OPINI
Habib Riziek Pulang, Mau Pimpin Revolusi?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (14/10). Berita di Republika online mengejutkan publik. Bahwa cekal Habib Rizieq Shihab (HRS) dicabut oleh pemerintah Arab Saudi. Dampkanya, HRS akan segera pulang. Infoermaso ini disampaikan Ketua Umum Front Pembela Indonesia (FPI), KH Sobri Lubis atas mobil komando saat demo di depan patung kuda kemarin (13/10). Kapan persisinya HRS pulang? Kabarnya, dalam waktu dekat. Bisa minggu ini. Bisa juga minggu depan. Sepertinya, HRS akan mempertimbangkan situasi politik dan eskalasi demo yang berlangsung akhir-akhir ini di sejumlah kota-kota besar tanah air. Tepatnya, nunggu momentum yang pas. Kepulangan HRS untuk memimpin revolusi, kata Ketua Umum FPI KH Sobri Lubis. Maksudnya? Tentu saja bukan revolusi mental ala Jokowi. Bukan revolusi industri ala Inggris. Bukan pula revolusi politik model Perancis atau revolusi berdarah ala komunis. Lalu? Kalau dihubungkan dengan sejumlah narasi HRS selama ini, dimana pendiri FPI ini berulangkali meminta presiden Jokowi mundur, maka revolusi yang dimaksud sepertinya "revolusi Jokowi mundur". Itu nggak makar ya? Refly Harun, ahli hukum tata negara bilang, itu bukan makar. Tidak yang melanggar hukum. Namanya juga tuntutan. Dari mobil komando demo 13 Oktober kemarin, kendaraan yang digunakan oleh ketua FPI untuk mengumumkan kepulangan HRS, ada spanduk bertuliskan tuntutan Jokowi mundur. Spanduk semacam ini sudah beberapa kali ada di mobil komando saat FPI turun demo. Artinya, HRS dan FPI konsisten meminta Jokowi mundur. Selama ini, nggak ada yang mengejutkan, baik narasi HRS maupun spanduk FPI terkait tuntutan Jokowi mundur. Bukan sesuatu yang wah dan membuat masyarakat kaget. Kenapa? Sudah lama didengungkan, dan sampai hari ini Jokowi masih tetap presiden. Nggak mundur! Bagaimana jika kelak tuntutan agar "Jokowi mundur" tersebut disampaikan langsung oleh HRS di tengah lautan massa pelajar, mahasiswa, buruh dan umat Islam yang demo terkait UU Omnibus Law? Apakah akan punya efek kejut? Setuju tidak setuju, suka tidak suka, saat ini HRS adalah maestro gerakan moral. Pertama, HRS sangat konsisten. Terus ambil posisi sebagai oposisi dan menjadi pihak yang selalu mengkritisi pemerintah. Kedua, HRS punya keberanian yang stabil untuk melakukan perlawanan terhadap rezim. Ketiga, punya massa terstruktur dan militan. Jelas pendukungnya. Sekali HRS instruksikan demo, ribuan hingga jutaan massa akan turun. Ini fakta. Bukan mengaram bebas.com. Soal ini, HRS belum bisa ditandingi oleh siapapun di Indonesia. Keempat, gak punya ambisi. Baik untuk menjadi presiden, apalagi menjadi menteri pertahanan. Tidak! Publik menilai, HRS sangat berpengaruh. Beberapa tahun lalu, tiga kali saya jumpa HRS di rumahnya di Makkah, selalu bertemu dengan orang-orang partai dan calon kepala daerah. Mereka datang untuk minta dukungan. Ini bukti betapa besar pengaruh HRS bagi masyarakat Indonesia. Kesan saya, tokoh yang satu ini memang smart. Sangat luas wawasannya. Yang paling penting lagi HRS mengantongi banyak informasi yang menunjukkan bahwa Imam Besar ini punya banyak jaringan. Rencana kepulangan HRS kali ini, pasti sudah dikalkulasi. Ada situasi dimana kekecewaan rakyat berada pada titik paling puncak. Jika demo KPU hanya melibatkan pendukung Prabowo, UU KPK dan Minerba melibatkan mahasiswa, UU Corona melibatkan elit intelektual, RUU HIP melibatkan MUI, ormas dan umat Islam, maka UU Omnibus Law Cipta Kerja ini telah menyedot perhatian serta emosi seluruh elemen bangsa. Emosi itu tidak saja dari pelajar, mahasiswa, buruh, kaum akademisi dan umat Islam. Semua komponenn bangsa marah dan turun ke jalan. Lalu kemana TNI yang katanya anak kandung rakyat itu akan berpihak nantinya? Soal ini juga penting untuk bahan analisis selanjutnya. Beberapa kali demo UU Omnibus Law Cipta Kerja sukses menghadirkan massa yang sangat besar. Buruh demo, massa yang turun sangat besar. Mahasiswa demo, jumlah massa yang turun juga sangat besar. Dan 13 oktober kemarin, FPI, PA 212 dan GNPF juga menurunkan massa yang sangat besar. Dan semua demo ini berakhir dengan kericuhan dan penangkapan. Jika dengan kericuhan dan penangkapan sejumlah tokoh dan demonstran sebagaimana yang terjadi juga pada peristiwa demo-demo sebelumnya berhasil menekan massa dan membuat demo-demo akhirnya berhenti, maka pemerintah, dalam konteks ini Jokowi sebagai kepala negara akan aman sampai 2024. Kecuali ada peristiwa lain yang lebih dahsyat, terutama krisis ekonomi. Namun, jika penangkapan terhadap demonstran dan para tokoh tidak mampu meredam demo. Tetapi sebaliknya, justru mendorong eskalisai demo makin membesar, maka akan menjadi persoalan yang bakal serius buat rezim saat ini. Dalam situasi seperti itu, kepulangan dan kehadiran HRS di tengah berlangsungnya demonstrasi bisa memberi efek kejut. Bahkan revolusi ala HRS "tidak menutup kemungkinan" benar-benar bisa terjadi. Kalau revolusi ala HRS terjadi, bagaimana next? Tunggu analisis berikutnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Polemik UU Omnibus Law: Banyak Versi untuk Tutupi Sesuatu?!
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Rabu (14/10). Mana naskah final UU Omnibus Law atau Cipta Kerja yang benar dan asli? Setelah beredar naskah setebal 1.035 halaman yang telah dikonfirmasi sebagai naskah final, kini beredar lagi naskah setebal 812 halaman. Bagaimana dengan naskah lainnya? Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indra Iskandar kembali membenarkan versi 812 halaman ini. Menurut Indra, perubahan ini terjadi karena perubahan format kertas dari ukuran A4 menjadi ukuran legal. “Iya delapan ratus dua belas halaman. Kan tadi pakai format A4, sekarang pakai format legal jadi 812 halaman,” kata Indra ketika dihubungi, Senin, 12 Oktober 2020, seperti dilansir dari Tempo.co, Senin (12 Oktober 2020 20:56 WIB). Indra mengatakan naskah itu belum dikirim ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Namun ia tidak merinci apakah naskah itu sudah siap dan rampung diteken para ketua kelompok fraksi (Kapoksi) Badan Legislasi serta pimpinan DPR. Indra juga tak merinci saat ditanya adanya kemungkinan perubahan substansi dari naskah teranyar ini. Dia mempersilakan hal itu ditanyakan kepada pemerintah. “Saya enggak bisa bicara substansi, saya administrasi saja,” kata Indra. Tempo pun memeriksa naskah UU Cipta Kerja versi 812 halaman. Dalam naskah terbaru ini ada penambahan di antara Bab VIA, Bab VI, dan Bab VII. Bab ini yang mengatur tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang Berkaitan dengan Pajak dan Retribusi. Bab VIA ini terdiri dari enam pasal. Ada tiga pasal tambahan, yakni Pasal 156A, Pasal 156B, dan Pasal 159A. Kemudian ada penambahan dan perubahan ayat pada Pasal 157 dan 158. Pada Senin pagi tadi, Indra mengonfirmasi naskah setebal 1.035 halaman yang disebut akan dikirim ke Presiden Jokowi. Naskah itu pun memuat sejumlah perbedaan dari naskah setebal 905 halaman yang sebelumnya beredar pada Senin, 5 Oktober 2020. Sepekan sejak disahkan oleh DPR dan pemerintah pada Senin (5/10/2020), belum ada naskah final UI Cipta Kerja. Pada Kamis (8/10/2020), anggota Baleg DPR Firman Soebagyo berujar, masih ada beberapa penyempurnaan yang dilakukan pada RUU Cipta Kerja. “Artinya, bahwa memang draf ini dibahas tidak sekaligus final, itu masih ada proses-proses yang memang secara tahap bertahap itu kan ada penyempurnaan,” kata dia. Dikutip dari Kompas.com, Senin (12/10/2020), beredar juga draf UU Cipta Kerja dengan versi terbaru. Kali ini, terdapat draf berjumlah 1035 halaman. Di halaman terakhir, terdapat kolom untuk tanda tangan pimpinan DPR Aziz Syamsuddin. Sebelumnya, Senin, 5 Oktober, beredar dokumen yang berjudul “5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna”. Dokumen tersebut berjumlah 905 halaman. Sementara itu, dalam situs DPR (dpr.go.id), draf RUU Cipta Kerja yang diunggah berjumlah 1.028 halaman, tetapi tidak memiliki tanggal yang jelas. Misteri naskah final ini menambah daftar kritikan publik terhadap UU Cipta Kerja yang sejak awal menuai kontroversi. Sampai detik ini mana draf yang benar belum juga terang betul. Meski Sekretaris Jenderal DPR melansir draf UU Cipta Kerja (versi 1.035 halaman) yang dimuat berbagai media dan disebut sebagai “yang dibahas terakhir” dan “dikirim ke Presiden”. Sebelumnya beredar versi 1.028 halaman yang dipajang di laman Kemenko Perekonomian tanggal 7 Mei 2020. Lalu versi 905 halaman yang beredar setelah Rapat Paripurna DPR 5 Oktober 2020 menyetujui. Ada juga versi 9 Oktober 2020 setebal 1.062 halaman. Jika pihak DPR dan pemerintah atau para pendukungnya berkata semua versi itu substansinya sama hanya ada perubahan format dan titik-koma sehingga jumlah halamannya berbeda, tulis Agustinus Edy Kristianto, tentu saja ini Anda layak curiga. Beda adalah beda. Sama adalah sama. Bahkan perubahan titik atau koma pun mempengaruhi arti atau makna. Jangan main-main dan menganggap remeh hal itu dalam suatu pembentukan regulasi yang akan mengikat kita semua. Lagipula kenyataannya setiap versi terjadi perubahan substansial. NU Circle yang memang memelototi sektor pendidikan menemukan dugaan ‘ketidakjujuran’ pernyataan Sekjen DPR bahwa versi 1.035 halaman (12 Oktober 2020) dan versi 905 halaman (5 Oktober 2020) substansinya sama hanya perubahan pada titik-koma. Nyatanya, ia mengubah substansi. Draf versi 1.035 halaman terdapat penjelasan Pasal 65 Ayat (1) yang justru persis sama dengan versi 1.052 halaman (9 Oktober 2020). ‘Triknya’ adalah dalam versi 1.052 dan 1.035 halaman terdapat penjelasan Pasal 65 Ayat (1) yang isinya tentang perizinan usaha pendidikan yang hanya berlaku di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), persis dengan pernyataan Presiden saat klarifikasi hoaks (9 Oktober 2020). Tempo melaporkan sebuah peristiwa yang terjadi pada Rabu, 7 Oktober 2020 (2 hari setelah Rapat Paripurna) di ruang Badan Legislasi DPR, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Pasal 253 tentang Revisi UU 1/2009 tentang Penerbangan diubah. Petugas menghapus kata “heliport” di belakang frasa “tempat pendaratan dan lepas landas helikopter”. Detikcom (Senin, 12 Oktober 2020) melaporkan perubahan kata “paling banyak” dalam Pasal 156 Ayat (2) yang mengatur tentang pesangon, yang berbeda antara versi 905 halaman dan 1.035 halaman. Ini indikasi dugaan yang sangat kuat bahwa antara rentang waktu Rapat Paripurna 5 Oktober 2020 sampai hari ini, naskah itu mengalami perubahan Bukan hanya perubahan titik-koma melainkan Perubahan Substansi yang mempengaruhi Arti. Tindakan itu memiliki konsekuensi hukum dan politik yang sangat serius. Para pelakunya bisa dipidana. Kedudukan hukum dan kredibilitas produk hukum ini pun berpotensi cacat dan patut dibatalkan seluruhnya baik melalui mekanisme uji formil di MK, Executive Review, maupun Legislative Review. Dalam status sebelumnya, Edy Kristianto telah mengatakan tentang proses pembentukan UU Cipta Kerja yang diduga bertentangan dengan asas pembentukan perundang-undangan yang baik terutama asas keterbukaan. Permasalahan draf RUU yang cenderung ditutup-tutupi juga telah diungkapkan Prof. Satya Arinanto pada 29 April 2020 ketika RDPU dengan DPR. UU ini juga cenderung berpihak kepada pengusaha, dibuktikan dengan pembentukan Satgas yang didominasi pengusaha. Bahkan seorang anggota Satgas melapor ke Ombudsman RI mengenai adanya keharusan menandatangani pernyataan tidak mengungkapkan draf RUU kepada pihak luar. UU Cipta Kerja sangat-sangat strategis dan penting. Mengatur banyak hal mulai dari Migas, Minerba, Ketenagalistrikan, Kelautan, Pers, Penyiaran, Pajak, Kepailitan, dan banyak lagi. Jadi, “Jangan dianggap sepele sekadar titik koma,” tegasnya. Yang jelas, jika ada yang berkata UU Cipta Kerja sangat urgent untuk menarik investasi demi lapangan kerja bagi 22 juta pengangguran, jangan mudah percaya. Skeptislah, karena itu bisa jadi pemanis belaka. Edy Kristianto juga menyoroti pembentukan lembaga baru melalui UU ini yakni Lembaga Pengelolaan Investasi-LPI (Pasal 165 draf versi 1.035 halaman). “Ini norma baru usulan pemerintah yang bisa ditelusuri dari Naskah Akademik,” tulisnya. Lembaga ini akan mendapatkan modal awal paling sedikit Rp15 triliun berupa Dana Tunai, barang milik negara, piutang negara pada BUMN/PT, dan saham milik negara pada BUMN. Dalam hal modal berkurang secara signifikan, pemerintah bisa menambah kembali modal. Lembaga ini kuat kedudukannya dan hanya dapat dibubarkan dengan undang-undang. Mimpinya ingin meniru superholding BUMN seperti Temasek (Singapura) dan Khazanah (Malaysia), seperti yang dulu digaungkan dalam kampanye Pilpres. Tapi ingat, ini wilayah panas yang sinyal kuat potensi korupsinya tinggi. Investasi bisa untung, bisa rugi dan bagaimana status keuangan negara di situ, bagaimana pula pertanggungjawaban pidananya. Belum lagi kredibilitas pengelolanya. “Bagaimana jika dimanfaatkan selayaknya bisnis manajemen aset swasta, yang sebagian besar aktornya saya amati dominan berperan dalam pembentukan UU ini,” ujarnya. Yang jelas, jika ada yang berkata UU Cipta Kerja sangat urgent untuk menarik investasi demi lapangan kerja bagi 22 juta pengangguran, jangan mudah percaya. Skeptislah, karena itu bisa jadi pemanis belaka. Edy Kristianto mengingatkan, UU Cipta Kerja bisa juga kita curigai menjadi alat segelintir orang untuk menjadi broker investasi asing dengan menjual kekayaan negara ini. “Lapangan kerja bagi pengangguran belum terwujud, tapi pundi-pundi harta orang-orang itu sudah gemuk terlebih dulu,” katanya. Melansir Koran Tempo, Selasa (13/10/2020), munculnya sejumlah versi UU Cipta Kerja dengan sejumlah perubahan pada subtansi pasal setelah disahkan DPR dalam paripurna pada 5 Oktober 2020 menjadi tanda cacat formal. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan perubahan subtansi setelah pengesahan menunjukkan rendahnya legitimasi dalam perumusan Undang-undang tersebut. “Dari sisi legal, itu sudah melanggar,” katanya seperti dikutip Koran Tempo. Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011, DPR memiliki waktu 7 hari untuk merapikan draf UU yang disahkan kepada Presiden Jokowi. Tapi, menurut UU, yang boleh diubah hanya kesalahan ketik dan penyesuaian format tulisan. Perubahan subtansi tidak diperkenankan karena bakal mengubah materi Undang-undang. “Mengubah satu ayat pun tidak boleh. Itu sama dengan pencurian pasal,” ujarnya. *** Penulis wartawan senior FNN.co.id
IPW: Penangkapan Aktivis KAMI Hanya Manuver untuk Memancing Gatot
by Neta S Pane Jakarta FNN - Rabu (14/10). Selama rejim Jokowi berkuasa, penangkapan petinggi KAMI kemarin adalah penangkapan aktivis kritis yang kelima kalinya. Empat penangkapan terdahulu dengan tuduhan makar. Tapi akhirnya semua tertuduh dibebaskan. Kasusnya tidak sampai dilanjutkan ke pengadilan. Padahal tuduhannya sangat serius, yakni makar. Tapi kok tidak lanjut ke pengadilan. Sebab rejim Jokowi pun tidak yakin dengan tuduhan makarnya, sehingga setelah ditahan beberapa Minggu para aktivis kritis tsb dibebaskan semuanya. Jadi tiga penangkapan terdahulu yg dilakukan rejim Jokowi hanyalah sekadar traphi kejut buat para aktivis kritis dan buat proses demokrasi. Bagaimana dgn penangkapan Syahganda Cs atau para petinggi KAMI? Ind Police Watch (IPW) menilai, kasus Syahganda Cs setali tiga uang dengan kasus makar terdahulu. Artinya, semua itu tak lain hanya sekadar traphi kejut untuk para pengikut KAMI di tengah maraknya aksi demo buruh yang menolak UU Ciptaker yang kontroversial. IPW melihat, Sejak semula rejim Jokowi sudah mengincar pergerakan dan manuvet KAMI, yang dianggap cenderung menjengkelkan. Berbagai aksi penolakan di berbagai daerah sudah "dilakukan" tapi aktivis KAMI tetap "bandel" untuk bermanuver. Untuk menangkap mereka tidak ada alasan yang tepat. Sebab ujuk ujuk menangkap mereka pasti akan ramai ramai dikecam publik. Sehingga pas ada momentum aksi demo menolak UU Ciptaker, penangkapan terhadap para petinggi KAMI pun dilakukan. Penangkapan ini sama seperti dilakukan rejim Jokowi terhadap Hatta Taliwang cs mapun Eggi Sudjana cs yang dilakukan saat akan terjadinya aksi demo besar di periode pertama pemerintahan Jokowi. Begitu juga saat ini, saat penangkapan terhadap Syahganda Cs dilakukan, saat itu sedang maraknya aksi demo maupun rencana demo besar. Ada tiga tujuan penangkapan Syahganda Cs. Pertama untuk mengalihkan konsentrasi buruh dalam melakukan aksi demo dan menolak UU Ciptaker. Kedua, memberi teraphi kejut bagi KAMI dan jaringannya agar tidak melakukan aksi aksi yang "menjengkelkan" rejim Jokowi. Ketiga, menguji nyali Gatot Nurmantio sebagai tokoh KAMI, apakah dia akan berjuang keras membebaskan Syahganda Cs atau tidak. Jika dia terus bermanuver bukan mustahil Gatot juga akan diciduk rejim, sama seperti rejim menciduk sejumlah purnawirawan di awal Jokowi berkuasa di periode kedua kekuasaannya sebagai presiden. Jika melihat tuduhan yang dikenakan kepada Syahganda Cs tuduhan itu adalah tuduhan ecek ecek dan sangat lemah serta sangat sulit dibuktikan. Sehingga IPW melihat kasus Syahganda Cs ini lebih kental nuansa politisnya. Sasarannya bukan untuk mencegah aksi penolakan terhadap UU Ciptaker tapi lebih kepada manuver untuk menguji nyali Gatot Nurmantio. Sehingga pada ujungnya nanti Syahganda Cs diperkirakan akan dibebaskan dan kasusnya tidak sampai ke pengadilan seperti empat kasus makar terdahulu, terutama kasus Hatta Taliwang cs. Penulis Ketua Presidium Indonesia Police Watch
Sintong Panjaitan, Sama Ngawurnya Dengan Luhut
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Rabu (14/10). Adalah Sintong Panjaitan yang berkoar-koar bahwa komunis sama sekali sudah tidak ada. Lanjut Sintong, komunis sudah habis di dunia. Buta sekali rupanya Sintong Panjaitan ini. Dia seolah-olah tidak bisa melihat ada Partai Komunis Cina. Apakah Republik Rakyat Cina (RRC) itu ideologi komunisnya sudah berubah jadi ideologi agama? Tidak juga boss Sintong. Masih tetap komunis tuh. Walaupun begitu, RRC tidak mengurung diri di rumahnya. Tidak me-lockdown negerinya. Justru sekarang negara komunis tersebut sedang giat-giatnya mengembangkan pengaruh dan kekuasaannya. Hegemoni Cina luar biasa terbangun di berbagai belahan dunia. Bahkan warganegara bangsa lain yang keturunan Cina diakui dan dijadikan jaringan kepentingan politiknya. Begitu juga dengan Partai Komunis Cina yang mencanangkan jaringan kepada orang-orang Cina diaspora. Sementara program One Belt One Road (OBOR) membuat Cina bercahaya di mana-mana. Indonesia termasuk yang tertipu, karena telah menjadikan Cina sebagai Mbah, bahkan menjadi berhala. Masyarakat melihat liason officernya (LO) adalah Bapak Menteri Kordinator Maritim an Investasi Jendral kehormatan NTI (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, yang biasa dibilang “Opung”. Sangat berani Bapak kita ini membela Cina dengan investasi jor-jorannya. Luhut Binsar Panjaitan membutakan diri terhadap kemungkinan komunis Cina bakal menungganggi investasinya di Indonesia. Sikap Luhut ini sama dengan Sintong Panjaitan, yang menantang rakyat untuk tunjukan sepuluh orang saja yang komunis. Komunis sudah tidak ada sergah Sinting. Sikap Luhut Panjaitan dan Sintong Panjaitan ini berbeda dengan dua Jenderal TNI lainnya, yakni Ryamizard Ryacudu dan Gatot Nurmantyo . Dua Jendral TNI (Purn.) benaran ini (bukan Jendral Kehormatan maksudnya) selalu berpidato, dan mengingatkan masyarakat Indonesia tentang keberadaan faham Komunis dan bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Ryacudu bahkan menuding mereka yang ribut tidak ada komunis jangan-jangan dia yang komunis. Umat Islam tentu saja lebih percaya pada Ryacudu dan Gatot dari pada Luhut dan Sintong. Sebab Ryamizard dan Gatot ingin menjahit bangsa dari keretakan dan perpecahan akibat ulah komunis yang gemar memfitnah dan memecah-belah rakyat. Sementara Sintong dan Luhut justru seperti melepas jahitan, agar bangsa abai terhadap kerja komunis yang memecah belah sesama anak bangsa. Aneh untuk tidak mewaspadai faham komunis dan neo PKI dengan dukungan Cina yang dapat bereinkarnasi kembali. Ingat bahwa dulu juga banyak komunis menyusup di tentara. TNI saja telah dibuat retak. Pernyataan bahaya bagi bangsa saat ini adalah bahwa komunis itu sudah tidak ada. "Sudah kapok komunis di Indonesia" kata Sintong. Jaminan apa yang bisa diberikan pada bangsa dan rakyat Indonesia boss Sintong? Rakyat, khusunya umat pasti tidak akan percaya pada omongan Sintong atau Luhut. Pada Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) saja yang ditolak umat Islam, karena diindikasi berbau komunis, rezim sekarang yang didukung para jenderal "abu-abu" diam saja. Tidak ada suara apa-apa. Hanya bisanya diam dan diam. Tidak mau membuktikan bahwa dirinya merah putih yang siap membela Pancasila yang sah. Pancasila 1 Juni 1945 malah dibiarkan berkibar. Para jenderal "abu-abu" ikut menuduh "Orde Baru" kepada masyarakat yang berteriak kembalikan negara pada Pancasila dan UUD 1945 18 Agustus 1945. Memang komunis itu sangat nyaman hidup di masa Orde Lama, saat Soekarno berkuasa dan bersahabat sangat dekat dengan PKI. Hancurnya PKI membawa dendam. Tapi sejarah tak bisa dibantah. Sintong Panjaitan sama saja dengan Luhut Panjaitan. Yang seperti lupa bahwa Jenderal DI Panjaitan dahulu telah menjadi korban dari kebiadaban PKI dan faham komunis. Tangan yang dipakai adalah juga tentara yang tidak pernah mengaku komunis yang bernama Cakrabirawa. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Penangkapan Syahganda Nainggolan,Yuridis Atau Politis?
by Dr. Abdul Chair Ramadhan SH. MH. Jakarta FNN – Rabu (14/10). Sebagaimana berita yang beredar luas di media sosial, Surat Perintah Penangkapan terhadap Syahganda Nainggolan didasarkan pada adanya Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan. Diketahui bahwa Laporan Polisi itu dibuat tanggal 12 Oktober 2020. Sementara Surat Perintah Penyidikan diterbitkan pada tanggal 13 Oktober 2020. Seiring dengan itu penangkapan dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2020. Menjadi pertanyaan, begitu cepatnya Sprindik dibuat. Hanya berselang satu hari dari Laporan Polisi. Begitu juga dengan penangkapan di tanggal yang sama dengan keluarnya Surat Perintah Penyidikan. Kondisi demikian, tidaklah lazim dan sulit untuk dapat dimengerti dalam ilmu Hukum Acara Pidana. Penangkapan menunjuk pada seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana. Terhadap tindakan penangkapan harus ada terlebih dahulu minimal dua alat bukti terkait dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan. Dengan demikian, dalam proses penyidikan yang mengarah kepada penangkapan dipersyaratkan harus adanya minimal dua alat bukti. (Pasal 1 angka 20 Jo Pasal 17 KUHAP). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa frasa "bukti permulaan," "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sepanjang tidak dimaknai bahwa "bukti permulaan," "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Alat bukti tersebut yakni Surat, Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli (Pasal 184 KUHAP). Disini dipertanyakan apakah minimal dua dari tiga alat bukti tersebut sudah diperoleh oleh penyidik? Mengingat Sprindik diterbitkan sehari setelah Laporan Polisi dibuat. Tentunya menimbulkan keraguan publik. Target a apa yang dicapai Polisi? Apakah yang penting bisa menahan Syahganda Nainggolan, salah satu Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)? Supaya Presiden Jokowi senang? Mahkamah Konstitusi juga menentukan bahwa sebelum penetapan status tersangka, harus dilakukan pemeriksaan terhadap calon tersangka. Hal ini merupakan bagian penting dari proses penetapan tersangka. Menurut Mahkamah Konstitusi, pemeriksaan calon tersangka dilakukan untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang. Tuajuannya, agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka dapat memberi keterangan secara seimbang. Pemeriksaan calon tersangka ini penting. Untuk menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik, terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup. Pemeriksaan calon tersangka dan keberadaan minimal dua alat bukti bersifat kumulatif, bukan alternatif. Tegasnya, keduanya merupakan satu kesatuan atau berpasangan, dan oleh karenanya tidak terpisahkan. Apakah yang bersangkutan telah memenuhi unsur delik sebagaimana yang disangkakan? Dalam pemberitaan yang diketahui publik, Syahganda nainggolan diduga melakukan tindak pidana Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 45A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Patut untuk diketahui, Pasal 45 Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan delik materil dengan menunjuk frasa “untuk menimbulkan”. Apakah telah nyata sungguh-sungguh terjadi timbulnya kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) kapan dan dimana? Dengan demikian, harus terwujud adanya akibat timbulnya kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu yang berdasarkan SARA. Tidak dapat dibenarkan adanya penafsiran, bahwa pemerintah maupun partai politik dan badan hukum, termasuk dalam dalam pengertian Antargolongan. Golongan disini adalah golongan penduduk berdasarkan Hukum Tata Negara. Kemudian, Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana, tidaklah berdiri sendiri. Melainkan terkait dan berpasangan dengan Ayat (1). Pada Ayat (1), seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong adalah memang berasal dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, disebutkan “dengan sengaja” menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. Dirinya memang menghendaki dan mengetahui perbuatannya, termasuk akibatnya. Adapun pada Ayat (2) seseorang yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dalam kualitas “patut menyangka” bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong. Kualitas patut menyangka terhubung dengan adanya berita atau pemberitahuan bohong dari orang lain yang ia terima untuk kemudian dirinya turut memberitakan atau memberitahukannya kepada masyarakat. Dengan kata lain, delik Ayat (1) berpasangan dengan Ayat (2). Keduanya dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Pertanyaannya, siapa yang pertama kali menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong tersebut? Lebih dari itu Ayat (1) tergolong delik materil dengan frasa “menerbitkan keonaran dikalangan rakyat”. Keonaran disini identik dengan kerusuhan. Apakah pula kerusuhan di masyarakat itu sungguh-sungguh sudah terjadi sebelum yang bersangkutan dilakukan penangkapan? Penangkapan terhadap sejumlah aktivis, selain Syahganda Nainggolan, juga ada Anton Permana, Jumhur Hidayat dan yang lainnya, kesemuanya itu tidak dapat dilepaskan dari aksi 13 Oktober 2020 (Penolakan Undang-Undang Cilaka). Ketiga aktivis tersebut merupakan pengurus KAMI. Oleh karena itu, pertanyaan seriusnya adalah, apakah penangkapan tersebut murni berdasarkan hukum? Atau justru mengandung kepentingan politik? Wallahu ‘alam bishawab. Penulis adalah Ahli Hukum Pidana & Direktur HRS Center.
Mengapa Polisi Indonesia Brutal Ya?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (13/10). Penanganan aksi demonstrasi buruh, mahasiswa dan pelajar STM/SMK di hari-hari mogok nasional buruh 6-8 Oktober 2020 sangat brutal. Ternyata di luar gambaran, Polisi sebagai pelindung, penagaman dan pengayom masyarakat jauh dari yang diharapkan. Brutal dan seperti ada "balas dendam" kepada peserta aksi. Apakah karena diserang ? Semua sudah hampir mafhum bahwa penyerang adalah "tangan buatan" dari berbagai kemungkinan kepentingan, termasuk dari Polisi sendiri. Sebab faktanya, para penyerang terhadap pendemo, sangat susah untuk bisa ditangkat oleh Polisi. Padahal polisi Indonesia terkenal hebat kalau untuk menangkap penjahat. Apalagi teroris dan pengkritik pemerintah. Sejak peristiwa demonstrasi di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tanggal 21-22 Mei 2019, penanganan Polisi kepada pendemo sangat brutal. Penganiayaan dan pembunuhan pun terjadi. Dasar alasan adalah pelaku kerusuhan. Jadi terbayang dahulu, sewaktu Soekarno menganggap bahwa terbunuhnya para Jenderal sebagai "lumrah dalam revolusi". Kebrutalan Polisi tanpa pengusutan lebih lanjut. Kalaupun ada pengusutan, hanya dilakukan secara internal. Saksi terhadap pelaku kekerasan dari polisi hampir tidak diketahui publik. Yang terdengar hanya hukum disiplin pada beberapa anggota Polisi yang dianggap menyalahi prosedur. Indikasi keberadaan sniper juga terendus. Lalu wajah dan tampilan Polisi yang brutal juga saat aksi penolakan revisi UU KPK. Mahasiswa tewas dan anak STM teraniaya. Yusuf Kardawi dan Randi tewas di antaranya. Unjuk rasa terjadi dimana-mana, baik di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Makasar, Kendari dan daerah lainnya. Tuntutan dikeluarkan Perppu tidak digubris oleh Pemerintah. KPK pun lumpuh pasca terbit Undang-Undang revisi. Selalu menjadi pertanyaan dalam benak ini, mengapa penanganan unjuk rasa yang tersiar juga di berbagai media dunia selalu terlihat brutal? Padahal Jokowi Presiden Indonesia terlihat "calm" atau dingin. Mungkin ada beberapa hal terkait. Pertama, pola pembinaan yang keliru dan kurang memberi asupan materi tentang humanisme, hak asasi manusia, etika, dan nilai moral. Disamping dorongan pelaksanaan Pancasila dan pendalaman agama, khususnya tentang kesalehan dan dosa. Kedua, orientasi program Pemerintah yang materialistik dan pragmatik, sehingga aparat didoktrin sangat protektif. Menekan yang melawan kebijakan dinilai sebagai pembelaan negara. Unjuk rasa dipandang sebagai anti negara yang harus "dihukum". Bahaya kalau seperti ini pemahamannya. Negara demokrasi berubah menjadi negara kekuasaan yang otoriter. Ketiga, brutalisme adalah missi sengaja untuk menakuti. Pasukan Brigade Mobil (Brimob) yang berkarakter tentara diterjunkan saat menghadapi demonstrasi. Pasukan elit paramiliter ini bersenjata berat. Bawaannya adalah "perang" dengan musuh. Keempat, keeratan kerjasama dengan RRC. Tahun 2016 belasan perwira Polri belajar di Changsa Cina untukmendalami cyber crime. Tahun 2017 sebanyak 60 perwira tinggi peserta Sespimti melakukan KKN di Beijing dan Shanghai ke Kepolisian RRC. Meski tak jelas efek kerjasama, tetapi semua tahu Polisi RRC termasuk yang brutal dalam menangani aksi unjuk rasa. Kelima, ada modus sama pemantik tindakan keras adalah "kelompok hitam" yang memancing, baik dengan melempar batu maupun bakar bakar. Pola sama yang sebenarnya mudah untuk ditindak dan diusut tentang keberadaan "kelompok hitam" sang jago pancing dan rusuh tersebut. Terlepas dari semua itu, sikap brutal tersebut bukan saja merugikan pencitraan Polri sendiri. Tetapi juga Pemerintah Indonesia dalam kaitan penghargaan HAM. Disisi lain, jika tidak ada evaluasi, bisa saja rakyat atau pengunjuk rasa terpaksa harus membela diri dengan "mempersenjatai" diri dalam berunjuk rasa. Jika preman dibiarkan membantu Polri memakai kayu pemukul, kelak pengunjuk rasa juga bersiap siap dengan kayu pemukul pula. Ini tentu tak boleh terjadi. Semoga ada perubahan penanganan seperti yang diniatkan Kapolri Idham Azis saat memulai menjabat Kapolri. Lebih manusiawi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
UU Cipta Kerja Dan Proses Pemakzulan Jokowi
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Selasa (13/10). Paripurna DPR telah mengesahkan UU Cita Kerja (Ciptaker) pada 5 Oktober 2020. RUU Ciptaker setebal 906 halaman tersebut, dibahas hanya 6 bulan sejak April 2020. Menurut pemerintah pembentukan UU Ciptaker bertujuan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya melalui perbaikan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha. Dikatakan, UU Ciptaker akan merubah struktur ekonomi dan sektor terkait, sehingga investasi dan produktivitas meningkat. Lapangan kerja tercipta, ekonomi tumbuh dan rakyat makin sejahtera. Namun kalau tujuannya mulia, kenapa para buruh, mahasiswa, tokoh, aktivis, akademisi, kepala daerah, pakar, ormas dan berbagai kalangan rakyat menolak? Sebaliknya, jika pemerintah dan fraksi-fraksi DPR pendukung pemerintah berniat tulus meningkatkan kesejehteraan rakyat, mengapa pula harus membahas RUU Ciptaker terburu-buru? Juga tertutup, abai kaidah moral, abai peraturan, memanipulasi iniformasi dan menebar ancaman? Jawabnya, di balik pemaksaan kehendak tersebut ada kepentingan khusus. Ada rekayasa dan agenda tersembunyi pro oligarki yang menyelinap, sehingga berpotensi merugikan rakyat dan membahayakan kehidupan berbangsa. UU Ciptaker mungkin dapat meningkatkan investasi dan lapangan kerja. Namun para anggota oligarki penguasa-pengusahalah yang akan untung besar. Tidak heran, RUU Ciptaker dibahas dengan brutal. Menghalalkan segala cara, sesuai kehendak oligarki dan pemerintah, yang tampak semakin otoriter seperti diurai berikut ini. Pertama, melanggar sila pertama Pancasila. Karena pembentukan UU sarat prilaku moral hazard. Paripurna DPR menetapkan UU Ciptaker atas dasar dokumen sesat, karena draft final RUU sengaja disembunyikan. Dengan modus ini, meski sudah ditetapkan DPR, penguasa dapat saja merubah-rubah naskah RUU sesuka hati, sambil melihat sikon dan mengakomodasi aspirasi dan tuntutan publik. Secara moral, prilaku manipulatif ini jelas illegal, memalukan, amoral, merendahkan martabat bangsa dan pantas dipidanakan. Sebab hingga hari ini (12/10/2020) naskah akhir RUU malah belum diterima “partai oposisi”, PD dan PKS. Apalagi untuk diakses publik. Jika Presiden Jokowi menuduh publik menolak UU Ciptaker atas dasar hoax. Publik pun bisa pula mengatakan Presiden Jokowi penyebar hoax UU Ciptaker. Faktanya, justru klarifikasi Presiden Jokowi (9/10/2020) atas isu hoax yang berkembang di publik itu yang dinilai berpredikat hoax. Penilaian ini sesuai penjelasan Presiden KSPI Said Iqbal terkait isu-isu UMSP, UMSK, PHK, dan Hak Cuti, (12/10/2020). Kedua, tidak sejalan dengan prinsip-prinsip musyawarah mufakat sila ke-4 dan keadilan sila ke-5 Pancasila. Rapat-rapat Panja RUU Ciptaker yang diakui berjumlah 64 kali, sebagian besar berlangsung tertutup. Jangankan mengundang partisipasi dan bermusyawarah, naskah dan informasi terkait RUU pun tidak bisa diakses publik. Jangankan bagi publik, bahkan naskah RUU bagi sesama anggota DPR saat pembahasan saja dibatasi. Sebaliknya, pemerintah dan DPR justru memberi peran bagi pengusaha oligarkis. Bukan saja untuk memberi masukan, bahkan diberi peran penting menyusun draft RUU. Orang-orang dari unsur luar pemerintah, partai dan pengusaha sangat berperan membentuk UU ini. Beberapa penguasa dan pimpinan partai, serta sejumlah dan konglomerat seperti James Riyadi, dan Ruslan Rooslani, berserta sejumlah konspirator demikian dominan menentukan konten RUU. Sebaliknya buruh, pakar dan akademisi dihambat berpartisipasi. Hal ini jelas merupakan bentuk ketidakadilan dan persekongkolan yang mengangkangi prinsip-prinsip musyawarah dan keadilan Pancasila. Ketiga, melanggar UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Tertutup dan konspiratifnya pembahasan RUU Ciptaker, pemerintah dan DPR telah menghalangi rakyat memperoleh informasi terkait dan naskah RUU Ciptaker, tetapi juga menghambat rakyat menyampaikan aspirasi dan melaksanakan hak kedaulatan yang dijamin konstitusi. Keempat, melanggar Pasal 5 UU No.12/Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) dan Pasal 229 UU No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Mayoritas rapat Panja RUU melanggar asas keterbukaan karena dilakukan tertutup dan tidak dilakukan di DPR, tetapi di hotel-hotel. RUU dibahas tanpa partisipasi publik dan stakeholders terkait. Sesuai UU P3 dan MD3, pembentukan UU, mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Konsultasi publik dan audiensi yang dilakukan Pemerintah dan DPR dengan beberapa pihak pada awal pembahasan, untuk kepentingan internal, bukanlah pengambilan aspirasi dan partisipasi publik sebagaimana diperintahkan kedua UU itu. Kelima, melanggar Pasal 96 ayat (4) UU No.12/2011 tentang P3 yang menjamin akses informasi bagi publik. Naskah hasil pembahasan RUU sebelum diputuskan seharusnya dipublikasi, disebar kepada stakeholders dan diuji publik. Namun yang terjadi draft RUU Ciptaker tidak dipublikasi dan menjadi barang rahasia. Dengan begitu hak publik mengikuti perkembangan pembahasan dan memberi masukan lisan dan tertulis terhambat. RUU itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara formil dan materiil. Ternyata, modus manipulatif pembentukan UU Ciptaker berlangsung bersamaan dengan munculnya langkah represif, ancaman dan penangkapan terhadap publik yang kritis. Termasuk terhadap sejumlah demonstran. Jika prilaku penyelenggaran negara sudah demikian, anda masih bicara “saya Pancasila”? Bagaimana bisa para pejabat mengaku “saya Pancasila” tega melanggar prinsip-prinsip bernegara dan berbangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral? Bahkan hal ini dilakukan di tengah derita rakyat akibat pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan pemerintah telah meninggalkan prinsip-prinsip moral, demokrasi dan amanat reformasi. Pemerintah tampaknya secara perlahan berubah dari negara demokratis berazas hukum menjadi negara kekuasaan atau otriter. Pemerintah terbukti melakukan pendekatan kekuasaan dan menabrak Pancasila dan sejumlah ketentuan hukum terkai UU Ciptaker. Dalam Pasal 170 UU Ciptaker telah pula termuat aturan otoriter, Presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengubah UU lain! Ternyata pemerintahan menuju otoriterianisme telah berlangsung sejak terbitnya Perppu No.1/2020 yang berubah jadi UU No.2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan atau UU Korona. UU ini memberi kekuasaan Presiden menetapkan APBN/APBN-P tanpa partisipasi DPR (contoh: Perpres No.54/2020 dan Perpres No.72/2020). Hal ini jelas memberangus hak budget DPR yang dijamin Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Presiden pun semakin berkuasa dan dapat bertindak di atas hukum atau melakukan abuse of power. Karena diberi hak impunitas dalam Pasal 27 UU No.2/2020 dan merubah ketentuan dalam 12 UU yang saat ini berlaku, pada Pasal 28 UU No.2/2020. Bentuk lain dari kekuasaan menuju otoriterianisme, melalui UU Minerba No.3/2020. Presiden berkuasa memperpanjang kontrak-kontrak PKP2B dan izin-izin usaha tambang kepada para oligarki dan pengusaha tambang yang kontrak/izinnya habis. Padahal menurut Pasal 33 UUD 1945 dan UU No.4/2009 yang diberangus, aset negara yang nilainya minimal Rp 10.000 triliun tersebut, harus dikelola oleh BUMN. Aset negara yang dapat menyejahterakan rakyat melalui BUMN, secara vulgar dirampok melalui konspirasi busuk oligarki kekuasaan. Kemenko Perekonomian menyatakan, sesuai arahan Presiden Jokowi, akan diterbitkan sekitar 35 PP dan 4 Prepres sebagai turunan operasional dari UU Ciptaker dalam waktu 3 bulan ke depan. Bagaimana anda akan menerbitkan PP dan Perpres secara benar, legal dan objektif, jika UU-nya saja disusun penuh konspirasi, rekayasa dan manipulasi, serta belum juga final? Otoriterianisme dan pemaksaan kehendak ini akan tetap dilanjutkan pemerintah? Bagi IRESS, rencana tersebut harus segera dibatalkan. Karena berbagai prilaku moral hazard, cacat formil, cacat materiil, melanggar UU, konstitusi dan menihilkan Pancasila, maka UU Ciptaker harus segera dicabut. Apalagi jika motif di balik pembentukan UU yang digadang-gadang sebagai alat untuk meningkatkan invesasti dan lapangan kerja itu, ternyata lebih banyak ditujukan untuk kepentingan oligarki kekuasaan dan asing. Dalam tiga UU terkahir, yakni UU Korona No.2/2020, UU Minerba No.3/2020 dan draft UU Ciptaker, telah ditetapkan kekuasaan Presiden yang semakin besar menuju otoriterianisme. Oligarki kekuasaan tampak telah terlibat aktif merubah NKRI dari negara hukum, perlahan menjadi negara kekuasaan. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Karena telah melanggar berbagai UU dan mengkhianati UUD 1945, pantas jika DPR dan MPR memulai proses pemakzulan terhahap Presiden Jokowi sesuai amanat Pasal 7 UUD 1945. Sebagai kesimpulan, kita menuntut agar UU Ciptaker yang ditetapkan DPR pada 5 Oktober 2020 segera dibatalkan. Karena dinilai bersikap semakin otoriter, pro oligarki, serta melanggar sejumlah peraturan dan konstitusi, maka Presiden Jokowi ditutut untuk segera menjalani proses pemakzulan oleh DPR/MPR. Demi hukum, keadilan dan kedaulatan rakyat, mari bergabung mengadvokasi pembatalan UU Ciptaker dan proses pemakzulan Presiden Jokowi. Penulis adalag Direktur Eksekutif Institute Resources Studies (IRESS).
Alhamdulillah, Guru Besar Tidak Tolol Menilai UU Omnibus
by Dr. Margarito Kamis SH.Hum Jakarta FNN – Selasa (13/10). Para Guru Besar, yang mengeritik keras UU Omnibus Cipta Kerja yang baru saja disahkan itu sebagai tolol? Yang benar saja deh. Apa mereka semua berkacamata kuda dalam menimbang UU Omnibus Cipta Kerja? Jangan aneh-aneh deh. Para Guru Besar itu tidak mampu mengenal ambisi besar UU, yang saya nilai sialan ini, hendak menaruh monster pencegah korupsi di hulu semua proses berinvestasi? Jengan mengada-ada. Berpura-purakah mereka kritis? Aneh-aneh aja. Apakah Mereka yang biasa melahirkan para doktor, magister dan sarjana tak punya peralatan, metodologi berpikir? Enak aja. Lensa Keilmuan Kelewat konyol bila mengatakan Gara Buru besar kritis itu, tidak mengerti kelemahan dan kelebihan paradigma. Paradigma menentukan out put. Gambaran besar atau kecil diujung penalaran atas fakta. Fakta memiliki makna. Pemberian makna atas satu fakta, mungkin akan berbeda. Itu merupakan hal biasa, dan itu alamiah dalam khazanah ilmu. Satu Guru Besar dengan Guru Besar lain mungkin akan berbeda memaknai kenyataan anggota DPR tidak dibelakai RUU itu pada saat disahkan menjadi UU. Kenyataan itu defenitif. Kenyataan ini dapat diperiksa secara obyektif. Kenyataan itu tidak dikarang-karang. Para originalism seperti Antonio Scalia, hakim Agung Amerika Serikat, yang empat tahun lalu meninggal dunia di usia lebih 80 tahun itu, menjadikan teks sebagai determinative law. Law as text. Paradigma dominan ini, betapapun diagungkan Scalia, tetapi, bukan tak dapat dikritik. Paradigma interpretasi ini, dalam kenyataan keilmuan juga menjadi alamat kritik hebat. Dalam sifatnya ini sama dengan pradigma klasik yang berkembang di Perancis, yang dikenal bouse de la loi atau judges as mouth of law. Hakim itu mulut UU. Hukum itu adanya di undang-undang. Maknanya hakim jangan keluar dari UU dalam menemukan hukum. Hakim harus menganggap UU adalah hukum. Diluar itu tidak. Kelebihannya, begitulah dunia keilmuan, ternyata tidak mengubur munculnya kelemahan di sisi lain yang praktis. Tidak ada kata yang sungguh- sungguh mengekspresi, mewakili original intention pembentuk teks, law giver atau law makers. Itu kelemahannya, sehingga muncul paradigma penantang. Progresive paradigm muncul sebagai salah satu penantang produktif atas originlism paradigm. Paradigma ini, tidak memandang hukum sepenuhnya sebagai text dan hanya ada pada UU. Tidak begitu. Sebagai pantulan kombinatif dari hal-hal yang nyata terjadi dalam masyarakat, dan diabdikan untuk masyarakat, maka hukum harus dicari di tengah kehidupan masyarakat. Digunakan untuk mengenergizer masyarakat. Interpretasi tipikal ini, mengundang sanggahan hebat dengan argumentasi yang tak kalah mengagumkan. Misalanya, paradigma ini diidentifikasi sebagai instrumen korporat mengakali hukum untuk kepentingan mereka. Mereka menyodorkan para hakim sebagai hulu balangnya. Paradgima ini mengharuskan hakim pergi keluar dari teks hukum. Hakim keluar dari UU. Hakim diharamkan terpaku mati pada teks hukum. Cara ini, kata mereka, demi dan untuk keadilan sebanyak-banyak masyarakat. Bukan semua masyarakat. Dalam kenyataannya, pemeritahan tiranis menyukai dan mengandalkan paradigma ini memutar roda pemerintahan. Menjadi trade mark pemerintah totaliter. Paradigma ini membenarkan pemerintah menggunakan hukum sebagai tongkat pemukul bengis terhadap rakyat. Walau tidak selalu berbau komunistik, paradigm ini memungkinkan komunis bergerak masuk secara halus ke semua sudut kehidupan. Masuk dengan cara menjadikan hukum sebagai kuda manis tunggangannya. Dalam ilmu hukum, paradigma ini dikenal dengan progressivism. Dalam ilmu interpretasi ditransformasi menjadi judicial activism. Lawan tanding tangguh atas judicial restrain, khas Scalia. Mereka Sangat Bening Bodoh betul mengangap Guru Besar tidak mampu menganalogikan Omnibus Bills dengan code of act. Tidak ada ilmuan hukum yang tidak mengerti Omnibus mewakili lingkungan hukum anglo saxon. Disisi lain code of act (kitab UU semacam KUPH, KUH-Perdata Dagang, dan KUHAP) mewakili karakter hukum Eropa Kontinental. Undang-undang yang isinya meliputi banyak aspek, yang disebut Omnibus Bills atau law, memang bukan barang baru di dunia hukum. Kapan mulai dipraktikan? O’Brien and Bosc dalam kajiannya berjudul “Omnibus Bills in Theory and Practice “menyodorkan Amerika pada frontline penggunaan konsep ini. Profesor ilmu politik pada Laval University ini menunjuk tahun 1888 sebagai tahun awal penggunaan konsep itu. UU ini mengatur persetujuan pemisahan dua jalur kereta api. Disebabkan merupakan persetujuan dua korporasi yang bersifat privat, maka omnibus ini disifatkan sebagai private ominibus bill. Tetapi Profesor ini, mengakui pertama kali mendengar konsep ini tahun 1967. Ini ketika Pierre Trudeau, Menteri Kehakiman Canada merancang, sungguh sangat baru dan mengagumkan, landmark, mengamandemen hukum pidana. Hukum pidana baru ini berisi beragam materi. Materi Hukum pidana yang baru diamandemen itu meliputi, dalam kata-katanya, homosexuality, abortion, contraception, lotteries, gun ownership, drinking-and-driving penalties, harassing phone calls, regulated misleading advertising and even cruelty to animals. Jelas penalarannya. Ilmu hukum, yang diketahui para Guru Besar bahwa politik menjadi golden views pada pembahasan RUU. Materi yang mau diatur, sepenuhnya berdasarkan penilaian dan ekspektasi politik. Itu sebabnya, apa saja bisa diatur dalam satu RUU dan diputuskan menjadi UU. Ini terjadi di Irlandia, negeri dalam rumpun tradisi anglo saxon. Dalam Omnibus mereka yang belum lama diputuskan, berisi ragam hal, meliputi ribuan UU. Omnibus mereka mencabut ribuan undang-undang eksisting. Salahkah ini? Tidak. Pada titik ini, yang menjadi takarannya adalah politik, bukan hukum. Mengagungkan UU hanya berdasarkan namanya. Misalnya Omnibus Cipta Kerja, juga hal-hal umum yang ada didalamnya, jelas bukan pekerjaan ilmuan hukum. Menunjuk penyederhanaan proses perolehan izin usaha, yang dipropagandakan politisi sebagai hal mengagumkan dari UU sialan ini, tak mungkin diterima ilmuan hukum. Penyederhanaan izin, sama sekali tidak bermakna tidak perlu izin usaha. Izin usaha tetap ada. Izin harus diurusi oleh setiap pengusaha. Karena izin usaha tetap ada, maka semudah apapun prosedurnya, beralasan bila ilmuan hukum mengajukan hipotetis tentang kemungkinan terjadi hal buruk. Korupsi misalnya, pada saat mengurus izin. Ilmuan hukum tahu teks hukum. Yang didalamnya norma hukum dinyatakan, bersifat hipotetis. Norma hukum tidak dapat disamakan dengan kenyataan atau fakta. Norma hukum atau teks hukum, hanya mewakili kehendak pembentuknya, bersifat hipotetis. Bukan menggambarkan kenyataan faktual. Mengagungkan satu UU hanya, sekali lagi, berdasarkan judul UU itu, tak mungkin bukan merupakan pekerjaan konyol. Ini banyolan dahsyat. Ahli hukum tahu, korupsi disebabkan salah satunya teks hukum yang memiliki beragam makna. Teks yang memiliki ragam makna alias tak tunggal adalah panggilan terhadap korupsi. Teks yang memiliki ragam makna justru pencipta utama ketidakpastian hukum. UU Omnibus ini diwarnai dengan teks jenis ini. Sekadar ilustrasi, upah buruh yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, misalnya. Bagaimana membaca teks itu? Pertumbuhan per semester, per triwulan atau per kwartal atau apa? Bodoh sekali bila berpendapat UU Omnibus menghapus PHK. Sekali lagi bodoh. Ahli hukum tidak akan bernalar seperti ini. Mereka tahu nalar itu mencerminkan kebodohan paripurna. Tidak ada pekerja, apapun pekerjaan itu, dimanapun, yang tidak bisa diberhentikan. Ahli hukum tahu semua pekerja bisa diberhentikan sebelum waktunya. Ini logis. Itu sebabnya ahli hukum akan menyelidiki syarat dan prosedur pemberhentian pekerja. Dari situ barulah ahli hukum tiba pada pernyataan kongklusif. Misalnya, pemberhentian kerja dipersulit atau dipermudah oleh UU Omnibus ini. Pembaca FNN yang budiman. Sejarah kelimuan secara umum merekam sejumlah fakta adanya ahli yang bertindak sebagai corong dan kaki tangan korporasi. Mereka melegitimasi sebuah gagasan pembentukan UU yang ditolak rakyat. Ini juga terjadi di Amerika. Terjadi sejumlah korporasi oligarki wall street menghendaki pembentukan UU Bank Sentral. Ilmuan ikut menyamarkan nama Bank Sentral itu menjadi The Federal Reserve Act. Praktris ilmuan ikut menyesatkan, mengakali masyarakat yang mati-matian menolak bank jenis ini. Kembali ke kasus UU Omnibus Cipta Kerja. Namanya oke, cipta kerja. Tetapi ilmuan hukum tahu betul nama ini bersifat hipotetik. Konsekuensinya tidak serta-merta terwujud. Alhamdulillah ilmuan hukum, bahkan ratusan dari mereka, tidak berenang di lautan politik busuk khas politisi picisan, licik, culas dan picik. Juga tidak mengikuti maunya korporasi oligarkis keleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng. Alhamdulillah, ahli-ahli hukum dan Guru Besar lainnya di sejumlah kampus tidak ikut-ikutan mempropagandakan UU Omnibus, yang saya nilai sangat membinasakan ini. Alhamudlillah, mereka masih menempatkan nurani intelektualnya di jantung hidupnya. Bersyukur pada nurani mereka bening, sebening janji Allah Subhanahu Wata’ala yang akan mengangkat derajat merela orang-orang yang berilmu dan beramal lebih tinggi dari yang tidak berilmu dan tidak beramal. Allah Subhanahu Wata’ala juga akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Alhamudlillah. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Negara "Sekarepmu Dewek” Pak Presiden
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (12/10). Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja bikinan Pemerintah mendapat reaksi keras masyarakat. Aspirasi rakyat menghendaki segera ada pembatalan atas Undang-Undang hantu dan kutilanak tersebut. Sebab Undang-Undang yang prosedur dan kontennya tidak adil, dan sarat kepentingan ini buruk secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Terburuk dalam sejarah perundang-undangan Negara Republik Indonesia. Akibatnya perlawanan datang tiak hanya dari para buruh, mahasiswa dan pelajar. Tetapi tantangan atas Undang-Undang ini datang juga dari ahli hukum dan ratusan Guru Besar puluhan Perguruan Tinggi di Indonesia Atas aksi-aksi penentangan baik oleh buruh, mahasiswa, cendekiawan, ormas keagamaan, maupun beberapa Kepala Daerah. Namun Presiden telah mengumumkan langkah dengan memberikan instruksi kepada Kapolri untuk bertindak tegas. Presiden juga melarang para Gubernur untuk menolak UU Cipta Kerja tersebut. Emangnya Gubernur anak buah Presiden ya??? Ada lagi tuduhan, bahkan penangkapan terhadap penyebar hoax RUU Cipta Kerja. Sementara RUU otentik yang ditetapkan oleh DPR pun tidak ada. Darimana Polisi bisa punya data, sehingga bisa menyatakan bahwa konten RUU yang disebarkan itu hoaks? Sementara sampai hari ini belum ditemukan draf RUU yang otentik dan absah pada saat pengesahan di sidang peripurna DPR. Ah, Presiden dan Polisi ada-ada saja. Kalau mau ngancam dan nakut-nakuti itu, yang berklas sedikitlah. Masa penetapan pidana kepada penyebar hoaks, namun UU Omnibus Law Cipta Kerja ini belum jelas wujudnya seperti apa? Tapi ya "sekarepmu" saja. Pokoknya suka-suka hati Presiden dan Polisi sajalah. Ada tiga hal penting bahwa Presiden telah bertindak "sekarep dewek", seolah-olah hanya dirinya sebagai pemilik negara . Pertama, apapun alasan, rakyat harus terima Omnibus Law ini. Karena dalihnya demi kepentingan penciptaan kerja. Lupa bahwa impor tenaga kerja asing adalah ikutan utama dari proyek produk Omnibus Law ini. Kedua, instruksi bertindak tegas dapat ditafsirkan oleh Polisi untuk bertindak keras, brutal, dan abai soal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena "demi menyelamatkan negara" versi instruksi Presiden. Lupa bahwa Polisi adalah alat negara. Bukan alat Pemerintah atau Presiden. Polisi itu pelindung, pengaman dan pengayom maysrakat. Bukan pembantai masyarakat. Ketiga, Gubernur atau Kepala Daerah tidak semata-mata kepanjangan tangan Pemerintah Pusat. Apalagi anak buah Presiden. Apa Presiden sudah lupa bahwa Gubernur dipilih oleh rakyat di Provinsinya. Bukan sebagai pembantu Presiden yang bisa disuruh-suruh. Presiden Jokowi tanpa disadari telah menerapkan prinsip Negara adalah Aku. Ini negara demokrasi berdasar "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan". Jadi no way otokrasi. Apalagi merasa kuasa sendiri. Tidak boleh "sekarepmu” pak Presiden. Harus diingat bahwa kekuasaan itu selalu berputar. Sekarang boleh saja di atas, tetapi besok juga di bawah. Sekarang mulia, besok bisa terhina lho. Allah Subhaanahu Watala mengingatkan manusia tentang kekuasaan itu pada saatnya akan berakhir juga. "Katakanlah (Wahai Muhammad) : Wahai Allah pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan pada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS Ali Imron 26). Tidak percaya? Tidak beriman? Silahkan tunggu pembuktian. "Wantadhiruu Inna muntadhiruun". Dan tunggulah (akibat perbuatanmu). Sesungguhnya kami pun sedang menunggu. (QS Huud 122). Penulis dalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Konyol Kalau Bawa UU Omnibus ke MK
by Dr.Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Senin (12/10). Dari namanya UU Omnibus Cipta Kerja, yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 lalu. Jangkauan materi muatannya mencakup 79 undang-undang, dengan 1.244 pasal ini, mengagumkan. Bahkan amat sangat mengagumkan. UU ini berambisi besar memberi kerja kepada 2,3 juta warga negara Indonesia, yang setiap tahun masuk ke pasar kerja. Bukan DPR, tetapi Presiden adalah pemrakarsa UU ini. Prakarsanya itu dinyatakan pada pidato pelantikannya untuk masa jabatan kedua. Ambisinya besar. Presiden hendak membawa bangsa ini berjaya pada tahun 2045. Kejayaan itu harus sudah mulai diproses dari sekarang. Hebat kan? Tidak Ada di Meja Paripurna Presiden, dengan segala hormat, jelas bukan sarjana hukum. Bahkan mungkin juga tidak memiliki pengetahuan hukum. Presiden tak terlatih berpikir ala yuris, think like juris seperti para guru besar hukum dan doktor, ahli hukum lainnya. Para guru besar dan ahli hukum di kampus-kampus yang terlatih bernalar menurut ilmu hukum, telah secara terbuka menolak UU Omnibus Cipta Kerja ini. Desakan mereka, ternyata tidak berbuah. Desakan dan deskan para demonstran, semuanya melayang ke angkasa. Berlau dalam kehampaan. Presiden tidak sudi memenuhi permintaan mereka. Presiden tak memilih pencabutan UU itu sebagai jawabannya. Presiden tetap di posisi politiknya melaksanakan UU. Presiden memang tidak mengatakan bahwa para Guru Besar, mahasiswa, buruh dan pelajar demonstran tersebut berotak udang. Jelas itu tidak. Presiden juga dipastikan tidak mengatakan para Guru Besar telah memperoleh informasi hoax terkait UU ini. Tetapi identifikasinya bahwa demontsran dirangsang, dipicu oleh informasi hoax. Ini terlihat sepertinya menyepelekan, untuk tak mengatakan Presiden telah mengidentifikasi para demonstran berotak udang. Celakanya, Preiden tak mampu menjelaskan secara detil pasal demi pasal UU ini. Untuk hal paling sepele, yakni draf UU yang hingga paripurna itu tak tersaji di meja. Jangankan anggota DPR, Ketua Fraksi pun tidak itu punya. Peristiwa ini tidak dapat dijelaskan oleh Presiden. Celakanya, Presiden menyodorkan hoax, disinformasi sebagai pemicu demonstrasi. Jangan begitu Pak Presiden. Permasalahan hukum apa yang disahkan Pak Presiden dan DPR? Mengesahkan hal yang hanya ada di kepala? Apakah Presiden sedang menciptakan tatanan baru pembentukan UU dalam ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945? Apakah Pak Presiden hendak menjadikan Baleg sebagai organ baru menggantikan DPR? Apakah ekspresi DPR sebagai lembaga negara, sekarang diwakilkan kepada Baleg? Bukan pada rapat paripurna DPR? Ini ilmu apa Pak Presiden? Presiden harus diberi tahu perbaikan tipo, titik koma, bentuk huruf, itu bukan pekerjaan yang hanya sah secara konstitusi dilakukan dalam pembahasan. Bukan setelah disepakati paripurna Pak Presiden. Tahukah Presiden hukum ada pada setiap kata, bentuk huruf, rangkaian kata-kata dan tanda-tanda baca dalam pasal, ayat, dan huruf? Hukum apa yang dibekali kepada Presiden kala menyampaikan sikapnya, pada tanggal 9 Oktober, sehari setelah demonstrasi? Politik memang tidak sama dengan perang yang tidak bisa jauh dari gerak tipuan. Tetapi apa yang Presiden dapat sajikan kepada rakyat? Misalnya nalar dibalik konsep perhitungan upah buruh yang dipertalikan pada pertumbuhan ekonomi setiap daerah? Pak Presiden anak SD juga bisa baca teks UU. Tetapi mereka tak bakal mengerti nalar dibalik teks itu. Andai Presiden mau buka sedikit lembaran sejarah pembangunan republik tercinta ini, Presiden pasti akan menemukan rangkaian bukti lapuknya paradigma penciptaan lapangan kerja. Paradigma bersandar pada korporasi. Orde baru mengawali eksistensinya dengan cara pandang itu. Hasilnya? Pertumbuhan ekonomi hanya mengagumkan dan membesarkan segelintir korporasi. Presiden memang tidak bersentuhan dengan Orde Baru. Paradigma liberal klasik itu, sayangnya dihidupkan secar ugal-ugalan lagi pada saat ini. Paradigma itu bertransformasi menjadi metode korporasi memperbesar cengkeraman mereka atas seluruh tatanan bernegara. Sayang sekali Presiden tidak menenggelamkan nalarnya ke dalam falacy konsep itu. Menyedihkan betul. Dilarang Terpukau Presiden telah mendemonstrasikan sikapnya, entah demokratis atau angkuh dengan membuka diri, mempersilahkan warga negara yang jengkel dengan UU ini, membawanya ke MK. Hebatkah ini? Tidak. Ini malah payah. Mengapa? Orang-orang pintar tahu kalau mengikuti imbauan Presiden sama dengan membuat UU Omnibus Ciptaker yang sialan itu, tetap menjadi buih. Berada diatas permukaan ombak. Orang-orang pintar akan menemukan diri tenggelam dalam politik tak berkelas Presdien. Itu satu. Kedua, ke MK itu konsekuensi sistem ketatanegaraan eksisting. Dengan atau tanpa sikap Presiden, sistem bekerja dengan cara itu. Tidak bisa lain. Bawaan lautan adalah asin. Itu alamiah. Tanpa perlu digarami pun lautan tetap saja asin. Jadi untuk apa mempersilahkan rakyat membawa UU ini ke MK? Menyuruh orang ke MK, tetapi pada saat yang sama membuka dialog, jelas akan terlihat sebagai ejekan. Apa yang mau didialogkan setelah menjadi UU? Mau akomodasi gagasan baru ke dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden? Para Guru Besar akan merasa diakali. Mengapa? UU sudah disahkan. PP dan Perpres tidak bisa memuat norma yang tidak diperintahkan UU. Jadi apa faedahnya dialog? Pernyataan Presiden itu seperti menyuruh Guru Besar menjaring angin. Sudahlah, tak ada faedah untuk diratapi. Nestapa, suka atau tidak, sudah muncul menemani bangsa ini disepanjang jalan berliku dihari-hari mendatang. Marilah melihat pernyataan itu sebagai cara Presiden menghindar Perpu mencabut UU itu. Perpu pencabutan UU itu tak tersedia di meja kebijakan Presiden. Presiden mempersilakan siapapun membawa UU ini ke MK, dapat diduga mungkin dirangsang oleh pengetahuan kecilnya tentang preseden pasal tentang presdensial threshold pada UU Pilpres. Hantu blau ini tidak dikenal dalam pasal 6A UUD 1945. Ini ciptaan DPR dan Presiden, dan dibenarkan oleh MK. Jatuh hati pada sikap demokratis Presiden, terasa sama dengan terjatuh ke dalam parit dan gorong-gorong. Mengejarnya terasa sama dengan membentangkan pelangi dilangit usai ba’da Azhar. Mustahil. Sehebat apapun angkuhmu, mustahil kau bentangkan pelangi di langit ujung ba’da Ashar. Sudahlah, menjauhlah dari pergi ke MK. Jangan rindukan datangnya luka hati. Presiden, dapat diandaikan, tidak mengerti konsep unintended consequences atas hukum dalam pasal, ayat dan huruf. Terlalu berlebihan meminta Presien mengerti kenyataan sejarah yang dihasilkan dari konsekuensi itu. Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1868 usai perang saudara, sejenak terlihat mengagumkan. Amandemen itu tegas mengatur, dalam sifatnya konsolidasi prinsip kesamaan derajat untuk semua jenis subyek hukum. Untuk Amerika yang hebat. Apa yang terjadi sesudahnya? Aturan itu menjadi dasar korporasi diterima sebagai subyek hukum dalam sistem hukum Amerika sejak itu. Itulah konsekuensi tak dikehendaki unintended consequences. Mau apa? Begitulah hukum bekerja dalam alam demokrasi korporasi yang dipandu dengan hukum, nomokrasi urakan. Keuangkuhan Monster Mayoritas Terpukaulah dengan kenyataan yang disodorkan PKS dan Demokrat, yaitu tidak adanya UU yang disahkan itu diatas meja paripurna. Luka besar konstitusi ini, cukuplah diratapi, bila tak mampu tertawakan. Namun tak usah kecil hati dengan kenyataan konstitusional bahwa Presiden punya tiga hakim MK. Begitu juga DPR. Itu konstrain UUD 1945. Itu determinative, bukan indeterminative. Berbesar hati pulalah, sistem konstitusi di bawah UUD 1945 memungkinkan MK berkreasi menemukan argumen-argumen pembenar atas kenyataan sebusuk itu. Kreasi mereka tak bisa dikoreksi. Itu hebatnya sistem tata negara reformasi. Begitu MK membenarkan kenyataan busuk itu, maka terkunci, dalam arti terformalisasi sudah hal busuk itu. Putusan itu menjadi hukum dan tatanan bernegara dimasa datang. Itulah konsekuensi sistem. Konsekuensi lainnya? Dimasa depan sistem ketatanegaraan kita membenarkan Presiden dan DPR mengesahkan RUU tanpa rancangan final tersaji diatas meja anggota DPR dalam paripurna. Berbahaya memang, karena ini menjadi panggilan mengerikan hidupnya monster bernama keangkuhan mayoritas. Selalu ada waktu untuk kebenaran berbicara dengan cara yang tak dapat dilawan oleh penguasa sekaliber Fir’aun sekalipun. Hukum politik mengajarkan kebenaran selalu punya cara menyapa dan menggoyahkan, bahkan menggulung penguasa yang memonopoli semua aspek semau-maunya. Terpukau untuk pergi ke MK menguji UU ini, bisa jadi akan ditertawakan kera putih kecil. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Tak usah menyusahkan diri sendiri. Meminta Perpu kepada yang terhormat Presiden mencabut UU ini, sekalipun terlihat sebagai hayalan, tetapi mungkin bisa diusahakan. Itu pilihan yang paling mungkin, dan satu-satunya. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.