebagai pejabat gubernur, bupati dan walikota. Masalahnya kemudian adalah partai apa yang bakal mengusung Tito Karnavian? Disinilah kita memahami kenapa Moeldoko, pensiunan Jenderal AD 'berambisi' mengambil alih Partai Demokrat. Orang-orang dilingkaran Istana sedang berkompetisi merebut tiket pilpres 2024. 'Adu kuat' mantan Kapolri vs mantan Panglima TNI. Belajar dari Pemilu 2019, dimana Pileg dan Pilpres disatukan telah banyak menelan korban jiwa. Lebih dari 894 orang petugas pemilu meninggal, yang hingga kini masih menjadi misteri penyebab kematian ratusan petugas pemilu tersebut. Tidak dapat kita bayangkan bila 2024 Pileg, Pilpres dan Pilkada disatukan. Mungkin saja ribuan petugas pemilu harus merenggang nyawa. Belum lagi money politic dan kongkalikong penyelenggara pemilu dengan kandidat presiden, caleg dan kandidat kepala daerah sulit untuk dikontrol. Bisa jadi akan menimbulkan 'kekacauan nasional'. Resistensi konflik dan perpecahan sangat tinggi. Sebaiknya dikaji lagi penyatuan pemilu yang rentan manipulasi dan korban meninggal dunia. Revisi UU Pemilu menjadi hal yang sangat penting untuk menghindari kekacauan dan kecurangan nasional. Revisi tentang pemilu serentak (pileg, pilpres dan pilkada) dan sulitnya pembuktian kecurangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah mustahil kecurangan bisa dibuktikan di UU yang sekarang. Keterlibatan Polisi dan TNI di Bawaslu dan Panwaslu di semua level baik nasional maupun daerah untuk menjamin netralitas Polisi dan TNI dalam pemilu. Sudah menjadi rahasia umum, kalau ada kelompok politik tertentu yang punya track record curang dan bengis kepada rakyatnya sendiri. Seperti dipertontonkan pada Pilpres 2019 yang lalu. Akhirnya, terjawab sudah misteri kenapa Mendagri dijabat oleh Tito Karnavian. Padahal pada periode pertama Jokowi menjadi jatahnya PDIP. Apalagi Kapolri yang sekarang, Jenderal Listyo Sigit Prabowo merupakan loyalis Jokowi. Munculnya kekuatan politik baru dari jenderal polisi memungkinkan presiden selanjutnya dari jenderal polisi dengan dukungan kelompok jenderal merah dan kekuatan politik “siluman” yang punya segalanya (uang, jaringan, intelijen dan media). Prediksi saya, bila kekuatan politik Islam lemah dan mau “dilemahkan”, presiden 2024 kemungkinan besar tipikalnya seperti Jokowi. Presiden yang didukung oleh kelompok jenderal merah dan kekuatan politik “siluman” yang mengontrol politik dan ekonomi 5 tahun terakhir. Disinilah kenapa Anies Baswedan sebagai calon Presiden yang memiliki peluang besar untuk menang, mau dijegal melalui RUU Pemilu yang meniadakan Pilkada serentak 2022 dan 2023. Selanjutnya, terserah pecinta NKRI dan ummat Islam. Mau pasrah dengan keadaan karena lemahnya posisi politik atau bangkit dari keterpurukan untuk melawan. Bangkit untuk melawan agenda terselubung dari pembenci Islam yang secara terbuka telah melakukan deislamisasi, baik secara politik, ekonomi, pendidikan dan dakwah Penulis adalah Pegiat Dakwah dan Sosial.
Kudeta Terhadap AHY dari Istana?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kuderta menjadi istilah yang sedang "in" saat ini. Dalam kancah internasional, ada peristiwa kudeta militer atas penguasa sipil di Myanmar. Kanselir Negara Myanmar, Aung Saan Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditangkap. Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing diberi wewenang penuh memegang kendali militer oleh Penjabat Presiden Myint Swe. Amerika Serikat yang selama ini menjadi pendukung setia Suu Kyi tentu saja kecewa atas kudeta ini. Sementara di dalam negeri, lagi ramai pula rencana kudeta atas Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari jabatan Ketum Partai Demokrat oleh gerakan Moeldoko yang sekarang menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KKSP). Rencananya AHY mau dikudeta melalui upaya Kongres luar Biasa (KLB). Gonjang-ganjing dan situasi panas di partai yang rada malu-malu untuk beroposisi atau setengah oposisi ini cukup mengejutkan. Sabab rupanya rezim Jokowi ingin menaklukan semua Partai politik yang ada di parlemen. Tinggal Partai Demokrat dan PKS saja yang belum "bergotong royong" dengan Pemerintahan Jokowi. AHY pun berkirim surat segala kepada Presiden Jokowi untuk klarifikasi. Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam)Mahfud MD dalam cuitannya membantah ikut dan tahu soal rencana kudeta di tubuh Partai Demokrat terhadap AHY tersebut. Disamping Moeldoko, ada beberapa menteri yang dicurigai terlibat dengan rencana ini. Sayangnya rencana kudeta ini keburu diketahui oleh kubu AHY. Moeldoko menyatakan, keterlibatan dalam persoalan Partai Demokrat sebagai uruan pribadi. Tak berkaitan dengan Presiden Jokowi ataupun kedudukannya sebagai Kepala KSP. Moeldoko berujar, bahwa kudeta itu dari dalam Partai Demokrat. Bukan dari luar. Mungkin Moeldoko lupa bahwa kudeta itu biasanya biasa digerakkan oleh pihak luar. Moeldoko kini seolah menjadi brutus yang menikam Julius Caesar. Moeldoko yang dulu diangkat oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari mulai Kasdam Jaya, menjadi Pangdam Jaya, lalu menjadi Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), seterusnya menjadi KSAD dan Panglima TNI tersebut, mau memimpin kudeta terhadap partai dan anaknya SBY. Beredar media sosial berbagai fose foto Moeldoko sedang mencium tangan Presiden SBY saat itu. Namun Mooldoko hari ini bukan lagi Moeldoko yang dulu berkali-kali menciun tangannya SBY. Moeldoko sekarang adalah anak buahnya Presiden Jokowi yang diberikan kehormatan dan jabatan sebagai Kepala KSP. Tidak semua orang bisa meraih jabatan tersebut. Bulan Oktober 2020 lalu, pernah ramai juga isu kalau Jokowi akan dikudeta. Anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP Darmadi Durianto yang mengangkat isu itu dengan sebutan "kudeta merangkak". Menurutnya, solusi untuk mengantisipasinya adalah Jokowi harus melakukan reshuffle kabinet. Lalu Ketua Brigade 98 juga menyebut ada empat kelompok yang ingin mengkudeta Jokowi yang salah satunya adalah kelompok Cendana. Tiga kelompok lainnya yang mau mengkudeta Presiden Jokowi adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kalangan pengusaha hitam, dan kelompok oligarki. Ujunya adalah HTI dibuabrkan. Langkah pembubaran HTI itu didahului dengan kebijakan Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Masyarakat melihat isu kudeta terhadap Presiden Jokowi hanya "mainan" untuk meningkatkan wibawa Jokowi sendiri yang terus merosot. Kecuali kudeta dalam partai politik, baik melalui pembiayaan "jor-joran" di forum pemilihan Ketua Umum, atau melalui pembelahan partai. Makanya kudeta terhadap seorang Kepala Negara tidak tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia. Nah wajar kita curiga, ke depan bukan mustahil muncul isu kudeta lagi. Apalagi di tengah belepotan dan paniknya pemerintah menghadapi segudang persoalan. Misalnya, gagalnya penangan pandemi covid-19, korupsi yang pelakunya berlindung di sekeliling istana, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), macetnya investasi dari luar, tumpukan hutang luar negeri yang menggunung, daya beli masyarakat yang rendah, serta krisis ekonomi yang sedang terjadi. Rupanya perlu kreativitas palsu-palsuan untuk mendongkrak krisis terhadap kepemimpinan negara. Akan tetapi rakyat itu suah semakin cerdas. Sangat sulit untuk menipu rakyat dengan drama teror, walaupun berjudul kudeta. Acta est fabula, plaudite. "Sandiwara telah berakhir, ayo segera bertepuk tanganlah"! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Wajah Demokrasi Makin Buram di Pemilu Serentak 2024
by Tony Rosyid Jakarta FNN - Demokrasi direpresentasikan paling nyata dalam pemilu. Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Setiap orang diberi hak suara. One man One vote One value. Di Indonesia, dalam lima tahun, ada sekali pilpres, sekali pileg-pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan 548 kali pilkada. Terdiri dari 514 Kabupaten dan Kota dan 34 Provinsi. UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 menghendaki adanya pemilu serentak 2024. Pilpres, Pileg dan Pilkada diselenggarakan sekaligus. Bersama-sama dalam satu waktu. Belajar dari Pilpres dan Pileg 2019 lalu, ada sebanyak 894 petugas pemilu yang meninggal dunia. Katanya karena faktor kelelahan. Dibilang "katanya", karena beritanya simpang siur. Dan nggak ada hasil investigasi. Maka, diusulkanlah revisi UU tersebut. Dan RUU-nya telah masuk Prolegnas. Ada banyak perubahan di RUU. Termasuk usulan "normaliisasi pilkada" 2022 dan 2023. Semula, hanya PDIP yang menolak. Partai lain, semua sepakat adanya "normalisasi pilkada". Artinya, 2022 dan 2023 tetap ada pilkada. Belakangan, Presiden mendukung pemilu tetap diselenggarakan serentak di 2024, sesuai UU No 10 Tahun 2016 tersebut. Setelah pernyataan presiden ini, banyak partai yang mendadak berbalik. Golkar, Gerindra, PKB, PAN dan PPP mendukung usulan presiden. Otomatis, mendukung PDIP. Total suara partai pendukung usulan presiden itu ada 327 suara di DPR. Sementara hanya PKS, Demokrat dan Nasdem yang tetap bertahan dengan usulan "normalisasi pilkada" 2022 dan 2023. Total suaranya hanya 248. PKS, Nasdem dan Demokrat kalah suara. Maka, keputusannya sudah bisa dibaca: 2022 dan 2023 tidak ada pilkada. Diundur di 2024. Para kepala daerah, gubernur, walikota dan bupati yang habis masa kerjanya tahun 2022 dan 2023 akan diganti oleh Pelaksana Tugas (Plt). Jumlahnya ada 272 kepala daerah. Masing-masing Plt menjabat 1-2 tahun. Dari mana Plt-Plt ini? Akankah semuanya diisi dari pejabat Kemendagri? Ataukah ada yang dari Polri, mengingat Mendagri Tito Karnavian adalah mantan Kapolri? Atau ada yang dari TNI, semacam alasan untuk berbagi? Atau juga ada dari kader parpol yang ditunjuk oleh mendagri? Memang, jika pemilu diselanggarakan serentak, maka akan lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Tetapi sangat berisiko. Petugas akan kelelahan. Belajar dari pemilu 2019 yang hanya pilpres-pileg saja, hampir seribu petugas pemilu meninggal dunia. Meski menyisakan teka-teki, apakah seluruhnya mati karena unsur kelelahan, atau ada faktor lain. Dalam pemilu serentak, manipulasi kemungkinan akan lebih masif. Karena pengawasan sangat terbatas. Cara berpikirnya sangat sederhana. Sebab pemainnya bertambah banyak, sementara jumlah pengawas tetap. Tidak bertambah. Ya pasti tidak proporsional. Pada pemilu 2019, Panwas mengawasi Pilpres danPpileg saja sudah sangat kedodoran. Bagaimana mungkin ditambah lagi dengan pemilihan bupati/walikota dan gubernur? Mau berapa banyak lagi petugas Pemilu yang harus meninggal dunia karena kelelahan. Pemilih pun umumnya gagal fokus. Karena banyaknya jumlah surat suara dan jumlah calonnya. Dalam satu waktu pemilih harus mencoblos surat suara untuk DPRD I, DPRD II, DPR, DPD, bupati/Walikota, Gubernur dan Presiden. Tujuh surat suara. Pasti akan sangat membingungkan. Dua surat suara saja, banyak yang nggak fokus. Apalagi ini tujuh surat suara. Coba hitung jumlah caleg DPR, DPRD I, DPR II, calon DPD, calon bupati/walikota, dan calon gubernur, plus calon presiden-wakil presiden. Kurang lebih ada 40 nama. Anda yang muda dan cerdas saja kebingungan untuk memilih. Apalagi ABG dan para orang tua. Bagaimana mau menghasilkan pejabat yang berkualitas? Anda coba bayangkan ketika mereka kampanye di depan anda. Ada 40 calon yang kampanye. Dan hampir semuanya tidak anda kenal dengan baik. Siapa yang akan anda pilih? Tak sedikit pemilih yang akhirnya pragmatis. Sama-sama tidak kenal, pilih yang kasih uang paling besar. Selama ini, itulah yang banyak terjadi di desa-desa, dan daerah pinggir perkotaan. Pemilih pragmatis. Karena sistem mendorong pemilih untuk bersikap pragmatis. Apalagi, hukum tak pernah hadir disitu. Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk penghitungan. Bisa sehari semalam. Bahkan sampai pagi. Disini, para saksi juga akan mengalami kelelahan. Apalagi Panwas dan petugas KPPS. Kasihan mereka para petugas itu. Idealnya, ada tiga kali pemilu. Pilkada, pileg dan pilpres dilakukan secara terpisah. Pemilih bisa fokus pada pilihannya. Pengawasan juga bisa dilakukan dengan baik. Masyarakat, lembaga-lembaga independen dan pers bisa jadi alat kontrol untuk menjaga kualitas pemilu. KPPS, Panwas dan para saksi tidak harus menanggung risiko fisik karena faktor kelelahan atau lainnya. Entah apa yang menjadi pertimbangan partai-partai tersebut sehingga pemilu diusulkan serentak. Jangan sampai hasrat politik mengalahkan kepentingan bangsa, termasuk untuk keselamatan petugas KPPS, Panwas dan para saksi. Terutama "yang paling penting" untuk menjaga kualitas hasil pemilu. Selama ini, kualitas pemilu kita sudah buruk. Sarat money politics, intimidatif dan manipulatif. Dengan pemilu serentak, besar kemungkinan akan semakin buruk. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Presiden Rasis Jika Abu Janda Tidak Diproses Tuntas
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Diproses seriuskah Abu Janda setelah ber hahaha hehehe minta maaf? Cukup sampai di sinikah hukum berbicara? Wah keterlaluan. Ini bukan negara minta maaf, apalagi minta wakaf segala. Ini negara hukum yang menempatkan semua berkedudukan sama di depan hukum. Pejabat dengan rakyat kebanyakan itu sejajar. Profesor Guru Besar dengan badut juga sama. Pengecualian hanya kepada oranag gila yang tak bisa dipidana. Tetapi kalau itu gila-gilaan, maka harus menjadi alasan untuk memperberat hukuman. Begitulah cara hukum itu berbicara, dan memandu penyelenggara negara untuk menegakakan kepada semua warga negara. Hukum tegak tanpa harus memandang siapa latar belakang orang tersebut. Hari Senin kemarin, katanya Abu Janda diperiksa Direktorat Ciber Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Berita yang muncul menyatakan tidak jelas kapan Abu Janda datang ke Bareskrim. Ujug-ujug sudah ada di dalam, dan "sedang diperiksa" katanya. Laporan perbuatan pidana atas dirinya adalah "rasis" dan "penistaan agama" terhadap agama Islam. Masalah sasis dan penistaan atas agama adalah dua delik berat yang mesti dipertanggungjawabkan secara hukum. Sispapun orang . Abu Janda boleh pulang setelah dicecar dengan 50 pertanyaan oleh penyidik. Entah akan ada pemanggilan lanjutan atau tidak? Ditangkap atau tidak? Suka-suka Bareskrim saja. Masyarakat tinggal menonton, apa hasil akhirnya nanti. Toh, dalam kasus penembakan terhadap enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek), Barekrim juga terlihat suka-suka hati. Itu terlihat dari rekonstruksi perkara yang dilakukan Bareskrim terhadap kasus kilometer 50 tol Japek. Arahnya mengikuti keterangan awal yang disampaikan Kepolda Metro Jaya, Irjen Pol. Fadil Imran. Untung saja masih ada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang melakukan penyelidikan. Hasilnya, walaupun dengan bebrbagai catatan yang cenderung kompromistis, namun Komans HAM yang menyatakan penembakan terhadap empat anggota FPI yang berada di dalam penguasaan polisi dari Polda Metro Jaya sebagai pelanggaran HAM. Kalau tidak, maka polisi menjadi benar selamanya, dan FPI menjadi salah selama-lamanya juga. Banyak pihak berkeyakinan Abu Janda akan kena batunya. Tetapi tidak sedikit juga yang skeptis pada keseriusan Direktorat Ciber Bareskrim memeriksa Abu Janda. Seorang jurnalis senior FNN.co.id, Asyari Usman meragukan. Asyari Usman menulis di FNN.co.id edisi Senin (01/02/2021) dengan judul “Abu Janda Ditangka? Anda Pasti Sedang Mimpi Atau Berkhayal". Judul tulisan Asyari usman ini tentu saja merujuk pada beberapa laporan terdahulu yang telah menguap begitu saja. Dari sudut manapun mengaitkan Natalius Pigai dengan "evolusi" adalah penghinaan yang sangat rasis dan keji. Soal penghinaan dapat dimasukkan dalam klacht delict (delik aduan). Tetapi soal rasisme tentu saja tidak. Demikian juga dengan "Islam arogan" mudah untuk dikualifikasikan sebagai penodaan agama. Ahok saja soal tafsir ayat dikenakan hukuman. Bila terbukti dan terpenuhi rumusan delik, serta dukungan publik yang kuat atas perilaku kriminal Abu Janda, namun tidak diproses Direktorat Ciber Bareskrim sebagaimana mestinya, Padahal Abu Janda adalah bagian dari Istana atau "influencer bayaran", kemudian istana membiarkan, maka istana tidak bisa dilepaskan dari tanggungjawab politiknya. Proteksi otoritatif yang layak ikut menanggung dosa. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, khususnya pada Pasal 7 mengingatkan bahwa Pemerintah wajib memberi perlindungan efektif kepada warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis. Perlindungan yang dimaksud itu adalah dengan penegakan hukum melalui proses peradilan. Kepolisian itu di bawah Presiden. Presiden memiliki kewenangan memantau dan memerintahkan. Jika tugas yang dibawah kewenangan itu bekerja lambat atau menyimpang, dapat dan harus ditegur. Tidak bisa dengan enteng berkilah "bukan urusan saya". Ada tanggungjawab moral, politik, dan hukum disana sebagai konsekuensi dari statusnya sebagai Kepala Pemerintahan Indonesia. Tanggungjawab Presiden itu berkaitan dengan sikap pembiaran negara "by omission", yakni negara yang tidak melakukan sesuatu tindakan lebih lanjut untuk melaksanakan yang menjadi kewajiban hukumnya. Rasisme seorang Abu Janda atas Natalius Pigai tidak bisa dibiarkan oleh negara. Pemerintah harus hadir untuk memproteksi. Pembiaran menjadi kejahatan yang berkualifikasi sama bagi pemegang otoritas. Abu Janda yang tidak diproses tuntas dalam kasus rasisme, akan membawa konsekuensi pada predikat bahwa Presiden sebagai Kepala Pemerintahan adalah seorang yang rasis. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Raja, Kapan Engkau Sembuh?
by Tony Rosyid Jakarta FNN - Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengutip cerita Sa'di, seorang penyair Persia, dalam karyanya yang diberi judul "Gulistan" . Ketika itu ada seorang Raja Yunani yang sedang sakit. Sakitnya parah, dan kabarnya susah disembuhkan. Oleh tabib, Raja diberi resep, “potong leher pemuda dan dijadikan tumbal”. Ditunjukkan oleh tabib ciri-ciri pemuda itu. Singkat cerita, pemuda itu ditemukan. Kedua orang tuanya diberi banyak yang uang, dan sangat senang. Pengadilan pun membuat keputusan bahwa untuk menyelamatkan Raja, sah nyawa pemuda dikorbankan. Lalu tiba saatnya pemuda itu dihadapkan kepada Raja, dan siap dieksekusi. Ketika di depan Raja, pemuda itu mengangkat kepalanya ke langit, lalu tersenyum. "Dalam keadaan seperti ini, kamu masih bisa tersenyum?" Tanya Raja. Pemuda itu menjawab, "orang tua yang seharusnya melindungi dan merawat anaknya, tetapi justru menjualnya demi uang. Hakim Agung mestinya menjadi tempat pengaduan, tetapi menvonisnya. Dan Raja seyogianya menjadi tempat mencari keadilan, tetapi malah sewenang-wenang. Selain Tuhan, tak ada lagi yang bisa menolongku."Kemana aku harus lari dari cengkeraman tanganmu? Aku kucari keadilan yang bertentangan dengan kekuasaanmu". Kegitu kata-kata pemuda tersebut menutup kalimatnya. Pemuda hanya berharap pertolongan Tuhan. Mendengat kata-kata pemuda itu, hati sanga Raja tersentuh. Raja menangis dan berkata, "lebih baik aku yang binasa daripada menumpahkan darah pemuda yang tidak bersalah". Lalu, Raja memeluk pemuda itu dan mencium kepalanya. Pemuda itupun diberi hadiah dan disuruh pulang. Setelah itu, Raja sembuh dari penyakitnya. Luar biasa sang Raja. Pesan cerita ini sangat patut untuk dicontoi para penguasa. Sebab jika seorang Raja ingin sembuh dari penyakitnya, maka dengarkan anak-anak muda. Peluklah dan sayangi mereka. Sebab, mereka adalah generasi masa depan yang menyelamatkan bangsa dan negara. Anak-anak muda itu sekarang ada di kampus-kampus. Bebaskan mereka dari segala bentuk intimidasi para rektor yang dikendalikan oleh SK Menteri. Anak-anak muda itu juga menyebar di berbagai media. Jangan berangus mereka dengan menyandera para pemilik media. Anak-anak muda itu juga aktif di berbagai organisasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok-kelompok studi, forum-forum kajian dan pengajian. Jangan habisi mereka ketika mereka datang dan mengingatkan Sang Raja. Karena pasti ada manfaatnya anak-anak muda itu. Biarkan mereka bicara, tanpa tekanan dan rasa ketakutan. Jika mereka takut, lalu bisu dan tak bicara, maka mereka tidak akan bisa menyembuhkan Raja. Hanya mereka yang menjadi obat Raja. Kejujuran, ketulusan dan idealisme mereka adalah obat untuk kesembuhan Raja. Untuk itu, Raja harus segera disembuhkan. Jika Raja sakit, bangsa dan negara juga ikut sakit. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Inilah Musibah Besar Umat Islam
by DR. Masri Sitanggang Medan FNN - Seorang guru besar salah satu perguruan tinggi Islam (tak perlulah kusebut namanya) mengatakan, dakwah di Indonesia telah mengalami kemajuan pesat. Indikatornya, antara lain bahwa pakaian muslim sudah membudaya. Masjid yang dulu diisi para lansia kini ramai oleh kalangan muda. Peminat umroh dan haji sudah ngantri. Zakat-infaq sadaqah dan wakaf berkembang. Begitu juga dengan semangat melakukan ibadah qurban terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai salah seorang pembicara dalam seminar itu, aku tidak dalam kapasitas membanding dan oleh karenanya aku pun tidak menanggapi pemikiran sang Guru Besar itu. Aku menganggap pikiran beliau tak mewakili para intlektual Islam dan para pelaku dakwah. Soalnya, menurutku terlalu sederhana bila melihat dakwah dengan cara yang disampaikan itu. Tetapi aku agaknya keliru. Setelah beberapa waktu berlalu, kudapati pikiran itu ternyata ada di banyak benak tokoh Islam. Mereka puas dengan capaian dakwah seperti yang digambarkan sang Professor. Ini, tenu saja, mencemaskan kita yang menekuni dakwah ilallah, dan karena itu perlu diluruskan. Apalagi fakta menunjukkan, saat ini, dakwah justeru mengahadapi berbagai cabaran yang kian hari kian berat. Kekeliruan pandangan Sang Professor, dan mereka yang sealiran dengannya, bertitik-tolak dari kkurang tepat memahami hakekat Dakwah Islamiyah. Apa sesungguhnya missi dakwah, dan mana “titik” sebagai ultimate goal, yang akan dicapai? Sederhananya, sebutlah disorientasi. Kekeliruan ini bisa juga dilihat sebagai indikator masih kuatnya pengaruh pemikiran Snouck Hurgronje. Meski sudah merdeka tiga per empat abad, yang diterapkan penjajah Belanda di negeri ini masih saja berlanjut. Islam diarahkan kepada pelaksanaan ibadah-ibadah ritual. Karenanya, itulah yang dianggap tugas dakwah sekaligus ukuran keberhasilan dakwah. Tentu saja kita bersyukur. Bila Dakwah Islamiyah diibaratkan sebuah perjalanan, kita telah meningkatkan, misalnya, kecepatan kenderaan dari 60 km/jam menjadi 80 km/jam sehingga di satu saat tiba di titik yang indikasinya seperti dilukiskan oleh sang Professor. Ada peningkatan kerja. Ada kemajuan yang telah dicapai. Tetapi satu hal yang harus disadari, Dakwah Islamiyah tidak bergerak di ruang hampa. Ada banyak yang bergerak di ruang yang sama, yakni lawan-lawan dakwah, atau sebutlah anti dakwah sebagai sebuah nilai kebathilan. Anti dakwah itu bukan saja berupaya menghambat laju dakwah. Namun berusaha agar dakwah melenceng dari jalurnya. Selain itu, berupaya dan bergerak lebih cepat mendahului dakwah, sehingga atmosfer kehidupan dilingkupi sepenuhnya oleh anti dakwah (kebathilan). Yang demikian itu dimaksudkan agar pada gilirannya cahaya dakwah padam. Tertutupi oleh kebathilan. Jadi, ada perlombaan di situ. Ada kompetisi, bahkan ada pertarungan di situ. Bila menggunakan logika fisika gerak berubah beraturan, peningkatan dari 60 ke 80 km/jam itu hanya akan berarti bila dibandingkan dengan benda diam. Kita seolah bergerak di ruang hampa. Tidak ada yang bergerak. Tetapi jika kita sadari bahwa Dakwah Islamiyah adalah sebuah kompetisi, atau perlombaan pertarungan, dimana yang anti dakwah juga bergerak, maka peningkatan 20 km/jam dari 60 ke 80 km/jam menjadi tidak punya arti apa-apa, jika yang anti dakwah ternyata bergerak dari 60 km/jam menjadi 100 km/jam. Artinya, dakwah Islamiyah bergerak dengan kecepatan minus 20. Tertinggal 20 km/jam dibandingkan yang anti dakwah. Pada saat yang sama, tentu saja capaian anti dakwah (kebathilan) lebih tinggi dari Dakwah Islamiyah. Karenanya, menilai keberhasilan dakwah mestinya tidak dalam perspektif ruang hampa, tetapi di ruang pertarungan. Harus bandingkan gerakan dakwah dengan gerakan anti dakwah, sehingga jelas dimana posisi Dakwah Islamiyah? Mendahului atau didahului, menang atau kalah? Cara penilaan ini mengarahkan kita pada satu pengertian dakwah yang lebih luas dan komplek. Dakwah tidak boleh lagi dipahami sebagai mengajar dan pidato di mimbar, melainkan segala upaya untuk mengalahkan gerakan anti dakwah. Termasuk yang penting tentu saja, adalah duduk di belakang meja bergelut dengan informasi dan data tentang apa saja yang dilakukan dan direncanakan lawan serta menganalisa informasi tersebut. Apa pengaruhnya terhadap kerja dawah? Merujuk pada Alqur’an, Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam diutus untuk missi yang jelas dan tegas, yaitu li yudzhirohu ‘alad dini kullih. Untuk memenangkan (sistem) Islam di atas semua (agama) sistem tatanan kehidupan yang ada. Itulah ultimate goal Dakwah Islamiyah. Ke arah itulah gerakan dakwah ditujukan. Itu pula tolok ukur keberhasilan Dakwah Islamiyah. Ada tiga ayat yang menegaskan tujuan konkrit diutus-Nya Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam itu, yang tentu saja sekaligus menjadi missi dan orientasi dakwah kita sepanjang zaman. Attaubah (9) : 33, Alfath (48) : 28 dan As Shaf (61) : 9. Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan dien (sistem tatanan kehidupan) yang haq (yakni Islam), agar dimenangkan-Nya (Islam itu) di atas segala sistem tatanan kehidupan yang ada, sekalipun orang-orang musyrik itu tidak menyukainya (membencinya.) (QS 9:33; 61:9) (Pada QS 48:28, anak kalimat wa lau karihal musyrikun (walau pun orang-orang musyrik membencinya) yang ada pada QS 9 : 33 dan 61 : 9 diganti dengan wa kafa billahi syahida (cukuplah Allah menjadi saksi atas kemenangan itu) Missi memenangkan Islam, mendzahirkan (mengeksiskan) Islam di atas semua sistem yang ada, memberi pengertian yang jelas bahwa sesungguhnya Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam diterjunkan ke arena untuk bertarung. Sebab, tidak ada kemenangan tanpa ada pertarungan. Berdakwah pada hakekatnya adalah bertarung. Dengan demikian, dunia ini sejatinya adalah sebuah arena kompetisi atau pentas pertarungan dua sistem tatanan kehidupan, atau sebutlah ideologi, Islam dan bukan Islam. Dalam hal ini, Islam wajib menang. Anak kalimat “sekalipun orang-orang musyrik membencinya” atau “dan cukuplah Allah menjadi saksi (atas kemenangan itu)” pada ayat-ayat tadi, mempertegas, adanya pertarungan itu. Mempertegas adanya upaya-upaya serius untuk melemahkan atau bahkan menghentikan gerakan dakwah. Pengulangan ayat-ayat yang senada seperti di atas, tentulah dapat dimaknai bahwa Allah bermaksud memberikan tekanan kuat akan pesan yang terkandung di dalamnya agar ummat Islam sadar. Tidak lengah, atau melupakannya barang sekejap. Begitu penting pesan bertarung untuk mememenangkan sistem Islam, yang terkadung dalam ayat itu, sehingga Allah mengulang-ulangnya agar umat Islam jangan sampai lupa. Tetapi, inilah musibah besar yang melanda ummat Islam kini. Kebanyakan mereka memang lupa, bahkan tidak sadar dan tidak merasa bahwa mereka sesungguhnya sedang bertarung. Bagaimana mungkin dapat tampil sebagai pemenang, kalau merasa bertarung saja pun tidak? Tentulah mereka tak menyiapkan diri secara mental dan fisik untuk betartarung. Tidak siap menyuarakan hal-hal fundamental tentang ke-Islaman karena khawatir akan menyinggung atau menarik perhatian negatif penganut ideologi lain. Takut kalau-kalau kaum musyrik, kafir atau munafiq akan marah dan membenci. Mereka ingin tampil sebagai orang “baik” di mata semua orang termasuk di mata penyeru kebathilan. Mereka tidak sadar sedang bertarung. Tidak sadar pula kalau sesungguhnya mereka punya lawan, dan karenanya sering-sering lawan dijadikan kawan dan kawan dijadikan lawan. Sebaliknya, kalau mendapat serangan pukulan dari penganut ideologi lain, hanya bisa mengeluh, merasa didzalimi dan diperlakukan tidak adil. Padahal dalam satu pertarungan, tinju misalnya, lawan memang menginginkan mereka KO. Maka, saksikanlah bagaimana nasib mereka di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini. Tidak berdaya di semua aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM. Meski mayoritas, bobot mereka tak ubahnya buih. Tidak berdaya menghadapi gerakan anti dakwah. Tidak punya mental petarung, cukup puas dengan hanya diberi gula-gula. Mungkin gula-gula itu berupa pakaian muslim yang dikenakan pejabat, terutama di masa kampanye, atau dikirimi hewan qur’ban. Kadang shalat berjemaah yang diekpose secara luas. Sebagai sebuah sistem kehidupan, Islam meliputi semua aspek kehidupan. Dalam konteks Indonesia, bisalah kita menyebutnya IPOLEKSOSBUDHANKAM. Maka pertarungan yang dimaksud antara Dakwah Islamiyah versus anti dakwah, setidaknya meliputi semua aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM itu. Pada aspek-aspek itu pula keberhasilan atau kegagalan dakwah dinilai. Sejauh mana Dakwah Islamiyah mewarnai aspek-aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM. Tentu aku tidak bermaksud melakukan evaluasi Dakwah Islamiyah secara lebih detail dalam tulisan ini. Biarlah hal itu dilakukan pemikir Islam lainnya. Yang pasti, Dakwah Islamiyah saat ini memang sedang menghadapi tantangan yang nyata besar dan berat. Persoalan besar dan mendasar internal umat Islam adalah mereka tidak merasa sedang bertarung. Mereka merasa mencukupkan dengan apa yang bisa dicapai. Meskipun itu hanya sebatas gula-gula. Ya, bagaimana mungkin Guru Besar Perguruan Tinggi Islam merasa puas mendapat gula-gula di tengah tumpukan besar harta benda berharga? Inilah musibah besar umat Islam. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Sekjen Masyumi Reborn.
Donald Trump Sang “Imam Besar”
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Di tangan Donald Trump, seorang pengusaha tanpa tradisi eksekutif dan politik dalam jejak kehidupannya, bahkan tidak punya anjing piaraan. Nmaun bangunan demokrasi di Amerika Serikat dibuat porak-poranda. Tradisi demokrasi yang menjadi kebanggaan dan andalan utama Amerika Serikat di dunia selama satu setengah abad nyaris kehilangan bentuk. Luas diketahui Trump tidak pernah mengikuti pendidikan wajib militer. Dengan alasan ada kelainan pada bagian kaki. Ada taji, semacam di tulang kakinya. Tidak meloloskannya mengkuti wajib militer untuk Perang Vietnam. Diapun tidak pernah memangku jabatan publik, semisal anggota DPR (House Of Representative) atau anggota senat atau gubernur negara bagian. Tidak ada semua itu. Trump menjadi orang pertama di Amerika yang menjadi pemimpin tertinggi, semata-mata hanya dengan tradisi pengusaha di dalam darahnya. Sebelum terjun ke dunia politik menjadi orang nomor satu di Amerika, Trump memang dikenal sebagai taipan real-estate dan pebisnis. Jaringan bisnisnya termasuk hotel, kasino, lapangan golf, resor, dan properti hunian di wilayah New York City dan beberapa negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Itulah yang membantu menjelaskan mengapa di dalam diri Trump tidak ada kepekaan politisi. Membuatnya seperti sopir mobil angkot, suka menerobos lampu merah. Doyan tabrak lari dari aturan selama 4 tahun memerintah di Amerika. Trump memainkan obsesi sebagian rakyat fanatikus kulit putih Amerika yang mayoritas Kristen. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Skenario Fatamorgana”, Dahlan Iskan (2021) menulis, “di kalangan kelompok pendukung Trump, yakni mereka yang percaya bahwa Amerika Serikat itu aslinya didirikan sebagai negara Kristen kulit putih. Yang sekarang lagi dibelokkan oleh kekuatan rahasia pemuja setan. Mereka merasa wajib berjuang mengembalikan Amerika sesuai dengan misi saat didirikannya”. Mike Pompeo sendiri saat mengakhiri jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri menegaskan, multikulturalisme bukanlah Amerika, tulis Dahlan yang mengutip cuitan Pompeo di twitternya. Pompeo melanjutkan, memang, belakangan kalau ditanya siapa Amerika itu, jawabnya adalah negara multikultural. “Tapi tokoh pendukung Trump sekelas Pompeo pun secara tidak langsung ingin menegaskan bahwa Amerika adalah itu tadi”. Melansir media Amerika, Tony Firman, menulis (2019) “orang-orang Evangelis yang tak memilih Trump adalah orang bodoh. Mereka benar-benar orang bodoh yang tidak memiliki pendirian dan tidak dapat mengakui bahwa dirinya salah," ujar Robert Jeffress di radio Fox News yang dipandu oleh penyiar Todd Starnes, pada suatu hari di tahun 2019. Robert Jeffress adalah seorang pendeta Evangelis dari Gereja First Baptist, Dallas, Amerika Serikat, yang cukup tersohor. Dalam bincang-bincang di radio waktu itu, Jeffress blak-blakan menyatakan dukungan, dan tidak sungkan-sungkan mengajak jemaatnya untuk menyokong Presiden Donald Trump yang menurutnya sedang memperjuangkan nilai-nilai khas Kristen Evangelis. “Ini masalah hidup dan mati. Ini sangat hitam dan putih, kebaikan versus kejahatan”. Bagi Jeffress, “memilih Trump adalah harga mati”. Tak hanya Jeffress yang mengambil sikap demikian. Pemuka agama Kristen Evangelis lainnya seperti Jerry Falwell Jr. yang menjabat penasihat Trump, menempatkan Trump sebagai "presiden impian". Franklin Graham, CEO Billy Graham Evangelistic Association, dalam unggahannya di Facebook mengatakan Trump terpilih sebagai presiden berkat campur tangan Tuhan. Mayoritas penganut Evangelis Amerika memang sangat mengidolakan sosok Donald Trump. Saat Pilpres Amerika 2016, exit poll yang dilakukan Washington Post menunjukkan 80% Evangelis kulit putih memilih Trump sebagai presiden. Ini adalah dukungan suara Kristen Evangelis terbesar di dua dekade terakhir. Dukungan Evangelis ke lawan Trump, Hillary Clinton dari Partai Demokrat, hanya sekitar 16%. Nah, kembali ke Indonesia, seorang teman wartawan senior mengirimkan pesan Whatsapp mengatakan, apabila kasus Trump dianalogikan dengan situasi kondisi dan budaya Indonesia, maka Donald Trump pujaan Kristen Protestan Evangelis itu adalah semacam “Imam Besar” di negeri kita. “Semua fatwanya dianggap benar dan sakral. Makanya wajib dilaksanakan”. Sikap itu terlihat dalam kasus serangan pendukung Trump ke Capitol Hill. “Kendati jauh dari standar moralitas Kristen, Donald Trump terus mendapat dukungan dari Kristen Evangelis”. Sebab fatwa sesat sang “Imam Besar” Donald Trump telah mengakibatkan kerusuhan besar pada 6 Januari 2021, yang berujung pengrusakan gedung parlemen di Washington DC. Terjadi penjarahan laptop Nancy Pelosi ketua DPR dari Demokrat, musuh bebuyutan Trump. Sementara itu Jaksa Amerika yang secara agresif mengejar pelaku serangan Gedung Capitol, telah mengidentifikasi hampir 300 orang yang dicurigai terlibat. Ditengarai sebagai pendukung Trump. Meskipun ada bantahan. Tindak kekerasan tersebut telah menewaskan empat orang. Diantaranya seorang wanita dan petugas kepolisian. Catatan hitam itu sampai hari Jumat 15 Januari. Jika ditarik analogi terhadap dinamika paradoksal yang sedang terjadi di Amerika saat ini, seakan-akan dari layar televisi terpantul sebuah sebuah flash back kehidupan. Kehidupan yang secara konservatif alphabetis normatif bergulir, dari inferno (neraka) ke purgatorio (tempat pensucian) dan puncaknya di paradiso (surga), sebagaimana tertera dalam puisi Dante Alighieri. Penulis kelahiran Italia itu menulis karyanya yang berjudul "Divina Comedia” (Komedi Ilahi) hampir tujuh abad yang lalu. “Divina Comedia” adalah puisi naratif yang panjang. Puisi ini secara luas dianggap sebagai karya unggulan dalam sastra Italia. Hanya saja hari ini yang terbaca di Amerika adalah kebalikan dengan puisi Dante, alias new normal, dari paradiso bergerak mundur ke purgatorio dan balik kembali menuju ke inferno. “Kekacauan” situasi di Amerika adalah buah karya Trump. Karya yang membuat bangsa itu bagaikan sedang berada di dalam bara panas api neraka (inferno). Melahirkan perlawanan budaya yang mengerikan, yaitu homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Sebuah penjungkirbalikan pesan moral atas karya Dante Alighieri. Apapun kata dunia, toh faktanya sang “Imam Besar” telah menyeret demokrasi Amerika mundur jauh ke belakang. Kenyataan ini menurut beberapa pengamat politik luar dan dalam negeri, “pandemi” demokrasi yang dihembuskan Donald Trump ke dalam tubuh AS, membuat Joe Biden presiden terpilih AS ke 46. Pengganti Trump ini, memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk menemukan vaksin, sebagai upaya meningkatkan imunitas bangsa Amerika guna membangun kembali reruntuhan kepercayaan masyarakat dunia. “Penghinaan” terhadap keampuhan “obat kuat” Amerika yang bernama demokrasi telah tersaji. Dunia mencemooh propaganda “obat kuat” itu. Demokrasi Amerika rentan dihajar oleh masyarakat Amerika sendiri. Itu di Amerika sendiri. Oleh presiden Ameika sendiri, Donald Trump sang “Imam Besar” itu. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Pidana Mati Untuk Korupsi Bansos, Itu Sangat Logis
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Juliari Peter Batubara, mantan Menteri Sosial Republik Indonesia itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Juliari tersangkut kasus dugaa korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) di Kementerian yang dipimpinnya. Ia akhirnya, entah minta berhenti, atau diberhentikan oleh Presiden dari jabatan itu. Geram dengan korupsi dana untuk oran miskin ini, maka bergemalah pidana mati untu para pelakunya. Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK), begitu gema tuntutan itu. KPK tidak boleh kehilangan nyali untuk menuntut Juliari dan kawan-kawannya dengan pidana mati. Mereka dianggap keterlaluan. Bantuan negara untuk orang fakir dan miskin, ko masih dimakan juga. Keterlaluan biadab memang. Begini Kuncinya Apakah bansos kepada rakyat miskin, ditengah keadaan ekonomi yang sangat berantakan, dan daya beli masyarakat yang terus bergerak turun, dapat dijadikan justifikasi mengenakan pidana mati kepada para pelaku tindak pidana ini? Apa uang yang akan diserahkan kepada Juliari dapat dikategori uang suap? Bisakah uang itu dikategori sebagai keuangan negara? Ya uang negara? Apakah uang yang ketika disita penyidik KPK terlihat bertas-tas besar itu adalah uang negara? Mungkinkah secara hukum, uang yang terlihat berasal dari penyuap alias swasta, tak memiliki sifat dan kapasitas hukum sebagai uang negara? Itulah soal-soal elementer hukum, yang harus dibuat jelas oleh penyidik KPK. Mengapa? Hukum korupsi itu punya kriteria jelas. Pelaku tindak pidana korupsi dapat dipidana mati bila terdapat dua syarat atau keadaan hukum. Pertama, uang yang dikorupsi harus uang yang secara hukum, nyata-nyata memiliki sifat sebagai uang negara. Kedua, tempus (waktu) terjadi tindak pidana (delic) itu harus bersifat absolut, terjadinya keadaan bencana. Soal-soal di atas harus dibuat terang hukumnya oleh Penyidik KPK, suka atau tidak. Tidak bisa main pakai pidana mati saja. Penyidik harus mampu menemukan keadaan-keadaan itu. Setelah itu, barulah muncul justifikasi untuk pidana mati. Tanpa keadaan-keadaan itu, tidak bisa dipakai hukum pidana mati. Apakah penyidik KPK punya kemampuan untuk menemukan sifat keuangan negara pada uang yang dipakai menyuap Juliari itu? Dengan cara apa penyidik memasuki dan menemukannya? Satu-satunya cara yang tepat secara hukum adalah melakukan interpretasi. Tetapi bukan interpretasi analogi. Sebab hukum pidana tidak memberi tempat untuk itu. Berbahaya risikonya. Lalu harus pakai interpretasi apa? Bagaimana step-stepnya menurut kaidah keilmuan hukum? Sukarkah soal ini? Tidak sama sekali. Penyidik, dalam kerangka itu, dapat menggunakan interpretasi tekstual dengan pendekatan ejusdem generis. Penyidik harus mengawali interpretasinya dengan memeriksa fakta. Lalu secara deduktif menginferensinya dengan kaidah hukum. Dalam inferensi ini, penyidik harus benar-benar memeriksa. Kata Ali, pejabat humas KPK, seperti dilansir Liputan6.com (27/1/2021) KPK telah memeriksa Budi Pamungkas. Budi diminta keterangan terkait keikutsertaan perusahaannya dalam menyediakan paket bansos. Tidak itu saja. Budi juga dimintai keterangan tentang teknis pembayaran atas kerjasama pengadaan bansos untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 di Kemensos. Temukan Uang Negara Keterangan ini menaik. Apanya yang menarik? Proyek ini telah berjalan. Pembayaran telah dilakukan. Kenyataan ini bernilai sebagai penentu. Dimana letak penentunya? Proyek ini telah berjalan, dan uang negara telah keluar dari kas negara untuk mebayar paket bansos. Masalahnya sekarang uang swastakah yang mau diberikan kepada Juliari? Uang itu murni berasal dari pengusha? Apakah uang itu dapat dikategorikan sebagai keuntungan pengusaha? Sebab memperoleh keuntungan dalam berusaha itu soal biasa. Masalahnya, apakah keuntungan itu turut dirancang oleh pejabat pengguna barang dan jasa itu atau tidak? Ini harus dibuat sejelas-jelasnya oleh penyidik KPK. Agar jelas, maka tidak ada pilihan lain, selain soal-soal berikut dibuat jelas oleh penyidik KPK. Apakah jenis dan jumlah barang memiliki nilai uang setara Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) atau tidak? Apakah jenis dan jumlah barang bantuan itu tidak setara dengan nilai uangnya Rp. 300.000,- tetapi tetap dihargai setara Rp.300.000,- Sekali lagi, soal-soal diatas harus dibuat jelas oleh penyidik KPK. Bila dapat dilakukan secara meyakinkan oleh KPK, maka dapat diketahui ada atau tidak mark-up harga. Semoga tidak ada mark-up. Bagaimana kalau ada mark-up? Apa konsekuensi hukumnya? Konsekuensinya penyidik harus memperoleh fakta yang secara jelas menerangkan kesesuaian angka Rp.300.000 dengan jenis dan jumlah barang. Dalam hal tidak terdapat kesesuaian antara angka Rp. 300.000 dengan jenis dan jumlah barang, maka penyidik menggunakan fakta itu sebagai dasar konstruksi tentang sifat jumlah uang atas harga barang itu. Konstruksinya bisa seperti ini. Agar terlihat tak melawan hukum, maka selisih harga barang, yang seharusnya tidak perlu ada atau terjadi, tetapi tetap diadakan. Lalu diintegtrasikan ke dalam anggaran bansos. Cara itu menjadi pijakan penyidik memasuki konstruksi atas sifat uang itu. Itu fase krusial. Pada titik ini, suka atau tidak penyidik harus melakukan interpretasi terhadap uang Bansos perpaket itu. Adakah selisih lebih didalamnya? Dalam hal ada selisih lebih di dalam anggaran Bansos perpaket, maka tersedia jalan kristalisasi sifat hukum uan itu sebagai keuangan negara. Penyidik, mau tau mau harus melakukan interpretasi. Metodenya tak mungkin lain selain tekstualis. Interpretasi, tidak lain merupakan kontruksi menurut istilah Profesor Sudikno Mertokusumo menemukan hukum. Ini sangat eksplosif. Lalu bagaimana inferensinya? Inferensinya begini. Selisih lebih uang, sebut saja Rp. 10.000. (sepuluh ribu rupiah) per paket, sebagai fokus interpretasi tekstual. Pendekatannya ejusdem generis. Pendekatan ini mengharuskan penyidik fokus pada terminologi “keuangan negara”. Terminologi ini jelas didefenisikan pada pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Pada titik itu penyidik harus fokus menemukan sifat selisih uang sebesar Rp. 10.000,- per paket. Bila nyata-nyata uang selisih lebih sebesar Rp. 10.000,- yang itu dimaksudkan untuk dijatahi kepada Juliari, terlepas dari jumlah akumulatifnya, maka interpretasi tekstualis dengan pendekatan ejusdem generis jadi begini. Uang sebesar Rp.10.000. itu adalah spesis dari uang yang dianggarkan untuk bansos. Jadi, total uang untuk kegiatan Bansos, yang sebesar Rp. 300.000. per paket itu adalah genusnya. Sedangkan uang Rp 10.000,- per paket, yang berasal dari anggaran bansos ini adalah spesisnya. Kongklusinya adalah uang sebesar Rp. 10.000,- itu merupakan spesis dari genus (uang untuk seluruh anggaran bansos sebesar Rp. 300.000,- per paket). Konsekuensi konstruksi hukumnya menjadi begini, uang sebesar Rp. 10.000,- yang merupakan selisih lebih dari harga yang seharusnya, mutlak memiliki sifat hukum sebagai keuangan negara. Hukumnya jelas kasus ini bukan penyuapan. Peluang Terbuka Lebar KPK seperti dilansir (liputan6.com) sedang menyelisik peran dan arahan khusus dari mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dalam pengadaan bantuan sosial (bansos) untuk wilayah Jabodetabek di Kementerian Sosial tahun anggaran 2020. Penyidik KPK memeriksa Ex ADC Mensos Eko Budi Santoso pada hari ini, Rabu (27/1/2021). Eko diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Juliari Batubara. "Eko Budi Santoso didalami pengetahuannya terkait peran dan arahan khusus tersangka Juliari Peter Batubara. Peran dalam hal apa? Penentuan jenis dan jumlah barang? Termasuk harganya? Dua hal ini, saya cukup yakin, menjadi episentrum penyidikan KPK. Tetapi saya juga berharap penyidik KPK tidak menemukan fakta itu. Sebab bila penyidik menemukan fakta itu, maka kelebihan harga Rp. 10.000 ,- per paket akan menjadi terang. Terang dalam makna uang Rp.10.000,- yang menjadi selisih lebih itu dirancang secara sadar, atau dimaksudkan untuk dikembalikan kepada pejabat. Hukumnya jelas. Hukumnya adalah tindak pidana. Sekali lagi, ini bukan penyuapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana ini lebih tepat diterapkan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini membenarkan terdakwanya dituntut dengan pidana mati. Ayat (2) pasal ini mengatur norma adanya keadaan tertentu. Apakah pandemi Covid-19, dinyatakan secara resmi oleh pemerintah sebagai bencana non alam atau tidak? Secara hukum itu tidak menentukan determinatif. Mengapa? Kenyataannya, pandemi itu nyata-nyata ada. Ini telah menjadi kenyataan umum. Keadaan itu juga menjadi dasar Mensos keluarkan paket Bansos. Masalahnya bagaimana memberi nilai dan sifat hukum terhadap kenyataan (pandemi covid-19) itu? Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Penembakan di KM 50 Jangan Seperti Kasus Novel Baswedan
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sejak hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait penembakan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) dilaporkan kepada Presiden dua minggu yang lalu hingga kini terlihat adama-yem saja. Tidak ada kebijakan atau perintah apapun yang diberikan Presiden untuk menuntaskan kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI tersebut. Jika ada itikad baik dan serius, maka semestinya sudah ada langkah tindak lanjut dari pelaporan kepada Presiden. Kini bola berada di tangan Presiden. Mau diapakan hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah menghebokan jagad politik dan hukum Indonesia itu, terserah pada Presiden. Mau didiamkan saja hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut? Ataukah akan ditindaklanjuti dengan penyidikan yang menetapkan para pelaku penembakan sebagai tersangka? Peristiwa yang dikenal dengan “kasus kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)” ini, memang sejak awal penanganan oleh Komnas HAM sudah dinilai "bermasalah". Karena banyak kejanggalan yang dilakukan Komnas HAM dalam menyimpulkan hasil penyelidikan dan narasi rekomendasi. Fakta yang disampaikan pun terpotong-potong dan kurang lengkap. Komnas HAM membuat kesimpulan dengan loncat sana-loncat sini. Tidak runtun mengikuti temuan yang didapat di lapangan. Saking kecewanya, publik menginginkan adanya evaluasi dan pendalaman ulang kerja Komnas HAM yang tersksan sebagai hasil negoisiasi dan barter terhadap kematian orang. Kekecewaan itu sampai pada usul agar Komnas HAM dibubarkan saja. Hingga kini tidak diumumkan siapa-siapa saja pelaku penembakan yang telah melakukan pelanggaran HAM tersebut? Komnas HAM hanya mengumumkan bahwa pelakukan penmabakan adalah anggota Kepolisian. Padahal untuk menemukan pelakukan penembakan adalah pekerjaan paling mudah dan gampang. Namun oleh Komnas HAM dibuat menjadi berbelit-belit. Jadi teringat pada kasus penyidik sinior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dulu. Untuk menemukan siapa pelaku penyiram air keras ke mata Novel Baswedan, rupanya tidak gampang. Butuh waktu sampai tiga tahun lebih untuk menemukan pelakunya. Ternyata pelakunya adalah anggota Polisi sendiri. Sungguh sangat ironi. Untuk menemukan pelaku kejahatan pidana yang dilakukan anggota polisi, seperti yang terjadi pada Novel Baswedan, rupanya tidak mudah. Sangat sulit, sebab butuh waktu seribu hari lebih atau bertahun-tahun. Namun andaikan pelanggaran hukum itu yang dilakukan oleh masyarakat sipil, polisi terlihat bekerja sangat hebat, cepat dan canggih untuk menemukan pelakunya. Untuk kasus pidana teroris misalnya, polisi tampil sangat menghebokan. Namun berbeda antara langit dan bumi dengan kasus Novel Baswedan. Ujung dari cerita model Novel Baswedan ini adalah vonis hakim untuk pidana penjara selama 1,5 dan 2 tahun. Sementara aktor intelektual "bablas angine". Semoga kasus Novel Baswedan ini tidak terulah pada penembakan enam anggota Laskar FPI. Semoga saja tidak membutuhkan waktu tiga tahun juga untuk mengumumkan nama-nama pelaku pembunuh enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Japek. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Novel Baswedan. Haruskah dibawa berputar-putar dahulu hingga masa pemerintahan Jokowi usai? Atau sedang disusun skenario ceritra novel yang menarik dan terlihat logis untuk menyelamatkan wajah Kepolisian, instansi lain, dan presiden sendiri? Kejujuran itu lebih baik. Yang salah nyatakan salah, kalau ditutupi juga toh sejarah akan menjadi hakim kelak. Lebih baik buka saat ini, lalu selesailah masalah satu persatu. Jangan ditumpuk hingga berkarat. Sebab peristiwanya akan dicatat dengan tinta hitam nantinya sebagai rezim yang paling buruk dalam sejarah hukum Republik Indonesia. Tertunda, tetapi menyakitkan diri dan untuk anak cucu. Pembunuhan terhadao enam anggota laskar FPI disebut Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM. Itu artinya bukan pembunuhan biasa. Harus cepat ditindaklanjuti dengan proses hukum. Jika mengambang tentu akan dikategorikan bahwa negara itu "unwilling" dan “unable". Artinya berlaku kepedulian universal yang menyebabkan lembaga peradilan internasional wajar dan harus ikut turun tangan. Kasus yang terjadi di kilometer 50 tol Japek jangan seperti Novel Baswedan. Apakah Novel Baswedan atau ceritra Novel yang memang bertele-tele? Masyarakat dunia sudah membaca duduk perkaranya. Semua terhalang hanya oleh kemauan politik yang terkesan sedang ditutup-tutupi. Pembunuhan oleh aparat ini terlalu sarat dengan bahasa politik. Political language is designed to make lies sound thruthful and murder respectable. Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan itu terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihargai (George Orwell). Untuk itu, kasus kilometer 50 tol Japek ini harus segera tuntas, jangan menjadi narasi konspirasi politik yang dibuat bertele-tele. Penjahat kemanusiaan harus segera dihukum berat ! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jokowi, Rocker NKRI yang Kehilangan Suara
by Jarot Espe Surabaya, FNN - Presiden Indonesia Jokowi itu rocker sejati. Vokalnya melengking tinggi menembus langit, dan kerap membuat lutut pendengarnya gemetar. Rock never die..!!! Penggemar musik cadas pasti paham, teriakan tersebut semacam sumpah setia mereka untuk terus mengibarkan rock. Dari Led Zeppelin yang legendaris, Queen kesayangan Pak Jokowi, hingga Linkin Park dan Gun's n Roses. Berkiblat pada rocker dunia, suara Pak Jokowi merupakan harga mati NKRI. Ia yakin pilihan lagunya, bertema UU Ciptaker, bakal nendang, meledak di pasaran. Seluruh negeri pun merespons dengan teriakan, bahkan tangisan. Persis seperti keyakinan Freedy Merkuri, Rocker Queen, yang bersikeras 'Bohemian Rhapsody' akan menjadi hit terkenal. Lagu ini nyaris batal dirilis karena sangat panjang dan alunan musiknya yang tidak biasa. Mirip cerita Bohemian Rhapsodi, karya lainnya yang disuarakan Pak Jokowi melintir beken ke penjuru Nusantara. Dalam industri musik, disebut booming. Deretan lagu beraliran rock, bahkan heavy metal, bisa dilihat kasat mata. Dengar saja kisahnya, sejak pembunuhan 6 laskar FPI, penahanan Habib Rizieq Shihab, hingga pembubaran FPI dimainkan dalam tempo cepat bernada tinggi. Seluruhnya menjadi koleksi album rocker kelahiran Solo ini. Anda masih ingat Robert Plant, rocker flamboyan Led Zeppelin yang mengagumi penyanyi mesir Ummi Kultsum? Plant sebelas-dua belas dengan Pak Jokowi. Beda-beda tipis. Perbedaan besarnya, yaitu, Plant bertahun-tahun melakukan observasi terhadap Ummi Kulzum. Sang rocker ingin menciptakan karya megah, sebagaimana dirasakan pada sosok idolanya. 'Starway to heaven' pun menjadi hits terkenal sepanjang zaman. Sebaliknya, rocker NKRI hanya fokus pada target, mengabaikan proses penciptaan. Pada album gerakan nasional waqaf uang, Sri Mulyani yang menjadi backing vokal Pak Jokowi mempercantik tampilan luar. Ia menggunakan kerudung saat menjelaskan misi waqaf uang. Tapi sejujurnya, pada album teranyar kali ini, sang rocker tidak mengindahkan perasaan audiens. Setelah berlalu para ulama ditangkapi, kok mendadak menggunakan konsep Islam untuk mengeruk dana umat Islam. Barangkali Pak Jokowi kehabisan narasi untuk dituangkan dalam karya-karyanya? Mengapa sampai terucap syair alhamdulilah, bukannya inna lillahi wa inna illahi rojiun ketika angka covid-19 di negeri ini tembus satu juta kasus? Atau mungkin Pak Jokowi dilanda demam panggung saat mengetahui lagu yang baru dirilis tidak direspons masyarakat? Entahlah. Yang sangat mungkin adalah para rocker dikenal sebagai pribadi introvert ketika turun panggung. Justru di sinilah kematangan seorang rocker. Jika terbiasa pentas live, vokal dan stamina benar-benar terjaga. Berbeda dengan penyanyi rekaman, yang segala kekurangan bisa diakali. Indikasi paling nyata adalah menyimak saat rocker muncul di panggung. Kilatan lampu membuat silau mata. Untuk mengukur berapa jumlah massa, sang rocker mendekatkan bibirnya ke mikrofon. Tesst..check sound.. satu..satu, dua, tigaaa...Stadion pun serasa mau runtuh saat massa merespons sang idola. Namun kali ini, lidah Pak Jokowi kelu. Ia tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Pak Jokowi benar benar kehilangan suara. Penulis adalah Pemerhati Seni.