Kebangsaan Din Syamsuddin Memang Radikal & Mendasar

by Poetra Adi Soerjo

Sumbawa FNN - Saya berasal dari Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB). Sekampung dengan Prof. Din Syamsuddin, dan banyak berinteraksi dengan berbagai aktivitas dan pikiran beliau. Purna sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin lebih banyak pulang kampung, mengabdikan diri membangun generasi. Beliau mendirikan dan sekaligus menjadi pengasuh Pesantren Modern Internasional Dea Malela.

Psantren yang santrinya datang dari seluruh penjuru dunia, demi membangun satu generasi Islam berkemajuan. Generasi yang bisa menebar rahmat bagi seluruh alam. Di Pesantren ini salah satunya saya banyak berjibaku dengan pikiran pikiran Prof. Din Syamsudin. Tidak hanya terkait agama dan kebangsaan, tetapi juga dunia dan peradaban.

Dalam berbagai interaksi tersebut, saya berkesimpulan, memang pemahaman agama dan kebangsaan Prof. Din Syamsuddin sangat "radikal". Radikal itu berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu radix yang berarti akar. Orang yang berpikir radikal artinya memahami konteks sebuah pemikiran secara dalam, utuh dan menyeluruh. Tidak hanya sebatas epistemoligi dan axiologi, tetapi hingga ke akar (ontologis) dari pemikiran tersebut.

Dalam artian inilah saya memandang pemahaman keagamaan dan kebangsaan Prof. Din Syamsuddin memang sangat dalam, kuat dan mengakar (radikal). Prof. Din Syamsuddin bukanlah orang yang gamang dalam memahami setiap disiplin keilmuan. Beliau memiliki pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang dalam, utuh dan holistik.

Sebagai seorang Profesor, Din Syamsuddin memiliki segala tools dan metodologi dalam memahami akar dari berbagai subjek dan disiplin ilmu. Apalagi terkait agama dan kebangsaan. Pengalaman menempa Prof. Din Syamsuddin dengan sangat sempurna untuk memiliki pemahaman yang utuh dalam memahami relasi agama dan negara, peradaban barat.

Menyelesaikan studi di Pondok Modern Darusalam Gontor, Strata Satu di UIN Syarif Hidayatullah, Master dan Phd di California University Amerika Serikat, menjadikan pikiran-pikiran beliau selama ini telah menjadi jembatan pengertian yang mendamaikan peradaban pengetahuan Timur dan Barat. Islam yang demokrasi dan pembangunan. Untuk itulah Prof. Din Syamsuddin memiliki pergaulan internasional yang luas dan telah menjadi tokoh dan duta perdamaian dunia.

Terlalu lama kita sebagai negara bangsa disibukkan dengan definisi yang salah dalam menempatkan kata radikal. Kesalahan membangun definisi radikal inilah yang membuat riuh. Seperti tuduhan radikal yang dialamatkan ke Prof. Din Syamsuddin. Mereka menyamakan kata radikal dan radikalisme dengan ekstrim dan ekstrimisme. Ekstrimisme adalah sikap melampaui batas moderasi dan cenderung menggunakan kekerasan, maka disebut violent extremism.

Radikal dalam beragama sebagaimana asal katanya haruslah dimaknai sebagai sebuah sikap bertumpu dan berorientasi pada dasar atau akar agama (ushuluddin). Sementara radikal dalam bernegara adalah konsisten dalam menegakkan dasar negara dan konstitusi. Dalam pengertian inilah saya mengakui Prof. Din Syamsuddin sebagai seorang yang beragama dan bernegara secara radikal.

Namun demikian, jika diajukan pemahaman yang keliru atas kata radikal seperti segelintir yang difahami sebagian alumni ITB yang bergabung dalam GAR, maka itu salah kaprah dan sesat-menyesatkan. Sikap kelompok ini justru sebuah sikap yang ekstrim, karena melampaui batas.

Itulah penyakit intlektual hari ini yang kurang radikal dalam memahami disiplin ilmu. Kurang radikal dapat disebut sebagai dangkal atau tanggung atau tidak utuh memahami akar dari berbagai pemahaman dan peta pemikiran. Pemahaman yang tidak radix atau dangkal inilah yang membuat seseorang menjadi ngambang, gamang dan mudah digoyang.

Dari sinilah justru ekstrimisme itu lahir. Ekstrimisme dalam sejarahnya selalu lahir dari orang-orang yang tidak memiliki tradisi berpikir yang mendasar (radix). Karena kedangkalan berpikir itulah yang membuat mereka gamang dan mudah distir atau dibelokkan menjadi ekstrimis. Jika orang memiliki dasar pikiran yang kuat dengan tradisi berpikir yang baik dan mengakar (radix), maka dia tak akan mudah terjebak menjadi ekstrimis.

Ingat, radikal dan ekstrim ini adalah dua terma yang jauh berbeda. Radikal sama sekali bukanlah ekstrimisme. Radikalisme berpikir memang akan melahirkan sikap kritis karena keutuhan dalam memahami konsepsi, dan adalah kemunduran ke era jahiliyah, jika tradisi berpikir kritis dipandang sebagai ekstrimisme. Apalagi labeling radikalis dewasa ini cenderung disematkan hanya karena berbeda pendapat dengan kekuasaan.

Para intlektual yang tidak radix dan atau dangkal dalam berpikir inilah yang suka genit menggunakan terma radikal tidak pada tempatnya. Orang-orang yang dangkal dalam berpikir terlalu banyak berbicara terkait sesuatu yang dia sendiri tidak memahami apa yang sedang dibicarakan. Lebih jauh lagi, tradisi berpikir yang tidak radix dalam jangka waktu yang lama telah menciptakan peradaban masyarakat dengan pribadi yang lemah dan hipokrit. Pagi bicara tahu sore bicara tempe.

Apa yang menjadi keyakinan hatinya berbeda dengan yang terucap. Berbeda lagi dengan apa yang menjadi tindakannya. Pikiran, perkataan dan perbuatan tidak lahir dari keyakinan hati yang mantap. Namun lahir dari utuhnya pemahaman dan konsepsi. Untuk itulah Islam mengajarkan kita kaffah atau menyeluruh atau radix dalam pikiran dan pemahaman, tidak boleh dangkal dan separuh. Seperti dalam puisi seorang jomblo yang kesepian "aku lelah menjadi separuh". Orang yang separuh memang nelangsa.

Dalam kapasitas Prof Din Syamsuddin sebagai seorang ASN, apakah beliau tidak boleh kritis dan berbeda pendapat dengan pemerintah? Banyak orang yang tak sadar bahwa dunia akademisi adalah panggung mimbar bebas. Panggung yang lepas dari intervensi negara dan pasar. Seorang akademisi bebas menyampaikan thesis yang dibangunnya, apapun temuan dan dalam forum apapun itu.

Jangan karena seseroang terikat dengan norma sebagai seorang ASN, laku harus mengatakan demokrasi telah berjalan dengan baik, meski sebenarnya sedang jatuh pada titik nadirnya hanya karena dia tidak boleh berbeda pendapat dengan kekuasaan sebagai seoramg ASN. Untuk itulah ada UU yang lex specialis bagi guru dan dosen yang meski sebagai seorang ASN. Namun tetap bebas menyampaikan apapun temuan yang didasarkan pada indikator indikator ilmiah yang dibangun.

Di Pondok Modern Internasional Dea Malela, Prof. Din Syamsuddin telah dan sedang membangun generasi muda yang kuat dalam berpikir. Kokoh dalam berpendirian. Berkarakter dalam bersikap, dan terbuka dengan berbagai perbedaan. Prof. Din Syamsuddin adalah orang yang sudah, sedang dan terus berbuat untuk membangun generasi bangsa yang berkarakter.

Generasi dengan tradisi berpikir yang terbuka dan komplek. Generasi yang tidak rapuh menghadapi dalam menghadapi problematika kebangsaan dan keagamaan di era post truth. Era dimana kita sedang menyaksikan orang-orang tak lagi memahami apa yang sedang dibicarakan. Apalagi untuk memahami orang lain. Jauh dari yang diharapkan.

Prof. Din Syamsuddin telah menjadi figur dan tokoh dunia dalam isu perdamaian dan kemanusiaan yang universal. With or with out state, Prof. Din Syamsuddin sebagai pribadi telah menjadi rujukan bagi terbangunnya jembatan pengertian antar peradaban. Betapa ruginya Indonesia, jika seorang tokoh yang dikenal dunia sebagai simbol perdamaian dan telah berkonstribusi besar dalam berbagai konflik dunia justru di-blackmail di negaranya sendiri.

Negara harusnya mengambil untung dari keberadaan dan pergaulan internasional Prof. Din Syamsuddin yang telah menjadi duta dunia. Faktanya Indonesia selama ini telah diuntungkan dari berbagai aktivitas Prof. Din Syamsuddin di dunia Internasional. Penjurubicaraan beliau atas isu-isu perdamaian telah membawa harum dan atau setidaknya menutup banyak bopeng wajah demokrasi Indonesia selama ini. Karena dalam kapasitasnya berbicara sebagai penyeru perdamaian, solidaritas, toleransi dan HAM.

Prof. Din Syamsuddin tetaplah direkognisi dunia sebagai orang Indonesia dan sekaligus sedang menjurubicarai Indonesia. Sehingga lucu jika emas yang telah menjadi duta Indonesia di berbagai forum dunia justru dirusak dengan labelling radikal dalam pengertian yang sempit di negerinya sendiri. Dilabeli dengan pengertian radikal dengan basis definisi yang contradictio in terminis. Definisi yang sebenarnya sedang menpertontonkan kedunguan kita sebagai bangsa dalam peradaban pengetahuan.

Penulis adalah Anak Muda Sumbawa & Direktur Eksekutif Open Parliament Institute.

312

Related Post